Nailal Fahmi's Blog, page 20

July 26, 2017

Aira Fatimatuzzahra; Sebuah Nama untuk Dua Orang Nenek

Saya hanya tertawa ketika Safa (4 th), menyebut cabang bayi dalam kandungan ibunya sebagai Anak Baru.
Saya membayangkan Safa jadi pemeran antagonis di sinetron ABG labil RCTI. Dengan tampang sengak, dia akan merundung si Anak Baru, “Oh, jadi elo anak baru dari perut ibu?! Jangan sok kecentilan loe ye. Pokoknya ibu itu cuma sayang sama gueh, eloh nyusu air tajin dan tidur di kotak bayi ajaah,”
Sadis.
Nada (6 th), ketika pertama kali diberitahu akan punya adik lagi juga bertingkah lucu. Malam itu, di dalam kamar sebelum tidur, dia merespon kabar itu dengan mata berbinar dan senyum lebar, “Beneran, Bu?”
“Iya,” ibunya menjawab singkat.
Nada diam sebentar. Seperti berpikir. Tersenyum. Sedetik kemudian dia bertanya lagi, “Beneran, Bu?”
Lagi-lagi ibunya menjawab ya.
“Bayinya sekarang dimana?” Nada bertanya.
“Ada di dalam perut ibu,”
Nada kembali diam, senyum, dan bertanya lagi, “Beneran, Bu?”
Pertanyaan itu diulang beberapa kali. Sambil senyumnya makin merekah. Jika saja kejadian itu direkam dan diunggah ke medsos, pasti akan viral bahkan sampai ditonton para Lemur di pedalaman Madagaskar.
Saya juga masih ingat ketika Nada dan Safa lahir. Saya masih bisa merasakan debaran ketika menunggu mereka di ruang tunggu Rumah Sakit. Ketika melihat mereka untuk pertama kali, rasanya seperti bertemu seseorang pada first blind date, dan orang yang kamu temui melebihi segala ekspektasimu. Rasanya hyjtwxcvbghtszmlqwpxfghtr. Ya, seperti itu.
Nada lahir 7 tahun yang lalu di RSUD Bekasi, yang ceritanya saya abadikan dalam Di Bawah Bendera Sarung. Sementara Safa lahir 2 tahun setelahnya. Pagi itu pukul 9. Istri saya dibawa masuk ke ruang operasi untuk di-cessar. Saya menunggu di ruang tunggu sambil memperhatikan seorang ibu yang menggendong bayi kembar. Di kakinya gelendotan seorang anak laki-laki yang mungkin usianya 4-5 tahun. Meminta perhatian lebih dari ibunya yang sedang kerepotan menggendong dua bayi.
“Iya, nanti kalau sudah sampai rumah ya,” kata ibu tiga balita itu, “Kalau di sini mana ada yang jual?”
Anak yang dibujuk tetap merengek. Ibunya tetap sabar.
Saya membayangkan berada di posisi ibu itu. Tiga anak. Masih kecil-kecil. Semuanya minta diperhatikan. Pasti repot sekali. Seketika nyali saya ciut. “Kembar ya, bu?” saya berbasa-basi ketika rengekan anaknya mereda.
“Iya, kembar tiga,” sang ibu menjawab sambil senyum, “yang satu ditinggal di rumah sama neneknya,”
Saya semakin ciut.
Alhamdulillah, putri ke tiga saya telah lahir. Kelahiran ini —sebagaimana setiap kelahiran anak-anak sebelumnya, membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik.
Kami memanggilnya Aira Fatimatuzzahra, meminjam nama kedua neneknya dengan harapan nama itu membawa keberkahan dalam hidupnya. Karena rida dan kasih sayang mereka adalah hal yang selalu kami harapkan. Semoga Allah mengampuni dosa kedua orang tua kami dan selalu menjaga dan menyayangi mereka.
Akhirnya, hanya kepada Allah kami memohon pertolongan dan kekuatan. Meminta ampunan atas segala kesombongan dan keangkuhan.
Wahai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk, Berikanlah pada hati kami kelapangan, keterbukaan untuk menerima segala kebaikan. Kuatkanlah kami untuk terus menemukan inspirasi untuk dapat mewujudkan segala keinginan kami. Wahai Allah Yang Maha Sempurna, lengkapilah usaha kami yang selalu tidak pernah paripurna. Wahai Allah yang Maha Pememberi Kesejahteraan, Anugrahkanlah kepada kami kemampuan untuk berbahagia dengan kebahagian orang lain. Jadikanlah kami jiwa-jiwa yang kaya dan berikanlah kami kemampuan menjadi kaya tanpa mengalahkan.
Wahai Allah Pemilik Masa Depan, cukupilah masa depan kami. Cukupilah kami yang tak punya penghasilan tetap, karena yang tetap hanya pemberian-Mu.
Wahai Tuhan Yang Maha Pengampun, maafkanlah segala dosaku dan keluargaku, ampunilah segala kehilafan kami yang tak kunjung selesai.
Wahai Allah yang Maha Penyayang, Jadikanlah kami dan anak keturunan kami orang-orang yang tetap mendirikan salat. Ilhamkan kepada kami untuk tetap mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugrahkan kepada kami dan kepada anak keturunan kami. Sungguh kami bertaubat kepada-Mu dan sungguh kami adalah termasuk golongan yang berserah diri.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 26, 2017 22:26

June 23, 2017

Buku Baru di Hari Baru

Desember 2015, saya dan seorang kawan, penulis yang sangat berbakat, Vira Luthfia Annisa, membuat proposal menulis keroyokan dengan tema Parenthood.
Singkat cerita, kami mendapatkan beberapa penulis yang siap untuk berkontribusi. Pertengahan tahun 2016, proposal tersebut kami tawarkan ke sebuah penerbit, namun ditolak. Penolakan itu mungkin karena kami hanya mengajukan proposal dan belum berbentuk naskah utuh, pikir saya waktu itu. Kami kemudian membuat target untuk merampungkan proyek bersama ini, sayang banyak dari kami yang karena kesibukan dan lain hal, tidak memenuhi target yang diharapkan.
“Gue optimis naskah kita akan terbit, Vir!” begitu saya bilang ke Vira. Naskah saya pernah ditolak puluhan penerbit, jadi pesimis dengan ide yang akan ditulis menjadi buku adalah hal yang di luar bayangan saya.
Oktober 2016, saya mendapat WA dari Vira tentang perlombaan menulis yang diadakan oleh Penerbit Lingkar Antarnusa. Entah bagaimana, ide dan ketentuan menulis yang dilombakan sangat mirip dengan proposal yang pernah kami buat. Saking miripnya, sempat terbersit di benak saya bahwa mungkin ada yang membocorkan proposal kami ke penerbit tersebut. Tentu itu pikiran yang tidak membawa saya kemana-mana. Maka saya mengembangkan pikiran yang lebih positif bahwa saat kamu menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta akan bersatu membantu meraihnya.
Saya mengirimkan 6 tulisan, namun hanya dua yang terpilih. Sementara Vira, dari 5 tulisan yang dikirim, semuanya terpilih. Jadi mengerti kan kenapa di awal tulisan saya sebut ia berbakat? :)



Ps: Buku ini diterbitkan dengan metode print on demand, diterbitkan berdasarkan pemesanan. Karena itu, mohon maaf, buku ini tidak tersedia di toko buku.Keuntungannya, buku ini bisa dibeli dengan cara yang lebih mudah dan kekinian, tanpa repot-repot pergi ke toko buku. Bisa dipesan melalui: inbox FB Lomba Nulis, e-mail: katabercerita@gmail.com, WA: 087739057244.Harga Buku: Rp 50.000,- Spesifikasi: ISBN: 978-602-6688-01-9, Jumlah halaman: 224, Halaman kertas isi: bookpaper 57 gsm, Kertas sampul: ivory 260 gsm.Please share the note
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 23, 2017 22:24

May 25, 2017

Apa yang Tidak Saya Ceritakan Kepada Nada Ketika Saya Bercerita Tentang Kematian

Sudah dua kali saya masuk ke lubang kubur.
Dalam Islam, penguburan jenazah adalah hal yang begitu dekat dan cepat. Seorang anak bisa memandikan, mengkafani, mensalati dan turun ke liang kubur untuk mengazani jenazah orang tua mereka. Itu hal yang biasa dan lumrah terjadi. “Langsung tidur ya. Bapak mau jemput ibu dulu. Kalau besok bangun pagi, bapak ajak ke makam Mbah.” Nada gelendotan di tangan saya malam itu. Dari sorot matanya, saya tahu 10 menit lagi ia akan tertidur. Pada hari yang biasa, untuk membuat cepat naik ke kasur, saya akan menghipnosisnya, atau menceritakan dongeng yang saya buat sendiri tentang Unyil yang terkurung sendirian di gudang belakang sekolah, atau bercerita tentang seorang anak yang bisa mendengar dengan mata.
Lima hari sebelumnya, dari Fikri saya tahu bahwa ibu meminta saya untuk menamai nisan bapak. Saya mengajak Adil, adik saya yang lain, tapi anak yatim itu sulit sekali dibangunkan, seperti ada Papeda lengket yang menyumpal kedua matanya setiap pagi.
Dan di sinilah saya bersama Nada, di depan nisan putih, membawa dua kaleng cat.
“Ini kuburan siapa, pak?” pertanyaan pertama Nada beberapa saat setelah kami masuk ke komplek pemakaman keluarga itu.
“Kuburan Empi,” Empi adalah sebutan orang Betawi untuk ibu dari nenek/kakek.
“Kok kuburannya enggak di sebelah sana?”
“Iya, supaya gak terlalu dekat dengan jalan. Lagian kan di sini masih luas?”
“Kalo itu kuburan siapa?”
“Kuburan suami Empi.”
“Kalo yang itu?”
“Kuburan kembaran Empi.”
“Emang Empi punya kembaran?”
Ia cerewet dan terus bertanya. Ada 235 pertanyaan. Setiap sepuluh pertanyaan, diakhiri dengan kalimat, “Pak ayo kita pulang, lama banget sih, banyak semut nih,”
Semakin lama, pertanyaan-pertanyaan itu semakin sulit, sementara saya berkonsentrasi agar tidak salah menulis.
Langit belum bersinar sempurna. Seekor tikus berjalan melintasi pemakaman.
“Oh, nanti di sini berarti kuburan nenek ya?” Nada menunjuk tanah di samping makam yang sedang saya tulis.
“Belum tentu. Tergantung yang meninggal duluan,”
“Oh, Husna ya?”
Husna adalah sepupu Nada yang berumur 2 tahun. Saya tidak tahu apa yang ada di kepala anak umur 6 tahun tentang kematian. Dan saya pun tidak akan membacakan Sutardji, “dari hari ke hari / bunuh diri pelan-pelan // dari tahun ke tahun / bertimbun luka di badan // maut menabungKu / segobang-segobang”
Apa yang orang tahu dari kematian dan kehidupan setelahnya, ibarat setetes air dari jarum yang dicelupkan ke air laut, dibandingkan dengan air samudra. Tidak ada orang yang tahu kapan kematian mereka. Dan Ramadhan, tidak pernah gagal untuk selalu mengingatkan kepada orang-orang yang telah mangkat.
Sementara kehidupan, yang merupakan kawan karib kematian, bukanlah sahabat yang bisa diandalkan. Kehidupan ini seperti Richard Parker, seekor harimau Benggala dalam Life of Pi. Betapapun Pi menganggap Richard Parker sebagai kawan seperjalanan, harimau itu tidak peduli. Pada akhirnya, Pi memahami arti dari seluruh kehidupan ajaib yang ia jalani, “I suppose in the end, the whole of life becomes an act of letting go, but what always hurts the most is not taking a moment to say goodbye.”
“Kok kuburan Embah ada begininya sih?” sambil tanganya membuat bentuk seperti gundukan, “Kok kuburan Empi rata? Kenapa?”
“Itu yang kecil kuburan siapa?”
“Pak ayo kita pulang, lama banget sih, banyak semut nih,”
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 25, 2017 22:22

March 22, 2017

101 Seni Mengasuh

“Nggak semua orang bisa dihipnotis.” Istri saya berkomentar.
“Selama tidak dungu dan mengerti bahasa, semua orang bisa dihipnotis.” Saya menjelaskan.
“Waktu itu aku dihipnotis nggak berhasil.”
“Siapa bilang? Aku berhasil hipnotis kamu untuk nggak bisa dihipnotis.”
Istri saya tertawa karena menganggap saya bercanda. Andai dia tahu kalau dia juga saya hipnosis waktu nerima lamaran saya.
Penggunaan kata dan Bahasa yang tepat adalah perangkat yang diperlukan untuk menjangkau alam bawah sadar. Pakar hipnosis harus sangat cakap dalam berbahasa, guna mencari cara bagaimana menyentuh alam bawah sadar pasien. Bisa melalui metafora, tantangan, cerita, sinisme, mengacaukan pikiran untuk memfokuskannya dan lain-lain. Ada juga hipnosis terselubung yang bisa membuat orang menjalankan sugesti tanpa ia menyadari sedang dihipnosis. Namun sekali lagi, kunci dari semua itu ada di kemahiran berbahasa. Anak-anak lebih mudah dihipnosis karena imajinasi mereka tinggi dan menyukai pengalaman baru. Nada (5 th) girang dan dengan penuh semangat mengatakan ke ibunya, “Bu, tangan kakak tadi jadi kayu.”
Memang sebelum itu, saya menghipnosis Nada dan mengatakan bahwa tangannya telah menjadi kayu. Pada kesempatan lain, saya membuat ia bisa merasakan tangannya terangkat ringan seperti ada tali yang menarik. Di kesempatan yang berbeda, hipnosis membuat ia melupakan angka empat. Ia menghitung seluruh jari tangannya berjumlah sebelas. Nada bergairah dengan pengalaman-pengalaman baru itu, tapi untuk pengalaman yang terakhir, tentu saja ibunya khawatir.
Saya tidak mempelajari hipnosis hanya untuk bersenang-senang. Saya menggunakan untuk mengurangi kram di urat leher ketika menyuruh anak-anak gosok gigi atau tidur siang. Saya juga menerapkan pada mereka untuk meringankan sesak nafas, tidak takut ketinggian, menjadi lebih percaya diri dan berbagai hal lain yang tak terbatas. Ya, saya menerapkan hipnosis dalam parenting. Anak-anak telah dianugrahi imajinasi yang tidak ada tandingannya, dan setelah mereka tahu bagaimana menggabungkan relaksasi dengan imajinasi, mereka akan memiliki bekal yang sangat berharga bagi kehidupan mereka.
Saya percaya bahwa seiring kemajuan ilmu pengetahuan, manusia menjadi semakin efisien. Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang mengasuh anak. Ada banyak metode atau teori parenting yang saya dapat, entah dari buku, social media, seminar, workshop dan lain-lain. Namun, tidak jarang dengan berbagai macam informasi dan teori tentang parenting, membuat orang tua bingung. Tidak jarang teori-teori tersebut malah bertentangan. Lagipula, lebih mudah mengatakan teori-teori itu daripada melakukannya.
Belakangan saya ketahui bahwa mengasuh anak adalah seni. Kita tidak bisa hanya mencontoh apa yang ada dalam buku atau seminar. Jika apa yang dicontohkan dalam teori tidak bekerja, perlu ada modifikasi dan penyesuaian. Buku-buku parenting bukan manual book yang harus diterapkan dengan presisi dan kita berhadapan dengan mamalia kompleks dengan tingkat intelegensi yang tinggi, sehingga terkadang diperlukan penyesuaian tergantung keadaan. Hal itu juga membuat kita tidak mudah putus asa hanya karena satu cara tidak bisa diterapkan. Selama prinsip, nilai utama atau tujuannya sama, cara yang dilakukan boleh berbeda-beda. Cara yang beragam itulah yang dipelajari lewat pengalaman. Dan untuk yang satu itu saya tidak pernah merasa pintar.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 22, 2017 22:16

Karena Ikan Bukanlah Tujuan, yang Utama Adalah Kolornya

Pukul 13:15
Saya baru tiba di rumah ketika membaca pesan di grup WA yang mengajak kumpul di tempat Edogawa.
“Bentar ki. Gw nglurusin kaki dulu inih.” Saya membalas chating.
Pukul 13:30 
“Begini nih Fahmi kalo maen ke tempat guah. Pake kolor doang.” Edo menyambut di depan pintu, “Mana kolor kagak pernah ganti dari jaman mondok lagi.”
Saya cuma nyengir. Perasaan saya nggak enak. Kolor akan jadi trademark saya hari ini, pikir saya kemudian.
Pukul 14:30 
“Makan di tempat mancing aja.” Si gondrong Moses mengusulkan. Wartawan TV itu memang ngebet nyari tempat mancing di Bekasi.
“Emang mao mancing dimana, Bang?” saya tanya ke tuan rumah.
“Danau Cibereum!” Edogawa mantap.
“Di GrandWis, Mi.” Suhayat menjelaskan setelah saya tanya dimana.
“Oh, KotWis! Deket dong!” kata saya. Suhayat bingung. “Pake mobil lu aja, Ses! Kan ada bagasinya.” Furqon, si veteran perang Vietnam, mengusulkan. Bagasi mobil dibuka, tas berisi kompor dan peralatan masak dimasukan. Tanpa banyak berdebat, tanpa banyak rencana, kami, 5 orang kawan mondok, masuk ke Corolla 88 dan meluncur ke arah timur Bantar Gebang. Misi kami hari itu: strike ikan gabus terbesar di Danau Cibereum!
Dalam perjalanan, kami bercanda dan mengenang keakraban yang terjeda. Kami lulus pesantren tahun 2003, itu artinya sudah 14 tahun kelulusan dari sekolah yang menyatukan kami, itu artinya sudah 14+1 tahun dari AADC pertama tayang, dan kami belum bisa move on dari Dian Sastro.
Saya menganggap pesantren kami sebagai pesantren NU non-formal, karena memang walaupun amalan-amalan di pesantren seperti tahlil, qunut, rawi-an saat Maulid, kitab-kitab yang dibaca dan lain-lain sangat NU, tapi Kiyai Muhajirin (Allah yarham) tidak pernah aktif atau ikut organisasi NU formal. Walaupun lagi, karena lebaran sering nggak bareng dengan pemerintah, sering kami malah dianggap Muhammadiyah. Saya nggak punya masalah dengan Muhammadiyah, kawan-kawan saya banyak yang Muhammadiyah bahkan Salafi dan kami bergaul dengan baik, tapi orang NU yang dianggap Muhamadiyah itu lucu. Sangat lucu. Sama lucunya dengan yang menganggap Ceban itu Goceng. Pukul 15:30
Tiba di lokasi, kami berjalan beriringan. Moses dan Edo di depan, Furqon dan Suhayat mengikuti, sementara saya paling buncit.
Belum jauh kami berjalan, seekor bencong dengan betis CR7 datang dari arah berlawanan. Memang sebelumnya Hayat bilang kalau bencong di sini ganas-ganas, dan melihat makhluk yang kami hadapi sekarang membuktikan kalau Hayat memang pemerhati bencong kelas dunia.
Bencong mendekat dan mencolek Edo, kemudian melewati dan senyum ke Hayat dan Furqon.
“Pait, pait, pait,” kata saya dalam hati ketika bencong tinggal satu tebasan golok di hadapan. Sambil memainkan hape, saya pura-pura nggak peduli.
“Baaanggg,” kata si bencong dengan suara sengau ke arah saya, “Kok pake kolor sih…”
Refleks saya pegang kuat-kuat tali kolor.
Pukul 16:00
Setelah makan toge goreng, kami mencari spot yang bagus buat mancing. Moses sang pakar mancing menentukan lokasi. Lima buah joran dikeluarkan dan kami memancing.
Power Ranger; Zordon adalah yang mukanya paling lebar Edo: Spesialis mancing janda
Spesialis mancing bencong
Cepak Kim Jong-un
Pakar bencong internasional
“Do, ayolah masak aer buat ngopi!” saya mengajak.
“Kopinya ketinggalan di mobil.” Kata Furqon sambil betulin kacamata.
“Pada pinter banget dah!” saya mulai misuh, “Ini tas isinya peralatan masak dibawa, trus kopi ditinggal di mobil?! Mo ngopi pake aer rawa lu pada! Mending bawa kopi aja, kita bisa minta aer panas sama tukang warung!” Saya sewot.
“Ngomong aja luh, Malih!” Edo membalas, “Udah lu ambil kopi di mobil sana. Sekalian ambilin rokok gue yang ketinggalan,”
Saya mau saja ambil kopi, tapi melihat kelakuan bencong yang kata Edo bisa striptis di batang bambu, saya nggak yakin bisa balik dengan selamat. Jadi ini bukan sekedar perkara mengambil kopi, tapi pertaruhan mempertahankan keperjakaan. Dan dengan kolor yang saya kenakan, saya akan jadi sasaran empuk setiap predator seksual.
Maka kami, lima orang berpendidikan tinggi ini, nggak ada yang mau menebus kebodohan membawa panci tanpa kopi, dengan mempertaruhkan kehormatan keluarga. Slogan kami hari itu; Mending nggak ngopi daripada pulang ngangkang!
Sambil mancing, kami berguyon tentang banyak hal. Kelucuan di kalangan santri memang tradisi. Sekeras apapun perdebatan kami di social media, ketika bertemu kami pasti tetap bercanda. Karena menurut kami, tidak ada masalah yang perlu terlalu serius diurusi sampai melupakan keakraban dan guyonan. Kami mewarisi kelucuan dari abang dan guru-guru kami.
Saya masih ingat ketika seorang guru mengubah nama kawan kami Abdurahman menjadi Omen, atau kisah abang kelas yang kesetrum karena menggantung celana dalam basah di kabel, atau kelakuan iseng mengeluarkan paksa kawan yang lagi mandi dari kamar mandi dengan tanpa pakaian. Maka saya mengabadikan kelucuan-kelucuan di pesantren itu —dengan cara menertawakan diri sendiri— dalam Badung Kesarung dan Di Bawah Bendera Sarung.
Sehabis ngaji santri doyan nongkrong sambil ngopi, atau terkadang sambil main poker. Membicarakan banyak hal dari mulai bola, negara sampai Qoul Qodim dan Jadid Imam Syafi’i. Dengan kondisi komunal semacam itu, maka melucu dan berguyon dengan hal-hal sekitar kami yang terkadang rumit menjadi kemampuan yang melekat.
Zaman sekarang, saya cenderung risih dengan santri yang kusut, runyam dan setiap posting ngajak bacok-bacokan. Ditambah lagi lupa adab dan akhlak. Kurang ngopi, istilah kami.
Pernah saya menulis status lucu-lucuan mempertanyakan apakah Tuhan punya akun di media sosial sehingga banyak yang berdoa di sana. Saya berharap status itu dapat komen, “Tuhan udah nggak mainan fesbuk, akhi. Sekarang pindah ke IG. Kalo mau add Malaikat Izroil aja nih. wkwkwkwk”. Tidak saya sangka, komentar-komentar atas status itu terlalu serius. Ada yang nulis, “Mau ngingetin aja takut lo lupa. Tuhan memang ada dimana-mana.”
Tentu saja saya mengerti tentang doktrin bahwa Tuhan ada dimana-mana, bahkan lebih dekat dari urat leher, tapi membayangkan Tuhan punya akun fesbuk itu lucu. Kalau mau serius, saya bisa saja membalas komentar-komentar itu dengan penjelasan Mujassimah Musyabbihah, tapi jawaban itu akan terasa seperti kanebo kering; kaku.
Saya paham nggak semua orang mengerti saya sedang bercanda, apalagi itu isu sensitif. Maka sekarang saya sudah insaf dan jarang nulis status guyonan yang sensitif seperti itu lagi. Saya nggak mau lagi bercanda bahwa Tuhan itu seorang pria 40 tahun yang tinggal di Dusun Krajan. Dia bisa terserang flu bahkan Ambeien.
Kelucuan dan menertawakan diri sendiri itu tingkat yang paling tinggi dari pengetahuan. Orang yang mengerti tidak akan merasa tersakiti dengan guyonan. Orang yang penuh pemahamannya, memberi jarak dan melihat dari jauh setiap masalah agar akal sehat bisa mencerna. Mengutip Charlie Chaplin, “Life is a tragedy when seen in close-up, but a comedy in long-shot.” Atau dalam bahasa yang lebih ringkas tragedy + time = comedy.
Sedikit lebih panjang, Gus Dur menulis, “Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat.”
Tentu kami nggak terus-terusan guyon, kami mengerti batasan. Kami mengerti terlalu banyak tertawa mematikan hati, tapi terlalu sedikit tertawa juga bisa membuat hati cepat terkena serangan jantung.
Pukul 16:00
Sampai hari remang, kami nggak mendapat ikan seekorpun, tapi pemandangan, suasana dan keakraban hari itu sangat kami nikmati.
“Kurang bahagia gue blom narik ikan.” Kata si gondrong.
“Tadi kolornya Fahmi bukannya lu tarik?” Edo bales.
“Bah, belut listrik itu mah! Lu enak udah dicubit bencong.”


Matahari hampir tenggelam, langit bersemburat warna jingga dengan siluet gunung salak di kejauhan. Danau, langit, pelangi, gunung dan senja bersatu menampilkan gambaran alam paling subtil yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bayang-bayang segala sesuatu memanjang mengingatkan saya akan sajak Sapardi.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang. Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 22, 2017 22:12

February 21, 2017

Sekolah Menjadi Orangtua

“Bapak, sepeda kakak dipinjem Bunga. Kakak mau main lagi.” Nada mengadu lagi tentang Bunga, tentu bukan nama sebenarnya.
“Ya sudah bilang sana.” Kata saya dari dapur. Nada memang kurang berani dengan Bunga, kawan di lingkungan rumah yang usianya lebih muda 2-3 tahun. Setiap kali Bunga meminjam sepeda, Nada selalu memberikan.
“Dia nggak mau dengerin. Bapak aja yang ngomong.”
“Itukan temen kamu, sepeda kamu, ya kamu yang ngomong. Kakak memang mau ngomong sama temen bapak, padahal bapak yang punya perlu?”
Nada diam.
Permainan logika itu terkadang berhasil. Tapi anak-anak selalu punya cara untuk merengek. “Ya sudah. Menurut kakak bapak harus gimana?” Tanya saya.
“Bilangin Bunga suruh balikin sepedanya.”
“Bunga kan bukan anak bapak. Bukan tanggung jawab bapak dong. Bunga itu tanggung jawab orangtuanya.” Nada mendengarkan, saya melanjutkan, “Sekarang gini aja. Kakak bilang ke mamahnya Bunga, minta Bunga balikin sepedanya. Lagian memang kamu nggak liat bapak lagi cuci piring?”
Nada masih merajuk. Dengan masih membelakanginya, saya tetap merespon dengan jawaban terakhir.
Entah bagaimana caranya, beberapa menit kemudian, ketika saya melihat Nada di depan rumah, ia telah memainkan sepedanya lagi.  Edward de Bono dalam bukunya Children Solve Problems, melakukan percobaan dengan memberikan 9 tugas kepada anak-anak untuk diselesaikan. Setiap tugas dipilih dengan teliti dengan mengukur karakter yang berbeda-beda dari anak-anak. Kesimpulan dari buku tersebut adalah anak-anak bisa memecahkan masalah dengan sangat mudah. Cara mereka mengatasi masalah memang terkadang tidak praktis, tetapi cara-cara itu didapat dari kemahiran, semangat, dan imajinasi yang mengagumkan yang pantas membuat iri banyak orang dewasa.
Sebagai orang dewasa, saya banyak belajar dari mereka. Selain banyak membaca dari berbagai sumber tentang parenting, belajar dari pengalaman, belajar dari kesalahan dan belajar sambil melakukan adalah hal yang menjadi kemestian. Dan jika menjadi orang tua ada sekolahnya, maka pasti anak-anak yang menjadi sang maha guru.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 21, 2017 21:10

February 14, 2017

La La Land; Sebuah Dunia Tanpa Tinky Winky

Sebastian: What do you mean you don't like jazz? 
Mia: It just means that when I listen to it, I don't like it. 


Kenapa La La Land? Kenapa tidak? The Telegraph, The Guardian, The Times, dan Cine-Vue.Com memberikan bintang lima untuk film ini. Menyapu bersih 7 piala dari 7 nominasi Di Golden Globe, dan menjadikannya sebagai film pertama yang membawa pulang piala terbanyak sepanjang ajang itu. Sampai Januari, sudah 196 penghargaan dan nominasi yang diterima film ini, sementara Academy Awards baru akan diselenggarakan akhir Februari nanti. Ya, mungkin penghargaan yang tidak akan dimenangkan film ini hanyalah Piala FFI.
Ini film tentang mimpi, atau meminjam kata-kata Mia, “Here's to the ones who dream / Foolish as they may seem. / Here's to the hearts that ache. / Here's to the mess we make.” Dan diakhir cerita, saya menangkap Perahu Kertas Dee, tapi dengan penutup yang pahit.
Saya masuk 15 menit setelah studio dibuka. Di menit ketika Ema Stone membuka jaket dan terlihat tumpahan kopi di kemeja putihnya. Setelah itu, alur berjalan pelan dan cenderung membosankan, tanpa ada sub plot yang membuat kejutan-kejutan. Menurut saya wajar, karena ini film musikal, waktu yang ada mesti diberikan untuk lagu dan tari. Tentu jika tema, alur yang lebih kompleks disertai nyanyian dan joget, saya mengharapkan film ini akan sepanjang Kuch Kuch Hota Hai.
Poros film ini hanya pada dua tokoh Sebastian dan Mia. Dunia di dalam film ala Broadway ini adalah tempat dimana bicara dan gerak diekspresikan secara wajar dan alami melalui lagu dan tari, dimana kenyataan bisa seperti hayalan. Di zaman emoji menggantikan ekpresi, yang terkadang palsu, lagu dan tarian adalah antitesis kepura-puraan. Pada beberapa adegan, kita disajikan kegugupan, debar dan ketertarikan yang manis. Kita terbawa sendu ketika Sebastian berjalan di sepanjang dermaga, bersiul, kemudian lirih bernyanyi City of Stars dengan nada rendah.

City of stars Are you shining just for me? City of stars There's so much that I can't see Who knows? Is this the start of something wonderful and new? Or one more dream that I cannot make true?
Tentang menari, saya kaku, sementara tentang Jazz, saya tidak tahu. Saya suka menari di tempat dan kalangan tertentu. Saya menari ketika atau setelah mandi, sementara saya bernyanyi ketika ngantuk coba merubuhkan saya dari atas kendaraan. Saya tidak peduli apakah tarian Justin Bieber atau Gangnam Style banyak disukai. Saya juga tidak peduli apakah benar bahwa orang yang suka menari punya kecenderungan untuk jadi lebih spriritual dan luwes dalam pergaulan. Yang saya tahu, saya joget-joget ketika senang.
Tentang Jazz saya lebih norak lagi. Satu-satunya Jazz yang saya suka adalah Raisa. Bukan karena Raisa adalah penyanyi Jazz, tapi karena Raisa adalah Raisa. Ya, keterangan yang nggak ada gunanya. Saya baru paham mengapa musisi Jazz benci genre disko, ketika perempuan yang saya ajak nonton mengatakannya. Dan benar saja, karena dialog Mia dan Sebastian, dengan lucu menjelaskan itu.
Sebastian: Alright, I remember you. And yes, I'll admit that when we met, I was a little curt. Mia: You were "curt?" Sebastian: Alright, I was an asshole. I can admit that! But requesting "I Ran" from a serious musician? Too far!
Sebagai film bergenre drama komedi, nuansa komedik (dengan adegan-adegan kebetulan ala FTV) dan joke dalam film ini halus. Pada beberapa adegan bahkan hanya saya yang tertawa keras dalam satu studio. Lagi-lagi, perempuan yang saya ajak nonton mengingatkan sebelum penjual popcorn datang menegur.
Di atas semua, seperti Begin Again semua lagu dalam film ini begitu ear-worms.
Sebastian: Well, no one likes jazz, not even you! Mia: I do like jazz now because of you!
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 14, 2017 20:58

January 30, 2017

Dengarlah Nyanyian Angin

Untuk D.
Kita berjalan melintasi pintu-pintu waktu yang berbaris panjang seperti cakrawala di tengah laut biru. Di ujung senja jingga itu, cintaku, akan ada burung-burung putih yang pulang dengan perut kenyang. Dan rembulan muda yang sendu seperti sepasang kekasih yang bersitatap dalam rindu ungu.
Tahun-tahun perenggut semua hal tidak pernah melongok dari jendela-jendela yang tertutup rapat antara buku-buku sejarah yang usang dan rumput-rumput hijau yang terinjak.
Kamu menyebut itu kebaikan yang selalu utuh, hikmah yang penuh, kebenaran yang menyeluruh dalam pekikan riuh hulubalang.
Tuhan ada dalam kedamaian hati yang berkelindan dengan warna kelabu yang berubah merah seperti sinar matahari hangat di tengadah telapak tangan, ketika sujud tidak cukup untuk manampung maut rindu dan sajakmu yang berdendang di tiup nyiur resah angin malam.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 30, 2017 20:57

March 15, 2016

100 Kenangan



“Kalau aku meninggal, apakah mereka semua akan berkumpul?” suatu hari simbah pernah bertanya.
Setelah berpikir sejenak, saya menjawab, “Mbuh!”  

Beberapa tahun yang lalu, saat masih kuliah, saya tinggal bersama nenek. Jika di rumah, sebagian besar waktu, selain membaca buku, saya habiskan untuk mengobrol dengan beliau. Banyak hal yang ia bicarakan, tapi yang paling sering, dan selalu ia bicarakan, adalah tentang anak-anaknya. Tentang bapak, paman dan bibi saya, yang beberapa diantara mereka telah tinggal jauh; di luar kota, di luar negeri, bahkan di luar dunia [baca: akhirat].  
Tidak jarang ia fokus bercerita tentang kejadian tertentu yang ia anggap sepesial. Ia bercerita seakan-akan itu pertama kali ia menceritakannya. Dengan gaya, intonasi, diksi, dan semangat yang sama seperti yang sering saya dengar. Ya, saya telah mendengar cerita itu berulang-ulang dan simbahpun tahu kalau dia telah menceritakan kepada saya berulang-ulang. Saya pikir itulah derita menjadi orang tua, atau mungkin begitulah derita menjadi manusia. Bahwa a moment can last forever, tidak peduli berapa lamapun kau hidup.  
Jadi ketika ia bertanya apakah anak-anaknya akan berkumpul ketika ia meninggal, saya menguras seluruh pikiran untuk menjawabnya. Saya paham mengapa beliau menanyakan hal itu. Beliau dilumpuhkan stroke, menjalani hari-hari dari atas dipan sambil mengetahui beberapa anaknya meninggal lebih dahulu. What question do you expect her to ask
Bisa saja saya menjawab pertanyaan itu dengan jawaban-jawaban lain yang beraneka ragam, tapi “mbuh” adalah jawaban filosofis yang mampu mewakili jawaban-jawaban itu.  
Seratus hari yang lalu bapak saya meninggal dunia. Umurnya 59, dan akan terus seperti itu. Di hari wafatnya, kami, lima orang anak beliau yang masih hidup berkumpul —belakangan saya tahu dari catatan harian bapak yang saya baca setelah beliau wafat, kami punya satu adik perempuan yang meninggal dalam kandungan ibu.  
Sebagai anak tertua, saya merasa bertanggung jawab untuk mengatur apa yang harus dikerjakan.  Saya dan Fikri kebagian tugas untuk memandikan, mengkafani dan menguburkan. Dua adik perempuan saya kebagian membaca Al Quran. Sementara si bontot Adil tidak bisa mengerjakan apa-apa selain menangis. Dia menangis sampai kelelahan dan tertidur, ketika dibangunkan untuk salat dzuhur, ia terbangun dan lanjut menangis. Sebenarnya seluruh anggota keluarga kami menangis pada hari itu, tapi melihat kemampuan Adil mengangis, kami menjadi minder. 
Malam itu saya pulang ke rumah dengan badan remuk. Untuk orang yang biasa bekerja di depan komputer, pekerjaan fisik menggotong keranda adalah hal yang membuat otot kaku. Dengan kelelahan semacam itu, seharusnya mudah saja bagi saya untuk tidur.  Tapi tidur bukan hanya masalah tubuh, ia juga berkaitan dengan batin. Pikiran saya belum bisa diajak berdamai. Saya meminta ijin kepada istri saya keluar kamar untuk menulis. Malam itu pukul 11, di hari normal, istri saya pasti melarang, tapi malam itu, ia seperti sadar bahwa larangannya tidak akan berguna.  Apa yang saya tulis pada layar laptop malam itu? 
Kenangan. 
Semua orang pasti mati, tapi tidak dengan kenangan. Ada banyak kenangan dengan almarhum yang masih saya ingat, baik yang masih jelas atau samar-samar, terutama kenangan-kenangan semasa kecil.  Saya ingat beberapa kenangan masa kecil yang tidak lengkap, kadang hanya teringat kejadian, tanpa tempat dan waktu. Kenangan-kenangan puluhan tahun lalu itu samar, tapi jernih, seperti tidak bisa lepas. Lekat seperti bayangan. Semakin beranjak dewasa, saya mengerti bahwa suatu hari nanti, sebagian kita hanya akan jadi ingatan bagi sebagian yang lain, dan dalam semua kenangan itu kita hidup.
Ada satu kenangan dengan bapak yang saya tulis kemudian, dan tanpa saya sadari menjelma puisi. Saya beri judul puisi itu Di Samping Bapak Pada Suatu Petang
Kami berjalan ke utara,   bersisian di pinggir jalan Entah dimana, entah kapan
Kita bergandengan tangan,   bersama kami ada petang dan waktu yang bergerak maju 
Aku masih kecil, matahari besar bersinar terik   Membuat bayang-bayang memanjang ke arah timur
Bapak memindahkanku dari sebelah barat ke sisi yang lain Menjadikanku berada dalam naung panjang bayang tubuhnya  
Ia menoleh ke arahku, dari belakang kepalanya bersinar matahari, Ia bilang, “Kita seperti berada dalam puisi Sapardi”  
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 15, 2016 09:57

March 10, 2016

Kejahatan vs Kebaikan



Seorang murid datang bertemu gurunya, “Guru, beritakan kepadaku tentang kebaikan dan kejahatan.”
“Menjadi baik atau menjadi jahat itu mudah,” sang guru, yang kepalanya telah penuh dengan uban, berucap dengan nada datar, “yang sulit adalah bertahan untuk menjadi salah satu dari keduanya.” Sang murid menegakkan duduknya, tertarik dengan penjelasan yang baru saja ia dengar. 
Pria beruban itu meneruskan, “Seorang yang ingin bertahan untuk selalu berbuat baik, perlu motivasi yang tinggi. Begitu juga ketika seorang ingin bertahan untuk selalu berbuat jahat. Keduanya perlu motifasi yang tinggi.” 
“Apa yang memotifasi orang untuk berbuat baik, Guru?” 
“Menurutmu apa?” sang guru balik bertanya. 
Setelah berpikir sejenak, anak muda itu berkata, “Mungkin agama.” 
“Mungkin agama,” sang guru mengulang, sambil menata kalimatnya ia kembali bertanya, “bagaimana kamu melihat orang-orang yang mengaku beragama tetapi melakukan pembantaian?”
“Menurutku itu tergantung manusianya, Guru.” Sang murid menjawab cepat, “Bisa juga ia tidak taat terhadap ajaran agama yang ia anut, sehingga berbuat jahat. Karena prinsipnya, agama mengajarkan berbuat baik kepada sesama, kepada yang seiman ataupun tidak. Begitu menurutku, Guru.” 
Sang guru tersenyum, tidak berkomentar. 
Setelah diam cukup lama, sang murid kembali bertanya, “Apakah ajaran agama bisa dijadikan motif dan penguat untuk seseorang melakukan kejahatan?”
“Bisa saja.” Sang guru berujar, masih dengan suara datar, “Sebagaimana orang yang tidak beragama juga bisa melakukan kejahatan dengan motif yang berbeda-beda.” 
Sang murid pulang dengan pikiran yang lebih cerah. Orang yang percaya kepada Tuhan bisa saja berbuat jahat, sebagaimana juga orang yang sama sekali tidak percaya kepada Tuhan bisa saja berbuat baik, begitu yang ada dalam pikirannya. Kejahatan dan kebaikan tidak berkaitan lurus dengan keimanan seseorang. Iman itu baik, tapi keimanan saja tidak cukup.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 10, 2016 08:36