Golput, Inlander dan Masyarakat Madani

“Sudah kukatakan padamu, Kawan, di negeri ini, mengharapkan bahagia datang dari pemerintah, agak sedikit riskan.” ― Andrea Hirata

Terberkatilah mereka yang telah menentukan pilihan. Mereka yang berpendirian dan yakin terhadapnya. Terberkatilah mereka yang mempunyai keyakinan Teguh dan Mario. Oke becanda. Hehe..

Seperti biasa, melalui tulisan ini gue nggak ingin mengubah orang yang sudah punya pendirian. Hanya ingin berbagi perspektif dengan cara yang elegan; menulis.

Akhir-akhir ini di berbagai forum dan media, sepertinya telah terjadi sebuah penggiringan opini bahwa golput adalah kumpulan para perusak tatanan bernegara yang dan pendosa. Pendosa karena perbuatan mereka untuk golput telah merendahkan kualitas demokrasi di Indonesia yang pada akhirnya mengakibatkan tidak meningkatnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. [berat bener bahasanya]

Mmm… Apakah memang begitu?

Gue sih nggak setuju. Menurut gue golput bukanlah sekelompok orang yang bingung terhadap pilihannya, atau orang yang takut disalahkan ketika mereka menetapkan pilihan, bukan juga orang pemalas yang nggak punya usaha untuk merubah bangsanya. Menurut gue kesimpulan itu terlalu dangkal.

Secara sederhana golput adalah sebuah sikap terhadap situasi yang ada. Malah mungkin golput adalah sikap yang paling rasional dan konsekuen. Kalau mereka memang menemukan pilihan yang baik, tentu mereka akan memilih kan.

Seakan nggak mau kalah, jargon “the lesser of all evils” kemudian muncul. Menurut gue jargon ini konyol. Ya, memilih terbaik diantara yang terburuk adalah kata kata yang aneh. Kalau kita memilih, pilihlah hal yang bagus. Memilih yang terbaik diantara yang terburuk sama artinya dengan memilih yang buruk.

Kemudian apakah menjadi golput adalah yang terbaik saat ini?

Gue nggak ingin mengatakan itu. Gue hanya ingin mengatakan bahwa golput adalah pilihan politik yang harus dihormati dan bukan malah disalahkan dan bahkan dianggap menjadi biang masalah. Seakan-akan semua permasalahan yang ada di negara ini adalah kesalahan golput, dan akan selesai jika orang-orang semua tanpa terkecuali pergi ke bilik suara untuk mencoblos.

Ingat pemilu 2009? Gue pernah membaca sebuah analisa mengenai koruptor dari partai-partai berdasarkan jumlah perolehan suara partai pada pemilu tersebut. Analisa tersebut seolah ingin menghubungkan antara jumlah suara pada pemilu 2009 dengan jumlah koruptor dari partai-partai yang dipilih tersebut. And you know the result is shocking! Partai yang banyak dipilih adalah juga partai pemasok koruptor terbanyak. Lalu masih mau menyalahkan golput? .

Begini. Mari kita berpikir dengan logika sederhana. Demokrasi kita menganut sistem suara mayoritas. Bagaimana seandainya yang mayoritas —fakta di beberapa pemilu menunjukan hal tersebut— adalah golput? Apakah itu artinya semua calon atau partai yang terpilih menjadi nggak valid? Jargon demokrasi adalah suara rakyat suara Tuhan, sementara mereka yang golput juga rakyat. Maka jika golput menjadi suara terbesar, berarti Tuhan memihak kepada golput.

Oke, biarkan logika sederhana itu mengawang-awang. Gue nggak akan membahasnya lebih lanjut karena gue lebih tertarik membahas hal yang lebih esensial dibanding menyalahkan golput. Gue ingin mengingatkan terutama kepada diri sendiri tentang arti dari kepemimpinan. Karena pemimpin yang baik muncul dari masyarakat yang baik, begitupun sebaliknya. Masyarakat yang bandit hanya akan menghasilkan pemimpin yang kotor. And remember, leaders are made not born.

Maka mari mulai dari diri sendiri dan lingkungan terkecil yaitu keluarga. Karena dari sanalah bangsa ini bisa kuat, begitu kata Ayah Edy. Itulah yang disebut masyarakat madani, yaitu masyarakat yang mandiri tanpa harus bergantung pada pemerintah. Bukan masyarakat inlander yang hanya mengharapkan keselamatan dan perubahan dari seorang figur ratu adil.

Mari kita memulai dari diri sendiri untuk mengaplikasikan nilai-nilai humanisme dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita menumbuhkan sistem pendidikan yang berbasis moral dan proses, bukan hanya sekedar nilai yang pada akhirnya hanya menumbuhkan mental korup. Mari kita nggak saling bunuh hanya karena perbedaan cara ibadah. Nggak bermental instant ingin cepat kaya seperti yang ditulis buku-buku best seller sampah tentang cara instant menjadi kaya dengan jalan pintas.

Yang terpenting dan harus disadari adalah peningkatan kehidupan dan kesejahteraan suatu masyarakat harus dimulai dari masing-masing orang dalam masyarakat tersebut, bukan hanya pada figur seorang pemimpin. Selama masih banyak individu yang bermental budak, oportunis dan manja, maka kesejahteraan akan lama terwujud.

Untuk mengakhiri tulisan ini gue ingin mengutip Anis Baswedan, “Republik ini maju bukan semata-mata karena satu-dua orang hebat, tapi karena begitu banyak rakyat hebat yang bekerja bersama-sama.” Itu.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 05, 2014 15:06
No comments have been added yet.