Nailal Fahmi's Blog, page 11
July 1, 2021
Hidup di Dunia itu Mudah
Dalam sebuah pengajian, Gus Baha pernah bilang, “Saya dididik bapak, kalau ada santri nakal, saya biarkan. Karena dia bahagia dengan kealiman gak bisa. Bahagia lewat kekayaan, gak bisa. Bahagia punya istri cantik, gak bisa. Lalu kebahagiaan orang awam itu apa?”
“Makanya kalau saya lihat Rukhin pakia celana pendek, gak pakai baju, ngerokok kesana-kemari. Memang sudah seharusnya begitu. Udah gak usah dimarahi. Gak usah bilang itu gak pantes. Gak usah.”
“Kiyai punya banyak kebahagiaan. Orang awam kebahagiannya ngerokok di depan rumah, gak pakai baju, sambil ngeliatin orang lewat. Udah seneng mereka.”
“Jangan ngerusak kebahagiaan orang lain. Gak usah dikomentari hidup gak tertib, hidup gak sehat. Kamu bisa hidup sehat itu karena punya tabungan. Sedangkan mereka tidak punya. Anggap saja, warohmati wasiat kulli syai. Rahmat Allah bisa untuk siapa saja.”
“Paham ya? Saya minta hiduplah dengan mudah. Jangan dibuat rumit. Karena kalau kamu tidak menganggap hidup di dunia itu mudah, faqod asbaha saahiton ‘alallah. Jadi kalau ada orang yang di pagi hari bangun tidur pusing mikirin dunia, berarti dia membenci Allah. Kamu mau jadi orang yang membenci Allah?”
Wallahu ‘alam.
“Makanya kalau saya lihat Rukhin pakia celana pendek, gak pakai baju, ngerokok kesana-kemari. Memang sudah seharusnya begitu. Udah gak usah dimarahi. Gak usah bilang itu gak pantes. Gak usah.”
“Kiyai punya banyak kebahagiaan. Orang awam kebahagiannya ngerokok di depan rumah, gak pakai baju, sambil ngeliatin orang lewat. Udah seneng mereka.”
“Jangan ngerusak kebahagiaan orang lain. Gak usah dikomentari hidup gak tertib, hidup gak sehat. Kamu bisa hidup sehat itu karena punya tabungan. Sedangkan mereka tidak punya. Anggap saja, warohmati wasiat kulli syai. Rahmat Allah bisa untuk siapa saja.”
“Paham ya? Saya minta hiduplah dengan mudah. Jangan dibuat rumit. Karena kalau kamu tidak menganggap hidup di dunia itu mudah, faqod asbaha saahiton ‘alallah. Jadi kalau ada orang yang di pagi hari bangun tidur pusing mikirin dunia, berarti dia membenci Allah. Kamu mau jadi orang yang membenci Allah?”
Wallahu ‘alam.
Published on July 01, 2021 23:59
June 30, 2021
Ziarah
Anak itu merangkak keluar dari masjid menuju hutan,
tempat dimana ia mungkin dikuburkan,
nanti jika tidak hujan.
Di sana ia bertemu sunyi yang menggigil dipeluk angin malam.
Duduk di atas nisan tua yang juga kedinginan.
Angin menggoyang dedaunan
menggoda semedi sepi.
“Apa yang lebih senyap dari lindap malam di dalam hutan?” katanya.
“Aku, perpustakaan dalam hati yang dirajam kenangan.”
Ia kembali membuka kata,
“Alam, aku berdiri di muka jelaga ajal,
berdoa agar tanah kering di hati bisa bersemi.”
Petang kembali bercerita tentang terpenjara kegaduhan siang.
Andai semua suara dimatikan, mungkin akan bisa mendengar denyut nadi sendiri,
berderap bagai langkah kaki pasukan Uhud menggetarkan takabur dosajiwa.
Di atas hutan langit gelap,
tidak terdengar lagi beduk petasan atau bunyi berisik telpon
Gelisah akan pulang, rindu dan bukubuku
Ia ingin langit mendung di jalan pulang.
Hujan telah kadung mencintainya,
dan ia mesra dengan hujan.
Air menetes dari ujung rambut hitam.
Membasahi tanah kuburan merah.
Tiba-tiba ia kehilangan suara.
Tiba-tiba ada sembilu di tenggorokan.
Detikdetikmencekikleherwaktu yang d a t a n g t e r l a m b a t
subuh berkumandang, “Yang terucap akan terlupakan,
yang dalam hati akan tetap di sana.”
2016
tempat dimana ia mungkin dikuburkan,
nanti jika tidak hujan.
Di sana ia bertemu sunyi yang menggigil dipeluk angin malam.
Duduk di atas nisan tua yang juga kedinginan.
Angin menggoyang dedaunan
menggoda semedi sepi.
“Apa yang lebih senyap dari lindap malam di dalam hutan?” katanya.
“Aku, perpustakaan dalam hati yang dirajam kenangan.”
Ia kembali membuka kata,
“Alam, aku berdiri di muka jelaga ajal,
berdoa agar tanah kering di hati bisa bersemi.”
Petang kembali bercerita tentang terpenjara kegaduhan siang.
Andai semua suara dimatikan, mungkin akan bisa mendengar denyut nadi sendiri,
berderap bagai langkah kaki pasukan Uhud menggetarkan takabur dosajiwa.
Di atas hutan langit gelap,
tidak terdengar lagi beduk petasan atau bunyi berisik telpon
Gelisah akan pulang, rindu dan bukubuku
Ia ingin langit mendung di jalan pulang.
Hujan telah kadung mencintainya,
dan ia mesra dengan hujan.
Air menetes dari ujung rambut hitam.
Membasahi tanah kuburan merah.
Tiba-tiba ia kehilangan suara.
Tiba-tiba ada sembilu di tenggorokan.
Detikdetikmencekikleherwaktu yang d a t a n g t e r l a m b a t
subuh berkumandang, “Yang terucap akan terlupakan,
yang dalam hati akan tetap di sana.”
2016
Published on June 30, 2021 00:09
June 13, 2021
K-Pop dan Kesehatan Mental
Menurut Riskesdas Kementerian RI tahun 2018, gangguan mental emosional di Indonesia ada 6,1% atau 11.315.500 orang. Itu jumlah yang besar dan semakin bertambah besar dengan adanya pandemi ini.
Setelah 5 bulan pandemi, survei PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) mendapatkan angka gejala cemas menjadi 65%, depresi 62% dan ptsd (gangguan stress pasca trauma) 75%. Sementara survei CESD Unpad setelah 6 bulan pandemik mendapatkan gejala depresi 47%, stres akut dan ptsd 35,51%.
Sayangnya, hanya 9% dari jumlah tersebut yang diobati secara medik. Stigma negatif terhadap seseorang dengan masalah mental menjadi salah satu masalah utama sulitnya penanganan isu depresi dan gangguan mental ini.
Hal yang sering disalahpahami kebanyakan kita adalah menganggap gangguan jiwa adalah hina dan aib. Itu kesalahan umum yang sering kita temui di seluruh dunia. Di Korea Selatan contohnya, 78% orangtua menganggap orang yang depresi adalah orang lemah. Di Indonesia, gangguan jiwa sering dikaitkan dengan kurang iman, kurang ikhlas, azab, karma, pengaruh ilmu kebatinan, ngelmu tanpa guru, gangguan jin, tumbal pesugihan dan lain-lain.
Gangguan jiwa/mental adalah penyakit biasa yang dapat menimpa siapa saja. Sama dengan penyakit fisik lain seperti migren atau flu. Berbeda dengan penyakit fisik yang cenderung mudah dikenali, orang biasanya tidak sadar sedang mengalami gangguan. Beberapa contoh gejala gangguan mental adalah: delusi, halusinasi, suasana hati yang berubah-ubah dalam periode tertentu, perasaan sedih yang berlangsung hingga berminggu-minggu, perasaan cemas dan takut yang berlebihan dan terus menerus, gangguan makan karena merasa takut berat badan bertambah atau makan dalam jumlah banyak, perubahan pola tidur, seperti mudah mengantuk dan tertidur, sulit tidur, serta gangguan pernapasan dan kaki gelisah saat tidur dan lain-lain.
Gejala yang dialami beragam, tapi cara mengatasinya cenderung sama, yaitu perubahan gaya hidup dan dukungan dari lingkungan terdekat. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko serangan gangguan mental, salah satunya yaitu tetap berpartisipasi aktif dalam pergaulan dan aktivitas yang disenangi, contohnya mendengarkan K-Pop.
Di tengah pandemi ini, lagu-lagu K-Pop menjadi salah satu penolong orang-orang dengan gangguan mental itu. Dalam sebuah wawancara di acara konser BTS di London, beberapa Army (penggemar BTS) ditanya tetang mengapa mereka suka BTS, dan berikut adalah beberapa komentar:
“Karena pesan yang mereka bawa. Bahwa sayangi dirimu apa adanya.”
“Lagu-lagunya memberikan hal positif, terutama pada saat aku terpuruk.”
“Aku suka karena mereka tidak takut untuk bicara tentang depresi, kecemasan dan mencintai diri sendiri. Dan aku pikir kita perlu banyak hal seperti itu saat ini.”
Komentar lebih panjang ditulis oleh Rani Neutill, seorang professor berumur 43 tahun dari universitas Harvard, “For me, what has been most important is that BTS is my salve. I am not embarrassed to be a fangirl. If I saw them live, I would scream along with all the Gen-Zers. They are an antidepressant during this time of isolation, bringing me up from depressive lows. For a few hours a day after binging their videos, my anxiety is quelled as they allow me into their colorful, musical world. BTS has given me what we can't have during the pandemic: a sense of closeness.”
Saya tidak sedang mengeneralisasi dan mengatakan bahwa semua fans K-Pop mengalami gangguan mental emosional sehingga butuh pengobatan, sama sekali tidak. Mereka sama saja dengan kita, manusia yang punya unsur ketertarikan, latar belakang atau tujuan yang kadang sulit dianalisa. Karena bagaimanapun fans dan industri K-Pop punya problematika yang tidak sederhana.
Sebagian fans memang mengaku bahwa lagu-lagu K-Pop yang positif membuat mereka lebih menerima dan menyayangi diri mereka sendiri, mereka merasa lebih diterima dan dihargai, seperti komentar-komentar yang saya kutip di atas. Namun di sisi lain, industri K-Pop dikenal kerap memberikan tuntutan tinggi kepada para idol. Sejumlah agensi bahkan melarang bintang K-Pop untuk terlibat asmara agar tidak membuat fans kecewa. Para fans memberi tekanan terhadap idolanya mulai dari penampilan fisik, cara bersikap, cara berpakaian, cara hidup, bahkan cara berbicara. Semua harus sempurna. Mereka melakukan cyberbullying kepada siapapun yang “mengganggu” idola mereka, bahkan mereka melakukan cyberbullying kepada idola yang mereka anggap memiliki “cacat”. Tidak heran beberapa idol K-Pop sendiri mengaku mengalami gangguan mental, ada yang bertahan bahkan membuat lagu yang mengangkat isu kesehatan mental, ada juga yang hancur dan bunuh diri.
Para fans K-Pop, baik yang merasa tertolong akan masalah mental atau mereka yang melakukan perisakan kepada orang lain (bisa jadi mereka adalah orang yang sama), adalah golongan yang besar, punya keterikatan emosional yang sangat dalam dan sehingga sangat mudah digerakan hampir ke arah manapun. Sambil bercanda istri saya bilang, “Kalau ada capres yang menggandeng BTS untuk kampanye, atau hanya menyebut BTS bagus dalam kampanyenya, sudah pasti akan dipilih Army!”
Sekali lagi ini bukan perkara sederhana. Sehingga beberapa waktu lalu, ketika ada komentar bahwa memesan sebegitu banyak BTS Meal di McD dan membuat Ojol berkerumun adalah perbuatan dungu, saya menganggap ia tidak utuh dalam melihat masalah dan tidak punya argumen yang memadai. Banyak yang memesan BTS Meal bukan penyebab kerumunan, tapi karena tidak ada keseriusan dari pihak penjual untuk mengatur. Menyalahkan pembeli karena berkerumun adalah seperti menyalahkan anak kecil —yang belum punya penghasilan dan masih dalam tanggungjawab orang tua— atas alasan terlalu banyak main gadget. Keterikatan emosional yang mendalam para fans tidak bisa serampangan dianggap dungu, apalagi ketika mereka melakukan hal yang legal.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengulangi fakta sederhana bahwa banyak orang yang punya gangguan mental tidak sadar mereka sedang mengalaminya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah mereka adalah kita? Jika bukan, apakah kita menjadi golongan yang memperburuk atau yang bisa membantu mereka?
Setelah 5 bulan pandemi, survei PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) mendapatkan angka gejala cemas menjadi 65%, depresi 62% dan ptsd (gangguan stress pasca trauma) 75%. Sementara survei CESD Unpad setelah 6 bulan pandemik mendapatkan gejala depresi 47%, stres akut dan ptsd 35,51%.
Sayangnya, hanya 9% dari jumlah tersebut yang diobati secara medik. Stigma negatif terhadap seseorang dengan masalah mental menjadi salah satu masalah utama sulitnya penanganan isu depresi dan gangguan mental ini.
Hal yang sering disalahpahami kebanyakan kita adalah menganggap gangguan jiwa adalah hina dan aib. Itu kesalahan umum yang sering kita temui di seluruh dunia. Di Korea Selatan contohnya, 78% orangtua menganggap orang yang depresi adalah orang lemah. Di Indonesia, gangguan jiwa sering dikaitkan dengan kurang iman, kurang ikhlas, azab, karma, pengaruh ilmu kebatinan, ngelmu tanpa guru, gangguan jin, tumbal pesugihan dan lain-lain.
Gangguan jiwa/mental adalah penyakit biasa yang dapat menimpa siapa saja. Sama dengan penyakit fisik lain seperti migren atau flu. Berbeda dengan penyakit fisik yang cenderung mudah dikenali, orang biasanya tidak sadar sedang mengalami gangguan. Beberapa contoh gejala gangguan mental adalah: delusi, halusinasi, suasana hati yang berubah-ubah dalam periode tertentu, perasaan sedih yang berlangsung hingga berminggu-minggu, perasaan cemas dan takut yang berlebihan dan terus menerus, gangguan makan karena merasa takut berat badan bertambah atau makan dalam jumlah banyak, perubahan pola tidur, seperti mudah mengantuk dan tertidur, sulit tidur, serta gangguan pernapasan dan kaki gelisah saat tidur dan lain-lain.
Gejala yang dialami beragam, tapi cara mengatasinya cenderung sama, yaitu perubahan gaya hidup dan dukungan dari lingkungan terdekat. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko serangan gangguan mental, salah satunya yaitu tetap berpartisipasi aktif dalam pergaulan dan aktivitas yang disenangi, contohnya mendengarkan K-Pop.
Di tengah pandemi ini, lagu-lagu K-Pop menjadi salah satu penolong orang-orang dengan gangguan mental itu. Dalam sebuah wawancara di acara konser BTS di London, beberapa Army (penggemar BTS) ditanya tetang mengapa mereka suka BTS, dan berikut adalah beberapa komentar:
“Karena pesan yang mereka bawa. Bahwa sayangi dirimu apa adanya.”
“Lagu-lagunya memberikan hal positif, terutama pada saat aku terpuruk.”
“Aku suka karena mereka tidak takut untuk bicara tentang depresi, kecemasan dan mencintai diri sendiri. Dan aku pikir kita perlu banyak hal seperti itu saat ini.”
Komentar lebih panjang ditulis oleh Rani Neutill, seorang professor berumur 43 tahun dari universitas Harvard, “For me, what has been most important is that BTS is my salve. I am not embarrassed to be a fangirl. If I saw them live, I would scream along with all the Gen-Zers. They are an antidepressant during this time of isolation, bringing me up from depressive lows. For a few hours a day after binging their videos, my anxiety is quelled as they allow me into their colorful, musical world. BTS has given me what we can't have during the pandemic: a sense of closeness.”
Saya tidak sedang mengeneralisasi dan mengatakan bahwa semua fans K-Pop mengalami gangguan mental emosional sehingga butuh pengobatan, sama sekali tidak. Mereka sama saja dengan kita, manusia yang punya unsur ketertarikan, latar belakang atau tujuan yang kadang sulit dianalisa. Karena bagaimanapun fans dan industri K-Pop punya problematika yang tidak sederhana.
Sebagian fans memang mengaku bahwa lagu-lagu K-Pop yang positif membuat mereka lebih menerima dan menyayangi diri mereka sendiri, mereka merasa lebih diterima dan dihargai, seperti komentar-komentar yang saya kutip di atas. Namun di sisi lain, industri K-Pop dikenal kerap memberikan tuntutan tinggi kepada para idol. Sejumlah agensi bahkan melarang bintang K-Pop untuk terlibat asmara agar tidak membuat fans kecewa. Para fans memberi tekanan terhadap idolanya mulai dari penampilan fisik, cara bersikap, cara berpakaian, cara hidup, bahkan cara berbicara. Semua harus sempurna. Mereka melakukan cyberbullying kepada siapapun yang “mengganggu” idola mereka, bahkan mereka melakukan cyberbullying kepada idola yang mereka anggap memiliki “cacat”. Tidak heran beberapa idol K-Pop sendiri mengaku mengalami gangguan mental, ada yang bertahan bahkan membuat lagu yang mengangkat isu kesehatan mental, ada juga yang hancur dan bunuh diri.
Para fans K-Pop, baik yang merasa tertolong akan masalah mental atau mereka yang melakukan perisakan kepada orang lain (bisa jadi mereka adalah orang yang sama), adalah golongan yang besar, punya keterikatan emosional yang sangat dalam dan sehingga sangat mudah digerakan hampir ke arah manapun. Sambil bercanda istri saya bilang, “Kalau ada capres yang menggandeng BTS untuk kampanye, atau hanya menyebut BTS bagus dalam kampanyenya, sudah pasti akan dipilih Army!”
Sekali lagi ini bukan perkara sederhana. Sehingga beberapa waktu lalu, ketika ada komentar bahwa memesan sebegitu banyak BTS Meal di McD dan membuat Ojol berkerumun adalah perbuatan dungu, saya menganggap ia tidak utuh dalam melihat masalah dan tidak punya argumen yang memadai. Banyak yang memesan BTS Meal bukan penyebab kerumunan, tapi karena tidak ada keseriusan dari pihak penjual untuk mengatur. Menyalahkan pembeli karena berkerumun adalah seperti menyalahkan anak kecil —yang belum punya penghasilan dan masih dalam tanggungjawab orang tua— atas alasan terlalu banyak main gadget. Keterikatan emosional yang mendalam para fans tidak bisa serampangan dianggap dungu, apalagi ketika mereka melakukan hal yang legal.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengulangi fakta sederhana bahwa banyak orang yang punya gangguan mental tidak sadar mereka sedang mengalaminya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah mereka adalah kita? Jika bukan, apakah kita menjadi golongan yang memperburuk atau yang bisa membantu mereka?
Published on June 13, 2021 02:07
April 24, 2021
Prophet for Our Time
Di bulan ini saya membaca Muhammad: Prophet for Our Time, “lanjutan” dari karya Karen Armstrong sebelumnya, Muhammad, A Biography of the Prophet. Ada latar belakang berbeda mengapa Karen menulis dua buku biografi tentang Nabi ini. Muhammad, A Biography of the Prophet ditulis tahun 1991 sebagai salah satu usaha Sarjana Barat memberikan penjelasan yang objektif serta pengertian yang komperhensif terhadap sosok Nabi Agung umat Islam ini. Sementara Muhammad: Prophet for Our Time ditulis setelah kejadian 11 September 2001, merespon media barat yang kembali mulai mengidentifikasi Islam dengan terrorisme.
Saya pertama kali mengenal Karen lewat bukunya Masa Depan Tuhan, lanjutan dari karya fenomenalnya, A History of God. Membaca biografi Nabi dari kalangan non-muslim membuat saya bisa melihat dari perspektif lain. Sebagai orang yang pernah tujuh tahun sebagai biarawati Katholik Roma, Karen tentu punya latar belakang yang cukup untuk memberikan sudut pandang Kristen bahkan Yahudi terhadap Islam. Beberapa kali malah saya berhenti membaca untuk mengecek beberapa ayat di Al Kitab yang ia kutip.
Tidak seperti tulisan-tulisan karya Barat pada Abad Pertengahan, yang cenderung punya persepsi yang negatif, tidak sesuai fakta, atau bahkan fitnah yang keji, Karen menulis biografi Nabi dengan objektif, banyak mengambil rujukan dari penulis biografi nabi pertama, Ibn Isḥāq (w 767), juga referensi lain yang diakui oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia.
Sementara karya biografi Nabi yang ditulis oleh kalangan Muslim kebanyakan lebih hati-hati terhadap motif dan tujuan Nabi, Karen sering menulis tentang nabi seperti ia tahu pikiran, perasaan, keinginan, hasrat atau rencana yang ada dalam hati Nabi. Atau seperti dinyatakan Kang Jalal, ia sudah punya alur dan kemudian menjadikan itu sebagai acuan untuk menyusun biografi. Maka membaca buku ini, seperti membaca novel. Walaupun bahkan penulis novel Nabi seperti Tasaro sekalipun, ketika menggambarkan keadaan batin dan pikiran Nabi, ia menulis dengan kalimat tanya.
Kehati-hatian kalangan Muslim dalam hal pengungkapan visi dan motif Nabi tersebut bisa jadi karena tidak disebutkan secara gamblang atau diucapkan dalam hadits-hadits, sehingga penulis Muslim cenderung tidak menerjemahkan keinginan Nabi yang tidak berdasar dalil teks tersebut. Selain memang penghormatan umat Islam kepada Nabi sangat tinggi. (Buku karya Annemarie Schimel tentang penghormatan terhadap Nabi Saw. dalam Islam bisa dijadikan rujukan akademis yang cukup objektif)
Dalam penutup di Bab Salam, Karen mengutip sarjana Kanada, Wilfred Cantwell Smith (1957) yang menekankan tentang perlunya bukan hanya saling toleransi, tapi apresiasi diantara dunia Islam dan Barat. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai kebaikan yang ada dalam Islam juga dimiliki oleh Barat, karena nilai-nilai tersebut tumbuh dari tradisi yang sama. Jika Muslim ingin menjawab tantangan zaman, maka mereka harus mengerti tradisi dan institusi Barat, karena keduanya tidak akan pernah lenyap. Jika tidak begitu, maka mereka akan gagal mengahadapi tantangan zaman. Ia juga mengkritik dengan keras kepada Barat tentang ketidakmampuan untuk mengakui bahwa mereka berbagi planet yang sama bukan dengan orang-orang yang lebih rendah, tapi dengan orang-orang yang setara.
Kritik ini sangat relevan bahkan sampai sekarang. Introspeksi ini bukan hanya bagi kalangan Barat, tapi juga untuk Muslim. Saya banyak menemui kawan yang selalu menganggap orang yang bukan Muslim sebagai orang-orang yang tidak jujur, tidak adil dan hal-hal buruk lainnya. Itu tentu pemikiran yang dangkal dan tidak membawa kemanapun. Karena sejatinya, mengulang Cantwell, umat Islam berbagi planet yang sama dengan orang-orang non-muslim, bukan dengan orang-orang yang lebih rendah, tapi dengan orang-orang yang setara.
Pada kenyataannya, banyak peneliti Islam dari non-muslim seperti Karen yang objektif dan jujur. Islam memang dekat dengan Yahudi secara teologi, namun tidak dari segi politik, terutama sekarang ini. Berkebalikan dengan Nasrani, yang jauh dari segi teologi namun dekat secara politik. Rabi dan reformis Abraham Geiger menyatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang penipu ulung. Hal ini diamini oleh Gustav Weil, orientalis Jerman penganut Yahudi, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah penipu tapi pembaharu yang tulus. Sesuai dengan Geiger dan banyak penulis abad kedelapan belas, Weil memandang Nabi sebagai pembaharu monoteisme asli yang tidak ternoda dari patriark Nabi Ibrahim. Dalam catatan Weil, Islam adalah versi murni dari Yudaisme dan Kristen: “A Judaism without the many ritual and ceremonial laws, which, according to Muhammad’s declaration, even Christ had been called to abolish, or a Christianity without the Trinity, crucifixion and salvation.”
Beberapa kawan Muslim yang saya temui, tidak jarang takut, atau bisa saya sebut enggan, membaca hal-hal tentang agama lain. Mungkin khawatir terpengaruh, atau terkurung pada anggapan tidak ada kebenaran selain apa yang ada pada mereka. Ignorance semacam ini tidak jarang membawa kepada ekstrimisme atau fundamentalisme agama. Sementara Islam adalah jalan tengah, agama solusi, Nabi banyak mencontohkan dalam kehiduapan beliau sehari-hari. Saya ingat apa yang selalu diulang-ulang Gus Baha dalam pengajiannya, bahwa Al Quran mengajak untuk berdialog dan berlogika kepada kaum yang menentang. Sejarah mencatat bagaimana perjanjian Hudaibiyah yang bahkan pada saat itu isinya dianggap oleh beberap sahabat akan merugikan Islam, ternyata malah menguntungkan. Karen dan banyak peneliti Islam menganggap ketenangan Nabi dalam menghadapi peristiwa yang sungguh menegangkan tersebut merupakan bukti akan kegeniusan profetik beliau. Berikut kutipan Karen yang mengutip Ibn Isḥāq di halaman 207-208:
Dari kalangan Islam, kecuali yang terpelajar, sangat tidak peka dengan fakta ini. Pada setiap keyakinan selalu ada egoisme akut yang hanya mau orang lain memahami keyakinannya, namun tidak sebaliknya. Orang-orang yang bersikap tidak peduli, menutup diri, berburuk sangka, menganggap keyakinan lain adalah keyakinan kotor, tentu selalu ada di setiap agama, dan itu yang membuat dialog yang santun dan adil semakin sulit terjadi.
Karen memperlihatkan bahwa baik Islam dan Barat saat ini masih belum bisa saling menghargai. Bahkan dengan rendah hati ia mengakui bahwa Nabi adalah sosok yang tepat untuk dunia Barat dan Islam agar bisa saling mengapresiasi. Ia mengusulkan, jika kita ingin menghindari kehancuran dan mewujudkan kehidupan yang toleran dan saling mengapresiasi, untuk memulainya dari sosok Nabi Muhammad: “Seorang manusia yang kompleks, yang menolak kategorisasi dangkal yang didorong oleh ideologi, yang terkadang melakukan hal yang sulit atau mustahil untuk kita terima, tetapi memiliki kegeniusan yang luar biasa dan mendirikan sebuah agama dan tradisi budaya yang didasarkan bukan pada pedang, melainkan pada "Islam", berarti perdamaian dan kerukunan.”
Di bulan tempat berkontemplasi ini. Kita seyogyanya bisa merenung dan melihat ke dalam diri, tentang sudah adilkah kita kepada orang lain, bahkan orang yang mungkin kita tidak suka? Sudahkah kita memiliki kerendahan hati untuk menerima kebenaran dan hikmah dari siapapun, bahkan dari orang yang tidak seagama?
Penutup dari Karen mengusik saya, karena itu berarti mengatakan secara tersirat bahwa banyak Muslim yang tidak memahami visi kenabian Nabi Muhammad sallalahu 'alaihi wasallam.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in
Wallahu 'alam bissowab
Saya pertama kali mengenal Karen lewat bukunya Masa Depan Tuhan, lanjutan dari karya fenomenalnya, A History of God. Membaca biografi Nabi dari kalangan non-muslim membuat saya bisa melihat dari perspektif lain. Sebagai orang yang pernah tujuh tahun sebagai biarawati Katholik Roma, Karen tentu punya latar belakang yang cukup untuk memberikan sudut pandang Kristen bahkan Yahudi terhadap Islam. Beberapa kali malah saya berhenti membaca untuk mengecek beberapa ayat di Al Kitab yang ia kutip.
Tidak seperti tulisan-tulisan karya Barat pada Abad Pertengahan, yang cenderung punya persepsi yang negatif, tidak sesuai fakta, atau bahkan fitnah yang keji, Karen menulis biografi Nabi dengan objektif, banyak mengambil rujukan dari penulis biografi nabi pertama, Ibn Isḥāq (w 767), juga referensi lain yang diakui oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia.
Sementara karya biografi Nabi yang ditulis oleh kalangan Muslim kebanyakan lebih hati-hati terhadap motif dan tujuan Nabi, Karen sering menulis tentang nabi seperti ia tahu pikiran, perasaan, keinginan, hasrat atau rencana yang ada dalam hati Nabi. Atau seperti dinyatakan Kang Jalal, ia sudah punya alur dan kemudian menjadikan itu sebagai acuan untuk menyusun biografi. Maka membaca buku ini, seperti membaca novel. Walaupun bahkan penulis novel Nabi seperti Tasaro sekalipun, ketika menggambarkan keadaan batin dan pikiran Nabi, ia menulis dengan kalimat tanya.
Kehati-hatian kalangan Muslim dalam hal pengungkapan visi dan motif Nabi tersebut bisa jadi karena tidak disebutkan secara gamblang atau diucapkan dalam hadits-hadits, sehingga penulis Muslim cenderung tidak menerjemahkan keinginan Nabi yang tidak berdasar dalil teks tersebut. Selain memang penghormatan umat Islam kepada Nabi sangat tinggi. (Buku karya Annemarie Schimel tentang penghormatan terhadap Nabi Saw. dalam Islam bisa dijadikan rujukan akademis yang cukup objektif)

Dalam penutup di Bab Salam, Karen mengutip sarjana Kanada, Wilfred Cantwell Smith (1957) yang menekankan tentang perlunya bukan hanya saling toleransi, tapi apresiasi diantara dunia Islam dan Barat. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai kebaikan yang ada dalam Islam juga dimiliki oleh Barat, karena nilai-nilai tersebut tumbuh dari tradisi yang sama. Jika Muslim ingin menjawab tantangan zaman, maka mereka harus mengerti tradisi dan institusi Barat, karena keduanya tidak akan pernah lenyap. Jika tidak begitu, maka mereka akan gagal mengahadapi tantangan zaman. Ia juga mengkritik dengan keras kepada Barat tentang ketidakmampuan untuk mengakui bahwa mereka berbagi planet yang sama bukan dengan orang-orang yang lebih rendah, tapi dengan orang-orang yang setara.
Kritik ini sangat relevan bahkan sampai sekarang. Introspeksi ini bukan hanya bagi kalangan Barat, tapi juga untuk Muslim. Saya banyak menemui kawan yang selalu menganggap orang yang bukan Muslim sebagai orang-orang yang tidak jujur, tidak adil dan hal-hal buruk lainnya. Itu tentu pemikiran yang dangkal dan tidak membawa kemanapun. Karena sejatinya, mengulang Cantwell, umat Islam berbagi planet yang sama dengan orang-orang non-muslim, bukan dengan orang-orang yang lebih rendah, tapi dengan orang-orang yang setara.
Pada kenyataannya, banyak peneliti Islam dari non-muslim seperti Karen yang objektif dan jujur. Islam memang dekat dengan Yahudi secara teologi, namun tidak dari segi politik, terutama sekarang ini. Berkebalikan dengan Nasrani, yang jauh dari segi teologi namun dekat secara politik. Rabi dan reformis Abraham Geiger menyatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang penipu ulung. Hal ini diamini oleh Gustav Weil, orientalis Jerman penganut Yahudi, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah penipu tapi pembaharu yang tulus. Sesuai dengan Geiger dan banyak penulis abad kedelapan belas, Weil memandang Nabi sebagai pembaharu monoteisme asli yang tidak ternoda dari patriark Nabi Ibrahim. Dalam catatan Weil, Islam adalah versi murni dari Yudaisme dan Kristen: “A Judaism without the many ritual and ceremonial laws, which, according to Muhammad’s declaration, even Christ had been called to abolish, or a Christianity without the Trinity, crucifixion and salvation.”
Beberapa kawan Muslim yang saya temui, tidak jarang takut, atau bisa saya sebut enggan, membaca hal-hal tentang agama lain. Mungkin khawatir terpengaruh, atau terkurung pada anggapan tidak ada kebenaran selain apa yang ada pada mereka. Ignorance semacam ini tidak jarang membawa kepada ekstrimisme atau fundamentalisme agama. Sementara Islam adalah jalan tengah, agama solusi, Nabi banyak mencontohkan dalam kehiduapan beliau sehari-hari. Saya ingat apa yang selalu diulang-ulang Gus Baha dalam pengajiannya, bahwa Al Quran mengajak untuk berdialog dan berlogika kepada kaum yang menentang. Sejarah mencatat bagaimana perjanjian Hudaibiyah yang bahkan pada saat itu isinya dianggap oleh beberap sahabat akan merugikan Islam, ternyata malah menguntungkan. Karen dan banyak peneliti Islam menganggap ketenangan Nabi dalam menghadapi peristiwa yang sungguh menegangkan tersebut merupakan bukti akan kegeniusan profetik beliau. Berikut kutipan Karen yang mengutip Ibn Isḥāq di halaman 207-208:
Pada kenyataannya, perang terus berlanjut, tetapi para penulis sejarah Nabi sepakat bahwa Hudaibiyyah merupakan garis pembeda.”Belum pernah ada kemenangan (fatah) yang lebih besar daripada ini sebelumnya," tegas Ibn Ishaq. Akar makna dari FTH adalah "pembukaan"; gencatan senjata itu tampak tidak menjanjikan pada awalnya, tetapi itu membukakan pintu-pintu baru bagi Islam. Hingga saat itu, tak seorangpun bisa duduk untuk mendiskusikan agama baru tersebut dalam cara yang rasional, karena pertempuran yang tak hentinya dan kebencian yang terus memuncak. Tetapi kini, "ketika ada perjanjian damai dan orang-orang berjumpa dalam keadaan aman dan berkumpul bersama, setiap orang yang membincangkan tentang Islam secara cerdas beralih memeluknya". Bahkan, antara 628 dan 630, "jumlah orang yang masuk Islam berlipat dua atau lebih dari berlipat dua".
Dari kalangan Islam, kecuali yang terpelajar, sangat tidak peka dengan fakta ini. Pada setiap keyakinan selalu ada egoisme akut yang hanya mau orang lain memahami keyakinannya, namun tidak sebaliknya. Orang-orang yang bersikap tidak peduli, menutup diri, berburuk sangka, menganggap keyakinan lain adalah keyakinan kotor, tentu selalu ada di setiap agama, dan itu yang membuat dialog yang santun dan adil semakin sulit terjadi.
Karen memperlihatkan bahwa baik Islam dan Barat saat ini masih belum bisa saling menghargai. Bahkan dengan rendah hati ia mengakui bahwa Nabi adalah sosok yang tepat untuk dunia Barat dan Islam agar bisa saling mengapresiasi. Ia mengusulkan, jika kita ingin menghindari kehancuran dan mewujudkan kehidupan yang toleran dan saling mengapresiasi, untuk memulainya dari sosok Nabi Muhammad: “Seorang manusia yang kompleks, yang menolak kategorisasi dangkal yang didorong oleh ideologi, yang terkadang melakukan hal yang sulit atau mustahil untuk kita terima, tetapi memiliki kegeniusan yang luar biasa dan mendirikan sebuah agama dan tradisi budaya yang didasarkan bukan pada pedang, melainkan pada "Islam", berarti perdamaian dan kerukunan.”
Di bulan tempat berkontemplasi ini. Kita seyogyanya bisa merenung dan melihat ke dalam diri, tentang sudah adilkah kita kepada orang lain, bahkan orang yang mungkin kita tidak suka? Sudahkah kita memiliki kerendahan hati untuk menerima kebenaran dan hikmah dari siapapun, bahkan dari orang yang tidak seagama?
Penutup dari Karen mengusik saya, karena itu berarti mengatakan secara tersirat bahwa banyak Muslim yang tidak memahami visi kenabian Nabi Muhammad sallalahu 'alaihi wasallam.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in
Wallahu 'alam bissowab
Published on April 24, 2021 00:15
April 20, 2021
Why so serious?
Sore hari. Ibu mengupas buah.
Aira (3 tahun): aku mau!
Ibu: kamu gak puasa?
Aira: puasa apa?
Ibu: gak makan dan minum.
Aira: aku gak puasa.
Azan maghrib. Orang-orang di rumah bersiap menyantap hidangan buka puasa.
Aira: aku mau!
Ibu: ini untuk orang yang puasa, dek.
Aira: aku juga puasa.
Semua yang mendengar tertawa. Kecuali Aira.
Aira (3 tahun): aku mau!
Ibu: kamu gak puasa?
Aira: puasa apa?
Ibu: gak makan dan minum.
Aira: aku gak puasa.
Azan maghrib. Orang-orang di rumah bersiap menyantap hidangan buka puasa.
Aira: aku mau!
Ibu: ini untuk orang yang puasa, dek.
Aira: aku juga puasa.
Semua yang mendengar tertawa. Kecuali Aira.

Published on April 20, 2021 18:27
Pertanyaan Bulan Puasa
"Gofururrohim artinya apa, pak?" tanya Safa (8 tahun) di tengah membaca surat Al Baqarah, "kok aku sering baca ini."
"Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," kata saya cepat, "sering diulang-ulang dalam Al Quran karena itu sifat paling dominan Tuhan."
"Dominan itu apa?"
"Sifat yang paling besar, yang paling kuat, yang paling banyak. Jadi kasih sayang dan ampunan Tuhan itu mengalahkan murka-Nya."
Nada (10 tahun) yang sedari awal mendengarkan ikut bertanya, "Kalau Allah Maha Pengampun, kenapa ada neraka?"
Ini pertanyaan sulit, kata saya dalam hati. Bukan semata-mata pertanyaannya, tapi karena saya harus menjawab dengan jawaban yang paling sederhana yang bisa diterima logika Nada dan Safa.
“Aku tahu!” Safa coba menjawab, “pernah dikasih tau ibu.”
“Kenapa, Teh?” saya penasaran.
“Karena kalau ada orang jahat di dunia… “ Safa diam seperti berpikir, “eh aku lupa deh!”
“Mungkin gini,” kata saya meneruskan, “Kalau ada orang jahat di dunia yang bebas dari kejahatannya, akan dihukum nanti di akhirat, di neraka. Begitu, Teh?”
“Iya begitu!” Safa antusias.
“Maksudnya?” Nada bertanya.
“Ya, peradilan di dunia kan tidak sempurna, Kak. Mungkin saja ada orang yang bersalah tapi dibebaskan pengadilan karena kurang bukti. Atau ada koruptor, pembunuh atau penjahat lain yang sampai mati tidak pernah diadili. Atau yang pinjam uang tidak dikembalikan, dan yang meminjamkan tidak ikhlas. Nah di akhirat nanti orang-orang tersebut tidak bisa lepas dari pengadilan Tuhan, dan hukuman di akhirat adalah neraka.”
Nada mengangguk, seperti paham.
“Ada satu hal lagi, Kak,” kata saya kemudian, “coba kamu bayangkan kamu menyelam ke dalam laut dan berbicara sama ikan yang tidak pernah sekalipun ke daratan.”
Nada dan Safa masih mendengarkan. Mungkin membayangkan. “Kamu jelasin ke ikan itu bahwa di atas sana ada daratan. Kira-kira ikan itu ngerti gak?” tanya saya retoris.
“Ngerti aja,” kata Nada cepat.
“Kan dia belum pernah ngerasain daratan? Dia tidak tahu dan tidak punya bayangan sama sekali tentang daratan, kan semua yang dia tahu air.”
Nada terdiam, mungkin berpikir. Saya melanjutkan, “Surga dan neraka adalah makna yang saling melengkapi. Seperti pahala dan dosa. Kita tidak akan mengenal orang kaya, kalau tidak ada orang miskin. Kita tidak bisa mengenal tinggi kalau tidak ada pendek. Atau perairan dan daratan. Gelap dan terang. Azab dan ampunan.”
Saya kemudian menyatukan penjelasan untuk pertanyaan Safa dan Nada, “Bagaimana kita mengerti Tuhan yang Maha Pengampun kalau kita tidak mengerti ada kesalahan yang diampuni? Bagaimana kita mengenal konsep surga kalau kita tidak tahu konsep neraka?”
Saya diam, mengamati apakah penjelasan saya terlalu rumit bagi mereka atau tidak. Saya tahu ada cacat logika di sana sini yang masih bisa diperdebatkan dari penjelasan itu, tapi biarlah nanti mereka mencari sendiri setelah dewasa. Saya juga ingin melanjutkan menjelaskan konsep Keadilan dan Rahmat Tuhan, tapi sepertinya akan terlalu berat. Akhirnya saya menambahkan hal yang lebih ringan dan positif, “Kakak dan Teteh percaya Allah Maha Pengasih dan Penyayang juga Pengampun?”
“Percaya,” Nada dan Safa hampir bersamaan.
“Bagus. Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya.” Saya memulai penjelasan yang lebih panjang, “Jadi pelajaran dari sifat-sifat Allah itu adalah kita tidak boleh sombong kepada orang lain, mengatakan bahwa mereka akan masuk neraka sambil merasa diri paling baik. Karena bisa jadi kesalahan orang lain diampuni Tuhan, tapi kesombongan bisa membuat hati kita kotor, iri, tidak bahagia, berdosa. Pelajaran lainnya adalah jangan berputus asa terhadap kasih sayang Allah, karena yang memasukan manusia ke surga bukan semata perbuatan yang manusia lakukan, tapi ampunan dan kasih sayang Allah.”
Wallahu ‘alam
"Maha Pengampun lagi Maha Penyayang," kata saya cepat, "sering diulang-ulang dalam Al Quran karena itu sifat paling dominan Tuhan."
"Dominan itu apa?"
"Sifat yang paling besar, yang paling kuat, yang paling banyak. Jadi kasih sayang dan ampunan Tuhan itu mengalahkan murka-Nya."
Nada (10 tahun) yang sedari awal mendengarkan ikut bertanya, "Kalau Allah Maha Pengampun, kenapa ada neraka?"
Ini pertanyaan sulit, kata saya dalam hati. Bukan semata-mata pertanyaannya, tapi karena saya harus menjawab dengan jawaban yang paling sederhana yang bisa diterima logika Nada dan Safa.
“Aku tahu!” Safa coba menjawab, “pernah dikasih tau ibu.”
“Kenapa, Teh?” saya penasaran.
“Karena kalau ada orang jahat di dunia… “ Safa diam seperti berpikir, “eh aku lupa deh!”
“Mungkin gini,” kata saya meneruskan, “Kalau ada orang jahat di dunia yang bebas dari kejahatannya, akan dihukum nanti di akhirat, di neraka. Begitu, Teh?”
“Iya begitu!” Safa antusias.
“Maksudnya?” Nada bertanya.
“Ya, peradilan di dunia kan tidak sempurna, Kak. Mungkin saja ada orang yang bersalah tapi dibebaskan pengadilan karena kurang bukti. Atau ada koruptor, pembunuh atau penjahat lain yang sampai mati tidak pernah diadili. Atau yang pinjam uang tidak dikembalikan, dan yang meminjamkan tidak ikhlas. Nah di akhirat nanti orang-orang tersebut tidak bisa lepas dari pengadilan Tuhan, dan hukuman di akhirat adalah neraka.”
Nada mengangguk, seperti paham.
“Ada satu hal lagi, Kak,” kata saya kemudian, “coba kamu bayangkan kamu menyelam ke dalam laut dan berbicara sama ikan yang tidak pernah sekalipun ke daratan.”
Nada dan Safa masih mendengarkan. Mungkin membayangkan. “Kamu jelasin ke ikan itu bahwa di atas sana ada daratan. Kira-kira ikan itu ngerti gak?” tanya saya retoris.
“Ngerti aja,” kata Nada cepat.
“Kan dia belum pernah ngerasain daratan? Dia tidak tahu dan tidak punya bayangan sama sekali tentang daratan, kan semua yang dia tahu air.”
Nada terdiam, mungkin berpikir. Saya melanjutkan, “Surga dan neraka adalah makna yang saling melengkapi. Seperti pahala dan dosa. Kita tidak akan mengenal orang kaya, kalau tidak ada orang miskin. Kita tidak bisa mengenal tinggi kalau tidak ada pendek. Atau perairan dan daratan. Gelap dan terang. Azab dan ampunan.”
Saya kemudian menyatukan penjelasan untuk pertanyaan Safa dan Nada, “Bagaimana kita mengerti Tuhan yang Maha Pengampun kalau kita tidak mengerti ada kesalahan yang diampuni? Bagaimana kita mengenal konsep surga kalau kita tidak tahu konsep neraka?”
Saya diam, mengamati apakah penjelasan saya terlalu rumit bagi mereka atau tidak. Saya tahu ada cacat logika di sana sini yang masih bisa diperdebatkan dari penjelasan itu, tapi biarlah nanti mereka mencari sendiri setelah dewasa. Saya juga ingin melanjutkan menjelaskan konsep Keadilan dan Rahmat Tuhan, tapi sepertinya akan terlalu berat. Akhirnya saya menambahkan hal yang lebih ringan dan positif, “Kakak dan Teteh percaya Allah Maha Pengasih dan Penyayang juga Pengampun?”
“Percaya,” Nada dan Safa hampir bersamaan.
“Bagus. Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya.” Saya memulai penjelasan yang lebih panjang, “Jadi pelajaran dari sifat-sifat Allah itu adalah kita tidak boleh sombong kepada orang lain, mengatakan bahwa mereka akan masuk neraka sambil merasa diri paling baik. Karena bisa jadi kesalahan orang lain diampuni Tuhan, tapi kesombongan bisa membuat hati kita kotor, iri, tidak bahagia, berdosa. Pelajaran lainnya adalah jangan berputus asa terhadap kasih sayang Allah, karena yang memasukan manusia ke surga bukan semata perbuatan yang manusia lakukan, tapi ampunan dan kasih sayang Allah.”
Wallahu ‘alam
Published on April 20, 2021 18:25
April 15, 2021
Musim Depan yang Belum Pasti dan Potensi Menjadi Seniman
Seperti biasa, jika tim kesayangannya terseok-seok dalam papan klasemen, Qoffal selalu berharap liga cepat selesai. Mungkin ia berharap musim depan akan lebih baik, walaupun biasanya ia akan kembali menghadapi luka yang sama. Manusia memang bebas memilih, termasuk memilih untuk sengsara.
Begini template harapan fans Perpul setiap tahun: awal musim harapan berjaya; setengah musim harapan juara; paruh akhir harapan 4 besar dan bisa di atas MU; perempat akhir harapan tidak kalah dari MU di leg 2, dan musim segera berakhir. Ketika musim mulai kembali, harapan-harapan itu terus berulang. Mirip orang yang terlalu percaya dengan politisi dan partai politik. Realitas memang sering tidak masuk akal.
“Ingin nonton film yang romantis-romantis aja, nonton Liverpool udah terlalu melebihi alam bawah perasaan, ada saran bung?” Qoffal bertanya lewat chating.
Saya tidak menjawab pertanyaan retoris dari orang patah hati. Saya tidak mungkin menyarankan nonton Drakor. Karena akan sama saja. Pencarian di luar diri tidak akan pernah memuaskan. Saya membayangkan kalau ia nonton Start Up, dan melihat adegan Dal Mi yang lebih memilih Do San daripada Ji Pyeong, ia akan ikut sakit hati kemudian mengingat kembali keterpurukan Perpul dan keberuntungan yang lebih memilih MU. Sambil menangis, ia akan menyumpah semoga Bruno kakinya patah.
“Gua udah peringatin dari awal,” respon saya lewat WA.
“Awal kapan?” ia masih kesal, “Itu cuma kebetulan!”
Saya tertawa. Ia sentimental tentang klub kesayangannya, dan itu lucu. Saya tidak akan menyanggah bahwa prediksi saya adalah kebetulan. Saya hanya akan menambahkan bahwa kebetulan itu sudah berlangsung tiga musim.
Sekitar bulan November, dalam sebuah status FB guru kami, Gus Dhiyaz Almaqdisi Muhajirin ketika Si Merah masih di pucuk dan seluruh Liverpudlian di jagat raya masih jumawa, saya membalas tag-nya, “Segalanya memang masih buram di musim ini. Tapi ada Qoidah Aglabiyah dalam 30 tahun terakhir, apa yang terjadi sekali tidak akan terjadi 2 kali.”
Saat ini Perpul terpuruk, tidak mungkin juara liga, gagal di Champion, kalah di kandang bahkan oleh tim yang harga keseluruhan pemain setara dengan sebelah kaki Mo Salah. Itu ibarat timnas kalah lawan tim Serikat Persatuan Sepakbola Kuli Pasar.
Ia mengoceh banyak tentang alasan timnya carut marut, “Saat ini Klopp bener-bener buntu, pemain-pemain down, badai cedera belom berenti. Komplitkan? Secara taktik, belakang ini yang dipake Klopp emang norak, tapi mo gimana pemain yang memadai nihil. Pemain yang cuma-cuma dipaksain buat ikutin arahannya, itu bodoh kalo ngarep cepet paham. Gak tega liat Ipul mati pelan-pelan. Bisa ga sih, kompetisi Liga Inggris musim ini diberhentiin aja. Virus bukannya semakin parah.”
Silahkan baca ulang lagi argumennya. Semakin dibaca akan semakin lawak. Untungnya, walaupun sering emosional, Qoffal tergolong bukan fans ekstrim seperti di Green Street Holigans. Sehingga saya bisa menertawakan kelakuannya dan dia tetap santai saja, masih memegang erat karakter Tawassuth, Tawazun, dan Tasamuh. Dengan sikap itu, boleh juga kalau dia diangkat sebagai Ketua PCNU cabang Merseyside.
Saya bisa saja bicara masalah teknis pertandingan untuk menambah dalih Qoffal, tapi saya tidak tertarik. Lebih mengasikan mengamati orang yang tinggal ribuan kilometer dari Anfield berduka nestapa atas kegagalan (lagi) tahun ini, serta lebih menyenangkan menganalisa respon fans melihat kemalangan tim itu di semua kejuaraan.
Saya pribadi tidak memiliki tim favorit di level klub dan menjadi agnostik garis lucu, karena sadar sudah terlalu tua untuk ikut-ikutan serta akan selalu ada hal-hal kocak yang akan terlihat kalau kita sedikit saja memberi jarak. Tentu keputusan ini mengakibatkan saya dimusuhi banyak pecinta klub, tergantung klub mana yang saya candai. Itu sepadan, mengingat ini adalah bentuk jihad rasionalitas melawan dogmatisme —memang keren kalau dibuat istilah, padahal ngibul.
Saya akan berikan beberapa contoh. Tahun 2013, beberapa pemain dari sebuah tim sepakbola Italy pura-pura cidera dan tidak mau bermain karena mendapat ancaman pembunuhan dari fans mereka. Sampai akhirnya tim tersebut didegradasi dan dijatuhi denda oleh Federasi Sepakbola Italia (FIGC) karena dinilai tidak sportif. Tahun lalu, waktu Liverpool juara, para fans MU garis keras bahkan ada yang mengancam lewat twitter sambil mention Anthony Martial, “I swear to god, if you congratulate them I’ll break your legs!”. Bagi fans MU mungkin itu serius, tapi bagi saya itu sangat lucu.
Begini, di Inggris, sepakbola sudah seperti agama, maka menarik melihat kesamaan keduanya dalam banyak hal. Jika sepakbola diibaratkan agama, maka klub bisa diibaratkan agama-agama yang bermacam-macam dan fans bisa diibaratkan pemeluk agama. Seperti biasa, tidak dimana-mana, pemeluk agama ada saja yang rese dan ekstrim. Holiganisme bahkan dimulai dari era jahiliah Inggris, sekitar abad ke-14 sampai mulai muncul di media pada pertengahan 1960-an. Kalau mau membayangkan ekstrimis masa itu di dunia sekarang, mungkin akan ada Liverpudlian konyol yang meledakan diri di depan loket karcis di Old Trafford sambil teriak, “I’ll never die alone!”
Untungnya, di agama sepakbola tuduhan bidah, murtad dan kafir tidak menyakitkan. Pada konteks yang lain, tuduhan itu bisa mengancam nyawa. Tentu ada pengecualian untuk tim lokal Indonesia. Karena tuduhan atau olokan seremeh apapun bisa memancing perang. Ikatan emosional chauvinis lokal seperti itu yang menakutkan. Seperti digambarkan Andy Bachtiar dengan tragis dalam Romeo Juliet.
Dalam hal fenomena fans ini saya pernah bertanya ke Qoffal; Apa artinya menjadi Liperpudlian? Apa artinya mendukung tim yang tidak pernah juara? Apa artinya 1 gelar juara dalam 30 tahun? Apa juga artinya menanggung kepedihan atas tim yang kembali payah?
Ia menjawab cepat; tidak ada artinya.
Kezuhudan di tangan Liverpudlian memang sudah menjadi way of life karena selalu menemukan momentum. Dan mungkin baginya menyukai Liverpool adalah jalan thoriqoh tasawuf.

Sepakbola sungguh bisa membuat penikmatnya mengalami kesedihan atau kesenangan yang absurd. Tidak jelas apa signifikansi terhadap kehidupan pribadi ketika timnya tidak juara sama sekali. Sebagaimana tidak jelas apa relevansi kegembiraan atas kemenangan tim kepada kehidupan pribadi. Selain hanya sebagai bahan kebanggaan seusai laga, yang cepat dilupakan. Maka betul sekali. Tidak ada artinya sepakbola yang fana ini!
Walaupun begitu, dalam pengalaman seumur hidup saya, jika menaruh rasa cinta yang dalam pada kesebelasan, maka menghadapi kepedihan terus menerus yang seperti kutukan, yang tidak berguna dan berarti, tetap menyenangkan. Itu perasaan yang membuat hati saya membuncah, perasaan ketika melihat timnas Indonesia bermain, entah kalah apalagi menang.
Saya mengamati, semakin dewasa fans, maka akan semakin santai. Namun seperti agama, tidak mudah membuat fans menjadi murtad atau berpindah. Maka terhadap fans yang tidak punya cukup nyali untuk bilang berhenti mendukung klub ini, saya teringat hukum kekekalan energi.
Menurut hukum kekekalan energi; energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan; energi hanya dapat diubah atau ditransfer dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Jadi saya ingin menyarankan Qoffal untuk bisa mengubah energi sakit hati menjadi energi lain. Karena energi itu bisa menjadi penggerak kreatifitas.
Sakit hati di tangan penulis lagu akan jadi irama yang menyentuh, di tangan pelukis akan menjadi gambar yang mengagumkan, di tangan penyair akan menjadi puisi yang menyayat. Maka saran saya pada Qoffal dalam 7 pertandingan akhir ini; sering-seringlah menonton hujan, siapa tahu anda mulai tertarik jadi seniman.


Begini template harapan fans Perpul setiap tahun: awal musim harapan berjaya; setengah musim harapan juara; paruh akhir harapan 4 besar dan bisa di atas MU; perempat akhir harapan tidak kalah dari MU di leg 2, dan musim segera berakhir. Ketika musim mulai kembali, harapan-harapan itu terus berulang. Mirip orang yang terlalu percaya dengan politisi dan partai politik. Realitas memang sering tidak masuk akal.
“Ingin nonton film yang romantis-romantis aja, nonton Liverpool udah terlalu melebihi alam bawah perasaan, ada saran bung?” Qoffal bertanya lewat chating.
Saya tidak menjawab pertanyaan retoris dari orang patah hati. Saya tidak mungkin menyarankan nonton Drakor. Karena akan sama saja. Pencarian di luar diri tidak akan pernah memuaskan. Saya membayangkan kalau ia nonton Start Up, dan melihat adegan Dal Mi yang lebih memilih Do San daripada Ji Pyeong, ia akan ikut sakit hati kemudian mengingat kembali keterpurukan Perpul dan keberuntungan yang lebih memilih MU. Sambil menangis, ia akan menyumpah semoga Bruno kakinya patah.
“Gua udah peringatin dari awal,” respon saya lewat WA.
“Awal kapan?” ia masih kesal, “Itu cuma kebetulan!”
Saya tertawa. Ia sentimental tentang klub kesayangannya, dan itu lucu. Saya tidak akan menyanggah bahwa prediksi saya adalah kebetulan. Saya hanya akan menambahkan bahwa kebetulan itu sudah berlangsung tiga musim.
Sekitar bulan November, dalam sebuah status FB guru kami, Gus Dhiyaz Almaqdisi Muhajirin ketika Si Merah masih di pucuk dan seluruh Liverpudlian di jagat raya masih jumawa, saya membalas tag-nya, “Segalanya memang masih buram di musim ini. Tapi ada Qoidah Aglabiyah dalam 30 tahun terakhir, apa yang terjadi sekali tidak akan terjadi 2 kali.”
Saat ini Perpul terpuruk, tidak mungkin juara liga, gagal di Champion, kalah di kandang bahkan oleh tim yang harga keseluruhan pemain setara dengan sebelah kaki Mo Salah. Itu ibarat timnas kalah lawan tim Serikat Persatuan Sepakbola Kuli Pasar.
Ia mengoceh banyak tentang alasan timnya carut marut, “Saat ini Klopp bener-bener buntu, pemain-pemain down, badai cedera belom berenti. Komplitkan? Secara taktik, belakang ini yang dipake Klopp emang norak, tapi mo gimana pemain yang memadai nihil. Pemain yang cuma-cuma dipaksain buat ikutin arahannya, itu bodoh kalo ngarep cepet paham. Gak tega liat Ipul mati pelan-pelan. Bisa ga sih, kompetisi Liga Inggris musim ini diberhentiin aja. Virus bukannya semakin parah.”
Silahkan baca ulang lagi argumennya. Semakin dibaca akan semakin lawak. Untungnya, walaupun sering emosional, Qoffal tergolong bukan fans ekstrim seperti di Green Street Holigans. Sehingga saya bisa menertawakan kelakuannya dan dia tetap santai saja, masih memegang erat karakter Tawassuth, Tawazun, dan Tasamuh. Dengan sikap itu, boleh juga kalau dia diangkat sebagai Ketua PCNU cabang Merseyside.
Saya bisa saja bicara masalah teknis pertandingan untuk menambah dalih Qoffal, tapi saya tidak tertarik. Lebih mengasikan mengamati orang yang tinggal ribuan kilometer dari Anfield berduka nestapa atas kegagalan (lagi) tahun ini, serta lebih menyenangkan menganalisa respon fans melihat kemalangan tim itu di semua kejuaraan.
Saya pribadi tidak memiliki tim favorit di level klub dan menjadi agnostik garis lucu, karena sadar sudah terlalu tua untuk ikut-ikutan serta akan selalu ada hal-hal kocak yang akan terlihat kalau kita sedikit saja memberi jarak. Tentu keputusan ini mengakibatkan saya dimusuhi banyak pecinta klub, tergantung klub mana yang saya candai. Itu sepadan, mengingat ini adalah bentuk jihad rasionalitas melawan dogmatisme —memang keren kalau dibuat istilah, padahal ngibul.

Saya akan berikan beberapa contoh. Tahun 2013, beberapa pemain dari sebuah tim sepakbola Italy pura-pura cidera dan tidak mau bermain karena mendapat ancaman pembunuhan dari fans mereka. Sampai akhirnya tim tersebut didegradasi dan dijatuhi denda oleh Federasi Sepakbola Italia (FIGC) karena dinilai tidak sportif. Tahun lalu, waktu Liverpool juara, para fans MU garis keras bahkan ada yang mengancam lewat twitter sambil mention Anthony Martial, “I swear to god, if you congratulate them I’ll break your legs!”. Bagi fans MU mungkin itu serius, tapi bagi saya itu sangat lucu.
Begini, di Inggris, sepakbola sudah seperti agama, maka menarik melihat kesamaan keduanya dalam banyak hal. Jika sepakbola diibaratkan agama, maka klub bisa diibaratkan agama-agama yang bermacam-macam dan fans bisa diibaratkan pemeluk agama. Seperti biasa, tidak dimana-mana, pemeluk agama ada saja yang rese dan ekstrim. Holiganisme bahkan dimulai dari era jahiliah Inggris, sekitar abad ke-14 sampai mulai muncul di media pada pertengahan 1960-an. Kalau mau membayangkan ekstrimis masa itu di dunia sekarang, mungkin akan ada Liverpudlian konyol yang meledakan diri di depan loket karcis di Old Trafford sambil teriak, “I’ll never die alone!”
Untungnya, di agama sepakbola tuduhan bidah, murtad dan kafir tidak menyakitkan. Pada konteks yang lain, tuduhan itu bisa mengancam nyawa. Tentu ada pengecualian untuk tim lokal Indonesia. Karena tuduhan atau olokan seremeh apapun bisa memancing perang. Ikatan emosional chauvinis lokal seperti itu yang menakutkan. Seperti digambarkan Andy Bachtiar dengan tragis dalam Romeo Juliet.
Dalam hal fenomena fans ini saya pernah bertanya ke Qoffal; Apa artinya menjadi Liperpudlian? Apa artinya mendukung tim yang tidak pernah juara? Apa artinya 1 gelar juara dalam 30 tahun? Apa juga artinya menanggung kepedihan atas tim yang kembali payah?
Ia menjawab cepat; tidak ada artinya.
Kezuhudan di tangan Liverpudlian memang sudah menjadi way of life karena selalu menemukan momentum. Dan mungkin baginya menyukai Liverpool adalah jalan thoriqoh tasawuf.


Sepakbola sungguh bisa membuat penikmatnya mengalami kesedihan atau kesenangan yang absurd. Tidak jelas apa signifikansi terhadap kehidupan pribadi ketika timnya tidak juara sama sekali. Sebagaimana tidak jelas apa relevansi kegembiraan atas kemenangan tim kepada kehidupan pribadi. Selain hanya sebagai bahan kebanggaan seusai laga, yang cepat dilupakan. Maka betul sekali. Tidak ada artinya sepakbola yang fana ini!

Walaupun begitu, dalam pengalaman seumur hidup saya, jika menaruh rasa cinta yang dalam pada kesebelasan, maka menghadapi kepedihan terus menerus yang seperti kutukan, yang tidak berguna dan berarti, tetap menyenangkan. Itu perasaan yang membuat hati saya membuncah, perasaan ketika melihat timnas Indonesia bermain, entah kalah apalagi menang.
Saya mengamati, semakin dewasa fans, maka akan semakin santai. Namun seperti agama, tidak mudah membuat fans menjadi murtad atau berpindah. Maka terhadap fans yang tidak punya cukup nyali untuk bilang berhenti mendukung klub ini, saya teringat hukum kekekalan energi.
Menurut hukum kekekalan energi; energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan; energi hanya dapat diubah atau ditransfer dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Jadi saya ingin menyarankan Qoffal untuk bisa mengubah energi sakit hati menjadi energi lain. Karena energi itu bisa menjadi penggerak kreatifitas.
Sakit hati di tangan penulis lagu akan jadi irama yang menyentuh, di tangan pelukis akan menjadi gambar yang mengagumkan, di tangan penyair akan menjadi puisi yang menyayat. Maka saran saya pada Qoffal dalam 7 pertandingan akhir ini; sering-seringlah menonton hujan, siapa tahu anda mulai tertarik jadi seniman.



Published on April 15, 2021 02:49
February 20, 2021
Bilang Begini Maksudnya Begitu
Apa itu puisi?
Tidak ada definisi baku yang bisa menjelaskan puisi. Tidak ada patokan resmi untuk suatu tulisan disebut puisi. Ada istilah popular yang dikenal di dunia kepenyairan yang disebut Licentia Poetica, bahwa puisi tidak terikat dengan ikatan-ikatan kebahasaan seperti struktur atau tanda baca. Maka previlage tersebut menjadikan puisi sulit untuk didefinisikan, jika tidak dikatakan mustahil.
Manusia mengenal puisi mungkin sejak ia mengenal Bahasa. Menurut Sapardi, definisi mudah untuk puisi adalah; bilang begini maksudnya begitu. Dalam percakapan, kita sering mendapati kata-kata atau kalimat yang bentuknya puisi dengan definisi ini. Kita menyebut toilet dengan sebutan Kamar Kecil, atau menyebut bumper di jalan dengan Polisi Tidur, atau istilah lain seperti Mata Keranjang, Kumpul Kebo, Lintah Darat dan lain-lain adalah bilang begini maksudnya begitu.
Hal lain yang erat kaitannya dengan puisi adalah bunyi. Puisi adalah permainan bunyi. Di belakang truk-truk di jalan raya kita juga sering membaca puisi dengan diksi dan rima atau bunyi yang memikat, “ku injak gas dan kopling agar kau bisa shoping” atau, “putus cinta soal biasa, putus rem mati kita” atau, “hindari corona, tetaplah hidup walau tidak berguna”
Begitulah puisi menjadi sangat dekat dengan kehidupan manusia. Bahkan, bukankah dalam kitab suci juga terdapat unsur puitis? Bukalah kitab suci maka kita akan menemukan bagian dari puisi di sana, ada multi makna, rima, irama, diksi dan perspektif serta metafora yang bertebaran. Karena itu kitab suci tidak akan pernah berhenti dikaji dan karena itu tafsir dari masa ke masa terus ada. Namun ada saja orang yang menganggap puisi itu jauh.
Saya pernah bertanya kepada seorang kawan tentang apakah ia menyukai puisi. Dengan tegas ia mengatakan tidak. Sama sekali tidak. Menurut dia puisi itu omong kosong dan sok romantis. Saya menganggap ia tidak mengerti apa yang dimaksud puisi, sehingga tidak bisa mengapresiasi. Kesulitan seseorang mengapresiasi mungkin yang menyebabkan puisi terasa rumit. Padahal puisi punya dimensi personal yang bebas diartikan oleh pembaca.
Itu dimungkinkan juga karena pengajaran puisi di sekolah yang kaku, kuno dan membosankan. Padahal inti dari puisi adalah membuat orang yang membacanya tergerak. Baik perasaan atau pemikiran. Maka dari itu puisi harus mencari cara baru dalam pengucapan. Mengikuti semangat zaman. Dari sana puisi menjadi kontemporer dan lebih menyenangkan untuk dinikmati. Sehingga pengajarannya pun seharusnya menyenangkan.
Saat ini puisi semakin populer dan berbaur dengan bahasa-bahasa termutakhir yang lebih mudah dan ramah pembaca awam. Puisi tidak lagi murung, suram atau kuno. Ia menjadi budaya baru karena memang pembentuk puisi adalah bahasa, dan sifat bahasa adalah berkembang. Maka puisi akan berkembang seiring berkembangnya bahasa.
Apakah puisi hanya tentang romantisme kekasih?
Untuk menjawab itu saya akan mengutip beberapa puisi dari Joko Pinurbo.
Agama Khong Guan
Rengginang bersorak
ketika agama-agama menyatu
dalam kaleng Khong Guan.
(2019)
Misal
Misal Aku datang ke rumahmu
dan kau sedang khusyuk berdoa,
akankah kau keluar dari doamu
dan membukakan pintu untukKu?
(2016)
Saya tertegun lama ketika pertama kali membaca puisi itu. Dan semakin lama saya baca, ia semakin membuka diri pada pemahaman dan makna yang semakin dalam. Dan apakah puisi-puisi di atas adalah tentang romantisme sepasang kekasih? Tentu bukan.
Apakah sulit untuk memahami atau membuat puisi?
Seperti bidang apapun, jawaban pertanyaan itu adalah gampang-gampang susah atau bisa juga susah-susah gampang. Dan seperti keahlian lain, membuat puisi bisa dipelajari. Berikut adalah beberapa buku yang saya rekomendasikan untuk yang ingin lebih mendalami, mengapresiasi atau mencoba membuat puisi.
Menutup tulisan ini, saya akan mengutip Goenawan Mohamad, “Mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi.”
Tidak ada definisi baku yang bisa menjelaskan puisi. Tidak ada patokan resmi untuk suatu tulisan disebut puisi. Ada istilah popular yang dikenal di dunia kepenyairan yang disebut Licentia Poetica, bahwa puisi tidak terikat dengan ikatan-ikatan kebahasaan seperti struktur atau tanda baca. Maka previlage tersebut menjadikan puisi sulit untuk didefinisikan, jika tidak dikatakan mustahil.
Manusia mengenal puisi mungkin sejak ia mengenal Bahasa. Menurut Sapardi, definisi mudah untuk puisi adalah; bilang begini maksudnya begitu. Dalam percakapan, kita sering mendapati kata-kata atau kalimat yang bentuknya puisi dengan definisi ini. Kita menyebut toilet dengan sebutan Kamar Kecil, atau menyebut bumper di jalan dengan Polisi Tidur, atau istilah lain seperti Mata Keranjang, Kumpul Kebo, Lintah Darat dan lain-lain adalah bilang begini maksudnya begitu.
Hal lain yang erat kaitannya dengan puisi adalah bunyi. Puisi adalah permainan bunyi. Di belakang truk-truk di jalan raya kita juga sering membaca puisi dengan diksi dan rima atau bunyi yang memikat, “ku injak gas dan kopling agar kau bisa shoping” atau, “putus cinta soal biasa, putus rem mati kita” atau, “hindari corona, tetaplah hidup walau tidak berguna”
Begitulah puisi menjadi sangat dekat dengan kehidupan manusia. Bahkan, bukankah dalam kitab suci juga terdapat unsur puitis? Bukalah kitab suci maka kita akan menemukan bagian dari puisi di sana, ada multi makna, rima, irama, diksi dan perspektif serta metafora yang bertebaran. Karena itu kitab suci tidak akan pernah berhenti dikaji dan karena itu tafsir dari masa ke masa terus ada. Namun ada saja orang yang menganggap puisi itu jauh.
Saya pernah bertanya kepada seorang kawan tentang apakah ia menyukai puisi. Dengan tegas ia mengatakan tidak. Sama sekali tidak. Menurut dia puisi itu omong kosong dan sok romantis. Saya menganggap ia tidak mengerti apa yang dimaksud puisi, sehingga tidak bisa mengapresiasi. Kesulitan seseorang mengapresiasi mungkin yang menyebabkan puisi terasa rumit. Padahal puisi punya dimensi personal yang bebas diartikan oleh pembaca.
Itu dimungkinkan juga karena pengajaran puisi di sekolah yang kaku, kuno dan membosankan. Padahal inti dari puisi adalah membuat orang yang membacanya tergerak. Baik perasaan atau pemikiran. Maka dari itu puisi harus mencari cara baru dalam pengucapan. Mengikuti semangat zaman. Dari sana puisi menjadi kontemporer dan lebih menyenangkan untuk dinikmati. Sehingga pengajarannya pun seharusnya menyenangkan.
Saat ini puisi semakin populer dan berbaur dengan bahasa-bahasa termutakhir yang lebih mudah dan ramah pembaca awam. Puisi tidak lagi murung, suram atau kuno. Ia menjadi budaya baru karena memang pembentuk puisi adalah bahasa, dan sifat bahasa adalah berkembang. Maka puisi akan berkembang seiring berkembangnya bahasa.
Apakah puisi hanya tentang romantisme kekasih?
Untuk menjawab itu saya akan mengutip beberapa puisi dari Joko Pinurbo.
Agama Khong Guan
Rengginang bersorak
ketika agama-agama menyatu
dalam kaleng Khong Guan.
(2019)
Misal
Misal Aku datang ke rumahmu
dan kau sedang khusyuk berdoa,
akankah kau keluar dari doamu
dan membukakan pintu untukKu?
(2016)
Saya tertegun lama ketika pertama kali membaca puisi itu. Dan semakin lama saya baca, ia semakin membuka diri pada pemahaman dan makna yang semakin dalam. Dan apakah puisi-puisi di atas adalah tentang romantisme sepasang kekasih? Tentu bukan.
Apakah sulit untuk memahami atau membuat puisi?
Seperti bidang apapun, jawaban pertanyaan itu adalah gampang-gampang susah atau bisa juga susah-susah gampang. Dan seperti keahlian lain, membuat puisi bisa dipelajari. Berikut adalah beberapa buku yang saya rekomendasikan untuk yang ingin lebih mendalami, mengapresiasi atau mencoba membuat puisi.

Menutup tulisan ini, saya akan mengutip Goenawan Mohamad, “Mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi.”
Published on February 20, 2021 13:36
January 29, 2021
Membaca dan Pelajaran Bahasa Ibu
Saya percaya bahwa tidak ada anak yang tidak suka membaca. Jika ada anak yang dianggap tidak suka membaca, atau orang tuanya mengatakan, “Ah memang bukan itu kesenangannya,” mari perhatikan kembali, mungkin ada sesuatu yang kurang tepat.
Apa yang biasa dilakukan orangtua untuk mengajari anak membaca? Memberikan pelajaran-pelajaran membaca huruf dan kalimat melalui metode-metode yang bermacam-macam. Bahkan seringkali memaksa anak dalam umur tertentu (biasanya 7 tahun) untuk harus bisa membaca.
Apakah cara itu salah? Bisa ya, bisa tidak. Satu hal yang pasti, memaksa anak untuk mempelajari yang tidak ia suka atau ia butuhkan adalah tindakan percuma. Ada dua alasan seseorang mau belajar secara sukarela. Pertama, ia membutuhkannya. Kedua, ia menyukainya. Jika dua hal itu tidak ada, maka pembelajaran akan terasa kosong, bahkan bisa jadi tidak berguna. Mengajari anak membaca kalimat-kalimat adalah hal yang mudah. Tapi tujuannya bukan hanya membaca, melainkan menyukai membaca.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara menumbuhkan minat baca anak? Masing-masing anak punya tahap dan perjalannannya sendiri, yang sering tidak sama dengan anak-anak lain. Oleh karena itu, usaha untuk memupuk anak untuk suka membaca perlu dipelajari. Kuncinya di kesabaran pada proses. Metode, teknik, atau cara, menyusul dan berkembang sesuai dengan kemampuan anak.
Hal pertama dan utama yang harus dilakukan adalah membuat anak senang dengan cerita. Jika anak sudah menyukai cerita, dan pasti menyukainya, maka itu akan jadi pupuk untuk mereka menyukai membaca. Bahkan sebelum mereka benar-benar bisa membaca. Jadi bukan pelajaran membacanya yang ditekankan terlebih dulu, tapi kesenangan pada bacaan.
Jadi ketika Safa (7 tahun) belum bisa membaca dengan lancar, saya sama sekali tidak khawatir. Apalagi membandingkan dengan Nada yang dulu pada usia Safa perkembangan membacanya sangat pesat. Karena memang tujuan utamanya bukan pada bisa membaca, tapi kesenangan pada membaca. Dengan tujuan itu, menekan anak untuk bisa membaca malah bisa menyebabkan ia jadi benci membaca. Itu akan jadi tindakan yang kontra produktif. Anak akan sendirinya membaca jika ia sudah suka dengan bacaan, dalam hal ini ditumbuhkan dengan membacakan cerita.
Saya akan melebarkan pembahasan membaca dan kesenangan membaca dengan pelajaran bahasa. Di Finlandia, siswa sekolah dasar kelas satu dan dua, tiap hari mengawali kelas dengan pelajaran Modersmål atau Bahasa Ibu. Sementara untuk kelas tiga sampai enam, Modersmål selalu ditempatkan pada jam pertama setiap Senin.
Apa yang dilakukan para guru dalam pelajaran itu? Membacakan cerita. Setelah mendengarkan cerita, murid-murid diminta melakukan aktifitas lanjutan seperti menggambar ilustrasi atau bahkan untuk anak kelas lima dan enam, anak-anak diminta membuat musik berdasarkan cerita yang dibacakan.
Jadi pelajaran Modersmål (Bahasa Indonesia jika di Indonesia) dengan penyampaian melalui cerita merupakan pelajaran paling penting bagi anak-anak. Bayangkan, dalam 5 hari sekolah, kelas satu dan dua belajar Bahasa selama 7 jam. Untuk kelas tiga dan empat 6 jam. Sementara untuk kelas enam 5 jam.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa Finalandia, negara dengan kualitas pendidikan
terbaik di dunia menekankan pentingnya pelajaran bahasa di usia sekolah dasar?
Sederhana, karena bahasa adalah alat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Kaitan bahasa dengan pelajaran-pelajaran lain sangat erat, bahkan tanpa kecakapan berbahasa, anak-anak akan kesulitan memahami matematika. Karena manusia berpikir dengan bahasa dan bahasa membentuk pikiran seseorang. Jika anak-anak cakap berbahasa, mereka akan mampu menata pikiran, menyampaikan gagasan dan berkomunikasi dengan baik. Tujuan akhirnya, kecakapan berbahasa akan membuat transfer pengetahuan atau kegiatan pembelajaran akan semakin baik.
Kelemahan dalam pelajaran bahasa ini, dengan segala aspeknya (seperti komunikasi lisan, membaca efektif, menulis kreatif, dan literasi media) yang akhirnya menyebabkan nilai PISA (metode penilaian internasional yang menjadi indikator untuk mengukur kompetensi siswa di tingkat global) sangat rendah. Untuk nilai kompetensi Membaca, Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai Matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sedangkan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Nilai tersebut cenderung stagnan dalam 10 - 15 tahun terakhir.
Di Indonesia, usaha pemerintah melalui kementrian pendidikan untuk memperbaiki hal tersebut sudah ada sejak lama. Saat ini, Ujian Nasional SD ditiadakan dan UN untuk tingkat sekolah yang lebih tinggi diganti menjadi AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) yang berguna untuk mengukur kinerja sekolah berdasarkan literasi dan numerasi siswa, dua kompetensi inti yang menjadi fokus tes PISA, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), dan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). Perbaikan ini tentu membutuhkan proses yang mungkin akan panjang.
Mengharapkan perubahan dari institusi yang tingkat korupsinya termasuk yang paling besar, memang membuat frustasi. Namun usaha mendidik bukanlah usaha pemerintah semata. Sebagai praktisi homeschooling yang membaca nilai PISA itu, saya tergerak untuk mengingatkan kembali terutama pada diri saya untuk lebih peduli pada literasi anak. Maka dengan rendah hati, saya mengajak orang-orang yang peduli pada pendidikan anak untuk memulai gerakan membaca cerita. Dimulai dari diri sendiri, dari rumah.
Saya bahkan masih membacakan cerita atau buku untuk Nada padahal waktu itu ia sudah lancar membaca. Walaupun pada akhirnya karena tidak sabaran dan penasaran, ia akhirnya membaca sendiri. Sekarang, tidak ada yang bisa menghentikan kesenangannya membaca. Pada umur 8 tahun ia telah menamatkan 7 jilid novel Harry Potter.
Selain menumbuhkan kesenangan pada bacaan, membuat anak-anak terbiasa paham dengan Bahasa dan segala seluk beluk Bahasa dari mulai majas, struktur, logika dan banyak hal lain tanpa harus membebani mereka dengan terori-teori kebahasaan, membacakan cerita juga bisa lebih mendekatkan anak dengan orang tua.
Lebih dari itu, pelajaran penting lain termasuk pengembangan karakter bisa dilakukan. Saya percaya, cerita adalah alat mendidik yang paling efektif karena menarik dan bisa mempengaruhi dengan halus, tanpa berteriak atau menceramahi. Saya mendongeng untuk mengatakan bahwa orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat buruk, tapi yang menyesali perbuatan buruk dan punya keinginan untuk berubah. Saya bercerita untuk mengganti kalimat, “Membalas boleh dilakukan, namun jangan berlebihan.” atau “Tidak ada yang ingin berteman dengan pembohong.”
Saya biasanya memakai cerita Buaya, Kancil dan Kerbau untuk menumbuhkan karakter jujur. Beberapa waktu lalu, Aira (3 tahun) mengulang cerita tersebut dengan lancar. Membaca cerita sungguh kegiatan yang mudah tapi berdampak besar untuk perkembangan anak. Lagipula, tidak ada orang yang bisa menolak cerita. Milton Erickson ahli hypnosis itu pernah bilang, “Orang tidak menolak cerita. Orang bisa menolak saran atau nasihat, tetapi ia tidak bisa menolak cerita. Orang hanya bisa menerima cerita yang disampaikan kepadanya, dan pada saat yang sama ia menerima semua pesan tersirat yang menyentuh bawah sadarnya."
Apa yang biasa dilakukan orangtua untuk mengajari anak membaca? Memberikan pelajaran-pelajaran membaca huruf dan kalimat melalui metode-metode yang bermacam-macam. Bahkan seringkali memaksa anak dalam umur tertentu (biasanya 7 tahun) untuk harus bisa membaca.
Apakah cara itu salah? Bisa ya, bisa tidak. Satu hal yang pasti, memaksa anak untuk mempelajari yang tidak ia suka atau ia butuhkan adalah tindakan percuma. Ada dua alasan seseorang mau belajar secara sukarela. Pertama, ia membutuhkannya. Kedua, ia menyukainya. Jika dua hal itu tidak ada, maka pembelajaran akan terasa kosong, bahkan bisa jadi tidak berguna. Mengajari anak membaca kalimat-kalimat adalah hal yang mudah. Tapi tujuannya bukan hanya membaca, melainkan menyukai membaca.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara menumbuhkan minat baca anak? Masing-masing anak punya tahap dan perjalannannya sendiri, yang sering tidak sama dengan anak-anak lain. Oleh karena itu, usaha untuk memupuk anak untuk suka membaca perlu dipelajari. Kuncinya di kesabaran pada proses. Metode, teknik, atau cara, menyusul dan berkembang sesuai dengan kemampuan anak.
Hal pertama dan utama yang harus dilakukan adalah membuat anak senang dengan cerita. Jika anak sudah menyukai cerita, dan pasti menyukainya, maka itu akan jadi pupuk untuk mereka menyukai membaca. Bahkan sebelum mereka benar-benar bisa membaca. Jadi bukan pelajaran membacanya yang ditekankan terlebih dulu, tapi kesenangan pada bacaan.
Jadi ketika Safa (7 tahun) belum bisa membaca dengan lancar, saya sama sekali tidak khawatir. Apalagi membandingkan dengan Nada yang dulu pada usia Safa perkembangan membacanya sangat pesat. Karena memang tujuan utamanya bukan pada bisa membaca, tapi kesenangan pada membaca. Dengan tujuan itu, menekan anak untuk bisa membaca malah bisa menyebabkan ia jadi benci membaca. Itu akan jadi tindakan yang kontra produktif. Anak akan sendirinya membaca jika ia sudah suka dengan bacaan, dalam hal ini ditumbuhkan dengan membacakan cerita.
Saya akan melebarkan pembahasan membaca dan kesenangan membaca dengan pelajaran bahasa. Di Finlandia, siswa sekolah dasar kelas satu dan dua, tiap hari mengawali kelas dengan pelajaran Modersmål atau Bahasa Ibu. Sementara untuk kelas tiga sampai enam, Modersmål selalu ditempatkan pada jam pertama setiap Senin.
Apa yang dilakukan para guru dalam pelajaran itu? Membacakan cerita. Setelah mendengarkan cerita, murid-murid diminta melakukan aktifitas lanjutan seperti menggambar ilustrasi atau bahkan untuk anak kelas lima dan enam, anak-anak diminta membuat musik berdasarkan cerita yang dibacakan.
Jadi pelajaran Modersmål (Bahasa Indonesia jika di Indonesia) dengan penyampaian melalui cerita merupakan pelajaran paling penting bagi anak-anak. Bayangkan, dalam 5 hari sekolah, kelas satu dan dua belajar Bahasa selama 7 jam. Untuk kelas tiga dan empat 6 jam. Sementara untuk kelas enam 5 jam.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa Finalandia, negara dengan kualitas pendidikan
terbaik di dunia menekankan pentingnya pelajaran bahasa di usia sekolah dasar?
Sederhana, karena bahasa adalah alat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Kaitan bahasa dengan pelajaran-pelajaran lain sangat erat, bahkan tanpa kecakapan berbahasa, anak-anak akan kesulitan memahami matematika. Karena manusia berpikir dengan bahasa dan bahasa membentuk pikiran seseorang. Jika anak-anak cakap berbahasa, mereka akan mampu menata pikiran, menyampaikan gagasan dan berkomunikasi dengan baik. Tujuan akhirnya, kecakapan berbahasa akan membuat transfer pengetahuan atau kegiatan pembelajaran akan semakin baik.
Kelemahan dalam pelajaran bahasa ini, dengan segala aspeknya (seperti komunikasi lisan, membaca efektif, menulis kreatif, dan literasi media) yang akhirnya menyebabkan nilai PISA (metode penilaian internasional yang menjadi indikator untuk mengukur kompetensi siswa di tingkat global) sangat rendah. Untuk nilai kompetensi Membaca, Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai Matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sedangkan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Nilai tersebut cenderung stagnan dalam 10 - 15 tahun terakhir.
Di Indonesia, usaha pemerintah melalui kementrian pendidikan untuk memperbaiki hal tersebut sudah ada sejak lama. Saat ini, Ujian Nasional SD ditiadakan dan UN untuk tingkat sekolah yang lebih tinggi diganti menjadi AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) yang berguna untuk mengukur kinerja sekolah berdasarkan literasi dan numerasi siswa, dua kompetensi inti yang menjadi fokus tes PISA, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), dan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). Perbaikan ini tentu membutuhkan proses yang mungkin akan panjang.
Mengharapkan perubahan dari institusi yang tingkat korupsinya termasuk yang paling besar, memang membuat frustasi. Namun usaha mendidik bukanlah usaha pemerintah semata. Sebagai praktisi homeschooling yang membaca nilai PISA itu, saya tergerak untuk mengingatkan kembali terutama pada diri saya untuk lebih peduli pada literasi anak. Maka dengan rendah hati, saya mengajak orang-orang yang peduli pada pendidikan anak untuk memulai gerakan membaca cerita. Dimulai dari diri sendiri, dari rumah.
Saya bahkan masih membacakan cerita atau buku untuk Nada padahal waktu itu ia sudah lancar membaca. Walaupun pada akhirnya karena tidak sabaran dan penasaran, ia akhirnya membaca sendiri. Sekarang, tidak ada yang bisa menghentikan kesenangannya membaca. Pada umur 8 tahun ia telah menamatkan 7 jilid novel Harry Potter.
Selain menumbuhkan kesenangan pada bacaan, membuat anak-anak terbiasa paham dengan Bahasa dan segala seluk beluk Bahasa dari mulai majas, struktur, logika dan banyak hal lain tanpa harus membebani mereka dengan terori-teori kebahasaan, membacakan cerita juga bisa lebih mendekatkan anak dengan orang tua.
Lebih dari itu, pelajaran penting lain termasuk pengembangan karakter bisa dilakukan. Saya percaya, cerita adalah alat mendidik yang paling efektif karena menarik dan bisa mempengaruhi dengan halus, tanpa berteriak atau menceramahi. Saya mendongeng untuk mengatakan bahwa orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat buruk, tapi yang menyesali perbuatan buruk dan punya keinginan untuk berubah. Saya bercerita untuk mengganti kalimat, “Membalas boleh dilakukan, namun jangan berlebihan.” atau “Tidak ada yang ingin berteman dengan pembohong.”
Saya biasanya memakai cerita Buaya, Kancil dan Kerbau untuk menumbuhkan karakter jujur. Beberapa waktu lalu, Aira (3 tahun) mengulang cerita tersebut dengan lancar. Membaca cerita sungguh kegiatan yang mudah tapi berdampak besar untuk perkembangan anak. Lagipula, tidak ada orang yang bisa menolak cerita. Milton Erickson ahli hypnosis itu pernah bilang, “Orang tidak menolak cerita. Orang bisa menolak saran atau nasihat, tetapi ia tidak bisa menolak cerita. Orang hanya bisa menerima cerita yang disampaikan kepadanya, dan pada saat yang sama ia menerima semua pesan tersirat yang menyentuh bawah sadarnya."
Published on January 29, 2021 13:47
December 29, 2020
Langit
Aku menggunting langit dengan kamera. Di bawahnya mengalir sungai Piedra, memantulkan sinar mentari muda.
“Seberapa penting selembar gambar yang tidak simetris ini bagi keabadian?” kamu bertanya disela beribadah di depan layar. Wajahmu rembulan bersinar memantulkan cahaya dari kotak terang, kolam dunia niskala yang membelenggu perasaan.
“Apakah kenangan yang melekat pada guratan warnanya juga akan menempel sampai seribu tahun?” aku menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Kamu meletakan sepotong langit malam di mading pinggir jalan; dengan ribuan lampu-lampu seperti bebintang, awan gemawan, bukit, gunung, danau di kejauhan, hutan, pepohonan, juga bunga dan ilalang.
Tiap orang yang lewat memperhatikan. Sketsa maya yang berisi jutaan titik kecil yang berwarna-warna.
Tiap orang ingin ke bukit tujuan. Melihat mayapada berselimut halimun pada ketinggian. Entah sampai, atau mati di persimpangan.
Tiap orang punya perjalanan. Dunia dimana mereka menggunting hal-hal penting yang dipakai untuk membungkus kehidupan.
Dalam mendung dingin perjalanan yang membuat takut, aku ingin berharap dan kagum bersamamu.
Kamu selapis angkasa, cakrawala jingga yang nyata. Terbentang jauh memenuhi ufuk, memberi arti pada lanskap. Biarkan aku tengadah sebentar, memandang bahagia yang terkadang pudar.
Saat ini adalah selama-lamanya, sampai malam menelanmu dan lampu-lampu kota menjadi menawan.
Sinar mentari muda menyapa. Aku menyiapkan mata sebagai kamera. Ada lubang kotak terbuka di awang, dan aku tahu, mata kita beradu di atas sana.
2020
“Seberapa penting selembar gambar yang tidak simetris ini bagi keabadian?” kamu bertanya disela beribadah di depan layar. Wajahmu rembulan bersinar memantulkan cahaya dari kotak terang, kolam dunia niskala yang membelenggu perasaan.
“Apakah kenangan yang melekat pada guratan warnanya juga akan menempel sampai seribu tahun?” aku menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
Kamu meletakan sepotong langit malam di mading pinggir jalan; dengan ribuan lampu-lampu seperti bebintang, awan gemawan, bukit, gunung, danau di kejauhan, hutan, pepohonan, juga bunga dan ilalang.
Tiap orang yang lewat memperhatikan. Sketsa maya yang berisi jutaan titik kecil yang berwarna-warna.
Tiap orang ingin ke bukit tujuan. Melihat mayapada berselimut halimun pada ketinggian. Entah sampai, atau mati di persimpangan.
Tiap orang punya perjalanan. Dunia dimana mereka menggunting hal-hal penting yang dipakai untuk membungkus kehidupan.
Dalam mendung dingin perjalanan yang membuat takut, aku ingin berharap dan kagum bersamamu.
Kamu selapis angkasa, cakrawala jingga yang nyata. Terbentang jauh memenuhi ufuk, memberi arti pada lanskap. Biarkan aku tengadah sebentar, memandang bahagia yang terkadang pudar.
Saat ini adalah selama-lamanya, sampai malam menelanmu dan lampu-lampu kota menjadi menawan.
Sinar mentari muda menyapa. Aku menyiapkan mata sebagai kamera. Ada lubang kotak terbuka di awang, dan aku tahu, mata kita beradu di atas sana.
2020
Published on December 29, 2020 17:05