Nailal Fahmi's Blog, page 12
November 29, 2020
Berdukalah Sedalam-dalamnya
Tengah malam itu saya sedang menonton City vs Arsenal di handphone ketika sebuah kabar duka di WhatsApp menghalangi pandangan dari pertandingan. Setelah membaca itu, laga Premier League menjadi tidak menarik, seketika tubuh saya seperti kastil pasir yang terhempas ombak, menggelosor tanpa tenaga. Saya membangunkan istri yang sedang tertidur pulas. Kabar itu membuatnya sadar, seperti terbangun karena bermimpi jatuh dari tempat tidur.
Itu jenis kesedihan dari kabar kematian yang mengendap lama. Malam berikutnya, setelah pagi itu saya dan istri melawat, saya tidur dan terbangun dengan perasaan muram yang masih melekat. Tidur tidak membuatnya hilang, bahkan menajamkannya kembali.
Saya mengenal Vany karena kami pernah satu kampus, istri saya mengenal Mukhlis, suami Vany, karena dulu mereka pernah mengajar di tempat yang sama. Alby anak pertama mereka yang berumur 7 tahun meninggal di rumah sakit, dan tiga hari kemudian Mukhlis menyusul meninggalkan Vany dan Rayyan anak kedua yang masih balita. Bahkan Mukhlis tidak sempat menghadiri pemakaman Alby karena saat itu masih terbaring di rumah sakit.
Kehilangan orang tercinta tidak pernah mudah, apalagi dua orang, apalagi dalam waktu yang berdekatan. Dengan kehilangan semacam itu, kamu bisa terbangun tiba-tiba pada tengah malam dan menangis sendirian. Kamu merasakan dadamu terhimpit dalam isak, paru-parumu berderu dengan sedu yang menyesakkan, sampai kamu lupa bagaimana caranya bernafas.
Kamu mengingat kenangan-kenangan yang terlewat. Kamu merindukan pesan dan telponnya, kamu merindukan suaranya, kamu merindukan aroma tubuhnya, kamu merindukan hal-hal yang mengesalkanmu, kamu merindukan hal-hal kecil, segala sesuatu yang bahkan sangat sederhana seperti caranya merajuk, memegang tangan atau mengucapkan namamu.
Namun yang lebih menyesakkan dalam semua kerinduan itu adalah sesuatu yang belum sempat kamu lakukan. Kamu teringat hal-hal yang telah kamu rencanakan esok hari setelah pandemi, menonton film yang sudah lama dinanti, atau sekedar berdebat tentang rencana makan apa malam ini. Kamu menyesali banyak salah yang kamu kerjakan dan hal-hal yang belum sempat kamu buat. Penyesalan itu memukuli kesadaran, meremukan perlahan-lahan pertahanan jiwamu yang semakin lama terlihat semakin rapuh.
Kamu merasakan rumah yang tidak menjadi rumah dengan nuansa yang sama. Betapa orang yang begitu dekat dan nyata, saat ini tidak bisa kamu peluk dan genggam tangannya. Dan kamu merasakan itu sendirian. Sebagain kawan-kawan yang punya kesamaan, yang bisa relate dengan kesedihan itu merasa ikut sakit, tapi tentu itu bukan kesedihan yang sama dengan yang sedang kamu rasakan. Kesedihanmu adalah milikmu sendiri, karena sedalam apapun mereka bersungkawa, sebagaimanpun mereka bisa ikut merasa, itu bukan duka mereka.
Sungguh kerinduan dan kehilangan tidak pernah bisa dituliskan dengan sederhana, dan kata-kata tidak bisa menampung seluruh rasa.
Sulit bagimu untuk menang dalam pertandingan yang tidak seimbang ini. Takdir tidak pernah kalah dan menjadikan semua orang menjadi pencundang. Pada akhirnya kamu hanya bisa pasrah menerima kenyataan, dipaksa merasakan, karena kamu sadar tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah dituliskan. Jika kamu tenang dalam kesendirian, ia akan memberimu pesan, bahwa dunia bukanlah tempat dimana segala keinginan dapat diwujudkan.
Hidup tidak seperti masuk sekolah, yang beramai-ramai masuk, beramai-ramai pulang. Hidup ini ibarat menunggu bis di halte, sendiri-sendiri datang, dan satu-satu pergi. Menghadapi semua itu manusia selalu saja gagap dan tidak siap. Kita adalah makhluk lemah, maka tidak perlu terburu-buru. Kamu masih punya waktu untuk berduka. Ambilah sebanyak-banyaknya. Kenanglah sepuas-puasnya.
Menangislah seduka-dukanya. Bukankah Nabi yang mulia juga bersedih dan menangis ketika putra beliau Ibrahim yang saat itu masih balita wafat? Melihat air mata Nabi yang bercucuran, Abdurrahman bin Auf bertanya, "Engkau juga menangis Rasulullah?" Rasulullah menjawab ini adalah tangisan kasih sayang.
Rindulah selama-lamanya. Bukankah Rasulullah juga rindu kepada Khadijah bahkan bertahun-tahun setelah sayyidah Khadijah wafat? Sampai ketika datang saudara perempuan Khadijah, Nabi merasa bahagia dan terkenang, sebentuk kerinduan karena melihat kemiripan sifat dengan Khadijah. Kerinduan tersebut masih mewujud dalam keseharian, bahkan ketika Rasul menyembelih kambing, beliau memberikannya kepada teman-teman Khadijah semasa hidup.
Sampai nanti akan tiba saatnya, ketika waktu perlahan-lahan menyembuhkan. Dan kelak waktu juga yang akan mendekatkan, juga menyatukan.
Al Fatihah…
Itu jenis kesedihan dari kabar kematian yang mengendap lama. Malam berikutnya, setelah pagi itu saya dan istri melawat, saya tidur dan terbangun dengan perasaan muram yang masih melekat. Tidur tidak membuatnya hilang, bahkan menajamkannya kembali.
Saya mengenal Vany karena kami pernah satu kampus, istri saya mengenal Mukhlis, suami Vany, karena dulu mereka pernah mengajar di tempat yang sama. Alby anak pertama mereka yang berumur 7 tahun meninggal di rumah sakit, dan tiga hari kemudian Mukhlis menyusul meninggalkan Vany dan Rayyan anak kedua yang masih balita. Bahkan Mukhlis tidak sempat menghadiri pemakaman Alby karena saat itu masih terbaring di rumah sakit.
Kehilangan orang tercinta tidak pernah mudah, apalagi dua orang, apalagi dalam waktu yang berdekatan. Dengan kehilangan semacam itu, kamu bisa terbangun tiba-tiba pada tengah malam dan menangis sendirian. Kamu merasakan dadamu terhimpit dalam isak, paru-parumu berderu dengan sedu yang menyesakkan, sampai kamu lupa bagaimana caranya bernafas.
Kamu mengingat kenangan-kenangan yang terlewat. Kamu merindukan pesan dan telponnya, kamu merindukan suaranya, kamu merindukan aroma tubuhnya, kamu merindukan hal-hal yang mengesalkanmu, kamu merindukan hal-hal kecil, segala sesuatu yang bahkan sangat sederhana seperti caranya merajuk, memegang tangan atau mengucapkan namamu.
Namun yang lebih menyesakkan dalam semua kerinduan itu adalah sesuatu yang belum sempat kamu lakukan. Kamu teringat hal-hal yang telah kamu rencanakan esok hari setelah pandemi, menonton film yang sudah lama dinanti, atau sekedar berdebat tentang rencana makan apa malam ini. Kamu menyesali banyak salah yang kamu kerjakan dan hal-hal yang belum sempat kamu buat. Penyesalan itu memukuli kesadaran, meremukan perlahan-lahan pertahanan jiwamu yang semakin lama terlihat semakin rapuh.
Kamu merasakan rumah yang tidak menjadi rumah dengan nuansa yang sama. Betapa orang yang begitu dekat dan nyata, saat ini tidak bisa kamu peluk dan genggam tangannya. Dan kamu merasakan itu sendirian. Sebagain kawan-kawan yang punya kesamaan, yang bisa relate dengan kesedihan itu merasa ikut sakit, tapi tentu itu bukan kesedihan yang sama dengan yang sedang kamu rasakan. Kesedihanmu adalah milikmu sendiri, karena sedalam apapun mereka bersungkawa, sebagaimanpun mereka bisa ikut merasa, itu bukan duka mereka.
Sungguh kerinduan dan kehilangan tidak pernah bisa dituliskan dengan sederhana, dan kata-kata tidak bisa menampung seluruh rasa.
Sulit bagimu untuk menang dalam pertandingan yang tidak seimbang ini. Takdir tidak pernah kalah dan menjadikan semua orang menjadi pencundang. Pada akhirnya kamu hanya bisa pasrah menerima kenyataan, dipaksa merasakan, karena kamu sadar tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah dituliskan. Jika kamu tenang dalam kesendirian, ia akan memberimu pesan, bahwa dunia bukanlah tempat dimana segala keinginan dapat diwujudkan.
Hidup tidak seperti masuk sekolah, yang beramai-ramai masuk, beramai-ramai pulang. Hidup ini ibarat menunggu bis di halte, sendiri-sendiri datang, dan satu-satu pergi. Menghadapi semua itu manusia selalu saja gagap dan tidak siap. Kita adalah makhluk lemah, maka tidak perlu terburu-buru. Kamu masih punya waktu untuk berduka. Ambilah sebanyak-banyaknya. Kenanglah sepuas-puasnya.
Menangislah seduka-dukanya. Bukankah Nabi yang mulia juga bersedih dan menangis ketika putra beliau Ibrahim yang saat itu masih balita wafat? Melihat air mata Nabi yang bercucuran, Abdurrahman bin Auf bertanya, "Engkau juga menangis Rasulullah?" Rasulullah menjawab ini adalah tangisan kasih sayang.
Rindulah selama-lamanya. Bukankah Rasulullah juga rindu kepada Khadijah bahkan bertahun-tahun setelah sayyidah Khadijah wafat? Sampai ketika datang saudara perempuan Khadijah, Nabi merasa bahagia dan terkenang, sebentuk kerinduan karena melihat kemiripan sifat dengan Khadijah. Kerinduan tersebut masih mewujud dalam keseharian, bahkan ketika Rasul menyembelih kambing, beliau memberikannya kepada teman-teman Khadijah semasa hidup.
Sampai nanti akan tiba saatnya, ketika waktu perlahan-lahan menyembuhkan. Dan kelak waktu juga yang akan mendekatkan, juga menyatukan.
Al Fatihah…
Published on November 29, 2020 03:49
November 20, 2020
Yesterday; Troubles Seemed So Far Away
Dunia alternatif tanpa The Beatles merupakan premis yang menarik. Banyak yang mengatakan film ini bermasalah karena punya banyak plot holes dan cacat logika, sehingga mengurangi kenikmatan menonton. Sejujurnya saya tidak terganggu dan memaafkan hal tersebut, karena sejatinya ini bukanlah film science fiction.
Sutradara seperti tahu bahwa film ini adalah tentang menjawab sebuah premis —dan hanya itu saja—bagaimana jika The Beatles beserta lagu-lagunya, hilang dari muka bumi? Ia tidak mau terbebani dengan hal-hal lain dan membiarkannya menjadi tidak terjelaskan. Ia seperti menyadari bahwa jawaban atas hal-hal lain itu tidak terlalu penting. Mungkin baginya, yang terpenting adalah sebagai seniman ia memberikan suatu hal yang bermakna; lagu-lagu The Beatles, perpaduan antara musikalitas popular dan puisi yang menyihir.
Aransemen musik dan suara yang lebih jernih juga modern, membuat lagu-lagu tersebut lebih segar. Mereka tidak dicomot asal-asalan tapi berbaur dan ikut bercerita mengiringi cerita dalam film ini. Seperti lagu-lagu dalam La La Land, tidak butuh waktu lama sampai lagu-lagu The Beatles versi Jack Malik masuk dalam playlist saya. Lagu-lagu dalam film ini akan membawa penggemar The Beatles seperti istri saya bernostalgia sekaligus merenungkan kembali makna hidup.
Adegan ketika Ellie mendengar Yesterday untuk pertama kali dari Jack, mengingatkan saya pada pendengaran pertama saya akan lagu tersebut bertahun-tahun yang lalu dari petikan gitar seorang kawan. Saya kira hanya sedikit lagu yang bisa menancapkan pesona magis semacam itu, sampai-sampai ketika mengenangnya kembali, ia seperti trauma indah yang tidak mau kau obati.
Secara alur, film ini terus menanjak, ia tidak membiarkan penonton menunggu terlalu lama untuk kemudian bosan. Fokus film ini adalah tentang hubungan Ellie dan Jack. Sebuah komedi romantis yang walau klise dan mudah diprediksi, terutama pada separuh akhir, tapi masih membuat hati kita hangat. Sesekali unsur dialog komedik kekinian yang lucu tapi ramah membuat film ini lebih hidup, dan Rocky si Joker, karakter tempelan yang artifisial, selalu membuat saya terbahak.
Film ini memang sengaja tidak dibuat berat dan gelap, malah terkesan popular, mudah dan tanpa beban. Bahkan penonton seperti disuapi jawaban dari premis awal melalui salah satu karakter, “A world without the Beatles is a world that's infinitely worse.”
Mudahnya, ini adalah film yang ringan tentang mensukuri hidup saat ini, bagaimanapun keadaannya. Mengutip Kurt Vonegut dalam Gempa Waktu, “Bahwa tugas yang tampaknya masuk akal bagi seniman adalah membuat orang menghargai hidup, setidaknya secuil saja. Kemudian saya ditanya apakah tahu seniman yang melakukan tugas tersebut. Saya menjawab, The Beatles.”
Itu ditulis sebelum ia menjelaskan bahwa hanya manusia, makhluk hidup yang paling maju ini, yang merasakan bahwa hidup ini buruk dan menyedihkan.
Film ini diakhiri dengan Ob-La-Di, Ob-La-Da, sebuah kesimpulan yang merangkum seluruh isi cerita, bahwa hidup adalah tentang bermakna bagi orang lain, bahwa menjadi orang biasa bukanlah sebuah dosa, selama kamu bahagia.
Sutradara seperti tahu bahwa film ini adalah tentang menjawab sebuah premis —dan hanya itu saja—bagaimana jika The Beatles beserta lagu-lagunya, hilang dari muka bumi? Ia tidak mau terbebani dengan hal-hal lain dan membiarkannya menjadi tidak terjelaskan. Ia seperti menyadari bahwa jawaban atas hal-hal lain itu tidak terlalu penting. Mungkin baginya, yang terpenting adalah sebagai seniman ia memberikan suatu hal yang bermakna; lagu-lagu The Beatles, perpaduan antara musikalitas popular dan puisi yang menyihir.
Aransemen musik dan suara yang lebih jernih juga modern, membuat lagu-lagu tersebut lebih segar. Mereka tidak dicomot asal-asalan tapi berbaur dan ikut bercerita mengiringi cerita dalam film ini. Seperti lagu-lagu dalam La La Land, tidak butuh waktu lama sampai lagu-lagu The Beatles versi Jack Malik masuk dalam playlist saya. Lagu-lagu dalam film ini akan membawa penggemar The Beatles seperti istri saya bernostalgia sekaligus merenungkan kembali makna hidup.
Adegan ketika Ellie mendengar Yesterday untuk pertama kali dari Jack, mengingatkan saya pada pendengaran pertama saya akan lagu tersebut bertahun-tahun yang lalu dari petikan gitar seorang kawan. Saya kira hanya sedikit lagu yang bisa menancapkan pesona magis semacam itu, sampai-sampai ketika mengenangnya kembali, ia seperti trauma indah yang tidak mau kau obati.
Secara alur, film ini terus menanjak, ia tidak membiarkan penonton menunggu terlalu lama untuk kemudian bosan. Fokus film ini adalah tentang hubungan Ellie dan Jack. Sebuah komedi romantis yang walau klise dan mudah diprediksi, terutama pada separuh akhir, tapi masih membuat hati kita hangat. Sesekali unsur dialog komedik kekinian yang lucu tapi ramah membuat film ini lebih hidup, dan Rocky si Joker, karakter tempelan yang artifisial, selalu membuat saya terbahak.
Film ini memang sengaja tidak dibuat berat dan gelap, malah terkesan popular, mudah dan tanpa beban. Bahkan penonton seperti disuapi jawaban dari premis awal melalui salah satu karakter, “A world without the Beatles is a world that's infinitely worse.”
Mudahnya, ini adalah film yang ringan tentang mensukuri hidup saat ini, bagaimanapun keadaannya. Mengutip Kurt Vonegut dalam Gempa Waktu, “Bahwa tugas yang tampaknya masuk akal bagi seniman adalah membuat orang menghargai hidup, setidaknya secuil saja. Kemudian saya ditanya apakah tahu seniman yang melakukan tugas tersebut. Saya menjawab, The Beatles.”
Itu ditulis sebelum ia menjelaskan bahwa hanya manusia, makhluk hidup yang paling maju ini, yang merasakan bahwa hidup ini buruk dan menyedihkan.
Film ini diakhiri dengan Ob-La-Di, Ob-La-Da, sebuah kesimpulan yang merangkum seluruh isi cerita, bahwa hidup adalah tentang bermakna bagi orang lain, bahwa menjadi orang biasa bukanlah sebuah dosa, selama kamu bahagia.
Published on November 20, 2020 15:46
Yesterday; Sebuah Usaha Mensukuri Hidup
Premis tentang dunia alternatif tanpa The Beatles merupakan hal yang menarik. Banyak yang mengatakan film ini bermasalah karena punya banyak plot holes dan cacat logika, sehingga mengurangi kenikmatan menonton. Sejujurnya saya tidak terganggu dan memaafkan hal tersebut, karena sejatinya ini bukanlah film science fiction.
Sutradara seperti tahu bahwa film ini adalah tentang menjawab sebuah premis —dan hanya itu saja—bagaimana jika The Beatles beserta lagu-lagunya, hilang dari muka bumi? Ia tidak mau terbebani dengan hal-hal lain dan membiarkannya menjadi tidak terjelaskan. Ia seperti menyadari bahwa jawaban atas hal-hal lain itu tidak terlalu penting. Mungkin baginya, yang terpenting adalah sebagai seniman ia memberikan suatu hal yang bermakna; lagu-lagu The Beatles, perpaduan antara musikalitas popular dan puisi yang menyihir.
Aransemen musik dan suara yang lebih jernih juga modern, membuat lagu-lagu tersebut lebih segar. Mereka tidak dicomot asal-asalan tapi berbaur dan ikut bercerita mengiringi cerita dalam film ini. Seperti lagu-lagu dalam La La Land, tidak butuh waktu lama sampai lagu-lagu The Beatles versi Jack Malik masuk dalam playlist saya. Lagu-lagu dalam film ini akan membawa penggemar The Beatles seperti istri saya bernostalgia sekaligus merenungkan kembali makna hidup.
Adegan ketika Ellie mendengar Yesterday untuk pertama kali dari Jack, mengingatkan saya pada pendengaran pertama saya akan lagu tersebut bertahun-tahun yang lalu dari petikan gitar seorang kawan. Saya kira hanya sedikit lagu yang bisa menancapkan pesona magis semacam itu, sampai-sampai ketika mengenangnya kembali, ia seperti trauma indah yang tidak mau kau obati.
Secara alur, film ini terus menanjak, ia tidak membiarkan penonton menunggu terlalu lama untuk kemudian bosan. Fokus film ini adalah tentang hubungan Ellie dan Jack. Sebuah komedi romantis yang walau klise dan mudah diprediksi, terutama pada separuh akhir, tapi masih membuat hati kita hangat. Sesekali unsur dialog komedik kekinian yang lucu tapi ramah membuat film ini lebih hidup, dan Rocky si Joker, karakter tempelan yang artifisial, selalu membuat saya terbahak.
Film ini memang sengaja tidak dibuat berat dan gelap, malah terkesan popular, mudah dan tanpa beban. Bahkan penonton seperti disuapi jawaban dari premis awal melalui salah satu karakter, “A world without the Beatles is a world that's infinitely worse.”
Mudahnya, ini adalah film yang ringan tentang mensukuri hidup saat ini, bagaimanapun keadaannya. Mengutip Kurt Vonegut dalam Gempa Waktu, “Bahwa tugas yang tampaknya masuk akal bagi seniman adalah membuat orang menghargai hidup, setidaknya secuil saja. Kemudian saya ditanya apakah tahu seniman yang melakukan tugas tersebut. Saya menjawab, The Beatles.”
Itu ditulis sebelum ia menjelaskan bahwa hanya manusia, makhluk hidup yang paling maju ini, yang merasakan bahwa hidup ini buruk dan menyedihkan.
Film ini diakhiri dengan Ob-La-Di, Ob-La-Da, sebuah kesimpulan yang merangkum seluruh isi cerita, bahwa hidup adalah tentang bermakna bagi orang lain, bahwa menjadi orang biasa bukanlah sebuah dosa, selama kamu bahagia.
Sutradara seperti tahu bahwa film ini adalah tentang menjawab sebuah premis —dan hanya itu saja—bagaimana jika The Beatles beserta lagu-lagunya, hilang dari muka bumi? Ia tidak mau terbebani dengan hal-hal lain dan membiarkannya menjadi tidak terjelaskan. Ia seperti menyadari bahwa jawaban atas hal-hal lain itu tidak terlalu penting. Mungkin baginya, yang terpenting adalah sebagai seniman ia memberikan suatu hal yang bermakna; lagu-lagu The Beatles, perpaduan antara musikalitas popular dan puisi yang menyihir.
Aransemen musik dan suara yang lebih jernih juga modern, membuat lagu-lagu tersebut lebih segar. Mereka tidak dicomot asal-asalan tapi berbaur dan ikut bercerita mengiringi cerita dalam film ini. Seperti lagu-lagu dalam La La Land, tidak butuh waktu lama sampai lagu-lagu The Beatles versi Jack Malik masuk dalam playlist saya. Lagu-lagu dalam film ini akan membawa penggemar The Beatles seperti istri saya bernostalgia sekaligus merenungkan kembali makna hidup.
Adegan ketika Ellie mendengar Yesterday untuk pertama kali dari Jack, mengingatkan saya pada pendengaran pertama saya akan lagu tersebut bertahun-tahun yang lalu dari petikan gitar seorang kawan. Saya kira hanya sedikit lagu yang bisa menancapkan pesona magis semacam itu, sampai-sampai ketika mengenangnya kembali, ia seperti trauma indah yang tidak mau kau obati.
Secara alur, film ini terus menanjak, ia tidak membiarkan penonton menunggu terlalu lama untuk kemudian bosan. Fokus film ini adalah tentang hubungan Ellie dan Jack. Sebuah komedi romantis yang walau klise dan mudah diprediksi, terutama pada separuh akhir, tapi masih membuat hati kita hangat. Sesekali unsur dialog komedik kekinian yang lucu tapi ramah membuat film ini lebih hidup, dan Rocky si Joker, karakter tempelan yang artifisial, selalu membuat saya terbahak.
Film ini memang sengaja tidak dibuat berat dan gelap, malah terkesan popular, mudah dan tanpa beban. Bahkan penonton seperti disuapi jawaban dari premis awal melalui salah satu karakter, “A world without the Beatles is a world that's infinitely worse.”
Mudahnya, ini adalah film yang ringan tentang mensukuri hidup saat ini, bagaimanapun keadaannya. Mengutip Kurt Vonegut dalam Gempa Waktu, “Bahwa tugas yang tampaknya masuk akal bagi seniman adalah membuat orang menghargai hidup, setidaknya secuil saja. Kemudian saya ditanya apakah tahu seniman yang melakukan tugas tersebut. Saya menjawab, The Beatles.”
Itu ditulis sebelum ia menjelaskan bahwa hanya manusia, makhluk hidup yang paling maju ini, yang merasakan bahwa hidup ini buruk dan menyedihkan.
Film ini diakhiri dengan Ob-La-Di, Ob-La-Da, sebuah kesimpulan yang merangkum seluruh isi cerita, bahwa hidup adalah tentang bermakna bagi orang lain, bahwa menjadi orang biasa bukanlah sebuah dosa, selama kamu bahagia.
Published on November 20, 2020 15:46
November 10, 2020
The Queen's Gambit; Dunia Dimana Setiap Orang Diperlakukan Sama
Seri yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama ini memulai dengan atmosfir gelap dan depresif. Pada episode pertama bahkan saya menangkap kesan suram seperti dalam The End of the Fucking World, dimana masa kecil karakter utama diisi dengan suasana traumatis karena kemiskinan dan menyaksikan ibunya bunuh diri. Namun kesan itu perlahan-lahan menguap, menjadi semakin optimistik, manis dan cerah seiring berjalannya episode, sampai akhirnya di akhir seri penonton seperti dibuat ikut berkembang dan terkesan dengan pencapaian-pencapaian karakter utama.
Mini seri ini berjalan cukup lambat terutama pada paruh awal sampai sepertiga akhir, membuat pertengahan episode terasa datar hampir tanpa klimaks atau konflik yang tajam. Dari tujuh episode, baru pada dua episode akhir saya menemukan plot yang dibuat lebih menanjak. Beruntung penonton dibuat bertahan dengan dialog dan performa ansambel cast yang seluruhnya tampil tanpa cela. Selain percakapan Jolene dan Beth dalam kendaraan yang terkesan dipaksakan karena sumpek dengan muatan pesan moral, dialog dalam seri ini sangat jujur, cerdas dan digarap dengan elegan. Di beberapa adegan ketika dialog tidak diperlukan, para karakter diberi ruang yang cukup luas untuk mengeksplorasi emosi secara lebih dalam.
Harry Melling yang terakhir saya tonton aktingnya di The Devil All the Time kembali memukau dalam seri ini. Dengan penampilan yang konsisten dan potensi yang terus berkembang dari sejak perannya menjadi bocah gendut perundung dalam Harry Potter, hanya menunggu waktu sampa ia mendapat peran utama yang lebih banyak. Nyaris tidak ada karakter antagonis yang bersikap lebay dan patut dibenci secara berlebihan, bahkan ada kesan para tokoh bersikap begitu natural bahkan sportif, sampai saya mengira ini adalah sebuah kisah nyata atau sebuah biopic. Tahun, lokasi, event pertandingan yang dibuat sangat nyata, ditambah dukungan teknis visual dengan sinematografi pewarnaan yang klasik dan teduh hasil CGI mewah, menjadikan seri dengan seting era 60an ini sangat meyakinkan.
Premis seri ini secara persusif dan alami tanpa ada usaha yang dipaksakan seperti berniat menampilkan semangat feminis sebagai nilai jual utama, selain tentu saja pencapaian mengagumkan si karakter utama dalam mengelola kehilangan dan traumatik masa lalu. Dalam satu adegan, sutradara juga tidak latah memasukan kritik pada agama yang memang tidak relevan dan punya set-up yang kokoh sejak awal, melainkan menyentil hipokrisi yang sering diambil orang-orang yang punya kesempatan untuk menjual integritas dan menjadi bermuka dua.
Menjadikan catur sebagai sarana pencarian jati diri Beth, sebagai karakter utama yang penuh luka perjalanan hidup, juga merupakan konsep yang sangat brilian dan solid. Karena catur adalah satu-satunya olahraga yang egaliter, yang tidak memandang suku, budaya, jenis kelamin, bahkan umur. Papan catur adalah dunia, dimana setiap orang diperlakukan sama untuk bisa membuktikan diri, bisa kalah dan terpuruk namun bisa juga belajar dan mampu bangkit.
Mini seri ini berjalan cukup lambat terutama pada paruh awal sampai sepertiga akhir, membuat pertengahan episode terasa datar hampir tanpa klimaks atau konflik yang tajam. Dari tujuh episode, baru pada dua episode akhir saya menemukan plot yang dibuat lebih menanjak. Beruntung penonton dibuat bertahan dengan dialog dan performa ansambel cast yang seluruhnya tampil tanpa cela. Selain percakapan Jolene dan Beth dalam kendaraan yang terkesan dipaksakan karena sumpek dengan muatan pesan moral, dialog dalam seri ini sangat jujur, cerdas dan digarap dengan elegan. Di beberapa adegan ketika dialog tidak diperlukan, para karakter diberi ruang yang cukup luas untuk mengeksplorasi emosi secara lebih dalam.
Harry Melling yang terakhir saya tonton aktingnya di The Devil All the Time kembali memukau dalam seri ini. Dengan penampilan yang konsisten dan potensi yang terus berkembang dari sejak perannya menjadi bocah gendut perundung dalam Harry Potter, hanya menunggu waktu sampa ia mendapat peran utama yang lebih banyak. Nyaris tidak ada karakter antagonis yang bersikap lebay dan patut dibenci secara berlebihan, bahkan ada kesan para tokoh bersikap begitu natural bahkan sportif, sampai saya mengira ini adalah sebuah kisah nyata atau sebuah biopic. Tahun, lokasi, event pertandingan yang dibuat sangat nyata, ditambah dukungan teknis visual dengan sinematografi pewarnaan yang klasik dan teduh hasil CGI mewah, menjadikan seri dengan seting era 60an ini sangat meyakinkan.
Premis seri ini secara persusif dan alami tanpa ada usaha yang dipaksakan seperti berniat menampilkan semangat feminis sebagai nilai jual utama, selain tentu saja pencapaian mengagumkan si karakter utama dalam mengelola kehilangan dan traumatik masa lalu. Dalam satu adegan, sutradara juga tidak latah memasukan kritik pada agama yang memang tidak relevan dan punya set-up yang kokoh sejak awal, melainkan menyentil hipokrisi yang sering diambil orang-orang yang punya kesempatan untuk menjual integritas dan menjadi bermuka dua.
Menjadikan catur sebagai sarana pencarian jati diri Beth, sebagai karakter utama yang penuh luka perjalanan hidup, juga merupakan konsep yang sangat brilian dan solid. Karena catur adalah satu-satunya olahraga yang egaliter, yang tidak memandang suku, budaya, jenis kelamin, bahkan umur. Papan catur adalah dunia, dimana setiap orang diperlakukan sama untuk bisa membuktikan diri, bisa kalah dan terpuruk namun bisa juga belajar dan mampu bangkit.
Published on November 10, 2020 15:29
October 21, 2020
The Devil All the Time; Ironi Pada Agama dan Religiusitas
Kritik tajam terhadap agama dan religiusitas mistis dalam film drama thriller begitu unik. Menjadi variasi dan warna lain yang membedakan film ini dan film-film dengan kritik pada religiusitas ekstrimis ala terroris yang semakin klise.
Mengambil sisi penceritaan omniscient yang yang tahu segala hal, yang saya duga juga diambil dari penuturan asli novel, membuat ia semakin dekat dengan kritik pada kepercayaan manusia kepada Tuhan yang juga tahu segala hal. Tentu ia tidak mengajak untuk menolak agama, namun menyajikan ironi pada pemahaman para karakter terhadap kitab suci dan religiusitas yang membabi buta tanpa pikiran jernih.
Dibalut nuansa gelap dan depresif khas film triller, film ini menampilkan agama dari sisi tergelap sampai hal yang paling tulus, jernih dan baik. Pada kepercayaan yang total, ketulusan yang murni, sampai memunculkan agnotisme dalam perlawanan.
Akting seluruh pemerannya hampir tanpa cela. Bahkan keberhasilan akting Patinson membuat istri saya jijik. Logat, gaya dan suara sengau dengan dialek Selatan Amerika yang mengingatkan saya pada Trump, membuat ia mudah dibenci —sejak Trump jadi presiden, para aktor seperti punya acuan pasti untuk menjadi orang yang menyebalkan. Saya berharap Pattinson nanti bisa memerankan Batman dengan lebih bagus, walaupun mungkin dibenak istri saya, sebagus apapun Batman versi patinson nanti, ia dalam film ini sudah melekat bahkan mengalahkan perannya menjadi Vampir pucat.
Mengambil sisi penceritaan omniscient yang yang tahu segala hal, yang saya duga juga diambil dari penuturan asli novel, membuat ia semakin dekat dengan kritik pada kepercayaan manusia kepada Tuhan yang juga tahu segala hal. Tentu ia tidak mengajak untuk menolak agama, namun menyajikan ironi pada pemahaman para karakter terhadap kitab suci dan religiusitas yang membabi buta tanpa pikiran jernih.
Dibalut nuansa gelap dan depresif khas film triller, film ini menampilkan agama dari sisi tergelap sampai hal yang paling tulus, jernih dan baik. Pada kepercayaan yang total, ketulusan yang murni, sampai memunculkan agnotisme dalam perlawanan.
Akting seluruh pemerannya hampir tanpa cela. Bahkan keberhasilan akting Patinson membuat istri saya jijik. Logat, gaya dan suara sengau dengan dialek Selatan Amerika yang mengingatkan saya pada Trump, membuat ia mudah dibenci —sejak Trump jadi presiden, para aktor seperti punya acuan pasti untuk menjadi orang yang menyebalkan. Saya berharap Pattinson nanti bisa memerankan Batman dengan lebih bagus, walaupun mungkin dibenak istri saya, sebagus apapun Batman versi patinson nanti, ia dalam film ini sudah melekat bahkan mengalahkan perannya menjadi Vampir pucat.
Published on October 21, 2020 04:58
October 15, 2020
Blame Bernice, Uncle Fucka!
Adalah Bernice yang merekomendasikan saya untuk menonton South Park. Ia tidak menyarankan apapun dalam chatting, selain kata-kata andalan, “Southpark wae”. Sialnya, yang saya tonton adalah versi filmnya, South Park: Bigger, Longer & Uncut (1999), yang lebih kasar, vulgar dan sadis, yang belakangan saya ketahui bahwa pada tahun rilisnya, film itu dilarang tayang di 16 negara, termasuk Saudi Arabia, Vatikan dan tentu Negara-paska-reformasi kita tercinta.
Melihat tahun produksinya saja saya sudah gentar. 1999, tahun dimana saya masih unyu-unyu, sisiran belah tengah, dan masih bercita-cita menjadi Brama Kumbara atau Arya Kamandanu. Menonton film kartun musikal berdurasi 81 menit ini membuat saya bernostalgia ke era dimana masih ada TPI, Programa Dua, dan Barry Prima masih gondrong dan suka telanjang dada. Tanpa persiapan atau ekpektasi apapun, dengan polos saya menonton film yang menurut catatan IMDB terdapat 399 umpatan kasar. Itu artinya, dalam 1 menit ada 5 kali makian kotor yang kita dengar. Menurut saya, kebrutalan humornya setara dengan Borat atau Jendral Aladeen dalam The Dictator.
Mengambil sumber dari serial televisi South Park —yang juga tidak pernah saya tonton, film ini seperti punya landasan solid untuk membangun premis melalui karakter-karakter yang sudah lekat dengan penggemar. Walau tanpa itu, penonton pemula yang baik hati dan hapal Pancasila seperti saya, yang tidak pernah diperingatkan akan dampak efek psikisnya, masih bisa menikmati.
Film ini berkisah tentang empat anak (Stan Marsh, Kyle Broflovski, Eric Cartman, dan Kenny McCormick) yang menyusup ke dalam penayangan film khusus dewasa. Terrance dan Phillip dua aktor Kanada dalam film tersebut terus menerus mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat empat sekawan itu meniru. Pada akhirnya, ibu mereka meminta kepada pemerintah Amerika Serikat untuk menyatakan perang melawan Kanada karena dianggap telah merusak moral anak-anak mereka. Perang hanya karena film itu ibarat ibu-ibu jambak-jambakan di Indomaret hanya gara-gara rebutan Tuperware diskonan. Tidak berguna, tapi videonya bisa viral bahkan sampai ditonton alien di planet Namex.
Saya kira South Park bukan hanya animasi yang mengajarkan anak-anak untuk memaki, lebih dari itu film ini seperti sebuah protes artistik kepada para orang tua kolot dengan pemikiran usang. Film ini berhasil menunjukan dengan satir, gelap dan hiperbolis kritik terhadap kebebasan berpendapat dan sensor, juga sindiran tentang isu-isu sosial dan politik.
Tidak semua lucu. Karena kebanyakan joke sangat erat dengan kondisi dan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut, maka ada beberapa komedi yang sudah terlalu lawas. Ia tidak lucu bukan karena materinya tidak bagus, tapi tidak menemukan relevansi dan momentum. Tentu ada pengecualian, seperti perseteruan pembuat film ini dengan lembaga sensor Amerika MPAA, walaupun sudah lama berlalu tapi masih lucu. Sarkasme dalam dialog Sheila Broflovski, Ibu dari Kyle, masih bermakna sampai sekarang, “Remember what the MPAA says; Horrific, Deplorable violence is okay, as long as people don't say any naughty words! That's what this war is all about!”
Di Indonesia, selama perjuangan mengemukakan pendapat masih dibungkam atau diatur dan dipilah-pilih berdasarkan siapa yang berkuasa, selama yang memakai lelucon Gusdur tentang polisi dipolisikan, maka film ini akan terus relevan.
Walaupun butuh kedewasaan untuk mencerna komedi dunia-akhirat di film ini. Saddam Hussein yang saat itu masih hidup diceritakan sudah meninggal dan ada di neraka bersama setan. Penggambaran Saddam dengan humor yang gelap sebagai setan yang homoseksual bisa jadi tidak memancing tawa dan sangat menyakitkan terutama bagi orang-orang yang tidak bisa membedakan Arab, Islam, dan kesalehan.
Kita tahu akan selalu ada korban dalam komedi, selalu ada ketersinggungan, simplifikasi, hiperbola dan stereotype. Tidak ada komedi yang bersih. Pilihannya ada di tangan penonton, ingin menganggap film ini sampah atau bernilai seni. Apakah meneruskan menonton atau membuangnya ke tempat sampah. Di masa yang akan datang, akan lebih sulit menyensor segala macam tontonan. Keberhasilan sensor dan segala hiruk-pikuknya akan kembali kepada diri sendiri.
Akhirnya, walaupun banyak premis minor tentang berbagai isu yang diangkat, premis utama film ini sangat jelas yaitu sarkasme tentang menyalahkan orang lain terhadap apa yang terjadi pada kita. “Blame Canada” menjadi lagu yang bukan hanya menyindir orang yang tidak mau introspeksi dan segera menyalahkan pihak lain ketika sesuatu yang jelek terjadi pada mereka, namun juga sindiran terhadap arogansi Amerika.
Menarik karena walaupun dengan gaya yang kasar, film ini diisi deretan lagu-lagu sarat parodi lucu dan sindiran yang easy listening. Sayangnya, bukan "Blame Canada" yang mendapat nominasi Academy Award yang mengganggu telinga saya sampai sekarang; adalah “Uncle Fucka”. Saya tidak akan menyalahkan Canada atau para pembuat film ini atas lagu umpatan yang tidak bisa saya nyanyikan kepada atasan saya di kantor karena alasan kesopanan tapi terus mengiang-ngiang dalam telinga, bukan karena saya tidak mau tapi terlalu jauh untuk menyalahkan mereka, yang dekat dan terjangkau adalah orang yang merekomendasikan film ini.
Yes, it will be easier to blame Bernice!
Melihat tahun produksinya saja saya sudah gentar. 1999, tahun dimana saya masih unyu-unyu, sisiran belah tengah, dan masih bercita-cita menjadi Brama Kumbara atau Arya Kamandanu. Menonton film kartun musikal berdurasi 81 menit ini membuat saya bernostalgia ke era dimana masih ada TPI, Programa Dua, dan Barry Prima masih gondrong dan suka telanjang dada. Tanpa persiapan atau ekpektasi apapun, dengan polos saya menonton film yang menurut catatan IMDB terdapat 399 umpatan kasar. Itu artinya, dalam 1 menit ada 5 kali makian kotor yang kita dengar. Menurut saya, kebrutalan humornya setara dengan Borat atau Jendral Aladeen dalam The Dictator.
Mengambil sumber dari serial televisi South Park —yang juga tidak pernah saya tonton, film ini seperti punya landasan solid untuk membangun premis melalui karakter-karakter yang sudah lekat dengan penggemar. Walau tanpa itu, penonton pemula yang baik hati dan hapal Pancasila seperti saya, yang tidak pernah diperingatkan akan dampak efek psikisnya, masih bisa menikmati.
Film ini berkisah tentang empat anak (Stan Marsh, Kyle Broflovski, Eric Cartman, dan Kenny McCormick) yang menyusup ke dalam penayangan film khusus dewasa. Terrance dan Phillip dua aktor Kanada dalam film tersebut terus menerus mengeluarkan kata-kata kasar yang membuat empat sekawan itu meniru. Pada akhirnya, ibu mereka meminta kepada pemerintah Amerika Serikat untuk menyatakan perang melawan Kanada karena dianggap telah merusak moral anak-anak mereka. Perang hanya karena film itu ibarat ibu-ibu jambak-jambakan di Indomaret hanya gara-gara rebutan Tuperware diskonan. Tidak berguna, tapi videonya bisa viral bahkan sampai ditonton alien di planet Namex.
Saya kira South Park bukan hanya animasi yang mengajarkan anak-anak untuk memaki, lebih dari itu film ini seperti sebuah protes artistik kepada para orang tua kolot dengan pemikiran usang. Film ini berhasil menunjukan dengan satir, gelap dan hiperbolis kritik terhadap kebebasan berpendapat dan sensor, juga sindiran tentang isu-isu sosial dan politik.
Tidak semua lucu. Karena kebanyakan joke sangat erat dengan kondisi dan peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut, maka ada beberapa komedi yang sudah terlalu lawas. Ia tidak lucu bukan karena materinya tidak bagus, tapi tidak menemukan relevansi dan momentum. Tentu ada pengecualian, seperti perseteruan pembuat film ini dengan lembaga sensor Amerika MPAA, walaupun sudah lama berlalu tapi masih lucu. Sarkasme dalam dialog Sheila Broflovski, Ibu dari Kyle, masih bermakna sampai sekarang, “Remember what the MPAA says; Horrific, Deplorable violence is okay, as long as people don't say any naughty words! That's what this war is all about!”
Di Indonesia, selama perjuangan mengemukakan pendapat masih dibungkam atau diatur dan dipilah-pilih berdasarkan siapa yang berkuasa, selama yang memakai lelucon Gusdur tentang polisi dipolisikan, maka film ini akan terus relevan.
Walaupun butuh kedewasaan untuk mencerna komedi dunia-akhirat di film ini. Saddam Hussein yang saat itu masih hidup diceritakan sudah meninggal dan ada di neraka bersama setan. Penggambaran Saddam dengan humor yang gelap sebagai setan yang homoseksual bisa jadi tidak memancing tawa dan sangat menyakitkan terutama bagi orang-orang yang tidak bisa membedakan Arab, Islam, dan kesalehan.
Kita tahu akan selalu ada korban dalam komedi, selalu ada ketersinggungan, simplifikasi, hiperbola dan stereotype. Tidak ada komedi yang bersih. Pilihannya ada di tangan penonton, ingin menganggap film ini sampah atau bernilai seni. Apakah meneruskan menonton atau membuangnya ke tempat sampah. Di masa yang akan datang, akan lebih sulit menyensor segala macam tontonan. Keberhasilan sensor dan segala hiruk-pikuknya akan kembali kepada diri sendiri.
Akhirnya, walaupun banyak premis minor tentang berbagai isu yang diangkat, premis utama film ini sangat jelas yaitu sarkasme tentang menyalahkan orang lain terhadap apa yang terjadi pada kita. “Blame Canada” menjadi lagu yang bukan hanya menyindir orang yang tidak mau introspeksi dan segera menyalahkan pihak lain ketika sesuatu yang jelek terjadi pada mereka, namun juga sindiran terhadap arogansi Amerika.
Menarik karena walaupun dengan gaya yang kasar, film ini diisi deretan lagu-lagu sarat parodi lucu dan sindiran yang easy listening. Sayangnya, bukan "Blame Canada" yang mendapat nominasi Academy Award yang mengganggu telinga saya sampai sekarang; adalah “Uncle Fucka”. Saya tidak akan menyalahkan Canada atau para pembuat film ini atas lagu umpatan yang tidak bisa saya nyanyikan kepada atasan saya di kantor karena alasan kesopanan tapi terus mengiang-ngiang dalam telinga, bukan karena saya tidak mau tapi terlalu jauh untuk menyalahkan mereka, yang dekat dan terjangkau adalah orang yang merekomendasikan film ini.
Yes, it will be easier to blame Bernice!
Published on October 15, 2020 23:32
July 31, 2020
Pernikahan, Ilham dan Detik-Detik yang Menghancurkan
“Nuhun pisan, Bang!” katanya ketika saya ingin menyalami dan menyelamati di pelaminan.
“Bangsat lu, Ga!” respon saya sambil memeluknya.
Kami tertawa bersama.
Itu hari pernikahan kawan saya Rangga. Dalam usia yang belum menginjak 30, ia sudah menikah dua kali. Tentu tidak ada yang pantas dibanggakan akan perkara itu, kecuali anda Vicky Prasetyo.
Seminggu sebelum itu, saya main ke rumahnya, kunjungan pertama kali ke sana. Sore itu cerah dengan langit biru yang jernih, saya tiba di depan rumahnya ketika ia sedang siap-siap mengayak pasir. Di atas pintu depan rumah tertera plat bertuliskan KPR-BTN, tanpa nomor RT/RW.
“Sambil ngaduk ya, Bang,” Ia sedang merenovasi rumah bagian belakang. Saya duduk di kursi kecil, menemaninya mengaduk pasir dan semen sambil bercerita banyak hal. Terakhir kami bertemu sekitar 3 tahun yang lalu, banyak cerita yang terlewat.
Ia bercerita kalau setelah kegagalan pernikahannya yang pertama, sempat trauma dan enggan menikah lagi. Status duda membuatnya minder menjalin hubungan yang serius.
“Lu pernah bilang trauma, trus apa yang buat lu yakin sekarang?” tanya saya sambil menyeruput kopi dingin. Ia memutuskan untuk menikah lagi kali ini, dengan wanita yang baru dikenalnya, bahkan belum setahun.
“Gak tau, Bang.” Katanya sambil menyendok adukan ke dalam ember. Ia berhenti sebentar, duduk kemudia meneruskan, “Hidayah, mungkin.”
“Sama yang dulu juga lu bilang gitu,” saya tertawa.
“Iya, ya?” ia menggaruk kepala dan ikut tertawa, “ya pokoknya gitu lah, Bang.”
Walaupun tidak lengkap, ia pernah bercerita tentang kisah cintanya dari semenjak kuliah. Hubungannya dengan teman kuliah yang ia pacari beberapa tahun, yang masing-masing keluarga sudah pernah bertemu, akhirnya gagal dan putus. Tentu ia tidak menyerah, ia mencari pengganti dan memilih satu dari dua mantan, yang kemudian berlanjut pada pernikahan. Sayang pernikahan itu tidak berlangsung lama. Ia bercerai. Terpuruk. Sampai kemudian ia menjalin hubungan dengan yang berbeda agama, yang akhirnya juga kandas. Dan sekarang, ia menikah untuk yang kedua kali.
Pernikahan dilaksanakan tanggal 19 Juli. Karena masih masa pandemi, maka acara akan dilangsungkan dengan sederhana. Tanpa pesta mewah atau tamu undangan, hanya dirayakan dua keluarga mempelai. Tanggal 18 Juli, sehari sebelum hari pernikahan, saya menelponnya. Meminta alamat lokasi acara.
“Besok jadi jubir ya, Bang.” ia meminta dari seberang telpon. Sebelumnya memang ia sudah meminta, tapi belum pasti dan akan dikabari lagi, tentu bukan sehari sebelum hari H.
“Serius, Ga? Lah gua kira gak jadi. Emang gak ada keluarga yang bisa?” tanya saya.
“Gak ada, Bang. RT di sini juga baru, jadi gak mau.”
Dan begitulah saya, menjadi juru bicara mempelai pria dengan pemberitahuan yang sangat mendadak. Itu pengalaman pertama saya sebagai jubir pengantin. Di dalam kendaraan menuju lokasi, saya berkali-kali mengusap-usap tangan karena gugup, sementara Rangga yang menjadi calon mempelai kelihatan sangat santai. Maka “bangsat” adalah kata yang sangat cocok untuk menggambarkan keadaan itu. Seingat saya, ketika menikah saya tidak senervous itu.
Singkat cerita, alhamdulillah acara pernikahan berlangsung lancar sampai akhir. Peran yang diberikan juga bisa saya lakukan dengan baik, walau tidak istimewa. Saya senang bukan hanya karena tidak ada kendala tapi juga karena akhirnya kawan saya bisa move on dan menemukan keberanian untuk berumah tangga kembali.
Ia bilang pernikahan ini terjadi karena Hidayah, atau mungkin lebih tepat kalau saya sebut Ilham, atau Petunjuk Allah yang timbul di hati. Petunjuk ini bisa bermacam-macam, bisa melalui mimpi, bisikan di hati, tanda, isyarat dan hal-hal lain. Namun Petunjuk Tuhan pada sebuah pilihan adalah satu hal, dan mempertahankan pilihan itu adalah hal lain. Manusia tidak bisa mempersalahkan petunjuk yang ia anggap dari Tuhan atas sebuah pilihan, jika dikemudian hari pilihan itu diketahui menjadi pilihan yang buruk. Karena bersandar dan pasrah hanya pada “Petunjuk Tuhan” saja tidak cukup. Manusia juga diberikan tanggungjawab untuk berusaha, ditimpa cobaan dan musibah untuk menguji keimanan. Maka seperti banyak orang katakan, memulai itu mudah, yang sulit adalah mempertahankan.
Saya mengenal Rangga sebagai anak yang baik, mudah bergaul, senang membantu, asik diajak bercanda, dan banyak hal baik lain. Ia bilang saya adalah orang yang rajin belajar, tapi sejujurnya saya banyak belajar dari perjalanan hidupnya. Darinya saya belajar bahwa butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan, dan hanya butuh beberapa detik untuk menghancurkannya.
Kenangan seindah atau seburuk apapun pada akhirnya hanya ada dalam ingatan. Terhadap pengalaman yang buruk kita menyesal, bertanya mengapa hal itu bisa terjadi, mengapa kita bisa melakukan hal seburuk itu. Pada pengalaman yang baik kita menjaga, terkadang mengenangnya, walau tidak sempurna. Bahkan kenangan-kenangan baik bisa hilang tak bermakna. Orang-orang yang pernah dekat, sekarang bisa menjadi sangat jauh atau dibenci, yang nomor telpon, social media dihapus, bahkan namanya tidak ingin didengar. Perasaan yang tidak dikendalikan pikiran, bisa membuat orang bertindak kejam. Sekejam melupakan dan menganggap seseorang tidak pernah ada. Semua sikap itu tentu pilihan. Sebagaimana kemampuan memaafkan dan merelakan juga sebuah pilihan.
Umur Rangga memang di bawah umur saya, namun saya percaya bahwa kedewasaan itu adalah tentang pelajaran yang kita dapat dari pengalaman, bukan tentang seberapa banyak ulang tahun yang dirayakan. Einstein pernah bilang, “Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman.”
Saya tidak mengatakan kawan yang paling tahu apalagi mengerti Rangga. Walaupun begitu, sebagai kawan, saya senang jika bisa membantu. Saya senang bisa menjadi bagian dari pernikahannya.
Sambil menunduk, saya mengangkat tangan mengamini doa yang dipimpin oleh penghulu.
“Allahumma alif baynahuma, kama allafta bayna adam wa hawa, wa allif baynahuma kama allafta bayna Yusuf wa zulaykha, wa allif baynahuma kama allafta bayna ‘ali ibni abi Talib wa fatimatazahra, wa allif baynahuma kama allafta bayna sayyidina Muhammad wa khadijatalkubra,”
“Ya Allah, satukan, lembutkan hati mereka berdua seperti Engkau menyatukan Adam dan Hawa, seperti Yusuf dan Zulaikha, seperti Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, seperti Sayyidina Muhammad dan Sayyidah Khadijah al-Kubro.”
Saya mengamini dan dengan sepenuh hati menambahkan, “Baarakallahu lakuma wa baarakaa alaikuma wa jamaa bainakumaa fii khoir. Mudah-mudahan Allah memberkahi kalian berdua, dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kalian berdua pada kebaikan.”
Allahumma aamiin.
“Bangsat lu, Ga!” respon saya sambil memeluknya.
Kami tertawa bersama.
Itu hari pernikahan kawan saya Rangga. Dalam usia yang belum menginjak 30, ia sudah menikah dua kali. Tentu tidak ada yang pantas dibanggakan akan perkara itu, kecuali anda Vicky Prasetyo.
Seminggu sebelum itu, saya main ke rumahnya, kunjungan pertama kali ke sana. Sore itu cerah dengan langit biru yang jernih, saya tiba di depan rumahnya ketika ia sedang siap-siap mengayak pasir. Di atas pintu depan rumah tertera plat bertuliskan KPR-BTN, tanpa nomor RT/RW.
“Sambil ngaduk ya, Bang,” Ia sedang merenovasi rumah bagian belakang. Saya duduk di kursi kecil, menemaninya mengaduk pasir dan semen sambil bercerita banyak hal. Terakhir kami bertemu sekitar 3 tahun yang lalu, banyak cerita yang terlewat.
Ia bercerita kalau setelah kegagalan pernikahannya yang pertama, sempat trauma dan enggan menikah lagi. Status duda membuatnya minder menjalin hubungan yang serius.
“Lu pernah bilang trauma, trus apa yang buat lu yakin sekarang?” tanya saya sambil menyeruput kopi dingin. Ia memutuskan untuk menikah lagi kali ini, dengan wanita yang baru dikenalnya, bahkan belum setahun.
“Gak tau, Bang.” Katanya sambil menyendok adukan ke dalam ember. Ia berhenti sebentar, duduk kemudia meneruskan, “Hidayah, mungkin.”
“Sama yang dulu juga lu bilang gitu,” saya tertawa.
“Iya, ya?” ia menggaruk kepala dan ikut tertawa, “ya pokoknya gitu lah, Bang.”
Walaupun tidak lengkap, ia pernah bercerita tentang kisah cintanya dari semenjak kuliah. Hubungannya dengan teman kuliah yang ia pacari beberapa tahun, yang masing-masing keluarga sudah pernah bertemu, akhirnya gagal dan putus. Tentu ia tidak menyerah, ia mencari pengganti dan memilih satu dari dua mantan, yang kemudian berlanjut pada pernikahan. Sayang pernikahan itu tidak berlangsung lama. Ia bercerai. Terpuruk. Sampai kemudian ia menjalin hubungan dengan yang berbeda agama, yang akhirnya juga kandas. Dan sekarang, ia menikah untuk yang kedua kali.
Pernikahan dilaksanakan tanggal 19 Juli. Karena masih masa pandemi, maka acara akan dilangsungkan dengan sederhana. Tanpa pesta mewah atau tamu undangan, hanya dirayakan dua keluarga mempelai. Tanggal 18 Juli, sehari sebelum hari pernikahan, saya menelponnya. Meminta alamat lokasi acara.
“Besok jadi jubir ya, Bang.” ia meminta dari seberang telpon. Sebelumnya memang ia sudah meminta, tapi belum pasti dan akan dikabari lagi, tentu bukan sehari sebelum hari H.
“Serius, Ga? Lah gua kira gak jadi. Emang gak ada keluarga yang bisa?” tanya saya.
“Gak ada, Bang. RT di sini juga baru, jadi gak mau.”
Dan begitulah saya, menjadi juru bicara mempelai pria dengan pemberitahuan yang sangat mendadak. Itu pengalaman pertama saya sebagai jubir pengantin. Di dalam kendaraan menuju lokasi, saya berkali-kali mengusap-usap tangan karena gugup, sementara Rangga yang menjadi calon mempelai kelihatan sangat santai. Maka “bangsat” adalah kata yang sangat cocok untuk menggambarkan keadaan itu. Seingat saya, ketika menikah saya tidak senervous itu.
Singkat cerita, alhamdulillah acara pernikahan berlangsung lancar sampai akhir. Peran yang diberikan juga bisa saya lakukan dengan baik, walau tidak istimewa. Saya senang bukan hanya karena tidak ada kendala tapi juga karena akhirnya kawan saya bisa move on dan menemukan keberanian untuk berumah tangga kembali.
Ia bilang pernikahan ini terjadi karena Hidayah, atau mungkin lebih tepat kalau saya sebut Ilham, atau Petunjuk Allah yang timbul di hati. Petunjuk ini bisa bermacam-macam, bisa melalui mimpi, bisikan di hati, tanda, isyarat dan hal-hal lain. Namun Petunjuk Tuhan pada sebuah pilihan adalah satu hal, dan mempertahankan pilihan itu adalah hal lain. Manusia tidak bisa mempersalahkan petunjuk yang ia anggap dari Tuhan atas sebuah pilihan, jika dikemudian hari pilihan itu diketahui menjadi pilihan yang buruk. Karena bersandar dan pasrah hanya pada “Petunjuk Tuhan” saja tidak cukup. Manusia juga diberikan tanggungjawab untuk berusaha, ditimpa cobaan dan musibah untuk menguji keimanan. Maka seperti banyak orang katakan, memulai itu mudah, yang sulit adalah mempertahankan.
Saya mengenal Rangga sebagai anak yang baik, mudah bergaul, senang membantu, asik diajak bercanda, dan banyak hal baik lain. Ia bilang saya adalah orang yang rajin belajar, tapi sejujurnya saya banyak belajar dari perjalanan hidupnya. Darinya saya belajar bahwa butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan, dan hanya butuh beberapa detik untuk menghancurkannya.
Kenangan seindah atau seburuk apapun pada akhirnya hanya ada dalam ingatan. Terhadap pengalaman yang buruk kita menyesal, bertanya mengapa hal itu bisa terjadi, mengapa kita bisa melakukan hal seburuk itu. Pada pengalaman yang baik kita menjaga, terkadang mengenangnya, walau tidak sempurna. Bahkan kenangan-kenangan baik bisa hilang tak bermakna. Orang-orang yang pernah dekat, sekarang bisa menjadi sangat jauh atau dibenci, yang nomor telpon, social media dihapus, bahkan namanya tidak ingin didengar. Perasaan yang tidak dikendalikan pikiran, bisa membuat orang bertindak kejam. Sekejam melupakan dan menganggap seseorang tidak pernah ada. Semua sikap itu tentu pilihan. Sebagaimana kemampuan memaafkan dan merelakan juga sebuah pilihan.
Umur Rangga memang di bawah umur saya, namun saya percaya bahwa kedewasaan itu adalah tentang pelajaran yang kita dapat dari pengalaman, bukan tentang seberapa banyak ulang tahun yang dirayakan. Einstein pernah bilang, “Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman.”
Saya tidak mengatakan kawan yang paling tahu apalagi mengerti Rangga. Walaupun begitu, sebagai kawan, saya senang jika bisa membantu. Saya senang bisa menjadi bagian dari pernikahannya.
Sambil menunduk, saya mengangkat tangan mengamini doa yang dipimpin oleh penghulu.
“Allahumma alif baynahuma, kama allafta bayna adam wa hawa, wa allif baynahuma kama allafta bayna Yusuf wa zulaykha, wa allif baynahuma kama allafta bayna ‘ali ibni abi Talib wa fatimatazahra, wa allif baynahuma kama allafta bayna sayyidina Muhammad wa khadijatalkubra,”
“Ya Allah, satukan, lembutkan hati mereka berdua seperti Engkau menyatukan Adam dan Hawa, seperti Yusuf dan Zulaikha, seperti Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, seperti Sayyidina Muhammad dan Sayyidah Khadijah al-Kubro.”
Saya mengamini dan dengan sepenuh hati menambahkan, “Baarakallahu lakuma wa baarakaa alaikuma wa jamaa bainakumaa fii khoir. Mudah-mudahan Allah memberkahi kalian berdua, dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kalian berdua pada kebaikan.”
Allahumma aamiin.
Published on July 31, 2020 21:14
July 28, 2020
Perasaan Ini Tidak Pernah Bisa Sederhana
Aroma garam pada siang yang cerah berganti suara ombak dihembus angin selatan yang tenang. Langit berpendar bulan separuh tertutup kabut dan mendung, sebuah bintang bersinar tangguh namun akhirnya kalah, redup dan menyerah. Di kamar ini hanya ada kita, dan aku masih menatap anak-anak yang tertidur pulas karena letih bermain air seharian, sebagian seprai yang mereka tiduri basah karena ompol.
Tadi sore udara dingin bertiup menerbangkan raksi pokok kayu, menggigilkan kulit dingin sehabis terbasuh air. Cericit burung di dahan-dahan yang tinggi beriringan dengan derau jeram aliran sungai yang beriak karena tangan-tangan kecil menghangatkan suasana. Kecipak air dan tawa mereka menggema seperti suara peri di pucuk-pucuk daun-daun hutan.
Sinar mentari pagi merambat, menyapa embun di puncak pohon pinus, kabut di jalan mulai naik ke atas bukit kemudian hilang ditelan langit. Aku membuka jendela lebih lebar mempersilahkan udara masuk, mengamati anak-anak yang bermain di bawah naungan atap tingkap. Kamu sudah terjaga, memeluk selimut putih yang kusut penuh ruas, menemani Aira yang masih belum mau beranjak dari kasur.
Dalam seluruh kesadaran itu, aku menghayati waktu yang berjalan perlahan.
Pada kenangan di hamparan masa yang terus terbentang, kita hanya sebutir pasir. Dari sejak kita pergi ke Majalengka 11 tahun yang lalu, waktu seperti bergegas cepat, menacapkan tapal sejarah dan terus melaju. Walaupun ia selalu berada di belakang dan tidak pernah berhasil mengejar kita yang sekarang. Kita melihatnya sesekali dalam album kenangan berwarna lusuh penuh corak kekuningan pada ingatan yang semakin rapuh.
Apa yang kamu rasakan saat-saat itu? Dan apa yang kamu rasakan saat ini ketika mengenangnya?
Bahasa tidak akan punya cukup ungkapan dan selalu miskin untuk menggambarkan emosi. Karena tidak sama duka ketika kamu kehilangan dan kesakitan. Berbeda pilu ketika usiamu 5 dan 23 bahkan terhadap sesuatu yang sama. Tidak persis lara yang kamu rasa dengan seekor rusa yang kehilangan anaknya. Lain kecewa yang kamu alami hari ini, kemarin, atau lusa. Ada jarak antara murammu di sini dan di tengah tempat antah berantah. Tambahkan perasaan lain dan kamu tidak akan menemukan nama dan kosakata untuk merangkumnya.
Kemudian apakah kamera bisa menangkap rasa? Bagaimanapun, video atau foto, tidak mungkin utuh mencakup dan menerjemahkan perasaan bahagia ketika kamu melihat pantulan senja jingga di air kolam bersama suara tawa anak-anak yang bermain air, atau perasaan tenang ketika kita berpelukan meringkuk di bawah selimut yang tebal sementara di luar kemah suara gemircik air dan udara dingin menusuk tulang, atau perasaan damai karena kebersamaan di rumah yang nyaman pada sebuah sore yang hujan ditemani kudapan hangat. Alat penangkap gambar itu memberi batas yang tentu lebih kecil dari sebuah realitas yang senyatanya, lebih kecil dari apa yang kita rasa di hati.
Bahwa rasa ini tidak bernama bukan karena ia tak bermakna, tapi karena kata tidak akan pernah bisa dan selalu gagal merangkum kemudian memberi istilah padanya. Bahagia, tenang, damai dan cinta tidak pernah sederhana.
Aku tahu, tidak ada cinta yang sempurna sebagaimana tidak ada penderitaan dan keputusasaan yang sempurna. Pada perasan-perasan yang berjalin dan berkelindan, kita menguji diri untuk saling menerima kekecewaan, merelakan kelalaian-kelalaian kecil, perdebatan-perdebatan kecil, kehawatiran dan kecemasan yang sesaat dibandingkan dengan langkah kita yang masih panjang. Kita saling membaca dan menekuni lika-liku dan keruwetan masing-masing.
Terimakasih untuk sinisme, humor, perhatian, dan wangimu. Terimakasih untuk penghargaan, hadiah-hadiah, persahabatan, dan meruah rasa. Maka perasaanku padamu berubah, mencari ukuran yang tidak akan pernah cukup. Maka kerinduanku padamu berbunga menuju sesuatu yang tidak sempat sempurna. Renjana ini tidak akan menemukan wadah serasi dan terus mencari bentuk yang utuh sampai setiap degup jantung hening.
Apakah orang lain perlu tahu tentang gembira-rindu-puas-damai-baik-beruntung-cerah-sendu-hitam-biru-ungu tumpang tindih rasa ini? Jika kamu menghayatinya dalam hati, seperti kesadaranku saat ini, maka untukku sudah cukup. Anggapan orang lain menjadi tidak penting.
Hari ini, di hadapan perasaan dan kenangan itu, mari kita bersyukur sejenak, karena kita masih di sini, berpegang tangan dalam kesadaran.
Tadi sore udara dingin bertiup menerbangkan raksi pokok kayu, menggigilkan kulit dingin sehabis terbasuh air. Cericit burung di dahan-dahan yang tinggi beriringan dengan derau jeram aliran sungai yang beriak karena tangan-tangan kecil menghangatkan suasana. Kecipak air dan tawa mereka menggema seperti suara peri di pucuk-pucuk daun-daun hutan.
Sinar mentari pagi merambat, menyapa embun di puncak pohon pinus, kabut di jalan mulai naik ke atas bukit kemudian hilang ditelan langit. Aku membuka jendela lebih lebar mempersilahkan udara masuk, mengamati anak-anak yang bermain di bawah naungan atap tingkap. Kamu sudah terjaga, memeluk selimut putih yang kusut penuh ruas, menemani Aira yang masih belum mau beranjak dari kasur.
Dalam seluruh kesadaran itu, aku menghayati waktu yang berjalan perlahan.
Pada kenangan di hamparan masa yang terus terbentang, kita hanya sebutir pasir. Dari sejak kita pergi ke Majalengka 11 tahun yang lalu, waktu seperti bergegas cepat, menacapkan tapal sejarah dan terus melaju. Walaupun ia selalu berada di belakang dan tidak pernah berhasil mengejar kita yang sekarang. Kita melihatnya sesekali dalam album kenangan berwarna lusuh penuh corak kekuningan pada ingatan yang semakin rapuh.
Apa yang kamu rasakan saat-saat itu? Dan apa yang kamu rasakan saat ini ketika mengenangnya?
Bahasa tidak akan punya cukup ungkapan dan selalu miskin untuk menggambarkan emosi. Karena tidak sama duka ketika kamu kehilangan dan kesakitan. Berbeda pilu ketika usiamu 5 dan 23 bahkan terhadap sesuatu yang sama. Tidak persis lara yang kamu rasa dengan seekor rusa yang kehilangan anaknya. Lain kecewa yang kamu alami hari ini, kemarin, atau lusa. Ada jarak antara murammu di sini dan di tengah tempat antah berantah. Tambahkan perasaan lain dan kamu tidak akan menemukan nama dan kosakata untuk merangkumnya.
Kemudian apakah kamera bisa menangkap rasa? Bagaimanapun, video atau foto, tidak mungkin utuh mencakup dan menerjemahkan perasaan bahagia ketika kamu melihat pantulan senja jingga di air kolam bersama suara tawa anak-anak yang bermain air, atau perasaan tenang ketika kita berpelukan meringkuk di bawah selimut yang tebal sementara di luar kemah suara gemircik air dan udara dingin menusuk tulang, atau perasaan damai karena kebersamaan di rumah yang nyaman pada sebuah sore yang hujan ditemani kudapan hangat. Alat penangkap gambar itu memberi batas yang tentu lebih kecil dari sebuah realitas yang senyatanya, lebih kecil dari apa yang kita rasa di hati.
Bahwa rasa ini tidak bernama bukan karena ia tak bermakna, tapi karena kata tidak akan pernah bisa dan selalu gagal merangkum kemudian memberi istilah padanya. Bahagia, tenang, damai dan cinta tidak pernah sederhana.
Aku tahu, tidak ada cinta yang sempurna sebagaimana tidak ada penderitaan dan keputusasaan yang sempurna. Pada perasan-perasan yang berjalin dan berkelindan, kita menguji diri untuk saling menerima kekecewaan, merelakan kelalaian-kelalaian kecil, perdebatan-perdebatan kecil, kehawatiran dan kecemasan yang sesaat dibandingkan dengan langkah kita yang masih panjang. Kita saling membaca dan menekuni lika-liku dan keruwetan masing-masing.
Terimakasih untuk sinisme, humor, perhatian, dan wangimu. Terimakasih untuk penghargaan, hadiah-hadiah, persahabatan, dan meruah rasa. Maka perasaanku padamu berubah, mencari ukuran yang tidak akan pernah cukup. Maka kerinduanku padamu berbunga menuju sesuatu yang tidak sempat sempurna. Renjana ini tidak akan menemukan wadah serasi dan terus mencari bentuk yang utuh sampai setiap degup jantung hening.
Apakah orang lain perlu tahu tentang gembira-rindu-puas-damai-baik-beruntung-cerah-sendu-hitam-biru-ungu tumpang tindih rasa ini? Jika kamu menghayatinya dalam hati, seperti kesadaranku saat ini, maka untukku sudah cukup. Anggapan orang lain menjadi tidak penting.
Hari ini, di hadapan perasaan dan kenangan itu, mari kita bersyukur sejenak, karena kita masih di sini, berpegang tangan dalam kesadaran.
Published on July 28, 2020 04:01
July 22, 2020
puisi untuk sapardi
ia meletakan sekuntum bunga di jantung puisi
di dalam sana ruh kita saling menyapa
pada usia yang setara
tak ada yang lebih duka
dari fana waktu
tak ada lagi cinta kayu kepada api
tak ada hari nanti atau hari ini
“hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu” *
aku menjadi ricik
karna mencintaimu
dan kau menjadi puisi
dalam wajah rembulan
-------------------------
* bait dalam puisi Hanya - SDD
di dalam sana ruh kita saling menyapa
pada usia yang setara
tak ada yang lebih duka
dari fana waktu
tak ada lagi cinta kayu kepada api
tak ada hari nanti atau hari ini
“hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu” *
aku menjadi ricik
karna mencintaimu
dan kau menjadi puisi
dalam wajah rembulan
-------------------------
* bait dalam puisi Hanya - SDD
Published on July 22, 2020 22:12
July 8, 2020
HARI KEBERUNTUNGAN SUSAN
Oleh: Nada Narendradhitta
Pada suatu pagi, Susan Si Tupai sedang mencari makan. Hari itu sangat gelap walau masih pagi, Susan mendongak, ia melihat sesuatu di langit, “Oh, itu seperti meteor bentuk hati yang diceritakan nenek.” ujarnya kepada diri sendiri. Meteor itu menyala seperti api, berwarna pink, ekornya seperti buntut rubah, melayang dari barat ke timur, ke arah matahari yang tertutup awan. Matahari yang tertutup awan membuat meteor itu lebih kelihatan.
Tiba-tiba Lily Si Kelinci datang, “Hai Susan kamu sedang apa!?”
“Oh! Lily kau membuatku kaget!” Susan yang sedang bengong memandagi langit berseru sebal.
“Hehehe, maaf Susan” jawab Lily sambil tertawa, tawanya terdengar lembut.
“Ngomang-ngomong...” kata Susan.
“…Langit gelap sekali ya,” Lily melanjutkan.
“He-eh. Kamu lihat meteor bentuk hati gak?” tanya Susan agak tidak sabar.
“Mmm kurasa aku tidak melihatnya” jawab Lily.
“Haloo kalian sedang apa?” tanya Peter Si Kura-Kura.
“Kakek lihat meteor bentuk hati gak?” tanya Susan.
“Oh ya! Jam berapa? Katanya binatang yang melihat itu akan beruntung,” kata kakek Peter.
“Iya aku tadi pagi melihatnya, baru saja Kek!” kata Susan.
“Wow kau beruntung, Sus” kata Lily mulai mengerti.
Susan mengangguk tak acuh, ia mendongak matanya tertuju pada buah kenari besar di pohon.
Malam harinya Susan tersentak bangun karena ia haus. Dia pergi ke dapur untuk membuat minuman hangat, lalu ia melihat sesuatu, terang benderang di hutan. Dari rumah pohon yang besar, ia melihat melewati jendela dapur yang besar. Susan penasaran Lalu ia keluar mencari sumber terang itu, dia memanjat dari pohon ke pohon, dan apa yang Susan lihat?
Yang dia lihat adalah… Bintang!!
“Apa yang terjadi kenapa kamu di sini?!” tanya Susan penasaran.
“Aku jatuh.” Kata bintang itu, “Aku ingin kembali ke angkasa.”
“Mmm sepertinya aku bisa bantu kamu” kata Susan sambil berpikir, “Eh kamu tungu di sini dulu ya,” kata Susan lalu pergi.
Lima menit kemudian Susan kembali lagi membawa sesuatu yang cukup besar, “Ini adalah balon udara buatanku sendiri” kata Susan, “Kamu akan bisa terbang menggunakan ini…”
“Ooh kamu baik sekali!” seru sang bintang, “Ini hadiah untukmu.”
Si Bintang mengubah Susan menjadi… Ratu!! Ratu Bintang, sejak saat itu Susan tinggal di atas awan, dan saat Susan ingin bermain dengan temannya dia akan turun lagi ke hutan, dan kembali ke awan sesudah bermain.
Pada suatu pagi, Susan Si Tupai sedang mencari makan. Hari itu sangat gelap walau masih pagi, Susan mendongak, ia melihat sesuatu di langit, “Oh, itu seperti meteor bentuk hati yang diceritakan nenek.” ujarnya kepada diri sendiri. Meteor itu menyala seperti api, berwarna pink, ekornya seperti buntut rubah, melayang dari barat ke timur, ke arah matahari yang tertutup awan. Matahari yang tertutup awan membuat meteor itu lebih kelihatan.
Tiba-tiba Lily Si Kelinci datang, “Hai Susan kamu sedang apa!?”
“Oh! Lily kau membuatku kaget!” Susan yang sedang bengong memandagi langit berseru sebal.
“Hehehe, maaf Susan” jawab Lily sambil tertawa, tawanya terdengar lembut.
“Ngomang-ngomong...” kata Susan.
“…Langit gelap sekali ya,” Lily melanjutkan.
“He-eh. Kamu lihat meteor bentuk hati gak?” tanya Susan agak tidak sabar.
“Mmm kurasa aku tidak melihatnya” jawab Lily.
“Haloo kalian sedang apa?” tanya Peter Si Kura-Kura.
“Kakek lihat meteor bentuk hati gak?” tanya Susan.
“Oh ya! Jam berapa? Katanya binatang yang melihat itu akan beruntung,” kata kakek Peter.
“Iya aku tadi pagi melihatnya, baru saja Kek!” kata Susan.
“Wow kau beruntung, Sus” kata Lily mulai mengerti.
Susan mengangguk tak acuh, ia mendongak matanya tertuju pada buah kenari besar di pohon.
Malam harinya Susan tersentak bangun karena ia haus. Dia pergi ke dapur untuk membuat minuman hangat, lalu ia melihat sesuatu, terang benderang di hutan. Dari rumah pohon yang besar, ia melihat melewati jendela dapur yang besar. Susan penasaran Lalu ia keluar mencari sumber terang itu, dia memanjat dari pohon ke pohon, dan apa yang Susan lihat?
Yang dia lihat adalah… Bintang!!
“Apa yang terjadi kenapa kamu di sini?!” tanya Susan penasaran.
“Aku jatuh.” Kata bintang itu, “Aku ingin kembali ke angkasa.”
“Mmm sepertinya aku bisa bantu kamu” kata Susan sambil berpikir, “Eh kamu tungu di sini dulu ya,” kata Susan lalu pergi.
Lima menit kemudian Susan kembali lagi membawa sesuatu yang cukup besar, “Ini adalah balon udara buatanku sendiri” kata Susan, “Kamu akan bisa terbang menggunakan ini…”
“Ooh kamu baik sekali!” seru sang bintang, “Ini hadiah untukmu.”
Si Bintang mengubah Susan menjadi… Ratu!! Ratu Bintang, sejak saat itu Susan tinggal di atas awan, dan saat Susan ingin bermain dengan temannya dia akan turun lagi ke hutan, dan kembali ke awan sesudah bermain.
Published on July 08, 2020 19:16