Nailal Fahmi's Blog, page 24

October 19, 2013

Sebuah Cerita untuk Kakak

Seperti biasa, bersama senja yang hampir padam, anak itu pulang. Pada trotoar, ia manghitung langkah yang tak ingin sudah. Seperti tidak ingin sampai di rumah.

Dalam kepalanya masih bergelayut teori-teori kehidupan dari para dosen, tentang hidup dan bagaimana seorang seharusnya hidup. Tentang moral dan bagaimana seharusnya orang bermoral. Juga tentang filsafat hidup yang absurd. Anak itu mencoba menghitung, sudah berapa semester ia kuliah; lima semester. Ia jenuh dengan rutinitas ini. Ia ingin bebas seperti angin. Adakah orang yang mengerti aku, teriaknya dalam hati. Setiap kali menapaki jalan yang dilaluinya setiap sore selama beberapa tahun itu, ia merasa seperti musafir. Bukan, bukan merasa, tapi itulah keinginannya. Ia ingin berjalan pada jalan itu, pada senja itu, pada kesendirian itu selama-lamanya bak musafir —kesendirian kadang membuat orang berpikir macam-macam.

Setelah kematian ayahnya tepat dua tahun tiga belas hari yang lalu, ia selalu ingat pesannya. “Azalea!” ujar ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit, beberapa hari sebelum kanker membunuhnya, “Kamulah satu-satunya anak yang paling dekat dengan ayah. Maukah kau memenuhi permintaan terakhir ayah. Ayah merasa umur ayah tidak akan lama lagi. Maukah kau?”

Anak itu mengangguk. Dalam keadaan seperti itu ia selalu ingin memenuhi permintaan apapun. Sambil dalam hati ia masih terus berharap, berdoa agar tuhan masih mau memanjangkan umur ayahnya. Dengan suara yang lemah ia melanjutkan, “Jika memang tuhan mencabut nyawaku, aku ingin kamu dan kakak-kakakmu rukun. Kerena pertengkaran dengan saudara tidak ada gunanya sama sekali…”

Kata-kata itu mengiang, melengking halus dalam relung telinganya. Bersamaan dengan itu ia teringat saudara-saudara kandungnya; empat orang kakak dan satu orang adik. Dua orang kakak yang jauh umurnya telah menikah dan tinggal jauh di luar kota, adik satu-satunya masih duduk di bangku SD. Sementara dua kakak yang lain yang lebih dekat umur dengnanya tidak bisa banyak diharapkan. Dia semakin terpukul karena kakak yang paling dekat umur dengannya, saat ini jarang sekali pulang ke rumah. Memang begitu sikapnya, bahkan semenjak ayahnya masih hidup. Entah apa yang dilakukan penganguran itu di luar sana bersama teman-temannya. Semilir angin membawa debu jalanan dan meniupkannya pada rambut si anak. Sesekali ia mengusap peluh pada dahinya dengan sapu tangan. Terkadang ia memiringkan badan berbagi jalan pada trotoar dengan pedagang kaki lima dan pejalan kaki yang berbeda arus dengannya. Suara bising kendaraan yang lalu-lalang menyadarkan dirinya akan keegoisan Jakarta.

Dalam hiruk pikuk itu ia meneruskan pikirannya sendiri. Ia teringat ibu; wanita tua dan sakit-sakitan. Semenjak kematian sang ayah, ibunya menjadi sosok yang pemurung, tak banyak bicara. Biaya hidup dari uang pensiun suami dan anak tertua cukup untuk menghidupinya. Itu membuat ia semakin berat melakukan aktifitas.

Sekali lagi dalam renungan itu ia ingin marah. Ia ingin mencaci dan teriak dengan suara paling keras yang ia miliki. Tapi juga di tengah kemarahan itu, ia selalu merindukan masa kecilnya. Masa ketika ia masih dimanja, masih senang ditemani. Masa-masa terindah dengan ayah dan kakak-kakaknya. Ia merindukan masa-masa itu. Ia kangen kakak dengan umur paling dekat, ketika ia mengajaknya ke taman, selalu setiap hari Minggu. Tetapi itu dulu, ketika ia masih dianggap menggemaskan. Masa-masa yang tidak mungkin terulang kembali. Sekarang, ia merasa masa-masa itu telah jauh sekali berlalu. Senja di barat hampir di telan gelap. Waktu bergulir tanpa peduli pada pikiran dan nasib orang-orang di dalamnya. Zaman berganti terus menerus, selalu memaksa orang untuk beradaptasi. Terkadang menghancurkan setiap harapan.

Pada trotoar yang panjang itu, ia masih mengulum desah. Terus berharap trotoar itu makin panjang dan panjang.Satu kelokan lagi ia sudah sampai rumah.

 
Bekasi, 19 Oktober tujuh tahun yang lalu
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 19, 2013 04:16

October 18, 2013

Berdoa di Status Facebook

Saya pernah menulis status facebook: “Banyak orang yang berdoa kepada tuhan di status facebook mereka, seakan-akan tuhan punya account di sini.”

Dan mendapat komentar sebagai berikut.
Qurotul Aeni:
TUHAN punya account dimana mana..terlebh bgi orang2 snantiasa berdzkr menybut Nama Nya.
DirtyHarry CleanestHot:
Lho. Tuhan memang ada dimana mana!
Ira Lathief:
in case you forget, but God is everywhere
Nyra Al-Mushaffa:
seperti orang yaahudi yang meratap di tembok penebus dosa..
pernah berfkir seperti itu ga? wall=tembok kan?
Kazay Zainudin Ajah:
heheh.. kita butuh amin dari banyak orang.
 Orang-orang beriman percaya bahwa tuhan ada dimana-mana. Namun saya memilih percaya bahwa Tuhan nggak punya akun facebook, sebagaimana saya meyakini bahwa Tuhan nggak bertangan, bermata, atau berbentuk seperti manusia.
Imam Ali Karamallahu Wajhah pernah menjelaskan, “.... kesempurnaan Kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.”
Saya tidak ingin melarang orang untuk berdoa di facebook —lagi pula siapa saya?, hanya saja ingin mengingatkan “tatakrama” doa menurut Islam.
Doa berasal dari bahasa arab الدعاء yang artinya seruan, panggilan, ajakan atau permintaan. Do’a secara pengertian syara’ adalah: memohon kebaikan kepada Allah SWT dengan penuh ketulusan hati, pengharapan, ketundukkan dan kerendahan. Kita juga mengenal ungkapan bahwa doa adalah inti dari ibadah.
Berikut ini ada beberapa pertanyaan dan jawaban berkaitan dengan doa yang saya kumpulkan dari berbagai sumber.
Kapan sebaiknya berdoa dan dimana?
Ada waktu dan tempat tertentu dimana doa lebih diijabah oleh Allah, diataranya: pada Hari Arafah, Bulan Ramadhan, Hari Jum’at, sepertiga terakhir dari malam, waktu Sahur, ketika sedang sujud, ketika turun hujan, antara adzan dan iqamat, saat mulai pertempuran, dalam ketakutan, di atas bukit Shafa atau Marwah, di Masjidil Haram dan sebagainya.
Apakah doa harus diucapkan dalam hati atau terdengar oleh orang lain?
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa ada seorang Badui datang kepada Nabi dan bertanya, “Apakah Tuhan itu dekat sehingga kami dapat munajat kepada-Nya, ataukah jauh sehingga kami harus menyeru-Nya? Maka Nabi terdiam dan sebagai jawabannya turunlah surat Al-Baqarah 186 yaitu: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (katakanlah) bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku”…
Apakah ucapan amin dari banyak orang membuat doa itu lebih cepat terkabul?
Dari Habib bin Maslamah Al Fihri, ia mengatakan, “aku telah mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: ”Tidak berkumpul sebuah kaum muslim, berdoa sebagian dari mereka dan mengamini sebagian yang lain, kecuali Allah Ta’ala menjawab doa mereka”
Apakah dengan mendoakan orang lain (tanpa orang itu tahu karena tidak sedang bersamanya) mendatangkan kebaikan juga untuk kita?
Allah subhanahu wata’ala berfirman, "Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan." (Muhammad: 19).
Dan dalam riwayat dalam Shahih Muslim, dari Abu ad-Darda` RA bahwa Rasulullah  pernah bersabda, "Doa seorang Muslim untuk saudaranya dalam keadaan ghaib (tidak ada bersamanya) adalah mustajab (dikabulkan), di samping kepalanya terdapat seorang malaikat yang ditugaskan, setiap dia mendoakan saudaranya dengan kebaikan, maka malaikat yang ditugaskan terhadapnya tersebut mengucapkan, 'Amin (ya Allah kabulkanlah) dan kamu mendapatkan (kebaikan) semisalnya'."
Diriwayatkan dalam kitab Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Ibnu Amr RA, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya doa yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang secara ghaib (jauh dari orang yang didoakannya tersebut) yang ditujukan untuk orang yang ghaib (tidak bersama-nya)."
 ............... Saya mengira, ketika kita berdoa di sebuah status, it’s just simply saying to other that we are praying to God. Tanpa embel-embel bahwa tuhan ada dimana-mana apalagi sampai punya akun facebook.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 18, 2013 20:19

Tentang Bagaimana Gue Mulai Terinspirasi dan Menulis

Di luar beberapa wanita yang gue nggak bisa sebutkan nama mereka satu persatu, ada dua orang yang menginspirasi gue untuk menulis.

Pertama Ahmad Rifa’i bin Haji Muchtar, kawan masa kecil. Yang ke dua Hoeda Manis, kawan waktu kuliah. Ahmad Rifa’i adalah penulis dan pemikir berbakat. Walau belum satupun karyanya yang diterbitkan. Sementara Hoeda Manis telah melanglang buana dan telah menulis puluhan buku, mulai dari novel, cerpen, gaya hidup, buku “how to”, fiksi dan non-fiksi. Secara singkat Hoeda adalah penulis serba bisa.
Rifa’i memang belum punya karya yang diterbitin, tapi gaya penulisannya mencerminkan bakatnya yang kuat. Dalam tulisan-tulisannya, atau lebih tepat cerpen-cerpennya, terasa kesadaran akan dirinya sendiri. Sebagian besar opini. Deskripsi ruangnya asik. Analoginya masuk akal, metaforanya cantik. Ia juga menulis puisi. Menurut gue, ia menulis dengan hati. Karena kebanyakan yang ia tulis adalah keresahan-keresahan yang ia rasakan. Menulis adalah cara untuk menuangkan segala perasaan, itu salah satu yang gue pahami. Dan ia melakukannya dengan elegan.
Tapi sayang akhir-akhir ini Rifa’i sudah jarang menulis cerpen lagi. Ia bukannya nggak mau menulis lagi, tapi seprtinya segala inspirasinya memudar satu-satu. Mungkin ia telah berdamai dengan dunia, karena kalau gue baca kembali tulisan-tulisannya yang dahulu, penuh dengan gugatan kepada dunia dan lingkungan di sekelilingnya, gugatan kepada kenyamanan dan kestabilan. Gaya-gaya tulisan anak muda yang mengebu-gebu dengan segala macam pemikiran dan ide yang ia dapat dari buku-buku yang ia baca.
Sementara Hoeda adalah seorang introvert pekerja keras yang brilliant. Lima tahun yang lalu kalian tidak akan menemukan nama orang ini di google. Bukan karena ia tidak eksis, tapi karena ia tidak ingin terkenal. Entah kenapa. Tapi akhir-akhir ini ia mulai muncul. Carilah buku-bukunya di google, tapi buku-buku yang tidak kau temukan di sana niscaya jauh lebih banyak.
Mereka berdualah yang awal mula membuat gue menulis. Hari ini gue mau ngucapin terimakasih.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 18, 2013 19:36

August 29, 2013

Kau tahu Kawan #8

Kau tahu kawan, kebanyakan penulis mendapatkan penghasilan intinya bukan dari menulis.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 29, 2013 16:36

Naskah yang dalam Tiga Tahun Belakangan Ini Berkali-Kali Gue Revisi Itu Akhirnya Ditolak Sebuah Penerbit Karena Alasan Follower

“Reputasi tidak bisa dibeli, follower bisa dibeli—bahkan secara resmi. Reputasi dibangun dari keahlian, kemampuan, bahkan bakat, juga kerja keras bertahun-tahun. Ia tak terbeli oleh uang, karena harganya tak ternilai.“Hoeda Manis
Ehm, dulu gue pernah berniat membeli follower. Tapi akhirnya niatan itu gue urungkan. Awalnya gue coba-coba search di Google tentang cara memperbanyak follower dan menemukan link yang bisa memberikan follower secara gratis dan berbayar. Gue coba yang gratis. Dan benar, beberapa menit setelah mendaftar di situs tersebut, follower gue langsung bertambah drastis. Sekali lagi, hanya dalam hitungan menit! Namun, ketika gue sedang melihat dengan takjub penambahan follower di akun twiter gue itu, detik itu juga hati kecil gue merasa nggak tenang dan terusik. I know that’s not the decision that I wanna take. Akhrinya gue memutuskan untuk membatalkan sarana menadapatkan follower tersebut dan mengganti password di twiter. Dan dengan cepat, follower gue yang mulai bertambah itu berkurang atau beramai-ramai unfollow. Gue kembali menjadi fakir follower.Gue nggak punya masalah dengan orang yang punya banyak follower atau sering disebut selebtwit. Apalagi yang mendapatkan followernya dengan jalan yang benar, bukan yang berbayar. Dan gue tahu banyak orang yang di-folow karena twit-twit mereka bukan karena keartisan mereka di dunia nyata. Mereka dinilai dan dihargai karena apa yang mereka tulis. Itu menurut gue keren! Dengan jalan itu gue juga mau punya banyak follower.Tapi kemudian gue juga tahu kalau ada beberapa orang, bahkan orang terkenal yang memiliki jutaan follower di Twitter, ternyata mendapatkan follower-nya dengan cara membeli. Bahkan mereka membelinya secara resmi melalui Twitter. Coba saja buat akun twitter yang baru, pasti lo akan disodori setumpuk akun untuk di-follow. Nah, merekalah pembeli follower resmi via twiter.Sampai di sini gue takjub. Sampai suatu saat gue tahu dari twitter bahwa akun @hiumacan pernah ditolak sebuah penerbit di Jogja karena tidak bisa memenuhi sarat dari penerbit tersebut; harus punya 20,000 folower di twitter. Ini gila. Dan kalau nggak mengalami sendiri, gue juga gak akan percaya bahwa ada penerbit yang menilai penulis dari aktifitasnya di twiter dan dunia maya bukan karena kualitas naskahnya. Ya, kemarin gue mengirim naskah ke sebuah penerbit di Jakarta dan resmi ditolak karena alasan yang kurang lebih sama. Gue sama sekali nggak masalah dengan penolakan dari penerbit, sudah puluhan kali gue ditolak oleh penerbit dan nggak pernah gue sakit hati. Gue rela dan ikhlas denga  penolakan tersebut. Karena mereka menolak naskah tersebut berdasarkan penilaian atas naskahnya, karena tidak sesuai dengan visi misi, tidak sesuai dengan standar penulisan, atau karena naskah gue dianggap belum layak diterbitkan dengan alasan A B C D. Kalaupun ada penerbit yang blak-blakan bilang naskah gue jelek dan berkualitas sampah, gue masih bisa terima itu. Sekali lagi gue rela dan ikhlas kalau penerbit menolak naskah gue karena alas an-alasan yang berkaitan dengan naskah. Yang gue nggak bisa terima adalah naskah gue ditolak karena follower di twiter gue sedikit. Itu adalah hal yang menurut gue sakit.Dan yang lebih mengenaskan adalah penerbit tersebut bilang bahwa naskah gue belum dibaca. Oh, my God! Naskah yang paling lama gue tulis itu ditolak bahkan sebelum dibaca. Suram sekali.Di akhir penolakan itu sang editor bilang, “Hal yang utama kami deteksi di awal adalah aktivitas sang penulis di dunia maya. Itu cukup. Jadi, saran saya, perbaiki aktivitas dunia maya untuk menaikkan grade dan porsi tawarmu.”Mau gimana lagi?Gue pun pasrah dan mencoba menghargai cara penilaian penerbit terhadap sebuah naskah. Menolak naskah, apapun alasannya adalah hak penerbit. Tentu mereka punya pertimbangan sendiri. Penerbit mana yang tidak mau untung? Penerbit mana yang nggak memikirkan keterbelian naskah yang mereka cetak? Penerbit mana yang mau rugi karena naskah yang mereka cetak nggak laku?Ya, gue mencoba mengerti dasar-dasar penilain mereka. Gue mencoba menganalisa apa yang ada di kepala penerbit-penerbit tersebut. Mereka ingin supaya buku terbitan mereka laris dipasaran. Mereka berpikir bahwa banyaknya follower berbanding lurus dengan jumlah buku yang akan terjual. Semakin banyak follower, semakin mudah menjualnya. Itu mungkin salah satu cara untuk bisa menjual buku lebih banyak. Dan sah-sah saja.  Ya, mereka mungkin punya data akan hal tersebut. Mereka punya neraca yang bisa dilihat berkaitan dengan hasil penjualan buku dengan keaktifan penulis di dunia maya. Dan gue nggak punya data lain yang bisa membantahnya. Gue nggak punya data yang bisa mengatakan bahwa penulis yang selebtwit nggak menjamin penjualan bukunya akan bagus. Atau banyak orang yang menjadi penulis sukses terlebih dahulu baru kemudian baru punya twiter. Atau ada banyak penulis-penulis besar dan terkenal yang bukan selebtwit atau jarang ngetwit. Ya, gue nggak punya data yang valid tentang hal tersebut. Namun ada satu hal yang gue tahu; rating blog itu bisa dibuat, follower itu bisa dibeli dan keaktifan di dunia maya itu bisa dengan mudah dibuat bahkan dalam semalam. Googling aja kalo nggak percaya.Huh… Mungkin yang dikatakan Ryan Aditya Achadiat di akunnya ‏@aditryan ada benarnya, “TV penyembah rating. Penerbit penyembah selebtwit.”
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 29, 2013 16:05

August 28, 2013

Selangkah Menuju Surga

“Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”(QS. Az-Zumar: 18)
Keimanan memang sesuatu yang abstrak dan sulit dikatakan bentuknya. Perjalanan untuk menuju keimanan juga terkadang naik turun bahkan berputar seperti roda. Bisa saja hari ini seseorang tidak mempercayai sesuatu, tapi di lain hari berubah. Hidayah bisa datang kapan dan dimana saja. Begitulah, banyak jalan orang memeluk agama Islam. Ada yang karena keturunan, budaya, ilmu pengetahuan, sejarah, akal, ibadah, Muhammad, Al Qur’an dan lain-lain. Ketulusan para mualaf memeluk Islam, bahkan dari yang sebelumnya membenci Islam, mengingatkan kita pada kisah Umar Bin Khattab ketika baru masuk Islam. Sebelum mengenal Islam, Umar bin Khattab adalah penentang dan pembenci Islam yang paling keras. Bahkan ia berusaha membunuh Nabi Muhammad dan menghalang-halangi setiap orang yang ingin memeluk Islam. Tetapi hidayah memang datang tak terduga, justru ketika ia mengenal Muhammad dari dekat, ketika ia merasakan mukjizat Al Qur’an, ia mengalami lompatan iman yang luar biasa. Dan setelahnya adalah sejarah, dia menjadi salah satu orang yang paling dikenal dalam Islam, menjadi salah satu dari Khulafa Ar-Rasyidin. Ia menjadi Singa Padang Pasir karena keberanian dan pengorbanannya membela Islam dan melindungi Sang Rasul. Kisah Umar Bin Khattab tersebut mengingatkan kita bahwa kebencian merupakan salah satu bagian dari absurditas iman yang terkadang malah mengantarkan seseorang pada iman yang paling tinggi.Akhir-akhir ini, sering kita dengar tentang pandangan yang negatif terhadap Islam, ada juga yang mengolok-olok Nabi Muhammad melalui kartun, atau membuat film dan tayangan yang menggambarkan Islam sebagai agama yang merusak. Tetapi, kebencian bukanlah akhir dari segalanya, mereka yang membenci itu bisa jadi hanya belum tahu apa-apa tentang Islam, tentang Muhammad, tentang Al Qur’an lalu kebencian mengusai hati mereka.Dalam buku ini, pembaca akan disajikan beberapa kisah mualaf yang tidak biasa, yang kontras dengan Islam. Mereka yang pada awalnya sangat bertolak belakang dengan Islam, mereka yang punya profesi atau hobi yang bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam, mereka yang sangat tidak mengenal bahkan membenci Islam. Saat ini, ada seorang wanita Punk asal Newcastle-Inggris yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga liberal menjadi seorang Muslimah. Hal yang sama juga terjadi pada seorang wanita penggila pesta asal Preston-Inggris, seorang Polisi Wanita di Amerika, seorang mantan Yakuza yang menjadi Imam Masjid, Politikus dari partai yang membenci Islam di Belanda, pembuat karikatur nabi Muhammad, sampai preman Tanah Abang Jakarta dan masih banyak lagi. Ada juga yang meyakini agama ini karena melihat kenyataan dalam umat Islam yang bertolak belakang dengan yang ia bayangkan sebelumnya. Mereka adalah bagian dari kaum Muslim yang tersebar di seluruh dunia saat ini. Mereka adalah mualaf yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.Dalam buku ini akan diceritakan tentang awal mula mereka tertarik kepada Islam. Apa yang membuat mereka tertarik kepada Islam? Bagaimana cara mereka masuk Islam? Apa tanggapan keluarga dan orang-orang terdekat mereka ketika tahu mereka masuk Islam? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang akan dijawab dalam buku ini. Melalui buku ini, penulis ingin berbagi hikmah melalui kisah, tentang kenyataan bahwa kebencian mungkin hanyalah bentuk dari ketidaktahuan, atau ketidakingintahuan. Kisah-kisah dalam buku ini juga sekaligus mengingatkan kita untuk lebih menyebarkan nilai-nilai keagungan agama ini. Bila kita menyebarkan nilai-nilai luhur Islam, bila kita menyebarkan keagungan Muhammad, bila kita lebih mengedepankan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, bisa jadi orang-orang yang selama ini membenci Islam jadi akan berbalik memendam cinta yang paling dalam. Bisa jadi mereka seperti Umar Bin Khattab kepada Islam.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 28, 2013 07:07

August 18, 2013

Syiah dan Sunni

Akhir-akhir ini banyak yang memposting dan menyebarkan tulisan-tulisan tentang kesesatan Syiah.  Saya bukan orang Syiah, tapi juga bukan pembencinya. Menurut saya membenci itu butuh energy yang luar biasa, sehingga saya memilih menyalurkan energy tersebut ke arah yang lain yang lebih berguna. Untuk menulis tulisan ini misalnya.Saya dibesarkan ditengah-tengah paham Sunni, namun juga terbuka dengan perspektif dan pendapat golongan yang lain. Waktu kelas dua Aliyah di pesantren, saya telah membaca tentang Syiah (Islam Aktual karya Jalaluddin Rakhmat) dan Mu’tazilah (Islam Rasional karya Harun Nasution) dan bisa menerima pemikiran-pemikiran mereka. Saya selalu ingin ber-tabayun dan ingin mengerti pemikiran-pemikiran golongan lain.Menurut saya keyakinan itu perspektif, karena itu orang yang memaksakan keyakinannya kepada orang lain itu sakit. Orang-orang bisa punya perspektif yang berbeda-beda dan bahkan berdebat, tapi pemaksaan kehendak adalah tindakan yang menciderai kemerdekaan. Dan alangkah mengerikannya tindakan orang yang memaksa orang lain untuk meyakini keyakinannya.Lalu apakah saya tidak takut menjadi atau mendukung golongan yang sesat?
Entahlah.
Jika ditanyakan kepada orang Sunni, maka mereka akan mengatakan syiah itu sesat. Dan jika ditanyakan kepada orang Syiah, maka mereka akan mengatakan Sunni itu sesat. Begitupun jika ditanya kepada golongan-golongan lain. Lalu siapa yang benar?Umat islam tentu sangat akrab dengan hadits yang berbunyi, “Umatku kelak akan terpecah-pecah ke dalam 73 golongan yang berbeda-beda, dan hanya satu dari mereka yang selamat.” Dalam hadits tersebut, Nabi tidak menegaskan secara jelas siapa satu kelompok yang selamat itu. Hal ini menyebabkan sebagian golongan Islam tertentu mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang selamat. Kosekuensi logisnya, mereka menganggap sesat semua kelompok Islam lain. Ini terutama terjadi dalam ranah teologi Islam.Dalil tersebut yang biasanya dijadikan pembenar bagi intoleransi sesame muslim. Namun saya menemukan tulisan Akhmad Sahal dalam Koran Tempo yang memandang hal ini secara lebih santai dan cerah. Ia menulis tentang bahwa menjadi sesat itu tidak mudah. Ia menjelaskan tentang pandangan Imam Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam yang sangat dihormati oleh kalangan Sunni itu.Dalam bukunya Fayshal al Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, beliau membantah kesimpulan bahwa hadits ramalan tersebut menyuburkan intoleransi dengan beberapa alasan:Pertama, hadits tersebut memang menyebutkan hanya satu kelompok Islam yang selamat, tapi yang dimaksud di sini adalah satu golongan yang langsung masuk surga secara ekspres, tanpa hambatan. Sedangkan kelompok-kelompok muslim lain mungkin perlu melewati fase “pencucian” dulu di neraka, tapi setelah itu bakal masuk surga juga. Dengan kata lain, mayoritas golongan dan sekte dalam Islam pada akhirnya akan terselamatkan semua di akhirat. Kedua, hadits di atas bukanlah satu-satunya versi yang ada. Al-Ghazali mengutip versi lain yang justru bertolak belakang dengan hadits yang pertama. Bunyinya begini: “umatku akan terpecah-pecah ke dalam 71 golongan, semuanya selamat kecuali satu kelompok.”Selanjutnya, beliau berargumen bahwa pilar fundamental dalam keimanan sesungguhnya hanya tiga: iman kepada keesaan Allah, kepada Muhammad sebagai Rasulullah, dan kepada datangnya hari kiamat. Baginya, seseorang baru bisa disebut kafir kalau tidak percaya kepada ketiga hal pokok tersebut. Sedangkan di luar wilayah fundamental tersebut adalah soal-soal sekunder, sekadar cabang-cabang agama, yang apabila seorang muslim menyangkalnya sekalipun tidak menjadikannya kafir.Lebih lanjut tentang Sunni dan Syiah, Prof. Quraish Shihab menulis dalam bukunya Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan. Mungkinkah?, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. ”Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.” Mungkin, Sunni dan Syiah sampai hari kiamat nanti tidak bisa disatukan dan akan terus ada. Tapi bisakah kita tidak saling menjelekan kemudian menghormati pandangan orang lain? “Saling” disini berarti kedua belah pihak atau pihak-pihak yang merasa benar mau meninggalkan ego-mereka untuk lebih toleran. Kemudian saya berpikir tentang haji. Kemana hilangnya persatuan dalam haji? Ketika melaksanakan ibadah haji, tidak terlihat perbedaan itu. Mereka melaksanakan rukun yang sama, menyembah Allah yang satu, ke kiblat yang sama, juga shalat mengikuti imam yang satu tanpa repot-repot berdebat bahwa seharusnya yang menjadi imam adalah dari golongan mereka. Kemana hilangnya persatuan haji itu dalam “dunia nyata”.
Memang saya hidup, beribadah dan belajar ajaran-ajaran mazhab Sunni, namun tidak pernah sedikitpun terbersit di hati untuk menjadikan sunni sebagai agama. Agama saya tetap islam. Dan bisakah kita berpegangan pada berpedoman bangsa kita, “Bhineka Tunggal Islam”?
Ah, jangan-jangan saya yang nanti dikafirkan dan dianggap sesat.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 18, 2013 07:01

August 17, 2013

Penerbit-penerbit

Berikut ini adalah beberapa nama penerbit beserta link prosedur mengirimkan naskah.1.       Andi Publisher http://andipublisher.com/sub-05-prosedur-penulisan.html2.       Bentang Pustaka http://bentangpustaka.com/kirim-naskah/3.       Bukune http://www.bukune.com/index.php/component/content/article/2-uncategorised/166-syarat-pengajuan-naskah4.       Dahara Prize http://daharaprize.com/5.       Diva Press http://www.divapress-online.com/page/naskah.html6.       Elex Media Komputindo http://www.elexmedia.co.id/7.       Gagas Media http://www.gagasmedia.net/index.php/kirim-naskah8.       Gardien Mediatama http://www.gradienmediatama.com/9.       Gramedia Pustaka Utama http://www.gramediapustakautamas.com/10.   Grasindo http://www.grasindo.co.id/index.php?mib=kirimnaskah.detail11.   Indiva Media Kreasi http://indivamediakreasi.com/naskah/12.   KPG (Kepustakaan Popular Gramedia) http://www.penerbitkpg.com/13.   Leutika http://www.leutikabooks.com/14.   Mediakita http://www.mediakita.com/uncategorised/18-mengirimkan-naskah15.   Pustaka Pesantren http://www.pustakapesantren.com/16.   Tangga Pustaka http://www.tanggapustaka.com/kirim-naskah.html17.   Wahyu media http://www.wahyumedia.com/cara-kirim-naskah18.   Penerbit Indonesia Tera http://indonesiatera.com/index.php/kirim-naskah119.   Ruang kata http://www.ruangkata.com/20.   Transmedia Pustaka http://www.transmediapustaka.com/kirim-naskah
Setelah mengerti prosedur pengiriman dan jenis naskah apa yang dibutuhkan penerbit, maka jangan takut untuk mengirimkan naskahmu ke penerbit-penerbit tersebut. Bagaimanapun mereka membutuhkan penulis dan naskah, karena dengan adanya naskahlah mereka bisa meneruskan bisnis dan bertahan. Jadi pertanyaan penting selanjutnya adalah; dimana naskahmu, proklamator?
Apa? Kamu takut ditolak dan gagal? Oh, mungkin kamu tidak cocok untuk menjadi penulis, menjadi presiden mungkin lebih cocok untukmu.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 17, 2013 10:10

August 3, 2013

Women The Unknown

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 03, 2013 19:22

July 27, 2013

Kepada Masa Lalu yang Mengajariku Bermimpi

Aku selalu kagum kepada waktu yang melarutkan segala sesuatu, yang mampu melumat apasaja juga mencatatkan bait-bait cerita. Kau dan aku adalah insan dari masa lalu yang jauh, berpegangan tangan, menyusuri jalan berbatu, menuju sebuah mimpi cerah di tepi subuh. Masa lalu itu selalu jauh, sayang. Seperti kerlip bintang berjarak tahuna cahaya, sinarnya menembus kekosongan meninggalkan sumber yang telah lama redup. Sinar dari sesuatu yang telah mati. Dan aku berdiri, memandangi dari kejauhan para pencipta kecerlangan langit malam itu. Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh. Memang tidak ada sesuatu yang kekal, dan dalam kefanaan ini aku akan terus menulis. Aku punya keegoisan tentang hal ini, dan bisa berkembang kepada ketidakpedulian. Karena aku percaya bahwa seseorang hanya bertanggung jawab atas apa yang ia tulis bukan atas apa yang orang lain pahami dan pikirkan.Bermula empat tahun yang lalu, kita memulai perjalanan ini. Banyak pencapaian-pencapain yang telah kita raih. Mimpi-mimpi yang satu-satu kita mulai. Tidak mudah memang namun tidak sesulit yang kubayangkan dahulu. Bahkan pernah di satu sudut waktu, kita bahkan tidak menyangka hal-hal tersebut bisa dicapai. Walaupun tentu tidak semuanya berjalan sempurna, ada beberapa yang mungkin belum tiba terlaksana.Banyak hal yang masih jauh dari ideal untukku juga untukmu, tidak sedikit juga yang meragukan mimpi-mimpi itu. Namun biarkan orang lain berpikir kita akan gagal, selama kita tidak merisaukannya, aku yakin semesta akan selalu membantu kita. Akupun percaya, kamu selalu punya mimpi yang selalu bisa kau raih jika usaha itu kau mantapkan. Dan seperti biasa kita akan merayakan keberhasilan kita kemudian. Terkadang kita menghadapi jalan buntu seakan tidak ada solusi, namun akhirnya —karena segalanya pasti punya akhir— kita bisa selesaikan. Beberapa hal juga gagal kita raih, but life must go on. Jalan kita masih panjang dan dunia bukan tempat kita menyesali segala yang tidak kita raih dalam hidup kan?Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh. Sejak saat itu, empat bukuku telah terbit, kita telah bisa mencicil sebuah rumah, kendaraan, dan yang terpenting adalah anak-anak yang penuh keceriaan. Aku sadar, setelah hari itu, akan ada banyak hal yang mungkin akan aku tinggalkan seiring dengan banyak hal yang akan dilakukan. Mengurangi berkumpul dengan teman-teman menjadi bekerja lebih giat, berbagi pekerjaan rumah tangga, bermain bersama anak-anak, mengantar ke sekolah, dan yang paling menyenangkan adalah berguling-guling di kasur bersama mereka.Melihat mereka tersenyum, berceloteh dan tertawa adalah penyejuk mata setiap orang tua. Suara riang mereka di depan pintu menyambut kepulanganku adalah energi yang mampu mengisi semangat untuk menghadapi segala masalah pekerjaan. Kata Buya HAMKA, anak-anak adalah urat tunggang dan pucuk bulat bagi peripenghidupan manusia. Dan kukira tidak akan ada yang menyangkalnya.Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh. Dan mari kita mengambil langkah untuk sedikit berjeda. Karena kau tahu, kerinduan adalah konspirasi antara waktu dan jarak. Bermula pada jamuan makan malam itu —entah yang ke berapa kali, tapi bukan yang pertama pasti— hingga sampai saat ini aku masih memelihara ketakjubanku padamu. Pada celah sunyi malam yang merengkuhkan sayapnya pada setiap orang yang merindu itu kita saling membuka masa depan.Memang ada beberapa orang yang punya keyakinan bahwa mereka siap menunggu berapa lama pun untuk mencari pasangan yang sungguh mereka sukai. Pasangan yang sempurna yang padahal tidak akan ada. Seperti kata Sean dalam Good Will Hunting, "You're not perfect, sport, and let me save you the suspense: this girl you've met, she's not perfect either. But the question is whether or not you're perfect for each other."Dan dalam ketidaksempurnaan itulah kita bertemu. Ketika aku seumpama seseorang yang menunjukan gambar bangunan megah di depanmu, seorang yang menjajakan sebuah mimpi. Apalah arti seorang yang belum lulus kuliah, tidak punya pekerjaan tetap, tidak punya rumah dan masih mengendarai kendaraan pinjaman. Apalah artinya aku tanpa mimpi itu dan orang yang begitu meyakini bahwa itu akan terwujud? Jodoh, pekerjaan, rizki, anak dan masa depan adalah wewenang Allah, kita hanya bisa mengejarnya sesuai takdir masing-masing. Saat ini, aku tidak sedang berusaha menjadi orang yang tercatat dalam lembaran buku-buku sejarah sebagai orang yang dikenang banyak orang, karena cukup bagiku melihatmu bahagia.Aku masih di sini, memandangi keindahan itu dari jauh. Dan berdoa dalam syukur kepada Tuhan untuk segala anugrah nikmat dan ampunan. Wahai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk, Berikanlah pada hati kami kelapangan, keterbukaan untuk menerima segala kebaikan. Kuatkanlah kami untuk terus menemukan inspirasi untuk dapat mewujudkan segala keinginan kami.  Ya Allah yang Maha Pememberi Kesejahteraan, Anugrahkanlah kepada kami kemampuan untuk berbahagia dengan kebahagian orang lain. Jadikanlah kami jiwa-jiwa yang kaya dan berikanlah kami kemampuan menjadi kaya tanpa mengalahkan siapapun.Ya Allah yang Maha Penyayang,Jadikanlah kami dan anak keturunan kami orang-orang yang tetap mendirikan sholat. Ilhamkan kepada kami untuk tetap mensyukuri nikmat yang telah Engkau anugrahkan kepada kami dan kepada anak keturunan kami. Sungguh kami bertaubat kepada-Mu dan sungguh kami adalah termasuk golongan yang berserah diri.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 27, 2013 11:00