Sekolah Murid Merdeka; Semua Murid, Semua Guru
Pada tahun 2019 --tahun pertama SMM dibuka, ketika mencari PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) untuk keperluan memperoleh ijasah SD Nada, kami menemukan SMM (Sekolah Murid Merdeka).
Salah satu alasan keluarga kami memutuskan Homeschooling adalah karena kami menganggap Sekolah Konvensional terlalu banyak memasukan mata pelajaran yang seringkali sudah tidak relevan dan kurang dibutuhkan anak. Di Sekolah Murid Merdeka, sebagaimana kita bisa tebak dari namanya, menerapkan Kurikulum Merdeka yang salah satu karakteristiknya adalah pengurangan cakupan materi dibanding kurikulum nasional sebelumnya.
Sering sekali saya menemukan ekspektasi yang tidak realistis baik dari orangtua atau siapapun tentang kemampuan murid dan juga kemampuan guru terkait konten pelajaran. Di era informasi sekarang ini, intensi untuk melengkapi pengetahuan murid dengan pelajaran yang “just in case diperlukan" memang semakin menjadi-jadi, namun desainer kurikulum yang baik, seharusnya bisa memilih relevansi bukan hanya pada zaman tapi juga pada keunikan dan kondisi sosial anak atau personalisasi.
Sama dengan Homeschooling, kostumisasi atau personalisasi adalah hal yang seharusnya ada dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan yang memberi ruang untuk keunikan dan kondisi sosial anak sehingga potensi terbaik anak bisa jauh lebih berkembang. Contoh paling sederhana dalam hal personalisasi di SMM adalah anak-anak dibebaskan untuk menyelesaikan tugas menggunakan halyang mereka kuasai dan senangi. Bisa melalui visual, gambar, atau video, bisa berbentuk tulisan atau karya sastra, musik atau yang lainnya. Di SMM perbedaan dan ide selalu dihargai.
Personalisasi hanya akan mungkin terjadi apabila isi kurikulum memberi ruang dan waktu yang cukup kepada murid. Itu bisa dilakukan lewat pendekatan yang menempatkan murid sebagai pengendali proses belajarnya sendiri. Sekolah Murid Merdeka yang digagas oleh Najelaa Shihab memang dirancang untuk menjadi sekolah dengan kurikulum inovatif yang berpihak pada anak atau murid. Keberpihakan pada murid yang dituangkan dalam cakupan kurikulum, selain lebih mengakomodir personalitas siswa juga lebih kontekstual dan relevan. Dalam sebuah artikel Najelaa menjelaskan bahwa ada dua pertanyaan yang lazim berulang dalam musyawarah Guru tentang cakupan kurikulum di SMM, yaitu:
Di antara semua yang menarik untuk menjadi cakupan kurikulum, mana yang akan berguna bagi murid 5-10-20 tahun yang akan datang saat saya sebagai guru bertemu mereka di masa depan?Jika ini penting diajarkan, apakah sekarang, di periode usia/jenjang pendidikan ini adalah waktu tertepat berkaitan tingkat kesiapan anak untuk anak belajar?Cakupan kurikulum memang selalu soal prioritas. Sehingga kurikulum yang baik adalah kurikulum yang kontekstual. Seringkali, ada topik yang sebenarnya bagian yang esensial untuk generasi Z, tapi terlewat dalam cakupan kurikulum, contohnya tentang pendidikan seksualitas atau spiritualitas, atau juga materi lintas jenjang seperti materi terkait demokrasi dan kebangsaan.
Salah satu hal yang perlu dipikirkan juga oleh perancang kurikulum adalah memilih materi yang paling berkait dengan bidang ilmu lain. Materi lintas jenjang dan lintas mata pelajaran ini penting dipikirkan agar semakin terjadinya kesinambungan dalam pembelajaran. Otonomi guru dalam kontekstualisasi kurikulum, juga perlu dibarengi dengan adanya “tes relevansi” untuk setiap materi yang bukan hanya dilakukan satu (tahun ajaran) sekali, tetapi terus berefleksi tentang fleksibilitas konten yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi murid yang harus dipenuhi.
Prioritas-prioritas cakupan inilah yang terus diusahakan oleh SMM pada lintas jenjang, lintas mata pelajaran dan menjadi acuan berkesinambungan. Hasil karya berkait ini, menjadi inti asesmen yang juga berulang, diobservasi dan dinilai lintas tahun ajaran. Salah satu contohnya di SMM; menghasilkan paragraf esai. Bagaimana membuat pernyataan dan kesimpulan, menjelaskan latar belakang dan mendeskripsikan kompleksitas dengan pemilihan kata, kelancaran kalimat dan konvensi yang tepat adalah salah satu aspek kompetensi yang dibutuhkan lintas profesi.
Keistimewaan SMM yang saya sebutkan di atas memang terdengar mewah dan ideal, namun sayangnya banyak orangtua murid SMM yang luput memahami bahwa tradisi tanggungjawab orangtua di SMM berbeda dengan paradigma lama yang menyerahkan sepenuhnya anak ke sekolah tanpa peduli lagi. Semua murid semua guru bukan hanya slogan namun ingin dijadikan budaya oleh SMM. Dengan begitu, diharapkan orangtua dan sekolah mampu menciptakan kolaborasi atau kerjasama. Kolaborasi itu terjalin antara orangtua dan murid, dimana orangtua memiliki peran terpusat saat anak belajar di rumah. Pendampingan orang tua menjadi hal penting untuk bisa mendukung semangat belajar anak.
Kurikulum Merdeka Belajar sebenarnya sedang digaungkan dan coba diterapkan oleh pemerintah melalui Mentri pendidikan Nadiem Makarim. Selogan Merdeka Belajar sendiri merupakan pinjaman dari Sekolah Cikal (sekolah yang menginisiasi SMM) yang lebih jauh meminjam dari Ki Hadjar Dewantara. Namun kurikulum hanyalah kurikulum, yang membuat itu berarti adalah manusia di belakangnya yang secara kreatif bisa membuat kurikulum tersebut berjalan sesuai tujuan.
Saya pernah beberapa tahun menjadi Guru, dan sejauh pengalaman saya, sulit untuk mengubah budaya korup dan stagnasi dalam jajaran birokrasi Kementrian Pendidikan ini. Bagi orang-orang yang masih punya idealisme, masuk ke birokrasi pemerintah memang sering membuat frustasi. Mungkin saja perubahan di tingkat atas bisa lebih mudah dilakukan, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa perubahan kebijakan, tidak menjamin perubahan di lapangan, apalagi paradigma usang tentang pendidikan yang sudah langgeng selama bertahun-tahun selalu menjadi penghambat utama reformasi.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kurikulum merdeka yang memberdayakan konteks mungkin diterapkan dalam praktek di lapangan? Jawabannya bisa. Walaupun tentu bukan keputusan mudah karena jika ada sekolah yang mencoba menerapkan kemerdekaan belajar seperti itu, pola ujian (assessment) dari pemerintah yang ada sekarang belum sama merdekanya. Bagaimanapun tidak akan bisa ada perubahan dalam upaya konstektualisasi kurikulum, tanpa perubahan di standar penilaian. Memang butuh proses dan ketekunan, SMM telah membuktikan bahwa upaya dan kolaborasi terus menerus bisa membuat semua itu semakin mudah diwujudkan.
Salah satu alasan keluarga kami memutuskan Homeschooling adalah karena kami menganggap Sekolah Konvensional terlalu banyak memasukan mata pelajaran yang seringkali sudah tidak relevan dan kurang dibutuhkan anak. Di Sekolah Murid Merdeka, sebagaimana kita bisa tebak dari namanya, menerapkan Kurikulum Merdeka yang salah satu karakteristiknya adalah pengurangan cakupan materi dibanding kurikulum nasional sebelumnya.
Sering sekali saya menemukan ekspektasi yang tidak realistis baik dari orangtua atau siapapun tentang kemampuan murid dan juga kemampuan guru terkait konten pelajaran. Di era informasi sekarang ini, intensi untuk melengkapi pengetahuan murid dengan pelajaran yang “just in case diperlukan" memang semakin menjadi-jadi, namun desainer kurikulum yang baik, seharusnya bisa memilih relevansi bukan hanya pada zaman tapi juga pada keunikan dan kondisi sosial anak atau personalisasi.
Sama dengan Homeschooling, kostumisasi atau personalisasi adalah hal yang seharusnya ada dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan yang memberi ruang untuk keunikan dan kondisi sosial anak sehingga potensi terbaik anak bisa jauh lebih berkembang. Contoh paling sederhana dalam hal personalisasi di SMM adalah anak-anak dibebaskan untuk menyelesaikan tugas menggunakan halyang mereka kuasai dan senangi. Bisa melalui visual, gambar, atau video, bisa berbentuk tulisan atau karya sastra, musik atau yang lainnya. Di SMM perbedaan dan ide selalu dihargai.
Personalisasi hanya akan mungkin terjadi apabila isi kurikulum memberi ruang dan waktu yang cukup kepada murid. Itu bisa dilakukan lewat pendekatan yang menempatkan murid sebagai pengendali proses belajarnya sendiri. Sekolah Murid Merdeka yang digagas oleh Najelaa Shihab memang dirancang untuk menjadi sekolah dengan kurikulum inovatif yang berpihak pada anak atau murid. Keberpihakan pada murid yang dituangkan dalam cakupan kurikulum, selain lebih mengakomodir personalitas siswa juga lebih kontekstual dan relevan. Dalam sebuah artikel Najelaa menjelaskan bahwa ada dua pertanyaan yang lazim berulang dalam musyawarah Guru tentang cakupan kurikulum di SMM, yaitu:
Di antara semua yang menarik untuk menjadi cakupan kurikulum, mana yang akan berguna bagi murid 5-10-20 tahun yang akan datang saat saya sebagai guru bertemu mereka di masa depan?Jika ini penting diajarkan, apakah sekarang, di periode usia/jenjang pendidikan ini adalah waktu tertepat berkaitan tingkat kesiapan anak untuk anak belajar?Cakupan kurikulum memang selalu soal prioritas. Sehingga kurikulum yang baik adalah kurikulum yang kontekstual. Seringkali, ada topik yang sebenarnya bagian yang esensial untuk generasi Z, tapi terlewat dalam cakupan kurikulum, contohnya tentang pendidikan seksualitas atau spiritualitas, atau juga materi lintas jenjang seperti materi terkait demokrasi dan kebangsaan.
Salah satu hal yang perlu dipikirkan juga oleh perancang kurikulum adalah memilih materi yang paling berkait dengan bidang ilmu lain. Materi lintas jenjang dan lintas mata pelajaran ini penting dipikirkan agar semakin terjadinya kesinambungan dalam pembelajaran. Otonomi guru dalam kontekstualisasi kurikulum, juga perlu dibarengi dengan adanya “tes relevansi” untuk setiap materi yang bukan hanya dilakukan satu (tahun ajaran) sekali, tetapi terus berefleksi tentang fleksibilitas konten yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi murid yang harus dipenuhi.
Prioritas-prioritas cakupan inilah yang terus diusahakan oleh SMM pada lintas jenjang, lintas mata pelajaran dan menjadi acuan berkesinambungan. Hasil karya berkait ini, menjadi inti asesmen yang juga berulang, diobservasi dan dinilai lintas tahun ajaran. Salah satu contohnya di SMM; menghasilkan paragraf esai. Bagaimana membuat pernyataan dan kesimpulan, menjelaskan latar belakang dan mendeskripsikan kompleksitas dengan pemilihan kata, kelancaran kalimat dan konvensi yang tepat adalah salah satu aspek kompetensi yang dibutuhkan lintas profesi.
Keistimewaan SMM yang saya sebutkan di atas memang terdengar mewah dan ideal, namun sayangnya banyak orangtua murid SMM yang luput memahami bahwa tradisi tanggungjawab orangtua di SMM berbeda dengan paradigma lama yang menyerahkan sepenuhnya anak ke sekolah tanpa peduli lagi. Semua murid semua guru bukan hanya slogan namun ingin dijadikan budaya oleh SMM. Dengan begitu, diharapkan orangtua dan sekolah mampu menciptakan kolaborasi atau kerjasama. Kolaborasi itu terjalin antara orangtua dan murid, dimana orangtua memiliki peran terpusat saat anak belajar di rumah. Pendampingan orang tua menjadi hal penting untuk bisa mendukung semangat belajar anak.
Kurikulum Merdeka Belajar sebenarnya sedang digaungkan dan coba diterapkan oleh pemerintah melalui Mentri pendidikan Nadiem Makarim. Selogan Merdeka Belajar sendiri merupakan pinjaman dari Sekolah Cikal (sekolah yang menginisiasi SMM) yang lebih jauh meminjam dari Ki Hadjar Dewantara. Namun kurikulum hanyalah kurikulum, yang membuat itu berarti adalah manusia di belakangnya yang secara kreatif bisa membuat kurikulum tersebut berjalan sesuai tujuan.
Saya pernah beberapa tahun menjadi Guru, dan sejauh pengalaman saya, sulit untuk mengubah budaya korup dan stagnasi dalam jajaran birokrasi Kementrian Pendidikan ini. Bagi orang-orang yang masih punya idealisme, masuk ke birokrasi pemerintah memang sering membuat frustasi. Mungkin saja perubahan di tingkat atas bisa lebih mudah dilakukan, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa perubahan kebijakan, tidak menjamin perubahan di lapangan, apalagi paradigma usang tentang pendidikan yang sudah langgeng selama bertahun-tahun selalu menjadi penghambat utama reformasi.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kurikulum merdeka yang memberdayakan konteks mungkin diterapkan dalam praktek di lapangan? Jawabannya bisa. Walaupun tentu bukan keputusan mudah karena jika ada sekolah yang mencoba menerapkan kemerdekaan belajar seperti itu, pola ujian (assessment) dari pemerintah yang ada sekarang belum sama merdekanya. Bagaimanapun tidak akan bisa ada perubahan dalam upaya konstektualisasi kurikulum, tanpa perubahan di standar penilaian. Memang butuh proses dan ketekunan, SMM telah membuktikan bahwa upaya dan kolaborasi terus menerus bisa membuat semua itu semakin mudah diwujudkan.

Published on December 23, 2022 01:22
No comments have been added yet.