Lutfi Retno Wahyudyanti's Blog, page 10
September 25, 2011
Liburan Bersama Para Kutu Buku
Sabtu kemarin, saya terpaksa mandi pagi lagi. Kali ini gara-gara mau pergi ke Semarang buat kumpul bareng teman-teman Goodreades dari Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Dari Jogja, saya berangkat dengan mobil sewaan bareng Daniel, Iyut (plus Petra putrinya), Natty, Kurnia, dan Mas Kus yang nyetir mobil.
Kemarin, rencananya kita mau citiwalk mulai jam 9 pagi di Kota Lama. Tapi, rutenya diubah. Kami janjian buat ketemuan di Kelenteng Sam Po Kong. Rombongan dari Jogja jadi yang pertama datang. Kami rada kecewa waktu sampai di sini. Untuk masuk ke kelentengnya, pengunjung harus bayar dua kali. Yang pertama, untuk masuk pelataran kelenteng. Klo yang itu sih masih bisa ditoleransi,tiap pengunjung cuma kena Rp 3.000. Trus setelah masuk halaman, ada loket lagi. Pengunjung harus bayar Rp 20.000 kalau mau ke kelentengnya. Males banget ga? Apalagi dulu kan gratis.
Akhirnya kami duduk-duduk di salah satu gazebo. Sambil bantuin Petra ngabisin camilan bekalnya. Rombongan dari kota lain trus nyusul satu-satu. Nggak ada satu pun dari kami yang masuk ke kelenteng. Kami cuma foto-foto narsis sambil berjemur di lapangan.
Abis itu, kami ditraktir sama Mas Tono makan siang di Restoran Semarang. Sebagai gantinya, kami rame-rame nyanyiin lagu selamat ulangtahun. Restoran yang dikelola sama sejarahwan Jongkie Tio ini nawarin menu peranakan yang jadul. Trus mereka punya interior yang unik. Saya suka bagian dinding yang penuh dengan foto-foto tempo dulu dan artikel-artikel koran tentang resto ini. Restoran ini saya masukan jadi salah satu lokasi di novel Para Pemuja Matahari lo.
Habis makan, kami pergi ke taman KB. Di sana, kami gelar tiker dan mulai tukeran cerita tentang kegiatan-kegiatan Komunitas Goodreads Indonesia. Sebelum ajang tukeran cerita, kami maksa Mas Tono sebagai wakil dari tuan rumah buat ngasih kata sambutan. Ternyata dia cuma bilang: Selamat Datang. Udah, gitu aja. Nggak pake basa-basi, kata-kata mutiara, atau apalah. Dia sendiri ngaku klo itu kata sambutan yang singkat, pendek, jelas dan jelek.
Habis itu, kami kenalan pakai games ngapalin nama. Aturannya begini: Saya mulai dari menyebutkan nama, makanan dan buku favorit. Nah, teman di kiri saya sebelum menyebutkan makanan dan buku favoritnya, harus mengulang perkenalan saya. Hal tadi dilakukan berulang-ulang, jadi orang yang ada di sebelah kiri harus menghapal nama banyak orang. Acara berlanjut dengan bagi-bagi doorprize, yang seperti biasa didominasi oleh buku. Kalo pengen dapet doorprize, kami harus nebak waktu seseorang cerita tentang sinopsis sebuah buku. Orang yang dapet doorprize gantian ngasih sinopsis yang harus ditebak orang lain. Seperti biasa, habis itu kami foto-foto.
Beberapa teman dari Semarang harus pulang karena pada punya acara lain. Rombongan kemudian dibagi jadi dua. Teman-teman dari kota lain pergi ke karoke, dan rombongan dari Jogja pergi dulu ke Books! Yeah, sejak dari Jogja kami dah ribut-ribut pengen ke sini.
Books penuh dengan buku (ya iyalah, namanya juga toko buku ) impor. Ada banyak buku keren di sini yang harganya murah karena bekas. Pokoknya bikin ngiler deh. Apalagi kebanyakan kondisinya masih bagus. Cuma… buku-buku di sini penataannya rada ga keorganisir. Kami harus mantengin satu per satu rak buku. Baca satu per satu judul buku sebelum nentuin mana yang pengen dibeli. Pokoknya lain kali harus balik ke sini lagi buat berburu buku.
Sekitar jam 5, kami nyusul ke Nav buat karokean. Daniel langsung duduk deket mic buat nunggu giliran nyanyi. Kalau Kurnia langsung mojok dan nyari posisi buat tidur. Ruangan tempat karoke yang adem memang nyaman setelah berpanas-panas di luar. Kmrin seh janjiannya tema karokean kali ini adalah lagu-lagu dari grup vocal. Berhubungan pada kehabisan ide, akhirnya lagu yang dipilih nggak ada temanya.
Jam tujuh, kami pulang supaya nggak terlalu malam sampai Jogja. Rencananya kami mau makan di jalan. Di jalan kami nggak nemu tempat makan yang kayaknya enak. Kami sampai di daerah Magelang sekitar setengah sepuluhan malem dan warung-warung makan dah pada tutup. Akhirnya kami makan di warung Lamongan di pinggir jalan. Saking lapernya, kepala tu dah mulai berkunang-kunang. Pas mulai makan, menunya berasa enak banget. Nggak tau itu beneran enak atau gara-gara perut kami minta diisi ya?








September 14, 2011
Berhari Minggu di Candi
Minggu 11 September kemarin Javlec Junior punya acara lagi. Kali ini menggambar bersama di Pelataran Candi Borobudur. Kali ini saya ditemani Apied, Lio, Kurnia, Erik, Niken, dan Rendi yang memang tukang gambar.
Waktu kami datang langsung dikerubuti sama adik-adik. He..he..he.. Mereka tu dah nunggu sejak jam 8 padahal kmrin saya bilang kalau kami akan datang jam 9. Mana pakai molor gara-gara saya meninggalkan sesuatu di rumah. Jadi maluu…
Rencana awalnya, kami mau jalan bareng-bareng ke candi. Berhubung ada penduduk yang nawarin nganter pake pick upnya, ya sudah, adek-adeknya rame-rame naik di belakang. Wuih.. ribut banget! Pada rebutan naik ke belakang bak mau jadi yang berangkat duluan. Malah ada yang pakai nangis segala karena dipikir ditinggal sama teman-temannya.
Kami masuk ke kawasan candi lewat Hotel Manohara. Waktu sampai, kami nyari tempat teduh buat menggambar ramai-ramai. Sebelumnya, adek-adeknya diitung dulu supaya nanti nggak ada yang tercecer Lima puluh anak lebih kan repot klo nanti pada lari entah ke mana. Apalagi waktu itu candi rame banget pengunjungnya.
Akhirnya kami membagi kelompok berdasar umur. Adek-adek yang sekolah di TK menggambar bareng Niken. Temanya menggambar bebas. Di kelompok ini pada main corat-coret. Saat ditanya, mereka bilang yang digambar itu ular, pohon, rumah, batu, bintang, sama ada juga yang ngambar tukang ojek! Imajenatif banget ya? Saya baru tahu kemarin karena di acara sebelumnya, anak-anak TK nggak pernah menggambar. Mereka biasanya memilih bergabung dengan kelompok mendongeng atau melipat kertas.
Beda banget sama teman-temannya yang lebih tua. Di pertemuan-pertemuan sebelumnya, hampir seluruhnya menggambar dua buah gunung yang ada sawahnya. Mungkin karena mereka terbiasa diseragamkan? Lalu tiap kali pelajaran menggambar gurunya selalu ngasih contoh gambar gunung? Saya jadi ingat cita-cita jaman kecil dulu. Dulu, saya pengen jadi mentri pendidikan. Gara-gara ngelihat di sampul buku pelajaran tiap kali ganti mentri pasti ganti kurikulum. Entah kenapa saya beranggapan kalau jadi mentri pendidikan, saya bisa seenaknya menghapus pelajaran-pelajaran yang nggak nyenengin. Yah, dengan demikian saya menyelamatkan banyak anak di Indonesia yang bosan setengah mati dipaksa duduk berjam-jam tiap hari di sekolah.
Kelompok anak kelas 1 sampai 3 SD, ikut Lio menggambar bareng. Pertama-tama, mereka membuat gambar pohon. Setelah itu, mereka bersama-sama menggambar rumah dan halaman dan menggambar biri-biri. Di kelompok ini sempat ada rebutan crayon warna hitam. Awalnya, adik-adik ini beranggapan menggambar garis tepi itu harus dengan warna hitam.
Anak kelas 4 dan 5 karena jumlahnya banyak, dipecah menjadi dua kelompok. Yang pertama ikut Apied. Awalnya mereka menggambar bermacam-macam hewan yang gayanya kartun banget. Bentuknya mirip tokoh-tokoh di desain tshirt yang biasa dibuat Apied. Ntah kenapa lalu gambarnya berubah menjadi tokoh-tokoh di kartun Spongebob. Ada satu adek yang gambarnya beda. Awalnya saya pikir dia ngambar sawah dengan pohon-pohon dengan seekor hewan berwarna oranye. Dengan lugunya saya bertanya: "Itu gambar sapi ya?" Dan, saya merasa bersalah karena menurut pembuatnya, itu gambar serigala.
Kelompok kedua, bergabung dengan Kurnia. Awalnya mereka menjiplak jarinya dan memberi muka dan rambut di masing-masing jari hingga jadi keluarga jari. Setelah itu mereka bersama-sama menggambar sawah yang ada orang-orangan berbaju merah.
Anak-anak kelas lima ke atas menggambar ditemani Erik dan Rendi. Setelah dibagi, mereka langsung lari menggambar di dekat pertunjukan barongsai. Ada yang menggambar barongsay, ada yang menggambar layang-layang, dan ada juga yang menggambar candi.
Sekitar jam 12an, acara selesai. Saatnya mengeluarkan buku-buku untuk dipinjam. Biasanya, adik-adik ini memilih salah satu temannya untuk menjadi petugas perpus. Si petugas ini yang bertugas mencatat buku yang dipinjam dan nanti mengumpulkan buku sebelum kami datang lagi. Berhubung sudah terlalu siang, kali ini kami tidak mengadakan pemilihan. Ada seorang adek berumur 3 tahun berteriak-teriak heboh. "Ini siapa nanti yang bertanggungjawab!"
Setelah mereka pulang, kami ramai-ramai makan siang di bawah pohon. Berhubung hari masih terlalu siang untuk balik ke Jogja, kami jalan-jalan dulu keliling candi. Dan seperti biasa isinya penuh dengan sesi foto-foto narsis. Seperti ini
Candi Borobudur siang itu panaaassss…. sekali. Berhubung kami hampir mengalami dehidrasi, kami cuma keliling di satu tingkat. Sebelum keluar, kami dibeliin legen (minuman dari nira kelapa) sama Kurnia. Bapak penjualnya ngambil langsung dari pohonnya lo. Dia sampai tiga kali naik turun pohon untuk kami.
Berhubung sudah sore dan capai, kami harus pulang. Makasih temen-temen dah mau jadi relawan. Terimakasih juga untuk Wini, Indra, dan Ice yang dah nyumbang buat beli alat gambar dan sewa mobil.








September 2, 2011
Papua oh Papua
Saya langsung bilang iya dan loncat-londat kegirangan saat seorang teman menawarkan jalan-jalan ke Papua. Sejak kecil, saya ingin sekali pergi ke Papua. Dalam bayangan saya, Papua tempat yang eksotis, liar, dan masih alami sekali. Sebelum berangkat, saya sibuk mebayangkan akan naik sampan dengan anak-anak kecil yang berkulit hitam dan keriting.
Waktu itu, saya nggak kepikiran kalau tugas yang saya kerjakan hampir mustahil untuk dilakukan. Bayangkan, saya yang nggak tahu apa-apa soal Papua dan korupsi, tiba-tiba disuruh bikin laporan visual. Yah, semacam mirip film dokumenterlah, tentang program anti korupsi. Berhubung, kalau saya tolak entah kapan saya bisa ke Papua, saya bilang iya tanpa berpikir. Gilanya lagi, saya cuma punya dua hari untuk bersiap-siap sebelum berangkat! Padahal, saya baru saja sampai di Jogja setelah dua minggu tinggal di perkampungan nelayan untuk menyusun buku.
Saya pergi berdua dengan Mbak Iwuk yang ditugasi mengevaluasi program tersebut. Kami sampai di Biak sekitar jam 3 pagi. Waktu kami keluar, ada belasan supir taksi (disana angkot yang bisa disewa disebut taksi) menawarkan untuk mengantar kami. Berhubung supir taksinya serem-serem, Mbak Iwuk mengajak saya berjalan kaki karena hotel tempat kami menginap tidak terlalu jauh.
Waktu jalan, saya agak kecewa. Tadinya saya membayangkan akan datang di tempat yang dikelilingi hutan, trus penduduknya tinggal di honai. Ternyata, rumah-rumah di jalan yang kami lewati terbuat dari beton. Yah!
Kami jalan pelan-pelan karena capai dan masih mengantuk. Ya iya lah, barusan terbang 9 jam. Mana di pesawat insomnia saya kumat. Baru beberapa ratus meter kami jalan, ada beberapa ekor anjing menggonggong galak. Huaa… Kami langsung lari tunggang-langgang karena dikejar.. . Hiks, terpaksa olahraga pagi.
Hal unik yang paling saya ingat tentang Papua adalah: Bandara-bandaranya yang ajaib. Menurut saya sih lebih mirip terminal bus daripada bandara. Bayangkan, waktu kami menunggu pesawat di Jayapura, listrik tiba-tiba mati dan jadwal penerbangan keganggu. Hallo! Bandara gitu loh! Trus, selama sekitar dua jam kami di bandara, berkali-kali kami dengar pengumuman permohonanan maaf kalau penerbangan dibatalkan sampai dengan waktu yang tidak ditentukan. Kami tertawa terbahak-bahak tiap kali mendengar kalimat: "Penumpang harap maklum". Hue..he..he
Waktu mendarat di Sorong, saya heran saat melihat sapi-sapi dengan damainya merumput di pinggir landasan pacu. Ternyata hal tadi belum seberapa. Landasan pacu pesawat membelah sungai dan jalan raya. Jadi, saat ada pesawat lewat, ada portal mirip di lintasan kereta api turun. Motor, mobil, dan semua kendaraan harus memberikan jalan ke pesawat. Nah, kalau pagi, dari pesawat kita bisa lihat pemandangan penduduk lokal nyuci, mandi, atau pub di sungai
Lain lagi dengan Fak-fak. Di kota yang berbukit-bukit tadi, landasan pesawat adalah satu-satunya jalan yang datar. Beda dengan jalan di kotanya yang naik turun. Di bandara ini, pengantar bisa cipika-cipiki di dalam pesawat. Malah kadang pramugarinya harus ngusir penumpang kalau mau berangkat. Trus, pesawat-pesawat kecil tadi ga pakai nomer tempat duduk. Perumpangnya harus rebutan, kaya naik angkot gitu.
Di Papua, saya hampir tidak pernah melihat tanda "Dilarang Merokok". Sebagai gantinya, di mana-mana ada tanda "Dilarang Makan Pinang". Yeah, hampir semua orang di Papua membawa sirih dan pinang ke mana-mana. Sebentar-sebentar mereka mengunyah benda ini. Dan, banyak yang seenaknya meludah. Warnanya merah dan sulit dibersihkan.
Sebagai kolektor benda apapun, saya bertekad harus membawa pulang barang "asli". Tiap kali datang ke toko souvenir, saya batal belanja karena gelang, kalung, dan gantungan kunci yang ada di toko souvenir sebelas duabelas dengan barang di Malioboro. Entah kenapa, banyak juga turis yang tertipu membeli batik papua atau kaos bertuliskan Papua yang sebenarnya diproduksi di Jawa.
Saya tertarik untuk membeli noken. Di Jayapura, meski banyak penduduk lokal memakai barang tadi, sulit sekali mencari penjualnya. Katanya sih, noken tadi biasanya dijajakan dari rumah ke rumah. Saya sampai harus berkeliling beberapa pasar tradisional. Akhirnya, saya menemukan seorang penjual di salah satu pasar. Cuma batal beli karena penjualnya minta Rp 200.000. Malas ya, mengeluarkan uang sebanyak itu untuk membeli jalinan benang dengan warna yang kebetulan norak semua.
Di bandara, saya masih penasaran saat melihat beberapa orang memakai noken. Saya mendekati seorang ibu yang memakai noken yang warnanya saya suka. Setelah berbasa-basi sebentar, saya bertanya pada ibu tadi di mana menbeli noken tadi. Hi..hi..hi.. padahal sebenarnya saya tertarik untuk membeli nokennya. Entah kenapa, dia dengan cepat memindahkan semua barangnya ke handuk yang ia bawa. Lalu muncul percakapan seperti ini:
Ibu : Kalau mau, kakak bisa ambil. Harganya Rp.200.000. Nanti saya bisa beli lagi di kampung.
Saya: Nggak mau, mahal! Itu kan dah dipakai.
Ibu: Saya baru beli kemarin
Saya: Boleh Rp 80.000?
Setelah proses tawar-menawar yang alot, akhirnya noken tadi menjadi milik saya dengan harga Rp135.000. Horee… Saya langsung pamer ke Mbak Iwuk.
Nyebelinnya, di Manokwari yang menjadi tujuan kami berikutnya, di sepanjang jalan dari bandara menuju hotel ada beberapa penjual noken. Puluhan noken warna-warni tergantung di kios-kios pinggir jalan. Iseng-iseng saya bertanya berapa harganya. Ternyata, harga noken di sana standarnya Rp.100.000. Saya langsung menghibur diri. Noken yang saya beli memang lebih mahal, tapi ada nilai historisnya. Noken tadi punya hiasan mirip gantungan kunci yang terbuat dari taring celeng. Dan bisa jadi bau noken yang saya beli mungkin bekas dipakai membawa babi atau sayur.
Perburuan saya untuk barang "antik" belum selesai. Di Manokwari, saya menemukan sebuah seruling bambu raksasa di toko souvenir. Warna catnya sudah pudar dan terlihat seperti barang kuno. Panjangnya sekitar 70 senti dengan hiasan ukiran burung diatasnya. Kata penjualnya seh, burung tadi (saya lupa namanya) nenek moyang orang Danau Sentani. Harga awal seruling tadi klo nggak salah Rp 250.000. Setelah melewati tawar-menawar yang lama, akhirnya saya bisa membelinya dengan harga Rp.125.000. Berhubung seruling tadi besar, saya tidak bisa memasukkannya dalam tas. Di bandara-bandara yang saya datangi kemudian, orang-orang yang saya temui selalu bertanya benda apakah tadi dengan takjub. Banyak yang berpikir kalau benda tadi tongkat untuk sebuah upacara. Waktu sampai di Jogja, saya baru sadar kalau orang Papua tidak punya tradisi musik tiup. Nah lo? Lalu dari mana asal seruling tadi?
Waktu itu, Papua sedang musim durian. Di pinggir-pinggir jalan ada kulit durian berceceran. Awalnya, saya yang sangat benci bau durian menjadi tersiksa. Berhubung nggak enak hati klo menolak pemberian orang. Saya mulai mencicipi buah yang tadinya saya pikir tidak akan pernah akan sudi makan seumur hidup. Ternyata enak juga. Cuma, karena nggak suka baunya, saya nggak pernah megang buah tadi. Takut kalau baunya tertinggal di tangan. Jadilah saya makan durian dengan bantuan sendok.
Di Papua, saya berkali-kali takjub saat melihat pemandangan di sana. Pantai-pantainya cantik-cantik sekali. Kita bisa lihat ikan, bintang laut, dan kadang-kadang terumbu karang dari permukaan air. Trus di sana orang juga nggak perlu jauh-jauh buat ngelihat hutan yang masih alami. Saya juga beruntung, bisa sampai ke perkampungan-perkampungan di pelosok Papua. Ngobrol dengan penduduk lokal yang engga ngerti bahasa yang saya pakai. Suatu saat nanti, saya pasti akan nyari cara untuk kembali ke sini.
Setelah berkeliling-keliling selama dua minggu, akhirnya kami pulang. Di beberapa kota, saya bertemu dengan beberapa pembuat film. Mereka selalu bilang saya nggak mungkin bisa menyelesaikan laporan visual alias film dokumenter tadi. Saya berkali-kali mendapat ceramah tentang tahapan-tahapan membuat film dokumenter yang butuh riset dan macam-macam. Aduh, klo menurut teorinya seh memang begitu. Sayangnya, pilihan saya cuma ambil saat itu juga atau saya kehilangan kesempatan untuk jalan-jalan. Saya lebih percaya kalau tugas saya sebagai sutradara cuma mengumpulkan gambar. Untuk menyelesaikan dan merangkai film tadi, saya kan punya editor handal. Akhirnya, film tersebut jadi berkat kecerdasan editor saya.







