Lutfi Retno Wahyudyanti's Blog, page 5

April 16, 2014

Pahlawan Dengan Tanda Jasa

Waktu membalik-balik sebuah majalah, saya melewatkan artikel tentang seorang pahlawan. Biasanya, saya menyukai cerita tentang orang-orang yang rela mendonasikan waktu dan uangnya untuk menyelamatkan dunia. Tapi tidak untuk tokoh satu ini. Beberapa kali saya sempat membaca atau menonton koran dan tv memuji habis ia sebagai seorang inspirator. Tapi orang-orang yang pernah bekerja dengannya menyatakan sosok tadi tidak setulus itu. Ada banyak sisi gelap tokoh tersebut yang belum ditampilkan oleh media.


Dulu, sewaktu masih naif (sekarang agak tidak terlalu), saya percaya ada orang-orang yang rela menyumbangkan hidupnya untuk orang lain. Awalnya, saya selalu terpesona saat membaca atau menonton cerita tentang orang-orang berbuat baik tanpa pamrih. Bahkan, saya sempat punya mimpi untuk mengumpulkan cerita tentang para pahlawan ini supaya orang lain meniru mereka.


Setelah bertemu dengan banyak orang dan mulai belajar tentang sistem ekonomi, saya mulai melihat bahwa ada banyak alasan orang melakukan sesuatu. Satu demi satu pahlawan yang pernah saya temui ternyata tidak selurus yang saya dengar sebelumnya. Pahlawan juga manusia. Mereka harus membayar tagihan tiap bulan dan butuh pengakuan (baca: pujian) dari orang lain.


Saya pernah menonton film tentang seorang penyelamat lingkungan. Versi filmnya, bertahun-tahun, Bapak A mengajak tetangga dan kerabatnya untuk membuat hutan supaya desanya selamat dari bencana alam. Karena penasaran dan kagum, saya berusaha menemui Bapak A. Saya tidak sempat bertemu langsung dengannya. Penduduk desa yang saya temui bercerita kalau si A tidak sehebat bayangan saya. Konon, tokoh tadi awalnya melakukan penanaman pohon karena dibayar sebuah LSM. Penduduk desa yang lain membantunya karena ada iming-iming jika mereka membangun hutan akan ada bantuan dari pemerintah atau pihak luar.


Cerita serupa berkali-kali saya temui. Ada seorang seniman yang kata media melestarikan peninggalan leluhur. Setelah bertemu langsung dan ngobrol berjam-jam, saya baru sadar ia melakukan hal tersebut lebih karena mencari nafkah. Lain waktu, saya mendengar tentang seseorang yang mendapat penghargaan karena berhasil memberdayakan penduduk desanya. Saat menjadi pembicara di berbagai seminar, ia selalu menggembor-gemborkan tentang pemberdayaan masyarakat. Ironisnya, di desanya hanya segelintir orang yang terlibat. Penduduk desa lain tidak tahu apa yang ia lakukan.


Menggambar bersama


Media massa sering kali dianggap sebagai sumber yang dapat dipercaya. Padahal, bisa jadi wartawannya terjebak ingin membuat cerita yang heroik. Ia perlu mendramatisir ceritanya supaya dimuat oleh media massa. Ia harus bersaing dengan wartawan lain karena ruangan di media terbatas.


Lalu, apakah orang yang benar-benar baik itu tidak ada? Tidak juga. Bertemu dengan banyak orang membuat saya belajar kalau manusia itu tidak hitam dan putih. Tiap orang baik memiliki sisi buruk, begitu juga sebaliknya. Sampai sekarang saya masih membaca buku biografi. Tapi tidak mempercayai seluruh isi beritanya begitu saja. Setidaknya saya masih mendapat cerita, dibalik kesuksesan atau nama besar seseorang, selalu ada banyak kerja keras.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 16, 2014 22:28

April 9, 2014

Drama itu Cukup Ada di Sinetron Saja

Saya selalu berusaha sibuk atau keluar kota saat seorang kenalan, sebut saja Bunga ingin bertemu. Bukannya sombong, lama-kelamaan saya bosan mendengarkan tragedi hidupnya. Mulai dari punya pacar playboy tapi dia terlanjur cinta mati, ibu yang hobi mencela apapun tindakannya, juga teman-temannya yang menikam dari belakang. Untuk mendukung ceritanya, tidak jarang Bunga menangis tersedu-sedu. Kalau sedang baik hati, saya jadi pendengar yang baik. Kalau sedang kumat sinisnya, saya hanya berkomentar: “Kamu ke psikolog saja deh”. Ditambah dengan ceramah standar: “Hei, di dunia ini ada lebih dari 7 milyar orang. Banyak yang anggota tubuhnya tidak lengkap atau dibuang orangtuanya tapi tidak secengeng kamu.”


Dan, orang yang saya kenal hobi mengasihani diri sendiri bukan hanya Bunga. Hampir tiap minggu ada kenalan atau teman yang tahu-tahu mengirim pesan tentang kisah sedihnya. Mulai dari aku sakit lo, tadi tidak sempat makan karena terlalu keras bekerja, sampai seorang istri yang masih belum bisa melupakan mantan suami padahal ia sudah menikah lagi. Apa hubungannya dengan saya?


Kata teman saya, ada orang-orang punya kecenderungan menjadi drama queen. Ia kemudian bercerita tentang seseorang yang pernah membuat heboh teman sekantor gara-gara pura-pura buta. Si mbak ini juga pernah beberapa kali meminta teman-temannya datang ke acara ganti agama hanya untuk mendapat perhatian.

Kalau mengutip dari Physyc Central, penyakit ini namanya hisrionic personality. Definisinya begini:

Histrionic personality disorder is characterized by a long-standing pattern of attention seeking behavior and extreme emotionality. Someone with histrionic personality disorder wants to be the center of attention in any group of people, and feel uncomfortable when they are not. While often lively, interesting and sometimes dramatic, they have difficulty when people aren’t focused exclusively on them.

Itu histeria kelas berat yang sudah masuk dalam kategori sakit jiwa. Ada juga histeria ringan yang sering kita temui di sekitar kita. Bisa jadi kita termasuk di dalamnya. Pengidap histeria ini sering menampilkan dirinya sebagai “korban” atau “ratu”. Entah kenapa, pelakunya lebih banyak perempuan. Mungkin karena perempuan cenderung makhluk sosial yang butuh pengakuan dari orang lain? Balik ke ratu atau raja drama, bukankah tiap hari media sosial kita penuh tukang sampah yang berkeluh kesah. Orang-orang ingin mengabarkan pada dunia kalau dirinya orang paling malang sedunia. Atau orang-orang yang memiliki pencitraan ini lo saya, mahluk keren karena melakukan ini dan itu.

Waktu makan malam dengan teman, kami menganalisis (ini bahasa keren dari merumpi) tentang beberapa kenalan kami yang hobi menjadi pusat perhatian. Ada yang suka menelfon atau meminta pertolongan lawan jenisnya tanpa alasan jelas. Dan, entah kenapa, orang-orang yang kami absen ini populer di komunitasnya atau di dunia maya. Mereka punya kegiatan sosial dan sering mendapat pujian karena hal tadi. Beberapa bahkan pernah mendapat penghargaan untuk aktivitas sosialnya. Yang kalau dilihat lebih dekat, kegiatan sosialnya tidak sehebat koar-koarnya di dunia maya. Saya tidak tahu mereka sadar atau tidak, orang-orang ini suka memanipulasi orang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka juga suka menyenang-nyenangkan orang lain dengan harapan mendapat perhatian.


Kasihan ya Indonesia. Pantas Indonesia tidak maju-maju. Pada sibuk mendapat nama supaya kelihatan keren dan menjadi pusat perhatian. Biasanya, drama queen atau king ini hanya mau membantu saat ia diuntungkan. Ia juga hanya mau mendengar hal-hal yang berkaitan dengan dirinya atau kelompoknya.


Anak Papua


Ada banyak teori mengenai kenapa seseorang punya kepribadian histeria. Kepribadian ini tidak disebabkan oleh hal tunggal. Kemungkinan paling besar perilaku tersebut efek dari perlakuan orangtua atau lingkungan terdekat pada usia belia. Iya, karena kepribadian seseorang terbentuk pada masana kanak-kanaknya. Cara seseorang memperlakukan orang lain merupakan proyeksi dari kekurangan yang ia dapat waktu kecil.

Saya kemudian bercerita ke teman, kalau saya tidak menyukai orang-orang yang kami bicarakan tadi. Mungkin, karena saya terbiasa menjadi satu-satunya perempuan atau menjadi yang paling muda di sebuah komunitas atau organisasi. Sepertinya, saya merasa tersaingi saat ada orang lain menjadi pusat perhatian. Mungkin, saya juga punya bakat histeria.


1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 09, 2014 06:35

April 6, 2014

Rokok itu Candu

Saya cuma tertawa saat Khayat, teman saya, menaruh sebuah pengumuman berwarna hijau di depan saya. Tulisan papan tadi “Boleh merokok” Sepertinya, berdebat dengan seorang perokok adalah salah satu hal yang sia-sia. Rokok sama halnya seperti agama, seperti candu. Orang akan mencari pembenaran untuk terus mengonsumsinya.


Anti rokok

Mungkin, seseorang baru berhenti merokok setelah ada keluarganya menjadi korban atau dokternya memberi ultimatum harus berhenti. Sama seperti ayah dan kakek saya. Ayah baru berhenti merokok setelah asap rokoknya merusak paru-paru saya. Untuk itu, saya harus menjalani perawatan selama setahun. Secara tidak langsung, rokok menyumbang ke buruknya kondisi kesehatan saya saat ini. Konsumsi obat yang berlebihan waktu kecil pernah membuat sistim kekebalan berbalik menyerang tubuh saya. Kakek (Dari pihak ayah) dahulu juga perokok berat. Dia berhenti gara-gara sakit dua puluh tahun lalu. Dan, saat beberapa waktu lalu berkali-kali masuk rumah sakit karena batuk parah, dokternya bilang itu akibat rokoknya dulu. Kakek saya dari pihak ibu juga berhenti merokok setelah terbaring di rumah sakit.


Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa orang-orang mau mengorbankan diri untuk mengonsumsi rokok. Pembelaan paling sering saya dengar adalah kasihan buruh pabrik rokok dan petani tembakau kalau tidak ada yang membeli rokok. Pembelaan yang aneh. Kapan sih buruh pabrik rokok kaya? Bukannya mereka harus bekerja berjam-jam, melakukan suatu hal berulang-ulang tiap hari hanya untuk upah tidak terlalu banyak di atas UMR? Saya tidak yakin mereka bisa menabung atau punya uang pensiun. Bagaimana nanti kalau mereka sudah tidak bekerja? Mereka akan lebih miskin karena sudah terlanjur tidak punya keahlian lain.


Petani tembakau? Tempat bermain saya di sebuah kaki gunung hampir seluruh penduduknya menanam tembakau saat musim kemarau. Petani enggan (juga tidak cukup akses informasi) mencari komoditas lain yang tidak butuh banyak air. Selain itu sudah ada perusahaan rokok yang memberi bibit, pinjaman modal, dan membeli panennya. Apakah mereka kaya? Tidak juga. Masih banyak penduduk desa yang bekerja sebagai buruh migran di negeri orang karena alasan ekonomi. Dan ironisnya, setelah pengeluaran untuk makan dan biaya sekolah, tebak apa pengeluaran bulanan terbesar keluarga petani? Rokok. Yang dikonsumsi rokok yang membeli tembakau mereka.

Kalau memang benar-benar kasihan, kenapa uang yang dipakai untuk membeli rokok tidak ditabung saja lalu diberikan ke petani tembakau supaya mereka punya modal untuk membuka usaha lain? Alasan lain saya tidak tertarik untuk merokok karena saya tidak setuju dengan penjajahan diatas muka bumi. Kecanduan termasuk didalamnya. Apalagi dengan mengonsumsi rokok secara terus-menerus, seseorang memperkaya para pemilik pabrik dan industri rokok.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 06, 2014 22:17

April 3, 2014

Negeri Dangdut Indonesia

Akhir-akhir ini saya mulai teracuni oleh lagu-lagu dangdut koplo. Ceritanya, tiap kali pergi beramai-ramai dengan teman kantor ke Gunungkidul, mobil penuh dengan lagu seperti Oplosan, Di Reject, Pokoke Goyang, sampai Capek Deh. Saya yang pilih-pilih lagu, biasanya menolak mendengarkan lagu cengeng. Saya percaya perilaku seseorang dibentuk oleh apa yang ia lihat, baca, dan dengar sehari-hari. Nah, berhubung lagu dangdut koplo itu kebanyakan cengeng dan hobi mengasihani diri sendiri, saya tidak pernah menaruh satu pun di playlist saya.


Berhubung tiap minggu lebih dari dua jam saya berulang-ulang lagu yang itu-itu saja, lama kelamaan saya mulai hafal liriknya. Kata bos saya sih, lirik tadi cerminan masyarakat kelas bawah. Hal-hal seperti diduakan, kesepian karena si suami atau istri harus mencari nafkah di luar kota kemudian diselingkuhi, merupakan hal-hal yang lumrah terjadi. Pendengarnya merasa lagu-lagu seperti tadi merupakan cerminan hidupnya.


Ya, di desa-desa Pulau Jawa cerita tadi jamak terjadi. Karena desa tidak memberikan banyak lapangan pekerjaan, penduduk usia kerja harus bekerja di kota-kota terdekat. Tapi kenapa sebagian besar liriknya mengasihani diri sendiri? Kenapa tidak menceritakan betapa seseorang bekerja keras demi keluarga atau karena ia ingin anaknya punya hidup yang lebih baik? Atau, mengasihani diri sendiri mungkin mental sebagian besar masyarakat Indonesia?


Dangdut koploSaya pernah sekali menonton pertunjukan dangdut. Itu pun tidak sengaja. Awalnya, saya dan sepupu saya berniat berenang di sebuah mata air. Kami tidak tahu kalau di sana sedang ada pertunjukkan dangdut. Berhubung kami sudah terlanjur menempuh perjalanan lebih dari 3 jam kami cuek saja berenang di tengah ratusan orang yang sedang bergoyang. Beberapa sambil minum. Di panggung, ada beberapa orang penyanyi bergantian menyanyi. Dandanannya 11-12. Baju sangat ketat dan minim dengan warna norak dan make-up tebal. Kata bos saya lagi, untuk masyarakat kelas bawah, datang ke pertunjukan merupakan obat untuk beban hidupnya. Setidaknya, sejenak mereka lupa kalau punya hutang atau entah besok makan apa.


Setelah menjadi pengamat lirik lagu, saya tertarik dengan lirik “Oplosan”. Dibanding yang lain isinya mendidik. Tentang anjuran untuk berhenti membuang uang untuk mengonsumsi minuman keras. Bukannya kalau ingin menyampaikan sesuatu harus menggunakan cara yang menghibur supaya bisa diterima masyakakat? Sepertinya saya harus mulai mengenali selera masyarakat. Dan saya mulai dengan mulai menikmati lagu dangdut. Baiklah, besok waktu karokean, lagu Roar- Katy Pery akan berubah menjadi di rejectnya Jenita Janet.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 03, 2014 01:57

March 26, 2014

Saya Butuh Dokter Bukan Sales Obat

Saya mulai paranoid waktu penglihatan saya kabur selama beberapa hari. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke sebuah klinik mata. Di ruang tunggu, saya hampir pulang karena antriannya panjang. Setelah menunggu sekitar setengah jam, petugas bertanya dokter mana yang saya pilih. Berhubung benci mengantri, saya mengambil dokter dengan antrian pasien “hanya” 20 orang. Dokter jaga lain pasiennya ada yang sampai 70-an orang.


Saya mulai panik saat melihat pasien-pasien dengan mata diperban keluar-masuk ruang periksa. Bagi saya, mata organ yang sangat berharga. Hampir semua hobi dan pekerjaan yang saya lakukan menggunakan mata. Bagaimana kalau nanti ada apa-apa dengan mata saya?


Di ruang tunggu saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu muda. Ia bertanya mata saya kenapa. Dan, ceritanya membuat saya bertambah panik. Sejak setahun lalu, matanya terkena virus. Awalnya, pandangannya hanya kabur dan semakin lama semakin tidak jelas. Katanya, sekarang sudah membaik setelah tiap bulan ia berobat. Ia juga bilang, ada tetangganya yang matanya kena virus dan kabur permanen. Saya cuma diam dan shock. Bagaimana kalau nanti saya benar-benar tidak bisa melihat?


Setelah lebih dari tiga jam menunggu bonus hampir kelaparan, nama saya dipanggil juga. Seorang suster mengecek mata kiri dan kanan saya. Dan, saya disuruh menunggu lagi. Tidak terlalu lama, nama saya dipanggil lagi untuk menemui seorang dokter. Saya berjumpa dengan seorang dokter. Dia bertanya apa keluhan saya. Setelah melihat-lihat kedua mata saya, dokter tadi dengan santainya bilang itu hanya mata kering. Bu dokter kemudian menuliskan resep. Ia baru berkata kalau di mata saya ada luka akibat terkena debu yang menyebabkan air di mata saya tidak merata. Kalimat tadi muncul setelah saya tanya. Total ngobrol kami hanya lima menit.


Di kasir, saya harus mengeluarkan 130 ribu rupiah. Coba tebak, isi resepnya apa? Obat tetes mata dan copy resep. Si apoteker berkata kalau kopi resep tadi bisa dipakai saat membeli tetes mata lain. Saya kan bingung. Saya tidak mendapat info sampai kapan saya boleh membeli dan memakai obat tetes mata yang sama? Bukannya obat tetes mata tidak boleh dipakai terus-menerus? Saya juga tidak tahu bagaimana cara mencegah supaya mata saya kering selain dengan menggunakan obat tetes mata.

Ini entah ke berapa kalinya saya kesal dengan dokter. Bukan sekali dua kali, saya bertemu dokter yang memperlakukan pasiennya tidak manusiawi. Maksudnya, kami ke dokter karena kami ingin tahu apa yang salah dengan badan kami. Sepertinya saya berharap terlalu banyak karena sebagian (besar) dokter yang saya temui sekadar menganggap pasiennya sebagai lahan pencari uang. Saat membuat resep, beberapa yang saya temui tidak memberi tahu apa efek samping dari obat. Mereka juga tidak memberi tahu saya jika ada pilihan obat lain dengan komposisi sama dengan harga lebih murah.


Apa bedanya dengan sales obat? Saya ingin dokter yang punya filosofi seperti dr. Tan Shot Yen. Di bukunya “Saya Ingin Sehat dan Sembuh” ia berkata kalau tugas dokter itu bukan mengobati. Tapi ia menjaga supaya pasien tidak sakit dengan cara mengajarkan cara hidup yang sehat.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 26, 2014 22:29

March 24, 2014

Hari Minggu di Rumah Hebat Indonesia

Minggu kemarin saya pergi ke Solo untuk acara Rumah Hebat Indonesia (RHI). RHI itu semacam komunitas yang berlokasi di daerah Banjarsari, Surakarta. Sejak tahun 2013 lalu, sekumpulan mahasiswa UNS memanfaatkan bangunan yang awalnya kantor Autism Care Indonesia untuk sejumlah kegiatan anak. Ada sekitar 50an relawan yang sebagian besar mahasiswa UNS bergabung di komunitas ini. Tiap sore, mereka bergantian menemani anak-anak SD sampai SMP di sekitar rumah RHI untuk belajar dan punya karya. Kegiatannya mulai dari les pelajaran, Bahasa Inggris, sampai kelas kreatif seperti perkusi, teater, dan melukis. Keren banget.


Rumah Hebat Indonesia


Hari minggu lalu RHI kedatangan tamu dari BEM Unnes dan BEM UNS. Di sela-sela kunjungan tadi, mereka mengadakan sesi berbagi rutin yang namanya Mengejar Inspirasi. Kali ini, ada 3 pembicara yang bercerita tentang kegiatan sosialnya. Saya kebagian menutup acara berbagi tadi. Jujur saja, saya sempat bingung juga mau cerita apa. Ya, saya memang punya banyak kegiatan. Tapi bisa dibilang, dibanding teman-teman di RHI saya nggak terlalu konsisten.


Jadi, saya mulai dengan pengakuan dosa. Saya suka dengan kegiatan seperti mengajak anak-anak membaca. Saya percaya kalau kebiasaan membaca itu harus ditanamkan sejak kecil. Dulu, saya pernah melakukan perpustakaan keliling di beberapa lokasi. Juga membacakan buku buat anak-anak di  sebuah tempat penitipan anak. Berhubung kegiatan-kegiatan tadi membutuhkan banyak konsistensi dan energi. Akhirnya berhenti di tengah jalan.

Aslinya, saya ingin punya sekolah alam. Saya suka banget bikin film dokumenter. Saya ingin di sekolah saya nanti ada film-film buatan saya tentang cara hidup orang-orang di Indonesia. Tapi, saya tidak tahu kapan bisa punya uang, waktu luang, atau cukup pintar untuk mewujudkan hal tadi. Daripada menunggu, lebih baik saya melakukan sesuatu yang saya bisa dulu. Salah satunya lewat menulis di blog.


Saya menulis karena saya peduli. Banyak orang di sekeliling saya terlalu sibuk membayar tagihan. Kadang mereka lupa hal yang mereka lakukan merugikan orang lain. Terlalu banyak orang bependapat seharusnya pemerintah ini dan itu. Sampai kapan kita akan menunggu pemerintah memperbaiki segalanya? Bukankah lebih baik kita melakukan sesuatu? Tiap orang punya cara masing-masing. Kita hanya perlu lebih banyak menggunakan otak dan peduli.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 24, 2014 02:46

March 19, 2014

Agama Penyebar Kebencian

Pagi-pagi saya hanya mengelus dada sewaktu membaca pesan dari sepupu saya. Isinya begini:

“Ya Allah, Islam punah di Jayapura :( Marilah kita berdoa bersama-sama agar kita semua selalu dalam limpahan rahmat dan hidayatnya…..”


Pesan tersebut masih panjang. Intinya Pemda Manokwari (yang bikin sepertinya buta peta karena dia bilang Jayapura) menetapkan Manokwari sebagai Kota Injil. Akibatnya ada pelarangan jilbab, adzan, juga pembangunan masjid. selanjutnya, ajakan itu meminta supaya pesan tadi disebarkan ke sebanyak mungkin muslim. Ini bukan sekali dua kali, para sepupu saya mengirimkan pesan sejenis. Intinya, umat agama lain (nasrani) memusuhi Islam. Kita harus bela agama kita.

Saya kemudian bertanya, apakah sepupu saya pernah baca draf perdanya secara utuh? Setelah sepupu saya bilang belum, saya berkata jangan asal meneruskan pesan. Dulu di Ambon orang bunuh-bunuhan gara-gara ada gosip kalau masjid dibakar. Masjid Ambon


Kadang saya sering sedih dan malu. Islam agama yang mengajarkan kebaikan dikotori oleh umatnya yang menyebar kebencian. Sebenarnya bukan hanya Islam. Saya juga kenal beberapa teman nasrani yang status atau tweet di media sosialnya penuh dengan cerita tentang orang-orang Islam yang membenci penganut lain.


Lalu, apakah manusia yang tidak menganut agama formal bukan penyebar kebencian? Belum tentu. Saya kenal banyak orang yang membenci dengan agama karena mereka beranggapan agama itu penyebab banyak orang berperang. Berkali-kali saya katakan, bukan agama yang membuat orang berlaku buruk ke penganut agama lain, tapi ego manusia. Mereka mendapat pembenaran jika agamanya (dengan demikian dirinya)yang paling baik. Orang-orang sombonglah yang berlaku demikian. Pembenci agama juga sama sombongnya karena ia beranggapan dirinya lebih baik daripada umat beragama.


Saya lebih salut dengan orang-orang yang menolong orang lain tanpa memandang apa agama mereka. Orang-orang yang berusaha membuat lingkungannya menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali karena percaya Tuhan memerintahkan tiap manusia untuk berbuat kebaikan. Dan hal baik tidak diajarkan dengan kebencian. Seseorang yang terlalu sibuk untuk membenci tidak akan punya waktu untuk melakukan kebaikan.


Lagi-lagi saya terlalu menyederhanakan agama. Sebagai seorang muslim, saya percaya Islam menyuruh umatnya untuk lebih cerdas. Ayat Al-Quran yang turun pertama kali berbunyi: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” Meminjam tafsiran dari Harun Yahya, ayat ini memerintahkan manusia untuk banyak belajar. Membaca alam dan isinya. Tugas manusia menjadi pemimpin di muka bumi. Ia harus cerdas dan memahami hukum alam supaya tindakannya membuat bumi menjadi tempat yang lebih nyaman dihuni.


Musuh Islam itu bukan penganut agama lain. Musuh Islam itu kebodohan dan kemiskinan (akibat kebodohan). Seringkali saya melihat orang-orang di sekitar saya punya agama tapi tidak punya Tuhan. Membaca syahadat, salat lima waktu, dan selalu bercita-cita untuk naik haji tapi suka berbohong, mengambil sesuatu yang bukan haknya, paling parah: bodoh. Sudahkah kau beragama dengan baik? Maksudnya, apa yang kau lakukan untuk orang lain dan bumi? Mungkin tidak sempat karena terlalu sibuk menghakimi orang lain.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 19, 2014 21:40

March 17, 2014

Cerita Kopi Ulubelu

Kami hore-hore bisa sampai ke Sekretariat Bersama Kelompok Tani Sumber Rejeki dengan selamat. Untuk sebagian rombongan yang pertama kali ke hutan di PegununganUlu Belu, perjalanan sebelumnya terlalu mengerikan. Kami butuh waktu lebih dari dua jam hanya untuk menempuh perjalanan 9 kilometer. Jalan setapak yang kami lalui lebarnya kadang hanya seukuran selokan. Di boncengan tukang ojek, saya hanya bisa berdoa semoga kaki saya tidak terbentur batu. Atau tidak terjatuh di jurang yang ada di kanan jalan. Gunung, hutan, dan kebun kopi di kiri dan kanan kami sebenarnya indah, tapi saya terlalu panik untuk menikmatinya. Berkali-kali, wartawan dan rombongan tamu memilih untuk turun dari boncengan dan berjalan kaki. Meski para tukang ojek berkata “Percaya saja sama kami” para penumpang kadang masih jalan kaki.


Sesampainya di lokasi, saya langsung membersihkan badan. Tangan dan kaki saya penuh dengan memar dan baret gara-gara terpeleset.  Tiba-tiba saya sangat bersyukur. Bagi saya, perjalanan ini hanya permainan. Beda dengan ratusan petani hutan yang mengelola 499,63 hektar hutan lindung di Pegunungan Ulubelu, Tanggamus. Mereka sehari-harinya harus melalui jalan tersebut (bahkan lebih jauh lagi) untuk mencari nafkah.


Pak Amin, ketua kelompok Sumber Rejeki membuka dengan ucapan selamat datang. Ia kemudian bercerita tentang Gapoktan Sumber Rejeki yang berdiri tahun 1999. Tahun 2007, kelompok tani  yang beranggota 365 orang ini mendapat ijin pengelolaan selama 35 tahun yang bisa diperpanjang.


Sebelum ada ijin, anggota kelompok mengelola hutan dengan asal-asalan. Mereka enggan menginvestasikan waktu dan uangnya karena tidak yakin bisa memperoleh hasilnya. Sebelum mendapat ijin pengelolaan sementara tahun 2000, para petani hutan tersebut harus kucing-kucingan dengan aparatur negara. Mereka kerapkali diusir dengan kekerasan. Di sisi lain, hutan tidak terawat dan banyak ditumbuhi alang-alang yang mudah terbakar.


Semenjak ada program HKm, kesejahteraan petani hutan meningkat. Satu hektar lahan kira-kira bisa menghasilkan antara satu hingga satu setengah ton kopi. Komoditas yang dipanen antara bulan Maret hingga Agustus tersebut dijual dengan harga 16.000 hingga 23.000 per kilogram. “Salah satu pertanda kami sejahtera itu terlihat dari kemampuan para petani menyekolahkan anak. Dulu, sebelum ada ijin, kami ragu menyekolahkan anak tinggi-tinggi. Jangan-jangan nanti tanaman yang kita urus tahun depan sudah tidak bisa dipanen. Bagaimana kalau anak terlanjur sekolah, apa bisa bayar biayanya? Sekarang, banyak yang menyekolahkan anak sampai kuliah. Beda dengan dulu yang mau beli beras saja kesulitan,” tutur seorang petani hutan yang menemui kami.


Di tengah-tengah petani yang bercerita peningkatan pendapatan setelah mereka mengelola hutan, seorang peserta dari Kesatuan Pengelola Hutan Lindung “protes”. Menurutnya, petani salah karena menjadikan hutan lindung sebagai perkebunan kopi. Ia berpendapat petani harus ikut aturan dimana dalam satu hektar lahan harus ada 400 batang tanaman kayu. Sepertinya ada yang aneh! Setahu saya, tugas KPHL itu merencanakan hingga menjalankan pengelolaan hutan. Bukankah seharusnya mereka melakukan susuatu supaya kondisi hutan membaik? Pernah petugas yang protes tadi membantu para petani yang buta hukum dan mungkin miskin akses informasi? Petani-petani tadi taunya cuma menanam dan memanen pohon kopi untuk bayar sekolah dan makan tiap hari. Kalau nggak dikasih contoh (juga bibit), jangan berharap banyak deh.


Kalau mengutip kata Irfan Bachtiar, konsultan kehutanan,  fungsi hutan lindung itu sebagai penyangga tata air dan kesuburan tanah. Selama kopi atau tanaman lain yang ada masih bisa mengikat air, itu tidak jadi masalah. Menurut Swari Utami Dewi, kopi jauh lebih baik daripada hutan dijadikan kebun kelapa sawit. Lalu, pemberian hak kelola hutan pada masyarakat itu mengurangi konflik atas tanah.


Ok, tanaman monokultur memang tidak baik untuk kesuburan tanah. Kalau mengikuti pasal 33, pemerintah wajib membantu petani-petani bagaimana cara mengelola lahan dengan baik. Termasuk didalamnya memberikan bantuan bibit tanaman keras. Bukannya itu tugas Departemen Kehutanan?

Saya lebih salut dengan upaya pihak swasta. Salah satunya PT Ulubelu Cofco Abadi. Perusahaan exportir kopi milik pasangan suami istri Rinaldi Hartono dan Elmira Tjahja. Sehari setelah melihat Pegunungan Ulu Belu, saya mampir ke warung kopi. Saya bertemu dengan Bu Elmira yang menceritakan awal mula usaha mereka. Tahun 2009, mereka yang tadinya tinggal di Amerika pulang untuk mengurus orangtuanya. Mereka kemudian mulai berbisnis kopi pada tahun 2010.


Keduanya merupakan keturunan pedagang kopi dari Talang Padang. Bedanya, kakek nenek keduanya sekadar pengumpul kopi yang kemudian menjualnya. Sejak keduanya memutuskan untuk serius di bidang perkopian, mereka berusaha untuk mendapat sertifikat 4C (Common Code for Coffee Community) supaya kopinya diakui secara internasional. Untuk itu, kopi mereka harus mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi dalam proses produksi, pengolahan dan pemasaran kopi-nya. Salah satu alasan mereka tertarik berbisnis kopi adalah rasa miris karena kopi Lampung yang robusta tidak dianggap di percaturan kopi internasional yang memuja kopi jenis arabika. Selain itu, kopi Indonesia dianggap bermutu buruk. Karenanya harga kopi dari Indonesia lebih rendah dari kopi dari negara lain. Dan lebih menyedihkan lagi, perdagangan kopi di Lampung dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing.


Suami-istri ini menerapkan prinsip kewirausahaan sosial dalam berbisnis. Untuk mengajarkan kepada petani cara menanam kopi yang baik, mereka bermitra dengan Universitas Lampung. Perusahaan ini mulai tahun 2012 mulai melakukan penanaman kayu keras seperti medang, suriah, cempaka, mimbri, durian, mangga, pala, hingga pete di hutan yang dikelola petani mitranya. Mereka percaya jika pola penanaman monokultur ke depannya akan merusak kualitas dan kuantitas kopi.


Baru tahun lalu perusahaan Ulu Belu mengemas kopi untuk dijual dalam bentuk bubuk. Sebelum mengemas produk tersebut, mereka mencari cara supaya kopi bisa tahan lama tanpa memasukkan pengawet kimia ke dalamnya.  Saya sempat bertanya, perdagangan kopi yang mereka lakukan butuh investasi waktu dan uang bertahun-tahun. Bisa dibilang, mereka awalnya tidak tahu bagaimana bisnis ini akan berlanjut. Saya suka dengan jawaban, ibu Elmira, si pemiliknya ” Kalau kita ingin berbuat baik, sejahat-jahatnya orang masih ada Tuhan yang jaga.”


Waktu Bu Elmira bercerita tentang produknya yang hanya berisi kopi murni tanpa bahan kimia atau gula, saya jadi ingat pertanyan teman yang berasal dari Australia beberapa tahun lalu. Ia heran kenapa Indonesia yang negara penghasil kopi nomer empat dunia, penduduknya mengkonsumsi kopi instan. Begini saudara-saudara, kopi adalah komoditas mahal. Kopi-kopi dengan mutu bagus tidak beredar luas di pasaran karena mahal. Kebanyakan kopi lokal sudah dicampur dengan jagung, beras, atau, mentega. Belum lagi perusahaan lokal tidak memiliki distribusi dan modal yang bagus.



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 17, 2014 01:49

March 12, 2014

Jangan Sia-siakan Waktu untuk (menjadi) Orang Jahat

Saya masih duduk di kursi pesawat saat penumpang lain berebutan berdiri. Saya terbiasa menunggu sampai sebagian besar penumpang turun karena malas berdesak-desakan. Tiba-tiba seorang ibu berusia sekitar 50 an tahun membanting ransel saya. Entah apa yang ia teriakkan tapi sepertinya ia kesal karena buru-buru ingin keluar. Apesnya, tas saya menghalangi bawaannya. Penumpang lain kaget dan memandang ibu tadi. Seorang bapak memperingatkan si ibu. Katanya: Hati-hati membanting barang, ibu tadi bisa dituntut jika kena orang.


Pesawat


Awalnya, saya ingin meminta nomer hp ibu tadi. Untuk berjaga-jaga jika laptop dalam tas rusak. Tapi saya mengurungkan niat saya. Orang dengan emosi labil percuma diajak bicara. Kalau pun ada apa-apa dengan laptop saya, dia juga tidak bisa mengganti datanya. Sepertinya, ibu tadi sudah memiliki banyak masalah. Kalau dilihat dari cara berpakaiannya yang tidak nyambung, ia bukan dari kalangan berada. Bisa jadi, ia terlalu capai dengan banyak tagihan atau masalah keluarga. Sepertinya dia tidak berpikir saat bertindak. Ia masih beruntung, jika orang lain yang ada di posisi saya, pasti akan ada adu mulut bahkan berbuntut panjang.

Apakah itu artinya orang-orang yang ada di golongan ekonomi ke bawah lebih rawan stres? Tidak juga. Mungkin teman-teman pernah memiliki bos tempramental. Yang hobi berteriak pada bawahannya. Atau suka menunjukkan kalau ia berkuasa. Atau jangan-jangan, teman-teman juga memperlakukan orang dengan buruk? Ya, mungkin mereka lebih bisa mendapat keinginannya lebih cepat. Tapi apa ia tidak berpikir. Sampai kapan posisinya ada di atas orang lain? Dan jika ia memperlakukan orang dengan buruk,  bukankah  ada banyak orang berharap ia jatuh? Apa yang terjadi nanti kalau dulu orang-orang yang dia tindas membalas?


Konon sebagian besar perilaku kita terbentuk sebelum kita berumur 6 tahun. Saat kita masih kecil, mental kita juga tumbuh. Kita menyerap perlakuan orang-orang yang ada di sekitar kita dan tanpa sadar melakukan hal yang sama. Orang dengan perilaku buruk cenderung memiliki orangtua dengan kelakuan sama. Coba perhatikan orang-orang yang hobi mengkritik orang lain. Biasanya ia tumbuh di lingkungan yang jarang memuji. Lalu orang-orang yang tempramental cenderung punya orangtua yang hobi menuntut anaknya untuk berprestasi.


Tapi, perilaku juga bisa berubah seiring hal-hal yang kita alami. Saya sedang berusaha untuk berbuat baiklah supaya dunia akan membalas dengan perbuatan baik. Bukankah membuat senang orang lain itu meringankan beban mereka? Semoga, kelak ada orang-orang lain yang juga meringankan hari kita. Bukankah hidup itu seperti lingkaran? Saat kita memperlakukan seseorang dengan buruk, orang tersebut kemungkinan juga berlaku buruk ke orang lain. Bisa jadi nanti korban dari perilaku buruk itu membalas ke kita. Hidup ini sulit, sebaiknya kita jangan menambah beban orang lain. Kita akan mendapat apa yang kita lakukan. Bukan berarti kita berbuat baik karena ingin orang lain membalas kebaikan kita. Itu artinya berdagang.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 12, 2014 20:23

March 7, 2014

Konser Amal Onliner Jogja

Sejak Januari lalu, beberapa onliner seperti Fajar dan Ryan punya ide mengadakan penggalangan dana untuk pengungsi Sinabung dan Kelud. Beberapa onliner kemudian menyatakan akan membantu pelaksanaannya. Setelah ngobrol dengan band-band pengisi acara, acara akan jalan tanggal 28 Februari.

Persiapan acara baru mulai minggu terakhir. Kumpul mingguan tiap rabu berubah menjadi rapat koordinasi. Kami membuat daftar hal apa saja yang belum kita kerjakan dan barang apa saja yang belum ada. Kami baru sadar kalau belum menghubungi peminjaman LCD, belum ada MC, bahkan, kami belum tahu di mana harus meminjam tikar!


Seminar Online

Hari Kamis akhirnya jadi hari sibuk dan penuh mondar-mandir. Beberapa barang bahkan baru ada hari Jumatnya. Waktu hari H, jam dua siang di lokasi baru ada beberapa orang blogger. Kami sempat panik karena sebelumnya hujan sangat deras. Ratusan orang konfirmasi untuk hadir di undangan online yang kami sebar sepertinya tidak mungkin datang.


Acara baru mulai pukul empat lebih. Molor satu jam lebih dari jadwal. Sesi pertama isinya seminar online. Iwan memulai dengan presentasi tentang perbedaan antara facebook fanpages dan profil. Saya jadi ingat waktu kenal Iwan beberapa tahun lalu. Dulu dia cenderung pemalu saat berada di tengah orang asing. Sekarang, Iwan sepertinya mulai merasa nyaman berbicara di muka umum. Peserta mulai berdatangan sekitar jam 5an. Jeanot kemudian mengisi seminar kedua. Ia bercerita tentang logaritma google. Ia dan para praktisi seo selama ini menebak perhitungan Google supaya web atau blognya ada di halaman pertama google. Jeanot menyisipkan ajakan untuk bergabung di Komunitas Blogger Jogja. Ia promosi kalau kami punya pertemuan tidak resmi tiap rabu. Siapa saja yang ingin belajar tentang blogging bisa bertukar ilmu dengan blogger lain.


Acara berhenti sebentar saat magrib. Tadinya, Lulu Rahardi, teman yang penyiar, mau menemani  saya untuk jadi MC. Entah kenapa tiba-tiba dia nyuruh saya ngemsi sendirian. Lucunya, dia protes sama wajah saya yang polos tanpa make-up. Mbak Lulu kemudian mengeluarkan kosmetiknya dan mulai mendandani saya. Sekitar jam 7an, Kak Iko dan teman-temannya tampil. Mereka menyanyikan lagu-lagu untuk anak. Beberapa ciptaan mereka. Saya langsung tanya bagaimana cara menghubungi dia. Sepertinya kalau nanti pegiat literasi Jogja mengadakan acara anak, ia bisa diajak bergabung.


Foto bareng Jikustik, LaQuena, Kak Iko


Penampilan kedua dari LaQuena. Saya baru tahu arti nama tadi pekik kemenangan. Tanggal 28 Februari kemarin mereka berulang tahun yang kedua. Lagunya asyik. Saya yang belum pernah dengar lagunya saja bisa menikmatinya.  Ada lagu judulnya “Sendiri dulu” dan “Lady rocker”. Dua lagu tadi temanya tentang move on. Saya sih nangkepnya kalau pun barusan putus, dunia masih bersinar. Masih ada banyak hal buat dikerjakan daripada meratapi nasib. Di sini la Quena menyumbang 5 keping CD audio yang dilelang. Hasilnya akan ditambahkan ke sumbangan. Penonton ikutan nyanyi waktu mereka menutup penampilannya dengan lagu dari Iwan Fals.

Konser amal ditutup oleh penampilan dari Jikustik. Vokalisnya bilang mereka baru akan menyanyi setelah kotak sumbangan muter dan ada yang mengisi. Horee.. Beberapa orang menyumbang lagi. Asik lo duduk di kursi depan pas mereka main. Berasa kaya dinyanyiin lagu. Jikustik menutup penampilannya dengan lagu “Selamat malam”. Penonton pada ikutan nyanyi dan meminta lagu lain. Sayang, konser mininya harus selesai.


Seusai acara, kami beres-beres dan menggulung tikar. Capek tapi senang. Sebelum pulang, kami sempat berkumpul untuk toss bareng.  Jadi, kapan lagi kita bikin acara amal? Dengan persiapan yang lebih matang supaya ada banyak orang ikut bergembira?


Foto dokumentasi Komunitas Blogger Jogja


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 07, 2014 00:48