Nailal Fahmi's Blog, page 18

June 1, 2018

Buka Puasa dan Tata Cara Menertawakan Kepahitan Hidup

“Gua punya usul,” kata saya di grup WA kelas, “abis acara buka, kita mampir ke tempat Bang Njay. Sekalian takziyah.”
Tepat hari ke delapan Ramadhan ini, guru kami semasa Aliyah, Haji Syamsuddin Bin Ma’ruf (Allah yarham) yang juga mertua dari kawan kami Zainuddin, berpulang ke rahmatullah. Maka usulan saya untuk mampir setelah acara buka bersama itu ditanggapi positif. Hanya ada satu kendala, rencana buka puasa itu terancam batal karena tuan rumah acara belum sekalipun komentar di grup.
“Elu cek sono, Lih.” Furqon memberi tanggapan, “Takutnya udah bau di rumah. Namanya idup dewekan.”
Ahmad Rifai Edogawa, duda anak dua yang rumahnya saya usulkan menjadi lokasi kumpul itu memang sama sekali tidak bisa dihubungi.
“Iya, dah.” Saya menanggapi, “Ntar sore coba gua saba.”
“Bae-bae kalo ngecek. Kalo kedapetan udah bau, jangan lu sentuh, nanti jadi tersangkanya lu!”
“Iya, iya. Ntar gua gedig dulu cantengannya, kalo kagak mingser gua tinggal.”
Sore itu, saya mendapati Edo sedang asik main game di rumahnya. Sambil menjelaskan bahwa hapenya sedang diservice, ia merespon enteng, “Gua mah silahkan aja kalo pada mau kumpul. Tapi pada bawa makanan sendiri yak. Lah di sini gua siapa yang masakin? Tapi kalo takjil doang mah gampang ntar gua sediain.”
“Iya. Ngarti gua.” Saya merespon, “Justru itu gua usulin acara di tempat lu.”
“Supaya banyak yang masakin ya?”
“Bukan. Supaya banyak yang ngatain.”
“Sue!”

Setelah mendapat konfirmasi dan menentukan hari, maka saya menyebarkan informasi penuh keprihatinan itu ke grup. Sehari sebelum acara, nomor telpon Edo masih tidak bisa dihubungi, dan tidak sebiji emotikonpun yang muncul dari dia. Anggota grup pesimis. Saya menghubungi Edo kembali menggunakan Fb Messenger.
Saya: Jadi besok anak-anak ketempat lu abis asar. Jan kemana-mana lu!
Edo: Lah serius? Ebusehhh. Gua mao kencan. Bener bener dah luh!
Saya: Gak usah kebanyakan acara dah. Tibang gowes ke alun-alun lu bilang kencan.
Edo: Emang sapa aja yang mao ke rumah?
Saya: Banyak dah. Udah pokoknya kencan batalin!
Edo: Iya dah gua batalin... Demi elu elu pade. Gagal maning dah guwah.
Saya: Berak sekebon!
Tibalah hari yang dinanti. Minggu, 27 May 2018, bertepatan dengan 11 Ramadhan 1439. Acara buka puasa bersama yang normal biasanya paling tidak dihadiri minimal lima orang, tapi sore itu normal menjadi kata yang jauh dari kami. Sampai azan magrib berkumandang, yang kumpul hanya tiga orang; saya, tuan rumah dan Deni Bagong. Bahkan untuk main Ludo pun masih kurang satu orang.
“Gong, si Moses udah sampe mana?” saya bertanya ke Deni.
“Tau tuh, keujanan katanya.”
Melalui pesan WA, Moses menjawab, “Masih di Toll.” Padahal waktu menunjukan pukul 18:19.
Maghrib sudah setengah jam berlalu dan masih kami bertiga yang bercengkrama. Di grup WA, Hayat masih membujuk kawan-kawan untuk datang. Padahal ia sendiri belum ada di lokasi.
Azan Isya berkumandang ketika Furqon dan Hayat datang. Sementara Fauzy mengkonfirmasi akan datang ba’da Isya. Sampai pukul 19:00, sudah lima orang datang. Perut baru diisi es buah dan gorengan. Rencana mencari tempat makan di sekitar rumah duda terancam batal.
“Share Loc dong. Gua salah kayaknya nih.” Moses meminta di WA.
Sambil membagi lokasi, tuan rumah merespon sewot, “Etdah.. wartawan oon juga sih luh! PeA.”
“Di google kagak ada Bantargebang soalnya.” Moses membela diri, “Awan aja nyasar kalo disuruh ke sini.” Ia bingung karena selama di jalan hujan turun deras, tapi begitu masuk Bekasi seakan-akan ia masuk ke dimensi lain. Tidak ada setetes airpun turun.
“Pan elu pernah kemari, Maliiih!” Edo makin sewot.
“Iye. Maklum belom buka.”
Saya punya kecurigaan lain. Mungkin Moses menderita rabun ayam, kondisi dimana seekor ayam belum pulang waktu maghrib karena nyasar ke kandang lain.
Hampir jam sembilan malam Moses sampai, setelah beberapa menit sebelumnya Fauzy. Kami menyambut Moses. Dengan wajah kelaparan dan kepala plontos, ia keluar dari Corolla 88.
“Lu dulu waktu mondok, disuruh pilih botak apa keluar, lu pilih keluar. Sekarang aja luh botak.” Saya menyerang.
Moses nyengir pasrah, “Ya mo gimana lagi. Yang nyuruh Tuhan ini mah.”
Wartawan TV itu memang habis ketiban pulung karena dapat tugas meliput di Riyadh, Arab Saudi. Dibantu Dubes RI, ia kemudian melaksanakan umroh.
“Untung Tuhan gak ngasih pilihan ya?” Edo berkomentar, “Coba dikasih pilihan lagi; lu mo botak apa keluar luh?”
“Lah ribed, Do!” kata saya, “Kalo keluar pondok mah gampang. Lah kalo disuruh keluar dari kekuasaan Tuhan, mo keluar kemana? Bekasi?”
Seperti biasa, ketika kumpul dengan kawan-kawan lama, kami mengingat-ingat kembali dosa-dosa masa lalu. Moses yang dikeluarin dari pesantren beberapa bulan sebelum kelulusan. Furqon yang diberhentiin dari sekolah karena kasus pacaran. Dan dosa-dosa kami yang lain yang kalau ditulis di sini bisa mengundang banyak istigfar. Bersyukur Allah masih menutupi keburukan-keburukan itu.
Selain mengingat aib masa lalu, kami membahas banyak hal dari mulai Final Champion, BIN, silogisme Rocky Gerung dan selebihnya menghina satu sama lain. Tidak ada satupun diantara kami yang sempurna, maka penghinaan akan langsung dibalas penghinaan lain. Tinggal mencari celah yang pas. Sekali ada celah, semua menghajar tanpa ampun. Hanya ada satu aturan main; harus lucu.
“Lu sebenernya penulis apa bukan sih? Gua jadi curiga.” Furqon mendapat celah ketika saya tidak mengetahui satu hal, “Emang penulis harus bego begitu ya?”
“Bukan begitu, Kong.” Deni menambahkan, “Dia kan nulis pake gugel. Bocah singit juga bisa keliatan pinter kalo gitu mah.”
Saya pasrah. Intelektualitas saya luluh lantah dihadapan mereka. Edo sang duda, Fauzy sang jomblo mendapat serangan yang lebih kejam. Dalam hal menertawakan diri sendiri, kami tidak punya tandingan. Mungkin begitu cara kami bertahan melewati kepahitan dan kesengsaraan hidup. Dengan cara menerimanya, karena sadar akan keterbatasan diri untuk melawan, tentu tanpa kehilangan semangat hidup.
Jam sembilan malam, kami tujuh orang yang sudah berkumpul memutuskan menunda makan malam dan berangkat ke tempat Njay untuk takziyah.
“Udah ajak aja Al sama Wafa.” saran saya ke Edo, setelah sebelumnya ia bilang gak mau ikut karena alasan tidak ada yang menjaga anak-anak.
“Al, pake celana sana.” kata saya kepada Al, anak laki-laki Edo yang berumur 5 tahun yang tidak pakai celana. Ia berjoget kegirangan, menggoyang-goyang tititnya. Saya menepuk jidat, tahu kalau Gernuk jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Kami sedang bersiap-siap melangkah keluar ketika dari kejauhan datang seorang gempal dengan jenggot yang tumbuh brutal sampai ke leher; Fachrurrozy.
Setengah sepuluh malam, kami baru tiba di lokasi. Kematian orang dekat tidak pernah mudah. Tidak jarang kepergian yang tiba-tiba itu meninggalkan tanggungjawab yang belum tersiapkan. “Berat aja rasanya gantiin Abi, Mi.” Njay curhat, waktu saya tanya keadaannya, “Ane belom siap. Akhlak mertua mah udah terkenal baik di sini. Lah ane?”
Sebagai seorang kawan, saya menyemangatinya. Saya pernah merasakan kondisi itu. Keadaan yang awalnya berat, namun perlahan akan berlalu seiring bergulirnya waktu. Dalam pengalaman saya, ada kesamaan antara kematian dan kelahiran, yaitu membuat orang yang dekat dengannya menjadi lebih baik. Kami menjadi tahu batasan, mengerti bagaimana seharusnya bersikap, menjadi lebih peka dalam berhubungan dengan orang atau hal-hal lain, atau dalam bahasa yang lebih sederhana kami lebih memperhatikan akhlak.
Untuk menyempurnakan akhlak mulia, itulah tujuan diutusnya baginda nabi Muhammad. Itulah tujuan ber-Islam. Maka kami akan terus berada pada kondisi itu, dalam istilah populer yang banyak digunakan sekarang, ber-Hijrah. Berproses untuk menjadi semakin baik, atau yang dalam istilah Moses, “Menjadi musafir pencari ‘ya’ berbekal ‘tidak’.”
Begitulah kami mengenal bahwa ber-Islam adalah sebuah proses, bukan instan. Kami mengalaminya bertahun-tahun yang lalu sejak masuk pesantren dan entah akan berakhir kapan. Tantangan bagi perubahan instan dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lain adalah kesulitan untuk bertahan. Sementara hijrah sejatinya adalah sebuah lintasan hidup yang panjang dan bukan hasil akhir. Tidak ada seorangpun yang bisa memastikan akan wafat dalam keadaan baik, maka batas ujungnya adalah akhirat bukan dunia. Ujungnya adalah akhlak mulia.
Acara ditempat Njay diakhiri dengan doa kepada guru-guru, kawan-kawan yang telah tiada, dan kebaikan bagi diri kami di dunia dan akhirat.
Kami kembali ke rumah Edo, dan baru pukul satu dini hari selesai makan malam. Saya berdiri, memakai jaket dan siap-siap pulang.
“Lu mo ngapain?” Tanya tuan rumah.
“Pulang lah, gak enak ama bini. Lu enak gak punya bini.” sebelumnya saya bilang ke istri bahwa saya akan pulang jam 11.
“Jadi lebih enak gak punya bini maksud lu?” Edo menohok, mendapat celah.
Brengsek, kata saya dalam hati.
“Emang cuma lu doang kali yang punya bini.” timpal yang lain. Sekali lagi menggempur.
“Apa lu mao didoain gak punya bini biar enak?” semua menghajar tanpa ampun.
Saya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, kembali terduduk lesu, “Bagian ini nyerah dah gua.” kata saya pasrah.
Suara tawa sahut menyahut.
Hampir setengah tiga pagi saya sampai di rumah. Subuh tinggal beberapa jam lagi.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 01, 2018 16:04

May 26, 2018

Final Champion 2018

Saya tidak pernah mendapati Qoffal Shoghir optimis menangapi setiap pertandingan Liverpool. Ia selalu berada antara takut dan harap. Sekalinya optimis, ia padukan dengan tawadu yang terdengar ripuh.

Bahkan pada suatu kesempatan, ia mengharapkan LFC mendapat hasil remis supaya finis di 4 besar dan tahun depan bisa ikut UCL lagi. Mungkin itu terdengar biasa, tapi saya melihat ada ketidakyakinan bahwa tahun ini LFC akan juara Champion.

Wajar orang-orang bilang sepak bola seperti agama. Paling tidak, seperti agama, ia membuncahkan harapan. Andai saja harapan bisa diatur, tapi sering kali ia tersusun dari hal yang menyelinap pelan-pelan dalam ketidaksadaran. Siapa yang menyangka LFC akhirnya sampai final? Ketika itulah kekalahan menjadi sangat menyakitkan, karena ia menyalahi harapan. Pada yang tak punya harapan, kekalahan menjadi hal yang ringan.

Beberapa kali Qoffal bertanya tentang prediksi. Saya sebagai bukan penganut yang tekun, seringkali hanya menjadikan pertanyaannya jadi bahan olok-olokan. Saya pernah bilang bahwa yang dibutuhkan Liperpul sekarang adalah sejarawan.

Penganut agama sepakbola yang tekun tahu kapan terakhir kali gol tendangan salto di final Champion, dan sekian banyak ingatan terhadap pencapai-pencapain, bahkan yang paling langka. Mereka bisa berujar dengan percaya diri, “Suratman adalah pemain muslim kedua yang memberikan assist menggunakan sundulan menggunakan kepala bagian kiri, terakhir kali itu dilakukan Bambang tahun 1882.”

Itulah keimanan yang sebenarnya. Juga kegilaan.

Hari ini Si Merah kalah. Qoffal dan seluruh Liverpudlian sepertinya akan kembali berkubang pada kenangan dan kesedihan dalam waktu yang tidak sebentar, karena murtad dari klub kesayangan juga bukan hal yang mudah. Maka pagi ini kita bisa berbagi, jika kamu merasa hidupmu berat, ingatlah wajah-wajah murung dalam kekalahan kali ini. Dan kita mengerti bahwa ternyata ada yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 26, 2018 14:34

May 6, 2018

Ihwal Kenaikan Isa Almasih

Kepercayaan umat Kristen akan kenaikan Isa Almasih juga diyakini oleh umat Islam, walaupun terdapat perbedaan prinsipil antara kepercayaan kedua umat ini. Perbedaan tersebut antara lain adalah keyakinan umat Kristen menyatakan bahwa Isa a.s. dibiarkan Tuhan untuk disalib sehingga akhirnyawafat di tiang salib, sedangkan umat Islam berkeyakinan penuh, sesuai dengan pen egasan Al-Quran: ...mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya tetapi yang mereka bunuh ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (QS 4: 157).

...tetapi yang sebenarnya, Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS 4: 158).

Dan kalimat “Allah telah mengangkat Isa” umat Islam percaya dengan benar bahwa beliau telah diangkat dan “naik” ke sisi Tuhan. Hanya saja sebagian umat memahami redaksi tersebut secan harfiah sehingga mereka percaya bahwa Isa belum mati dan hingga kini masih hidup di langit dan satu ketika akan turun ke bumi untuk meluruskan kekeliruan-kekeliruan umatnya. Pemahaman di atas dinilai oleh sebagian pakar Al-Quran dan hadis sebagai tidak mepunyai dasar yang kuat.

Kalimat Allah mengangkat Isa dipahami dalam pengertian majazi, yakni Allah mengangkat derajatnya ke sisi-Nya. Bahwa hadis-hadis yang berbicara tentang turunnya ke bumi nanti, kesemuanya tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Apalagi sumbernya adalah dua orang, yaitu Ka’ab Al-Ahbar dan Wahab bin Munabih, dua orang yang pemah menganut ajaran Kristen sehingga tidak mustahil apa yang disampaikan merupakan sisa kepercayaan lamanya.

Tulisan ini tidak bermaksud menyelesaikan atau memenangkan satu kepercayaan menyangkut kenaikan Isa atas kepercayaan yang lain, tetapi kita ingin menarik pelajaran dari apa yang menjadi kepercayaan tersebut yaitu antan lain bahwa Tuhan tidak pemah meninggalkan siapa pun yang berjuang demi kebaikan dan kebenaran. Ringkasnya, Dia tidak menyia-nyiakan usaha-baik seseorang. Kalaupun seandainya yang bersangkutan tidak memetik buah usahanya dalam kehidupan dunia ini, pasti ia akan menikmati hasilnya kelak di sisi Tuhan.

Kenaikan Almasih, walaupun dengan pengertian yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa betapa kuat dan kuasa suatu kekuatan fisik untuk menundukkan atau melenyapkan kebenaran dan pemuka-pemukanya, namun hasil akhir yang diperoleh adalah kemenangan dan kebenaran itu jua.

Almasih, walaupun telah disalib atas perintah atau persetujuan Penguasa (menurut kepercayaan Kristen), atau diselamatkan Tuhan dan diangkat kesisi-Nya (menurut kepercayaan Islam) pada akhirnya memperoleh kedudukan istimewa. Dan ujung-ujungnya -terlepas dari penilaian terhadap suatu keyakinan- seperti kata Pascal, ahli matematika, filosof dan sastrawan Prancis (1623-1662 M): “Almasih telah mencapai puncak kejayaan. Bukankah ilmuwan, pemimpin perang dan negarawan pada tunduk bertekuk-lutut walaupun beliau tidak menggunakan kekuatan fisik sedikit pun?”

Sebagai Muslim kita percaya kepada Almasih, utusan dan hamba Allah yang tidak sesaat pun ditinggalkan oleh-Nya. Kepercayaan ini tak dapat ditawar-tawar, sehingga benar kata Syaikh Muhammad Abduh: “Seorang Muslim tidak dinamai Muslim sebelum la menjadi masihi” dalam arti meyakini Almasih sebagai rasul atau utusan Tuhan tidak ubahnya seperti rasul-rasul lain walaupun beliau dilahirkan tanpa ayah.

Salam sejahtera semoga tercurah kepada Almasih pada hari kelahirannya, hari wafatnya dan hari beliau dibangkitkan kelak. []

------------------------------------------------------------------------

Diambil dari buku Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994), karangan Prof. Dr. M. Quraish Shihab

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 06, 2018 20:25

April 24, 2018

Agama Sepakbola

Saya mengerti mengapa Ahmad Rifai menjadi Juventini. Usianya 11 tahun ketika Juve meraih tiga juara Eropa. Dan pada masa itu, anak-anak kecil di belahan dunia manapun akan menjulurkan lidah untuk merayakan gol seperti Del Piero.

Saya bisa memahami itu, tapi saya gagal memahami Qoffal Shoghir, bocah yang tinggal belasan ribu kilometer dari Anfield, yang terakhir kali mendapati tim kesayangannya juara liga adalah bersamaan ketika ia brojol. Jadi selama itu, sampai sekarang umurnya 29, ia belum pernah sekalipun melihat klub itu juara liga. Entah doktrin jenis apa yang pernah ia terima. Mungkin sejenis doktrin utopis bahwa “Khilafah Islamiyah” akan bangkit.

Fakta itu selalu jadi bahan empuk ejekan saya. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika Gerrard memutuskan gantung sepatu, sambil mengembalikan flash disk berbentuk jersey Suarez, saya pernah bilang ke Qoffal, "Yang dibutuhkan liperpul itu membeli seorang legend. Kebetulan Iwan Fals sedang bebas transfer."

Jadi saya masih belum memahami, ketika kemarin siang ia bertanya prediksi Liperpul vs Roma. Saya membalas melalui pesan WA, "Saya ikut Qowaidul Championiyah aja, Bung! Kaidah ke 165, ‘Siapa yg mengalahkan Barca, dia juara.’"

Dia membalas dan menuduh bahwa itu Qoidah Aglabiyah, sambil mengirim foto sedang berdoa untuk kemenangan The Reds di depan makam Gusdur. Cara pencitraan murahan yang cuma bikin saya pengen.

"Dengan cara itu, Persikaji Kranji pun bisa treble winner Liga Eropa, Bang." Saya membalas sinis. Kemudian menambahkan, "Berdoa juga supaya dapet wasit yang kartu merah Pep lagi."

Ia membalas cepat, "Kartu merah Pep akibat kelakuannya sendiri!"

Apa salah Pep? Waktu itu ia hanya berteriak, "WASIT GOBLOK!!!"

Kalaupun salah, kesalahannya semata-mata hanya karena ia tidak tahu bahwa wasit itu pernah dua tahun tinggal di Teluk Pucung dan fasih berbahasa Bekasi.

Dini hari tadi, Si Merah menang dengan selisih tiga gol di kandang. Di statusnya Qoffal masih was-was, takut dibalas Roma di Stadio Olimpico. Mengingatkan saya pada konsep Khouf dan Roja para sufi, sebelum akhirnya mencapai puncak Mahabbah.

Bagi tim yang selalu hampir juara, lolos setiap babak itu selalu bagai keajaiban yang terus memompa adrenalin. Dan dalam hal apapun, kesetiaan selalu punya ujian. Sekarang saya mulai sedikit memahami bahwa ujian keimanan seorang Livepudlian ada bukan pada saat timnya menang, tapi harapan ketika hampir menang.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 24, 2018 15:54

April 9, 2018

Kutukan Seorang Penulis

Novelett yang baru saja terbit ini bermula dari curhatan seorang kawan. Terinspirasi dari kisah nyata.
Pada dasarnya, saya senang mendengar, melihat atau membaca kisah. Hampir semua kisah, baik nyata atau fiksi. Sebagian kisah menjadi pengingat dan pelajaran, sebagian yang lain terlupa, sebagian lagi mengendap menunggu panggilan untuk hadir kembali suatu saat.
Setiap orang punya kutukannya masing-masing, dan kutukan kepada saya bernama empati. Baru akhir-akhir ini saya menyadari, setelah mengingat dan merenung kembali tentang sikap saya terhadap berbagai hal. Butuh waktu yang cukup lama sampai saya sadar.
Pernah suatu hari, saya mengajukan komplain gaji. Kepada Admin saya ingin mengatakan unek-unek saya. Telpon diangkat, dan Admin mengatakan bahwa ia telah menginput kompalin saya dengan benar. Seharusnya saya marah ketika itu, karena apapun alasannya, sudah sangat lama kekurangan gaji saya tidak dibayarkan. Tapi bukan marah yang keluar, setelah mendengar penjelasan Admin, saya malah menjadi kasihan.
Saya tidak sedang membanggakan diri dan menganggap diri saya cerdas secara emosi. Seperti yang saya katakan, ini semacam kutukan. Sesuatu yang mau tidak mau dipunyai seseorang. Sikap yang begitu saja mengalir dalam darah. Mungkin itu sebabnya saya menghayati apa yang pernah Ernest Hemingway bilang, "When people talk, listen completely. Most people never listen." Pada bagian yang lain ia menulis, “As a writer, you should not judge, you should understand.”
Terimakasih untuk pembaca awal naskah ini; Petra Naftalia, Ahmad Rifai, Multianur Pasaribu dan my favorite person on earth, Diah Resmisari.
Novelette ini diterbitkan secara indie karena saya tidak menemukan penerbit mayor yang menerbitkan genre novellete.






Note:CARA PEMESANAN: Whatsapp atau SMS ke 085771233027, atau pesan melalui message FB Jejak Publisher (https://www.facebook.com/JejakOfficial) Pesan sebelum 28 April 2018, mendapat potongan harga Rp. 5000,- dari harga normal Rp. 36.000,- menjadi Rp. 31.000,- Jumlah Halaman: 95, Dimensi: 14 x 20 cm, ISBN: 978-602-5455-39-1, ISBN Elektronik: 978-602-5675-92-8. Cek Buku di http://jejakpublisher.com/…/mutiara-suatu-ketika-pada-sebu…/

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 09, 2018 01:48

April 4, 2018

You’ll Never Muslim Alone

Dini hari tadi Qoffal Shoghir mengirimkan pesan WA yang sekaligus membangunkan saya untuk sahur. Salam 3 vs 0, ia menulis. Emotikon nyengir di akhir pesannya terasa tulus dan spesial.

Sehari sebelumnya, ia bertanya tentang prediksi Liverpool vs City. Saya jawab, “Sejak dipegang Pep, City semakin menakutkan, Bung. Perlu 12 Salah untuk menang. Itupun dengan catatan wasitnya dari Indonesia. Wkwk”

Ia membalas cepat, “Kamfret ente, Bang!”

Bukan. Dia tidak menjawab itu. Kesombongan bagi Liverpudlian lebih banyak menyisakan pedih. Maka ia menjawab dengan tawadhu tapi sayang ambigu, “Saya juga sih pesimis, tapi pesimis gak boleh sebelum ikhtiar.”

Saya mengambil Mafhum Mukholafah dari kalimat itu menjadi, “Kamu boleh pesimis setelah ikhtiar.”

Bagaimanapun kemenangan tetaplah kemenangan. Mari dirayakan sejenak. Kabarnya, untuk merayakan, Qoffal akan bersedekah dan mengusap beberapa kepala anak yatim. Dan jika tahun ini Si Kuping Besar bisa diangkat, kabarnya ia dan beberapa Liverpudlian yang mualaf akan percaya dengan datangnya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwah, tentu selama yang menjadi Kholifah adalah Mohamed Salah.

#YoullNeverMuslimAlone

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 04, 2018 15:57

April 2, 2018

cinta kecil

Untuk A. R.
Hatinya dipenuhi putihitamerahijaungu rasaIa percaya hati dirancang untuk derita
Cinta kecilmu tak kan pernah menjadi besar, hatimu yang semakin menciut
Di ujung horizon, garis itu hanya ilusiHal yang sebenarnya adalah langit yang tanpa tepi
Apa yang lebih meyakitkan dari cinta yang tak bisa kau katakan?Menjadi dungu dan belum juga mati


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 02, 2018 01:46

March 16, 2018

Percakapan di Depan Telinga

Awan gemawan kelabu di atas langit menggantung rendah. Belum ada tanda-tanda akan turun hujan. Saya menyebrang jalan dan duduk di bawah rindang pohon sambil memesan semangkuk mie ayam. Alun-alun Bekasi siang itu riuh rendah oleh latihan baris berbaris di ujung lapangan.
Mangkuk yang masih mengepul disajikan. Aroma mie ayam memenuhi penciuman. Belum sempat saya menelan suapan pertama ketika wanita itu bercerita tentang mantan suaminya. Saya tidak kenal wanita paruh baya itu. Ia berbicara kepada seorang laki-laki di sampingnya, tapi suaranya terdengar seperti ia bebicara di telinga saya.
“Jadi tujuannya apa ya?” laki-laki itu bertanya.
“Nggak tau. tapi setelah gue pikir-pikir lagi. Mungkin mau numpang hidup.”
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Wanita itu meneruskan, “Bahkan di hari-hari pertama pernikahan aja dia udah dingin gitu sikapnya. Ya namanya penganten baru kan ya, maunya deket-deketan terus ya. Dia mah nggak mau. Padahal gue udah pancing-pancing. Malah dia bilang, tujuan nikah tuh bukan hanya untuk gituan. Ah bohong banget.”
Laki-laki itu masih mengangguk-angguk. Wanita itu terus bicara, “Mungkin dia tau gue jualan onlen kali. Tapi kalo dia mau nipu, dia salah orang. Karena gue juga gak punya apa-apa. Barang-barang yang gue jual kan dari orang lain. Aslinya ya gue gak punya apa-apa.”
“Kemungkinannya memang dia mau numpang hidup dan manfaatin.” Akhirnya laki-laki itu merespon, “Tapi dia menipu orang yang salah.”
Wanita itu terus bicara. Bercerita tentang ia yang ingin dijodohkan dengan tukang parkir yang punya kontrakan. “Bodoh banget lu kalo nggak mau.” Wanita itu mencontohkan apa yang dikatakan orang yang ingin menjodohkan.
“Gue bilang, ya lu liat aja anaknya. Udah gede-gede gitu. Umur anak-anaknya juga seumuran kali sama gue.”
Wanita itu masih bercerita sementara mangkuk di tangan saya sudah tandas. Saya memberikan uang sepuluh ribu dan mengucapkan terimakasih kepada penjual. Kemudian saya menyebrangi lapangan alun-alun menuju rumah sakit. Ada sesuatu yang ingin saya ambil.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 16, 2018 01:52

March 12, 2018

Drama Musikal, Homeschooling dan Kemalangan

Hujan deras mengguyur ketika kereta tiba di stasiun Bekasi. Nada yang awalanya tertidur di pangkuan, saya gendong ke luar gerbong, cipratan air yang tampias dari atap peron membangunkannya. Jam di HP menunjukan pukul 22:45.

“Sudah dimana, Pak?” kata saya kepada sopir taksi online melalui telpon.

“Ini dengan Nabila?” Ia tidak menjawab. Saya ingin mengiyakan dan menambahkan bahwa saya mantan JKT48.

“Ini Nailal, Pak.”

“Oh iya, maksud saya Nailal.”

“Sudah dimana, Pak?”

Saya memutuskan menerobos guyuran hujan dan menunggu di pinggir jalan. Dua detik menunggu, taksi datang. Pintu dibuka dan dari balik kemudi, sopir memastikan, “Dengan Pak Nailal?”

“Bukan. Saya Nabila. Mau handshake, Wota?” tentu saya tidak sejahil itu.

Beberapa kali saya bertemu dan berbicara dengan orang-orang baru. Hal menarik dari bertemu dengan orang baru adalah kita bisa menilai mereka dari pertanyaan atau cara mereka bertanya dan menjawab.

Beberapa jam sebelumnya, dalam gerbong kereta, saya memberikan tempat duduk kepada seorang wanita muda yang berdiri dekat pintu kereta. Setelah duduk di samping, sambil melihat Nada ia menyapa, “Nggak sama ibunya?”

Beruntung yang ditanya saya, kalau Ahok akan panjang ceritanya. Setelah saya jawab pertanyaan mudah itu, ia kembali pada posisi antara bertanya atau menyatakan, “Iya, anak perempuan emang lebih deket dengan ayahnya ya?”

Sambil tersenyum saya jawab, “Kebetulan tiga anak saya perempuan semua.”

Tipe sopir taxi bermacam-macam. Ada yang suka bicara dan bertanya, ada yang pendiam, atau laki-laki berumur 40an dengan kecenderungan bicara seperti perempuan ABG yang sedang PMS. Percayalah, saya pernah bertemu semua makhluk itu. Sopir saya kali itu santai. Saya perkirakan umurnya tidak jauh dengan saya.

Ia mulai bicara tentang kereta. Jadwal kereta, penumpang kereta, perbedaan kereta jaman dulu dan sekarang. Seketika kami mengenang masa-masa lalu dan menjelma menjadi dua orang Dilan. Berbincang tentang atap kereta, tawuran, dan telpon umum.

“Dari Taman Ismail Marzuki.” Kata saya menjawab pertanyaan.

“Nonton teater?”

“Iya.”

“Oh, saya juga sering ngajak anak saya nonton teater di sana.”

“Oya?” saya takjub, “Kirain cuma kenal teater FX Sudirman lantai 4?” tentu saya tidak seiseng itu juga. Kecuali kalau dia mengatakan sebagai ketua Wota Garis Keras JKT48 cabang Babelan.

Sejujurnya, jarang saya bertemu orang yang masih mau nonton teater, apalagi bersama anaknya. Saya sendiri baru pertama kali nonton Drama Musikal. Beberapa kali berperan dalam drama sekolah, baik waktu Aliyah atau kuliah, pernah juga membuat naskah drama, namun menonton drama di sebuah gedung teater adalah hal yang baru untuk saya, apalagi Nada.

Seminggu sebelumnya, kepada Nada saya memberi gambaran tentang apa itu seni teater dan beberapa triler Mimpi-mimpi Pelangi, drama yang akan ditonton. Ia bercerita kepada hampir seluruh teman-temannya dan pada hari keberangkatan tidak bisa tidur siang. Padahal tidur siang adalah salah satu sarat yang saya ajukan, karena acara berlangsung malam.

Isi dari drama tersebut sederhana, cerita tentang kemalangan. Anak-anak di lintasan rel kereta yang tidak bersekolah. Mereka tidak bersekolah bukan hanya karena pemerintah tidak bisa menjamin sekolah dan keperluan sekolah mereka, tapi karena orang tua mereka butuh bantuan anak-anak untuk bertahan hidup. Klise.

“Luna nggak sekolah, Pak?” Nada bertanya di tengah-tengah pertunjukan.

“Iya.”

“Sekolah di rumah?”

“Bisa juga.”

“Luna Homeschooling?”

“Well, gak seperti itu juga.”

Pertanyaan anak adalah teaching moment yang tidak selalu mudah. Sebuah sarana untuk menerapkan Learn to know, salah satu 4 pilar pendidikan UNESCO. Saya berpikir sebentar apakah perlu menjelaskan tentang Unschooling-nya John Holt yang mungkin bisa dikaitkan dengan apa yang dijalani Luna, Albi dan kawan-kawannya di Kampung Kuning, atau menjelaskan metode Homescooling yang sedang kami lakukan. Saya akhirnya berkata, “Luna dan orang tuanya mungkin tidak paham Homeschooling, walaupun apa yang mereka lakukan bisa juga dikatakan Homeschooling. Tapi intinya, baik Luna di Kampung Kuning yang tidak pergi ke sekolah ataupun Damar dari Kampung Biru yang pergi ke sekolah, mereka sama-sama mau belajar. Itulah intinya. Karena jaman sekarang, buta huruf bukanlah orang yang tidak bisa baca tulis, tapi mereka yang tidak bisa belajar, berkembang dan memperbaiki diri.”

Nada diam, mungkin dalam pikirannya, “Ngomong apa sih, Pak?”

Panitia mengumumkan bahwa acara rehat 15 menit. Saya membuka HP, ada sebuah pesan di Facebook yang masuk dari Haris, seorang juru kamera, kawan kuliah.

Haris: Woiii sehat…

Saya: Sehaaat. Lg dimana, Ris?

Haris: Sini di Cakung, di rumah. Lo dimane?

Saya: Lagi di TIM Cikini. Nemenin bocah nonton.

Haris: Oh. Lah tadi gue di sono liputan.

Saya: Lu liputan di Cikini tadi?

Haris: Deket situ. Di Warung Daun. Kalo gue tahu ketemu kite.

Saya: Ya elah. Gue padahal makan di depan TIM tadi sore. Sayang banget yak.

Haris: Gampang nanti ketemu. Gue main ke rumah lo, atau lo main ke mari.

Saya: Mo ngundang-ngundang kayaknya nih? Qiqiqi

Haris: Kagak. Belom dapet gue calon bini. Masih jomblo aja neh. Lo ada gak? Kenalin gue donk.

Saya tidak menjawab permintaan itu, karena saya tahu itu hanya basa-basi. Haris adalah single parent dengan seorang anak perempuan yang sudah remaja.

Masalah hidup berbeda-beda, dan tidak ada yang benar-benar tahu kemalangan masing-masing orang. Dari luar semua orang akan terlihat sama, tanpa ada yang tahu masalah apa yang sedang mereka hadapi. Maksud saya begini, seperti dalam Wonder atau 50/50 --dimana setiap karakter dalam film-film itu punya kemalangan masing-masing-- setiap orang ingin dimengerti, tapi sayangnya tidak ada orang yang benar-benar bisa merasakan kegelisahan hidup orang lain.

“Abis nganter orang, Pak?” saya bertanya ke sopir. Nada meneruskan tidur di pangkuan.

“Nggak. Dari nganter anak ke rumah sakit.”

“Oh, sakit apa?”

“Leukimia.”

“Inalillahi.” Jawab saya spontan.

Kemudian ia bercerita tentang obat, perawatan dan ketelatenan, “Gak kuat saya kalau bawa anak ke rumah sakit. Apalagi kalau mau disuntik. Mending saya keluar aja.”

Saya tidak menduga, orang yang saya kira Wota paruh baya dengan krisis identitas adalah seorang ayah dengan anak perempuan dua setengah tahun yang mengidap Leukimia yang sering ia ajak nonton teater.

Saya membayangkan, jika anak itu adalah Nada. Yang harus memangkas seluruh rambutnya karena kemo. Beberapa kali tusukan jarum untuk mencari pembuluh vena yang tipis. Mengaduh kesakitan tanpa punya bahasa lain selain menangis, dan keinginan terbesar dalam doa orang tuanya sepanjang malam adalah agar seluruh penyakit dan derita sang anak pindah ke tubuh mereka.

Mungkin setiap malam, sepulang dari kerja yang sudah sangat larut, Pak Julius menangis lirih dalam tiap doa dan ibadahnya. Dalam keadaan seperti itu, bahkan kesatria yang paling tangguh sekalipun berhak menangis.

Setiap orang ingin dimengerti, tapi tidak ada orang yang bisa benar-benar merasa kegelisahan hidup orang lain.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 12, 2018 19:49

December 29, 2017

menunggu langit berwarna jingga

Sambil menunggu langit berwarna jingga, ia menyusun rindu di tepi pantai itu,dilepasnya sepatu, dibenamkan kaki pada pasir yang masih hangat
Sambil menunggu langit berwarna jingga, ia melukis janji ungu yang masih terlipat rapih dalam saku baju--dekat dengan jantungnya
Sambil menunggu langit berwarna jingga, ia biarkan ombak menghapus jejak langkahnya yang ragu,dirahasiakan setianya menanti sampai matahari berwarna darah
Sambil menunggu langit berwarna jingga, digengamnya yang tak terucap pada akad jiwa
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 29, 2017 15:47