Nailal Fahmi's Blog, page 14
March 28, 2020
Serial Bumi; Novel Lokal dengan Citarasa Global

Serial Bumi - Tere Liye memang bukan jenis buku yang akan saya baca pada pada usia ini, ataupun belasan tahun yang lalu saat saya masih remaja, tentu jika novel itu sudah ada. Bukan karena isinya, tapi semata-mata karena genre. Fantasy tidak pernah jadi pilihan ketika saya dihadapkan pada bacaan novel. Bukan berati saya alergi genre itu, hanya Fantasy tidak akan pernah menjadi pilihan utama. Maka sama seperti ketika istri mendorong saya membaca The Hobbit, adalah Nada yang membuat saya membaca Serial Bumi. Bahkan seperti lingkaran yang tak bersudut, adalah saya yang mengenalkan Nada kepada serial tersebut.
Serial Bumi punya beberapa judul. Saya membaca sampai Bintang (Bumi, Bulan,Matahari dan Bintang. Masih ada Ceros dan Batozar, Komet, Komet Minor, sementara dua yang baru saja terbit adalah Selena dan Nebula). Total ada 9 judul novel dari seri tersebut. Saya meminta Nada untuk menulis resensi setelah selesai membaca novel-novel itu, dan Nada malah bertanya mengapa saya tidak membuat resensi pada buku yang saya baca. Saya sudah melakukannya, hanya memang tidak kepada semua buku yang saya baca. Ia meminta saya mereview juga Serial Bumi. Maka disinilah saya, membuat resensi atas permintaan itu.
Petualangan Raib, Seli dan Ali dalam mencari jatidiri juga melawan musuh bebuyutan Si Tanpa Mahkota, mengingatkan saya pada perpaduan antara Harry Potter, The Hobbit, Lord of the Rings, Narnia dan beberapa novel fantasi anak-anak yang populer. Sebagai novel yang terinspirasi dari novel luar, Serial Bumi berhasil memasukan cita rasa, banyolan dan nuansa lokal di setiap serinya. Apakah ia berhasil secara penulisan, alur, tokoh dan kemudian membuat fanbase lokal Indonesia terhadap serial ini? Menurut saya berhasil. Namun membandingkan karya tersebut dengan suksesornya seperti karya-karya JK Rowling, JRR Tolkien atau CS Lewis baik dalam cakupan pembaca dan kualitas cerita tentu akan menjadi tidak adil. Ini sama tidak adilnya membandingkan kualitas cerita, gambar dan ketokohan Gundala dan Kapten Amerika atau Godam dan Superman.
Seperti karya lokal bercitarasa internasional dalam berbagai bidang lain seperti musik, film dan komik, Serial Bumi juga memiliki kemiripan-kemiripan yang hampir identik. Ada beberapa bagian yang menginatkan saya pada permainan teka-teki Bilbo dengan Smeagol, atau pertarungan Harry Potter dan kawan-kawan melawan Voldemort, atau ketika Harry mengikuti turnamen 3 Wizards untuk memperebutkan Goblet of Fire, atau petualangan anak-anak remaja ke negeri Narnia. Tidak ada yang baru di bawah langit ini, satu sama lain bisa saling mempengaruhi. Dalam dunia kesusastraan kita banyak menemui hal seperti itu. Selama bukan plagiat hal itu bisa dimengerti. Dewi Lestari menulis Aroma Karsa karena terinspirasi Perfume - Patric Suskind, Laskar Pelangi terinspirasi dari Toto Chan, atau Dodolitdodolitdodolitbret dengan Three Hermits dan lain sebagainya.
Serial ini layak mendapat tempat khusus di hati para penggemar novel fantasy. Saya merekomendasikan kepada siapa saja yang ingin mendapat pengalaman membaca novel internasional dengan citarasa lokal, dengan bahasa yang ringan dan bisa dinikmati segala umur, untuk coba membacanya.
Sejujurnya saya salut dengan buku jenis ini. Karena di saat beberapa orang menganggap tidak ada buku bacaan anak berbahasa Indonesia yang bagus, bahkan tahun lalu (2019) Dewan Kesenian Jakarta membuat Sayembara Cerita Anak-Anak dan tidak satupun tulisan yang menjadi pemenang, ternyata ada penulis yang membuktikan bahwa bagus tidaknya buku anak diukur oleh seberapa banyak anak yang senang dengan buku tersebut bahkan jika buku-buku tersebut tidak direkomendasikan oleh siapapun atau memenangi sayembara apapun.
Boleh setuju boleh tidak.

Published on March 28, 2020 01:44
February 23, 2020
Simulasi Kedatangan Al Masih

Controversial since the beginning. Mind-blowing with lots of complexity; social, religion, political based agenda mixed in one pot.
Simulasi kedatangan Al Masih dengan bumbu intrik politik dalam nuansa masalah-masalah dunia kekinian. Dengan skenario dan sinematografi yang brilian, detail dan tidak berlebihan. Mengusung premis sederhana tentang apakah kebenaran itu bisa dipahami dengan hitam-putih atau abu-abu dengan banyak gradasi tergantung perspektif yang dipakai.
Gabungan antara Now You See Me, Geostorm dan seperti menikmati Miles sang Milenial Prophet dalam God Friended Me ketika ia bertarung dengan dirinya sendiri untuk memastikan antara adanya eksistensi Tuhan atau hanya sebuah persengkongkolan ahli teknologi mutakhir.
Pada akhirnya ia menghentak pikiran kita dalam merenungi kesadaran kemanusian yang semakin rapuh.
Published on February 23, 2020 00:51
January 28, 2020
anak kecil dalam diri
ia anak kurus yang gelisahtidak pernah beranjak dewasa dan besartapi selalu jernih dan tegar
ia anak dalam diriku bicara,“seberapa lama selamalamanya?”bukankah dunia ini sudah membosankan?jadi buat apa keabadian?
pertanyaan itu membuat liang di dadaseperti lubang gelap di langitlangitmenakuti mata yang menatapketika panas membuat kepalaku beratdan degup jantung terdengar seperti langkah raksasa
masa depan selalu datang cepataku yang selalu terlambat mengenal dirimemunguti serpihan diriku di masa lalusepotong pagi dalam pantulan jendela setelah hujanpadang hijau dengan lumpur di kaki menodai ujungbaju anak yang berlari di pematang
menggali kebenaran di rak kitab-kitab suciaku benci bersikap tidak adilaku benci keras kepala pada hal yang tidak masuk logika sederhanamemahami kesatuan sumber hirukpikuk ini bermulaapakah kebebasan sungguh membebaskan untuk berpikir?
ia anak dalam diriku tidak mau pulang,bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan
aku di sini menunggucahaya matahari masuk ke dalam mataku yang belum juga buta
ia anak dalam diriku bicara,“seberapa lama selamalamanya?”bukankah dunia ini sudah membosankan?jadi buat apa keabadian?
pertanyaan itu membuat liang di dadaseperti lubang gelap di langitlangitmenakuti mata yang menatapketika panas membuat kepalaku beratdan degup jantung terdengar seperti langkah raksasa
masa depan selalu datang cepataku yang selalu terlambat mengenal dirimemunguti serpihan diriku di masa lalusepotong pagi dalam pantulan jendela setelah hujanpadang hijau dengan lumpur di kaki menodai ujungbaju anak yang berlari di pematang
menggali kebenaran di rak kitab-kitab suciaku benci bersikap tidak adilaku benci keras kepala pada hal yang tidak masuk logika sederhanamemahami kesatuan sumber hirukpikuk ini bermulaapakah kebebasan sungguh membebaskan untuk berpikir?
ia anak dalam diriku tidak mau pulang,bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan
aku di sini menunggucahaya matahari masuk ke dalam mataku yang belum juga buta
Published on January 28, 2020 23:23
Pertanyaan Keimanan
“Sebelum ada Allah itu ada apa?” Safa bertanya beberapa saat sebelum tidur. Matanya terlihat lelah, tapi pertanyaan yang ia tujukan ke saya itu tajam dan butuh penjelasan.
Pertanyaan itu melambungkan saya pada ingatan masa kecil. Saya ingat waktu MI (Madrasah Ibtidaiyah), mungkin umur 7 atau 8 tahun, saya membayangkan suatu saat akan mati dan masuk surga. Tentu saja, karena saya anak baik, pikir saya waktu itu. Kemudian saya hidup di surga selama-lamanya. Dan tiba-tiba pertanyaan itu muncul; berapa lama selama-lamanya?
Pertanyaan itu menghantui saya kecil selama berhari-hari. Dalam tidur yang sendirian, saya menatap langit-langit yang berlubang dengan perasaan resah. Seakan-akan lubang itu ada di dalam dada. Ruang kosong yang dalam dan gelap. Tentu saya belum bisa melukiskan perasaan yang berkecamuk saat itu seperti sekarang. Jika bisa digambarkan mungkin yang berkecamuk itu seperti: seberapa lama selama-lamanya? Bukankah dunia ini sudah membosankan? Jadi buat apa keabadian? Kemudian ada apa setelah selama-lamanya? Kekosongan?
Saya berpikir sejenak menimbang jawaban untuk Safa, “Allah itu yang awal dan yang akhir. Tidak ada sesuatu sebelum Allah.”
Safa terdiam, bola matanya naik kemudian berkomentar, “Aku nggak ngerti.”
“Allah itu bukan seperti manusia yang lahir, hidup, kemudian mati. Allah itu tidak dilahirkan, Allah ada tanpa kelahiran, dan juga tidak punya akhir.”
Safa tidak bereaksi, saya kemudian meneruskan, “Lihat, jari bapak ada berapa?” saya menunjukan 5 jari.
“Ada lima.” Safa menjawab.
“Apa jari sebelum telunjuk?”
“Jempol”
“Apa jari setelah telunjuk?”
“Tengah”
“Apa jari sebelum jempol?”
“Gak ada”
“Ya, begitulah Tuhan. Tidak ada sesuatu sebelum Allah. Dan Allah adalah yang pertama tanpa permulaan. Satu-satunya. Tempat bergantung segala sesuatu. Tidak lahir dan melahirkan. Tidak ada sesuatupun seperti Allah.”
Saya menerjemahkan surat Al-Ikhlas. Tentang contoh lima jari, itu pelajaran Tauhid yang saya dapat waktu kelas 1 Tsanawiyah. Saya tidak tahu apakah Safa yang baru berumur tujuh tahun mengerti pembahasan teologi seperti ini.
Pertanyaan seperti ini juga pernah ditanyakan Nada waktu seumur Safa. Nada pernah bertanya pada ibunya, “Bu, apakah keyakinan kita benar?”
Saya percaya setiap orang yang jujur pada diri sendiri pasti akan sampai pada pertanyaan itu. Pada saya pertanyaan itu muncul ketika berumur 14 atau 15 tahun. Sekitar kelas 3 Tsanawiyah. Krisis keimanan di usia-usia itu memang sering terjadi. Pencarian akan kebenaran pada usia itu menggebu. Tapi untuk anak usia 7 tahun, saya agak terkejut.
Jika pertanyaan itu diajukan setelah Nada dewasa, mungkin saya akan mengajaknya melakukan perbandingan agama-agama. Membandingkan nabi atau pembawa agama. Membandingkan kitab suci. Membandingkan ajaran. Dan membandingkan penganut. Mungkin juga saya akan mengajak membaca The Road to Mecca – Leopold Weiss yang menginspirasi Dr. Jonathan Brown. Atau berdiskusi tentang trilogy Even Angel Ask - Jeffrey Lang, seorang atheis yang menemukan Islam lewat Al Quran. Saya tidak tahu apakah buku-buku itu masih akan relevan dengan pencariannya, atau dia akan menemukan keyakinan sendiri melalu pencarian sendiri. Saya percaya setiap zaman punya tantangan sendiri dan setiap orang punya pencarian masing-masing. Satu hal yang akan terus sama, bahwa kejujuran, kerendahhatian, usaha mencari kebenaran dan pertolongan Allah, akan membawa siapapun menemukan keyakinan yang sejati.
“Allah itu bentuknya apa?” Safa masih di atas Kasur. Matanya terlihat ngantuk tapi belum mau tidur.
“Allah itu tidak berbentuk apapun yang seperti makhluk. Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah.”
Safa mendengarkan. Saya melanjutkan, “Allah Maha Pengasih. Maha Penyayang. Dan Allah juga dekat. Lebih dekat dari urat leher kita. Ia Maha Mengetahui. Mengetahui apa yang lalu, yang akan datang dan apa yang terjadi saat ini bahkan yang ada di hati kita.”
Safa masih diam. Saya bertanya balik, “Menurut kamu, Allah itu bentuknya seperti apa?”
“Bulet.”
“Oke.” Saya tidak menyanggah, malah bertanya, “Allah baik ga?”
“Baik.”
“Kenapa baik?”
“Karena memberi kita makan.”
Malam itu Safa minta lampu kamar tidak dimatikan karena ia takut gelap. Ia minta lampu dimatikan nanti kalau dia sudah tidur. Saya tetap mematikan lampu tapi menemani di kasurnya. Saya memeluk Safa sampai ia tertidur. Sampai saya tertidur. Saya bangun tengah malam dengan tangan kram dan besoknya sebelah tangan saya pegal seharian.
Pertanyaan itu melambungkan saya pada ingatan masa kecil. Saya ingat waktu MI (Madrasah Ibtidaiyah), mungkin umur 7 atau 8 tahun, saya membayangkan suatu saat akan mati dan masuk surga. Tentu saja, karena saya anak baik, pikir saya waktu itu. Kemudian saya hidup di surga selama-lamanya. Dan tiba-tiba pertanyaan itu muncul; berapa lama selama-lamanya?
Pertanyaan itu menghantui saya kecil selama berhari-hari. Dalam tidur yang sendirian, saya menatap langit-langit yang berlubang dengan perasaan resah. Seakan-akan lubang itu ada di dalam dada. Ruang kosong yang dalam dan gelap. Tentu saya belum bisa melukiskan perasaan yang berkecamuk saat itu seperti sekarang. Jika bisa digambarkan mungkin yang berkecamuk itu seperti: seberapa lama selama-lamanya? Bukankah dunia ini sudah membosankan? Jadi buat apa keabadian? Kemudian ada apa setelah selama-lamanya? Kekosongan?
Saya berpikir sejenak menimbang jawaban untuk Safa, “Allah itu yang awal dan yang akhir. Tidak ada sesuatu sebelum Allah.”
Safa terdiam, bola matanya naik kemudian berkomentar, “Aku nggak ngerti.”
“Allah itu bukan seperti manusia yang lahir, hidup, kemudian mati. Allah itu tidak dilahirkan, Allah ada tanpa kelahiran, dan juga tidak punya akhir.”
Safa tidak bereaksi, saya kemudian meneruskan, “Lihat, jari bapak ada berapa?” saya menunjukan 5 jari.
“Ada lima.” Safa menjawab.
“Apa jari sebelum telunjuk?”
“Jempol”
“Apa jari setelah telunjuk?”
“Tengah”
“Apa jari sebelum jempol?”
“Gak ada”
“Ya, begitulah Tuhan. Tidak ada sesuatu sebelum Allah. Dan Allah adalah yang pertama tanpa permulaan. Satu-satunya. Tempat bergantung segala sesuatu. Tidak lahir dan melahirkan. Tidak ada sesuatupun seperti Allah.”
Saya menerjemahkan surat Al-Ikhlas. Tentang contoh lima jari, itu pelajaran Tauhid yang saya dapat waktu kelas 1 Tsanawiyah. Saya tidak tahu apakah Safa yang baru berumur tujuh tahun mengerti pembahasan teologi seperti ini.
Pertanyaan seperti ini juga pernah ditanyakan Nada waktu seumur Safa. Nada pernah bertanya pada ibunya, “Bu, apakah keyakinan kita benar?”
Saya percaya setiap orang yang jujur pada diri sendiri pasti akan sampai pada pertanyaan itu. Pada saya pertanyaan itu muncul ketika berumur 14 atau 15 tahun. Sekitar kelas 3 Tsanawiyah. Krisis keimanan di usia-usia itu memang sering terjadi. Pencarian akan kebenaran pada usia itu menggebu. Tapi untuk anak usia 7 tahun, saya agak terkejut.
Jika pertanyaan itu diajukan setelah Nada dewasa, mungkin saya akan mengajaknya melakukan perbandingan agama-agama. Membandingkan nabi atau pembawa agama. Membandingkan kitab suci. Membandingkan ajaran. Dan membandingkan penganut. Mungkin juga saya akan mengajak membaca The Road to Mecca – Leopold Weiss yang menginspirasi Dr. Jonathan Brown. Atau berdiskusi tentang trilogy Even Angel Ask - Jeffrey Lang, seorang atheis yang menemukan Islam lewat Al Quran. Saya tidak tahu apakah buku-buku itu masih akan relevan dengan pencariannya, atau dia akan menemukan keyakinan sendiri melalu pencarian sendiri. Saya percaya setiap zaman punya tantangan sendiri dan setiap orang punya pencarian masing-masing. Satu hal yang akan terus sama, bahwa kejujuran, kerendahhatian, usaha mencari kebenaran dan pertolongan Allah, akan membawa siapapun menemukan keyakinan yang sejati.
“Allah itu bentuknya apa?” Safa masih di atas Kasur. Matanya terlihat ngantuk tapi belum mau tidur.
“Allah itu tidak berbentuk apapun yang seperti makhluk. Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah.”
Safa mendengarkan. Saya melanjutkan, “Allah Maha Pengasih. Maha Penyayang. Dan Allah juga dekat. Lebih dekat dari urat leher kita. Ia Maha Mengetahui. Mengetahui apa yang lalu, yang akan datang dan apa yang terjadi saat ini bahkan yang ada di hati kita.”
Safa masih diam. Saya bertanya balik, “Menurut kamu, Allah itu bentuknya seperti apa?”
“Bulet.”
“Oke.” Saya tidak menyanggah, malah bertanya, “Allah baik ga?”
“Baik.”
“Kenapa baik?”
“Karena memberi kita makan.”
Malam itu Safa minta lampu kamar tidak dimatikan karena ia takut gelap. Ia minta lampu dimatikan nanti kalau dia sudah tidur. Saya tetap mematikan lampu tapi menemani di kasurnya. Saya memeluk Safa sampai ia tertidur. Sampai saya tertidur. Saya bangun tengah malam dengan tangan kram dan besoknya sebelah tangan saya pegal seharian.
Published on January 28, 2020 23:16
January 8, 2020
Saya Belajar...
Saya belajar bahwa kita tidak bisa memaksa seseorang mencintai. Yang bisa kita lakukan adalah menjadi orang yang dicintai. Sisanya terserah mereka. Saya belajar sebesar apapun kepedulian saya kepada mereka, mereka tidak akan membalas kepedulian itu. Saya belajar bahwa butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan, dan hanya butuh beberapa detik untuk menghancurkannya. Saya belajar bahwa kita boleh terpesona pada satu hal paling tidak untuk lima belas menit. Setelah itu sebaiknya kita mendapat pelajaran. Saya belajar untuk memilih antara mengendalikan sikap atau sikap itu yang mengendalikan saya. Saya belajar seberapa mesra dan menggebu suatu hubungan di awal, gairahnya akan memudar dan sebaiknya ada perasaan lain untuk menggantikan. Saya belajar bahwa kadang-kadang orang yang kita kira akan menertawakan ketika susah adalah orang yang membantu untuk bangkit kembali. Saya belajar bahwa ketika saya marah, saya punya hak untuk marah. Saya belajar bahwa persahabatan sejati terus tumbuh, bahkan ketika berada di tempat yang jauh. Sama halnya dengan cinta sejati. Saya belajar bahwa hanya karena seseorang tidak mencintai seperti yang kamu mau, bukan berarti mereka tidak mencintaimu sepenuh hati. Saya belajar bahwa kedewasaan itu adalah tentang pelajaran yang kita dapat dari pengalaman, bukan tentang seberapa banyak ulang tahun yang dirayakan. Saya belajar bahwa keluarga tidak selalu ada untukmu. Saya belajar bahwa tidak peduli seberapa baik seorang teman, mereka sesekali akan menyakitimu. Saya belajar bahwa dimaafkan oleh orang lain tidak selalu cukup. Terkadang kita harus memaafkan diri sendiri. Saya belajar bahwa seberapapun hancur hatimu, dunia tidak akan berhenti hanya untuk kesedihanmu. Saya belajar bahwa latar belakang dan keadaan mungkin mempengaruhi kita, tetapi kita bertanggung jawab untuk menjadi seperti apa. Saya belajar bahwa hanya karena dua orang berdebat bukan berarti mereka tidak saling mencintai. Dan hanya karena mereka tidak berdebat, bukan berarti mereka akur. Saya belajar bahwa kita tidak perlu berganti teman jika kita sadar bahwa teman memang berubah. Saya belajar bahwa dua orang bisa melihat hal yang persis sama tapi dengan perspektif yang sama sekali berbeda. Saya belajar bahwa sekuat apapun kita mencoba melindungi anak kita, pada akhirnya mereka akan terluka juga, dan kita akan terluka dalam proses itu. Saya belajar bahwa hidupmu bisa berubah dalam hitungan jam oleh orang-orang yang bahkan tidak mengenalmu. Saya belajar bahwa sulit untuk menentukan batas antara bersikap baik dan tidak melukai perasaan orang lain dengan membela apa yang kita yakini. Diterjemahkan dari: Paulo Coelho
Published on January 08, 2020 19:05
January 4, 2020
Kawan yang Sulit Ditemui
Kita tentu punya kawan yang jika ada kumpul-kumpul, tidak pernah datang. Bukan karena ada halangan atau rumah jauh, tapi memang tidak mau hadir. Tidak membalas pesan, seluruh social media tidak aktif, dan nomor telpon berganti-ganti. Dalam kasus saya, kawan itu bernama Tato Sumarto.
Saya lupa kapan terakhir ketemu Tato. Saking lamanya saya membayangkan bertahun-tahun yang akan datang, suatu malam, di atas kasur sebelum tidur, sambil mengecek HP masing-masing, saya dan istri akan bercakap-cakap.
“Bang, inget Tato gak?” mungkin istri saya bilang.
“Tato yang mana ya?”
“Itu, Tato dulu temen di 10.”
“Ooohh,” saya mulai ingat, “Kenapa dia? Meninggal?”
“Engaaak.” Istri saya menjawab cepat.
“Eh, kirain.” Saya menjelaskan, “Biasanya kan pertanyaan ‘inget si anu gak?’ atau ‘kenal si anu gak?’, itu pertanyaan standar buat membuka kabar duka cita.”
“Enggak. Dia katanya mau pergi haji naik rakit gedebong pisang.”
Beberapa waktu lalu, tanpa diduga Tato datang ke acara kumpul-kumpul dadakan. Ternyata ia masih sama. Kami masih sama. Dengan sense of humor yang sama. Beberapa kawan mengenang nostalgia ketika kita masih sama-sama kerja bareng. Saya tidak punya kenangan-kenangan melancholy penuh tangis tawa seperti itu. Oh, selain kenangan bergantian menyediakan buka puasa bersama waktu Ramadhan. Oh, juga kenangan menginap karena kerja terlalu larut. Oh, juga acara-acara bersama, jalan-jalan bersama, asmara dan. Sial. Banyak juga ya.
Sekarang kami telah berpisan tempat kerja, tempat kerja lama yang dulu menyatukan kami sudah tidak ada. Saya ingat di tempat itu Tato pernah bertanya pertanyaan yang saya belum jawab sampai sekarang. Beberapa waktu setelah saya menikah, dia tanya, “Bang, apa bedanya waktu lu masih singgel sama sekarang udah nikah?”
Sengaja saya tidak menjawab dengan jelas waktu itu. Supaya ia penasaran, terjebak dan ingin menikah. Sekarang ia sudah terjebak pada pernikahan. Pada ketakutan-ketakutan dan tantangan yang kadang absurd. Memang kesengsaraan perlu dibagi-bagi bukan?
Saya mendukung Tato untuk mengedepankan mental masa bodo terhadap pandangan-pandangan orang lain tentang dirinya. Paling tidak sampai lumba-lumba dalam perutnya berubah jadi naga.
Saya lupa kapan terakhir ketemu Tato. Saking lamanya saya membayangkan bertahun-tahun yang akan datang, suatu malam, di atas kasur sebelum tidur, sambil mengecek HP masing-masing, saya dan istri akan bercakap-cakap.
“Bang, inget Tato gak?” mungkin istri saya bilang.
“Tato yang mana ya?”
“Itu, Tato dulu temen di 10.”
“Ooohh,” saya mulai ingat, “Kenapa dia? Meninggal?”
“Engaaak.” Istri saya menjawab cepat.
“Eh, kirain.” Saya menjelaskan, “Biasanya kan pertanyaan ‘inget si anu gak?’ atau ‘kenal si anu gak?’, itu pertanyaan standar buat membuka kabar duka cita.”
“Enggak. Dia katanya mau pergi haji naik rakit gedebong pisang.”
Beberapa waktu lalu, tanpa diduga Tato datang ke acara kumpul-kumpul dadakan. Ternyata ia masih sama. Kami masih sama. Dengan sense of humor yang sama. Beberapa kawan mengenang nostalgia ketika kita masih sama-sama kerja bareng. Saya tidak punya kenangan-kenangan melancholy penuh tangis tawa seperti itu. Oh, selain kenangan bergantian menyediakan buka puasa bersama waktu Ramadhan. Oh, juga kenangan menginap karena kerja terlalu larut. Oh, juga acara-acara bersama, jalan-jalan bersama, asmara dan. Sial. Banyak juga ya.
Sekarang kami telah berpisan tempat kerja, tempat kerja lama yang dulu menyatukan kami sudah tidak ada. Saya ingat di tempat itu Tato pernah bertanya pertanyaan yang saya belum jawab sampai sekarang. Beberapa waktu setelah saya menikah, dia tanya, “Bang, apa bedanya waktu lu masih singgel sama sekarang udah nikah?”
Sengaja saya tidak menjawab dengan jelas waktu itu. Supaya ia penasaran, terjebak dan ingin menikah. Sekarang ia sudah terjebak pada pernikahan. Pada ketakutan-ketakutan dan tantangan yang kadang absurd. Memang kesengsaraan perlu dibagi-bagi bukan?
Saya mendukung Tato untuk mengedepankan mental masa bodo terhadap pandangan-pandangan orang lain tentang dirinya. Paling tidak sampai lumba-lumba dalam perutnya berubah jadi naga.
Published on January 04, 2020 17:19
December 29, 2019
Pulang
Pagi di kota yang gelisah, ada selangit pulang dalam rindu ungu. Aku merindukanmu seperti kehangatan kamar bagi pendaki yang tersesat di rimba kata.
Kamu bangun di pagi yang sudah terang. Dari jendela kamu melihat burung-burung kecil berkicau. Semalam ketika langit menampakkan sisi paling gelap kamu masih terjaga.
Kamu adalah pulangku. Rumah dimana hati dan nyawaku berteduh. Ketika langit berwarna kusam dan dingin, aku pulang kepada aroma tubuhmu.
Rumah adalah bentuk pulang paling azali. Pernahkah kamu berjalan terlalu jauh, hingga tiba-tiba merindukan rumah dan segala yang ada di dalamnya? Atau gelisah dan sepi karena jalan pulang tertutup buram kaca jendela?
Tak ada orang yang tak punya pulang. Seorang pengembara juga butuh tenda, atau selembar kardus untuk tidur, atap adalah langit, tempat ia berkunjung ke pangkuan mimpi.
Kamu hanya perlu percaya pada perasaan yang mengaduk-aduk perut, yang mungkin saja kamu abaikan, tapi tidak bisa kamu sangkal. Karena dimana hatimu berada, disana pulangmu berada.
Setelah itu aku akan menulis kata-kata sederhana tentang sore yang tidak pernah kehabisan rona. Tentang kita yang berangkulan mendaki pulang di puncak senja.
selamat ulang tahun,
yang fana itu pergi
pulang abadi
Kamu bangun di pagi yang sudah terang. Dari jendela kamu melihat burung-burung kecil berkicau. Semalam ketika langit menampakkan sisi paling gelap kamu masih terjaga.
Kamu adalah pulangku. Rumah dimana hati dan nyawaku berteduh. Ketika langit berwarna kusam dan dingin, aku pulang kepada aroma tubuhmu.
Rumah adalah bentuk pulang paling azali. Pernahkah kamu berjalan terlalu jauh, hingga tiba-tiba merindukan rumah dan segala yang ada di dalamnya? Atau gelisah dan sepi karena jalan pulang tertutup buram kaca jendela?
Tak ada orang yang tak punya pulang. Seorang pengembara juga butuh tenda, atau selembar kardus untuk tidur, atap adalah langit, tempat ia berkunjung ke pangkuan mimpi.
Kamu hanya perlu percaya pada perasaan yang mengaduk-aduk perut, yang mungkin saja kamu abaikan, tapi tidak bisa kamu sangkal. Karena dimana hatimu berada, disana pulangmu berada.
Setelah itu aku akan menulis kata-kata sederhana tentang sore yang tidak pernah kehabisan rona. Tentang kita yang berangkulan mendaki pulang di puncak senja.
selamat ulang tahun,
yang fana itu pergi
pulang abadi
Published on December 29, 2019 22:42
December 15, 2019
Masa Depan yang Mengajariku Bermimpi
Namaku Iro. Umurku 27 tahun. Seperti kebanyakan milenial, mimpiku adalah bisa keliling dunia, bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang di seluruh dunia, membuat start up, dan menjadi content creator. Mimpiku masih seperti itu sampai ada seorang perempuan bernama Kayla, mengatakan bahwa semua mimpi itu akan terwujud, aku menjadi kaya raya, tapi diakhir hidup tidak bahagia. Ia bilang aku akan berumur panjang, 89 tahun 3 hari, dan akan meninggal di panti jompo. Sendirian. Ia mengatakan itu dengan keyakinan dan detail yang sulit ditandingi oleh siapapun yang pernah aku kenal. Ia serius ketika bilang datang dari masa depan.
*
“Oke. Ini memang foto asli.” aku mengembalikan sebuah foto bergambar beberapa anak TK yang berkerumun tidak teratur, di tengah mereka sedang tersenyum seorang laki-laki dengan uban memenuhi rambut dan jenggot. Latar belakang foto itu seperti ruang belajar dengan tembok penuh kreasi yang aneh, tidak jauh dari tembok itu ada sesuatu seperti jam digital yang menunjukan tahun 2052. Kayla mengatakan bahwa laki-laki tua dalam foto tersebut adalah aku, dan anak perempuan di pangkuanku adalah dirinya.
“Jadi sudah percaya, Prof. Eh, maksud saya, Mas.” komentar Kayla sambil menerima foto tersebut.
“Baik. Anggaplah aku percaya.” aku berkata hati-hati. “Tapi kenapa kamu berkunjung ke tahun ini? Oh, tunggu, biar aku tebak, kamu punya misi mau mencegah kelahiran seseorang kan? Atau menolong orang penting di masa depan yang ingin bunuh diri, kemudian kembali ke masa depan dan mendapat bayaran?”
“Tetot!” Kayla menyilangkan kedua lengannya. “Salah. Tebakanmu salah. Lagipula, ini perjalanan sekali jalan. Jadi aku tidak bisa kembali ke masa depan.”
Aku mengerutkan alis tidak menyangka dengan penjelasan itu. “Jadi apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini?”
“Sebenarnya,” Kayla tersipu. “Aku kembali ke sini untuk bisa mengenalmu lebih jauh dan menjadi pasanganmu.”
“Apa?” aku kaget. Benar-benar kaget. Ia menanggung semua resiko untuk pergi ke sini hanya karenaku. Sulit dimengerti.
Kayla tersenyum seperti tidak terlalu heran dengan keterkejutanku. Apakah di masa depan nanti wanita memang semudah ini menyatakan perasaannya? Dari semua yang aku ketahui darinya, senyum itu adalah yang paling aku suka. Ia berperawakan sedang, dengan tinggi sekitar 165 cm. Berwajah bulat dan pipi kemerahan terutama ketika tersipu malu. Secara fisik tidak ada yang aneh padanya. Aku berani taruhan, sipapun laki-laki yang mengenalnya secara fisik akan tertarik padanya. Tanpa dimintapun aku mau jadi pacarnya.
“Apa aku akan jadi presiden Indonesia suatu hari nanti?” aku merespon setenang mungkin.
Kayla tertawa hingga terlihat gigi graham yang berderet putih dan rapih. Aku menikmati tawa renyah itu beberapa saat, sampai akhirnya ia tersenyum sambil menjelaskan. “Di masa depan, kamu adalah dosenku. Setelah pertemuan di TK waktu aku berumur 6 tahun, kita tidak pernah bertemu lagi sampai aku masuk kampus. Waktu itu kamu berkunjung ke TK sebagai tamu. Jadi setiap sebulan sekali, di kelas selalu kedatangan berbagai profesi. Kamu diundang karena kamu adalah dosen dan peneliti. Professor sosiologi yang telah berpetualang ke berbagai tempat.”
“Keliling dunia?” aku bertanya.
“Ya. Aku bisa menunjukan foto-fotonya kalu kamu mau. Atau mau video?” Kayla mendekatkan sesuatu di pergelangan tangannya yang berbentuk seperti jam. Ia seperti menekan pada ujunya dan keluar beberapa gambar dan video yang menunjukan seseorang yang sangat mirip diriku dengan latar berbagai daerah di seluruh dunia. Aku tertegun hampir tidak percaya. Aku berkunjung ke semua negara yang selalu aku impikan. Semuanya begitu nyata seperti siang hari namun juga seperti mimpi. Apa rasaanya jika kamu tahu bahwa semua keinginanmu akan terwujud?
Sambil menunjukan foto dan beberapa video, Kayla asik menjelaskan dengan rinci segala hal yang ia tahu tentangku. Kayla bercertita banyak tentang awal mula kesukaannya padaku. Tentang bagaimana pengalamanku keliling dunia. “Tahun depan, pengajuan beasiswamu ke Australia akan diterima. Kamu akan kuliah dan bekerja di sana selama empat tahun.”
“Bagaiman mimpiku menjadi youtuber dan membuat start up?”
“Kamu mencapai itu semua, dengan passion dan kerja keras.” Kayla berhenti sebentar, merapikan poni yang menutupi matanya karena tertiup angin. Angin yang juga menggoyang ranting-ranting pohon dan membuat daun kering berjatuhan. Aku refleks memungut beberapa daun kering yang jatuh pada rambut hitam Kayla, seakan-akan itu adalah kebiasaanku.
Kayla tersenyum seperti tidak terganggu dan tetap meneruskan. “Pada khirnya era itu redup dan kamu tidak menemukan kebahagiaan sejati pada apa yang kamu peroleh. Aku pernah bertanya padamu, dan kamu mengutip Jim Carrey.”
“Tunggu-tunggu.” Aku memotong penjelasan Kayla. “Jadi aku meraih semua mimpiku tapi aku tidak bahagia? Bagaimana bisa?”
“Ya begitulah. Kamu yang mengatakannya sendiri. Tapi Akhirnya kamu tahu bahwa kebahagianmu yang sebenarnya adalah membuat banyak orang bahagia. Dengan pendidikan dan penelitian yang berguna bagi orang banyak. Mulai dari situ kamu fokus meneliti dan belajar. Sayang kesadaran itu datang terlambat. Usiamu sudah 50 tahun.”
Aku bertanya banyak hal tentang diriku sendiri. Kayla menjawab semuanya dengan uraian yang sering membuatku semakin kaget.
“Jadi aku meninggal di panti jompo sendirian?” dengan terbata-bata aku memastikan apa yang baru kudengar.
“Ya.” Kayla menjawab cepat. “Tidak sendirian sebenarnya. Aku menemani dan selalu berkunjung selama 5 tahun terakhir kamu di panti jompo. Baik hanya bertanya tentang penelitian atau bercerita dan mengobrol tentang banyak hal.”
Aku seperti ditampar kemurungan. Ini seperti kisah fiksi tentang kemalangan yang biasa aku baca di novel. Hanya cerita ini menjadi begitu menyentuh karena tokohnya adalah diriku sendiri. Kayla bilang aku hampir punya istri. Sudah bertunangan tapi tunanganku meninggal karena kanker beberapa bulan sebelum kami menikah. Aku kaget dan bersandar pada kursi panjang di taman kampus itu. Aku akan tua, sendirian dan kesepian, tanpa anak dan keluarga yang menjaga, kalimat itu terngiang-ngiang di kepala. Aku masih tidak ingin percaya dengan apa yang aku dengar.
Kayla seperti melihat kehawatiran di wajahku, “Mungkin ini terdengar di luar bayanganmu.”
“Ya, aku tidak ingin percaya. Ini terasa sangat aneh.” Aku bertopang dagu, membayangkan masa depan yang belum aku jalani.
Angin menerbangkan serpihan daun di tanah, menggulung-gulung dan akhirnya menghempaskannya ke atas air danau yang tenang. Kering, tua, pasrah dan dilupakan.
“Jadi apa yang terjadi jika kita menikah?” aku bertanya pelan.
“Tidak ada yang tahu.”
“Apa kita akan punya anak?”
“Tidak ada yang tahu.”
“Jadi sebenarnya apa maksudmu ke sini?” nada suaraku mulai meninggi. “Apa hanya untuk memenuhi keinginan dan hasratmu?”
Kayla diam. Padahal aku berharap ia akan memberikan alasan bahwa ia ingin mengubah masa depanku. Tapi ia pun tidak tahu apa yang akan terjadi sebenarnya. Jadi datang atau tidak datang ke masa ini sama saja untukku. Masa depan yang sebenarnya tetap tidak bisa diketahui.
Aku terus memaksa Kayla untuk mengatakan keinginan sebenarnya. Ia tetap diam. Aku ikut terdiam, menata pikiran yang berkecamuk. Membayangkan masa depan yang suram membuatku berpikiran gelap.
“Aku ulangi lagi.” nada suaraku mulai tenang. “Jadi apa tujuanmu datang ke sini?”
Kayla kembali diam. Menunduk memandangi lantai beton dan rerumputan. Aku menjadi serba salah. Akan lebih mudah jika ia berargumen dan kita bertengkar. Tapi sepertinya ia sangat mengerti karakterku yang tidak suka ditentang.
“Baik.” akhirnya aku membuka suara setelah jeda diam beberapa saat. “Aku rasa hubungan seperti ini tidak bisa diteruskan.”
*
Hari ini aku berdiri di depan makam Kayla. Beberapa tahun setelah percakapan panjang itu, lima bulan sebelum Kayla lahir. Sungguh aneh.
Aku tahu hari ini akan tiba. Entah aku yang meninggal lebih dahulu atau Kayla. Tapi pengetahuan dan kesadaran itu tidak cukup untuk meredam kesedihanku. Hari ini aku mengenang beberapa kejadian.
Aku ingat percakapan di ujung senja di Pulau Santorini. Tempat dimana dewa dewi melepas keabadian mereka. Tata kota dan bangunan-bangunan berarsitektur yang Kayla sebut dengan kalimat abstrak; romantis. Kami menyewa sebuah rumah putih di dekat undakan dinding tebing. Pada beberapa hari pertama, hal-hal yang baru itu terasa mengagumkan. Menjelajahi jalan-jalan sempit kota itu menuju Fira. Berjalan kaki menuju sebuah Katedral Ypapanti dengan kubah biru dalam akulturasi desain lokal Yunani dengan sentuhan rennaisance, dimana dari sana terlihat kawah kaldera dan laut Aegean yang biru pekat.
Sampai subuh, aku dan Kayla masih terjaga dan terus berbicara, sambil berbagi feromon di kulit, di bawah langit yang penuh rasi bintang. Mungkin benar kata orang, you never really know a woman until you talk to her at 3 AM.
“Jadi apa itu kebahagiaan menurutmu?” aku bertanya pada Kayla.
“Kebahagiaan itu sumberdaya yang tak terbatas. Ia ada dimana-mana dan berlimpah. Untuk menjadi bahagia kita tidak butuh merebutnya dari orang lain. Kita tidak perlu berebut kebahagian karena ia bukanlah kompetisi yang jika seseorang sudah dapat, maka orang lain akan kehilangan. Jika mereka menang maka kita kalah. Tidak seperti itu. Bahagia bukan tentang mengambil semuanya dan tidak menyisakan untuk orang lain. Kita bisa menempuh cara masing-masing untuk bahagia.”
Pada akhirnya aku dan Kayla menikah tapi tidak punya anak. Segala yang diceritakan Kayla tentangku terwujud, hanya sekarang aku punya perspektif yang berbeda tentang mimpi. Sekarang aku tidak pernah sedetikpun menyesali kehidupan yang telah aku jalani. Pertemuan dengan Kayla membuka mataku dan mempertanyakan kembali apa sebenarnya keinginan yang ingin kucapai, apa yang membuat orang bahagia. Jim Carrey benar, semua orang harus menjadi kaya dan terkenal dan melakukan semua yang mereka impikan sehingga mereka dapat melihat bahwa itu bukan jawabannya.
*
“Oke. Ini memang foto asli.” aku mengembalikan sebuah foto bergambar beberapa anak TK yang berkerumun tidak teratur, di tengah mereka sedang tersenyum seorang laki-laki dengan uban memenuhi rambut dan jenggot. Latar belakang foto itu seperti ruang belajar dengan tembok penuh kreasi yang aneh, tidak jauh dari tembok itu ada sesuatu seperti jam digital yang menunjukan tahun 2052. Kayla mengatakan bahwa laki-laki tua dalam foto tersebut adalah aku, dan anak perempuan di pangkuanku adalah dirinya.
“Jadi sudah percaya, Prof. Eh, maksud saya, Mas.” komentar Kayla sambil menerima foto tersebut.
“Baik. Anggaplah aku percaya.” aku berkata hati-hati. “Tapi kenapa kamu berkunjung ke tahun ini? Oh, tunggu, biar aku tebak, kamu punya misi mau mencegah kelahiran seseorang kan? Atau menolong orang penting di masa depan yang ingin bunuh diri, kemudian kembali ke masa depan dan mendapat bayaran?”
“Tetot!” Kayla menyilangkan kedua lengannya. “Salah. Tebakanmu salah. Lagipula, ini perjalanan sekali jalan. Jadi aku tidak bisa kembali ke masa depan.”
Aku mengerutkan alis tidak menyangka dengan penjelasan itu. “Jadi apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini?”
“Sebenarnya,” Kayla tersipu. “Aku kembali ke sini untuk bisa mengenalmu lebih jauh dan menjadi pasanganmu.”
“Apa?” aku kaget. Benar-benar kaget. Ia menanggung semua resiko untuk pergi ke sini hanya karenaku. Sulit dimengerti.
Kayla tersenyum seperti tidak terlalu heran dengan keterkejutanku. Apakah di masa depan nanti wanita memang semudah ini menyatakan perasaannya? Dari semua yang aku ketahui darinya, senyum itu adalah yang paling aku suka. Ia berperawakan sedang, dengan tinggi sekitar 165 cm. Berwajah bulat dan pipi kemerahan terutama ketika tersipu malu. Secara fisik tidak ada yang aneh padanya. Aku berani taruhan, sipapun laki-laki yang mengenalnya secara fisik akan tertarik padanya. Tanpa dimintapun aku mau jadi pacarnya.
“Apa aku akan jadi presiden Indonesia suatu hari nanti?” aku merespon setenang mungkin.
Kayla tertawa hingga terlihat gigi graham yang berderet putih dan rapih. Aku menikmati tawa renyah itu beberapa saat, sampai akhirnya ia tersenyum sambil menjelaskan. “Di masa depan, kamu adalah dosenku. Setelah pertemuan di TK waktu aku berumur 6 tahun, kita tidak pernah bertemu lagi sampai aku masuk kampus. Waktu itu kamu berkunjung ke TK sebagai tamu. Jadi setiap sebulan sekali, di kelas selalu kedatangan berbagai profesi. Kamu diundang karena kamu adalah dosen dan peneliti. Professor sosiologi yang telah berpetualang ke berbagai tempat.”
“Keliling dunia?” aku bertanya.
“Ya. Aku bisa menunjukan foto-fotonya kalu kamu mau. Atau mau video?” Kayla mendekatkan sesuatu di pergelangan tangannya yang berbentuk seperti jam. Ia seperti menekan pada ujunya dan keluar beberapa gambar dan video yang menunjukan seseorang yang sangat mirip diriku dengan latar berbagai daerah di seluruh dunia. Aku tertegun hampir tidak percaya. Aku berkunjung ke semua negara yang selalu aku impikan. Semuanya begitu nyata seperti siang hari namun juga seperti mimpi. Apa rasaanya jika kamu tahu bahwa semua keinginanmu akan terwujud?
Sambil menunjukan foto dan beberapa video, Kayla asik menjelaskan dengan rinci segala hal yang ia tahu tentangku. Kayla bercertita banyak tentang awal mula kesukaannya padaku. Tentang bagaimana pengalamanku keliling dunia. “Tahun depan, pengajuan beasiswamu ke Australia akan diterima. Kamu akan kuliah dan bekerja di sana selama empat tahun.”
“Bagaiman mimpiku menjadi youtuber dan membuat start up?”
“Kamu mencapai itu semua, dengan passion dan kerja keras.” Kayla berhenti sebentar, merapikan poni yang menutupi matanya karena tertiup angin. Angin yang juga menggoyang ranting-ranting pohon dan membuat daun kering berjatuhan. Aku refleks memungut beberapa daun kering yang jatuh pada rambut hitam Kayla, seakan-akan itu adalah kebiasaanku.
Kayla tersenyum seperti tidak terganggu dan tetap meneruskan. “Pada khirnya era itu redup dan kamu tidak menemukan kebahagiaan sejati pada apa yang kamu peroleh. Aku pernah bertanya padamu, dan kamu mengutip Jim Carrey.”
“Tunggu-tunggu.” Aku memotong penjelasan Kayla. “Jadi aku meraih semua mimpiku tapi aku tidak bahagia? Bagaimana bisa?”
“Ya begitulah. Kamu yang mengatakannya sendiri. Tapi Akhirnya kamu tahu bahwa kebahagianmu yang sebenarnya adalah membuat banyak orang bahagia. Dengan pendidikan dan penelitian yang berguna bagi orang banyak. Mulai dari situ kamu fokus meneliti dan belajar. Sayang kesadaran itu datang terlambat. Usiamu sudah 50 tahun.”
Aku bertanya banyak hal tentang diriku sendiri. Kayla menjawab semuanya dengan uraian yang sering membuatku semakin kaget.
“Jadi aku meninggal di panti jompo sendirian?” dengan terbata-bata aku memastikan apa yang baru kudengar.
“Ya.” Kayla menjawab cepat. “Tidak sendirian sebenarnya. Aku menemani dan selalu berkunjung selama 5 tahun terakhir kamu di panti jompo. Baik hanya bertanya tentang penelitian atau bercerita dan mengobrol tentang banyak hal.”
Aku seperti ditampar kemurungan. Ini seperti kisah fiksi tentang kemalangan yang biasa aku baca di novel. Hanya cerita ini menjadi begitu menyentuh karena tokohnya adalah diriku sendiri. Kayla bilang aku hampir punya istri. Sudah bertunangan tapi tunanganku meninggal karena kanker beberapa bulan sebelum kami menikah. Aku kaget dan bersandar pada kursi panjang di taman kampus itu. Aku akan tua, sendirian dan kesepian, tanpa anak dan keluarga yang menjaga, kalimat itu terngiang-ngiang di kepala. Aku masih tidak ingin percaya dengan apa yang aku dengar.
Kayla seperti melihat kehawatiran di wajahku, “Mungkin ini terdengar di luar bayanganmu.”
“Ya, aku tidak ingin percaya. Ini terasa sangat aneh.” Aku bertopang dagu, membayangkan masa depan yang belum aku jalani.
Angin menerbangkan serpihan daun di tanah, menggulung-gulung dan akhirnya menghempaskannya ke atas air danau yang tenang. Kering, tua, pasrah dan dilupakan.
“Jadi apa yang terjadi jika kita menikah?” aku bertanya pelan.
“Tidak ada yang tahu.”
“Apa kita akan punya anak?”
“Tidak ada yang tahu.”
“Jadi sebenarnya apa maksudmu ke sini?” nada suaraku mulai meninggi. “Apa hanya untuk memenuhi keinginan dan hasratmu?”
Kayla diam. Padahal aku berharap ia akan memberikan alasan bahwa ia ingin mengubah masa depanku. Tapi ia pun tidak tahu apa yang akan terjadi sebenarnya. Jadi datang atau tidak datang ke masa ini sama saja untukku. Masa depan yang sebenarnya tetap tidak bisa diketahui.
Aku terus memaksa Kayla untuk mengatakan keinginan sebenarnya. Ia tetap diam. Aku ikut terdiam, menata pikiran yang berkecamuk. Membayangkan masa depan yang suram membuatku berpikiran gelap.
“Aku ulangi lagi.” nada suaraku mulai tenang. “Jadi apa tujuanmu datang ke sini?”
Kayla kembali diam. Menunduk memandangi lantai beton dan rerumputan. Aku menjadi serba salah. Akan lebih mudah jika ia berargumen dan kita bertengkar. Tapi sepertinya ia sangat mengerti karakterku yang tidak suka ditentang.
“Baik.” akhirnya aku membuka suara setelah jeda diam beberapa saat. “Aku rasa hubungan seperti ini tidak bisa diteruskan.”
*
Hari ini aku berdiri di depan makam Kayla. Beberapa tahun setelah percakapan panjang itu, lima bulan sebelum Kayla lahir. Sungguh aneh.
Aku tahu hari ini akan tiba. Entah aku yang meninggal lebih dahulu atau Kayla. Tapi pengetahuan dan kesadaran itu tidak cukup untuk meredam kesedihanku. Hari ini aku mengenang beberapa kejadian.
Aku ingat percakapan di ujung senja di Pulau Santorini. Tempat dimana dewa dewi melepas keabadian mereka. Tata kota dan bangunan-bangunan berarsitektur yang Kayla sebut dengan kalimat abstrak; romantis. Kami menyewa sebuah rumah putih di dekat undakan dinding tebing. Pada beberapa hari pertama, hal-hal yang baru itu terasa mengagumkan. Menjelajahi jalan-jalan sempit kota itu menuju Fira. Berjalan kaki menuju sebuah Katedral Ypapanti dengan kubah biru dalam akulturasi desain lokal Yunani dengan sentuhan rennaisance, dimana dari sana terlihat kawah kaldera dan laut Aegean yang biru pekat.
Sampai subuh, aku dan Kayla masih terjaga dan terus berbicara, sambil berbagi feromon di kulit, di bawah langit yang penuh rasi bintang. Mungkin benar kata orang, you never really know a woman until you talk to her at 3 AM.
“Jadi apa itu kebahagiaan menurutmu?” aku bertanya pada Kayla.
“Kebahagiaan itu sumberdaya yang tak terbatas. Ia ada dimana-mana dan berlimpah. Untuk menjadi bahagia kita tidak butuh merebutnya dari orang lain. Kita tidak perlu berebut kebahagian karena ia bukanlah kompetisi yang jika seseorang sudah dapat, maka orang lain akan kehilangan. Jika mereka menang maka kita kalah. Tidak seperti itu. Bahagia bukan tentang mengambil semuanya dan tidak menyisakan untuk orang lain. Kita bisa menempuh cara masing-masing untuk bahagia.”
Pada akhirnya aku dan Kayla menikah tapi tidak punya anak. Segala yang diceritakan Kayla tentangku terwujud, hanya sekarang aku punya perspektif yang berbeda tentang mimpi. Sekarang aku tidak pernah sedetikpun menyesali kehidupan yang telah aku jalani. Pertemuan dengan Kayla membuka mataku dan mempertanyakan kembali apa sebenarnya keinginan yang ingin kucapai, apa yang membuat orang bahagia. Jim Carrey benar, semua orang harus menjadi kaya dan terkenal dan melakukan semua yang mereka impikan sehingga mereka dapat melihat bahwa itu bukan jawabannya.
Published on December 15, 2019 15:09
December 6, 2019
Gitar di Tangan dan Kenangan yang Menunggu Dipanggil

Itu adalah perjalanan pertama saya dan keluarga ke Pulau Seribu. Awalnya saya tidak yakin bisa melakukan itu sendiri. Hampir saja rencana liburan ke Pulau Pari batal karena setelah dihitung, buat saya terlalu mahal. Istri saya bertanya retoris, “Is it worth?” Lebih lagi beberapa kawan tidak menyarankan pergi tanpa travel agent.
Jika memakai travel agent, untuk empat orang (saya, istri, Nada dan Safa. Aira karena masih 2 tahun jadi tidak dihitung) per kepala dikenakan Rp. 580.000,- s/d Rp. 560.000,-. Sebenarnya harga itu bisa turun, jika orangnya semakin banyak. Sayang (atau yang belakangan saya syukuri) beberapa kawan yang saya ajak tidak merespon.

Adalah postingan Vira di Instagram yang membuat saya akhirnya yakin untuk ke pulau seribu tanpa travel agent. Belakangan Vira juga menulis pengalamannya di sini. Untuk review lain Pulau Pari tanpa Agent juga bisa ke link ini.
Berikut itinerary kami:

Transportasi
Ada beberapa cara menuju Muara Angke/Kali Adem. Kami memilih menggunakan taksi karena paling nyaman dan mudah. Dari rumah jam 5 sampai Muara Angke setengah 7 (sekitar 49 KM). Kalau memakai angkutan umum biayanya akan jauh lebih murah walaupun agak ribet dikit. Commuter Line / kereta api paling awal dari St. Bekasi pukul 5, sampai St. Kota Tua mungkin sekitar jam 7. Dari Kota ke Muara Angke bisa naik Trans Jakarta. Baliknya juga dengan transportasi umum yang sama.
Dari Muara Angke ke Pulau Pari menggunakan perahu Fery tradisional. Loket tiketnya ada di dekat parkiran. Berangkat pukul 8 pagi. Biayanya: dewasa Rp. 47.000,-, balita Rp. 27.000,-

Penginapan
Sebelum berangkat, saya menjelajah Pulau Pari menggunakan Google Street View. Dari sana saya tahu lokasi homestay yang paling dekat dengan pantai dan pemandangan bagus; Pari Solata Seaview Homestay.



Pantai
Ada 2 pantai yang paling bagus, Pantai Bintang dan Pantai Pasir Perawan.




Makanan
Jenis makanan cukup beragam. Kami mencoba sea food. Harga makanan sama seperti harga di Jakarta, reasonable. Ikannya segar, tapi nasinya agak keras.
Harga
Alat-alat snorkeling, memancing, sewa sepeda dan lain-lain juga reasonable.

Waktu
Seluruh penjelasan waktu dan lain-lain yang dijelaskan adalah pada weekdays bukan weekends. Kemungkinan ada perubahan jika perjalanan dilakukan pada akhir pekan atau Sabtu-Minggu. Pemilihan waktu ini sangat menentukan kenyamanan. Weekdays cenderung sepi dan lebih murah.
Persiapan Jika Bawa Anak Kecil
Salah satu alasan kami memilih Pulau Pari adalah karena jarak. Alasan logis karena kami membawa anak-anak bahkan balita yang belum pernah naik perahu.
Vira, yang bawa 4 anak, bahkan salah satunya masih usia 7 bulan, yang baru pertama kali ke Pulau Seribu, melakukan hal yang menurut saya lebih gila. Ia memilih pulau saat di depan loket karcis. Waktu ditanya penjual tiket kemana tujuannya, ia menyebut asal, “Pulau Tidung.”
Saya sempet tanya, “Apa yang buat lu yakin anak-anak akan baik-baik aja?”
“Iya gua yakin aja karena gua yakin
Published on December 06, 2019 23:46
September 24, 2019
perjalanan
jalan ini amat ia kenal sepanjang hidupselalu ia lewati pada pagi yang rinduatau sore yang ungu di hari minggu
ia adalah seekor domba yang berjalan di atas rumput-rumput hijaupada sabana stepa waktumelintasi ilalang-ilalang kering kekuningan
seekor singa menyambut di depan istanaseringai dan kuku-kuku tajamnya memanggil,"kesinilah sini domba gemuk yang enak dipeluk,"
ia memimpikan kehidupan yang mudah juga ramahperasaan dirindukan dan kebahagiaan yang dibeli dengan uangpergi ke hutan yang dalam, dimana ada gereja dari pualamdan membayangkan ada yang lebih kekal dari kematian
ketika Pikiran kata dalam hati pada Sasi,"Apa gunanya agama bagi seekor kerbau?"ia tidak risaupikir yakin ia bukan kerbau, hati rasa ia dombau
hanya perbuatan lebih keras berkata daripada guruhdan hanya ia tidak meyakinkan siapapun selain satudirinya yang gaduh
di jalan yang rusuhresah,kaki tahu kemana akan melangkah
ia meninggalkansenja yang temaramdi belakang warna yang sama dengan dingin dan bising
sementara rindu selalu cukup denganpulang dan kehangatantanpa peduli kemana laju akan berujung
ia adalah seekor domba yang berjalan di atas rumput-rumput hijaupada sabana stepa waktumelintasi ilalang-ilalang kering kekuningan
seekor singa menyambut di depan istanaseringai dan kuku-kuku tajamnya memanggil,"kesinilah sini domba gemuk yang enak dipeluk,"
ia memimpikan kehidupan yang mudah juga ramahperasaan dirindukan dan kebahagiaan yang dibeli dengan uangpergi ke hutan yang dalam, dimana ada gereja dari pualamdan membayangkan ada yang lebih kekal dari kematian
ketika Pikiran kata dalam hati pada Sasi,"Apa gunanya agama bagi seekor kerbau?"ia tidak risaupikir yakin ia bukan kerbau, hati rasa ia dombau
hanya perbuatan lebih keras berkata daripada guruhdan hanya ia tidak meyakinkan siapapun selain satudirinya yang gaduh
di jalan yang rusuhresah,kaki tahu kemana akan melangkah
ia meninggalkansenja yang temaramdi belakang warna yang sama dengan dingin dan bising
sementara rindu selalu cukup denganpulang dan kehangatantanpa peduli kemana laju akan berujung
Published on September 24, 2019 11:04