Nailal Fahmi's Blog, page 27

March 27, 2013

Tentang Tagline Blog Ini


Waktu kelas tiga Aliyah, Kiyai Syarif masuk kelas untuk mengajar Musthalah Hadits. Pada pertemuan pertama itu, gue dan kawan-kawan sekelas diberikan sebuah Hadits Musalsal bil Awwaliyah (Hadist yang setiap perawinya saling mengikuti di dalam suatu sifat tertentu, baik dalam bentuk ucapan, keadaan atau perbuatan. Untuk Hadits yang gue terima dari Kiyai Syarif ini bentuknya bil Awwaliyah yaitu keadaan dimana beliau pertamakali mengajarkan muridnya Hadits) Gue lupa Sanad Hadits tersebut tapi Matan Hadits itu berbunyi, “Ar-rãhimüna yarhamuhumur Rahmãn Tabaraka Wataala. Irhamuu man fil ardhi yarhamkum man man fissamã'” Artinya adalah, “Para penyayang akan selalu disayangi oleh Sang Maha Penyayang. Sayangilah mereka yang ada di bumi, maka kalian akan disayangi oleh mereka yang ada di langit.”Hadits tersebut melekat di dalam pikiran dan hati gue dari pertama kali dibacakan Kiyai Syarif sampai sekarang, dan menjadi tagline blog ini.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 27, 2013 22:08

Hidup Memang Selalu Punya Solusi

Gue nggak suka Indomie karena telah menghina penulis. Istri gue nggak suka Sarimi karena slogan iklannya yang dinyanyikan Ayu Ting Ting menganjurkan poligami, "Sarimi.... Sarimi Istri Dua...". Untungnya masih ada Supermie.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 27, 2013 21:06

March 25, 2013

Menelpon Kawan Lama

Ngobrol dengan kawan lama itu selalu menyenangkan dan terkadang membuka perspektif baru.Kemarin gue ngobrol sama kawan, “Hallo, assalamualaikum.” kata gue ditelpon.“Woy, Bro. 'Alaikum salam.”“Lo lagi ngapain?”“Makan.”“Oh gue kira lagi ngajar.”“Ngajar apaan hari Minggu gini? Di gereja?”Heh, nggak ada yang lebih mencairkan suasana selain becanda dengan kawan lama. Kemudian kita ngobrol ngalor-ngidul membicarakan segala hal. Dan hari itu gue tahu istrinya sedang ada di bidan untuk melahirkan Putra pertama mereka. Sementara dia harus pulang menemani istrinya karena saat itu ia sedang berada di luar kota.Ada lagi satu kawan yang gue telpon, “Hallo, apa kabar.”“Baik. Kamu gimana?”“Baik juga. Lagi dimana?”“Di Palembang nih. Mungkin besok baru mau ke Jawa.”Pembicaraan kembali ngalor-ngidul dan entah dari arah mana kemudian dia menceritakan kegagalan pertunangannya beberapa tahun lalu. Padahal gue sama sekali nggak menyinggung masalah pasangan. Gue tahu dia masih single dan dia tahu gue udah menikah. That’s all what I know. And absolutely  I don’t want to ask her, “why are you still single?”. That’s crazy question I think.Gue bingung bagaimana cara merespon kawan lama yang bercerita tentang kegagalan pertunangannya. Yang keluar dari mulut gue kemudian, “Jodoh nggak ada yang tahu kan.”Memang terkadang tuhan lama memberikan jodoh kepada seseorang. Seperti kawan yang terakhir gue telpon. Namun juga seperti kawan gue yang sedang bahagia dengan anak pertamanya, terkadang tuhan mempertemukan dua orang yang begitu cocok dengan cepat. Seperti sebuah mukjizat. Sampai sampai kita merasa ragu dan berpikir: apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya?Bahkan Dedy Corbuzer mencoba menguji dengan pasangannya dengan cara bercerai. Seperti dalam cerita Haruki Murakami, mungkin dia bilang ini ke istrinya, “Mari kita uji diri kita —sekali ini saja. Jika kita memang pasangan yang sempurna untuk satu sama lain, maka di suatu saat, di suatu hari, kita pasti bersatu lagi. Kita saling merindukan, kita saling membutuhkan. Bukankah kita nggak pernah tahu apa yang kita miliki hingga nanti kita kehilangan. Dan ketika kita bertemu dan menyatu kembali, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan yang sempurna satu sama lain, maka kita akan menikah lagi saat itu juga. Bagaimana?”Dan mereka menyetujuinya. Mungkin mereka akan tetap berpisah, mungkin mereka akan bersatu kembali. Takdir memang punya cara yang terkadang sulit diduga.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 25, 2013 04:42

March 24, 2013

Cinta Punya Cerita

Belum selesai keheranan gue akan bagaimana manusia mati hidup kembali menjadi zombie, muncul cerita tentang zombie yang bisa jatuh cinta dengan manusia. Padahal kisah cinta jenis ini pasaran, mulai dari Siti Nurbaya sampai Romeo dan Juliet, kisah cinta beda kasta. Karena Cinta, bagaimanapun absurdnya, pasti punya cerita.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 24, 2013 20:10

March 19, 2013

Tentang facebook yang Tidak Aktif Itu

Dari bulan kemaren facebook gue memang nggak aktif. Banyak kawan yang nanya kenapa. Diantara mereka adalah istri gue, kemudian istri gue dan istri gue. Oke, oke, nggak ada yang nanyain facebook gue memang selain dia.Yah, memang keberadaan gue di facebook nggak berpengaruh besar terhadap perdamaian dunia. Hahaha… the life just goes on without me in facebook. And I'm getting used to life without it.Ada beberapa alasan kenapa gue menonaktifkan akun itu dan alasan ini juga bisa dipakai untuk menjelaskan kenapa nggak ada postingan sama sekali di bulan kemarin. Alasannya adalah gue sedang menulis sebuah naskah untuk di ajukan ke penerbit. Saat ini naskah tersebut sudah final draft. Jumlah halaman juga sudah tercukupi.Gue selalu merasa ada hal yang kurang ketika naskah sudah mencapai final draft. Mungkin ini nggak hanya terjadi kepada gue tapi juga penulis-penulis lain. Jangankan naskah yang belum diterbitkan, bagi penulis, ada rasa “gatal” ketika membaca bukunya yang sudah diterbitkan dan melihat ada celah yang mungkin bisa ditambahkan untuk membuatnya lebih sempurna. Mungkin itu juga yang terjadi kepada Andrea Hirata terhadap naskah “terjemhan”-nya. Ia tergoda untuk mengubah isi dari naskah ‘terjemahan’ itu.Ya begitulah yang terjadi pad gue saat ini. Gue ngerasa final draft itu masih belum sempurna, tapi terkadang nggak tahu apa lagi yang harus ditambahkan. Atau memang sudah fitrahnya manusia untuk tidak pernah sempurna?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 19, 2013 06:17

Kau Tahu Kawan #5

Kau tahu kawan, "1000 % tidak benar" mungkin adalah cara lain untuk mengatakan "100 % benar". Karena kebohongan memang punya berbagai macam bentuk.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 19, 2013 06:04

January 31, 2013

Question of Life

Jika hari libur seperti hari kerja, apakah hari kerja menjadi hari libur?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 31, 2013 08:25

January 19, 2013

Dia Yang Sempurna oleh Haruki Murakami (2)

*
Sekarang aku baru tahu bagaimana seharusnya aku menyapa gadis itu. Tentunya aku harus memberikan pidato panjang; terlalu panjang untuk kusampaikan dengan baik. Semua ide yang ada di kepalaku memang tidak ada yang praktis.
Oh well. Tadinya aku akan memulai pidato itu dengan kalimat “Pada suatu hari” dan diakhiri dengan “Cerita yang sedih, bukan?”

*
Pada suatu hari, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia pemuda itu delapan belas tahun; dan gadis itu enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu tampan, dan gadis itu tidak terlalu cantik. Mereka adalah muda-mudi yang seperti pada umumnya cenderung kesepian. Namun mereka percaya sepenuh hati bahwa di dunia ini ada pasangan hidup yang 100% sempurna untuk mereka. Ya, mereka percaya pada mukjizat. Dan bahwa mukjizat bukanlah hal yang mustahil.

Suatu hari, si pemuda dan gadis itu tak sengaja berjumpa di ujung jalan.

“Luar biasa,” ujar si pemuda. “Aku sudah mencarimu seumur hidupku. Kau mungkin tidak mempercayai ini, tapi kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”

“Dan kau,” balas gadis itu. “Kau adalah pemuda yang 100% sempurna untukku, persis seperti pemuda yang kubayangkan selama ini. Seperti mimpi rasanya.”

Mereka duduk di atas kursi taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah hidup mereka masing-masing selama berjam-jam. Mereka tidak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan ditemukan oleh pasangan masing-masing yang 100% sempurna untuk mereka. Betapa indahnya menemukan dan ditemukan oleh pasangan yang 100% sempurna untuk kita. Sebuah mukjizat, sebuah pertanda.

Namun, saat mereka duduk dan berbincang, masih ada sedikit rasa ragu yang menggantung di dada: apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya?

Maka, ketika keduanya terdiam, si pemuda mengambil kesempatan untuk berkata kepada gadis itu: “Mari kita uji diri kita—sekali ini saja. Jika kita memang pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka di suatu saat, di suatu hari, kita pasti berjumpa lagi. Dan ketika itu terjadi, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka kita akan menikah saat itu juga. Bagaimana?”

“Ya,” kata si gadis. “Itu yang harus kita lakukan.”

Kemudian mereka berpisah. Si gadis melangkah ke arah timur, sementara si pemuda ke arah barat.
Meski begitu, proses uji itu sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, karena mereka memang benar pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain—dan pertemuan awal mereka adalah sebuah mukjizat. Tapi mereka tak mungkin mengetahui semua ini di usia belia. Gelombang takdir yang dingin dan tak pandang bulu terus membuat mereka terombang-ambing tanpa akhir.

Pada suatu musim dingin, si pemuda dan si gadis menderita sakit flu yang terjangkit di mana-mana. Setelah dua minggu terkapar tanpa daya, mereka pun lupa terhadap tahun-tahun remaja mereka. Ketika mereka tersadar, ingatan mereka sama kosongnya seperti celengan baru.

Keduanya adalah individu yang cerdas dan ambisius; dan dengan usaha keras mereka berhasil membangun hidup mereka hingga menjadi sosok terpandang di masyarakat. Syukurlah, mereka juga menjadi warga yang taat peraturan dan tahu caranya naik kereta bawah tanah tanpa tersesat; yang sanggup mengirimkan surat dengan status kilat di kantor pos. Dan mereka juga sanggup jatuh cinta, terkadang cinta itu mengisi hati mereka sampai 75% atau bahkan 80%.

Waktu berlalu dengan kecepatan tak terduga; mendadak si pemuda telah berusia 32 tahun dan si gadis 30 tahun.

Di suatu pagi yang cerah di bulan April, dalam perjalanan untuk membeli secangkir kopi, si pemuda melangkah dari arah barat ke timur, sementara si gadis, dalam perjalanan ke kantor pos, melangkah dari arah timur ke barat. Keduanya menelusuri pinggiran jalan yang memanjang di sebuah area pusat perbelanjaan di Tokyo yang bernama Harajuku. Mereka saling melewati satu sama lain tepat di tengah jalan. Ingatan mereka kembali samar-samar dan untuk sesaat hati mereka bergetar. Masing-masing merasakan gemuruh yang mendesak dada. Dan mereka tahu:

Dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku.

Dia adalah pemuda yang 100% sempurna untukku.

Namun, sayang, gema ingatan mereka terlalu lemah; dan pikiran mereka tak lagi jernih seperti empat belas tahun lalu saat pertama kali berjumpa. Tanpa mengutarakan sepatah kata pun, mereka melewati satu sama lain begitu saja, hilang di tengah keramaian. Selamanya.

Cerita yang sedih, bukan?

*
Ya, itu dia. Seharusnya itu yang kukatakan padanya.




Diambil dari sini
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 19, 2013 10:30

Dia Yang Sempurna oleh Haruki Murakami (1)

Suatu pagi yang cerah di bulan April, di pinggiran jalan sempit di Harajuku, sebuah area perbelanjaan di Tokyo, aku berjalan melewati seorang gadis yang 100% sempurna.

Sejujurnya, dia tidak terlalu cantik. Dia juga tidak terlalu menyolok. Pakaian yang dikenakannya tidak terlalu spesial. Dan rambutnya masih menyisakan jejak ranjang seolah tak disisir merata. Dia juga tidak terlalu muda—kuperkirakan usianya sekitar 30 tahun, dan sebenarnya tidak cocok dipanggil dengan kata ‘gadis’. Meski begitu, aku tahu saat melihatnya dari kejauhan 0.05 kilometer: bahwa dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku. Begitu aku melihatnya, ada gemuruh yang timbul di dadaku, lalu mulutku mendadak kering seperti padang pasir.

Mungkin Anda punya tipe gadis favorit—dan dia mungkin memiliki pergelangan kaki yang ramping, atau sepasang mata yang besar, atau jemari yang lentik, atau Anda menyukai seorang gadis yang selalu menghabiskan waktu lama sekali untuk bersantap, entah kenapa. Aku juga punya tipeku sendiri. Sesekali, saat aku ada di sebuah restoran, aku sering curi-curi pandang ke arah gadis yang duduk di meja sebelahku hanya gara-gara aku menyukai bentuk hidungnya.

Namun bagi seorang laki-laki yang hatinya telah kepincut, maka gadis yang 100% sempurna itu takkan ada tandingannya. Walau aku suka memperhatikan bentuk hidung orang, namun aku tidak ingat bentuk hidung gadis yang sempurna itu—atau apakah dia punya hidung sama sekali. Yang kuingat dengan pasti adalah gadis itu bukan gadis tercantik sedunia. Aneh, kan?

“Kemarin, di jalan, aku melewati seorang gadis yang 100% sempurna,” ujarku pada seseorang.

“Masa?” sahut orang itu. “Cantik?”

“Tidak juga.”

“Kalau gitu dia tipe kesukaanmu?”

“Entahlah. Aku bahkan tidak ingat terlalu banyak hal tentang dia—seperti bentuk matanya atau ukuran dadanya.”

“Aneh.”

“Aneh sekali.”

“Lantas,” tutur lawan bicaraku yang mulai bosan. “Apa yang kau lakukan? Menyapanya? Atau membuntutinya?”

“Tidak. Aku hanya numpang lewat di hadapannya.”

Gadis itu berjalan dari arah timur ke barat, sedangkan aku dari barat ke timur. Sungguh pagi yang cerah di bulan April.

Seandainya saja aku bisa menyapa dia. Aku hanya butuh setengah jam: untuk bertanya tentang siapa dia, lalu aku kan memberitahukan siapa aku, dan—yang sangat ingin kulakukan—menjelaskan kepadanya tentang betapa rumitnya cara kerja takdir untuk mempertemukan aku dan dia di pinggiran jalan di area Harajuku di sebuah pagi yang cerah di bulan April tahun 1981. Kejadian ini tentunya melibatkan banyak rahasia yang tidak kita ketahui; seperti jam antik yang dibuat saat perang dunia usai.

Setelah mengajaknya bicara, kami akan pergi makan siang bersama, lalu menonton film besutan Woody Allen di bioskop, dan dilanjutkan dengan acara minum-minum di bar hotel. Bila keberuntungan ada di pihakku, kami akan mengakhiri kebersamaan ini di atas ranjang.

Kemungkinan-kemungkinan yang belum terjamah itu mengetuk pintu hatiku.

Sekarang jarak di antara kami menyempit jadi 0.013 kilometer.

Bagaimana sebaiknya aku mendekati dia? Apa yang harus kukatakan?

“Selamat pagi, nona. Maukah kau menyisihkan waktu selama setengah jam untuk berbincang?”
Konyol. Aku terdengar seperti salesman asuransi.

“Permisi, apakah kau tahu tempat cuci baju yang buka sepanjang malam di sekitar sini?”

Tidak, sama saja konyolnya. Aku juga tidak bawa baju kotor. Siapa yang akan percaya?

Mungkin aku harus jujur. “Selamat pagi. Kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”

Tidak, dia takkan percaya. Atau bila dia percaya, dia mungkin takkan mau berbincang denganku. Maaf, dia akan berkata padaku, aku mungkin gadis yang 100% sempurna untukmu, tapi kau bukan pemuda yang 100% sempurna untukku. Bisa saja kan? Dan jika aku berada dalam situasi itu, hatiku pasti hancur. Aku takkan pernah bisa mengatasinya. Usiaku 32 tahun—dan di usia sepertiku seharusnya aku bisa menerima penolakan dengan dada lapang.

Kami melewati sebuah toko bunga. Udara pagi berembus ringan dan membelai kulitku dengan kehangatan. Lapisan aspal di bawah kakiku tampak lembap dan aku mencium sekelebat wangi bunga. Aku tidak berani menyapa gadis itu. Ia mengenakan sebuah sweater berwarna putih dan di tangan kanannya ada secarik amplop putih yang hanya butuh perangko saja untuk diposkan. Jadi: gadis itu sudah menulis surat untuk seseorang, mungkin menghabiskan waktu semalaman menulisnya, apalagi melihat matanya yang berat karena kantuk. Di dalam amplop itu mungkin saja terselip seluruh rahasia hidupnya.

Aku mengambil beberapa langkah ke depan, lalu membalikkan badan: gadis itu menghilang di tengah keramaian.

*
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 19, 2013 10:27

December 31, 2012

2012 in Pics

Pintar Bahasa Inggris Via Media Sehari-hari


2.  Mata-mata: 16 Skandal Spionase di Indonesia & Dunia



3. Safa Narajatidewi


4. Desy and Nada


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 31, 2012 04:11