Benny Rhamdani's Blog, page 38

October 23, 2014

Saya Konsumsi Produk Oat Ini Bukan Karena Diorder Lho




Sejak berhasrat diet beberapa makanan karena sakit darah tinggi dan faktor umur juga, saya memutuskan mengganti sarapan saya dengan yang lebih sehat. Setelah browsing sana-sini akhirnya saya menemukan produk yang rasanya cocok, yakni Quaker Oats.
Saat memilih di supermarket saya sempat bingung milih yang biru atau merah. Jadi saya beli keduanya. Ternyata, kata isteri saya mestinya saya pilih yang instan saja, yang warna merah.
Saya bukan pemakan yang sulit. Seaneh apapun rasa makanan saya bisa menikmatinya. Oat, kata teman-teman saya itu rasanya nggak enak dan bentuknya menjijikan. Tapi saya nggak tuh. Rasanya enak-enak aja kayak makan bubur kacang ijo atau ketan item.
Isteri saya biasa mencampurkan dengan susu putih atau cokelat. Kalau mengikuti resep dari internet bisa juga sih dicampur yoghurt atau buah-buahan. Tapi saya cari yang simple. Kasihan isteri saya kan harus menyiapkan makanan buat anak saya juga.
Sebagai blogger aktif sebenarnya sudah lama ingin menulis produk oat ini karena manfaatnya mulai terasa. Berat badan saya realtif stabil dibandingkan dulu sarapan dengan nasi goreng atau olahan nasi lainnya. Juga lebih tahan lapar sampai makan siang.

Ya, paling saya cuman ngetwit aja sambil mention (at)quakerIND testimoni saya. DiRT syukur nggak juga ga masalah. Soalnya saya memang bukan buzzer mereka. Saya juga belum nerima order dari mereka untuk review di blog.

Belum lama ini saya mengikuti quiz dari Radio Sonora yang kerja bareng dengan Quaker. saya ikutan ngasih tips sehat. Eh ternyata menang. Padahal saya sudah lupa. Hadiah pun saya ambil. Senang banget karena hadiahnya produk Quaker. Kata isteri saya, lumayan bisa ngirit sebulan :)

Follow me @bennyrhamdani_

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 23, 2014 21:02

Menginap Gratis Lima Malam di Hotel Novotel Gajah Mada Jakarta




(Foto-foto lainnya menyusul. Lagi lemot)

Menginap di hotel gratis? Yiay, itu selalu menjadikan semua orang. Termasuk saya. Apalagi kalau hotelnya berbintang seperti Hotel Noveotel Gajah Mada Jakarta. Sehari saja sudah senang, apalagi lima malam.
Saya bisa menginap lima malam karena diundang mengikuti sebuah workshop penerbitan buku anak. Karena diundang jadinya gratis alias dibayarin. Semula lokasinya bukan hotel ini, melainkan hotel di bilangan Slipi. Entah mengapa dipindahkan.
Saya datang Minggu malam setelah berjuang mati-matian mencari travel ke Jakarta yang semuanya penuh. Akhirnya dapat juga sih yang jurusan Grogol. Enak, banget karena terbilang dekat. Naik taxi juga cuman Rp25.000. Itu juga karena ada macet sedikit.
Pas masuk lobi hotel seorang heleper dengan siaga menawarkan jasa membawa gembolan saya yang emang berat. Oke, sementara dia nungguin gembolan, saya pun check in. Room mate saya dari Solo ternyata udah masuk kamar sejak Solo. Jadi agak tenang deh udah ada yang bersih-bersih kamar duluan. Eh,  bukan deng. Ada yang ngisi kamar maksudnya.

Saya pun diantar sama helper hotel sampai kamar. Di lift dia sempat nawarin jasa spa hotel. Saya menolaknya karena belum perlu. Baru juga sampai, udah minta spa. Kolokan amat.

Pintu kamar 1112 dibuka, dan teman kamar saya yang nggak mau disebut namanya pun telihat. Sumpah saya baru kenal dan ketemu. Soalnya dimention di Twitter nggak balas juga.


Setelah merapikan semua pakaian ke lemari, saya duduk santai di bed sambil ngobrol sama room mate. Nggak lama kemudian dia ngajak makan. Tapi saya tolak karena nggak biasa makan malam.

Nah, begitu sendiri saya mulai deh perhatikan kamarnya yang modern. Pemandangan keluar ya lampu-lampu gedung begitu. Namanya juga di kawasan perkotaan.

Nggak terasa malam pun bikin saya ngantuk. Capek karena perjalanan.

Esok subuhnya saya bangun awal banget (biasalah masih adaptasi) dan mulai gelisah pengen segera sarapan. Ternyata baru buka pukul enam. Saya pun cek-cek internet pake wifi hotel. Sayangnya sinyal wifi nggak nendang sama sekali. Mungkin masukan saja buat pihak hotel, agar meningkatkan sinyal wifi hotel.


Pukul enam, saya tanya pihak informasi kapan ruang gym dibuka. Ternyata sudah. saya putuskan untuk ngegym. Walaupun hanya lari-lari di TM. Beres itu saya langsung ke shower dan sarapan. Rasanya ingin menyantap semua yang dihidangkan. Tapi karena ngeri nanti ngantuk pas workshop, cukuplah bubur ayam dan salad.

Beres sarapan langsung menuju ruang workshop di lantai lima yang nama ruagannya nama-nama negara di ASEAN, Siangnya makan lagi di tempat yang sama. hidangan berbeda. Lalu workshop lagi sampai sore. Malamnya saya seperti lainnya dapat jatah makan malam di hotel, tapi saya nggak manfaatin. Takut bosan. Jadi nangkring di Kopi Oey di dekat hotel yang klasik banget suasananya.

Jujur aja, karena selama empat hari akan mengalami rutinitas yang sama, saya berusaha variasikan waktu dan tempat makan. Karena saya sudah mengalami kalau menginap lebih dari dua hari di sebuah hotel dan makannya selama tiga kali di restoran yang sama akan cepat terasa bosan. Apalagi kalo menunya kurang lebih sama.
Sebenarnya saya lebih suka makan pagi dan siang saja di hotel. Makan malam diberikan saja voucher makan untuk jajan di tempat lainnya. Kecuali kalao makan pagi, siang dan malam berbeda restorannya.

Nah ini poin penting yang saya rasakan menginap lima malam di Novotel gajah Mada Jakarta:

1. Pelayanannya ramah. Bahkan saat telepon informasi malam dan subuh hari tetap diladeni dengan ramah.

2. Suasana restoran sering kali penuh. Dan kadang sangat berisik, semisal karena ada demo mie tarik. Belum lagi tamu-tamu asing dari Tiongkok yang biasanya kalo ngomong memang nyaring sekalipun dia berdekatan dengan lawan biacaranya.

3. Kalo berenang sebaiknya jangan terlalu malam karena anginnya sangat kencang. Mungkin karena terhalang tembok jadi anginnya ngubek di sekitarkolam renang. Lebih baik pagi atau sore.

4. Pada jam-jam tertentu ruang gym yang kecil itu penuh. Apalagi kalau mau lari di treadmil, kadang antre. Sebaiknya pagi-pagi lebih lengang.

5. Sinyal di kamar kurang begitu bagus (saya pake XL, teman sekamar pake lainnya juga sama). Jadi kalau menelepon saat di luar kamar. Kecuali sekadar SMS. Jangan pula berharap bisa mengandalkan wifi, karena untuk buka satu web saja saya harus sabar menunggu. Bawa saja modem sendiri. Mudah-mudahan sinyalnya lagi bagus.

6. Colokan, lampu, dan fitur lainnya di kamar sangat baik. Juga saluran televisi.

7. Kamar mandi juga baik. Antara shower dan toilet terpisah. Tapi hati-hati jangan sampai salah pencet karena tiba-tiba tirai kamar mandi bisa terbuka dan tembus pandang. Karena antara kamar mandi dan ruang tidur disekat dinding kaca.


8. Hal paling saya sukai di restoran adalah banyaknya makanan tradisional. Bahkan ada jamu. Sayangnya saya punya banyak pantangan, jadi nggak bisa nikmati semua. Tapi bagus buat memperkenalkan berbagai kuliner Indonesia karena banyak tamu dari dari luar negeri menginap di hotel ini.

9. Hotel ini sangat strategis. Bisa naik busway bagi yang ingin jalan-jalan jauh tanpa macet. Mau ke pusat belanja seperti Asemka, Mangga Dua, apalagi Glodok sangat dekat. Jadi sangat efektif buat saya yang ingin belanja oleh-oleh untuk anak dan isteri. Sebagai selingan juga bisa mampir ke Cagar Budaya Candra naya untuk refreshing. Cuman beberapa langskah dari hotel

10. Kalo kelaparan tengah malam juga jangan khawatir karena tersebar mini market sampai malam

Jadi, di hotel manapun kita menginap kalau kita menyiasati agar betah ya nggak ada masalah.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 23, 2014 03:02

October 22, 2014

Polisi Ganteng Ini Wakili Negaranya ke Ajang Model Internasional




Tugas utama polisi memang melayani dan mengayomi masyarakat. Tapi ada juga polisi yang karena gantengnya akhirnya merangkap  jadi model, bahkan menyandang gelar  Mister International di negaranya.  Dia juga siap mewakili  negaranya ke ajang Mister International Pageant yang rencananya dihelat di Korea Selatan November mendatang.
Nama polisi itu adalah Police Officer2 Mariano Perez Flormata Jr dari Filipina. Polisi yang kemudian memiliki nama tenar Neil Perez ini  bahkan menyandang lima gelar modeling sekaligus, sebagai Mister International Philippines, Best in Swimwear, Most Photogenic, Mister Unisilver, dan Mister Informatics. Dia berhasil  menyisihkan 26 pesaingnya yang kebanyakan dari kalangan model di negaranya.
Pria berusia 29 tahun ini sudah menjalani tugas di Philippine National Police divisi Keamanan Penerbangan selama Sembilan tahun. Neil bukanlah sembarangan polisi karena merupakan sarjana Kriminologi Universitas Manuel L. Quezon dengan spesialiasi anti pembajakan pesawat, yang kini bertugas di NAIA (Nino Aquino International Airport). Dia memiliki tanggung jawab menjinakan bom dan serangan teroris.
Neil mengikuti  kontes karena  tak lepas dari dukungan rekan-rekan sesama polisi. Menurut teman-temannya, ada potensi lain yang dimiliki Neil di luar tugasnya sebagai polisi. Teman-teman Neil tidak salah memprediksi. Neil bahkan meraih nilai voting di atas 40 persen, sementara pesaing terdekatnya hanya 7 persen.
Kemenangan Neil direspon positif oleh pihak kepolisian Filipina. Neil dianggap mempromosikan gaya hidup sehat dan bugar di kalangan polisi. "Kami bangga padanya dan berharap dia sukses di tugas selanjutnya," jelas Chief Supt. Reuben Theodore Sindac juru bicara Kepolisian Nasional Filipina.

Di Filipina memang beredar rumor tak sedap ihwal polisi. Mereka dicap terlalu gemuk sehingga tak sanggup mengejar penjahat.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 22, 2014 01:08

October 21, 2014

Mengenal Sekilas Budaya Tiongkok di Candra Naya



Salah satu efek  jadi blogger adalah kemanapun saya pergi akan mencari obyek wisata terdekat untuk ditulis. Salah satunya adalah ketika saya harus mengikuti workshop literasi anak di Novotel Hotel, Jalan Gajah Mada, Jakarta, pada 13-16 Oktober 2014. Hanya beberapa langkah dari lobi hotel tersebut, saya melihat sebuah cagar budaya Candra Naya yang langsung menyedot perhatian saya untuk mendatanginya.
Semula saya mengira bangunan bergaya Tiongkok itu adalah vihara atau kelenteng. Ternyata, bekas rumah Major Khow Kim An, pemimpin masyarakat Tionghoa di Jakarta pada masa kolonial Belanda pada 1910-1916. Sebagian menyebutkan bangunan tersebut dibangunan oleh ayah Major Khow Kim An yakni Khow Teng Tjoan. Tapi ada juga yang menyebutnya bangunan itu sudah berdiri sejak masa kakeknya yakni Khow Tian Sek.
Sekitar tahun 1990-an saya sering ke daerah Kota dan melihatnya nyaris seperti bangunan lusuh. Lalu pada tahun 2000-an saya melewatinya dengan penuh khawatir karena mulai berdiri kerangka-kerangka tinggi di sekitarnya. saya berharap penuh bangunan dengan atap melengkung itu tidak dihancurkan. Sedihnya, saya malah mendengar bangunan yang memiliki struktur atap tou-kung itu malah akan dipindahkan ke Taman Mini. Untungnya tidak jadi.
Bila masuk dari bagian depan kita bisa melihat papan nama bangunan itu tertulis Candra Naya. Dalam bahasa Sanskerta yang saya tahu, Chandra berarti bulan, Naya berarti baru (lawannya: purana berarti lama). Ingin tahu sejarah lengkap Candra Naya, silakan baca informasi di dinding kanan, sementara tentang sang Major ada di sebelah kiri. 
Begitu masuk ke dalam saya seperti terlontar ke masa lalu, tepatnya bangunan di kawasan Pecinan era Jakarta bernama Batavia. Mungkin karena terpampang beberapa foto tentang masa lalu, juga aksara kanji Tiongkok.
Berdasarkan informasi yang tertera, Khouw Kim An lahir di Batavia pada 5 Juni 1879. Ia fasih berbahasa negeri Kincir Angin meskipun dididik di sekolah Hokkien. Khouw Kim An menjadi salah satu pendiri Tiong Hwa Hwe Kwan Jakarta yang berdiri pada 1900, dan pada 1905 ia diberi pangkat letnan oleh Belanda.
Pada 1908 Khouw Kim An dipromosi menjadi kapten, dan kemudian naik lagi menjadi mayor pada 1910. Karena itulah Candra Naya dulu disebut sebagai Rumah Mayor.
Khouw Kim An sempat tinggal di Bogor sebelum menempati rumah warisan ayahnya itu pada 1934. Selain sebagai pengusaha, Khouw Kim An juga menjadi pemegang saham Bataviaasche Bank.
Pada masa pendudukan tentara Jepang, Khouw Kim An ditawan dan meninggal di kamp konsetrasi Jepang pada 13 Februari 1945. Ia dimakamkan di dekat kompleks pemakaman keluar Khouw di Jati Petamburan.
Diperkirakan, jika bukan dibangun pada tahun kelinci 1867 oleh Khouw Tjeng Tjoan, maka Candra Naya dibangun Khouw Tian Sek pada tahun kelinci 1807 untuk menyambut kelahiran puteranya pada 1808.
Perkiraan dibangunnya Candra Naya pada tahun kelinci itu berasal dari adanya sebuah lukisan di dalam gedung dengan tulisan dalam bahasa Cina dengan karakter Han yang berarti “Pada musim gugur di tahun kelinci”
Menurut petugas kebersihan yang saya tanya, selain sebagai tempat pameran, bangunan ini  ini juga kadang dijadikan tempat pertunjukan Wayang Potehi.
Sekitar 1946 berdiri Sin Ming Hui (Perkumpulan Sinar Baru) dan menyewa gedung Candra Naya ini sebagai pusat kegiatannya. Diantara kegiatan yang dilakukan perkumpulan ini adalah mendirikan klinik yang kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Sumber Waras.
Di tempat ini juga pernah digelar kejuaraan  bulutangkis pertama yang diadakan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, kompetisi bilyar dan angkat berat pertama di Jakarta, serta sebagai tempat belajar seni beladiri kung fu.
Candra Naya juga pernah digunakan sebagai tempat pendidikan oleh Sin Ming Hui dari mulai jenjang SD, SMP, SMA, dan kemudian berkembang dengan adanya Universitas Tarumanegara. Para fotografer juga pernah menggunakan gedung ini sebagai tempat mereka berkumpul.
Pada 1965, Sin Ming Hui berganti nama menjadi “Perkoempoelan Sosial Tjandra Naja” atas saran Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa. Dari tahun 1960-an hingga 1970-an Candra Naya menjadi tempat pesta pernikahan kaum kelas atas.
Hal yang membuat saya betah di dalam Candra Naya adalah sejumlah kaligrafi Cina berisi kalimat-kalimat positif. Selain itu juga terdapat hiasan dinding berwujud panglima perang dan puteri-puteri cantik Tiongkok. Tak ketinggalan lukisan Dewi Kwan Im dan sederet topeng karakter yang saya tidak kenal tapi membuat saya terhanyut suasana. Rasanya tidak bosan menikmatinya. Sayang, karena informasi yang kurang dalam bahasa Indonesia, banyak hal yang saya tidak mengerti.

Candra Naya tidak hanya dikenal di dalam negeri, namun juga dikenal di kawasan regional Asia Tenggara dan internasional. Candara Naya merupakan bagian terpadu dari Green Central City, superblock yang dibangun oleh PT Bumi Perkasa Permai.
Setelah kembali ke masa kini begitu ke luar Candra Naya, saya pun menyesuaikan diri di sayap kanan Candra Naya. Di sana terdapat caffe Oey yang menyajikan aneka hidangan peranakan.
Menyenangkan juga bisa mampir ke Candra Naya di sela kesibukan mengikuti workshop. Betul seperti kata penulis traveling Agustinus Wibowo,” Traveling tidak harus pergi jauh.”  Bahkan hanya beberapa langkah dari lobi hotel menginap.

follow me: @bennyrhamdani_
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 21, 2014 00:36

Belajar dari Room to Read Tentang Tingkat Kemampuan Membaca Anak





Pernahkah kesulitan dalam memilih buku bacaan anak yang sesuai untuk anak-anak? Baik saat membeli maupun meminjam buku.  Saya pernah. Terutama pengkategorian berdasarkan tingkat kemampuan membaca anak.
Buku-buku anak di luar negeri, umumnya senantiasa memberi disclaimer kategori berdasarkan usia pembaca atau  kelas sekolah si anak. Biasanya dengan range yang tidak begitu jauh jaraknya 2-3 tahun. Di Indonesia, hal seperti demikian masih malu-malu dilakukan. Mengapa?
Biasanya, di Indonesia hanya disebutkan buku anak SD, buku balita, buku pra SD dan sejenisnya. Karena penerbit mempertimbangkan, sengan semakain sempitnya kategori pembaca buku yang diterbitkan, akan memengaruhi tingkat pembelian buku itu. Dengan kata lain, penerbit memilih tidak memberi kategori. Karenanya buku anak yang diterbitkan bisa jadi untuk usia 5 tahun ataupun 12 tahun,
Padahal pada range umur 6-12 tahun bisa jadi ada beberapa tingkat kemampuan membaca. Room to Read, salah satu yayasan nirlaba dunia, membagi level kemampuan membaca buku anak hingga 6 level. Uniknya, mereka membagi 6 tingkatan tersebut tidak dalam angka melankan warna. “Agar anak-anak yang berada di kategori warna hijau muda tidak merasa smbong, dan anak yang berada di kategori warna tidak merasa minder,” jelas David dari Room to Read di acara workshop untuk penerbit, pegiat taman bacaan, dan sejumlah pegiat perbukuan yang akan dilibatkan dalam proyek mereka di Indonesia.
Dengan adanya penandaan warna-warni di setiap buku bacaan anak, diharapkan anak=anak lebih mudah memilih buku sesuai tingkat kemampuannya membaca. Dari mulai yang teksnya sederhana hingga rumit.
Tentang Room to Read
Di usia kerjanya yang mencapai sembilan tahun di Microsoft, John Wood telah hidup lebih dari cukup. Karier menjanjikan, perusahaan besar yang prestisius, dan sejumlah benefit yang menjadi impian para pekerja telah diperoleh John dengan sukses. Kekurangannya cuma satu, John tidak pernah mendapatkan cukup waktu untuk kehidupan pribadinya.
Namun, satu kunjungan ke sebuah agen perjalanan telah mengubah jalur hidup John untuk selamanya.Lepas dari padatnya pekerjaan, John menemukan dirinya menapaki ketinggian Himalaya di dataran tinggi Nepal sejauh 200 mil dan hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki selama 20 hari. “Rupanya desa terpencil di awal perjalanannya yang dihuni oleh orang-orang buta huruf dengan mayorias anak-anak putus sekolah itu telah membawa keajaiban bagi hidupnya yang lenggang,”  jelas Joel Bacha, Director of Strategic Expansion at Room to Read. saat memberi penjelasan tentang Room to Read.
Sebuah gagasan tentang ruang baca yang dinamainya Room to Read telah mengubah dunia yang senyap itu dengan ingar-bingar pengetahuan. Dari ketinggian Himalaya, John melebarkan gagasannya untuk anak-anak di banyak negara miskin, jagad pengetahuan yang dilipat dalam lembaran-lembaran buku.
Salah satu negara yang saat ini akan menjadi proyek mereka adalah Indonesia. Dan saya merasa senang bisa menjadi bagin dari proyek ini. Semoga berjalan lancar.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 21, 2014 00:04

October 20, 2014

5 Alasan Blogger Enggan Menerbitkan Buku



Sungguh mengejutkan, ternyata setelah berinteraksi dengan sejumlah blogger, tidak sedikit yang enggan atau tidak tertantang menerbitkan buku. Ternyata dugaan saya sebelumnya keliru, jika orang yang memiliki passion menulis secara otomatis akan punya mimpi menulis buku.

Berbagai alasan dikemukan, namun bisa saya kelompokkan ke dalam 5 alasan ini:

Tidak Bergengsi Lagi

Ternyata menulis buku di era sekarang bukan lagi hal yang membuat harga diri meningkat. Demikian pula status kecendekiaan. Tidak lagi seperti era sebelum Internet mewabah. Hanya orang-orang yang serius, pintar, tekun pintar yang bisa menerbitkan buku, setidaknya sebelum tahun 2000. Begitu banyaknya penerbit, membuat lowongan naskah terbuka lebar, dengan kualitas minim sekalipun. Buku-buku laris bukan buku yang memberi banyak manfaat. Siapapun bisa menulis dan menerbitkan sendiri buku di masa maraknya self pubishing dan print on demand.

Tidak Bikin Kaya

Beberapa kompasianer ada yang bercerita memiliki teman penulis produktif. Hampir setiap bulan menerbitkan tapi hidupnya pas-pasan. Barulah setelah penulis itu terjun ke dunia penulisan skenario level hidupnya semakin meningkat. Tidak sedikit yang merasa imbalan dari menulis buku tidak sepadan dengan jerih payah menulis buku. Mulai dari waktu, pikiran dan tenaga. Daripada menulis buku yang berlembar-lembar, mendingan ikut lomba menulis blog yang cukup beberapa halaman tapi hadiahnya lebih besar ketimbang royalti menulis buku.

Tidak Punya Referensi Penerbit

Sebagian ada pula yang enggan menulis buku karena tidak punya referensi yang memadai tentang penerbit buku. Mereka khawatir nanti karyanya dibajak. Cemas pula penerbitnya berlaku curang kepadanya. Ada pula yang merasa hanya penulis-penulis yang dekat orang-orang penerbitan saja yang bisa menerbitkan buku. Selebihnya tidak akan bisa menembus penerbitan buku. Apalagi penerbit papan atas.

Merasa Tidak Layak Menulis Buku

Ada pula yang enggan menulis buku karena merasa dirinya belum atau tidak layak menulis buku. Biasanya mereka memiliki standar seorang penulis buku dan membayangkan dirinya harus bisa berkarya sekualitas penulis tersebut. Meskipun dia tahu bahwa tidak semua karya tulis harus seperti penulis idolanya, tapi mereka tetap ingin dirinya sesempurna penulis kesukaannya.

Tidak Minat Sama Sekali


Bisa saja seorang penulis artikel di media cetak ataupun blogger mengaku tidak minat sama sekali menulis buku tanpa alasan sama sekali.  Tapi beberapa penulis artikel dan blogger memberi alasan, seperti ingin fokus pada bidang lain yang lebih disukainya, tidak punya waktu fokus menulis buku.

Saya sendiri tak pernah memaksa seorang penulis blog atau artikel di media cetak menulis buku. Saya hanya menyarankan. Tapi jika menolak tak apalah. Karena passion orang memang berbeda. Kalau kamu?

follow @bennyrhamdani_
#BeraniNulisBuku
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 20, 2014 23:42

Empat Jenis Penulis Nyebelin Banget



Sebagai seorang editor buku dan berkecimpung di dunia penulisan juga, saya menemukan begitu banyak karakter penulis di Indonesia. Dari yang menyenangkan sampai yang nyebelin banget. Yang menyenangkan tentu saja disambut hangat oleh semua kalangan. Yang nyebelin, kemungkinan besar umurnya nggak akan lama, kecuali dia cepat sadar.
Di bidang apapun berkarya, yang namanya sikap, sifat, tabiat ataupun perilaku seseorang tentu penting banget dijaga sesuai etika yang berlaku. Sebagian mengganggap menjaga atittude adalah siksaan dan merasa ‘nggak gue banget’ sehingga dia akan bersikap semau gue. Alih-alih jadi trade mark, malah jadi cibiran banya orang di sekitar.
Berikut beberapa karakter yang membuat penulis jadi nyebelin banget.
Ratu Drama Sosmed
Saat ini, jejaring sosial sudah menjadi perangkat wajib bagi penulis. Ada yang memanfaatkannya untuk promosi buku, jualan buku, berbagi tips menulis, mengunggah foto-foto kegiatannya di penulisan. Selama masih positif sih nggak ada masalah ya.
Sayangnya, masih banyak penulis yang nggak nyadar kalau jejaring sosial itu bisa jadi bumerang bagi dirinya saat mengupdate status dengan hal-hal yang terlalu berlebihan dalam kehidupannya alias lebay alias drama queen (padahal berlaku juga untuk penulis cowok).  Dan … saya beberapa kali menemukan yang seperti ini. Bahkan drama yang dibuatnya lebih dramatis dari karya yang pernah ditulisnya.
Di statusnya sebentar-bentar nyinyir, nyindir, marah-marah (stres banget kayaknya hidup sebagai penulis). Dia akan senang kalau ada yang mendukungnya atau menghiburnya. Sebaliknya akan marah-marah kalau ada pembaca bukunya yang kepo atau ngasih kritik.  Malah ada juga yang main delete atau hapus pertemanan (karena dia menganggap itu adalah fansnya bukan teman).
Jutek Setengah Mati
Masa sih ada penulis jutek? Banyak! Saya beberapa kali bertemu di forum penulis. Ada penulis yang nggak mau nyapa duluan. Maunya disapa orang. Padahal baru nulis satu buku dan nggak meledak-meledak amat. Itu pun balasnya cuma dengan anggukan kepala. Senyumnya mahal, apalagi ngobrol. Kalaupun dia menyapa orang duluan atau beramah-tamah pastinya dengan orang penting banget yang bakal mendongkrak karirnya. Gimana kalo dia jadi penulis terkenal ya?
Ada juga penulis jenis ini yang kalo dimention sama fansnya nggak mau balas sama sekali. Bahkan mungkin baginya, “Siapa elo? Nggak dimention elo juga gue tetap ngetop kok.”
Mungkin dalam jajaran penulis, @pidibaiq terbilang yang paling bersahabat dengan penggemarnya. Nggak cuman membalas mention, tapi juga folbek langsung fansnya. Tentu saja mention yang penting dibalas. Jangan yang basa-basi.
Sotoy Berasa JK Rowling
Ini dia kadang yang bikin editor pusing. Baru nulis satu buku, dan belum laris, tapi lagaknya melebihi penulis best sellers. Permintaannya  ampun-ampunan. Naskahnya nggak boleh diedit, judulnya nggak boleh diganti, uang royalti minta tinggi, dan malah kalau bisa pakai uang muka royalti. Lebih parahnya lagi ikut-ikutan ngurus kaver buku. Padahal di setiap penerbit sudah ada editor dan desainer yang tentunya nggak akan sembarangan bekerja.
Masih mending kalau penulisnya punya latar belakang editor atau desain. Kalau nggak sama sekali, dan cuma berlandas selera subyektif, jadinya bikin repot.
Memang sah-sah saja penulis ikut nimbrung mengurus bukunya. Ya, namanya juga karyanya. Tapi akan lebih baik jika dia menyerahkan naskahnya ke penerbit (bukan penerbitnya sendiri) juga memberi kepercayaan kepada para profesional. Memberi saran oke, tapi janganlah memaksakan kehendak. Apalagi sampai mengancam,” Saya akan tarik naskahnya kalau usul saya nggak diterima.” Padahal sesama editor walaupun beda penerbit  juga suka saling berbisik, mewanti-wanti penulis tertentu yang bermasalah.
Raja Kepo
Ada lagi nih jenis penulis yang rajin dan sering banget bertanya-tanya ke sana-sini. Herannya nulisnya jarang banget. Mungkin lima tahun hanya satu buku. Ke sesama penulis dia rajin nanya. Kadang pertanyaan yang sudah terbilang common sense.

Penulis jenis ini juga sering bertanya-tanya kepada editor penerbit buku. Dari soal trend, permasalahan perbukuan, dan banyak lagi. Tapi nggak nulis-nulis juga walaupun segudang info dia dapatkan. Entah apa masalahnya, sepertinya penulis jenis ini kurang percaya diri dan motivasi untuk menulis sehingga butuh suntikan dari rekan sesama penulis.
Ada juga Raja kepo untuk penulis baru. Baru kirim naskah udah nanya, kapan naskahnya terbit. Lho, yang kirim naskah ke kantor penerbit bukan hanya dia. Perlu proses. Dievaluasi, dirapatkan, diputuskan dulu naskahnya. ada lagi proses editing, layout, desain dan banyak lagi sebelum dicetak dan didistribusikan. Penulis jenis ini bahkan rajin bertanya setiap hari kepada pihak penerbit. Kalau editornya menolak teleponnya, dia bertanya ke sekretaris redaksi, atau kalau perlu ke bagian keamanan :)
Itu hanya sebagian yang bisa saya ungkap. Menurut saya, jadi penulis jangan nyebelin di lingkungannya. Tetap ramah dan handap asor. Mengapa? Karena penulis adalah sosok cendikia, yang bekerja menggunakan otaknya. Masyarakat umum tentunya berharap penuh jika berhadapan dengan penulis, apalagi yang disukai karyanya, sesuai dengan harapan mereka.
Kalau kamu, jenis penulis bagaimana?
***

follow me @benyrhamdani_
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 20, 2014 23:31

October 2, 2014

Kesan Menginap di Hotel Le Grandeur Mangga Dua Jakarta



Akhir pekan lalu saya sekeluarga berakhir pekan di Jakarta. Saya mengajak anak dan isteri berkunjung ke Indonesia Internasional Motor Show 2014 dan Kompas Travel Fair 2014. Dari Bandung saya belum sempat booking hotel.
Saat di KTF 2014 yang digelar di Jakarta Convention Centre, saya melihat ada beberapa stand hotel. Sampai mata saya melihat stand hotel Le Grandeur. Sebelumnya saya sudah pernah browsing dan memang ingin menginap di sana, tapi belum sempat booked. Alasan utama mengincar Le Grandeur, karena isteri ingin belanja di kawasan ITC Mangga Dua, saya juga ingin membeli beberapa perlengkapan kamera  di mall samping hotel ini.

Di stand itu kebetulan dikasih harga promosi yang lumayan jauh dari dari rate publish mereka. Belum lagi bonus soto betawi untuk dua orang. Jika dibandingkan dengan harga online selisih di atas sedikit sekitar RP50.000an. Tapi itu di online kan belum termasuk tax dan lain-lain, yang ujung-ujungnya sering kali jatuhnya nggak seperti yang tecantum.

Saya pun check in untuk kamar Superior King Size di stand La Grandeur tersebut. Kemudian saya masih harus jalan-jalan lagi. Magrib, kami sampai di hotel dan langsung menyerahkan receipt ke petugas check in. Tidak pakai lama kamar pun beres. tapi saya tetap harus menyimpan deposit sebesar Rp300.000.

Isteri dan anak saya senang ketika masuk ke kamar. Hehehe, biasanya kalo menginap di hotel menginapnya di hotel minimalis. Tapi kalo dipikir-pikir mestinya sih dengan nambah Rp200.000-an kalo bisa dapat yang sekeren ini, ya mungkin nanti pilih ini saja. Terutama kalau dapat harga promo.


Beberapa jam kemudian kami menagih bonus dua soto Betawi. Tapi sepertinya ada miskomunikasi. Untunglah kemudian beres, dan dua soto betawi pun diantar ke kamar dalam keadaan hangat. Isteri dan anak saya menyantap soto betawi itu dengan lahapnya.


Keesokan paginya kami berangkat dari hotel ke Pasar Pagi Asemka, Jembatan Lima. Mencari mainan untuk putra saya, dan sekaligus memborong banyak mainan untuk kado ulang tahun kalau-kalau teman putra saya ada yan berulangtahun. Soalnya kalau beli borongan kan lebih murah.

Selesai dari Asemka kami menuju ITC Mangga Dua. Kali ini giliran isteri saya yang belanja. Sekaligus juga membeli barang titipan kerabat. Dan dari ITC Mangga Dua ke Mall Mangga Dua di seberangnya kami tak mengalami kesulitan karena ada skywalk penghubung. Begitu juga menuju hotel. Jadi nggak perlu panas-panasan.

Kembali ke hotel kami tidak perlu berpeluh. Dan siap untk check out. Isteri dan putra saya mengaku senang menginap di La Grandeur. "Strategi untuk belanja. Nggak perlu susah cari parkir mobil dulu," kata isteri saya, Titin Hartini.

Yup Betul sekali. Kalau menginap di hotel lainnya (sebelum ini) saya ke ITC Mangga Dua tetap harus membawa mobil. Ribeut bangeut cari parkir mobilnya. Belum lagi bayar parkirnya. Tau sendiri kalau belanja nggak mungkin satu jam. Sementara dengan tinggal di Le Grandeur, mobil tetap saya tinggalkan di hotel. Dan selama menginap di hotel, kita bebas biaya parkir.

Saya juga lihat banyak tamu di hotel ini yang memiliki kepentingan bisnis di kawasan Mangga Dua. Termasuk tamu-tamu dari negara-negara tetangga.

Saya sendiri menilai hotel yang dulunya bernama Dusit Thai ini sangat nyaman untuk stay.  Selain itu tempat parkirnya relatif aman dan tidak menyulitkan. Sayang saya tidak sempat menikmati fasilitas hotel lainnya. Mungkin di lain waktu.

Satu-satunya kekurangan hotel ini adalah WIFI yang kurang manteng. Untuk pengguna gadget dan blogger seperti saya hal tersebut adalah hal paling penting ketika tinggal di hotel. Apalagi sedang dikejar-kejar deadline beberapa lomba blog. Semoga ke depannya bisa lebih ditingkatkan.

Saat check out uang deposito dikembalikan. tapi saya harus mebayar air putih kemasan 1 liter sebesar Rp.8.500.  Tak ada masalah. Karena isteri dan anak saya mengaku senang. Kalau mereka happy, saya juga happy dong.



*_*



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 02, 2014 21:34

September 30, 2014

Tempat Gratis Wajib Dikunjungi di Macau

Macau terletak pada 70 km sebelah barat daya Hong Kong dan 145 km dari Guangzhou. Macau  merupakan koloni Eropa tertua di Tiongkok, sejak abad ke-16. Pemerintahan Portugal menyerahkan kedaulatan Macau kepada Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 1999, dan Macau kini merupakan sebuah Daerah Administratif Khusus Tiongkok.
Macau mulai ramai dikunjungi wsiatawan dari berbagai belahan bumi. Sebab Macau memiliki keunikan yakni perpaduan budaya barat dan timur. Macau juga dikenal sebagai tujuan wisata dengan banyak obyek wisata gratis.
Sebagian besar situs warisan di Macau bebas masuk. A-Ma Temple, Camoes Garden dan São Lourenço cukup dibayar dengan perhatian kita saja. Pengunjung bahkan tak perlu mengeluarkan uang satu sen pun di Perpustakaan Sir Robert Ho Hung  dan Teater Dom Pedro V.  Nah, mumpung gratis, yuk kita susuri bareng ….
A-Ma Temple

Pertama bagaimana kalau kita ke A-Ma Temple dulu? A-Ma Temple atau Kuil A-Ma yang terletak di sebelah tenggara Semenangjung Macau. Kuil yang dibangun sejak tahun 1.488 di era Dinasti Ming ini (1368-1644) merupakan kuil tertua  dan tempat pertama kalinya bangsa Portugis mendarat di Macau. Pendaratan inilah yang menjadi titik awal sejarah Macau.
Kabarnya pula, Kuil A-Ma dibangun untuk memperingati Matsu, dewi pelaut dan nelayan. Menurut legenda “A-Ma” berasal dari nama seorang gadis miskin yang ingin pergi ke Canton namun tidak diizinkan ikut kapal seorang pedagang kaya. Seorang nelayan miskin mengizinkannya ikut. Kemudian, sebuah badai menerjang dan menghancurkan semua kapal di lautan kecuali kapal yang ditumpangi gadis miskin tersebut. Setibanya di Macau gadis itu menghilang dan kembali menampakkan diri sebagai seorang dewi di tempat dimana para nelayan membangun kuilnya.
Ada beberapa ruangan di kuil ini, yakni ruang berdoa, paviliun dan halaman yang dibangun di bukit berbatu dan disambungkan dengan jalan berputar melewati gerbang bulan dan taman-taman kecil. Di pintu masuk terdapat sebuah batu besar yang mengukir benda pelayaran tradisional. Di batu besar lain terdapat ukiran karakter merah yang sedang meminta restu para dewa.
Yang menakjubkan, tiga dari empat paviliun didedikasikan kepada A-Ma dan memiliki beberapa patung sang dewi serta model dari meriam, kapal serta kapel untuk dewa-dewa agama Buddha dan Tao. Kuil paling atas digunakan untuk menyembah Kuda Lam. Kuil ini dibedakan dari lainnya dengan adanya atap indah dan pemandangan menakjubkan dari taman atas. Kembang api, untuk mengusir roh jahat dinyalakan di pintu masuk halaman untuk menyambut para pengunjung. Selain itu ada pertunjukkan baraongsai yang dipertontonkan setiap akhir pekan.
Untuk penganutnya, berdoa di kuil A-Ma tidak sekedar memberikan nuansa religi yang mendalam namun juga keindahan arsitektur kunonya. Kuil yang mengadaptasi dari budaya China ini terlihat dari puisi dan prasasti yang diukir pada batu di kawasan ini. Inilah yang membuat berdoa di kuil ini bertambah kadarnya karena budaya China sangat kentara. Walaupun arsiteturnya sederhana, dibandingkan kuil lainnya, namun setiap ruangannya didesain dengan tujuan tertentu. Seperti aula tempat berdoa yang didedikasikan untuk Dewi Pelaut dengan struktur granit. Kuil dengan strukutr empat balok terletak dalam tembok runcing yang digunakan untuk melindungi terhadapa resiko kebakaran. Fasad depan dilengkapi dengan gerbang yang dihiasi dengan patung-patung dengan dinding warna-warni.
Serunya, di kuil ini setiap tahun baru China banyak dikunjungi remaja putri dan pria yang berkumpul membakar kemenyan untuk memberi penghormatan dan berdoa untuk keberuntungan. Bagi yang sedang bepergian ke Macau pada April – Mei , atau dalam penanggalan China setiap tanggal 23 dari bulan ke-3, jangan lewatkan Festival A-Ma yang menarik banyak wisatawan.

Camoes Garden and Grotto
Konon, belum lengkap jika tidak datang ke Camoes Garden and Grotto yang merupakan salah satu taman tertua di Macau. Jadi, kita sambangi yuk sebagai tujuan kedua.
Taman ini dibangun pada abad ke-16 dengan luas hampir 20.000 meter persegi, suasana serba teduh dan hijau. Cocok untuk tempat menghilangkan kepenatan selama liburan.
Camoes Garden awalnya adalah rumah seorang pedagang Portugis yang menikmati hidupnya dengan memelihara merpati. Rumah ini mempunyai latar belakang pemadangan yang indah dengan ratusan merpati yang terbang kesana kemari. Tak jauh dari rumah pedagang ini tampak bangunan seperti sarang burung atau tempat merpati-merpati itu berkumpul. Setelah si pemilik rumah ini meninggal, kediamannya disumbangkan kepada pemerintah hingga akhirnya menjadi taman yang menawan di kota Macau.
Sudut paling terkenal di taman ini adalah patung seorang penyair terkenal, Luis de Camoes yang dibangun pada tahun 1886. Karena masalah tertentu, Camoes diasingkan dari negaranya dan tinggal di Macau selama 2 tahun. Penyair yang lahir pada tahun 1524 ini sering sekali mengunjungi taman ini sembari menuliskan karya-karyanya. Salah satu yang paling terkenal adalah Os Lusiadas atau Soul of Portugal. Berkat karya-karyanya yang monumental, warga Macau amat menghargai dan mengenang keberadaan Camoes. Setiap tanggal 10 Juni, tanggal ia meninggal dunia pada tahun 1580, diperingati sebagai Portugal Day oleh pemerintah. Pada hari itu, setiap tahun warga keturunan Portugis selalu berkumpul di taman ini untuk merayakan dan mengingat kembali keberadaan dan karya-karya Camoes.
Taman ini merupakan area publik yang sangat disukai warga Macau, ada banyak bangku-bangku kayu yang memungkinkan kita untuk duduk santai menikmati panorama. Beberapa bangunan disini sangat menunjukkan sisi kuno dan betapa tuanya umur Camoes Garden and Grotto. Aneka tumbuhan dan arsitektur bangunan art deco menambahkan suasana nyaman, seolah waktu berhenti berjalan. Oleh karenanya kita akan menemukan banyak aktivitas warga yang dilakukan di taman ini seperti bermain catur, ngobrol dengan teman dan kerabat, olahraga pagi dan masih banyak lagi. Benar-benar taman yang bisa menjadi oase di tengah kesibukan kota Macau.
São Lourenço

Gereja ini dibangun oleh para Yesuit pada pertengahan abad ke-16, dan salah satu dari tiga gereja tertua di Macau. Penampilan sekarang dan skala diakuisisi pada tahun 1846. Terletak di pantai selatan Macau menghadap ke laut, keluarga pelaut Portugis yang digunakan untuk mengumpulkan di tangga depan gereja untuk berdoa dan menunggu mereka kembali, maka itu diberi nama: Feng Shun Tang (Hall of the Winds Soothing) . Lingkungan di mana gereja letaknya digunakan untuk menjadi cukup kaya, sehingga menjelaskan skala bangunan dan kekayaan pengobatan arsitektur. Ini adalah struktur neo-klasik, dengan halus inspirasi dekoratif Baroque.


Perpustakaan Sir Robert Ho Tung
Karena saya suka buku, maka saya pasti mengunjungi tempat ini. Tidak banyak perpustakaan yang ditata dengan gaya artistik, kebanyakan interiornya justru membosankan. Namun hal yang berbeda dengan Sir Robert Ho Tung Library ini, interior dan eksterior indah sehingga pengunjungpun tidak merasa bosan.
Dibangun sebelum tahun 1894 dan menjadi kediaman Dona Carolina Cunha. Seorang pengusaha dari Hongkong, Sir Robert Ho Tung membelinya pada tahun 1918. Ia meninggal pada tahun 1955 dan sesuai dengan wasiatnya, rumah ini diserahkan kepada pemerintah Macau untuk menjadi perpustakaan umum.
Bangunan perpustakaan ini adalah sebuah rumah dengan gaya khas Macau dengan bangunan tiga lantainya. Ia berdiri ditengah taman yang asri. Fasadnya cukup unik karena berbentuk melengkung. Pagar utamanya lurus dengan pintu utama rumah ini. Interiornya dipengaruh gaya tradisional Cina, sedangkan lanskap tamannya meniru gaya barat. Beberapa tumbuhan yang menjadi penghuni taman ini adalah jenis botani langka.
Perpustakaan Sir Robert Ho Tung sempat mengalami renovasi dan pembangunan unit baru yang terdiri dari 4 lantai dan terletak di samping bangunan yang lama pada tahun 2005. Peletakan ini bertujuan agar setiap bangunan mendapatkan sinar alami matahari secara maksimal. Bangunan lama berisi buku-buku kuno yang diterbitkan saat dinasti Ming dan Qing berkuasa plus sebuah galeri pameran. Total seluruh bangunan menempati areal 30.000 meter persegi dan dapat menampung 400 orang sekaligus. Fakta ini membuat perpustakaan Sir Robert Ho Tung Library menjadi perpustakaan paling besar di Macau.
Perpustakaan Sir Robert Ho Tung memungkinkan pengunjungnya untuk makan dan saling ngobrol di sebuah area khusus. Kita juga bisa mendengarkan musik dan menonton film di AV room. Pada perayaan ulang tahun ke-140 memperingati hari kelahiran Dr. Sun Yat Sen, perpustakaan ini mengadakan pameran yang menampilkan publikasi dan bibliografi berharga dari tokoh demokrasi Cina tersebut.
Perpustakaan Sir Robert Ho Tung sekarang menjadi sub unit dari Macau Central Library. Pada tahun 2005, Sir Robert Ho Tung Library termasuk kedalam daftar situs warisan dunia versi UNESCO.  Situs sejarah lainnya yang juga diakui UNESCO adalah Gereja St. Antony, Gereja St. Augustine dan Holy House of Mercy.
Dom Pedro V Theatre
Bangunan yang dibangun sejak tahun 1860 namun masih tetap digunakan hingga sekarang. Dom Pedro V Theatre adalah situs sejarah yang menunjukkan kecintaan warga Macau terhadap peninggalan sejarah masa lalu.
Dom Pedro V Theatre adalah teater gaya barat pertama di Cina. Menjadi salah satu landmark yang paling penting di Macau dalam konteks budaya dan seni. Bangunan ini didesain dengan gaya neoklasik. Fasad atasnya diberi sentuhan segitiga dan disangga dengan persegi panjang. Ada 3 pintu utama di bagian depan dengan ornamen lengkungan pada bagian atasnya. Masing-masing pintu ini ditempel dengan tiang penyangga besar. Total ada 6 tiang yang menghiasi fasad depan. Masing-masing pintu bertuliskan theatre, dom dan pedro v. Warna Dom Pedro V Theatre didominasi dengan hijau toska yang kalem.

Dom Pedro V Theatre dibangun oleh warga Portugis untuk menghormati raja Portugal Dom Pedro V. Hebatnya, teater ini masih digunakan hingga sekarang untuk menggelar berbagai kegiatan dan perayaan, terutama pertunjukan musik. Di gedung ini juga pernah menjadi tempat penampilan pertama di dunia untuk karya Puccini “Madame Butterfly”. Jika Kitamelangkah ke dalam, di Dom Pedro V Theatre terdapat ruang pesta, perpustakaan, ruang snooker atau tempat bilyar. Kita tak perlu khawatir akan kelaparan saat mengunjungi situs budaya ini karena di Dom Pedro V Theatre terdapat restoran yang dibuka untuk umum. Pada tahun 2005, Dom Pedro V Theatre masuk ke dalam daftar situs sejarah dan warisan dunia versi UNESCO.
Setiap bulan Mei, Dom Pedro V Theatre menjadi tuan rumah acara Macau Art Festival yang diadakan oleh Cultural Bureau of The Macau S.A.R Government. Tujuan utama Macau Art Festival adalah memperkenalkan seni budaya tradisional Cina serta hasil akulturasi Cina-Portugis kepada dunia. Tidak itu saja, gelaran ini juga memberikan kesempatan kepada para seniman lokal beserta karyanya agar diapresiasi oleh khalayak luas, termasuk wisatawan dari mancanegara.
Nah, meskipun gratis tetap ya harus keluar duit kalo di jalan haus atau tergoda beli pernak-pernik J
Sumber : cina.panduanwisata.com
id.macautourism.gov.mo





 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 30, 2014 03:22

September 29, 2014

Catatan dari ajang Popcon Asia 2014

Beberapa waktu lalu saya mendatangi acara Popcon  Asia 2014 di Gedung Smesco, Jakarta. Intinya, saya merasa tersesat di antara orang-orang kreatif itu, Saya melihat banyak kreasi yang sebagian besar dikenal  'mainan anak' tapi kini berada di tangan orang dewasa.  Itulah industri milyaran dollar yang di seluruh dunia dijalankan orang-orang muda  di bawah 35 tahun, dan mereka semua memiliki kesamaan, menggenggam impian masa kecil mereka.   Jika demikian mengapa ajang ini bernama POPcon ASIA? 
"POPcon" adalah kependekan dari "Popular Culture Convention", festival terbesar di Asia untuk merayakan  hal-hal kreatif seperti komik, Mainan, Film dan Animasi dari kreator ke pasar. 
Panitia penyelenggara ingin membangun bejana besar menampung bakat kreatif Asia, memberikan ruang untuk pasar remaja dan dewasa muda, serta mengembangkan jaringan di kalangan kreator, investor dan saluran distribusi 
Maka tak heran jika di dalamnya bisa ditemukan   komikus  dan ilustrator profesional. desainer mainan, pembuat film, bintang film, studio pencipta konten kerati, pelaku budaya populer, pemandu bakat, termasuk investor.




 Salah satu stand chanel film Mandarin membuka gimmick pemotretan gratis dengan green screen. Nantinya foto-foto pengunjung akan menyerupai fil-film laga Hongkong.






Stand populer tak pernah sepi. Apalagi mereka menyajika gaya display booth yang menarik. Belum lagi dua pelayan konsumen hadir dengan menggunakan cosplay.

Selfie bareng karakter yang disukai, meramaikan ajang Popcon ini.


Tapi ada juga stand yang kosong. Terasa mubazir nggak?

Sebenarnya saya suka banget ddengan ajang ini.
Cuman ... kok tempatnya masih keren tahun lalu di JCC ya?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 29, 2014 19:17

Benny Rhamdani's Blog

Benny Rhamdani
Benny Rhamdani isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Benny Rhamdani's blog with rss.