Eko Nurhuda's Blog, page 51

February 23, 2012

Awas, di PayPal Banyak Penipuan!

INI cerita lucu yang saya alami kemarin (23/2) sewaktu mengambil nomor PIN untuk kartu ATM tabungan saya di salah satu bank milik pemerintah. Sebuah kejadian yang bagi saya tak cuma lucu, tapi juga konyol. Bayangkan, seorang pegawai bank mengeluarkan pernyataan atas nama bank tapi hanya berdasarkan pengetahuannya pribadi yang minim. Akibatnya keterangan jadi tak jelas, pernyataannya juga ngawur abis.

Ceritanya begini. Untuk memperbanyak pilihan rekening guna keperluan transfer dana pembayaran di blogstore uang lama saya, pekan lalu saya membuka rekening baru di sebuah program tabungan yang diluncurkan oleh bank tersebut bekerja sama dengan kantor pos. Saya buka rekeningnya di Kantor Pos Pemalang. Pilihan tabungan yang sangat ringan; saldo awal cuma Rp50.000, biaya bulanan Rp2.000, biaya ATM Rp3.000, dan kalau saldo mengendap di atas Rp300.000/bulan mendapat bonus gratis biaya bulanan.

Proses pembukaan rekeningnya cepat, tak sampai 10 menit saya sudah memegang buku tabungan plus kartu ATM. Cuma kartunya instan, jadi tak ada namanya. Tak apa, saya boleh menulis sendiri nama saya di atas kartu itu kok, hehehe. Nah, seperti umumnya kartu ATM baru, selanjutnya saya diminta petugas pos untuk datang ke kantor kas bank tersebut untuk meminta PIN agar kartunya bisa digunakan.

Kebingungan Pun Dimulai...
Foto: Koprol.com
Seperti inilah kartu ATM yang saya buka di bank tersebut. Hehe, ketahuan deh nama banknya.Sepekan kemudian saya datang ke kantor kas bank yang sempat terkenal dengan program kredit perumahan (KPR) itu. Petugas yang membantu saya seorang wanita berjilbab yang sangat anggun. Senyum dan keramahannya khas pegawai bank. Awalnya saya cuma mau ambil PIN kartu ATM. Tapi kemudian terbetik rasa penasaran saya untuk menanyakan beberapa hal lain.

Hal pertama yang saya tanyakan adalah, apakah tabungan tersebut memiliki layanan internet banking? Ealah, untuk pertanyaan itu saja saya sudah melihat gelagat tidak baik. Awalnya petugas tersebut menjawab spontan, "Bisa kok pakai internet banking." Tapi tak lama kemudian dia tampak bimbang, lalu tanpa permisi mengambil amplop ATM yang saya dapat saat membuka tabungan. "Mmm, coba tanya ke CS," katanya kemudian. Saya cuma bisa garuk-garuk kepala.

Lalu setelah nomor PIN kartu ATM saya terima, saya bertanya lagi, "Mbak, boleh tahu nomor kode kliring bank ini?" Rencananya saya mau mendaftarkan rekening bank tersebut ke PayPal. Kebetulan rekening Niaga dan BCA saya sudah lama mati karena saldonya habis setelah lebih dari setahun tak ada transaksi sama sekali. Sebenarnya rekening BNI saya sudah terdaftar di PayPal, tapi saya mau satu rekening lagi. Untuk itu saya butuh 7 digit kode bank seperti yang ditanyakan PayPal saat kita mendaftarkan rekening.

Si Mbak tampak bingung dengan pertanyaan saya. "Kode apa?" Saya berusaha menjelaskan secara sederhana, "Kode bank kalau kita mau menerima transferan dari luar negeri." Pegawai wanita itu tampak mengerutkan kening. "Oh, kalau itu bisa dilihat dari nomor rekening." Dia lalu menunjukkan satu buku tabungan dan dibandingkan dengan buku tabungan saya.

"Kalau tabungan yang buka di sini kan kodenya ini (sambil menunjuk 4 digit awal nomor rekening buku tabungan di tangannya). Nah, kalau rekening yang buka di kantor pos kodenya ini (sambil menunjuk 4 digit awal nomor rekening buku tabungan saya." Saya pun melongo dibuatnya. Seperti paham kebingungan saya, dia lalu menyarankan saya ke CS. Kebetulan CS-nya sedang melayani seorang customer, jadi saya menunggu.

Di PayPal Sering Terjadi Penipuan? Ngawur!
Tak lama kemudian CS-nya yang juga perempuan, inisialnya JS, mendatangi teller tempat saya bertanya-tanya tadi. Si teller mengatakan keperluan saya pada si CS. CS tersebut lantas berbalik badan dan memandang saya lekat-lekat. Dari tempatnya berdiri, sekitar 4-5 meter dari tempat saya duduk, dia bertanya, "Bapak menanyakan nomor kode apa ya?"

Mulanya saya kira CS tersebut tidak berbicara pada saya. Tapi berhubung customer lain yang duduk bersama saya tak ada yang merespon, saya berpikir si Mbak CS itu berbicara pada saya. Karena tak enak berbicara berjauh-jauhan, saya pun mendekati CS tersebut. "Saya mau tahu kode kliring kantor cabang."

Kening si CS berkerut, "Maaf, untuk apa ya?" tanyanya. "Untuk keperluan transfer dari luar negeri," jawab saya. "Dari Western Union atau apa ya?" tanyanya lagi. "Dari PayPal," jawab saya lagi. Si CS meruncingkan mulutnya. "Setahu saya kalau PayPal itu 'kan pakai kartu kredit, Pak," katanya lagi. Saya tersenyum. Frasa 'setahu saya' ini menjadi alamat buruk bagi saya.

"Tidak pakai kartu kredit juga bisa kok," kata saya kemudian. Lalu saya mengulangi pertanyaan pertama tadi, "Boleh tahu nomor kode kantor cabang sini kan?" Eh, di luar dugaan saya si Mbak CS itu menjawab dengan pede. "Bapak, nomornya tidak ada." Saya melongo. Dia melanjutkan, "Bank kami tidak punya kerjasama dengan PayPal, jadi kami tidak menyarankan nasabah kami untuk melakukan transaksi dengan PayPal."

Kening saya berkerut semakin dalam. "Begini, Mbak." Saya berusaha menjelaskan duduk perkaranya, barangkali saja si Mbak CS mengira saya tak paham apa itu PayPal (seperti dirinya, mungkin). "Saya sudah lama pakai PayPal, selama ini tak ada masalah. Saya juga pernah memakai nomor rekening BCA, Niaga, dan BNI untuk menerima transfer dari PayPal, sejauh ini tak pernah ada masalah. Dan, setahu saya juga bank-bank itu tak ada kerja sama dengan PayPal deh."

Si Mbak tak mau kalah. "Oh, kalau BCA ada kerja sama dengan PayPal, semua karyawannya dikasih tahu kalau BCA bisa menerima dana dari PayPal. Saya mantan BCA kok, Pak," katanya. "Tapi kalau bank ini memang tidak ada kerja sama, jadi tidak bisa menerima dana dari PayPal. Dan, kita memang tidak menyarankannya."

Jujur, saya baru pertama ini dengar pegawai bank tak menyarankan nasabahnya untuk berhubungan dengan PayPal. Saya pun bertanya heran, "Lho, memangnya kenapa, Mbak?" Si Mbak menjawab dengan yakin, "Soalnya itu kan dunia maya ya, sering banyak penipuan. Jadi kami tidak mau nasabah kami nanti ada masalah." Diam sebentar, lalu dia menambahkan, "Saya juga tidak tahu kenapa BCA bekerja sama dengan PayPal."

Kalimat terakhir itu membuat keterangannya semakin tak sinkron satu sama lain, menandakan si Mbak CS ini tak memahami masalah. Jangan salahkan saya kalau langsung yakin si Mbak CS ini tidak paham apa itu PayPal. Dan, maaf kalau saya salah, saya juga yakin si Mbak ini hanya paham internet sebatas FB dan email. Cuma saya mau memastikan dulu, ini pernyataan resmi bank atau pernyataan seorang pegawai bank yang tidak paham apa yang dikatakannya. Maka saya bertanya, "Maaf, Mbak, ini pernyataan resmi bank ya?" Dan dia menjawab, "Ya."

Karena merasa tak bakal mendapat apa yang saya butuhkan, sayapun pamit sambil senyum-senyum sendiri dan garuk-garuk kepala. Jangan kata di Pemalang yang masih terhitung kota kecil, sewaktu membuka rekening BCA di Jogja dulu saja saya pernah menemui CS yang bingung ditanyai soal ini. Juga di BNI Jogja. Yang agak mending pegawai Niaga Yogya Cab. UGM, berkat bantuan CS Bank Niaga-lah saya bisa memvrifikasi akun PayPal saya.

Sekedar berbagi. Mau menambahkan silakan saja...
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 23, 2012 16:49

February 15, 2012

Blogger, Yuk Nulis Buku!

SETELAH sempat mengendap lebih dari setahun, dan ditolak oleh lebih dari 5 penerbit di 3 kota, dengan mengucap bismillah saya memberanikan diri menerbitkan buku Jangan Ngaku Blogger Kalau Nggak Bisa Nulis Buku! , sebuah buku motivasi sekaligus panduan praktis menulis buku bagi para blogger yang tertarik menulis buku.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, naskah yang ditolak oleh lebih dari 5 penerbit kok berani-beraninya diterbitin sih? Well, jawabannya simpel: belum tentu penilaian ke-5 penerbit yang menolak naskah ini benar. Ingat, penerbit menerima atau menolak suatu naskah tak hanya karena kualitas tulisannya, tapi juga faktor-faktor lain semisal nama penulis, tebal-tipis naskah yang bakal berpengaruh besar pada ongkos produksi, atau peluang pasar buku tersebut.

Penulis: Eko Nurhuda
Penerbit: Damar Panuluh Press
Cet. I: Februari 2012
Tebal: xx + 180 hal.
Harga: Rp45.000,-Nah, buku Jangan Ngaku Blogger Kalau Nggak Bisa Nulis Buku! ini boleh jadi ditolak karena faktor nama penulis (siapa sih Eko Nurhuda?) dan atau cakupan pasarnya yang sempit (berapa banyak sih blogger di Indonesia? Dan berapa banyak dari jumlah itu yang mau membeli buku ini?). Ya, saya selalu berpikiran seperti itu untuk menjaga optimisme saya sebagai penulis buku ini. Memang, tidak tertutup kemungkinan kalau faktor utamanya justru kualitas buku itu sendiri.

Saya jelas tidak mungkin menilai buku ini. Hasil penilaiannya bisa dipastikan bakal subjektif. Karena itu, setelah selesai merampungkan draf awal naskah buku ini pada awal 2011 lalu, saya langsung mengirimkannya ke sejumlah blogger dan penulis senior untuk dimintai komentar. Apa kata mereka?

"Sebuah motivasi yang sangat menggelitik dari Bung Eko. Dan, memang demikianlah seharusnya. Disadari atau tidak, aktivitas utama seorang blogger adalah menulis. Dengan melebarkan sayap ke ranah cetak, berarti Sang Blogger telah 'memaksimalkan apa yang bisa dimaksimalkan'. Membukukan blog adalah salah satu tips yang layak dicoba. Berani? Salut untuk Bung Eko yang telah memulainya."
-- Marsudiyanto, Super Blogger ISBA 2009, marsudiyanto.info.

"Saya kira ini buku yang bagus dan mencerahkan untuk memotivasi teman-teman blogger yang selama ini masih memiliki banyak kendala dalam membukukan tulisan."
-- Sawali Tuhusetya, blogger, sastrawan,
penulis antologi cerpen Perempuan Bergaun Putih, sawali.info.

"Saya meyakini apa yang ditulis Dik Eko, bahwa saya yang mengaku sebagai blogger seharusnya malu kalau tidak bisa menulis buku."
-- Duto Sri Cahyono, mantan wartawan dan editor sejumlah media, pengelola blog hobiis burung omkicau.com.

"Buku ini secara detil, terperinci, dan sistematis menjelaskan proses penulisan buku. Disertai kisah-kisah menarik behind the scene dunia penerbitan, menumbuhkan motivasi baru bagi 'amatir' untuk lebih giat menulis. It's not only a how-to book, but a motivation book as well."
-- Ari Kurniawati, mahasiswi Jurnalistik Akademi Komunikasi Yogyakarta, Kompasianer, http://kompasiana.com/aryhadi.

"Buku yang sangat menggugah gairah bagi siapapun yang merasa dirinya bisa dan mau menjadi penulis buku, terlebih bagi seorang blogger. Banyak hal yang bisa dipelajari dari buku ini, seperti menentukan judul buku yang memunyai nilai greget, kiat-kiat menembus penerbit, hingga menerbitkan buku sendiri (self publishing). Tak cukup sampai di situ, Bung Eko juga memberikan tips agar penulis tetap menegakkan kepala saat naskahnya ditolak penerbit."
-- M. Ali al-Hamidi, mahasiswa Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sedang menggarap sebuah novel.

Nah, itu kata mereka. Bagaimana dengan Bung? Kalau Bung seorang blogger yang sangat ingin menulis buku dan mengetahui seluk-beluk penerbitan sebuah buku, Jangan Ngaku Blogger Kalau Nggak Bisa Nulis Buku! wajib Bung miliki. Pesan sekarang juga melalui SMS ke 0813 28 813933. Harga cukup Rp45.000/eksemplar, belum termasuk ongkos kirim.

Tunggu apalagi?
 •  1 comment  •  flag
Share on Twitter
Published on February 15, 2012 09:47

February 14, 2012

Ketika Oriorio Mengekor Oreo

SIAPA tak kenal biskuit Oreo. Meski dari segi umur kalah jauh dari biskuir Marie Regal, nama Oreo langsung mendominasi sebagai biskuit favorit di Indonesia. Meski tak semuanya pernah mencoba Oreo, tapi siapa yang tak tahu cara enak menikmati biskuit produksi PT Kraft Indonesia ini. Ya, "Diputar, dijilat, terus dicelupin." Begitulah iklan mengajarkan kita cara asyik menyantap Oreo.

Kenapa tiba-tiba membicarakan Oreo? Well, entah kenapa anak sulung saya selalu diam tak berkedip saat iklan Oreo terbaru tayang di televisi. Anak saya ini biasanya tak bisa diam, bahkan ketika menonton film animasi Shaun The Sheep atau kartun Spongebob Squarepants kesukaannya. Tapi ketika si Afika dalam iklan Oreo yang "brrrr' muncul, si sulung saya ini langsung diam mematung menatap ke layar kaca.

Saya dan istri lantas berpikir, jangan-jangan anak saya ini ingin makan biskuit Oreo. Maka pergilah kami bertiga berboncengan motor ke Pasar Banjardawa. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk membeli Oreo. Lho, kok tidak ke supermarket atau swalayan? Pertama, tempat tinggal kami jauh dari swalayan, sekitar 10-15 menit bermotor. Kedua, harga di pasar jauh lebih murah. Ketiga, saya dan istri tak perlu merias diri. Cukup ganti baju sepantasnya, langsung deh berangkat.

Nah, sesampainya di toko yang kondang sebagai grosir jajanan kami dibuat bingung. Bukan karena banyaknya pilihan jajanan di sana, tapi karena ternyata si Oreo ini ada kembarannya. Namanya Oriorio, produksi PT Siantar Top. Siapapun yang doyan jajan pasti tahu nama perusahaan makanan ringan terkemuka asal Sidoarjo ini.

Dari segi kemasan, Oriorio sangat mirip Oreo. Dengan bungkus dominan warna biru, lalu ada gambar biskuitnya, dan nama Oriorio dicetak dengan jenis huruf yang menyerupai jenis huruf pada nama Oreo. Ketika dibuka, ternyata bentuk biskuitnya pun sama persis! Pola pada permukaan biskuit memang berbeda, tapi dilihat sekilas amat mirip. Rasanya? Beda-beda tipislah kalau kata saya.

Harganya bagaimana? Nah, bagi penganut asas ekonomi seadanya seperti saya, Oriorio jelas jadi pilihan. Coba saja bandingkan. Sebungkus kecil Oriorio isinya 2 buah biskuit, beli 1 pak seharga Rp4.500 dapat 10 bungkus kecil. Sedangkan Oreo, memang satu bungkusnya berisi lebih banyak, yakni 3 biskuit. Namun 1 pak seharga sama, isinya hanya 5 bungkus. Artinya, dengan uang Rp4.500 kami bisa membeli 20 buah biskuit Oriorio, berbanding 15 buah biskuit Oreo.

Karena bingung--sekaligus ingin membedakan rasa keduanya, istri saya akhirnya membeli Oreo dan juga Oriorio. Ternyata anak saya suka dua-duanya. Syukurlah. Pertanyaan seriusnya, apakah PT Siantar Top selaku produsen Oriorio memang sengaja 'menjiplak' Oreo dengan harapan ikut laris? Wallahua'lam.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 14, 2012 09:29

February 7, 2012

Kisah 2,5 Jam di Pekalongan

SELASA, 7 Agustus 2012. Sekitar pukul 09.25 WIB saya berangkat menuju Pekalongan. Tujuannya cuma satu, mencari kantor Adira Finance cabang Pekalongan. Untuk apa? Kakak ipar saya yang sudah bertahun-tahun bekerja di Adira memberi info sekaligus menyarankan saya untuk melamar di perusahaan pembiayaan tersebut. Kebetulan ada sejumlah posisi yang sedang lowong.

Sebagai orang yang anti-seragam dan jam kerja, saya awalnya ogah-ogahan. Meski terlihat antusias bertanya ini-itu tentang Adira dan posisi yang ditawarkan, saya aslinya enggan. Apalagi posisi-posisi yang lowong semuanya tidak saya kenal, sama sekali tak ada gambaran. Karena kakak ipar menyarankan saya mengajukan lamaran untuk posisi Credit Marketing Officer (CMO), maka sayapun menulis lamaran untuk posisi tersebut.

Senin, 6 Februari 2012, seharusnya saya sudah berangkat ke Pekalongan. Namun hati saya bimbang. Bermula dari keengganan, lalu ditambah ketidak-tahuan, juga karena minimnya informasi yang diberikan kakak ipar, membuat saya membatalkan niat ke Pekalongan. Kebetulan pula mertua saya pada sibuk, jadi saya beralasan tak bisa pergi karena tak ada yang bisa dititipi anak.

Eh, tiba-tiba saja seorang teman SMA yang menjadi CMO di Indomobil sms. Awalnya cuma bertukar kabar dan bertanya-tanya soal kepenulisan dan dunia penerbitan mandiri. Lama-lama, karena saya ingat teman ini bekerja sebagai--menurut istilah saya--marketing, jadilah saya bertanya-tanya soal dunia marketing di perusahaan pembiayaan sama dia. Setelah berjam-jam bertukar sms, saya jadi mantap. Jadilah kemarin itu saya berangkat bermotor ke Pekalongan.

Bermotor 30 Menit, Menunggu 2 Jam
Berangkat pukul 09.25, sampai di Pekalongan pukul 10.10. Saya rasa ini waktu tempuh yang sangat bagus bagi seorang pemula seperti saya. Ya, saya belum pernah bermotor ke Pekalongan dari Pemalang. Apalagi yang dinaiki motor Cina merk Kymco yang di Pemalang sudah tak ada lagi dealer-nya. Ke kantor Adira yang terletak di kawasan Bendan, ke arah Ponolawen kalau dari barat, juga tak sulit. Saya cukup mengikuti arah bus AKAP dan truk-truk yang ke arah timur.

Eh, waktu tempuh yang terbilang singkat itu ternyata harus ditebus dengan waktu menunggu yang sangat lama. Masuk ke kantor Adira, saya langsung menemui satpam dan mengatakan ingin bertemu dengan Manajer HRD. Setelah diinterkom ternyata orangnya tak ada di tempat. Hmmm, saya pun harus menunggu. Setengah jam, lalu sejam, dan akhirnya sampai 2 jam! Keren. Padahal satpam memberitahu saya kalau sang manajer sudah tiba di kantor saat saya baru menunggu sekitar 20 menit.

Okelah, it's fine. Saya pernah menunggu lebih lama dari ini. Apalagi kami memang tak ada janji sebelumnya, saya yang nyelonong begitu saja. Jadi saya berusaha enjoy saja. Ketika kemudian saya dipanggil ke ruangan sang manajer, saya membalas ucapan selamat siang manajer muda tersebut dengan acuh tak acuh, "Selamat siang, Pak. Atau saya kira malah sudah kesiangan." Dia agak terkejut, lalu berkata, "Sudah menunggu lama ya?" Saya cuma tersenyum.

Sesi wawancara pun dimulai. Dan, sama seperti wawancara-wawancara yang pernah saya lakukan sebelumnya, saya selalu menjalaninya dengan santai. Saya tak menganggap itu sebagai ajang jaim, karenanya harus bicara baik-baik. Tidak! Saya justru selalu menganggap wawancara seperti mengobrol, bincang-bincang biasa yang seharusnya dilakukan dengan rileks dan nyaman. Begitu juga dengan wawancara di Adira hari itu.

Satu momen menarik bagi saya adalah saat sang manajer meneliti pengalaman kerja saya. Awalnya dia menanyakan durasi kerja saya yang pendek-pendek di berbagai tempat. Saya jawab apa adanya, dan dia cuma manggut-manggut. Lalu sampailah pada saat tanya-jawab ini:

Manajer Adira: "Ini dari Juni 2009 sampai sekarang berarti menganggur ya?"
Saya: "Bisa juga dikatakan begitu."
Manajer Adira: "Ini Mas-nya ngapain aja selama itu?"
Saya: "Saya menggarap ini" (sambil mengeluarkan salah satu buku tulisan saya yang sudah terbit, sengaja dibawa untuk hal-hal tidak diinginkan seperti itu)
Manajer Adira: "Oh, Anda menulis buku? Wah, berarti penghasilannya banyak dong? Ini kan sudah ada pekerjaan?"
Saya: "Ya, itu bagi saya pekerjaan, tapi ternyata bagi orang-orang di sekeliling saya itu bukan pekerjaan. Makanya saya disarankan melamar kemari."

INTI POSTING: Menulis bagi sebagian orang bukanlah sebuah pekerjaan. Apalagi menjadi blogger! Jadi, kalau Bung punya cita-cita jadi penulis atau blogger, atau penulis sekaligus blogger fulltime, siap-siaplah mengalami apa yang saya rasakan ini. Tidak ada pengakuan dari orang-orang sekitar, bahkan yang serumah dengan kita. Kalau pengakuan saja tidak ada, apalagi dukungan? Kalau kita tak tahan dan menguat-kuatkan diri, habislah kita.

Well, ini memang saya masukkan ke label Curhat, jadi harap maklum ya kalau isinya terkesan lebay dan penuh emosi. :D
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 07, 2012 10:39

February 3, 2012

Facebook, Interaksi Online Gaya Baru

SEORANG teman blogger pernah bercerita, setelah mengenal Facebook, waktu onlinenya jadi terasa sempit sekali. Dulu ia biasa menghabiskan waktu untuk blogging—menulis posting baru, mengunjungi blog lain, dan meninggalkan komentar, lalu sisanya untuk chatting menggunakan Yahoo!Messenger (YM). Menurutnya, dulu ia hanya menghabiskan 2-3 jam sekali tersambung di internet. Kini, duduk di depan internet sehari-semalam pun rasanya tidak cukup, terutama untuk ber-Facebook ria.

Ya, Facebook telah merenggut sebagian besar waktu online para pengguna internet yang mengenalnya. Mulai dari pelajar SMP, karyawan swasta, sampai pegawai negeri keranjingan Facebook. Berjam-jam mereka habiskan untuk meng-update status di Face-book, mengomentari status teman, chatting, atau sekedar melihat foto-foto kenalan baru. Tak jarang keasyikan ber-Facebook membuat waktu produktif jadi terbuang percuma, membuat sejumlah perusahaan dan instansi memblok akses Facebook di kantor mereka.

Kita tentu juga masih ingat sejumlah kasus menghilangnya gadis-gadis remaja yang dilaporkan dibawa lari teman baru yang ia kenal dari Facebook. Atau beberapa kasus penipuan yang dilakukan oleh oknum pengguna Facebook terhadap pengguna lain yang baru mereka kenal. Pemberitaan kasus-kasus seperti ini begitu marak di berbagai media, terutama televisi. Tapi, alih-alih membuat imej Facebook jelek, berbagai kasus negatif terkait Facebook ini justru membuatnya semakin terkenal, sekaligus mengundang pengguna baru untuk mendaftarkan diri. Dan, jika suatu saat masuk ke warnet, cobalah iseng-iseng melongok ke bilik sebelah dan lihat apa yang sedang diakses pengguna lain. Bisa dipastikan Facebook ada dalam deretan situs yang sedang dibuka.

Indonesia, menurut sebuah laporan yang diturunkan harian The New York Times pada April 2010, merupakan negara dengan jumlah pengguna Facebook terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Britania Raya. Jemima Kiss dalam Guardian edisi 8 Juli 2010 bahkan menulis jumlah pengguna Facebook di Britania Raya hanya 500 ribu lebih banyak dari Indonesia. Mengingat besarnya populasi Indonesia serta angka pengguna internet yang masih terus tumbuh, bukan tidak mungkin jika kelak Indonesia bakal melampaui negaranya Ratu Elizabeth tersebut dalam hal jumlah pengguna Facebook. Di tingkat Asia, jumlah pengguna Facebook Indonesia tidak tertandingi. Itulah sebabnya kemudian hadir Facebook versi bahasa Indonesia yang dirancang khusus bagi para penggunanya di Indonesia.

Kepopuleran Facebook memang luar biasa. Pertumbuhan angka penggunanya begitu cepat dari tahun ke tahun, membuat situs jejaring sosial hasil kreasi mahasiswa drop out Harvard University Mark Zuckerberg ini melampaui kepopuleran MySpace yang sebelumnya menjadi jejaring sosial terlaris di AS. Menurut data terbaru Google yang saya kutip pada awal Juli 2010 lalu, Facebook merupakan situs yang paling banyak dikunjungi dengan 540 juta unique visitor (jumlah pengunjung yang datang dari IP address berbeda) dan 630 milyar pageviews (total jumlah halaman yang dibuka pengunjung selama mengakses Facebook). Angka ini jauh melampaui MySpace yang menempati urutan 21 dengan jumlah unique visitor sebanyak 73 juta dan 17 milyar pageviews, atau Twitter di urutan 14 yang hanya dikunjungi sebanyak 97 juta unique visitor dan 5,8 milyar pageviews.

Data dari Google ini sungguh menarik, mengingat Facebook sendiri dalam rilis resmi di situsnya mengatakan bahwa mereka 'hanya' mempunyai sekitar 500 juta pengguna, itupun tidak semuanya merupakan pengguna aktif. Dengan demikian, Facebook ternyata tidak hanya dikunjungi oleh para penggunanya saja, melainkan juga oleh pengunjung lain yang mungkin datang dari mesin pencari atau situs-situs lain.

Berkat kepopuleran ini, sejak 2005 kata Facebook menjadi sangat familiar di masyarakat luas. Di AS dan sejumlah negara penutur bahasa Inggris lainnya, kata "facebooking" berarti menjelajahi profil atau mengomentari status Facebook seseorang. Tahun 2008, kamus Collins English Dictionary mengumumkan "facebook" sebagai kata baru dalam rilis terbaru mereka di tahun itu. Kemudian pada Desember 2009, kamus New Oxford American Dictionary memasukkan kata "unfriend" sebagai kata kerja baru (verb). Kata ini merupakan istilah yang biasa dipakai kalangan pengguna jejaring sosial, khususnya Facebook. Dalam kamus New Oxford American Dictionary, kata "unfriend" bermakna "to remove someone as a 'friend' on a social networking site such as Facebook". Contoh penggunaannya dalam kalimat—sebagaimana tercantum dalam kamus tersebut, "I decided to unfriend my roommate on Facebook after we had a fight."

Melihat briliannya ide penciptaannya serta bagaimana situs jejaring sosial ini tumbuh sebagai yang paling digandrungi, saya menempatkan Facebook pada urutan keenam dalam daftar 7 Wonders of Internet versi saya. Seperti yang saya janjikan pada posting tersebut, bertepatan dengan tanggal lahirnya Facebook ini saya hendak membagikan sebuah ebook gratis berjudul Facebook, Interaksi Online Gaya Baru. Inilah ebook keenam dari Seri 7 Keajaiban Dunia Maya.

Untuk mengunduh ebook tersebut, silakan klik di sini (ukuran file 1.757 KB). Selamat membaca!


Dipublikasikan dari pelosok daerah transmigrasi di Desa Talang Datar, Kec. Bahar Utara, Kab. Muaro Jambi, Jambi, dengan layanan internet XL Axiata.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 03, 2012 09:10

January 6, 2012

Ibnu Sambodo, Begawan Motor 4 Tak Indonesia

PERAWAKANNYA kecil, penampilannya juga biasa saja. Tapi jangan anggap enteng kemampuan lelaki bernama Ibnu Sambodo tersebut. Dari tangannya telah lahir mesin-mesin hebat dengan setumpuk prestasi di dunia balap motor.

Tak cuma di tingkat nasional, Ibnu juga kerap mengharumkan nama Indonesia di pentas balapan Asia. Salah satunya, motor Kawasaki Blitz hasil oprekannya berhasil memenangi race pertama kelas 110cc di Seri 1 FIM Asian GP yang digelar di sirkuit Sepang, Malaysia, April 2009.

Ibnu Sambodo (foto: eko)Catatan prestasi Ibnu akan lebih panjang lagi bila ditarik ke belakang. Bersama tim (waktu itu) Suzuki Manual Tech yang ia komandani, beberapa kali pembalap-pembalapnya naik podium. Juni 2008, motor oprekannya mengukir dua rekor fastest lap sekaligus di sirkuit Sentul. Satu di kategori superpool dengan catatan 1 menit 57,2 detik, dan satu lagi di kategori qualification time trial (QTT) dengan catatan 1 menit 57,76 detik.

Setelah bermitra dengan Suzuki sejak tahun 2000, mulai 2009 Manual Tech digandeng Kawasaki. Praktis ini menjadi debut pertama Ibnu menangani mesin dari pabrikan berbeda. Dan ia langsung membuktikan kepiawaiannya dalam meracik mesin motor.

Selain satu gelar di Sepang, sekali lagi Ibnu menaklukkan sirkuit Sentul dengan memecahkan rekor fastest lap di kategori QTT. Kawasaki Athlete 125cc hasil oprekannya sukses mengantarkan pembalap andalannya, Hadi Wijaya, menorehkan catatan rekor 1 menit 57,657 detik. Hadi bahkan nyaris memenangi lomba kalau saja tidak mengalami gangguan mesin di lap terakhir.

Dengan deretan prestasinya itulah Ibnu lantas disebut-sebut sebagai begawan motor 4 tak Indonesia. Ia sangat piawai memodifikasi motor agar bisa berlari kencang di atas lintasan balap. Lelaki yang akrab dipanggil Pakdhe ini bahkan disejajarkan dengan Jeremy Burgess, tuner kondang kelahiran Australia yang telah mengantarkan tiga juara dunia MotoGP termasuk Valentino Rossi. Pasalnya, tak peduli motor merek apa yang dioprek, baik Ibnu maupun Burgess selalu berhasil mengantarkan pembalapnya menang.

Dari keluarga guru
Tiga kali menorehkan rekor fastest lap di Sentul dengan dua pabrikan berbeda rasanya cukup untuk menggambarkan kehebatan seorang Ibnu Sambodo di dunia otak-atik motor. Tapi siapa sangka lelaki kelahiran 23 Mei 1974 ini justru berasal dari keluarga guru.

"Mungkin darah mekanik saya berasal dari kakek. Kakek saya dulu pembuat alat penangkap ikan," cerita Ibnu ketika saya temui di rumahnya pada 30 Mei 2009 dalam rangka liputan untuk Harian Jogja .

Meski hidup di keluarga guru, namun Ibnu sudah akrab dengan dunia mekanik sejak kecil. Bila teman-teman sebayanya suka membeli mainan, anak ketiga dari tujuh bersaudara ini memilih membuat sendiri. Ia semakin akrab dengan dunia mekanik ketika akhirnya masuk ke jurusan teknik elektro UGM di tahun 1992.

Sayang, penghasilan orang tuanya yang pas-pasan tak mampu menyokong kuliah Ibnu secara penuh. Alumnus SMA 3 Solo inipun berinisiatif mencari tambahan uang saku dengan menawarkan jasa servis motor. Pelanggan pertamanya adalah teman-teman kosnya sendiri. Yang menarik, waktu itu Ibnu malah belum punya motor sendiri.

"Sampai sekarang saya masih heran, kok bisa teman-teman percaya motornya saya perbaiki. Padahal saya sendiri tidak punya motor," katanya sambil tersenyum.
Ibnu tak pilih-pilih pelanggan. Ia juga tak pilih-pilih bayaran. Mau dibayar dengan uang oke, hanya diberi nasi bungkus juga ia terima. Alhasil, pelanggannya semakin banyak. Halaman kamar kosnya berubah jadi bengkel dadakan. Tentu saja hal ini menuai protes dari penghuni kos lain karena merasa terganggu.

Mendirikan Manual Tech
Ibnu (kanan) dan Hadi Wijaya, salah satu pembalap andalan Manual Tech. (foto: eko)Terlalu asyik dengan bengkelnya membuat kuliah Ibnu keteteran. Lelaki yang semasa SMP pernah menjadi pelajar terbaik se-Kabupaten Wonogiri ini akhirnya memilih keluar dari kampus.

"Mungkin saya memang tidak cocok di dunia akademis. Saya cocoknya di dunia praktis," ujarnya coba memberi alasan. Namun Ibnu tak mengingkari jika biaya menjadi alasan utama dalam pengambilan keputusan tersebut.

Tak lama setelah itu, Ibnu mulai mengenal dunia balapan. Perkenalan tersebut boleh dibilang tidak disengaja. Kebetulan waktu itu salah seorang tetangga kosnya hobi balap motor dan Ibnu dipercaya mengotak-atik motor tunggangannya. Jadilah Ibnu semacam mekanik tak resmi dari tetangga kosnya tersebut.

Seiring berjalannya waktu, kepiawaian Ibnu mengoprek motor semakin meningkat. Motor-motor yang ia pegang selalu menjadi yang tercepat. Namanya lantas semakin dikenal sebagai mekanik andal di kalangan pembalap.

Sadar akan potensi yang ia miliki, Ibnu kemudian mendirikan tim mekanik yang ia namai Manual Tech. Di bawah bendera tim inilah Ibnu menjual jasa otak-atik motor kepada para pembalap. Dan hasil di atas lintasan menunjukkan betapa motor-motor oprekan Ibnu selalu dominan.

Kecemerlangan Ibnu dan Manual Tech-nya memikat hati sponsor, di antaranya Suzuki. Pabrikan asal Jepang ini berniat mengajak Ibnu bekerja sama membentuk tim balap. Ibnu setuju. Maka lahirlah Suzuki Manual Tech yang mulai ikut balapan di musim 2000. Sepanjang 2000-2008, Suzuki berhasil mendominasi seluruh ajang yang diikutinya kendati tak selalu jadi juara.

"Sampai sekarang saya masih heran, kok bisa teman-teman percaya motornya saya perbaiki. Padahal saya sendiri tidak punya motor."
--Ibnu Sambodo--Kini, bersama Kawasaki Ibnu tak memasang target muluk-muluk. Namun ia menegaskan kalau dirinya selalu berkeinginan untuk menjadi semakin baik dari tahun ke tahun.

"Semua itu kan butuh proses, tidak ada hasil yang instan," katanya mencoba berfilsafat.

Ketika ditanya apa rahasianya sehingga bisa merajai dunia otak-atik motor, Ibnu hanya tersenyum. Lelaki beristri dokter ini kemudian bercerita, ia sudah suka membaca segala referensi seputar mesin sejak masih SD. Karena itu ia bisa menguasai seluk-beluk mesin dan fungsi masing-masing komponennya.

"Saya belajar mesin bukan hanya pada kulit yang nampak, tapi juga bagaimana sebuah proses mekanik terjadi. Ini yang tidak dilakukan mekanik lain," tambahnya.

Di akhir pembicaraan, Ibnu menyampaikan harapannya pada dunia balap nasional. Ia berpendapat, sudah saatnya Indonesia mulai merintis ajang-ajang balap supersport. Selama ini yang ada hanya balapan motor bebek. Akibatnya pembalap nasional sukar menembus ajang balapan yang lebih bergengsi di tingkat internasional semacam MotoGP.

"Contohnya Doni Tata. Karena di sini terbiasa balapan pakai motor bebek, begitu masuk GP ya keteteran," pungkasnya.

Untuk menularkan keahliannya mengoprek motor, Ibnu membuka sekolah mekanik yang diberi nama Manual Tech Course. Dengan sekolah ini Ibnu berharap dapat melahirkan banyak engine builder di Indonesia. Berbeda dengan mekanik biasa, engine builder bisa merancang, menganalisa, sekaligus mengembangkan mesin garapan mereka sendiri.

Semoga harapan Pakdhe Ibnu Sambodo segera tercapai.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 06, 2012 04:25

January 3, 2012

Resolusi 2012: Harus Lebih Baik!

SETELAH mengevaluasi pencapaian di tahun lalu, seperti tahun sebelumnya, di hari ketiga tahun 2012 ini saya menyusun resolusi. Mau jadi apa saya tahun depan, apa yang hendak saya capai, apa saja yang saya rencanakan untuk dilakukan, semuanya tertuang dalam resolusi ini. Harapannya tentu saja apa yang bakal saya peroleh sepanjang 2012 lebih baik dari pencapaian di 2011. Semoga.

Karena dunia saya adalah dunia tulisan, dan media yang saya pilih adalah blog, buku, serta kadangkali kolom di media massa, maka fokus utama saya hanyalah pada 3 hal tersebut. Porsi terbesar saya berikan pada penulisan buku, sebab hasilnya lebih menjamin, serta saya sedang merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan dunia buku. Adapun blog menjadi prioritas kedua, bagaimanapun saya ingin kembali menikmati manisnya make money online. Alhamdulillah, sebuah perusahaan periklanan online sedang mendekati bungeko.com dan mudah-mudahan terjalin kerjasama yang saling menguntungkan.

Back to Make Money Online
Oke, saya mulai dari blog. Meski awalnya blog ini dibuat hanya untuk mengambil screenshot pelengkap salah satu naskah buku--sudah diterima penerbit, tapi tak kunjung diterbitkan--yang saya tulis pada Desember 2009, semakin ke sini saya semakin tertarik untuk mengembangkan blog pribadi ini sebagai sumber penghasilan online. Setidak-tidaknya bisa menyamai apa yang pernah saya alami bersama ekonurhuda.com, tapi jika bisa lebih dari itu saya akan sangat bersyukur.

Untuk menguangkan blog, tentu saya harus rajin online. Mulai dari meng-update sampai blogwalking, semuanya hanya bisa dilakukan jika saya terkoneksi dengan jaringan internet. Karena itu, saya bakal semakin serius mempertimbangkan untuk berlangganan layanan Telkom Speedy. Niat ini sebenarnya sudah mulai timbul sejak Juni atau Juli tahun lalu. Namun karena memilih mudik lebaran ke Jambi, saya musti berpikir ulang soal langganan internet.

Selama di Pemalang saya mengandalkan warnet untuk online. Karena harus keluar rumah, padahal saya dan istri musti mengasuh 2 anak yang masih kecil-kecil, waktu online saya sangat terbatas. Sepekan paling banyak 4 kali online, sekali online hanya 2 jam karena tak ada warnet yang buka nonstop di sini. Tentu saja berinternet model begini sangat tidak bebas. Makanya saya sempat berpikir untuk berlangganan Telkom Speedy agar saya bisa online tanpa batas, biayanya tak terlalu mahal, dan, yang terpenting, tidak perlu keluar rumah!

Mudah-mudahan saja rencana ini terwujud. Satu-satunya penghalang saya adalah soal biaya. Rencananya saya mau pasang paket Socialia, biayanya Rp195.000/bulan. Namun selain belum ada uang untuk registrasi dan memasang pesawat telepon, saya juga masih belum berani bertaruh bakal bisa memenuhi tagihan bulanannya kelak. Jadi dalam waktu dekat saya masih akan mengandalkan warnet, sampai pemasukan stabil sehingga saya berani menyambung koneksi Telkom Speedy.

Setahun 4 Buku
Tak hanya sebagai mesin penghasil uang, blog ini juga akan saya jadikan tempat untuk mencicil penulisan sejumlah naskah buku. Beberapa naskah sudah saya susun outline-nya, sehingga saya tinggal menulis bagian demi bagian di sini. Tentu saja diselingi posting-posting personal dan juga posting komersil yang menghasilkan pemasukan jika ada. Setelah seluruh bagian naskahnya komplit, tinggal diedit dan dikompilasi menjadi satu naskah buku yang utuh. Sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui.

Sampai saat ini setidaknya ada 2-3 naskah buku yang penulisannya bisa dicicil di blog ini. Jadi, rasanya tak berlebihan jika saya memasang target setidaknya sepanjang tahun 2012 ini menulis minimal 6 naskah buku di mana 4 diantaranya terbit. Kenapa 4 judul? Karena pada 2010 saya memulainya dengan menerbitkan 2 buku. Tahun lalu seharusnya jadi 3 buku, tapi gagal. Nah, sesuai urut-urutannya, maka tahun ini targetnya adalah menerbitkan 4 buku.

Untuk mencapai target itu, saya akan berusaha keras menulis sebaik mungkin. Kualitas tulisan harus ditingkatkan, gaya bahasa dan penyampaian musti dibuat seenak mungkin. Selain itu, saya juga musti pintar-pintar mencari topik yang sedang dibutuhkan pasar sehingga peluangnya untuk diterima besar.

Self-Publishing
Bagaimanapun optimisnya saya dengan target setahun 4 buku, namun jika tetap bergantung pada penerbit lain peluang tercapainya bisa jadi 50:50. Contohnya seperti tahun lalu, di mana banyak naskah yang ditolak hingga berkali-kali sampai setahun penuh. Apalagi saya juga sedang berjuang menembus penerbit nasional terkemuka yang proses seleksi naskahnya jauh lebih ketat.

Karena itu sebagai rencana cadangan saya juga sedang mempersiapkan sebuah penerbitan mandiri (self-publishing). Naskah-naskah yang saya yakin ada pasarnya, namun mungkin terlalu kecil sehingga penerbit tak berani memproduksinya, bakal saya terbitkan sendiri secara indie. Toh, dengan teknologi print on demand (POD) saya tak perlu cetak banyak-banyak. Kalau memang pasarnya cuma 250, ya cetak saja 250 eksemplar.

Kendala mencetak sedikit adalah tak bisa bekerja sama dengan distributor nasional yang rata-rata menyaratkan jumlah cetakan besar dengan alasan agar persebaran bukunya merata. Namun dengan bantuan internet kendala ini bukan lagi masalah besar. Ada banyak sekali toko buku online saat ini, dan saya yakin mereka mau dititipi barang 5-10 eksemplar. Sebagai pendukung, saya akan menjualnya sendiri via blog, Facebook, Twitter, juga memaksimalkan potensi komunitas penyuka buku di GoodReads.

Impian mempunyai penerbitan mandiri sudah sejak lama sekali saya idam-idamkan. Tepatnya sejak pertengahan 2005 lalu, setelah saya membaca buku kecil berjudul Sukses Besar Tanpa Gelar karya Yudi Pramuko. Isinya seputar penerbitan mandiri, dan sangat menggugah sekali. Sejak itulah saya menggantungkan impian untuk membangun penerbitan sendiri. Mudah-mudahan bisa mulai berjalan pertengahan tahun ini. Amin.

Itulah resolusi saya di tahun 2012 ini. Hanya 3 poin yang ingin saya capai, namun ketiganya sangat menentukan masa depan saya, juga keluarga kecil saya. May God bless me...
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2012 06:00

January 1, 2012

Review 2011: Blog, Buku, dan Sepak Bola

TAHUN kembali berganti. Lembaran tahun 2011 sudah ditutup, berganti lembaran-lembaran baru di tahun 2012. Meski tak banyak yang saya peroleh dan capai sepanjang 2011, plus sejumlah target meleset tak tercapai, namun saya musti bersyukur. Memang ada sejumlah target yang tak bisa diraih, tapi saya justru mencapai banyak hal tak terduga sebelumnya.

Sebelum menyusun resolusi untuk tahun 2012, saya melakukan review sederhana terhadap apa-apa yang saya capai dan belum sepanjang 2011 lalu. Karena kegiatan utama saya hanya berkutat pada 3 hal yang kesemuanya masuk dunia tulis-menulis:blog, buku, dan artikel, maka review ini juga hanya akan menyoroti 3 poin tersebut.

Dimulai dari Blog
Bersama bungeko.com, sepanjang 2011 saya memenangkan sejumlah kontes menulis--meski yang gagal menang jauh lebih banyak. Sebagian besar adalah kontes yang diadakan rekan-rekan sesama blogger, seperti Pakdhe Abdul Cholik dan Mbak Fanny yang bekerja sama dengan Bung Eko Arryawan. Yang paling membuat dada saya berdebar-debar kencang adalah saat posting Jadi Pemulung, Yuk! masuk 20 besar BeatBlog Writing Contest yang diadakan VHRmedia, Maret 2011. Sayang, hingga sekarang janji penyelenggara yang akan membukukan tulisan 20 finalis tak kunjung jelas kabarnya.

Selain kontes, usaha saya untuk meningkatkan jumlah pengunjung bungeko.com dari mesin pencari boleh dibilang ada peningkatan. Ini karena saya kembali menggunakan jurus lama yang dulu sering saya gunakan saat masih mengelola ekonurhuda.com. Apa itu? Menembak keyword. Malah awal Desember lalu blog ini berhasil meraih 1.130 views dalam 5 hari berkat posting Foto Bugil Veena Malik di FHM. Dipublikasikan pada 6 Desember dengan 1.534 views, posting tersebut langsung mengungguli posting Sepeda Lipat (diposting 8 Februari 2011, 1.342 views) dan Radio dari Masa ke Masa (26 April 2010, 1.005 views) yang sepanjang 2009-2011 menguasai puncak daftar posting terlaris blog ini.

Selain Foto Bugil Veena Malik, posting kepindahan Tina Talisa ke Indosiar (3 Desember, 897 views), profil Briptu Eka Frestya (29 Sep 2011, 708 views), dan cerita kekonyolan suster ngesot ditendang satpam di Bandung (12 Des 2011, 1.983 views) turut andil menarik banyak pengunjung dari Google. Memang tak terlalu banyak jika dibandingkan blog-blog populer lain di luar sana. Tapi bagi saya pencapaian ini sudah luar biasa di tengah segala keterbatasan yang saya hadapi untuk ngeblog.

Entah ada hubungannya atau tidak, namun belum lama ini sebuah perusahaan periklanan online menawarkan kerjasama untuk bungeko.com. Perusahaan baru tersebut hendak 'menitipkan' sejumlah posting komersil pesanan klien mereka di blog ini. Tentu saja saya dapat imbalan. Berapa besar imbalannya sebaiknya saya rahasiakan saja. Tapi yang jelas cukuplah kalau hanya untuk beli susu dan bubur anak-anak. Hehehe.

Buku-buku yang Tak Kunjung Terbit
Sayang, peningkatan yang saya alami bersama bungeko.com tak diikuti dengan meningkatnya pencapaian dalam bidang penulisan buku. Sepanjang 2011 saya menulis setidaknya 4 judul buku, namun semuanya ditolak penerbit. Tidak hanya sekali, masing-masing naskah tersebut ditolak lebih dari 2 kali, bahkan ada satu naskah yang ditolak hingga 7 kali.

Kondisi jadi makin tidak menyenangkan bagi saya ketika naskah-naskah buku yang sudah diterima berbagai penerbit di Jogja pada 2010 lalu, sampai sekarang tak juga diterbitkan. Entah alasannya apa saya tak tahu, mau bertanya ke penerbit juga sungkan. Pernah sekali saya bertanya pada editor salah satu penerbit yang sudah cukup dekat dengan saya, jawabnya: "Sabar, penulis lain ada yang sampai 2 tahun belum juga terbit." Hmmm… Meski begitu saya tetap menulis. Saya tidak akan kapok, tidak akan bosan ditolak. Sebaliknya, saya akan sabar hingga ada naskah yang diterima dan buku kembali diterbitkan.

Sebagai cadangan, saya juga menyiapkan rencana untuk menerbitkan sejumlah buku secara indie. Ada beberapa naskah yang menurut saya layak jadi referensi, tapi mungkin karena satu dan lain alasan--yang satu ceruk pasarnya terlalu sempit, satunya lagi jika dicetak terlalu tipis--tidak ada penerbit yang berminat. Namun tentu saja tidak dalam waktu dekat. Target saya sih setelah Euro 2012 buku pertama di bawah bendera penerbit sendiri sudah terbit. Amin.

BOLA, BolaVaganza, Kompasiana, dan detikSport
Untung saja 'musim paceklik' di penulisan buku ada gantinya, meski tentu saja kualitas, jumlah honor, dan gengsinya sangat berbeda. Apa itu? Sejak Desember 2010 saya rajin mengirim artikel sepak bola ke sejumlah media olah raga nasional. Awalnya memang coba-coba. Tapi setelah artikel pertama saya untuk rubrik Oposan di tabloid BOLA langsung dimuat, saya jadi bersemangat. Sepanjang Maret-Juni 2011 tercatat 3 tulisan saya nongol di Oposan, ini tidak termasuk surat pembaca yang terpilih sebagai surat pilihan dan mendapat merchandise berupa kaus.

Lalu entah kenapa tulisan-tulisan saya tak pernah dimuat lagi di Oposan. Terhitung sejak menulis Empat Syarat Ketua Umum PSSI di BOLA edisi 27-29 Juni 2011, tulisan-tulisan saya tak pernah lagi masuk Oposan hingga akhir tahun. Penasaran, saya lantas mencoba media lain. Masuklah saya ke Kompasiana dan mengkhususkan diri pada tema-tema sepak bola. Dengan kata lain, awalnya saya hanya menjadikan Kompasiana sebagai 'keranjang sampah' tulisan-tulisan saya yang ditolak media cetak.

Ajaib, tulisan-tulisan yang tidak diterima BOLA malah kerap jadi headline alias artikel pilihan admin Kompasiana. Artikel berjudul Messi da Indonesia dan Kisruh Liga Indonesia malah nangkring di headline kanal olah raga Kompasiana hingga beberapa pekan. Lalu profil singkat Muthia Datau, juga ditolak BOLA ketika saya kirim untuk rubrik Olepedia, justru diminta admin Kompasiana untuk dimuat di rubrik Freez di harian Kompas edisi Kamis, November 2011.

Tengah asyik di Kompasiana, seorang rekan sesama penulis Oposan bertanya apakah saya tak berminat mencoba berkiprah di BolaVaganza (BV). Majalah ini boleh dibilang 'adiknya' BOLA. Saya pikir, kenapa tidak? Awalnya saya hanya mengirim surat pembaca dan opini pendek untuk rubrik PSSI-Watch. Eh, ternyata langsung dimuat di BV edisi September 2011. Bulan berikutnya BV memuat artikel saya di rubrik Blog Anda. Asal tahu saja, artikel berjudul Reformasi 1998 dan Reformasi PSSI itu sebelumnya ditolak BOLA. Ketika saya publikasikan di Kompasiana banyak menuai komentar, lalu saat dikirim ke BV langsung dimuat.

Saya jadi semakin penasaran. Saya tak akan bertanya kenapa BOLA menolak tulisan-tulisan saya. Bagi saya lebih baik kirim saja tulisan-tulisan tersebut ke media lain. Kalau ternyata ditolak juga, berarti memang tulisan saya jelek. Kalau dimuat, berarti tulisan saya tak sepaham dengan idealisme BOLA. Itu saja. Maka saya pun mencoba mengirim artikel Pemain Asing dan Prestasi Timnas yang juga sempat ditolak BOLA ke detikSport. Alhamdulillah, hanya beberapa hari setelah email saya kirim, editor detikSport mengontak saya untuk memberitahukan pihaknya akan mempublikasikan artikel tersebut. Silakan baca di sini artikelnya!

Konklusi
Menjadi 'analis' sepak bola yang tulisannya dimuat di sejumlah media cetak dan online nasional sungguh tidak pernah saya bayangkan. Dulu, sekitar tahun 2005, saya memang pernah bermimpi jadi penulis buku-buku sepak bola. Tapi saya tak ingin disebut pakar, apalagi komentator. Karena itu, di tahun 2012 ini fokus saya adalah bagaimana saya bisa kembali melihat buku-buku karya saya terbit. Menulis artikel sepak bola akan terus saya lakukan, I really love this game, namun fokus saya adalah menulis buku. Ini bukan cuma soal gengsi, tapi juga nafkah bagi keluarga. :D

Itu saja sharing kita kali ini. Setelah ini, saya akan berbagi resolusi untuk tahun 2012. Ya, meski saya tahu sudah terhitung telat karena sekarang sudah tanggal 3 Januari. Tapi tak apalah. :D
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 01, 2012 05:26

December 31, 2011

Auld Lang Syne

Oleh: Eko Nurhuda - Bung Eko dotcom
ADA satu lagu yang selalu diputar di setiap pergantian tahun. Lagu apa itu? Auld Lang Syne. Tidak peduli di manapun Anda merayakan tahun baru, lagu ini akan selalu diperdengarkan di seluruh penjuru dunia. Mulai dari kafe, klub malam, restoran, stasiun-stasiun radio, sampai televisi, semuanya akan memperdengarkan lagu ini. Tentu saja selain suara nyaring terompet dan dentuman kembang api tepat di detik-detik pergantian tahun.

Lagu Auld Lang Syne amat terkenal di negara-negara berbahasa Inggris, terutama di daratan Britania Raya. Satu hal yang wajar, karena lagu ini berasal dari Skotlandia yang merupakan bagian dari Kerajaan Inggris. Karena itu naskah asli lagu ini menggunakan bahasa asli Skotlandia. Hampir mirip dengan bahasa Inggris, namun ada beberapa kata yang sama sekali berbeda dan tidak akan diketemukan di kamus bahasa Inggris manapun.

Bila diterjemahkan, Auld Lang Syne dalam bahasa Inggris berarti "old long since". Secara istilah, judul lagu tersebut bisa juga diartikan sebagai "long long ago", "days of long ago", "in olden days", "once upon a time", atau "days gone by". Selain itu ada pula istilah yang lebih modern untuk Auld Lang Syne, seperti "for old time's sake" atau "to the good old days". Kesemuanya bermakna sama, yakni sebuah ungkapan untuk mengenang masa-masa indah yang telah berlalu. Karena kesesuaian tema inilah maka lagu Auld Lang Syne kerap dinyanyikan di malam penghujung tahun.

Orang Skotlandia menyebut lagu ini sebagai 'lagu kebangsaan tahun baru'. Pada tengah malam menjelang pergantian tahun, lagu ini biasa diperdengarkan dalam sebuah perayaan yang dikenal sebagai Hogmanay. Dalam bahasa Skotlandia, hogmanay berarti 'malam akhir tahun'. Dan perayaan Hongmanay adalah sebuah acara selebrasi menyambut datangnya tahun baru. Acara ini diadakan di seluruh penjuru Skotlandia setiap tanggal 31 Desember dan berlangsung sepanjang malam hingga pagi hari. Tidak jarang perayaan ini baru berakhir di tanggal 2 Januari.

Sejarah Auld Lang Syne
Asal-usul lagu Auld Lang Syne sedikit membingungkan. Banyak sumber menyatakan bahwa lagu ini awalnya merupakan sebuah puisi yang digubah oleh Robert Burns, seorang pujangga Skotlandia, di tahun 1788. Syair puisi tersebut kemudian diubah menjadi nyanyian berjudul sama dan menjadi lagu tradisional Skotlandia. Namun saat menyerahkan salinan naskah lagu Auld Lang Syne ke Museum Musik Skotlandia, Burns meninggalkan catatan yang menyatakan bahwa naskah tersebut ia sadur dari sebuah lagu rakyat yang belum pernah dibukukan dan diklaim oleh siapapun sampai kemudian ia menuliskan naskahnya untuk pertama kali.

Sumber yang lain menyatakan bahwa sejumlah puisi yang mirip dengan Auld Lang Syne karya Burns sudah dikenal jauh lebih lama sebelum masa Burns. Contohnya puisi karya penyair Robert Ayton (1570–1638), Allan Ramsay (1686-1757), dan James Watson (1711). Bait pertama dan kedua dari puisi yang ditulis James Watson bahkan sama persis dengan yang ditulis Burns. Selain itu frasa Auld Lang Syne juga telah dikenal dan disebutkan dalam beberapa lagu rakyat Skotlandia yang sudah ada jauh sebelumnya.

Terlepas dari semua itu, semua orang sependapat bahwa yang paling berjasa mempopulerkan lagu Auld Lang Syne ke dunia hiburan adalah Guy Lombardo. Lelaki bernama lengkap Gaetano Alberto Lombardo ini adalah musisi warga negara Amerika Serikat kelahiran Kanada. Ia pertama kali mendengar lagu Auld Lang Syne dari komunitas imigran Skotlandia yang tinggal dekat dengannya di London, sebuah kota di selatan Ontario, Kanada.

Guy Lombardo mendirikan The Royal Canadians Big Band bersama saudara-saudaranya di tahun 1924. Dengan band inilah ia pertama kali memainkan lagu Auld Lang Syne saat manggung di acara perayaan tahun baru di kota New York tahun 1929. Guy Lombardo dan band-nya memainkan lagu tersebut menjelang tengah malam hingga pergantian tahun. Sejak itulah The Royal Canadians Big Band menjadikan Auld Lang Syne sebagai lagu penutup tahun yang selalu mereka mainkan di detik-detik menjelang pergantian tahun.

Tradisi ini kemudian diikuti oleh radio-radio dan televisi di seluruh Amerika Serikat, melengkapi tradisi yang sudah berkembang sebelumnya di daratan Britania Raya. Begitulah, sampai kemudian tradisi ini mendunia. Sampai saat ini, rekaman lagu Auld Lang Syne yang dibawakan oleh The Royal Canadians Big Band pimpinan Guy Lombardo masih terus diperdengarkan di Times Square, New York, setiap malam pergantian tahun. Dan lagu ini selalu diputar di urutan pertama.

For auld lang syne, my dear
For auld lang syne
We'll take a cup of kindness yet
For auld lang syne


(bungeko)
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 31, 2011 09:00

December 28, 2011

Rama Sakti, Travel Langganan Bung Eko

PERTAMA kali ke Pemalang, Juni 2006, saya dibuat bingung sama istri--waktu itu masih berstatus 'teman biasa'. Pasalnya, ia mengajak kami berestafet ria dengan rute Jogja-Semarang-Pemalang. Jadi, dari Jogja kami mencari bis jurusan Semarang. Lalu setelah turun di kawasan Kaligawe, sebelum Terminal Terboyo, kami melanjutkan perjalanan ke Pemalang dengan bus jurusan Semarang-Cirebon.

Kali pertama menginjakkan kaki di Semarang, saya langsung melihat pemandangan mengerikan. Di atas bis jurusan Semarang-Cirebon yang kami naiki itu terjadi tindak pemerasan secara terang-terangan terhadap penumpang. Modusnya, kelompok pemeras yang terdiri dari 4-5 orang berpura-pura mengamen. Yang menggenjreng gitar hanya satu, tapi yang meminta uang ada banyak. Ternyata itu hanya tipuan. Satu-satu penumpang dikerubuti lalu dirogoh semua kantong baju, celana, dan tasnya. Apapun yang mereka temukan di kantong penumpang mereka ambil tanpa tedeng aling-aling. Gila!

Saya jadi trauma. Memang saya tak sempat jadi korban, karena sudah kebiasaan sejak dulu tak pernah mengantongi uang atau dompet selama perjalanan. Tas juga saya amankan dengan cara ditaruh di belakang punggung, jadi terhimpit badan dan sandaran kursi. Istri malah tak disentuh sama sekali waktu itu. Namun tetap saja saya tak mau mengulangi rute mengerikan itu. Kali kedua ke Pemalang saya lebih memilih jalur Jogja-Purwokerto-Purbalingga-Pemalang yang jauh lebih bersahabat, plus lebih indah pemandangannya.

Sampai suatu ketika saya mendengar ada travel jurusan Jogja-Pemalang. Namanya Rama Sakti, dan ternyata tidak hanya ke Pemalang, tapi sampai ke Surabaya dan Jakarta, juga Bandung. Ongkosnya yang tak terpaut jauh dari ongkos bis estafet, membuat saya tertarik mencobanya. Merasa nyaman, apalagi sopirnya ramah dan sering mengajak penumpang mengobrol sepanjang perjalanan, saya jadi ketagihan naik Rama Sakti.

Nah, barangkali Bung tertarik mencoba naik Rama Sakti ke kota manapun di Jawa ini, berikut saya sajikan jadwal lengkap keberangkatan Rama Sakti dari Jogja, bersama tarif resminya. Semoga bermanfaat.
table.tableizer-table {border: 1px solid #CCC; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif; font-size: 12px;} .tableizer-table td {padding: 4px; margin: 3px; border: 1px solid #ccc;}.tableizer-table th {background-color: #108C13; color: #FFF; font-weight: bold;}


Kota AsalKota TujuanTarifJadwal KeberangkatanYOGYAKARTAJAKARTARp. 175.000,-16.00 BANDUNGRp. 140.000,-19.00 TASIKMALAYARp. 120.000,-19.00 CIREBON (Via Selatan)Rp. 95.000,-20.00 CIREBON (Via Utara)Rp. 95.000,-Tiap 1 jam (07.00-18.00) LOSARI/TANJUNGRp. 95.000,-Tiap 1 jam (07.00-18.00) BREBESRp. 90.000,-Tiap 1 jam (07.00-18.00) TEGAL (Via Utara)Rp. 80.000,-Tiap 1 jam (07.00-18.00) TEGAL (Via Selatan)Rp. 80.000,-20.00 SLAWIRp. 80.000,-20.00 BUMIAYURp. 80.000,-20.00 PEMALANGRp. 70.000,-Tiap 1 jam (07.00-18.00) COMALRp. 70.000,-Tiap 1 jam (07.00-18.00) PEKALONGANRp. 65.000,-Tiap 1 jam (07.00-18.00) WELERIRp. 50.000,-Tiap 1 jam (07.00-18.00) SUKOREJO/CANDIROTORp. 50.000,-Tiap 1 jam (07.00-18.00) TEMANGGUNGRp. 40.000,-Tiap 2 jam (06.00-18.00) PARAKANRp. 40.000,-Tiap 2 jam (06.00-18.00) WONOSOBORp. 45.000,-Tiap 2 jam (06.00-18.00) BANJARNEGARARp. 55.000,-08.00-14.00 SEMARANGRp. 45.000,-Tiap 1/2jam (06.00-20.00) MAGELANG/MUNTILANRp. 20.000,-Tiap 1/2jam (06.00-20.00) KUTOARJORp. 35.000,-07.00, 15.00, 17.00 KEBUMEN/KUTAWINANGUNRp. 40.000,-07.00, 15.00, 17.00 GOMBONGRp. 40.000,-07.00, 15.00, 17.00 PURWOREJORp. 35.000,-07.00, 15.00, 17.00 PURWOKERTORp. 50.000,-07.00, 15.00, 17.00 CILACAPRp. 50.000,-07.00, 15.00, 17.00 PATIRp. 60.000,-07.30, 08,30, 12.30,14.30, 16.30 KUDUS/DEMAKRp. 55.000,-07.30, 08,30, 12.30,14.30, 16.30 CARUBAN/NGAWIRp. 60.000,-09.00 dan 20.00 MADIUN/NGANJUKRp. 80.000,-09.00 dan 20.00 KEDIRIRp. 80.000,-09.00 dan 20.00 SURABAYARp. 100.000,-09.00 dan 20.00 MALANGRp. 100.000,-09.00 dan 20.00 BLITARRp. 100.000,-09.00 dan 20.00 BATURp. 100.000,-09.00 dan 20.00 SALATIGARp. 40.000,-09.00, 14.00, 16.00 PURWODADIRp. 50.000,-07.30, 14.30 BOJONEGORORp. 65.000,-07.00 dan 15.00 CEPURp. 60.000,-07.00 dan 15.00 SOLORp. 30.000,-07.00 dan 15.00 KLATENRp. 30.000,-07.00 dan 15.00
Sumber: http://susiloramasakti.blogspot.com
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 28, 2011 09:10