Lutfi Retno Wahyudyanti's Blog, page 4

July 13, 2014

Hal Sepele Bernama Menyampah

Saat lewat jalan raya ke arah Gunungkidul, saya dan teman melihat seorang pemulung sedang memungut sampah yang sebagian besar plastik bertebaran di pinggir jalan. Teman saya lalu memaki-maki pembuang sampah sembarangan. Apa mereka tidak berpikir kalau menambah pekerjaan petugas kebersihan? Saya melihat ke luar jendela, sepertinya semakin banyak tumpukan sampah di pinggir Hutan Bunder. Seingat saya, sebelum tahun 2005, tumpukan sampah tidak sepanjang itu. Volume sampah sebanding dengan kenaikan kunjungan wisatawan ke Gunungkidul.


Sampah di Muncar, BanyuwangiSaya teringat saat mendaki gunung beberapa tahun lalu. Kami tidak yakin dengan jalur yang kami ambil. Saat melihat sisa bungkus makanan di jalan setapak, teman saya bilang kami ada di jalur yang benar. Sampah artinya jalur ini sering dilalui. Aneh bukan? Katanya pendaki gunung itu pecinta alam? Kok (banyak yang) menyampah seenaknya? Bukankah sampah membuat pemandangan tidak enak dilihat?


Apa susahnya membuang sampah di tempat sampah? Alasan yang paling banyak saya dengar adalah: tidak ada tempat sampah. Apakah menyimpan sebentar lalu membuangnya jika menemukan tempat sampah itu susah?

Mungkin membuang sampah pada tempatnya kedengarannya sepele. Tapi hal kecil yang dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang bisa merugikan. Saya pernah beberapa kali melihat orang dengan entengnya membuang sampah di sungai. Bayangkan jika puluhan orang melakukan hal yang sama tiap hari? Bukankah sungai akan tersumbat dan membuat banjir? Di rumah-rumah panggung saat ke Kalimantan Selatan dan Muncar, saya melihat penduduk tiap hari membuang sampah di bawah rumahnya. Apa penghuni rumah tidak terganggu dengan bau sampah yang membusuk? Apa mereka tidak berpikir kotoran tadi menimbulkan penyakit?


Membuang sampah sembarangan bukan monopoli orang yang tidak berpendidikan. Seorang kenalan bercerita tentang seorang pengajar yang membuang plastik bungkus makanan di jalan. Padahal ibu tadi dosen universitas terkenal yang S3nya di luar negeri. Apa dia tidak berpikir kalau selain mengotori, sampah plastik juga butuh ratusan tahun diurai tanah?


Jangankan sembarangan, dibuang di tempat sampah saja plastik yang menumpuk menimbulkan masih masalah. Plastik butuh ratusan tahun untuk diurai. Selama ini, masih banyak orang yang belanja di supermarket dan boros kantong plastik. Rata-rata, kantong plastik tadi langsung dibuang begitu sampai di rumah. Seringkali, kantong plastik hanya dipakai untuk membungkus satu barang kecil. Bisakah teman-teman mulai mengurangi sampah dari membawa kantong sendiri? Kalau pun terpaksa menggunakan kantong plastik, simpan dan gunakan berkali-kali. Dan kembali lagi ke membuang sampah pada tempatnya. Sepertinya itu kebiasaan yang perlu ditanamkan sejak kecil.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 13, 2014 23:17

July 7, 2014

Bisnis Separuh Hati

Suatu malam, saya diajak Diar–teman saya–untuk makan nasi kepal. Iseng saja kami bertanya ke penjualnya, jumlah kepal nasi yang bisa dia jual dalam sehari. Tebak berapa? 200 kepal. Kami kemudian menghitung keuntungan bersih yang ia dapat. Harga per kepal nasi tadi 3.500. Setelah dikurangi perkiraan biaya sewa tempat, bayar pegawai, dan bahan, pemiliknya tiap bulan bisa untung lebih dari 10 juta. Itu belum termasuk laba dari penjualan produk lain seperti kripik dan produk lain. Angka yang sangat besar untuk sebuah gerobak makan yang berjualan di emperan toko. Saya dan Diar langsung berpandang-pandangan. Angka tadi lebih dari pendapatan kami per bulan.


pedagang pasar

Mungkin kami hanya melihat manisnya keuntungan yang didapat pemilik gerobak tadi. Kami tidak sempat bertanya bagaimana dulu dia berdarah-darah memulai bisnisnya. Bisa jadi awalnya dia harus puluhan kali mencoba untuk mengemas produknya. Juga berkali-kali menciptakan susunan bumbu yang tepat. Mungkin awalnya ia sempat dicibir karena tidak menggunakan gelar sarjananya untuk bekerja. Tidak semua orang bisa melalui hal tersebut. Saya kenal banyak orang yang pernah mencoba hal serupa tapi mereka memilih berhenti.

Diar kemudian mengingat-ingat keinginannya berbisnis sejak dulu. Dulu ia pernah bermimpi punya tower bernama Diar Tower juga membuat perusahaan dengan nama IndoDiar. Seingat saya sejak SMA, dia berkali-kali ganti barang dagangan. Pernah dulu ia tertarik berjualan cabai. Dengan sepupu dan temannya, mereka menyewa lahan. Belum ada setahun mereka berhenti karena harga cabai jatuh.


Saya pun tidak jauh beda. Waktu SD saya pernah menjual es dan menyewakan buku. Waktu SMP pernah berjualan kartu nama. Semua tetangga dan teman saya tawari. Sampai beberapa teman punya kartu nama dengan jenis sama karena saya bujuk untuk memesan. Sepertinya semakin dewasa, saya malas mencoba mulai berdagang. Pernah sekali. Itu karena terpaksa. Dulu saya pernah menghadiahi diri saya sebuah novel. Untuk mencetak ribuan eksemplar, saya harus mencicil 3 juta per bulan. Berhubung saya tidak mau membayar cicilan tadi dari gaji bulanan. Mau tak mau saya harus menjual buku-buku tadi.


Akhir-akhir ini saya kembali berpikir untuk berbisnis. Semakin banyak bertemu dengan orang, saya mulai berpikir salah satu cara untuk menolong orang adalah dengan memberinya pekerjaan. Saat seseorang bekerja pada kita, akan lebih mudah untuk mengajarnya melakukan sesuatu. Sepertinya, saya harus mulai secara serius memulai bisnis sekarang juga.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 07, 2014 08:30

July 3, 2014

Perpustakaan di tengah-tengah Lapangan Denggung

Minggu lalu, saya, Bayu dan Atri nongkrong setengah hari di Lapangan Denggung, Sleman, Yogyakarta. Kami menggelar perpustakaan keliling. Biasanya, tiap minggu ada Mas Adi dan Mbak Heny dari Taman Bacaan Mata Aksara yang membuka perpustakaan keliling di lapangan ini. Kami cuma jadi tim hore yang sekadar meramaikan. Berhubung beberapa minggu berturut-turut keduanya ada acara lain, perpustakaannya sempat absen.


Karena merasa sayang kalau kegiatan perpustakaan keliling absen terlalu lama, kami menawarkan diri menggantikan. Minggu sekitar jam delapan, kami bertiga sudah sampai di Mata Aksara. Awalnya, kami ingin membawa motor perpustakaannya. Berhubung Bayu sempat menabrak tong sampah saat mencoba mengendarainya, kami memutuskan tidak membawa motor ini.


Motor Perpustakaan Keliling

Saat pertama kami menggelar karpet dan buku-buku, pengunjung masih enggan berkunjung. Kami sempat disangka tukang jualan buku. Untuk mengisi waktu, kami membuat kopi. Kami memang sengaja membawa kopor untuk merebus air. Kebetulan saya hobi membeli kopi-kopi lokal saat pergi ke luar kota. Lama-lama, banyak anak kecil datang untuk membaca buku ditemani orangtuanya. Karpet yang kami bawa mirip seperti penitipan anak.

Kegiatan ini ada tiap minggu pagi dari sekitar pukul 9 sampai selepas Dhuhur. Silahkan kalau mau datang ke Lapangan Denggung untuk membaca-baca buku. Tempatnya teduh dan menyenangkan untuk duduk-duduk. Biasanya, kalau motor perpustakaan bisa dibawa, ada ratusan buku yang bisa dibaca. Mulai dari komik, novel, buku tentang berkebun, sampai kesehatan ada di sini. Mbak Heny dan Mas Adi juga sering membawakan buku yang dipesan pembaca. Buku-buku tadi merupakan koleksi Taman Bacaan Mata Aksara yang jumlahnya sekitar 4000 buku. Biasanya kalau ada motor perpustakaan, anak-anak juga bisa bermain atau menggambar dan mewarnai. Semuanya tidak dipungut biaya.


Perpustakaan Keliling di Lapangan Denggung, SlemanSupaya kegiatan ini tetap berlangsung tiap minggu, adakah yang tertarik menjadi relawan? Bergantian menunggui buku-buku ini tiap minggu pagi? Bisa juga nanti kita mulai mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan mengajak orang lain untuk lebih menyukai membaca. Seperti diskusi misalnya? Silahkan datang langsung tiap minggu pagi atau hubungi saya di Lrwahyudyanti[at]yahoo.com dan Mbak Heny di henywardaturrohmah[at]yahoo.com


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 03, 2014 09:00

June 13, 2014

Jelajah Semarang Bersama Goodreads Indonesia

Sabtu, 7 Juni lalu Goodreads Indonesia merayakan ulang tahunnya yang ke 7. Ada sekitar 50an penggemar buku dari beberapa kota ikut jadi tim hore di acara bertajuk “Jelajah Semarang dalam kenangan”. Sekitar jam delapan, trotoar di depan Balaikota Semarang sudah ramai oleh mahluk-mahluk berisik. Yang dari Semarang memakai kaus warna kuning ngejreng. Ada juga pemilik kaus pink dan ungu. Lalu, para anggota senior Goodreads Indonesia dengan kaos warna merah yang tidak kalah mencolok saat foto bareng. Sebenarnya, Goodreads Jogja juga punya kaos. Tapi saya tidak memakainya karena sudah jadi baju tidur :D Sambil menunggu yang lain datang, kami makan coklat yang dibawa oleh Ibutio dari Bandung. Enak lo pudingnya. Apalagi gratisan.


Rombongan kemudian berangkat ke kelenteng Tay Kak Sie dengan dua mobil dan satu bus. Waktu kami sampai di Gang Lombok, Pecinan, Mas Pra mulai cerita tentang sejarah kelenteng tadi. Sepertinya kami cuma mendengarkan kalau bangunan tadi dibangun tahun 1746. Setelahnya kami terlalu sibuk menyebar untuk foto-foto.


Kelenteng Tay Kak Sie SemarangIya, warna merah menyala yang mendominasi kelenteng dan warna emas di sebagian besar dewa dan aksesorisnya menarik untuk difoto atau sebagai latar foto narsis :P Di kawasan pecinan sebenarnya ada puluhan kelenteng. Tapi kelenteng Tay Kak Sie yang paling banyak didatangi orang karena letaknya strategis dan punya paling banyak dewa. Kelenteng yang awalnya didirikan untuk memuja Dewi Kwan Im atau Dewi Welas Asih ini memiliki 33 dewa.

Beberapa teman tidak tega saat melihat puluhan burung kecil dalam kurungan di depan pintu kelenteng. Kami melepas beberapa ekor karena kasihan. Cukup dengan membayar 1.500 rupian per ekor. Penganut Kong Hu chu percaya kalau melepaskan burung yang dikurung itu akan mendatangkan karma baik. Beberapa bahkan bilang kalau hal tersebut bisa dilakukan sambil mengucapkan permohonan.


Meskipun katanya acara jalan-jalan, kami naik bus lagi ke tujuan kedua. Lokasinya di Gg Cilik yang masih kawasan pecinan juga. Kami pergi ke tempat pembuat rumah arwah. Itu rumah-rumahan yang terbuat dari kertas. Yang nanti dibakar sebagai bakti seorang anak kepada leluhurnya. Konon supaya almarhum memiliki rumah di sana. Selain rumah, biasanya ada pembakaran uang-uangan dan mobil-mobilan juga. Waktu kami ke sana, ada beberapa pekerja sedang memasang kertas di kerangka bambu. Di salah satu rumah yang sudah jadi ada pembantu. Waktu saya iseng mengintip dapurnya, ada panci dan alat penggorengan kecil dari plastik di dalamnya. Pembuat rumah arwah bilang harga satu setnya sekitar satu juta.


rumah arwahRencananya, teman-teman Semarang mau mengajak kami ke pabrik nisan dan kecap yang ada di dekat Gg cilik. Sayang, kami tidak bisa masuk ke sana. Akhirnya kami pergi ke Rumah Kopi. Di tempat yang dahulu disebut rumah karang, kita ditemui oleh Ibu Inge yang dulu besar di rumah ini. Bangunan warna putih yang tembok dan kayu-kayunya masih utuh ini tidak diketahui kapan dibangun. Konon jauh sebelum tahun 1800 an. Rumah ini miliki Marga Tan yang merupakan salah satu pembangun Pecinan Semarang.


Ibu Inge bercerita kalau opanya Tan Tiong Ie pendiri perusahaan kopi Margo Rejo. Perusahaan ini membuat dan memasarkan kopi. Tan Tiong Ie merupakan keturunan Tionghoa pertama di Jawa yang bisa mengekpor kopi ke negara lain. Hingga kini, perusahaan tersebut masih menjual kopi meski tidak sebanyak dahulu.

Kami masuk ke dalam rumah dan terpesona melihat furnitur-furnitur kayu yang umurnya ratusan tahun. Saya naksir sama Lian (pepatah) yang dipasang di dinding. Salah satunya berbunyi kalau diterjemahkan kira-kira begini: sebaik-baiknya anak kaya lebih baik anak pintar.


Rumah Kopi SemarangRombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Taman Sri Gunting yang ada di samping Gereja Blenduk. Setelah makan siang bersama, ada kuis berhadiah buku. Berhubung buku dari sponsor lebih banyak daripada jumlah peserta, semua kebagian. Tetap saja berebut menebak karena ingin lebih dahulu memilih buku. Lalu ada hadiah buku-buku tambahan dari sumbangan perorangan. Kejamnya, pertanyaannya seputar kapan kopdar Goodread di Jakarta. Lah, kita yang di daerah atau baru gabung kan ahistoris. Tapi lumayan pulang bisa bawa buku-buku gratisan termasuk Semarang citybooks yang ada di goodybag.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 13, 2014 12:31

May 29, 2014

Buku untuk Teman di Desa Bonto Tapalang

Minggu lalu, saya jalan-jalan ke hutan desa di daerah Bantaeng, Sulawesi Selatan. Tempat ini keren. Gunung Lompo Batang dan jurang-jurang tertutup pepohonan hijau menjadi pemandangan desa-desa di sana. Di beberapa tempat, laut biru terlihat di kejauhan. Kiri dan kanan jalan penuh dengan kebun-kebun kopi penduduk. Saya suka mengamati rumah-rumah penduduk. Sebagian besar rumah panggung dari kayu.


Rumah panggung sulawesi selatan


Adam, teman saya, mengajak singgah ke Madrasah Aliyah (sekolah Islam setingkat SMA) di Desa Bonto Tapalang. Kami bertemu dengan Ahmad, salah seorang guru di sana. Kata Ahmad, madrasah tersebut baru buka tahun 2011. Seminggu sekali, Ahmad mengajar Sejarah Kebudayaan Islam. Di luar itu, ia dan Eka—istrinya mengajak murid-muridnya berdiskusi di asrama yang letaknya di sebelah rumah mereka. Eka yang masih kuliah di UNM, mengajar Geografi di sekolah yang sama.


Ahmad bercerita kalau ia lulusan S1 pertama di desanya. Awalnya, ia mengambil Pendidikan Guru Sekolah Dasar dan lulus tahun 2007. Ia sempat mengajar di SD kemudian melanjutkan kuliah di Janeponto. Setelah menikahi putri pemilik yayasan yang menaungi sekolah Islam setingkat SD, SMP, dan SMA, ia mengajar kembali. Selain mengajar, Ahmad bertani. Ia menanam kopi, cengkeh, dan cabai.


Waktu datang ke sana, saya sempat ditodong untuk mengajak murid-murid di sana ngobrol tentang pentingnya buku. Akhirnya saya memilih untuk bercerita. Biasanya, saya membacakan buku, atau bercerita sambil menunjukkan slide berisi foto-foto pendukung cerita. Karena tidak ada persiapan, saya menggambar peta di papan tulis. Ceritanya dimulai dari waktu kecil, saya sering mendengar kalau Indonesia itu negeri yang sangat kaya. Terdiri lebih dari 17.000 ribu pulau dan ratusan bahasa serta suku bangsa. Saya dulu suka menonton film anak 1000 pulau. Juga membaca buku-buku tentang adat istiadat dan keindahan alam Indonesia. Dan bermimpi bisa datang ke tempat-tempat tadi.


Dan hal tersebut terwujud setelah bekerja. Saya mulai bisa melihat tempat-tempat yang awalnya hanya saya dengar ceritanya saja. Mulai dari snorkling di Pulau Weh dan melihat nol kilometer Indonesia. Mengunjungi perkebunan dan hutan di Sumatra. Naik kereta api di kota-kota di Jawa. Mencoba rakit bambu di Kalimantan. Datang ke Lombok hanya karena penasaran dengan cacing yang keluar setahun sekali dan enak dimakan. Terpesona saat bisa datang ke Papua dan bertemu penduduk lokalnya yang warna kulit dan rambutnya berbeda.

Murid-murid di sana mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Sesekali mereka bingung karena tidak tahu apa yang saya ceritakan. Bayangkan, murid-murid SMA tadi tidak tahu apa itu terumbu karang. Padahal, tempat tinggal mereka hanya beberapa jam dari Pulau Selayar yang orang dari jauh datang hanya untuk menyelam. Saya juga harus mendeskripsikan apa itu kereta api, karena mereka tidak punya bayangan kalau ada benda besar dari besi yang bisa dinaiki ratusan orang. Saya juga sempat bingung waktu menjelaskan Jogja, tempat asal saya, ada di mana.


Saya agak tidak yakin waktu bilang sebelum bisa pergi ke tempat lain, bacalah buku supaya tahu ada apa di luar sana. Jarang ada orang keluar masuk desa ini. Mertua Ahmad berkata kalau saya orang Jogja pertama yang datang ke sana. Bisa jadi. Kalau tidak kenal teman-teman di LSM Balang, saya juga tidak mungkin sampai sana. Hal itu juga yang menyebabkan di Bonto Tapalang susah untuk mendapatkan buku. Perpustakaan desa tidak jelas kapan buka. Untuk membeli buku, toko buku terdekat ada di Makassar yang jaraknya ratusan kilometer. Sepertinya, orangtua mereka juga enggan membelikan buku di luar buku pelajaran.


Sekolah desa hutanAhmad, istri, dan mertuanya akan membuka perpustakaan di asrama sekolah. Supaya murid-murid di sana bisa membaca buku di luar buku pelajaran. Adam dan teman-temannya di LSM balang, juga sedang membantu mereka mengumpulkan buku. Teman-teman ada yang tertarik membantu? Bisa hubungi Adam di a.kurniawan@balanginstitut.org . Di beberapa desa hutan lain di Indonesia, beberapa teman saya juga sedang membangun perpustakaan. Kalau teman-teman punya buku yang bisa disumbangkan untuk mereka, silahkan hubungi saya. Terimakasih sebelumnya.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 29, 2014 13:20

May 18, 2014

Baca Buku, Yuk! Karena Sekolah Saja Tidak Cukup

Hari minggu lalu, Goodreads Jogja dan 1001 buku mengadakan ngobrol bareng mengenai dunia pendidikan dan budaya membaca. Acara tersebut menjadi bagian dari Booklover Festivalnya Radio buku. Ceritanya, ide obrolan ini dimulai dari keprihatinan teman-teman dengan dunia pendidikan (formal) di Indonesia. Selama ini, pendidikan cenderung dipersempit menjadi sekolah. Orangtua menitipkan anak-anaknya ke sekolah dan berpikir bahwa mendidik itu tugas sekolah. Padahal, seharusnya orangtua yang diberi amanah untuk mendidik anak. Pendidikan itu proses membuat dari yang tidak tahu menjadi tahu. Tidak sekadar mengerjakan setumpuk peer dan berlomba untuk mendapat rangking.


diskusi buku di radio buku


Ada 4 pembicara yang memulai diskusi. Mas Anto yang bekerja di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan, Mas Adi yang menjadi Komite Sekolah TK dan SD Model, Mbak Tata yang praktisi anak dan Pendidikan, lalu Mas Ganjar yang relawan literasi di 1001 buku. Mas Anto bercerita pengalamannya waktu berbicara di depan guru dan kepala sekolah RSBI. Dia iseng bertanya kapan mereka terakhir baca buku di luar buku umum. Jawabannya: waktu kuliah. Kebayang ga, menurut dinas pendidikan, guru yang ada di RSBI itu guru bagus. Buku itu salah satu cara mendapat pengetahuan. Kalo yang bagus saja tidak menganggap buku penting, guru-guru dengan level dibawahnya seperti apa?


Obrolan kemudian berlanjut ke ironi kurikulum 2013. Kurikulum yang bagus tadi tidak diimbangi oleh guru-guru sekolah yang siap untuk mengajarkan hal tersebut. Memperbaiki kurikulum tanpa menyiapkan guru itu seperti punya mobil bagus dengan sopir tidak terampil. Guru-guru di sekolah formal, rata-rata terbiasa mengajar satu arah. Guru berbicara dan murid mendengar. Banyak yang menjadi guru karena menganggapnya pekerjaan bukan panggilan jiwa.


Sekolah memperlakukan anak-anak yang unik dan memiliki kecerdasan yang berbeda dianggap sebagai barang kodian. Mereka disamaratakan kemampuannya dan dipaksa untuk menguasai hal yang sama. Selain itu, sekolah juga menjadi menara gading. Mereka membuat murid tidak mengenali lingkungan sekitarnya karena hal yang diajarkan tidak membumi.


Sedangkan untuk membudayakan membaca di sekolah, sekolah-sekolah umum memiliki perpustakaan dengan koleksi buku membosankan. Perpustakaan bahkan menjadi tempat penyimpanan buku paket. Yang dikeluarkan tiap tahun ajaran baru. Kalaupun ada dana Bantuan Operasional Sekolah, pihak sekolah cenderung dipakai untuk membangun fisik daripada membeli buku. Bukankah guru dan kepala sekolahnya sendiri tidak peduli dengan buku?


Sebagai bagian dari mendidik, di beberapa tempat muncul gerakan-gerakan literasi. Muncul orang-orang dan komunitas yang menyediakan bacaan dan mengajak lingkungan sekitar untuk membaca. Berhubung membaca itu sebuah kebiasaan, sebaiknya ia ditanamkan sejak dini. Sayang, masih sedikit buku anak yang bagus dan punya muatan lokal.


Obrolan yang berjalan 3 jam tadi tidak menawarkan solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan. Terlalu banyak masalah dan mungkin saat ini buang-buang energi kalau mau merubah sistem pendidikan. Setidaknya, kalau kita tahu pendidikan formal di Indonesia bermasalah, kita bisa memilih cara untuk menyikapinya. Mendidik itu tugas pertama orangtua dan keluarga itu sekolah pertama. Kalau pun nanti akan menitipkan anak ke sekolah, orangtua dan keluarganya harus tahu bahwa sekolah saja tidak cukup. Salah satu cara supaya menjadi pendidik yang baik, orang harus punya banyak referensi untuk mengajar. Buku merupakan salah satu sumber untuk mengisi pengetahuan para pendidik dan calon pendidik.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 18, 2014 23:28

May 5, 2014

Para Pengumpul Recehan

Seorang Bapak usianya mungkin sekitar 40 tahun berdiri di gerbang rumah. Waktu saya datangi, Bapak tadi bercerita, adiknya yang kelas empat SD butuh uang untuk membeli buku dan seragam. Ia meminta uang seiklasnya. Saya diam sebentar. Awalnya, saya yang sedang beres-beres sempat berpikir untuk memintanya mengepel rumah. Sekalian memintanya untuk membereskan rumput di taman dan merapikan tumpukan barang bekas di garasi. Saya bisa membayarnya untuk itu.


Tapi saya membatalkan niat tadi saat tidak nyaman melihat wajahnya. Saya merasa ia bukan orang yang ramah. Waktu saya meminta maaf karena tidak bisa mengabulkan permintaannya, orang ini kemudian marah dan pergi tanpa pamit. Saya kemudian merasa beruntung batal memintanya membereskan rumah. Saya tidak tahu apakah orang tadi menipu atau tidak. Kalaupun benar ia butuh uang, kenapa ia merasa layak meminta uang ke orang asing? Bukankah masih banyak orang yang lebih membutuhkan uang dan ada masih mau bekerja untuk itu.


Saya jadi ingat dua minggu lalu saat naik angkot di Jakarta. Dua orang pemuda mungkin umurnya 20-an tahun tiba-tiba masuk dan duduk di dekat pintu. Salah seorang wajah dan tubuhnya penuh tato. Seluruh penumpang menatapnya dengan pandangan risih. Kami berusaha untuk menjauh darinya. Ia kemudian berbicara dengan nada penuh ancaman. Katanya, mereka butuh uang untuk makan. Secara halus, ia menyatakan lebih baik sisihkan sedikit uang kalian daripada nanti ada sesuatu dengan barang berharga yang kalian pegang. Beberapa penumpang merasa tidak nyaman kemudian buru-buru mengeluarkan uang.


pedagang pasar


Kecuali saya dan seorang teman. Kami tidak suka memberi uang orang yang tidak bekerja. Bukan masalah jumlahnya, memberi uang kepada peminta-minta akan membuat mereka nyaman di jalanan. Mereka akan terus-menerus melakukan hal tadi karena tidak perlu bersusah payah bekerja. Penghasilan seorang pengemis dalam sebulan bisa lebih dari lulusan S1. Lebih baik berikan uang kepada lembaga amal supaya dikumpulkan dengan uang orang lain. Yang mungkin bisa memberi pekerjaan seseorang.


Sekarang, saya mulai meniru kebiasaan seorang teman. Namanya Ali. Ia punya kebiasaan memberi uang lebih saat membeli sesuatu atau naik taksi. Pedagang dan penjual jasa kecil ini sudah bekerja. Mereka layak untuk mendapat uang karena punya harga diri untuk tidak meminta-minta. Kata Ali, mumpung kita masih bisa memberi. Bisa jadi, suatu saat nanti kita butuh pertolongan orang. Semoga saja saat semakin banyak kita berbuat baik, nanti ada yang membalas.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 05, 2014 13:03

May 1, 2014

Tentang Menulis

Hore, dapat kuliah gratisan lagi. Kali ini temanya tentang media dan penulisan. Bayangkan, belajar dari jurnalis-jurnalis senior seperti Farid Gaban, Dandy Laksono, Maria Hartiningsih, dan lain-lain. Kerennya lagi, lokasi pelatihan tadi di Kampus Cifor, Bogor yang letaknya di tengah-tengah hutan hujan tropis. Jadi, kita belajar membelakangi kaca-kaca besar dengan pemandangan pohon-pohon raksasa.


9 peserta dari Sumatra sampai Papua datang atas undangan Kemitraan. Awalnya, kuliah tadi berisi tentang hal-hal seputar teknis menulis. Saat menulis, kita harus berpikir mengenai apa yang ingin kita sampaikan? Bagaimana cara supaya tulisan menarik untuk dibaca? Apa isu penting dari tulisan? Apakah bahasa yang dipergunakan sederhana? Bisakah pembaca paham? Lalu, supaya pembaca menerima informasi dengan baik, tulisan harus fokus. Jangan tergoda untuk bercerita hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan inti persoalan yang ingin kita sampaikan.


Sebelum menerbitkan sebuah tulisan, penting untuk melakukan editing. Sebelum tulisan dimuat di media apapun, penulis harus mengecek apakah info yang ia sampaikan bisa ditangkap. Ia perlu memperbaiki tulisan supaya lebih komunikatif. Tulisan sebaiknya melalui proses cek fakta supaya bisa dipertanggung-jawabkan. Selain itu, penulis harus tega menghilangkan kata dan kalimat yang tidak penting. Ia juga tidak boleh lupa untuk memperbaiki tanda baca. Banyak salah ketik akan menyiksa pembaca. Bisa jadi mereka malas membaca tulisan yang berantakan.


Saya hanya tertawa saat Mas Dandy bilang sebelum kami belajar tentang jurnalistik, lebih baik kami belajar tentang tata bahasa. Banyak dari kami yang tata bahasanya kacau. Satu kalimat idealnya punya satu ide. Kalimat yang beranak pinak membingungkan pembaca. Parahnya, beberapa teman sering tidak memperhatikan hal ini. Tidak hanya satu dua orang yang membuat kalimat dengan lebih dari 30 kata. Selain mengaburkan info, kalimat panjang bertingkat juga membuat capai pembaca.


Satu hal yang saya pelajari adalah: hindari kata sifat itu karena sifatnya subyektif. Mahal menurut seorang buruh berbeda dengan mahal menurut seorang pengusaha. Untuk mengganti kata cantik, lebih baik deskripsikan seperti apa warna kulitnya, bentuk wajahnya, dan lain-lain.


Hari terakhir, ada sesi peninjauan tulisan oleh Maria Hartiningsih. Saat mengomentari tulisan kami, beliau banyak cerita tentang orang-orang pinggiran. Intinya, saat ini orang-orang Indonesia itu dibuat bodoh supaya bisa ditipu sama orang-orang pemerintah. Atau menjadi konsumen perusahaan multinasional. Ibu Maria juga bercerita kalau menulis itu tentang panggilan jiwa. Orang hanya perlu lebih peka untuk melihat dan menuliskan apa yang membuatnya terpesona atau marah. Lead dan hal-hal teknis itu urusan belakangan.


Awalnya, saya tidak berharap banyak menguasai suatu hal hanya dari sebuah pelatihan. 5 hari terlalu singkat untuk bisa menulis dengan baik dan membuat kampanye. Tapi saya dapat banyak cerita saat ngobrol bebas. Mas Farid cerita tentang betapa Indonesia kaya dengan ekspedisi Zamrud Khatulistiwanya. Mas Dandy yang mengajak orang-orang di Aceh memberitakan hal-hal yang lewat di media massa lewat portal Acehkita. Banyak deh kalau diceritakan satu-satu. Bertemu tukang dongeng senior tadi jadi mengingatkan saya kembali kalau saat ini masih separuh-separuh saat mengerjakan sesuatu. Banyak hal yang saya tidak tahu tentang negeri tempat saya tinggal.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 01, 2014 07:28

April 28, 2014

Kadang, Niat Baik Saja Tidak Cukup

Seorang kenalan, kita sebut saja Fajar, mengirim pesan kalau ia akan datang ke Jogja. Fajar meminta nomer teman lain yang pernah menawarkan buku hibah. Kata Fajar, ia sudah berjanji pada pengunjung kecil perpustakaannya akan ada buku baru.


Sebelumnya, saya terkesan dengan kegiatan Fajar. Ia membuka perpustakaan dan mengadakan kegiatan seperti menari dan mendongeng untuk anak di sebuah desa. Saya berusaha membantu dengan memberi info tentang sebuah hibah buku. Tapi caranya meminta tolong tidak lagi membuat saya bersimpati. Ia membuat kesan seolah-olah orang lain harus membantunya. Ia tidak memikirkan bahwa si pemberi hibah sedang berlibur. Buku-buku tersebut ada di kantor. Butuh waktu untuk menyiapkan.


Fajar juga tidak berpikir ada puluhan taman bacaan lain yang menginginkan buku tersebut. Perpustakaan lain lebih dahulu mengirimkan permohonan. Banyak yang lokasi perpustakaannya lebih terpencil. Bisa jadi mereka lebih kesulitan mengakses buku.


Saya jadi teringat niat baik yang pernah dilakukan beberapa teman. Kadang, niat tersebut tidak diikuti oleh cara yang baik. Terlalu sering orang berpikir mengenai tujuan yang ingin mereka capai tanpa memikirkan efeknya untuk orang lain. Tidak hanya satu atau dua kali si pelaku niat baik ini memanipulasi orang lain. Mereka membuat orang lain merasa bersalah jika tidak bergabung.


Saya juga pernah melakukan hal yang sama. Beberapa tahun lalu, saya ingin membuat perpustakaan di sebuah desa. Saya mengeluarkan banyak energi dan waktu untuk mengumpulkan buku dan membuat kegiatan. Niat saya baik, saya ingin membuat anak-anak di desa tadi menyukai buku. Desa mereka jauh dari kota. Buku bagi orangtua mereka yang petani merupakan barang mahal. Jika ada perpustakaan, harapan saya, anak-anak di sana bisa membaca buku dengan mudah.


perpustakaan dan buku


Sayangnya saya lupa jika buku itu benda mati .Kalau tidak dibarengi dengan komitmen untuk datang secara rutin sembari mengadakan kegiatan bermain, percuma. Buku-buku tadi kemudian menumpuk di rak buku seorang tokoh desa. Tidak ada penduduk lokal yang punya waktu luang untuk mengajak penduduk lain melakukan kegiatan membaca.


Bukan hanya saya. Orang-orang di sekitar saya sering melakukan hal yang mereka pikir baik. Tanpa berpikir dari sudut pandang orang yang mendapat bantuan. Atau orang-orang lain yang mereka mintai tolong untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan. Kadang saya bertanya, apakah benar saya dan mereka tulus? Ataukah kami hanya ingin terlihat baik? Entahlah.

Sekarang saya memilih untuk melakukan sesuatu yang sederhana. Hal yang bisa saya jaga komitmennya untuk melakukan hal tadi secara terus menerus. Seperti menulis di blog, membantu taman bacaan teman yang sudah berjalan. Sambil menunggu nanti ada hal besar yang bisa saya kerjakan. Semoga lebih cepat.


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 28, 2014 04:51

April 24, 2014

Lembaga (yang katanya Sakti) Bernama Media Massa

“Ketika Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif tidak bisa diharapkan, media menjadi tempat bersuara rakyat,” tutur seorang pemimpin redaksi sebuah redaksi media massa. Ucapan heroik tersebut menjadi kata sambutannya kepada beberapa pengunjung kantornya. Benarkah?


Media


Redaktur pelaksana koran tersebut bercerita jika suatu hal akan menjadi berita apabila aktual. Dan tebak, apa yang dimaksud dengan aktual? Isu yang menjadi perbincangan banyak orang. Standarnya berdasar jumlah koran yang laku. Bagaimanapun juga, media massa hidup dari iklan. Semakin banyak pembaca yang ia miliki akan berdampak pada banyaknya pemasang iklan.


Intinya media menyerahkan standar aktual atau tidaknya kepada pasar. Bukankah hal tersebut akan membuat media cenderung untuk memuat isu-isu yang bombastis? Perceraian Farhat Abbas, warna baju Julia Perez, atau Ibu negara yang marah di Instragram, apakah itu penting? Ya, berita-berita tersebut menarik untuk dibaca. Seseorang tidak perlu berpikir keras untuk mencerna info tersebut. Tapi apa gunanya? Beranikah pemilik media mengeluarkan berita-berita yang membuat cerdas dengan taruhan medianya tidak terlalu laku?


Kita ambil contoh satu kasus yang saat ini sedang ramai. Tentang pelecehan seksual yang dialami sebuah murid sekolah internasional. Media massa, memberitakan hal tersebut berulang-ulang. Ada yang bercerita tentang kronologis kejadian sampai konflik antara orangtua korban melawan sekolah. Tetapi, adakah yang memberitakannya dengan cara yang memberi pengetahuan kepada pembacanya? Seperti bagaimana si pelaku bisa menjadi penjahat? Apakah cara untuk mencegah supaya tidak ada lagi pelaku yang lain berkeliaran?


Sayangnya, sebuah berita kadang dianggap bisa dipertanggungjawabkan saat dimuat oleh media massa. Kadang, masyarakat tidak berpikir ada mesin ekonomi di balik itu semua. Ada pemodal atau politisi yang menjadi penyumbang atau pemilik media. Mereka berkepentingan supaya kita membeli produknya atau memilih mereka.

Sesuatu yang dianggap berita juga belum tentu benar. Dalam sehari, sebagian besar wartawan harian memiliki tenggat untuk menulis tiga berita. Bayangkan, apa sempat mereka mengecek datanya? Bisa saja mereka menulis tanpa konfirmasi ulang. Bukankah mereka menjadi seperti robot? Sempatkan para pekerja media beristirahat dan berpikir mengapa mereka melakukan hal tersebut? Adakah idealisme untuk memberitakan yang baik atau mengejar bonus saat beritanya dimuat? Belum lagi jurnalis juga manusia. Mereka punya banyak masalah pribadi seperti membayar tagihan, anaknya sakit, dan lain-lain. Sempatkah mereka untuk berpikir jauh tentang hal-hal yang mereka tulis?


Saya pribadi, sekarang berhati-hati saat menerima sebuah info. Sejak dahulu saya jarang menonton televisi. Lama-lama saya juga mengurangi membaca koran. Sepertinya hidup saya baik-baik saja tanpa harus mengonsumsi kedua hal tadi setiap hari. Saya tidak mau terus menerus berpikir banyak hal buruk terjadi di dunia ini tanpa melakukan sesuatu.  Di sisi lain, saya masih percaya diantara industri media tadi masih ada wartawan baik yang bekerja karena mereka ingin berbagi ilmu atau informasi. Sebagai pembaca dan penonton, kita harus pintar memilih mana yang akan kita konsumsi.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 24, 2014 21:08