Nailal Fahmi's Blog, page 13

June 13, 2020

Emma, Abby dan Tentang Cerita-cerita Cinta

Saya dan Abby ada dalam satu ruangan, masing-masing duduk di kursi dengan sebuah meja memisahkan kami. AC dan Kipas Hexos menyala. Abby meletakan hanphone dan rokok di atas meja, kemudian mulai bercerita. Cerita tentang kisah cintanya. Ia bilang saya adalah orang terakhir yang diceritakan diantara kawan-kawan kami yang lain.

“Jadi apa saran lu buat gua?” Abby bertanya setelah selesai menceritakan proses mulai dekat dengan Emma —yang juga kawan saya— sampai akhirnya menyatakan perasaan kepada wanita itu.

“Gentar gua kalo nyuruh ngasih saran,” saya menjawab cepat.

“Hampir semua orang yang gua minta saran, bilang supaya jangan nyakitin dia. Gak ada satupun yang nyaranin dia, buat gak nyakitin gua. Dikira gua gak punya hati kali.”

Dan kami tertawa bersama.

Emma dan Abby baru beberapa minggu jadian. Seperti layaknya orang yang sedang jatuh cinta, Abby menceritakan betapa spesialnya Emma, betapa unik, baik dan manisnya dia. Sementara Emma juga menceritakan hal yang sama tentang Abby. Ia menceritakan betapa sayang Abby kepadanya, betapa baik dan banyak kesamaan mereka; film, warna, selera makanan, tangan yang memakai jam dan banyak lagi.

“Gua ngerasa beda banget pacaran sama dia,” Emma bercerita suatu waktu, “Kayak, asik aja gitu,”

“Asiknya gimana?” Saya penasaran.

“Gak tahu. Kayaknya emang gua lebih cocok sama orang yang lebih tua deh.”
"Yang lebih dewasa maksud lu," Saya menafsirkan.

Emma dan Abby merasa cocok satu sama lain dan ingin hubungan yang serius. Hal-hal yang mereka ceritakan adalah hal yang biasa terjadi ketika awal-awal pacaran. Bagi saya kisah mereka seperti kebanyakan cerita cinta yang saya tahu. Saya pernah mengalaminya, dan sering menyaksikan terjadi pada kawan-kawan saya, atau menghayatinya lewat “Ada Apa dengan Cinta?”

Bukan saya meremehkan kisah mereka, justru saya menghargai dan seperti bisa merasakan kembali rasa itu. Tentang kegugupan ketika mengatakan cinta untuk pertama kali, tentang pengakuan diam-diam, debar di dada, kupu-kupu dalam perut, lagu-lagu cinta yang kembali jadi punya arti, perasaan senang dan senyum yang tak henti-henti, menjaga dan memperlihatkan hal-hal baik, menyembunyikan hal-hal buruk, melakukan kebohongan-kebohongan kecil serta hal-hal yang menyenangkan lain.

“Gua belum ngerasa pantes ngasih saran. Hidup sendiri aja belom bener,” kata saya ke Abby.

“Gua gak minta saran yang macem-macem. Kasaih saran yang normal aja.” sambil menghembuskan asap rokok, Abby masih meminta.

Saya kagum dengan kerendahhatiannya. Secara umur, ia lebih tua, secara pengalaman dan pergaulan tentu ia punya lebih banyak, jadi saya tidak tahu saran apa yang sebenarnya diharapkan.

Saya berpikir sejenak.

Menyarankan untuk tidak menyakiti pasangan membuat saya gentar, karena secara langsung nasihat itu menohok diri sendiri. Lagipula, tidak menyakiti adalah pesan yang abstrak, karena ukurannya tidak jelas. Apa yang dimaksud “menyakiti”? Dan apakah manusia bisa tidak menyakiti manusia lain selama-lamanya? Pesan itu mengingatkan saya pada janji Watanabe untuk tidak pernah melupakan Naoko dalam Norwegian Wood – Haruki Murakami.

Saya mengenal Emma lebih lama daripada saya mengenal Abby. Saya ikut menyaksikan ketika Emma jatuh ke jurang cinta yang paling dalam, saya ada di sana ketika akhirnya ia patah hati yang paling remuk, saya mendengarnya menangis, memahami gugatan dan pemberontakannya untuk melepas jilbab. Namun pada akhirnya, —karena segala sesuatu pasti punya akhir— sekuat tenaga ia bangkit, dan sekarang ia jatuh cinta lagi. Saya kira Abby juga punya kepahitan yang sama. Ia adalah duda beranak satu.

Mereka adalah orang-orang yang dipertemukan trauma. Patah hati memang meninggalkan trauma, sekecil atau setipis apapun. Bisa berwujud kecemasan atau ketakutan. Tidak jarang membuat pandangan hidup menjadi buram. Satu hal yang mereka pahami, bahwa mereka tidak merencanakan hal-hal buruk terjadi kepada mereka sebelumnya. Tentu, tidak ada orang yang merencanakan apalagi mengharapkan hal itu akan terjadi lagi. Saya pribadi berharap hubungan mereka bisa berlangsung panjang.

Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang bagaimana menjalin hubungan. Gottman, peneliti dan direktur eksekutif dari Relationship Research Institute, mengklaim bahwa hanya 3 jam dengan pasangan sudah cukup baginya untuk memprediksi apakah mereka akan tetap bersama di masa depan (3-5 tahun) dengan akurasi lebih dari 90%. Saya membaca Gottman dan saran-saran untuk memperkuat hubungan, namun saya tidak bisa memprediksi apapun di masa depan karena manusia adalah mahluk yang kompleks. Di luar itu, saya belajar banyak dari para peneliti itu dan juga kawan-kawan.

Saya punya beberapa kawan yang dengan tulus menceritakan kisah cinta mereka, dengan segala romansa dan masalah-masalahnya. Sebagai penikmat cerita, saya selalu senang mendengarkan. Cerita mereka bahkan sering menjadi inspirasi tulisan. Karena sejatinya mengamati manusia adalah pekerjaan penulis. Walaupun  sebagai orang yang tidak terlalu punya banyak teman, belakangan saya juga kaget sendiri tentang beragam cerita-cerita mereka.

Tentu tidak semua cerita cinta yang saya dengarkan berisi baik-baik saja. Beberapa kawan bercerita tentang masalah-masalah; sex before married, perselingkuhan, tidak ada restu orang tua, perceraian, kematian pasangan, perbedaan agama, perasaan yang hilang dan hal-hal yang tidak selesai.

Dari pengalaman dan pengetahuan mereka saya belajar bahwa seberapa mesra dan menggebu suatu hubungan di awal, gairahnya akan memudar dan sebaiknya ada perasaan lain untuk menggantikan.

Saya tidak ingin menyajikan pandangan yang muram tentang cinta, namun kita semua tahu bahwa cinta bukan sesuatu yang diam. Ia bergerak, tumbuh bahkan bisa mati. Pada jalur positifnya, cinta bisa menjadi energi yang menggerakkan, ia membuat seorang menjadi pribadi yang lebih baik.

Menutup tulisan ini, saya akan kembali mengutip Murakami.

Pada suatu hari, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia pemuda itu delapan belas tahun; dan gadis itu enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu tampan, dan gadis itu tidak terlalu cantik. Mereka adalah muda-mudi yang seperti pada umumnya cenderung kesepian. Namun mereka percaya sepenuh hati bahwa di dunia ini ada pasangan hidup yang 100% sempurna untuk mereka. Ya, mereka percaya pada mukjizat. Dan bahwa mukjizat bukanlah hal yang mustahil.

Suatu hari, si pemuda dan gadis itu tak sengaja berjumpa di ujung jalan.

“Luar biasa,” ujar si pemuda. “Aku sudah mencarimu seumur hidupku. Kau mungkin tidak mempercayai ini, tapi kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”

“Dan kau,” balas gadis itu. “Kau adalah pemuda yang 100% sempurna untukku, persis seperti pemuda yang kubayangkan selama ini. Seperti mimpi rasanya.”

Mereka duduk di atas kursi taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah hidup mereka masing-masing selama berjam-jam. Mereka tidak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan ditemukan oleh pasangan masing-masing yang 100% sempurna untuk mereka. Betapa indahnya menemukan dan ditemukan oleh pasangan yang 100% sempurna untuk kita. Sebuah mukjizat, sebuah pertanda.

Namun, saat mereka duduk dan berbincang, masih ada sedikit rasa ragu yang menggantung di dada: apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya?

Maka, ketika keduanya terdiam, si pemuda mengambil kesempatan untuk berkata kepada gadis itu: “Mari kita uji diri kita—sekali ini saja. Jika kita memang pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka di suatu saat, di suatu hari, kita pasti berjumpa lagi. Dan ketika itu terjadi, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka kita akan menikah saat itu juga. Bagaimana?”

“Ya,” kata si gadis. “Itu yang harus kita lakukan.”

Kemudian mereka berpisah. Si gadis melangkah ke arah timur, sementara si pemuda ke arah barat.

Meski begitu, proses uji itu sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, karena mereka memang benar pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain—dan pertemuan awal mereka adalah sebuah mukjizat. Tapi mereka tak mungkin mengetahui semua ini di usia belia. Gelombang takdir yang dingin dan tak pandang bulu terus membuat mereka terombang-ambing tanpa akhir.

Pada suatu musim dingin, si pemuda dan si gadis menderita sakit flu yang terjangkit di mana-mana. Setelah dua minggu terkapar tanpa daya, mereka pun lupa terhadap tahun-tahun remaja mereka. Ketika mereka tersadar, ingatan mereka sama kosongnya seperti celengan baru.

Keduanya adalah individu yang cerdas dan ambisius; dan dengan usaha keras mereka berhasil membangun hidup mereka hingga menjadi sosok terpandang di masyarakat. Syukurlah, mereka juga menjadi warga yang taat peraturan dan tahu caranya naik kereta bawah tanah tanpa tersesat; yang sanggup mengirimkan surat dengan status kilat di kantor pos. Dan mereka juga sanggup jatuh cinta, terkadang cinta itu mengisi hati mereka sampai 75% atau bahkan 80%.

Waktu berlalu dengan kecepatan tak terduga; mendadak si pemuda telah berusia 32 tahun dan si gadis 30 tahun.

Di suatu pagi yang cerah di bulan April, dalam perjalanan untuk membeli secangkir kopi, si pemuda melangkah dari arah barat ke timur, sementara si gadis, dalam perjalanan ke kantor pos, melangkah dari arah timur ke barat. Keduanya menelusuri pinggiran jalan yang memanjang di sebuah area pusat perbelanjaan di Tokyo yang bernama Harajuku. Mereka saling melewati satu sama lain tepat di tengah jalan. Ingatan mereka kembali samar-samar dan untuk sesaat hati mereka bergetar. Masing-masing merasakan gemuruh yang mendesak dada. Dan mereka tahu:

Dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku.

Dia adalah pemuda yang 100% sempurna untukku.

Namun, sayang, gema ingatan mereka terlalu lemah; dan pikiran mereka tak lagi jernih seperti empat belas tahun lalu saat pertama kali berjumpa. Tanpa mengutarakan sepatah kata pun, mereka melewati satu sama lain begitu saja, hilang di tengah keramaian. Selamanya.



Selesai kutipannya.

Seperti karya sastra yang baik, cerita itu punya banyak makna. Apa yang orang dapat dari sebuah karya terkadang berbeda satu sama lain. Yang saya tahu, cerita itu tidak menyuapi kita tentang norma-norma, tapi lebih dalam, ia menumbuhkan kesadaran dan membuat kita merenung dan bertanya kepada diri sendiri. Pada saya pertanyaan itu berupa; apakah ada jodoh yang 100% cocok? Jika itu ada, bagaimana kita tahu? Apakah kita berani untuk ambil segala resiko, atau malah terlalu gegabah dan sombong untuk bisa bersamanya?

Itu pertanyaan-pertanyaan untuk saya. Bagi orang lain, pertanyaan-pertanyaan itu bisa berbeda-beda. Maka saya selalu pada posisi tidak percaya diri jika diminta memberi saran. 

“Tawakal.” Saran saya ke Abby akhirnya. Apa boleh buat, ia sudah dua kali meminta.

“Apaan tuh?” Abby mengernyitkan dahi.

“Di Katolik mungkin juga ada konsep itu,” Saya menjelaskan.

Sebagai seorang kawan, saya senang melihat mereka bahagia. Cara menjalin hubungan yang harmonis tidak diajarkan di sekolah. Oleh karenanya, butuh kerendahatian, bahkan waktu seumur hidup untuk belajar mengerti dan memahami satu sama lain.

Saya percaya cinta akan menuntun mereka.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 13, 2020 05:08

May 29, 2020

Norwegian Wood; Sebuah Review

Ketika sedang berjalan-jalan berdua di tepi hutan pinus di musim gugur, Naoko pernah meminta kepada Watanabe, “Aku ingin kau mengingatku. Maukah kau terus mengingatku bahwa aku ada dan pernah berada di sampingmu seperti ini?”

Dengan kepercayaan diri dan kesombongan khas anak muda yang sedang dimabuk cinta, Watanabe menjawab lantang, “Tentu saja! Aku akan terus mengingatnya,”

“Kau betul-betul tak akan melupakan aku selama-lamanya?” Naoko bertanya pelan seolah berbisik.

“Sampai kapanpun aku tak akan melupakanmu,” Watanabe masih dengan keyakinan, bahkan ia mengukuhkan janji, “Tak mungkin aku dapat melupakanmu.”

Duapuluh tahun kemudian, Watanabe menyadari keluguan dirinya ketika menjanjikan hal bodoh itu. Umurnya 37 tahun ketika menyadari itu, ia sedang duduk di dalam Boeing 747 yang mendarat di Hamburg. Orkestra yang memainkan Norwegian Wood mengalun elegan dari pengeras suara mengiringi penumpang yang mulai turun satu persatu. Watanabe masih terduduk di kursinya, membungkuk menutupi wajah dengan kedua tangan. Kepalanya bergolak seperti mau meledak. Pikirannya terbawa bersama alunan suara dari masa lalu, masa ketika Naoko masih hidup, ketika mereka berdua senang mendengar petikan gitar yang mengalunkan Norwegian Wood.

Dua puluh tahun yang lalu, tidak beberapa lama setelah Naoko meminta Watanabe berjanji, Naoko bunuh diri. Ia menggantung diri pada batang pohon di sebuah pagi yang masih sunyi. Mudah saja mengingat seseorang atau sesuatu ketika itu baru saja terjadi. Namun seiring berjalannya waktu, kenangan itu perlahan memudar, dan Watanabe terlalu banyak melupakan semuanya. Kenangan Naoko di benaknya bertahun-tahun yang lalu, perlahan tapi pasti melindap. Seiring mengaburnya ingatan itu, Watanabe menjadi lebih mengerti mengapa Naoko meminta untuk tidak pernah melupakannya. Mungkin Naoko tidak benar-benar mencintai Watanabe dan hanya ingin membuatnya nelangsa. Karena tidak ada yang lebih menyakitkan dari janji yang tidak bisa kamu lakukan kepada orang yang telah tiada. Manusia adalah mahluk lemah, menjanjikan untuk selalu mengingat sebuah kenangan selama-lamanya adalah sesuatu yang tidak realistis. Kecuali kamu ingin melanggar janji sendiri, atau ingin membuat dirimu nelangsa, sebaiknya jangan kamu ucapkan.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 29, 2020 05:04

Merawat Anak

Percakapan dengan kawan lama tidak pernah berlangsung sebentar, dan hujan di malam 31 Desember membuat percakapan selama apapun menjadi wajar, karena kami jadi punya alasan untuk tidak buru-buru pulang. Bahkan jika banjir melanda sebagian negara, kami akan meneruskan percakapan di atas bahtera Nabi Nuh.

“Bagi orang yang terlalu sering sakit hati, juara memang terdengar bercanda.” Kata saya ke Qoffal. Saya sudah memprediksi, bahkan dari sebelum peretengahan musim, bahwa Liverpool akan juara Liga Inggris. Saat itu Qoffal masih belum yakin, katanya semua hal masih bisa terjadi.

Benar saja. Kami bertiga yang malam itu berada di pelataran rumah sakit tidak ada yang menyangka bahwa saat itu, jauh di tempat lain, sebuah virus telah menjangkit dan akan menyebar untuk mengacaukan tatanan dunia, termasuk sepakbola. Jadi kemungkinan Liverpool juara bisa gagal atau paling tidak tertunda sampai waktu yang entah kapan.

“Liperpul emang lagi keren-kerennya sih.” Edo menimpali.

“Nanti saya baru yakin kalo sepertiga musim masih konsisten kayak gini, bang.” Qoffal sangsi.

Saya tidak punya keresahan sama sekali ketika Si Merah tidak menjuarai apapun musim ini, atau gagal secara dramatis di Champion saat melawan Atleti. Mungkin Liverpudlian bisa merasakan bagaimana sakitnya fans Barca dengan kekalahan yang sama pahitnya musim lalu, tapi bagi saya itu malam yang biasa saja. Saya tetap bangun selepas azan subuh dan dua kali menekan snooze alarm.

Keresahan satu orang bisa menjadi keresahan orang lain tapi bisa juga tidak, maka malam itu kami lebih banyak mendiskusikan keresahan bersama. Kami punya banyak keresahan; tentang keimanan, praktek agama, pendidikan dan anak-anak.

Edo sedang meresahkan anaknya yang tahun ini lulus SD dan akan masuk pesantren. Saya meresahkan praktek agama dan keimanan yang arogan. Sementara Qoffal saat itu sedang resah karena Syatir, anaknya yang baru berumur beberapa Minggu, sedang berjuang melawan Serratia Marcescens di ruang ICU. Ia masih ragu dan menimbang tindakan Bronkoskopi. Di ruangan sebelah ICU tempat berkumpul keluarga pasien, ketika panggilan terdengar dari paging pengeras suara, para keluarga khawatir itu adalah panggilan pemberitahuan tentang kematian. Bagi seorang bapak, saya bisa merasakan beratnya beban itu. Bagi saya, yang selalu memindahkan saluran atau mematikan TV ketika ada berita tentang kekerasan pada anak, tidak bisa membayangkan akan kuat berada di posisi Qoffal saat itu.

Nada juga pernah bertarung melawan bakteri yang menyerang Bronkus-nya. Maka saya sedang tidak menyenangkan siapapun ketika bilang bisa merasakan apa yang dirasakan Qoffal. Keinginan setiap bapak ketika melihat anak dalam kepedihan pasti sama, berharap sakit itu bisa berpindah kepada dirinya. Namun sebagai manusia yang lemah, kita tidak bisa sombong. Kita hanya mampu berusaha, bersabar dan berdoa, pada akhirnya Allah yang punya rencana.

Mei tanggal 22, Qoffal menghubungi saya minta doa untuk Si Bontot, karena ngedrop dan tidak sadarkan diri. Sampai akhirnya 26 Mei yang lalu, Syatir menghembuskan nafas terakhir. Alhamdulillah inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Saya belajar bahwa sekuat apapun kita mencoba melindungi anak kita, pada akhirnya mereka akan terluka juga, dan kita akan terluka dalam proses itu.

Ya Allah yang Maha Pengasih, jadikan dia sebagai pahala yang disegerakan, dan simpanan abadi, dan sumber pahala bagi orang tuanya.

Ya Allah yang Maha Pemurah, jadikan dia yang menunggu kedua orang tuanya, simpanan dan pemberi syafaat yang dikabulkan.

Alfatihah...

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 29, 2020 04:42

May 18, 2020

Menolong Si Putih

Aku dan adikku Percy sedang berjalan-jalan di hutan belakang rumah ketika Percy melihat dua mata misterius menyala hijau seperti mata naga yang pernah aku lihat di filem fantasi.

“Kak,” kata Percy yang saat itu mengenakan mantel hijau. Ada nada ketakutan dalam suaranya.

“Iya ada apa?” tanyaku sambil menoleh ke arah Percy. Angin dingin musim semi bertiup menggugurkan daun-daun kering dan membuat telingaku dingin seperti ketika aku membuka kulkas. Aku manarik hoodie mantel merah yang aku pakai untuk menutupi kepala.

“I-it-u a-pa?” Percy menunjuk sesuatu yang bergerak di bawah gelap naungan pohon besar.

Hah apa ya itu? tanyaku dalam hati sambil mendekati dengan gugup. Awalnya aku mengira itu ular, tapi ternyata yang ada di sana adalah kucing putih. Sebelah kaki kucing itu lecet sampai kelihatan dagingnya. Kaki yang terluka diangkat, dan ia mengeong pelan.

Aku semakin mendekatinya dan pelan-pelan aku mengusap kepalanya. Kucing itu menyundul tanganku seperti minta diusap lagi. Aku tersenyum, mengendongnya kemudian membawanya sambil lari ke arah rumah. Karena mau cepat-cepat mengobati kucing itu, aku sampai lupa Percy tertinggal di belakangku.

Masih sambil berlari, aku berteriak ke adikku, “Ini hanya kucing, tidak usah takut.”

Percy berteriak panik sambil mengikutiku, “Kakak, tunggu aku!”

Belum sampai rumah, Ginny, anjing perempuanku yang berwarna coklat muda, menggonggong menyambut. Ketika ia melihat kucing yang aku gendong, gonggongannya menjadi semakin keras. Sepertinya ia cemburu dengan si kucing.

Sesampainya di dalam rumah aku bertanya ke ibu, “Ibu, di mana kotak obat?”

“Oh, Lucy, ada di atas lemari, memangnya kenapa? Percy jatuh ya?”

“Eh tidak sih cuma tadi aku nemu kucing,” aku menjawab cepat.

“Kak kenapa aku tadi ditinggal?!” Percy yang masuk menyusul ke dalam rumah terdengar kesal.

“Eh maaf Percy, tadi aku buru-buru,” aku meletakan si kucing putih di atas meja kemudian mengambil kursi untuk pijakan mengambil kotak obat di atas lemari.

Percy duduk cemberut tidak menjawab permintaan maafku.

“Nah sekarang bisak gak kamu tenangin Ginny yang terus menggonggong?” sambungku ke Percy.

“Gak mau ah! Aku masih kesel sama kakak!” kata Percy kemudian melengos pergi.

Sambil mengobati luka si kucing, Ginny tidak berhenti menggonggong. Membuat si kucing takut.

“Tidak usah cemburu Ginny. Ia tidak lama di sini kok.” Kataku sambil mengusap Ginny agar dia tenang. Ginny perlahan-lahan menjadi tenang. Kemudian aku mengambil biskuit anjing dan melemparkan kepada Ginny.

Beberapa saat setelah diobati, kucing itu berjalan tertatih ke hutan. Kalau saja ia tidak terluka, mungkin ia akan berlari. Aku, Percy, dan Ginny mengikuti perlahan sesuai langkah si kucing.

Percy bertanya pelan, “Kak,”

Aku segera meletakan jari telunjuk di depan bibir tanda menyuruh Percy tidak bicara. Sementara Ginny seperti mengerti untuk ikut diam. Kucing itu tidak sekalipun menoleh ke belakang, seperti tidak peduli kami ikuti. Ketika sampai di tepi sungai, ia tiba-tiba berhenti.

“Eeh dia sepertinya takut air,” kataku sambil memandang air itu.

“Baiklah aku akan menggendongnya,” kata Percy melangkah maju.

Tiba-tiba Ginnny kembali menggonggong. Persis di akhir gonggongannya, dia melompat dari batu ke batu di aliran sungai itu, seperti menemukan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang Ginny kejar.

Aku menyusulnya, dan di belakangku Percy bersama si kucing putih. Sesampainya di seberang, Ginny semakin keras menggonggong ke arah semak-semak.

“Sst Ginny” kata-ku sambil menenangkan.

Semak-semak itu bergerak-gerak kemudian ada suara eongan. Muncul dari balik semak kucing cantik berwarna putih sama seperti si kucing yang aku tolong.

Si putih yang digendong Percy meronta seperti ingin diturunkan. Ia turun kemudian berlari ke arah kucing yang lebih besar itu dan saling menjilat. Kami bertiga sangat senang, kucing itu berkumpul bersama keluarganya lagi. 
Penulis: Nada Narendradhitta
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2020 20:54

April 30, 2020

Drama Korea dan Nama Artis yang Sulit Diingat

Saya tidak pernah suka menonton drama korea karena dua hal. Pertama karena Bahasa Korea. Kedua, karena nama-nama artis Korea. Satu-satunya nama korea yang saya hapal adalah Park Ji Sung, atau bolehlah juga dihitung Kim Jong Un.

Saya tidak bermaksud rasial, hanya ini soal kebiasaan saja. Saya tidak terbiasa mendengarkan Bahasa Korea. Ketika mendengarkannya kuping saya terasa dimasuki jangkrik. Dan nama-nama Korea itu? Oh ayolah, bagaimana saya membedakan nama laki-laki dan perempuan? Dan mengapa nama-nama mereka mirip dan membingungkan?

Saya kira keresahan ini juga dirasakan banyak orang. Management artis Korea juga sepertinya mulai mendengar keresahan orang-orang seperti saya. Maka mereka mencoba membantu para artis untuk belajar Bahasa Indonesia. Untuk mengucapkannya dengan benar, atau paling tidak menghapalkan kalimat atau kata-kata yang penting. Salah satu tujuannya adalah supaya orang-orang seperti saya enak mendengarnya. Walaupun Bahasa Indonesia mereka buruk, atau typo ketika mengetik “Sedaap”, saya masih bisa memakluminya, atau menertawakannya. Tentu dengan diam-diam. Saya malas berurusan dengan fans Kim Jong Un. Maaf kalau saya salah sebut nama. Saya kira tepat kalau mereka mau ganti nama jadi Agung atau Eko.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 30, 2020 19:31

April 25, 2020

SELENA & NEBULA; Klan Bulan, Akademi Bayangan Tingkat Tinggi, dan Orangtua Raib


Aku sangat suka buku atau film fantasi karena di sana aku menikmati kejadian yang tidak ada di dunia nyata. Selena dan Nebula adalah novel fantasi yang menceritakan hal yang tidak ada di dunia nyata seperti teleportasi, pukulan berdentum, teknik menghilang, tameng transparan, dan lain lain. Cerita fantasi membuatku menghayal. Andai aku bisa teleportasi aku dapat kemana saja dengan cepat. Kalau adiku bilang, "Kalo aku punya teknik teleportasi aku akan ke hutan bersih, hutan berbunga bunga, dan ingin tingal di sana menghirup bunga-bunga. Di sana tidak ada sampah plastik". Pukulan berdentum bisa membasmi penjahat kalau aku jadi polwan. Teknik menghillang berguna untuk bersembunyi, dan tameng transparan bisa melindungi kita dari segala macam hal, itu juga kalau tidak meletus
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 25, 2020 04:34

NOVEL FANTASI SELENA & NEBULA

Aku sangat suka buku atau film fantasi karena di sana aku menikmati kejadian yang tidak ada di dunia nyata. Selena dan Nebula adalah novel fantasi yang menceritakan hal yang tidak ada di dunia nyata seperti teleportasi, pukulan berdentum, teknik menghilang, tameng transparan, dan lain lain. Cerita fantasi membuatku menghayal. Andai aku bisa teleportasi aku dapat kemana saja dengan cepat. Kalau adiku bilang, "Kalo aku punya teknik teleportasi aku akan ke hutan bersih, hutan berbunga bunga, dan ingin tingal di sana menghirup bunga-bunga. Di sana tidak ada sampah plastik". Pukulan berdentum bisa membasmi penjahat kalau aku jadi polwan. Teknik menghillang berguna untuk bersembunyi, dan tameng transparan bisa melindungi kita dari segala macam hal, itu juga kalau tidak meletus
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 25, 2020 04:34

April 3, 2020

Merdeka Belajar dan Menghindari Bunuh Diri Masal

Beberapa bulan yang lalu, ketika pemerintah menyerukan #MerdekaBelajar, banyak orang tua dan juga guru gagal mencerna seruan itu. Jangankan untuk menerapkan, mendefinisikan belajar yang merdeka saja kebanyakan kita gagap.
Sederhananya, pendidikan yang merdeka adalah sistem belajar yang paling natural dan dipercaya yang paling berhasil untuk membuat anak belajar secara alamiah. Pemahaman disertai implementasi sistem ini tentu tidak mudah, Ki Hajar Dewantoro yang kita sebut Bapak Pendidikan Nasional saja tidak berhasil meyakinkan rekan-rekan sebangsanya tentang ini bahkan ketika beliau masih hidup.

Kebanyakan kita ragu bahkan takut tentang apakah bisa anak-anak belajar secara alamiah? Dapatkan mereka belajar secara sukarela tanpa paksaan? Dapatkah mereka belajar karena memang mereka butuh dan menyukainya?
Kita memang cenderung takut dengan hal-hal yang tidak kita pahami. Awalnya saya juga takut dan ragu, namun akhirnya takjub sendiri dengan kemampuan anak-anak yang belajar secara merdeka. Syaratnya mereka diberi kebebasan, stimulasi dan lingkungan pendidikan yang tepat. Ki Hajar mengibaratkan anak sebagai tanaman, dan para pendidik ibarat petani. Petani tidak bisa memperlakukan atau merawat tanaman padi seperti ia merawat tanaman jagung. Petani hanya memberi pupuk yang pas, merawat serta membuat lingkungan yang cocok dan nyaman sesuai jenis tanaman.
Gagasan Ki Hajar tentu sangat revolusioner pada zamannya, bahkan masih relevan sampai sekarang. Orang dewasa kadang bersikap naif dan ingin anak menguasai berbagai macam ilmu yang mereka anggap penting dan tidak jarang melupakan “jenis tanaman” apa anak tersebut. Anak hanya dianggap objek dan tidak pernah dimintai pendapat atau diamati kecenderungan naluri alami, kecerdasan dan bakatnya.
Pada prinsipnya, tidak ada anak yang tidak suka belajar. Belajar adalah naluri alami anak-anak. Orang dewasa yang membuat belajar menjadi kaku, membosankan dan tidak bermakna. Anak hanya diceramahi dan diukur keberhasilannya hanya dengan ukuran bisa mengerjakan soal-soal.
#MerdekaBelajar pada saat karantina seperti sekarang menemukan momentumnya. Beberapa orang yang memahami hal ini telah melakukan jauh-jauh hari secara mandiri dengan homeschooling. Saya hanya bagian kecil dari kelompok itu. Namun sekarang, di tengah terror pandemi, kebanyakan kita kepayahan menjalankan konsep ini. Kepala sekolah menginstruksikan para guru untuk membuat segala macam tugas dan ceramah yang akan dijejalkan kepada anak-anak melalui alat-alat yang mereka baru tahu, yang menyiapkannya memakan banyak waktu dan membuat mereka tertekan. Anak-anak diangap belajar jika mereka duduk tenang, mendengarkan guru dari media-media jarak jauh itu, dan mengerjakan dengan cekatan soal-soal latihan. Anak-anak, sebagaimana kebanyakan mereka yang berbeda-beda karakter, mulai tertekan. Tuntutan orang tua kepada sekolah yang terlanjur salah kaprah semakin memperparah beban anak-anak. Orangtua juga ikut tertekan. Dan semua ini adalah cara yang ampuh untuk melakukan bunuh diri bersama.
Menurut saya tidak masuk akal jika ada yang ingin memindahkan sekolah ke rumah dengan target belajar seperti di sekolah. Tidak adil bagi guru, orangtua juga anak-anak. Dalam proses homeschooling yang sesungguhnya saja, ada masa penyesuaian yang bahkan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Sebab kondisi di rumah berbeda dengan sekolah, dan orang tua bukanlah guru. Saya tidak sedang mengajak semua orang untuk melakukan homeschooling, tapi keadaan yang membuat kita semua melakukan ini.
Hal awal yang fundamental yang mesti dilakukan saat ini adalah menurunkan ekspektasi. Dalam kondisi darurat seperti sekarang, kita tidak bisa mengharapkan hasil atau pola seperti kondisi normal. Mari pikirkan kembali tentang visi pendidikan, tentang hal-hal yang mesti dimiliki anak dalam hidup mereka yang masih panjang. Setelah itu, mari kita berdiskusi tentang pemahaman, strategi belajar, dan pengelolaan aktifitas belajar berbasis keluarga masing-masing.
Mengapa harus sesuai dengan konteks keluarga masing-masing? Karena itu adalah hal utama dan paling mendasar dalam melakukan homeschooling. Dimana belajar tidak bisa dipisahkan dari kehidupan keluarga, tapi disatukan dan dimanfaatkan. Jadi keberhasilah homeschooling adalah menyatukan pembelajaran anak dengan budaya dan keseharian dalam keluarga.
Mari kita berbicara pada tatanan yang lebih praktis. Memanfaatkan budaya keluarga berarti mengenali kebiasaan baik dalam keluarga dan keahlian orangtua. Orangtua yang senang menonton, menggunakan video dan film sebagai media belajar. Orangtua yang suka membaca, akan mudah menularkan kesukaan pada literasi atau menjadikan literasi sebagai alat belajar anak. Begitupun orang tua yang memiliki keahlian bercocok-tanam, berolahraga, bermain musik, menulis dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan yang disukai orang tua dan keluarga itu itu bisa dikembangkan menjadi kegiatan dan alat belajar dalam proses belajar anak. Itulah yang dimaksud mengintegrasikan dan tidak memisahkan antara keseharian dan kehidupan keluarga dengan proses belajar.
Anak-anak bisa belajar melalui hal-hal yang ada pada keseharian mereka, melalui hal-hal yang ada di lingkungan keluarga dan rumah. Belajar Matematika bisa menggunakan batu yang mereka temukan di halaman atau menggunakan mainan mereka. Memperhatikan belalang yang hinggap di daun, kemudian mengamati cara ia makan dan berkembang biak juga bisa dijadikan sarana untuk belajar. Bahkan mengobrol pun bisa dijadikan sarana belajar. Obrolan anak dan orangtua terhadap satu hal merupakan proses belajar dengan kualitas tinggi. Disitulah keterampilan orangtua dalam membangun percakapan yang nyaman dan produktif diuji.
Homeschooling memberikan kebebasan kepada setiap keluarga untuk mengurusi pendidikan anak-anak mereka. Karena bebas dan tidak baku, maka ada juga model homeschooling yang mencontoh sekolah formal, atau school-at-home. Namun seringkali bentuk itu tidak efektif dan rumit. Karena sejatinya homeschooling memang berbeda dengan sekolah. Jadi jangan membayangkan homeschooling berarti anak-anak harus belajar secara online. Bukan berarti saya mengharamkan belajar online, tapi hanya menyandarkan pendidikan pada hal tersebut, sehingga menganggap jika tidak melakukan itu berarti anak-anak tidak belajar, adalah sesuatu yang salah.
Untuk itu, pemahaman orang tua tentang belajar harus diperluas, dan keterampilan merawat anak-anak perlu ditingkatkan. Orangtua yang baik adalah orang tua yang belajar. Begitulah seharusnya orang tua punya kesadaran pribadi untuk mengupgrade pemahaman mereka dalam melihat belajar dan pendidikan. Saat ini sudah ada banyak cara yang bisa ditempuh, tinggal ada kemauan. 
Memperluas makna belajar berarti kita tidak lagi mengejar target kurikulum. Memperluas makna belajar berarti kita bisa melihat berbagai alternatif kegiatan belajar dan tidak memaksakan diri pada pandangan kaku bahwa belajar adalah mengerjakan mata pelajaran dan mengejar nilai ujian dan rapor. 
Anak tekun pada sesuatu atau hobi seperti membaca, menggambar, bermain sepeda dan lain-lain, juga merupakan belajar; belajar mengenal diri sendiri (learn to be). Menjawab pertanyaan dan keingintahuan anak dengan serius kemudian membuatnya menjadi project juga merupakan belajar; belajar memahami (learn to know). Anak-anak melakukan hal-hal keseharian seperti memasak, mencuci pakaian, menjahit, memperbaiki mainan yang rusak juga merupakan belajar; belajar keterampilan (learn to do). Anak-anak bermain dengan kawan-kawannya, berinteraksi dengan kakek-nenek, sepupu, keponakan dan bisa mencari solusi atas masalah-masalah sosial yang mereka hadapi juga merupakan belajar; belajar hidup bersama (learn to live together). Pada masa ketika tempat kegiatan hanya di rumah, pilihan kita untuk mencari sumber belajar memang menjadi terbatas. Namun pilihan itu bisa diperluas ketika kita memperluas pemahaman akan makna belajar.
Ketika saya menulis ini di depan laptop, Safa (7 tahun) bertanya, “Pak, kura-kura bisa segede apa?”

Saya berhenti mengetik kemudian mengajak Safa ke rak buku. Sambil menurunkan beberapa buku, saya mengajak, “Ayo kita cari di ensiklopedia.”
“Aku kan belum bisa baca?”
“Nanti bapak yang bacain. Sekarang kamu cari aja yang ada gambar kura-kura atau penyu.”
Begitulah proses belajar dimulai. Belajar melalui pertanyaan dan rasa penasaran. Saya tidak pernah menghawatirkan keterlambatan membaca Safa. Saya juga tidak pernah membandingkan Safa dengan Nada kakaknya (9 tahun) yang kemampuan membacanya pesat. Apakah karena kemampuan literasi Nada lebih bagus dari Safa berarti Nada lebih cerdas? Ya dalam satu hal, tapi keceradasan anak-anak itu bermacam-macam dan berbeda satu dengan yang lain. Mereka punya keunikan yang layak diamati dan dikembangkan. Kuncinya adalah fokus pada kelebihan dan tidak terlalu khawatir dengan kekurangan.
Pada kasus Safa, kita bisa mulai mengapresiasi kelebihannya. Inisiatif bertanya dan usaha mencaritahu sendiri di ensiklopedia adalah hal yang harus diapresiasi. Safa mengenal batasan bahwa ia belum lancar membaca itu juga hal yang bisa diapresiasi. Ia belajar mengenal batas dan kemampuan diri, tidak takut bertanya, tau bagaimana menjawab keingintahuan, menghargai kegelisahan diri dan pada akhirnya menjadiakan semua itu kegiatan belajar yang produktif. Ia membuka dan mencari informasi di ensiklopedia, menandai hal-hal penting yang menjadi tujuan, tidak terdistraksi dengan hal-hal lain, mencari kertas dan pensil untuk menggambar, mendengarkan penjelasan, kagum dengan fakta-fakta yang ada, menurut kami itu adalah proses belajar yang lebih bermakna dan akan selalu diingat. Safa menggali keingintahuannya sendiri, membutuhkan itu, menginginkan itu, bukan hanya disuapi informasi yang ia tidak inginkan. Lebih dari itu ia dilatih untuk bisa menjadi Pembelajar Mandiri.
Gambar awal. Karena sudah malam, saya mengajak meneruskan dan membuat grafis yang lebih bagus besok pagi.Salah satu tujuan penting homeschooling adalah menyiapkan anak-anak untuk bisa menjadi Pembelajar Mandiri. Anak perlu belajar bagaimana mencari ilmu sendiri. Karena ilmu pengetahuan berkembang, orangtua cepat atau lambat akan dikalahkan anak-anak mereka dalam hal ilmu dan kemampuan. Maka penting anak-anak untuk tahu cara memenuhi hasrat keingintahuan dan belajar mereka.
Untuk menyiapkan anak-anak menjadi Pembelajar Mandiri ada dua kunci utama, budaya belajar dan keterampilan belajar (learning culture and learning skills). Masa-masa pandemi ini tidak bisa diprediksi, bisa lama atau mungkin juga besok akan hilang. Maka disaat seperti ini kita bisa mendorong anak-anak untuk bisa melakukan manjemen diri. Itu salah satu keterampilan belajar dimana anak mengenal tujuan belajar, mengeksekusi, dan melakukan refleksi atas proses dan hasilnya. Memang memakan waktu yang tidak sebentar dan instan, tapi hasilnya akan sepadan.

Melalui tulisan singkat ini, saya mengajak dan mengingatkan terutama kepada diri saya sendiri juga kepada semua orang yang peduli pada pendidikan anak, untuk melihat masa-masa di rumah ini sebagai masa-masa pembelajaran. Karena anak-anak lebih banyak belajar dari mencontoh. Mereka tidak hanya ingin mendengar nasihat kosong, mereka lebih meneladani contoh dari keseharian yang mereka alami. Pengasuhan bukanlah perlombaan mencari kebanggaan dan anak bukanlah sarana untuk memuaskan ego orangtua.
Semoga kita bisa mengasuh dan mendampingi anak agar bisa tumbuh sesuai dengan keunikan masing-masing. Semoga kita sekeluarga senantiasa diberi kesehatan.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 03, 2020 01:38

March 31, 2020

Kitab Kreatif untuk Latihan Menulis dan Berpikir Kreatif


Ini bukan hanya sekedar buku panduan menulis, tapi panduan untuk membiarkan roh-roh kreativitas menuntun dalam menghasilkan karya yang unik, disamping memandu untuk menerima dengan tangan terbuka apa yang tak kasat mata juga sambil memberikan porsi yang untuh pada akal untuk berlogika.

Dengan cara dan susunan yang menarik, saya dilibatkan untuk mengalami sendiri sampai pada akhirnya tergerak untuk mengimani semua yang diungkapkan Ayu dalam buku ini.

“Banyak orang yang berharap akan belajar formula yang langsung bisa diterapkan untuk mencipta karya kreatif. Sayangnya, formula hanya akan menghasilkan reproduksi atau peniruan. Sikap ini mirip dengan sikap beragama yang formalis. Yaitu, yang mencari bentuk-bentuk paten untuk ditiru.

Sumber-sumber kreativitas bukanlah berasal dari sikap kritis analitis. Sumber-sumber kreativitas sering kali datang dari wilayah yang tak terukur: imajinasi, fantasi, bawah sadar, dorongan, hasrat, bahkan sedikit kegialaan; hal-hal yang kerap dianggap bodoh oleh kaum rasionalis. Sama seperti spiritualitas, kreativitas bersumber pada hal-hal yang non-rasional.

Keasikan pada yang irasional bisa menghasilkan kekacauan maupun iman buta yang menjengkelkan bahkan berbahaya. Karena itu kita memerlukan daya kritis untuk mengimbanginya. Maka, struktur buku panduan ini mengutamakan keseimbangan antara keliaran dan ketertiban.

Keliaran tidak bisa dipelajari. Tapi kita bisa belajar memberi kesempatan pada potensi keliaran yang ada dalam diri kita.”


Jadi dua buku panduan menulis dan berpikir kreatif ini ditujukan baik untuk yang punya tipe spontan atau juga yang terstruktur. Kedua tipe bisa menikmati buku ini secara seimbang.

Buku pertama memberikan tips dan cara yang bisa dilatih untuk membuat tulisan pendek. Berisi jurus-jurus yang mudah dipraktekan. Sementara pada buku kedua memberi panduan untuk karya yang lebih panjang seperti buku, novel, atau film. Jika buku pertama bersifat umum dan teknis, buku kedua bersifat pendalaman terhadap makna kehidupan dan jiwa. Dua hal yang menjadi penggerak karya dan kreativitas manusia.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 31, 2020 01:42

March 28, 2020

Serial Bumi; Novel Lokal dengan Citarasa Global


Serial Bumi - Tere Liye memang bukan jenis buku yang akan saya baca pada pada usia ini, ataupun belasan tahun yang lalu saat saya masih remaja, tentu jika novel itu sudah ada. Bukan karena isinya, tapi semata-mata karena genre. Fantasy tidak pernah jadi pilihan ketika saya dihadapkan pada bacaan novel. Bukan berati saya alergi genre itu, hanya Fantasy tidak akan pernah menjadi pilihan utama. Maka sama seperti ketika istri mendorong saya membaca The Hobbit, adalah Nada yang membuat saya membaca Serial Bumi. Bahkan seperti lingkaran yang tak bersudut, adalah saya yang mengenalkan Nada kepada serial tersebut.
Serial Bumi punya beberapa judul. Saya membaca sampai Bintang (Bumi, Bulan,Matahari dan Bintang. Masih ada Ceros dan Batozar, Komet, Komet Minor, sementara dua yang baru saja terbit adalah Selena dan Nebula). Total ada 9 judul novel dari seri tersebut. Saya meminta Nada untuk menulis resensi setelah selesai membaca novel-novel itu, dan Nada malah bertanya mengapa saya tidak membuat resensi pada buku yang saya baca. Saya sudah melakukannya, hanya memang tidak kepada semua buku yang saya baca. Ia meminta saya mereview juga Serial Bumi. Maka disinilah saya, membuat resensi atas permintaan itu.
Petualangan Raib, Seli dan Ali dalam mencari jatidiri juga melawan musuh bebuyutan Si Tanpa Mahkota, mengingatkan saya pada perpaduan antara Harry Potter, The Hobbit, Lord of the Rings, Narnia dan beberapa novel fantasi anak-anak yang populer. Sebagai novel yang terinspirasi dari novel luar, Serial Bumi berhasil memasukan cita rasa, banyolan dan nuansa lokal di setiap serinya. Apakah ia berhasil secara penulisan, alur, tokoh dan kemudian membuat fanbase lokal Indonesia terhadap serial ini? Menurut saya berhasil. Namun membandingkan karya tersebut dengan suksesornya seperti karya-karya JK Rowling, JRR Tolkien atau CS Lewis baik dalam cakupan pembaca dan kualitas cerita tentu akan menjadi tidak adil. Ini sama tidak adilnya membandingkan kualitas cerita, gambar dan ketokohan Gundala dan Kapten Amerika atau Godam dan Superman.
Seperti karya lokal bercitarasa internasional dalam berbagai bidang lain seperti musik, film dan komik, Serial Bumi juga memiliki kemiripan-kemiripan yang hampir identik. Ada beberapa bagian yang menginatkan saya pada permainan teka-teki Bilbo dengan Smeagol, atau pertarungan Harry Potter dan kawan-kawan melawan Voldemort, atau ketika Harry mengikuti turnamen 3 Wizards untuk memperebutkan Goblet of Fire, atau petualangan anak-anak remaja ke negeri Narnia. Tidak ada yang baru di bawah langit ini, satu sama lain bisa saling mempengaruhi. Dalam dunia kesusastraan kita banyak menemui hal seperti itu. Selama bukan plagiat hal itu bisa dimengerti. Dewi Lestari menulis Aroma Karsa karena terinspirasi Perfume - Patric Suskind, Laskar Pelangi terinspirasi dari Toto Chan, atau Dodolitdodolitdodolitbret dengan Three Hermits dan lain sebagainya.
Serial ini layak mendapat tempat khusus di hati para penggemar novel fantasy. Saya merekomendasikan kepada siapa saja yang ingin mendapat pengalaman membaca novel internasional dengan citarasa lokal, dengan bahasa yang ringan dan bisa dinikmati segala umur, untuk coba membacanya.
Sejujurnya saya salut dengan buku jenis ini. Karena di saat beberapa orang menganggap tidak ada buku bacaan anak berbahasa Indonesia yang bagus, bahkan tahun lalu (2019) Dewan Kesenian Jakarta membuat Sayembara Cerita Anak-Anak dan tidak satupun tulisan yang menjadi pemenang, ternyata ada penulis yang membuktikan bahwa bagus tidaknya buku anak diukur oleh seberapa banyak anak yang senang dengan buku tersebut bahkan jika buku-buku tersebut tidak direkomendasikan oleh siapapun atau memenangi sayembara apapun.
Boleh setuju boleh tidak. :)

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 28, 2020 01:44