Nailal Fahmi's Blog, page 22

March 24, 2015

Doa Maya

Tengah malam nanti, perempuan itu ingin beribadah di akunnya. Ia ingin berdoa lirih saja dalam statusnya, supaya tidak ada follower yang bertanya kenapa.

Ia ingin menulis, “tuhanku, aku selalu percaya kehendakmu. Tapi ini sudah tiga kali aku sakit hati dihianati, wahai tuhanku. Satu saja rasanya sesak dada ini, apalagi tiga.”

“Apa yang hendak engkau buktikan dengan memainmainkan hatiku ini? Orang tuaku sudah setuju, orang tuanya juga sepertinya tidak ada masalah, maka halangan apa lagi yang hendak kau ciptakan? Apa kau sedang bergurau dengan semua ini? Sungguh ini gurauan yang tidak lucu, wahai tuhanku. Bercanda sih boleh saja wahai tuhanku, tapi jangan kelewatan keleus.”

“Jangan sampai aku tidak pernah percaya lagi dengan semua janji laki-laki dan memutuskan untuk membujang. Kau tidak mau aku seperti itu kan? Nah, makanya segera jodohkan aku dengan yang terakhir ini.”

“Dan berikanlah padaku sebesarbesarnya kesabaran dalam sepaling suram kegalauan.”

Amiin.

Kemudian tuhan menjawab di kolom komentar, “boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu.”
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 24, 2015 03:35

Anak-anak, Sekolah dan Sikap Belajar

“Education is what remains after one has forgotten everything he learned in school.” - Albert Einstein

“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” - Albert Einstein

Waktu kecil saya adalah anak yang suka membangkang, sisa-sisanya mungkin masih terlihat sampai sekarang. Tentu pembangkangan itu tidak selalu terkatakan, kebanyakan terpendam dalam hati. Di dalam hati, saya bisa membangkang dengan bebas. Menurut saya waktu itu, orang dewasa angkuh karena suka memaksakan kehendak.

Maka ketika punya anak, saya sudah menyiapkan mental untuk menghadapi pembangkangan mereka. Menurut saya, punya anak itu perlu pemikiran sejauh 50 tahun ke depan. Karena memiliki anak ketika seorang belum siap mental dan material adalah tindakan yang sadis. Saya merasa sudah siap dengan segala hal tentang mereka, termasuk jika mereka suka membangkang seperti bapaknya dulu. Like father like son, heh?

Pembangkangan yang masih saya ingat sampai sekarang adalah ketika saya menolak untuk suka Matematika. Tidak membangkang dengan kata-kata memang, tapi dengan perbuatan. Itu terjadi waktu MI, waktu guru saya menyuruh menghapalkan perkalian sampai seratus. Ketika hari pengujian datang, saya berpura-pura sakit dan membolos. Oh, sejak kecil kemampuan numerik saya memang dangkal, bahkan sampai kelas 3 MI saya tidak bisa berhitung sampai seratus.

Menurut saya pembelajaran lebih butuh kesesuaian dan implementasi. Jadi jangan ajarkan anak membaca, tapi kenalkan dan tumbuhkan kecintaan kepada buku-buku cerita yang perlu ia baca sendiri. Jangan ajarkan mereka berhitung, tapi tunjukan kepada mereka pentingnya tahu harga sebuah mainan. Dengan begitu mereka termotifasi. Mereka butuh motifasi dan dorongan, bukan paksaan. Dengan mendekatkan kegunaan membaca dan berhitung, mereka akan termotifasi, dan terbangkitkan kesenangan dan keinginannya. Apa yang bisa mengalahkan keinginan anak-anak jika mereka ingin? Bahkan keinginan, passion dan energi mereka sulit dibayangkan orang dewasa.

Anak kecil (terutama usia PAUD, 0-6 tahun) adalah pembelajar sejati. Mereka belajar dari kesalahan dan pengalaman. Mereka tidak pernah takut salah, selalu ingin tahu dan mencoba. Bagi mereka segala hal yang baru itu menarik dan memancing keingintahuan.

Menyuruh anak-anak itu belajar adalah dengan menyuruh mereka bermain. Dengan bermain mereka belajar olah raga, storytelling, berhitung, mengenal warna, membaca, berbicara, drama, menyusun tak tik, jujur dan lain-lain. Tapi mereka juga rentan intimidasi, tidak suka direndahkan, benci dibanding-bandingkan, dan lain-lain. Mereka cenderung ingin dihargai dan didengarkan. Mereka juga peniru yang mahir. Mereka mencontoh apa yang ada di sekeliling mereka. Jadi menyuruh anak-anak salat adalah hal yang sia-sia, jika mereka tidak menemukan contoh dan teladan. Begitu yang saya pahami dulu, yang akhirnya mendapat justifikasi ketika saya kuliah dan mengenal teknik-teknik pengajaran.

Sampai sekarang, saya masih tidak suka Matematika. Saya tidak menyalahkan sekolah atau guru saya, tapi juga tidak menyalahkan diri saya sendiri. Bahkan waktu kelas dua Aliyah, ketika saya mendapat angka 5 untuk nilai Matematika di rapot, saya masih bersikap biasa saja dan tidak marah kepada siapapun.

Pada dasarnya saya tidak benci berhitung, selama saya merasa itu berguna untuk saya. Sewaktu Aliyah, saya senang dengan mata pelajaran Falak (Astronomi) dan selalu mendapat nilai bagus. Saya senang menghitung lamanya siang dan malam, menghitung awal pergantian bulan juga kapan terjadi gerhana. Selama saya mendapat nilai bagus dalam pelajaran-pelajaran yang saya suka, saya cenderung mengabaikan nilai-nilai buruk pada belajaran yang tidak saya suka. Buat saya, itu adalah hal yang wajar dan fair saja.

Hari ini saya kembali memikirkan sikap itu, juga inti dari sikap belajar. Terimakasih untuk ibu-bapak yang sangat terbuka dengan sikap saya waktu itu.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 24, 2015 03:28

March 16, 2015

Percakapan Pemuda dan Pak Haji Sehabis Salat Maghrib

Di dalam sebuah surau, setelah selasai wirid, pemuda itu bertanya kepada Pak Haji, “Aku selalu gagal dalam banyak hal.” Katanya memulai, “Ketika mau menikah dengan wanita yang aku mau, aku gagal. Ketika aku ingin sukses menjalankan bisnis, aku gagal. Bahkan aku gagal untuk hal yang sangat remeh seperti memasak nasi di rice cooker.”
Pak Haji tersenyum sambail manggut-manggut, “Kamu itu punya kelebihan.”
Pemuda itu bingung, “Maksud Pak Haji? Bagaimana selalu gagal bisa menjadi kelebihan?”
“Ya begitulah. Satu hal yang mungkin kamu butuhkan; melihatnya dari perspektif yang berbeda.” Pak Haji mengelus-elus jenggotnya, “Kamu bilang kamu selalu gagal dalam segala hal kan?”
“Iya.” Pemuda itu yakin.
“Segala hal?”
“Hampir semua hal.”
“Kalau begitu, berusahalah untuk gagal.”
Pemuda itu mengernyitkan alis makin tidak mengerti. Pak Haji seperti bisa memahami, kemudian mengulang, “Ya, lihatlah dari pandangan yang baru. Kalau kamu berusaha untuk sukses tapi gagal, cobalah berusaha untuk gagal,” Pak Haji diam sejenak, sambil kembali mengelus-elus jenggot ia melanjutkan, “Kalau kamu bilang kamu selalu gagal, berarti kamu pun akan gagal ketika berusaha untuk gagal, jadi kamu akan sukses.”
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 16, 2015 11:49

March 12, 2015

Anak-anak, Sekolah dan Sikap Belajar

“Education is what remains after one has forgotten everything he learned in school.” - Albert Einstein
“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” - Albert Einstein

Waktu kecil saya adalah anak yang suka membangkang, sisa-sisanya mungkin masih terlihat sampai sekarang. Tentu pembangkangan itu tidak selalu terkatakan, kebanyakan terpendam dalam hati. Di dalam hati, saya bisa membangkang dengan bebas. Menurut saya waktu itu, orang dewasa angkuh karena suka memaksakan kehendak.
Maka ketika punya anak, saya sudah menyiapkan mental untuk menghadapi pembangkangan mereka. Menurut saya, punya anak itu perlu pemikiran sejauh 50 tahun ke depan. Karena memiliki anak ketika seorang belum siap mental dan material adalah tindakan yang sadis. Saya merasa sudah siap dengan segala hal tentang mereka, termasuk jika mereka suka membangkang seperti bapaknya dulu. Like father like son, heh?
Pembangkangan yang masih saya ingat sampai sekarang adalah ketika saya menolak untuk suka Matematika. Tidak membangkang dengan kata-kata memang, tapi dengan perbuatan. Itu terjadi waktu MI, waktu guru saya menyuruh menghapalkan perkalian sampai seratus. Ketika hari pengujian datang, saya berpura-pura sakit dan membolos. Oh, sejak kecil kemampuan numerik saya memang dangkal, bahkan sampai kelas 3 MI saya tidak bisa berhitung sampai seratus.
Menurut saya pembelajaran lebih butuh kesesuaian dan implementasi. Jadi jangan ajarkan anak membaca, tapi kenalkan dan tumbuhkan kecintaan kepada buku-buku cerita yang perlu ia baca sendiri. Jangan ajarkan mereka berhitung, tapi tunjukan kepada mereka pentingnya tahu harga sebuah mainan. Dengan begitu mereka termotifasi. Mereka butuh motifasi dan dorongan, bukan paksaan. Dengan mendekatkan kegunaan membaca dan berhitung, mereka akan termotifasi, dan terbangkitkan kesenangan dan keinginannya. Apa yang bisa mengalahkan keinginan anak-anak jika mereka ingin? Bahkan keinginan, passion dan energi mereka sulit dibayangkan orang dewasa.
Anak kecil (terutama usia PAUD, 0-6 tahun) adalah pembelajar sejati. Mereka belajar dari kesalahan dan pengalaman. Mereka tidak pernah takut salah, selalu ingin tahu dan mencoba. Bagi mereka segala hal yang baru itu menarik dan memancing keingintahuan.
Menyuruh anak-anak itu belajar adalah dengan menyuruh mereka bermain. Dengan bermain mereka belajar olah raga, storytelling, berhitung, mengenal warna, membaca, berbicara, drama, menyusun tak tik, jujur dan lain-lain. Tapi mereka juga rentan intimidasi, tidak suka direndahkan, benci dibanding-bandingkan, dan lain-lain. Mereka cenderung ingin dihargai dan didengarkan. Mereka juga peniru yang mahir. Mereka mencontoh apa yang ada di sekeliling mereka. Jadi menyuruh anak-anak salat adalah hal yang sia-sia, jika mereka tidak menemukan contoh dan teladan. Begitu yang saya pahami dulu, yang akhirnya mendapat justifikasi ketika saya kuliah dan mengenal teknik-teknik pengajaran.
Sampai sekarang, saya masih tidak suka Matematika. Saya tidak menyalahkan sekolah atau guru saya, tapi juga tidak menyalahkan diri saya sendiri. Bahkan waktu kelas dua Aliyah, ketika saya mendapat angka 5 untuk nilai Matematika di rapot, saya masih bersikap biasa saja dan tidak marah kepada siapapun.
Pada dasarnya saya tidak benci berhitung, selama saya merasa itu berguna untuk saya. Sewaktu Aliyah, saya senang dengan mata pelajaran Falak (Astronomi) dan selalu mendapat nilai bagus. Saya senang menghitung lamanya siang dan malam, menghitung awal pergantian bulan juga kapan terjadi gerhana. Selama saya mendapat nilai bagus dalam pelajaran-pelajaran yang saya suka, saya cenderung mengabaikan nilai-nilai buruk pada belajaran yang tidak saya suka. Buat saya, itu adalah hal yang wajar dan fair saja.
Hari ini saya kembali memikirkan sikap itu, juga inti dari sikap belajar. Terimakasih untuk ibu-bapak yang sangat terbuka dengan sikap saya waktu itu.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 12, 2015 11:53

August 20, 2014

Dari Masa Depan yang Tidak Pernah Tepat Waktu

Sebaiknya kamu percaya bahwa surat ini ditulis dari masa depan. Masa dimana kenangan berjibaku dengan harapan pada mimpi-mimpi.

Aku tidak bisa menjelaskannya dengan sederhana, tapi di dunia maya ini —suatu hari di masa depan nanti, waktu akan menjadi linear, menjadi sesuatu yang bisa diatur-atur. Tidak ada kemarin atau besok, yang ada adalah hari ini saja. Pada saat itu aku mulai percaya bahwa mungkin Tuhan tidak menyisipkan harapan pada masa depan, melainkan pada saat ini. Pada hidup kita yang sebentar namun indah dan bermakna.

Masa depan adalah hal yang tidak pernah pasti —selain kematian tentunya, sehingga pantas untuk diperjuangkan. Kita juga tidak pernah tahu masa itu hingga semua berlalu satu-satu. Jadi walau surat ini ditulis dari masa depan, aku sedang tidak membocorkan apa yang akan terjadi nanti. Aku hanya ingin mengingatkan padamu untuk tidak perlu terlalu mengkhawatirkan masa depan. Tidak usah khawatir, kita akan terus berpegang tangan, beranjak dewasa bersama, menghadapi dunia yang tidak lagi sama.

Tidak usah juga terlalu mengkahawatirkan anak-anak. Itu memang fitrah seorang ibu, namun percayalah mereka adalah anak-anak masa depan. Tunda sebentar untuk segera bereaksi atas kondisi yang terjadi atas mereka, maka mereka akan memandang kondisi itu secara lebih wajar. Walaupun kondisi tersebut menimbulkan rasa sakit, yakinlah bahwa mereka akan bertahan dan berupaya untuk sembuh. Dengan begitu mereka akan belajar, mereka akan menganggap rasa sakit adalah sesuatu yang wajar, sebagai bagian dari hidup.

Suatu hari nanti di bulan Agustus tahun 2025, saat Safa beranjak menjadi gadis remaja, ketika ia berangkat ke sekolah sendiri, kamu akan merasa khawatir; bisakah dia menyeberang jalan sendiri? Begitupun ketika Nada ingin masuk sekolah, bahkan banyak sekali kekhawatiranmu; Apakah metode belajar di sekolah sesuai dengan kepribadiannya? Apakah dia bisa dapat teman? Apakah dia bisa mengikuti pelajaran? Apakah dia bahagia bersekolah? Apakah dia cocok dengan gurunya?

Percayalah. Sekolah itu baik. Kita telah selesai berdebat tentang hal itu. Namun kamu juga harus ingat bahwa sekolah bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Sekolah tidak berhak menjadi satu-satunya perumus masa depan mereka. Kita memang menginginkan mereka menjadi juara. Menjadi anak-anak yang tetap manis, penurut, rajin dan cerdas. Karena dengan begitu mereka akan sukses. Namun obsesi kita akan kesuksesan mereka akan menjadikan mereka sebagai korban trauma. Kita hanya perlu menuntun mereka menemukan motivasi mereka sendiri untuk menuju kesuksesan versi mereka masing-masing.

Catatan ini aku tulis di bulan Juli tahun 2014. Saat itu kamu sedang terusik dengan hingar bingar ocehan orang yang tidak sependapat denganmu. Kamu mengira bahwa mereka berpikiran sempit dan kamu lebih terbuka. Aku ingin menasehati, mereka tidak sepenuhnya picik, merekapun tidak sepenuhnya salah, mereka hanya memerankan peran yang berbeda denganmu. Dan perbedaan, dalam hal apa pun, adalah hak manusia dan fitrah yang diciptakan Tuhan untuk kita. Jadi jelas bukan urusanmu membuat seluruh dunia sama. Segala bentuk perbedaan pandangan adalah kekayaan, dan menyeragamkan pikiran adalah memiskinkan kemanusiaan.

Tidak ada gunanya berdebat. Apa gunanya berdebat dengan orang yang hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar? Sikapmu untuk lebih terbuka dan memahami daripada menghakimi sudah benar, karena mereka yang hanya membatasi diri dalam satu pendapat dan tidak bersedia mendengarkan pendapat yang berbeda hanyalah orang-orang yang terlalu muda, berapapun usia mereka. Sudah seharusnya kamu memaklumi kerewelan orang-orang muda. Namun kamu juga harus terbiasa untuk terus bersikap jernih dalam keruwetan pikiran mereka. Memang tidak semua orang bisa sepertimu, karena itu kamu istimewa.

Kamu akan mengingat percakapan ini di ujung senja di Pulau Santorini. Ya, Yunani, tempat dimana dewa dewi melepas keabadian mereka. Akhirnya kita pergi ke Eropa. Memesona memang, tata kota dan bangunan-bangunan berarsitektur yang kau sebut dengan kalimat abstrak; romantis. Kita menyewa sebuah rumah putih di dekat undakan dinding tebing. Pada beberapa hari pertama, hal-hal yang baru untuk kita itu terasa mengagumkan. Menjelajahi jalan-jalan sempit kota itu menuju Fira. Aku pernah bilang kalau Fira tidak jauh beda dengan sebuah desa di Jogja; suasana, percampuran budaya dan agama, kearifan masyarakat dan banyak hal lain. Bedanya, di sana kita tidak menemukan surau dengan arsitektur khas Hindu tapi sebuah Katedral Ypapanti dengan kubah biru dalam akulturasi desain lokal Yunani dengan sentuhan rennaisance, dimana dari sana kita bisa melihat kawah kaldera dan laut Aegean yang biru pekat.

Setelah melihat dari jauh, aku mengerti bahwa membuat keputusan itu butuh keterampilan. Sayangnya, keterampilan penting itu tidak diajarkan di sekolah. Dan seperti secara tiba-tiba, kita telah berada di atas keputusan-keputusan yang kita buat.

Seharusnya semua orang bisa merasakan hal ini, untuk sekedar mengetahui bahwa mendapatkan semua yang mereka inginkan bukanlah jawabannya. Seperti Santiago dalam The Alchemist, semua orang butuh untuk mengalami mimpi mereka, sehingga mereka bisa tahu apa sebenarnya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup mereka. Untuk lebih merayakan kehidupan dan menemukan jawaban atas nilai penting dari hidup singkat ini. Dan bagiku, inilah hidupku denganmu. Memang tidak sempurna dan banyak cela tapi itulah yang sebenarnya, hidup ini indah begini adanya. Aku tidak pernah membayangkan kehidupan lain selain kehidupan ini denganmu.

Pada senja itu, sambil melihat matahari dimakan lindap gelap, kita berbicara panjang lebar tentang rindu yang selalu sendu dan penyesalan. Ternyata, ketika kita memandang diri kita dari luar, kita semakin menyadari bahwa harta kita yang sesungguhnya ada di dalam rumah, karena di sanalah hati kita. Dari jarak yang semakin menjauh, kita rindu hati kita beserta segala riuh rendah di dalamnya.

Mungkin keindahan memang selalu berkaitan dengan jarak dan cara memandang. Sebagaimana kawah kaldera, bangunan-bangunan di Santorini atau lampu-lampu kota yang indah jika dilihat dari kejauhan dan ketinggian, dari jarak yang tidak dekat.

Sampai hari itu, aku masih ingin menjadi jingga di soremu. Sambil menyandarkan kepalaku di bahumu, aku mengungkapkan berbagai penyesalan yang tak pernah tepat waktu. Ternyata banyak sekali yang aku sesali. Aku menyesal terhadap hal-hal kecil yang membuat pertengkaran dan perselisihan, lebih banyak mencari kesalahan, enggan meminta maaf, berbicara keras. Oh, aku menyesali keputusan yang terlambat kuambil dan ketakutanku akan kegagalan. Seharusnya aku lebih banyak berbuat baik, banyak sedekah, berdoa dan bersabar.

Sampai subuh, kita masih terjaga dan terus berbicara, sambil berbagi feromon di kulit, di bawah langit yang penuh rasi bintang itu kita menyatu. Dan benar yang kawanku katakan, you never really know a woman until you talk to her at 3 AM. Aku merasa cukup mengenalmu sebagaimana kamu juga cukup mengenalku, dan percayalah, seperti musim manusiapun berubah. Beri aku waktu, maka akupun akan berubah, dan aku selalu membutuhkanmu untuk bisa berkembang, berjuang, dan terus bertahan.

Embun mulai turun dan angin dingin pagi menyelinap di sela-sela jemari kaki dan kulit kita yang menua. Seiring bertambahnya usia aku semakin sadar bahwa kita menjalani hidup terlalu serius. Dalam panggung sandiwara ini kita hanyalah pion kehidupan. Sebagaimana sandiwara, kesenangan tidaklah benar-benar kesenangan dan kesusahan juga tidak benar-benar memberi kesusahan. Kebaikan dan keburukan akan selalu ada sejak Adam diciptakan sampai hari akhir. Keduanya adalah hal yang normal saja dalam liku kehidupan. Seiring dengan umur yang pergi sedetik demi sedetik ini, masalah-masalah tetap berulang berputar seperti jarum jam. Kita akan mengahadapi masa-masa sulit, namun tidak perlu khawatir karena punya Tuhan di hati kita.

Wahai Tuhan Yang Maha Pengampun, maafkanlah segala dosaku dan keluargaku, ampunilah segala kehilafan kami yang tak kunjung selesai.

Wahai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk, Berikanlah pada hati kami kelapangan, keterbukaan untuk menerima dan berbahagia atas segala kebaikan. Kuatkanlah kami untuk terus menemukan inspirasi untuk dapat mewujudkan segala keinginan kami.

Ya Allah Yang Maha Sempurna, lengkapilah usaha kami yang selalu tidak pernah paripurna.

Ya Allah Pemilik Masa Depan, cukupilah masa depan kami. Cukupilah kami yang tak punya penghasilan tetap, karena yang tetap hanya pemberian-Mu.

Ya Allah yang Maha Penyayang, Jadikanlah kami dan anak keturunan kami orang-orang yang tetap mendirikan sholat. Ilhamkan kepada kami untuk tetap mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugrahkan kepada kami dan kepada anak keturunan kami. Sungguh kami bertaubat kepada-Mu dan sungguh kami adalah termasuk golongan yang berserah diri.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 20, 2014 04:09

April 8, 2014

Soal Memenangkan Indonesia: Mau Urun Angan atau Turun Tangan? Oleh Anies Baswedan

Indonesia harus diurus oleh orang baik: bersih dan kompeten. Republik ini didirikan oleh para pemberani. Kaum terdidik yang sudah selesai dengan dirinya. Efeknya dahsyat. Bung Karno dan generasinya membuat sebangsa bergerak. Semua merasa ikut punya Indonesia. Semua iuran tanpa syarat demi tegaknya bangsa merdeka, berdaulat. Ada yang iuran tenaga, pikiran, uang, barang dan termasuk iuran nyawa. Tapi merdeka itu bukan cuma soal menggulung kolonialisme, merdeka adalah juga soal menggelar kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Kini pada siapa Republik ini akan dititipkan untuk diurus?

Besok kita akan menentukan. Semua yang terpilih dalam Pemilihan Umum ini akan mengatasnamakan kita semua 24 jam sehari, 7 hari seminggu selama 5 tahun ke depan. Semua perkataan, perbuatan yang dilakukan adalah atas nama kita semua. Semua Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang dibuatnya akan mengikat kita semua.

Di saat tantangan bangsa ini masih banyak yang basic seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, transportasi, atau energi maka apapun partai-nya, tantangan yang harus dijawab sama. Di saat hambatan terbesar negeri ini adalah korupsi, dan hulunya korupsi adalah urusan kekuasaan maka apapun partainya akan berhadapan dengan otot kokoh koruptor yang sama.

Pemilu ini bukan soal warna partai. Ini soal orang bermasalah dan tak bermasalah. Orang bermasalah ada di berbagai partai. Begitu juga orang baik tersebar di semua partai. Pemilu kali ini harus jadi ajang kompetisi orang tak bermasalah, orang baik lawan orang bermasalah.

Kita harus memastikan bahwa orang yang terpilih akan hadir untuk mengurus bukan menguras negara. Ini Pemilu ke-4 di era demokrasi, sudah saatnya jadi ajang kebangkitan wong waras, kebangkitan orang bersih, dan jadi penghabisan orang bermasalah.

Indonesia membutuhkan kemenangan orang baik. Kita perlu orang bersih dan kompeten berbondong-bondong menang dalam pemilihan umum. Persyaratan utama bagi orang-orang baik untuk kalah dan tumbang dalam pemilu adalah orang-orang baik lainya hanya menonton dan tak membantu.

Indonesia kini penuh dengan penonton: ingin orang baik menang di Pemilu, ingin Indonesia jadi lebih baik tapi hanya mau iuran harap, urun angan. Ada keengganan kolektif untuk terlibat, untuk membantu.

Keengganan dan skeptisisme itu sering dilandasi pandangan: buat apa membantu toh orang-orang baik justru terjerat korupsi. Ini seperti urusan sepatu kotor. Buat apa membersihkan sepatu, toh bisa terkotori lagi. Tapi kalau dibersihkan rutin, dipakai dengan baik, dijaga dari cipratan kotor maka sepatu itu akan aman, akan bersih. Kalau pun terkotori, tugas kita adalah memastikan bahwa sepatu itu rutin dibersihkan.

Di Republik ini, tugas kita adalah lima tahun sekali membersihkan pengurus Indonesia dan mengisinya dengan orang-orang tak bermasalah. Kalaupun ada yang terkena masalah, biar diganjar hukuman dan kita ganti. Lalu tiap 5 tahun kita “kirim” orang baik lagi.

Sejak kapan kita jadi bangsa yang suka putus asa? Tugas kita adalah mensuplai orang baik terus menerus. Kita harus jaga stamina, perjalanan bangsa ini masih amat panjang dan stok orang baik di Republik ini masih amat banyak. Tak ada alasan untuk pamer keluh kesah dan “nglokro”.

Kita bersyukur saat melihat ada orang baik mau repot-repot masuk politik. Lihat bermunculan orang-orang baik yang terpilih jadi gubernur, bupati, walikota atau anggota dewan perwakilan. Makin panjang deretan nama orang bersih dan kompeten, orang baik yang terpanggil, mau turun tangan. Tetapi mereka semua hanya bisa menang, memegang otoritas jika orang baik lainnya bersedia untuk terlibat dan membantu.

Permasalahan yang dihadapi begitu banyak orang baik yang jadi caleg adalah mereka cenderung dijauhi. Yang menjauhi sering justru lingkungan terdekatnya. Politik di Indonesia hari ini amat rendah nilainya di depan publik. Korupsi yang dilakukan oleh para politisi telah merendahkan makna politik dan politisi.

Politik dan politisi tidak lagi dipandang sebagai arena perjuangan dan pejuang. Kerja politik dipandang sebagai mata pencaharian dan segalanya harus dirupiahkan. Para calon yang baik itu tergerus oleh opini bahwa semua calon itu sama: sekadar cari kuasa untuk menguras -bukan untuk mengurus-negeri. Orang baikpun makin sedikit yang mau turun tangan. Makin sedikit orang baik yg “siap” dituding sama dengan kelakuan para penguras negeri.

Jika orang-orang baik hanya mau jadi pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang akan mengatur penggunaan uang pajak kita? Keputusan soal kesehatan, pendidikan, perumahan atau tenaga kerja misalnya adalah keputusan politik. Di arena yang oleh publik dipandang rendah, kotor dan tak bernilai itulah keputusan tentang hajat hidup orang serepublik ini dibuat. Patutkah kita diamkan?

Masih adakah caleg baik? Ya, Indonesia masih punya stok orang baik; orang bersih dan kompeten. Tapi mereka tidak akan bisa menang, mendapatkan otoritas untuk mengatasnamakan kita, untuk mewakili kita, jika kita semua tidak ikut membantu. Sekali lagi, korupsi dalam politik itu merajalela bukan semata-mata karena orang jahat jumlahnya banyak tetapi karena orang-orang baik memilih diam, mendiamkan dan bahkan menjauhi.

Republik ini adalah milik kita semua. Bukan milik segelintir orang, apalagi orang-orang yang sanggup membayar siapa saja untuk berbuat semaunya. Berhenti cuma urun angan. Harus mau turun tangan!

Tak semua orang harus ikut partai politik tapi saat pemilu jangan pernah diam, membiarkan orang-orang bermasalah melenggang tak ditantang, tak dihentikan. Pada saat pemilu, harus muncul kesadaran kolektif bahwa ini bukan upacara politik, ini kesempatan menempatkan orang baik jadi pengurus negeri.

Cari dan kenali orang baik dalam Daerah Pemilihan. Atau sekurang-kurangnya orang tak bermasalah. Jangan cari manusia sempurna, takkan ketemu. Cari orang bersih dan kompeten. Lihat track-recordnya, bukan cuma warna partainya. Dan anak-anak generasi baru sudah terlibat, contohnya www.orangbaik.org yang dibuat oleh anak-anak umur 25 tahunan untuk melihat track record semua caleg. Kalau perlu datangi caleg tersebut bukan untuk memberitahu akan mencoblos tapi beritahu bahwa siap untuk membantu untuk bisa menang.

Bantu orang-orang tak bermasalah di sekitar kita yang terpanggil untuk ikut mengurus Republik, agar mereka bisa menang. Jangan pernah takut mendukung. Di era non-demokratis dulu, sikap mendiamkan dalam sebuah pemilu adalah sikap perlawanan; kini mendiamkan adalah sikap pembiaran atas status-quo. Bukan warna partainya, tapi warna track-recordnya. Ini adalah sikap yang melampaui warna partai; semangatnya adalah mengisi dengan orang baik.

Kini kita menyaksikan gelombang baru yang sedang bangkit. Generasi baru yang bergerak dan membantu karena percaya, ide dan integritas. Bukan generasi yang mau menjual dukungan karena rupiah.

Pilihan untuk membantu orang baik di dalam Pemilu adalah pilihan sejarah. Hari ini mungkin nampak tak populer, masih nampak aneh jika ada kemauan untuk terlibat dan membantu para caleg tak bermasalah.

Dunia bergerak ke arah perbaikan tata kelola yang baik (good governance). Korupsi tidak bisa langgeng, ia makin hari makin tergerus. Bayangkan suatu saat kelak, generasi anak-anak kita hidup di era baru dan bertanya: Ayah-ibu, di zaman politik Indonesia masih penuh korupsi, apakah Ayah-Ibu ikut korupsi, atau diam, atau ikut melawan?

Saat itulah pilihan sejarah tadi menemukan jawabnya: jika hari ini Anda mau berbuat, mau terlibat maka sekurang-kurangnya Anda bisa menjawab dengan rasa bangga. “Ayahmu, Ibumu tidak membiarkan dan tak pernah jadi bagian yang membuat Republik ini keropos. Di saat orang berduit membayar dukungan, Ayahmu, Ibumu tak menjual dukungan. Ayah-ibumu membantu orang-orang baik dengan tanpa dibayar. Harga diri Ayah-Ibumu tidak bisa dirupiahkan!”

Izinkan anak-anak kita bangga saat sadar bahwa mereka mewarisi negeri yang Ayahnya, Ibunya ikut meninggikuatkan. Di saat ada kesempatan mengubah wajah kita sendiri, wajah Indonesia kita, maka kita tak cuma diam. Kita pilih ikut bersihkan Indonesia, jadikan orang baik sebagai pemegang amanah di negeri kita.

Anies Baswedan

Lihat tulisan di aniesbaswedan.com: http://aniesbaswedan.com/tulisan/soal...

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 08, 2014 17:37

April 6, 2014

Golput, Inlander dan Masyarakat Madani

“Sudah kukatakan padamu, Kawan, di negeri ini, mengharapkan bahagia datang dari pemerintah, agak sedikit riskan” ― Andrea Hirata –

Terberkatilah mereka yang telah menentukan pilihan. Mereka yang berpendirian dan yakin terhadapnya. Terberkatilah mereka yang mempunyai keyakinan Teguh dan Mario. Oke becanda. Hehe..

Seperti biasa, melalui tulisan ini gue nggak ingin mengubah orang yang sudah punya pendirian. Hanya ingin berbagi perspektif dengan cara yang elegan; menulis.

Akhir-akhir ini di berbagai forum dan media, sepertinya telah terjadi sebuah penggiringan opini bahwa golput adalah kumpulan para perusak tatanan bernegara dan pendosa. Pendosa karena pilihan mereka untuk golput telah merendahkan kualitas demokrasi di Indonesia yang pada akhirnya mengakibatkan tidak meningkatnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. [berat bener bahasanya]

Mmm… Apakah memang begitu?

Gue sih nggak setuju. Menurut gue golput bukanlah sekelompok orang yang sedang bingung terhadap pilihannya, atau orang yang takut disalahkan ketika mereka menetapkan pilihan, bukan juga orang pemalas yang nggak punya usaha untuk merubah bangsanya. Menurut gue kesimpulan itu terlalu terburu-buru bahkan dangkal.

Secara sederhana golput adalah sebuah sikap terhadap situasi yang ada saat ini. Malah menurut gue, golput adalah sikap yang paling rasional dan konsekuen. Rasional karena merupakan konsekuensi atau akibat dari situasi politik saat ini. Mereka nggak menemukan pilihan yang baik, oleh karena itu mereka nggak memilih. Kalau mereka memang menemukan pilihan yang baik, tentu mereka akan memilih. Konsekuen kan?

Seakan nggak mau kalah, kemudian jargon “the lesser of all evils” muncul. Menurut gue jargon ini konyol. Ya, memilih terbaik diantara yang terburuk adalah kata kata yang aneh. Kalau kita memilih, pilihlah hal yang bagus. Memilih yang terbaik diantara yang terburuk sama artinya dengan memilih yang buruk.

Kemudian apakah menjadi golput adalah yang terbaik saat ini? Gue nggak ingin mengatakan itu. Gue hanya ingin mengatakan bahwa golput adalah pilihan politik yang harus dihormati dan bukan malah disalahkan dan bahkan dianggap menjadi biang masalah. Seakan-akan semua permasalahan yang ada di negara ini adalah kesalahan golput, dan akan selesai jika orang-orang semua tanpa terkecuali pergi ke bilik suara untuk mencoblos.

Ingat pemilu 2009? Gue pernah membaca sebuah analisa mengenai koruptor dari partai-partai berdasarkan jumlah perolehan suara partai pada pemilu tersebut. Analisa tersebut seolah ingin menghubungkan antara jumlah suara pada pemilu 2009 dengan jumlah koruptor dari partai-partai yang dipilih. And you know what? The result is shocking! Partai yang banyak dipilih adalah juga merupakan partai pemasok koruptor terbanyak. Lalu masih mau menyalahkan golput?

Begini. Mari kita berpikir dengan logika sederhana. Demokrasi kita menganut sistem suara mayoritas. Bagaimana seandainya yang mayoritas —fakta di beberapa pemilu menunjukan hal tersebut— adalah golput? Apakah itu artinya semua calon atau partai yang terpilih menjadi nggak valid? Jargon demokrasi menyebutkan bahwa suara rakyat suara Tuhan, sementara mereka yang golput juga rakyat. Maka jika golput menjadi suara terbesar, berarti Tuhan memihak kepada golput.

Oke, biarkan logika sederhana itu mengawang-awang. Gue nggak akan membahasnya lebih lanjut karena lebih tertarik membahas hal yang lebih esensial dibanding menyalahkan golput. Gue ingin mengingatkan terutama kepada diri sendiri tentang arti dari kepemimpinan. Karena pemimpin yang baik muncul dari masyarakat yang baik, begitupun sebaliknya. Masyarakat yang kotor hanya akan menghasilkan pemimpin yang bandit. And remember, leaders are made not born.

Maka mari mulai dari diri sendiri dan lingkungan terkecil yaitu keluarga. Karena dari sanalah bangsa ini bisa kuat, begitu kata Ayah Edy. Itulah yang disebut masyarakat madani, yaitu masyarakat yang mandiri tanpa harus bergantung pada pemerintah. Bukan masyarakat inlander yang hanya mengharapkan keselamatan dan perubahan dari seorang figur ratu adil.

Dari diri sendiri, mari kita memulai untuk mengaplikasikan nilai-nilai humanisme dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita menumbuhkan sistem pendidikan yang berbasis moral dan proses, bukan hanya sekedar nilai yang pada akhirnya hanya menumbuhkan mental korup. Mari kita nggak saling bunuh hanya karena perbedaan cara ibadah. Nggak bermental instant ingin cepat kaya seperti yang ditulis buku-buku best seller sampah tentang cara instant menjadi kaya dengan membeli property tanpa uang dan tanpa modal.

Hal terpenting dan harus disadari adalah peningkatan kehidupan dan kesejahteraan suatu masyarakat harus dimulai dari masing-masing orang dalam masyarakat tersebut, bukan hanya pada figur seorang pemimpin. Selama masih banyak individu yang bermental budak, oportunis dan manja, maka kesejahteraan akan sulit terwujud.

Untuk mengakhiri tulisan ini gue ingin mengutip Anis Baswedan, “Republik ini maju bukan semata-mata karena satu-dua orang hebat, tapi karena begitu banyak rakyat hebat yang bekerja bersama-sama.”
Itu.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 06, 2014 16:52

April 5, 2014

Golput, Inlander dan Masyarakat Madani

“Sudah kukatakan padamu, Kawan, di negeri ini, mengharapkan bahagia datang dari pemerintah, agak sedikit riskan.” ― Andrea Hirata

Terberkatilah mereka yang telah menentukan pilihan. Mereka yang berpendirian dan yakin terhadapnya. Terberkatilah mereka yang mempunyai keyakinan Teguh dan Mario. Oke becanda. Hehe..

Seperti biasa, melalui tulisan ini gue nggak ingin mengubah orang yang sudah punya pendirian. Hanya ingin berbagi perspektif dengan cara yang elegan; menulis.

Akhir-akhir ini di berbagai forum dan media, sepertinya telah terjadi sebuah penggiringan opini bahwa golput adalah kumpulan para perusak tatanan bernegara yang dan pendosa. Pendosa karena perbuatan mereka untuk golput telah merendahkan kualitas demokrasi di Indonesia yang pada akhirnya mengakibatkan tidak meningkatnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. [berat bener bahasanya]

Mmm… Apakah memang begitu?

Gue sih nggak setuju. Menurut gue golput bukanlah sekelompok orang yang bingung terhadap pilihannya, atau orang yang takut disalahkan ketika mereka menetapkan pilihan, bukan juga orang pemalas yang nggak punya usaha untuk merubah bangsanya. Menurut gue kesimpulan itu terlalu dangkal.

Secara sederhana golput adalah sebuah sikap terhadap situasi yang ada. Malah mungkin golput adalah sikap yang paling rasional dan konsekuen. Kalau mereka memang menemukan pilihan yang baik, tentu mereka akan memilih kan.

Seakan nggak mau kalah, jargon “the lesser of all evils” kemudian muncul. Menurut gue jargon ini konyol. Ya, memilih terbaik diantara yang terburuk adalah kata kata yang aneh. Kalau kita memilih, pilihlah hal yang bagus. Memilih yang terbaik diantara yang terburuk sama artinya dengan memilih yang buruk.

Kemudian apakah menjadi golput adalah yang terbaik saat ini?

Gue nggak ingin mengatakan itu. Gue hanya ingin mengatakan bahwa golput adalah pilihan politik yang harus dihormati dan bukan malah disalahkan dan bahkan dianggap menjadi biang masalah. Seakan-akan semua permasalahan yang ada di negara ini adalah kesalahan golput, dan akan selesai jika orang-orang semua tanpa terkecuali pergi ke bilik suara untuk mencoblos.

Ingat pemilu 2009? Gue pernah membaca sebuah analisa mengenai koruptor dari partai-partai berdasarkan jumlah perolehan suara partai pada pemilu tersebut. Analisa tersebut seolah ingin menghubungkan antara jumlah suara pada pemilu 2009 dengan jumlah koruptor dari partai-partai yang dipilih tersebut. And you know the result is shocking! Partai yang banyak dipilih adalah juga partai pemasok koruptor terbanyak. Lalu masih mau menyalahkan golput? .

Begini. Mari kita berpikir dengan logika sederhana. Demokrasi kita menganut sistem suara mayoritas. Bagaimana seandainya yang mayoritas —fakta di beberapa pemilu menunjukan hal tersebut— adalah golput? Apakah itu artinya semua calon atau partai yang terpilih menjadi nggak valid? Jargon demokrasi adalah suara rakyat suara Tuhan, sementara mereka yang golput juga rakyat. Maka jika golput menjadi suara terbesar, berarti Tuhan memihak kepada golput.

Oke, biarkan logika sederhana itu mengawang-awang. Gue nggak akan membahasnya lebih lanjut karena gue lebih tertarik membahas hal yang lebih esensial dibanding menyalahkan golput. Gue ingin mengingatkan terutama kepada diri sendiri tentang arti dari kepemimpinan. Karena pemimpin yang baik muncul dari masyarakat yang baik, begitupun sebaliknya. Masyarakat yang bandit hanya akan menghasilkan pemimpin yang kotor. And remember, leaders are made not born.

Maka mari mulai dari diri sendiri dan lingkungan terkecil yaitu keluarga. Karena dari sanalah bangsa ini bisa kuat, begitu kata Ayah Edy. Itulah yang disebut masyarakat madani, yaitu masyarakat yang mandiri tanpa harus bergantung pada pemerintah. Bukan masyarakat inlander yang hanya mengharapkan keselamatan dan perubahan dari seorang figur ratu adil.

Mari kita memulai dari diri sendiri untuk mengaplikasikan nilai-nilai humanisme dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita menumbuhkan sistem pendidikan yang berbasis moral dan proses, bukan hanya sekedar nilai yang pada akhirnya hanya menumbuhkan mental korup. Mari kita nggak saling bunuh hanya karena perbedaan cara ibadah. Nggak bermental instant ingin cepat kaya seperti yang ditulis buku-buku best seller sampah tentang cara instant menjadi kaya dengan jalan pintas.

Yang terpenting dan harus disadari adalah peningkatan kehidupan dan kesejahteraan suatu masyarakat harus dimulai dari masing-masing orang dalam masyarakat tersebut, bukan hanya pada figur seorang pemimpin. Selama masih banyak individu yang bermental budak, oportunis dan manja, maka kesejahteraan akan lama terwujud.

Untuk mengakhiri tulisan ini gue ingin mengutip Anis Baswedan, “Republik ini maju bukan semata-mata karena satu-dua orang hebat, tapi karena begitu banyak rakyat hebat yang bekerja bersama-sama.” Itu.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 05, 2014 15:06

April 1, 2014

Tentang Perbedaan Awal Puasa dan Lebaran

Bulan puasa tahun lalu saya berpuasa tanggal 9 Juli 2013. Menurut saya itu adalah tanggal satu Ramadhan. Sementara pemerintah melalui mentri agama menyatakan bahwa tanggal satu Ramadhan jatuh keesokan harinya, yaitu pada tanggal 10 Juli.

Kalau ada yang bertanya kenapa saya puasa berlainan dengan pemerintah, biasanya saya jawab dengan enteng dan bercanda, “Gue udah lama gak percaya pemerintah.” :)

Namun ada komentar yang kemudian menyebar setelah penetapan oleh pemerintah itu, salah satunya yang diberikan oleh seorang habib terkemuka. Ia mengatakan bahwa orang yang berpuasa berlainan dengan pemerintah itu bathil. Ia mengutip sebuah hadits nabi yang berbunyi, “Jika kalian melihat hal yang tak kalian sukai pada penguasa kalian maka bersabarlah, karena yang memisahkan diri dari jamaah muslimin sejengkal saja, lalu ia wafat maka ia wafat dalam kematian jahiliyah." (Shahil Bukhori)

Dalam menanggapi hal tersebut, tentu saja yang berpuasa tanggal 9 merasa tertampar dan tidak bisa menerimanya, bahkan kawan saya ada yang sampai marah-marah di jejaring sosial. Saya pribadi sebenarnya juga tidak terima, tapi saya memilih diam dan berencana akan menjawab komentar tersebut suatu saat nanti.

Mengapa saya menunda berkomentar dan diam saja?

Alasan pertama adalah masing-masing orang bertanggungjawab terhadap apa yang ia lakukan, apalagi ini menyangkut ibadah. Sehingga untuk apa berdebat panjang lebar kalau memang masing-masing sudah punya pendirian, sudah punya dalil masing-masing? Alasan yang ke dua adalah tidak elok sepertinya bertengkar di tengah menyambut bulan yang sangat dihormati umat Islam di seluruh dunia ini, apalagi sampai mengatakan seseorang bathil.

Atas dua alasan itu, maka sekarang sepertinya telah tiba saatnya untuk saya menjelaskan tentang keputusan puasa lebih awal itu. Mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung dan marah-marah lagi, mengingat waktunya yang sudah lewat cukup jauh. Dan seperti biasa, tentu saja ini alasan pribadi saya tanpa bermaksud mempengaruhi orang lain yang sudah berpendirian. Ini hanya salah satu perspektif di tengah banyak perspektif lain. 

Hal awal yang ingin saya katakan di sini adalah saya tidak menyangkal hadits riwayat bukhori tersebut. Namun begitu, perlu juga dijelaskan konteks ketika nabi mengucapkannya. Kemudian hal selanjutnya adalah saya akan menjelaskan keputusan saya berpuasa tanggal 9 Juli lalu dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang apa yang disebut dengan 1 Ramadhan.

Penentuan jumlah hari dan awal bulan untuk kalender Qomariyah didasarkan pada pergerakan bulan mengelilingi bumi selama rata rata 29,5 hari sekali. Artinya secara teori setiap 29,5 hari telah berganti bulan baru. Namun dalam prakteknya angka ini dibulatkan menjadi 29  atau 30. Dalam penanggalan Masehi atau Qomariyah, satu hari sama sama terhitung 24 jam. Namun perbedaan terjadi pada penetapan awal hari.

Dalam sistem penanggalan Masehi, awal hari dimulai ketika jarum jam menunjukkan pukul 00.00 waktu setempat. Sementara hari dalam penanggalan Hijriyah dimulai saat matahari terbenam di wilayah masing-masing. Berdasarkan perhitungan bahwa 1 bulan Syaban = 29,5 hari, maka pada hari ke 29 bulan Sya’ban dilakukan observasi apakah saat matahari terbenam bulan sudah tepat mengelilingi bumi satu putaran atau belum. Atau lebih gampangnya apakah hilal atau bulan baru sudah terlihat atau belum.

Jika sudah 1 putaran penuh bulan mengelilingi bumi maka selepas manghrib di tempat itu sudah jatuh tanggal 1 Ramadhan. Jika belum 1 putaran penuh maka sehari setelah observasi, (juga selepas maghribnya) baru dinyatakan 1 Ramadhan.

Nah, pada Ramadhan lalu itu, salah seorang kawan saya menyatakan bahwa dia menyaksikan beberapa orang bersumpah telah melihat hilal tidak begitu jauh dari daerah saya tinggal. Ketika mendengar berita tersebut, ada dua pilihan di tangan saya; mempercayai atau tidak mempercayai. Namun saya cenderung kepada mempercayai mereka. Alasannya cukup simple; apa dasar saya untuk tidak mempercayai orang-orang muslim —yang bisa dipercaya— yang sudah bersumpah melihat hilal?

Nah, masalah yang kemudian muncul adalah apakah setiap orang bisa melihat hilal? Dan apakah pengelihatan setiap orang di daerah yang berbeda itu sama?

Jawaban yang paling logis dari pertanyaan itu adalah tidak. Ini kira-kira sama saja dengan menanyakan apakah tanggal 1 Januari di satu daerah sama dengan daerah lain? Tentu berbeda, walaupun hanya berbeda jam saja. Itu yang disebut perbedaan subtantif. Artinya memang benar ada fakta empirik yang secara substansi menyebabkan perbedaan itu. Apalagi ditambah dengan perbedaan interpretasi, yaitu kemampuan interpretasi masing masing “pakar” yang berwenang dari masing masing kelompok.

Sebenarnya posisi bulan relatif terhadap matahari dan pengamat di bumi merupakan sebuah pergerakan yang dapat dihitung dan diprediksi dengan akurasi yang memadai.  Demikian pula perhitungan mengenai angka pasti umur bulan saat maghrib tanggal 29 Sya’ban. Lalu kenapa awal bulan tidak bisa disamakan saja, paling tidak dalam suatu negara?

Saya ingin menjelaskan satu hal yang juga turut campur dan (seakan-akan) meruncingkan perbedaan ini; perbedaan politis. Saya pikir itulah yang menjadi pendorong utama terjadinya perbedaan.

Oleh karena itu, patut juga diwaspadai bahwa perbedaan interpretasi semacam ini bisa menjadi pintu masuk terjadinya perpecahan umat. Itu sebabnya beberapa orang yang lebih cermat seringkali membaca fenomena adanya pihak tertentu yang dengan sengaja mengarahkan agar perbedaan semacam ini tetap ada dan selalu ada, meskipun sebenarnya bisa disatukan.

Pada prinsipnya, saya setuju bahwa perbedaan itu rahmat. Sehingga bagi seseorang yang tidak memiliki keluangan waktu untuk menelaah lebih jauh ihwal penetapan tanggal 1 awal bulan Hijriyah, hendaknya mengambil sikap untuk mengikuti ulama setempat atau yang lebih mereka percayai, sambil tetap memberikan kelonggaran dan menghormati saudara muslim lainnya untuk mengikuti pemimpin mereka masing-masing. Berlakulah toleran terhadap sesama muslim. Tidak ada gunanya saling menghujat.

Dan pesan saya bagi ulama yang “diberi” kewenangan untuk menentukan awal bulan, hendaknya terus melengkapi diri dengan ilmu astronomi dan senantiasa membuka diri untuk menerima informasi baru baik berupa metode maupun data empirik yang mungkin lebih modern, agar menjadi penyempurna atas metoda dan data yang sudah ada.

Wallahualam bissowab.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 01, 2014 01:38

March 30, 2014

Tembakau, Kapitalisme dan Ilmu Pengetahuan

"Apa guna warna langit dan bunyi jengkerik? Apa guna sajak dan siul? Yang buruk dari kapitalisme adalah menyingkirkan hal-hal yang percuma.”

Goenawan Mohamad

Kipas angin kecil di atas kepala saya mengluarkan suara ritmis, meruapkan udara yang bercampur aroma ruangan. Kaca besar di hadapan menampilkan suasana sepi juga wajah yang tidak asing.

“Mau potong model apa, A?” kata pria di belakang saya dengan bahasa sunda.

“Potong pendek, Kang.” Saya memegang beberapa helai rambut, “dua senti lah!”

Sambil menyalahkan mesin, tukang cukur itu bercerita. Juga bertanya tentang banyak hal. Entah pada pertanyaan ke berapa ia seperti mendapatkan emosi terkuatnya. “Ooooh, si Aa kerja di sana!” kata dia memulai. Sumbunya seperti terbakar.

“Saya ahli kretek nih. Sudah puluhan tahun.” Katany masih dengan bahasa Kabayan. “Mungkin kalau dihitung-hitung sudah puluhan juta uang saya habis. Bisa buat beli motor lah. Pokoknya saya gak mau tahu, bilangin ke bos-nya si Aa. Kirimin hadiah ke saya sebagai pelanggan setianya.”

Sejujurnya saya mau jawab, “Gak segampang itu, Kang. Lagian salah sendiri. Gak ada yang maksa Akang buat ngerokok juga kan!”

Tapi tentunya jawaban itu nggak jadi terucap, karena saya sadar setiap saat dia bisa menancapkan guntingnya ke ubun-ubun saya.

Sepenggal kisah itu memunculkan lagi pertanyaan kecil di kepala saya sejak dulu, waktu saya masih sering nyari ikan Gapi di selokan. Pertanyaan filosofis tentang mengapa orang merokok. Jawaban paling awal yang saya temukan adalah untuk pergaulan, yang kemudian disusul dengan kecanduan.

Saat ini kita sangat akrab sekali dengan pendapat bahwa merokok adalah hal yang sia-sia, bodoh, merusak kesehatan, dan hanya menghabiskan uang. Pokoknya nggak berguna, kira-kira sama dengan nyuruh Limbad jadi khotib jum’at atau PKB benar-benar jadiin Roma Irama capres.

Sebenarnya, untuk kebanyakan orang yang bukan perokok seperti saya, mengatakan merokok adalah hal yang sia-sia, bodoh, merusak kesehatan, menghabiskan uang dan lain-lain adalah hal yang mudah. Namun pertanyaan yang lebih mendasar lagi adalah, apakah merokok yang merupakan aktifitas yang sering kita temui menjadi perkara yang begitu menyeramkan?

Beberapa hari yang lalu, saya menemukan dalam blog kawan, review buku yang berjudul ”Muslihat Kapitalisme Global; Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS”. Seperti tertera jelas dalam judulnya, buku tersebut berisi tentang akal-akalan perusahaan asing (perusahaan farmasi dan rokok) untuk melakukan rekayasa guna menguasai pasar rokok Indonesia. Berikut kesimpulan saya setelah membaca buku tersebut.

Setiap orang tahu bahwa kesehatan adalah hal yang sangat berharga bagi semua orang. Dari isu kesehatan itulah kemudian kampanye anti-rokok bergulir. Memang secara garis besar, setiap isu yang mengusung kesehatan selalu mendapat ruang yang besar dalam masyarakat manapun. Terlebih ketika wacana tersebut diklaim ilmiah. Bahkan terkadang kita menelannya mentah mentah dan menerimanya tanpa kecurigaan.

Setiap orang melakukan sesuatu tentu karena niat, latar belakang atau kepentingan. Ikhlas karena Tuhan juga merupakan kepentingan bukan? Kepentingan untuk dirahmati Tuhan. Jadi semua orang punya niat dan kepentingan ketika melakukan sesuatu. Kalo kata Gus Dur, hanya orang mati yang nggak punya kepentingan.

Begitu juga halnya dengan kampanye global anti tembakau, pasti punya latar belakang dan niat. Pertanyaan selanjutnya adalah apa niatnya? Jawaban yang sederhana adalah untuk kesehatan seluruh umat manusia. Namun tentunya jawabah tersebut terlalu naïf jika melihat beberapa fakta yang dikemukakan dalam buku tersebut.

Ada beberapa ambiguitas dan keganjilan tentang kampanye anti tembakau atau rokok yang ada di Indonesia, juga di dunia. Ya, meski sering dikatakan bahwa tembakau mengandung senyawa yang berbahaya dan menyebabkan kanker, namun di sisi lain tembakau juga memiliki kandungan protein yang sanggup mencegah berbagai macam penyakit termasuk kanker. Sebagai contoh, ada ilmuan dari LIPI yang berhasil menggunakan tembakau sebagai protein Growth Colony Stimulating Factor (GCSF). Bahkan tembakau bisa menghasilkan tiga protein utama yaitu human serum albumin (HAS). Ada juga ilmuan yang menggunakan “teknologi pengasapan” tembakau yang telah direkayasa melalui teknologi bio-molekuler sebagai sistem pengobatan.

Banyak orang tentu juga tahu bahwa beberapa pemain bola tersohor dunia juga merokok. Fabien Barthez (Prancis, 1990-2007), bisa menghabiskan dua bungkus sehari. Begitu juga Wayne rooney (Inggris, 2002-sekarang) dan Mario Balotelli (Italia, 2006-sekarang). Bahkan pesepakbola yang pernah menjadi pemain terbaik dunia, Zinedine Zidane (Prancis, 1989-2006), menghabiskan satu setengah bungkus rokok dalam sehari.

Intinya, kebenaran ilmiah tentang zat yang ada dalam tembakau masih bisa diperdebatkan. Sayangnya, yang banyak tersebar luas dan digembor-gemborkan adalah keburukan dari tembakau. Perluasan tersebut salah satunya bersumber dari badan kesehatan dunia atau WHO.

Keganjilan selanjutnya adalah sponsor dibalik gerakan tersebut. Buku ini membahas dengan detail latar belakang Bloomberg Initiative, yang didirikan oleh Michael Bloomberg, yang merupakan donator terbesar dalam gerakan anti rokok di Indonesia, tidak semata-mata untuk misi suci mensejahterakan dan mensehatkan masyarakat dunia. Buku ini mengungkap sisi kesejarahan WHO yang sejak awal dirumuskan sebagai instrumen global dari kepentingan industri farmasi. Hasil riset dalam buku ini menjelaskan tentang proses konsolidasi perusahaan multinasional Amerika, khususnya perusahaan farmasi dan rokok. Mereka sanggup membangun sinergi dalam kepentingan masing-masing yang intinya mendapatkan pemasukan dan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Lalu bagaimana perusahaan farmasi bekerjasama dengan perusahaan rokok?

Begini, jika dilihat sekilas memang sepertinya kerjasama antara perusahaan rokok dan farmasi adalah sebuah kontradiksi: satu pihak melarang mengkonsumsi rokok, sementara satu pihak menjualnya. WHO yang dibelakangnya perusahaan farmasi melawan perusahaan rokok. Begitu yang sepertinya terlihat, namun buku ini menjelaskan sebaliknya.

Penjelasan mudahnya begini, ada mekanisme terstruktur sebagai berikut: melalui WHO, perusahaan multinasional farmasi (kapitalisme global) menetapkan semacam ketentuan standar produk internasional terhadap produk olahan tembakau (istilahnya FCTC, sekarang sedang di bahas di DPR) dan menjual produk NTC (Nicotine Replacement Therapy). Dengan begitu perusahaan-perusahaan rokok lokal menengah dan kecil akan kalah dan mati karena tidak sanggup memenuhi ketentuan sekema cukai tinggi, dan perusahaan rokok multinasional (kapitalisme global) masuk menguasai.

Hal ini kemudian menggelitik, dan membuat saya manggut-manggut. Ada benarnya juga ya, pikir saya. Sekarang begini, apakah melalui larangan mengkonsumsi rokok, para perokok menjadi takut? Jawabannya belum tentu. Dalam tagline terbaru bahkan kalimatnya menjadi semakin sangar; merokok membunuhmu. Padahal kalimat tersebut nggak jauh beda dengan; cinta ini membunuhku. Sama halnya dengan nama Loki yang unyu di The Avenger, slogan itu nggak membuat takut.

Itu juga mungkin yang paling tidak menjadikan asumsi tentang alasan WHO tidak langsung “mengharamkan rokok”, menjadikannya seperti narkotika. Kalau memang membahayakan kesehatan bahkan sampai bisa membunuh, bukankah itu sama dengan narkoba? Atau slogan sangar itu memang nggak dimaksudkan untuk melarang?

Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa mereka mengincar industri ini? Apakah industri ini penting?

Industri kretek di Indonesia telah ada bahkan sebelum negara ini lahir. Rokok (terutama kretek), dan tembakau adalah komoditi ekonomi yang sangat besar di negeri ini. Dari mulai bahan baku mentah sampai konsumen tersedia dalam jumlah yang berlimpah. Intinya, Indonesia benar-benar mandiri dalam industri ini.

Pada 2011, pendapatan negara dari cukai rokok bisa mencapai Rp. 62, 759 trilyun (6 % APBN 2011). Hal tersebut membuktikan bahwa ini adalah industri yang besar, bahkan mengalahkan industri pertambangan yang hanya menyumbangkan Rp. 13, 77 trilyun. Tidak sampai sepertiga dari yang disumbangkan kretek terhadap APBN.

Dan akhirnya, untuk mengakhiri tulisan ini ada satu pertanyaan yang tersisa; buku ini ditulis untuk apa? Apakah untuk menganjurkan merokok, atau untuk melarang peredaran rokok sama sekali. Supaya kue yang menjadi biang penyebab perebutan ini “dihabisi” sekalian.

Menurut saya, buku ini tidak menganjurkan keduanya. Melalui tulisan ini saja juga tidak bermaksud menganjurkan orang lain untuk merokok, hanya ingin berbagi perspektif, menyampaikan isi dari buku tersebut bahwa kampanye anti tembakau itu punya kepentingan yang nggak sederhana.

Buku ini ingin mengatakan bahwa rokok (terutama kretek), dan tembakau adalah komoditi ekonomi yang sangat besar di Indonesia. Bahkan orang Indonesia telah mengenalnya selama ratusan tahun. Sementara rongrongan yang menjelaskan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan baru berlangsung akhir-akhir ini. Ke-angker-an rokok pun dijadikan strategi untuk masuknya perusahan rokok asing ke Indonesia. Sehingga bisa diasumsikan bahwa kapitalisme global ingin merebut pasar Indonesia berikut segala-galanya dari hulu sampai hilir. Begitulah memang cara kerja kapitalisme, serakah.

Buku ini sepertinya ingin menjelaskan bahwa kita sedang dijajah oleh perusahaan asing. Sejak dulu kapitalisme memang telah menjadi faktor utama di balik penindasan dan kekuasaan sistem kolonial. Dan sekarang, mereka menggunakan ilmu pengetahuan dan organisasi untuk merekayasa guna mencapai keinginan mereka. Seperti kata @noffret, “Sejarah ditulis oleh pemenang, katanya. Sekarang, aku mulai khawatir, bahwa pengetahuan pun ditulis oleh para pemenang.”

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 30, 2014 16:44