Nailal Fahmi's Blog, page 26

April 16, 2013

Kau Tahu Kawan #6

Kau tahu kawan, wanita itu nggak mau punya saingan, walaupun ia bisa dengan mudah mengalahkannya.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 16, 2013 10:46

April 15, 2013

Kiyai Munad

“Mas bangun mas! Sudah sampai terminal!”.
“Oh, gawat! Aku tertidur!” Kalimat itu yang pertama meloncat dari pikiran pemuda itu spontan.
Pukul 03.15 pagi pemuda itu tiba di terminal. Di dalam bus tadi, kantuk membunuhnya perlahan-lahan. Membuatnya tak merasakan sakit sama sekali. Kematian yang begitu indah. Sejenis kematian yang hanya menghampiri jiwa-jiwa yang tenang. Membuka dialog panjang antara dirinya dan dirinya, dalam alam bawah sadar yang jauh.
“Mau kemana, Mas!” beberapa tukang ojek menghampirinya setelah pemuda itu turun dari bus. Pemuda itu masih berusaha mengumpulkan ingatannya tentang kota itu. Ia ingat, semalam ia tertidur di bus. Dan sekarang telah sampai di terminal. Oh, malangnya nasibku, pikirnya. Apa yang harus kulakukan? Apa aku teruskan tidurku di terminal ini? Tidur sampai fajar menyingsing dan segala sesuatunya telah memiliki warna dengan jelas. Menunggu angkot bergeliat, berlalu lalang untuk mengantarkan para ibu ke pasar membeli sayuran.
“Naek ojek aja, Mas!” para tukang ojek itu terus mendesak. Pemuda itu membayangkan dirinya tidur di terminal seperti orang gila di pojok terminal itu. Di dekat tempat sampah. Tapi siapa yang menjamin aku akan bangun dengan selamat besok pagi? Pikirnya lagi. Bisa jadi besok pagi aku menjadi gelandangan baru di kota ini, atau lebih parah menjadi orang gila baru pengganti orang gila yang sudah sepuh di pojok sana.
“Jam segini angkot belum ada yang narik, Mas!” tukang ojek lain mulai memberi alasan.
Pemuda itu mulai berpikir lagi. Tempat neneknya yang seharusnya dituju terletak jauh dari terminal, dan ia sedang  memikirkan biaya yang akan dikeluarkannya untuk naik ojek dalam jarak sejauh itu. Lagipula masih terlalu pagi, ia takut menggangu. Aku harus mampir ke tempat temanku yang dekat sini, pikir pemuda itu. Dan tidak diragukan lagi, pikirannya segera tertuju pada seorang sahabat karibnya di kota itu; Kiyai Munad. Ya, Kiyai Munad.
“Antarkan saya ke Pondok Pesantren Al-Arifiyah, Mas! Ke tempat Kiyai Munad.” Kata pemuda itu kepada seorang tukang ojek.
Ada berbagai hal yang melintas di kepalanya, dalam perjalanan bertemu kawan karibnya itu. Kenangan-kenangan waktu  mereka masih sama-sama kuliah. Ia ingat pertemuan pada suatu siang di sebuah kampus. Ketika ia disapa oleh seseorang bermuka tirus pada kali pertama masuk kuliah.
***

“Wa’alaikum salam!” jawab kiyai Munad setelah pemuda itu mengucap salam. Mereka berjabatan tangan.
“Apa kabar, Kiyai!” kata pemuda itu.
“Ah jangan panggil aku kiyai, sobat! Kita seumur. Kau membuatku merasa jauh.”
“Ma’af jika kedatanganku mengganggu wirid malammu.” Kata pemuda itu sambil menurunkan ransel yang ada di punggungnya yang terasa makin berat.
“Menghormati tamu itu lebih mulia dari apapun. Tentu kamu tahu itu kawan. Baiklah sekarang mari kubawakan ranselmu. Kita istirahat dulu di kamarku.”
“Berapa murid yang ada di pesantren ini?” tanya pemuda itu sambil berjalan menuju kamar Kiyai Munad.“Jauh berkurang. Orang–orang sekarang lebih memilih sekolah umum. Sayang sekali kuliahmu terhenti. Jika saja dulu kau meneruskan kuliahmu mungkin saat ini aku bisa meminta bantuanmu untuk mengurusi pesantren ini.”
“Sudahlah, toh sekarang kamu sendirianpun telah berhasil, kan!?”
“Oya, berapa hari kamu di kota ini, kawan!” kata Kiyai Munad mengalihkan pembicaraan.
“Cuma lima hari. Aku akan menginap di tempat simbah. Aku kangen beliau.”
Kiyai Munad membiarkan kawannya beristirahat. Pemuda itu mulai merebahkan diri sambil mengingat-ingat kenangannya di kota itu beberapa tahun lalu, ketika ia berkelana ke kota itu. Itulah daya tarik berkelana, pikirnya tiba-tiba. Aku selalu mendapat teman-teman baru tanpa perlu bersama-sama mereka sepanjang waktu.
Kalau seseorang bergaul dengan orang yang sama setiap hari, ia cenderung menjadi terlalu merasa mengerti kepada orang lain. Terkadang ia ingin supaya orang lain berubah. Kalau orang itu tidak bisa berubah seperti yang ia kehendaki, maka ia marah. Orang tampaknya selalu merasa lebih tahu, bagaimana orang lain menjalani hidup, tapi mereka sebenarnya tidak tahu bagaimana seharusnya menjalani hidup sandiri.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 15, 2013 04:28

April 14, 2013

Di Sebuah Perpustakaan

Sudah seratus dua puluh satu hari pemuda itu mengamati si gadis. Setiap kali si gadis melangkahkan kakinya ke ruang perpustakaan, ia selalu menyempatkan diri untuk bisa memandangnya. Mencari posisi yang pas untuk melihatnya dengan jelas.
Pemuda itu berada di rak sebelah, ketika si gadis sedang asik mencari buku. Gadis itu menyita seluruh perhatiannya. Dari rak yang bersebelahan itu, sesekali ia mencuri-curi pandang, diam-diam melihat mata si gadis. Mata itu selalu mengingatkannya pada sebuah oase di tengah padang gurun. Aku berani menukar semua yang aku punya sekarang ini demi memandang mata indah itu, pikir pemuda itu.
Tapi posisi yang paling pas untuk menikmati keindahan gadis itu secara utuh adalah ketika si gadis duduk menyendiri di sebuah sudut pada sebuah bangku di perpustakaan itu. Begitu setiap hari ia selalu menyempatkan diri ada di perpustakan itu untuk membaca buku. Sesekali si pemuda juga melihat buku yang dibacanya.  
Kali ini dia memakai baju biru langit dengan beberapa garis klim putih pada bahunya. Dengan jeans ketat yang selalu ia pakai setiap akhir pekan. Tapi aku lebih suka melihatnya mengenakan rok, pikir pemuda itu. Rok yang biasanya ia pakai hari senin, dengan rombe dari pangkal pinggulnya hingga ujung mata kakinya. Membuatnya memancarkan keanggunan seorang wanita. Tapi sesekali aku juga suka melihatnya memakai jeans. Membuatnya terlihat mandiri.
“Manis” gumam pemuda itu, “Ah, andai ada kata yang lebih bagus dari itu?”
Pemuda itu masih terus mencuri-curi pandang gadis itu, ketika si gadis telah selesai memilih buku-buku dan membawanya ke sebuah bangku pada sudut perpustakaan.
Sesekali ada keinginan untuk mendekati si gadis kemudian mengatakan segala yang terlintas dalam kepalanya. Semuanya. Semua perasaan tentangnya. Ia ingin mengungkapkan rayuan yang telah lama ia susun dalam sudut hatinya. Namun bagaimana mungkin? Menatapnya saja ia tak punya keberanian. Emh, tak punya kesanggupan lebih tepatnya.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 14, 2013 22:20

Sebuah Percakapan dengan Pak Tua

Pemuda itu mulai mencari kesibukan lain untuk membunuh kebosanannya. Ia mencoba jalan-jalan sendiri. Bersepeda.
Ia mengayuh sepeda sambil terus membiarkan segala hal memasuki pikirannya. Ia memikirkan novelnya yang tak pernah selesai, acara tadi malam, kenangan bersama seorang gadis dan banyak lagi. Pikirannya melompat-lompat.
Sampai ia tiba pada sebuah gang dimana ia tahu ada seorang tua yang dulu sering ia ajak bicara. Kakek itu salah seorang pengurus gereja. Gereja yang sepertinya lebih tua dari umur si kakek.
“Apa kabar, Kek!” pemuda itu memulai.
“Baik!”
“Itu mobil punya siapa ya?” tiba-tiba si kakek bertanya. Pemuda itu melihat mobil yang dipandangi si kakek.
 “Yang mana, Kek?” si pemuda mencoba mencari penjelasan lebih.
“Yang di depan rumah itu.”
“Oh, punya Haji Muhsin mungkin. Itukan rumahnya.”
“Oh, bagaimana kabarmu anak muda?”
“Baik, Kek! Gak pernah sebaik ini.”
“Bagaimana sekolahmu?”
“Ah?” pemuda itu ragu si kakek masih ingat tentang dia. Ia mulai menyelidik “Apa kakek masih ingat siapa saya?”.
“Sebenarnya aku lupa siapa kamu. Aku hanya menebak-nebak saja. Kalau begitu ceritakan tentangmu supaya aku bisa ingat lagi.” Pemuda itu kemudian menceritakan kenangan-kenangannya dengan si kakek. Tentang percakapan-percakapan yang pernah mereka bicarakan. Tentang kesukaan si kakek yang masih diingat pemuda itu, dan tentang apapun. Sampai akhirnya pemuda itu diam. Mereka diam.
“Itu mobil punya siapa ya?” si kakek bertanya di sela-sela diamnya.
“Mobil yang mana, Kek?”
“Yang di depan rumah itu.”
“Oh, punya Haji Muhsin mungkin. Itukan rumahnya.”
“Oh, mungkin!” jawab kakek. Ia diam beberapa saat kemudian tiba-tiba bicara, “Anak muda! Kamu tahu apa itu bahasa cinta?”
Pemuda itu memandang heran wajah si kakek, mencoba menerka arah pembicaraan. Kakek itu acuh menerima pandangan mengherankan itu. Namun akhirnya si pemuda tidak bisa menerka arah pertanyaan itu dan menggeleng sekenanya.
“Bahasa cinta adalah bahasa yang lebih tua daripada manusia,” kata si kakek kemudian, “sesuatu yang meletupkan daya yang sama manakala dua pasang mata beradu pandang.”
Pemuda itu mencoba memahami bahasa filsafatis dan puitis yang dilontarkan si kakek, namun gagal. Ia tetap tidak mengerti maksud si kakek. Pemuda itu diam. Si kakek yang sepertinya tahu makna kediamannya  melanjutkan, “Cinta adalah bahasa dunia yang murni. Bahasa yang tidak membutuhkan penjelasan, seperti halnya jagad raya ini yang tidak memiliki penjelasan dalam perputarannya dalam ruang waktu yang tak berujung.”
Anak itu masih terus berusaha berpikir.
“Kamu paham?”
“Belum, Kek! Tapi akan coba kupikirkan.”
“Orang-orang yang saling bertengkar sampai akhirnya saling membunuh karena masalah agama adalah salah satu golongan yang belum mengerti arti bahasa cinta yang universal itu, Nak!” kata-katanya terputus. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Kakek tua itu memandang jauh ke lanskap. Dari matanya ada keraguan yang menggantung. Ia terdiam. Anak itu menunggu apa lagi yang akan dikatakan kakek tua itu.
“Itu mobil punya siapa ya?” si kakek tiba-tiba bertanya lagi. Si pemuda melihat sekelilingnya dan menemukan mobil yang sama yang beberapa waktu lalu ditanyakan si kakek tua.
“Mobil yang di depan rumah itu, Kek?”
“Ya,”
“Mungkin punya Haji Muhsin.”
“Oh, mungkin!”
“Memang kenapa?” pemuda itu makin penasaran.
“Ah, aku hanya iseng bertanya.”
Percakapan dengan seseorang, apalagi orang yang telah sepuh memang membutuhkan teknik tersendiri. Salah-salah ia tersinggung dan marah. Makin tua seseorang terkadang ia kembali lagi seperti anak-anak, egois, keras dan lucu. Ditambah lagi penyakit khas orang tua; pikun.
Setengah jam pemuda itu berbicara dengan pak tua, percakapannya selalu berakhir dengan pertanyaan yang sama; itu mobil punya siapa ya? Sudah delapan kali pak tua itu menanyakannya, dan delapan kali juga pemuda itu menjawabnya dengan sabar.

Pemuda itu merasa percakapan itu sudah cukup dan berkeinginan untuk pulang. Ia berpamitan. Si kakek mempersilahkan. Tapi sebelum mereka berpisah si kakek menyanyakan pertanyaan yang tidak pernah disangka oleh si pemuda, “Tadi sudah berapa kali aku bertanya tentang mobil itu?”
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 14, 2013 18:21

Pada Sebuah Subuh

Ia bangun pukul empat tiga puluh dan segera bergegas memenuhi panggilan muadzin dari masjid terdekat. Walaupun begitu, tetap saja ia selalu menajdi orang yang terakhir tiba di sana. Dia selalu takjub dengan pemandangan langit subuh. Alangkah ruginya orang yang tidak bisa menikmati keagungan ini, pikirnya ketika melihat rasi bintang yang beraneka ragam pada langit yang cerah itu. Pemandangan itu membuatnya memperlambat jalannya menuju masjid. Setiap hari ia melakukannya, tapi tidak pernah sekalipun ia merasa bosan. Beginilah indahnya langit pedesaan, pikirnya lagi.
Sepulang menikmati jalan-jalan subuh, ia kembali menikmati pekerjaan yang seharusnya dikerjakan anak perempuan; menyiram dan menyapu lantai tanah yang telah menjadi keras seperti gerabah, mencuci piring-piring kotor bekas makan malam, dan juga mencuci pakaian. Sesekali ia merasa bosan dengan aktifitas itu, tapi kebosanan itu meredup bahkan hilang ketika ia mengingat bahwa pagi itu ia akan pergi kuliah, dan di kampus ia akan bertemu dengan teman-temannya. Sambil menimba air dari dalam sumur yang mungkin sudah seumur dengan ayahnya, ia bersenandung riang. 
Kecuali ban sepeda made in Japan, yang memang dari kemarin minta di tambah angin, pagi itu segalanya berjalan wajar seperti semestinya. Dengan rasa sukur dan senyum yang mengembang di bibirnya ia memulai hari. Pagi yang indah dan penuh syukur. Walaupun banyak yang mengatakan hidupnya begitu prihatin, tapi ia masih bisa tersenyum karena masih banyak sesuatu yang dapat ia syukuri.

Dua ribu lima puluh kali kayuhan sepeda atau sekitar 6.150 meter ia sampai di depan perbatasan desa itu dan menitipkan sepedanya di tempat penitipan sepeda. Setelah itu, ia naik dua kali kendaraan umum dan sampailah ia di kampusnya yang dekat dengan laut.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 14, 2013 04:56

April 5, 2013

Pada Suatu Siang

Siang itu aku bangun dengan kepala berat. Suara musik dangdut koplo berteriak dari speaker aktif tidak jauh dari tempatku tidur. Suara itu pasti yang membangunkanku. Perlu beberapa detik sampai ingatan akan tempat itu terkumpul. Ya, ini tempat kostku. Pasti Joni, kawan satu kost, yang menyetel lagu sialan itu keras-keras, pikirku kemudian. Mataku mengerjap menajam mencari sosok bergigi tonggos di ruangan gelap itu. Nihil. Di kamar itu hanya ada aku sendiri.Bau abu rokok, alkohol dan keringat tercampurbaur oleh kipas angin yang berptar penuh bunyi di langit-langit kamar. Aku meraih hand phone, ada tiga miscall dari kekasihku, layar menunjukan pukul 12:12. Setelah segala indraku penuh, aku mulai mendengar suara khotib dari kejauhan lewat pengeras suara. Itu hari Jumat dan lagi-lagi aku telat sholat. Segera aku meloncat dan menyelesaikan urusan kamar mandi. Mudah-mudahan masih dapat rakaat ke dua, harapku setelah mengunci kamar kost dari luar.  Sampai di masjid, imam telah sampai di ujung ruku rakaat ke dua. Aku segera bertakbir dan mengikuti. Shola wa la nawa, nawa wa la shola. Niatnya Sholat Jumat, sholatnya Sholat Dzuhur. Sholatnya Sholat Dzuhur, niatnya Sholat Jumat.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 05, 2013 15:10

March 31, 2013

Sebuah Pesan dari Sahabat


“Teruslah menjalani hidup kawan!” Katanya kepada si pemuda pada sebuah percakapan sore itu.
“Walaupun segalanya kelihatan sulit untuk di lakukan. Jangan kalah dengan keadaan. Jadilah hiu yang tetap tawar walau hidup di air asin.” ia melanjutkan.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 31, 2013 03:15

March 30, 2013

Sebuah Percakapan Dalam Perjalanan

Langit menitikan tetes-tetes air seperti menangis ketika bus yang ditumpangi pemuda itu memasuki gerbang tol. Ia mulai menata posisi yang enak untuk tidur. Sebenarnya ia ingin bercakap-cakap dengan seorang. The art of traveling! Katanya dalam hati. Tapi biarlah, sepertinya aku dan dia terlalu lelah untuk berdiskusi. Aku pun sudah merasa ngantuk dan ingin tidur.
Tapi akhirnya, pemuda itu bercakap-cakap dengan seorang laki-laki muda yang hingga akhir perjalanan ia belum sempat mengenal namanya, bahkan ia tidak yakin apakah laki-laki yang ia ajak bicara itu nyata atau hanya sebuah bunga tidur dari pohon labirin pikiranya yang sumpek.
“Mau kemana, Bang?” Sapa laki-laki asing yang tiba-tiba duduk di sampingnya, tanpa prolog perkenalan nama atau berjabat tangan. Begitulah negri itu, antara dua orang yang belum kenal dapat saling bercakap-cakap. Tidak jarang obrolan itu diakhiri dengan keengganan meneruskan percakapan.
“Mau ke negeri Nirwana!” Sahut pemuda itu tanpa menoleh, dan memulai memjamkan mata.
“Saya tanya serius, Bang!” Laki-laki itu ngeyel.
“Oke, saya ingin pergi ke Negeri Romansa. Puas?!” Pemuda itu terpancing pertanyaan si laki-laki.
Mereka meneruskan percakapan.
“Bawaannya banyak sekali! Apa nggak repot?”
“Begini, Mas! Anda tentu pernah membaca buku tentang perjalanan kan?” tanya pemuda itu retoris, seperti ingin membuka percakapan yang lebih panjang.
“Nggak! Saya belum pernah membaca buku semacam itu!”
“Isinya sederhana, yaitu tentang perjalanan dan hal-hal yang berhubungan dengan perjalanan.” Pemuda itu berimprovisasi, “Inti isi buku itu adalah memberi tahu kita macam-macam orang yang melakukan perjalanan. Anda tahu, termasuk jenis apa anda ini?”
“Nggak! Ngak pernah mikirin juga.” Jawab laki-laki itu sekenannya.
“Ya, menurut buku itu, dilihat dari barang bawaan anda, anda adalah jenis orang yang sering bepergian kebanyak tempat dengan mobilitas yang tinggi. Anda begitu simpel.”
“Ya benar! Oh kalau begitu, jika dilihat dari barang bawaan Abang yang banyak, Abang termasuk seorang yang jarang melakukan perjalanan. Betul?”
“Hahaha...” tawa pemuda itu renyah. Laki-laki simpel itu telah terjebak dalam logika yang salah, “anda terlalu cepat mengambil kesimpulan, Mas! Aku dipaksa membawa buah-buahan dari kebun oleh Bapakku.”
Bus transit pada sebuah restoran megah. Beberapa orang turun untuk membeli makanan, minuman atau buang hajat. Satu dua pedagang asongan mulai menaiki bus yang telah diparkir di depan restoran itu. Suasana ribut, tapi kedua manusia itu tidak sedikitpun terusik dengan segala hiruk pikuk itu.
“Oh, isinya buahan toh!?” tanya laki-laki simpel penasaran.
“Ya, hampir setengahnya.”
“Untuk siapa?”
“Untuk sedulur-sedulurku di Negeri Romansa.”
“Bang. Sudah berapa kali anda kesana?” tanggap laki-laki simpel berambut lurus itu, seperti mencoba memperlihatkan bahwa ia juga punya pengetahuan tentang tempat yang ingin dituju si pemuda, “Bukankah disana ada segala macam jenis buah?!”
“Hahaha...” pemuda bertubuh kurus itu kembali tertawa renyah. Ia seperti telah menyimpan antisipasi-jawaban yang bagus untuk pertanyaan itu. Ia kembali berteori, “ternyata buku itu benar! Mas merupakan pejalan yang berpikiran sederhana. Kesederhanaan itu menandakan Mas adalah seorang yang moderen.” Ia sedikit memujinya. Mengangkatnya tinggi ke langit-langit kesombongan. Berharap laki-laki itu terangkat jauh tinggi. Lebih tinggi lebih bagus. Lebih sakit jatuhnya. Apalagi ditambah dengan sedikit bantingan.
“Oya? Terima kasih!” jawab laki-laki itu termakan pujian. Terbang tinggi.
“Dan anda tahu, orang-orang moderenis seperti andalah yang banyak merusak kebudayaan bangsa ini.” Kalimat bantingan.
“Omong kosong! Gak ada hubungannya dong!” Kecipak air emosi mulai terdengar kembali dari laki-laki itu. Sepertinya, bantingan kata-kata itu cukup telak.
“Bego! Ya tentu ada.” Jawab pemuda itu tak kalah emosi. Percakapan mulai memanas. Debat itu semakin menampakan ciri-ciri perdebatan pepesan kosong. Tanpa mereka sadari bus yang mereka tumpangi telah sepi penumpang sebelum sampai tempat tujuan si pemuda. Banyak penumpang yang turun di tengah jalan. Kondektur yang sedari awal acuh dengan percakapan tidak mutu itu, memberi tahu bahwa bus tidak sampai tujuan akhir karena penumpangnya terlalu sedikit. Penumpang yang tersisa diharap pindah ke bus lain yang telah disediakan. Antara keadaan sadar dan tak sadar, dua orang itu berpindah ke bus lain yang telah disediakan. Namun perpindahan bus itu tidak membuat emosinya surut. Ia meneruskan teori anehnya.
“Apa seseorang yang kau beri sesuatu yang kau tanam sendiri, kau rawat, kau pelihara sejak kecil, sama dengan ketika kau memberi orang itu sesuatu yang kau beli di pasar dengan setentengah hati, dengan menawar harga yang tak pantas? Jelas berbeda tolol!”
“Bang! Please stop calling me stupid!” perang sepertinya baru akan dimulai.
“Oke, maaf!” pemuda itu melemahkan suaranya, seperti membuat strategi perang baru. Dengan kata-kata yang telah ia susun dalam kepalanya ia meneruskan, “Kita ini orang timur, Mas! Orang-orang sosialis. Hormatilah budaya kita sendiri.”
“Tapi gak semua budaya baik, toh! Orang-orang barat juga menyebut budanya mereka yang baik. Bukankah itu berarti budaya itu relatif, Bang!”
“Aku setuju.” Pemuda itu menarik kesimpulan, “Oleh kerena itu, ketika ditimur ikuti adat istiadat dan kebiasaan mereka. Jika dibarat jadilah individualis seperti mereka. Supaya kita tidak dikatakan aneh. Lagipula bukankah mas sendiri orang timur? Aneh jika mas nggak enjoy dengan budaya sendiri.”
Laki-laki simpel menjawab santai, “Dunia terus berkembang. Seiring pemikiran orang-orang di dalamnya. Informasi semakin mudah diperoleh. Apakah itu nggak bisa jadi pertimbangan.”
Mereka terdiam. Diam kontemplatif. Entah sampai berapa lama.
Nun jauh di sebuah desa di kota tujuan si anak, seorang nenek lumpuh sedang menunggunya cemas.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 30, 2013 04:10

March 29, 2013

Allah

Kawan gue pernah adu jotos dengan orang karena alasan “agama”. Jadi ceritanya, ada orang yang nurunin dan merobek-robek spanduk iklan seda motor di depan rumahnya. Waktu ditanya kenapa, eh dia malah makin marah-marah sambil ngomong, “Gak ada yang boleh masang spanduk Yamaha. Karena Yamaha itu hanya untuk tuhan. Allahu akbar! Allahu akbar!”Gue rasa dia itu orang stress yang nggak lulus ulangan Bahasa Indonesia. Tentang Tuhan, Ali bin Abi Thalib, dalam kitab Nahjul Bhalaghoh,  menulis....
Segala puji bagi Allah yang tiada pembicaraan manapun mampu meliputi segala pujian bagi-Nya. Tiada penghitung manapun mampu mencakup bilangan ni’mat karunia-Nya. Tiada daya upaya bagaimanapun mampu memenuhi kewajiban pengabdian kepada-Nya. Tiada pikiran sejauh apapun mampu mancapai-Nya, dan tidak ada kearifan sedalam apapun mampu menyelami hakikat-Nya.
Sifat-Nya tidak terbatasi oleh lingkungan, tidak terperikan oleh ungkapan, tidak terikat waktu dan tidak menjumpai kesudahan.
Dialah yang Maha Esa seperti yang dinyatakan-Nya tentang diri-Nya. Tiada  mungkin ditentang oleh siapapun dalam kerajaan dan kekuasaan-Nya. Tiada Ia akan pernah musnah. Bahkan Ia “ada” selalu untuk selama-lamanya. Keadaan-Nya yang satu tiada mendahului keadaan-Nya yang lain. Maka tiadalah Ia (menjadi) Yang Awal sebelum Dia menjadi Yang Akhir, atau Yang Zahir sebelum Yang Batin. Dialah Yang Pertama tanpa permulaan. Yang Terakhir tanpa kesudahan. Pengetahuan tentang sifat-sifat ketuhanan-Nya terlalu agung untuk dicapai oleh perasaan hati dan pandangan akal.
Dia maujud bukan karena suatu ciptaan. Bukan pula muncul karena ketiadaan. Dia “ada” bersama dengan segala sesuatu namun tidak dengan suatu kesertaan. Bukan  pula Dia lain dari segala sesuatu disebabkan keterpisahan darinya. Dia adalah pelaku namun tidak (menggunakan) gerak atau pun alat. Maha Melihat meskipun belum ada makhluk apapun. Sendiri disebabkan sesuatu yang dengannya Ia merasa terikat, ataupun gelisah bila Ia terpisah darinya.
Dimulainya ciptaan-Nya tanpa pola sebelumnya, atau kebimbangan yang meliputi-Nya, atau pengalaman yang diperoleh-Nya, atau gerakan yang dibuat-Nya, atau keinginan jiwa yang mendorong-Nya.
Tidak diciptakan makhluk-makhluk-Nya untuk memperteguh kekuasaan. Atau karena ketakutan akan akibat-akibat (pergantian) zaman. Atau demi membantu melawan tandingan yang memerangi, atau sekutu yang berbangga dengan kekayaan, atau musuh  yang menantang dengan besarnya kekuatan. Mereka hanyalah makhluk-makhluk-Nya yang diperhambakan atau budaknya yang hina dina.
Tiada Ia “mendiami” sesuatu sehingga dapat disebut Ia “ada” di sana. Tidak menyulitkan bagi-Nya penciptaan yang dimulai-Nya, ataupun pengaturan apa saja yang telah selesai dibuat-Nya. Tiada pernah Ia diliputi ketidakmampuan dalam segala yang Ia ciptakan-Nya, dan tiada pernah Ia dimasuki kebimbangan tentang apasaja yang dilaksanakan-Nya. Semua itu bersumber pada ketetapan amat teliti, pengetahuan yang amat tepat dan urusan yang terikat  kuat.
Perintah-Nya pasti terlaksana dengan penuh hikmah. Ridha-Nya membawa keselamatan dan rahmah. Ia menciptakan segalanya dengan pengetahuan yang mendalam. Mengampuni hambanya dengan kemurahan yang luas.
Dialah yang didambakan pada setiap bencana yang mencekam, dan dari Dialah diharapkan datangnya segala keni’matan.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 29, 2013 18:56

Reason #158 to Have Kids

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 29, 2013 18:30