Pulang Quotes
Pulang
by
Leila S. Chudori9,870 ratings, 4.32 average rating, 1,690 reviews
Pulang Quotes
Showing 1-30 of 31
“Setiap huruf berloncatan mencari jodoh membentuk kata; setiap kata meliuk, melesat, dan mungkin saling bertabrakan dan rebutan mendapatkan jodoh untuk membentuk daya puitik. Setiap huruf mempunyai ruh, mempunyai nyawa, dan memilih kehidupannya sendiri.”
― Pulang
― Pulang
“Dan bibirnya adalah sepotong puisi yang belum selesai. Aku yakin, hanya bibirku yang bisa menyelesaikannya menjadi sebuah puisi yang lengkap.”
― Pulang
― Pulang
“Ibu mana pun, yang baik atau buruk, tetap terluka ketika anaknya dicela. Meski celaan itu tidak salah, dan juga bukan fitnah. Tetapi tali pusar anak dari ibunya hanya diputus oleh sebilah gunting dunia. Di antara mereka berdua ada pertalian abadi, yang bahkan oleh seorang ayah pun tak bisa dipahami”
― Pulang
― Pulang
“Mengapa benda mati disebut sesuatu yang mati? Terkadang mereka lebih 'hidup' dan lebih jujur memberikan saksi.”
― Pulang
― Pulang
“Kau tak boleh menyeret-nyeret nasib dan perasaan orang hingga hati orang itu tercecer ke mana-mana. Kau harus berani memilih dengan segala risikonya.”
― Pulang
― Pulang
“Indonesia adalah negara sedang berkembang yang terjerat begitu banyak utang, tetapi sekian persen di pucuk atas piramida penduduknya berbelanja tas dan sepatu Louis Vuitton di Paris.”
― Pulang
― Pulang
“Aku hanya yakin pada diri sendiri, bahwa keinginanku hanya terus-menerus berlayar. Atau menggunakan bahasa Maman, aku terbang seperti burung camar tanpa ingin hinggap. Akibatnya, nasib yang memilihku. Bukan aku yang menentukan nasib.”
― Pulang
― Pulang
“Apakah kita sudah harus mengambil jeda dalam perjalanan yang masih panjang ini. Saat menulis, aku tak suka titik. Aku gemar tanda koma. Tolong jangan perintahkan aku untuk berhenti dan tenggelam dalam stagnansi. Jangan.”
― Pulang
― Pulang
“Menurut Maman, apakah Ayah seorang Ekalaya?"
Aku menuang anggue ke dalam gelas. Anggur merah.
"Non."
"Kenapa tidak?"
"Dia seorang Bima, yang selalu ingin melindungi perempuan yang dicintainya.”
― Pulang
Aku menuang anggue ke dalam gelas. Anggur merah.
"Non."
"Kenapa tidak?"
"Dia seorang Bima, yang selalu ingin melindungi perempuan yang dicintainya.”
― Pulang
“Siapakah pemilik sejarah? Siapa yang menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang penjahat? Siapa pula yang menentukan akurasi setiap peristiwa?”
― Pulang
― Pulang
“Siapa gerangan yang menciptakan diorama? Apakah sejak semula itu dibuat untuk alat informasi, pendidikan, propaganda, atau hiburan? Atau semuanya sekaligus? Apakah penciptanya kelak tahu bahwa diorama bisa digunakan secara efektif sebagai dongeng bagi anak-anak sekolah, tentang bagaimana negeri ini terbentuk menjadi sebuah negeri penuh luka dan paranoia?”
― Pulang
― Pulang
“Ayah adalah seorang Ekalaya. Dia ditolak tapi dia akan bertahan meski setiap langkahnya penuh jejak darah dan luka.”
― Pulang
― Pulang
“Bagiku karya sastra pada akhirnya adalah persoalan cahaya dari hati. Cahaya karya itu tidak datang dari tema atau dari kisah penderitaan buruh atau petani. Cahaya itu datang dari kemampuan karya itu untuk menyentuh batin pembacanya.”
― Pulang
― Pulang
“Dimas, ingatkah kau pembicaraan kita tentang suatu 'gelembung kosong' di dalam kita, yang diisi hanya oleh kau dan Dia, untuk sebuah Persatuan antara kita dan Dia yang tak bisa diganggu oleh apa pun barang seusapan. Inilah saat yang tepat untukmu untuk melihat sepetak kecil dalam tubuhmu itu. Sendirian. Berbincang, jika kau ingin. Atau diam, jika kau ingin. Dia mendengarkan.
Selalu mendengarkan.”
― Pulang
Selalu mendengarkan.”
― Pulang
“Mungkinkah mati itu tidur bila hidup itu mimpi. Kematian ini, Lintang, adalah tidur sejenak bagiku, karena pada saat aku bangun, aku bertemu denganmu.
Lintang, kau menghidupi hidupku. Dan kalau pun aku sudah mati, kau tetap hidup di dalam diriku.”
― Pulang
Lintang, kau menghidupi hidupku. Dan kalau pun aku sudah mati, kau tetap hidup di dalam diriku.”
― Pulang
“Kau tak boleh menyeret-nyeret nasib dan perasaan orang lain hingga hati orang itu tercecer ke mana-mana. Kau harus berani memilih dengan segala risikonya. Ayah tahu kau masih muda. Memilih tak berarti harus menikah besok. Tidak memilih Nara atau Alam juga berarti memilih. Memilih untuk sendiri dan sunyi.”
― Pulang
― Pulang
“Siang ini, kami akan memberi penghormatan terakhir pada para mahasiswa yang tertembak kemarin. Suatu peristiwa yang semoga saja tak dilupakan oleh generasi masa kini.”
― Pulang
― Pulang
“Mengapa benda mati disebut sesuatu yang mati? Terkadang mereka lebih hidup dan lebih jujur memberikan saksi”
― Pulang
― Pulang
“Ayah tak ingin kau menjadi seseorang yang tak bisa memilih sepertiku. Ayah terpesona oleh banyak hal, mengelana ke berbagai macam pemikiran tanpa punya keyakinan yang tetap.... Akibatnya, nasib yang memilihku. Bukan aku yang menentukan nasib.”
― Pulang
― Pulang
“Mengapa benda mati disebut sesuatu yang mati? Terkadang mereka lebih 'hidup' dan lebih jujur memberikan saksi”
― Pulang
― Pulang
“Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat. Perseteruan ini antara mahasiswa dan buruh melawan pemerintah De Gaulle. Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Kita bahkan tak tahu apa sesungguhnya yang dicita-citakan oleh setiap pihak yang bertikai, kecuali kekuasaan. Betapa porak-poranda. Betapa gelap.”
― Pulang
― Pulang
“Buat saya, memasak sebuah hidangan sama seriusnya seperti menciptakan sebuah puisi. Setiap huruf berloncatan mencari jodoh membentuk kata; setiap kata meliuk, melesat, dan mungkin saling bertabrakan dan rebutan mendapatkan jodoh untuk membentuk kalimat yang berisi sekaligus mempunyai daya puitik. Setiap huruf mempunyai ruh, mempunyai nyawa, dan memilih kehidupannya sendiri.”
― Pulang
― Pulang
“Pagi ini, di sebuah musim semi, aku dipaksa untuk menyentuh bagian asing tubuhku. Aku sama sekali tak bersedia mengulik wilayah itu. Mungkin ada beberapa bagian Indonesia yang terasa begitu unik dan eksotik. Jawa, Bali, Sumatra, Ramayana, Mahabharata, Panji Semirang, Srikandi, gamelan, kebaya renda merah kesumba, aroma kopi luwak, pedasnya rendang daging, dan gurihnya gulai kambing. Tetapi Indonesia nampaknya bukan eksotisme kultural. Sejak kecil, aku sudah dihadapkan pada peristiwa politik yang tak pernah dialami kawan-kawan satu kelas di Paris. Sebuah peristiwa yang dihapus di dalam buku sejarah Indonesia.”
― Pulang
― Pulang
“Siapa pun yang belajar politik dengan serius harus membaca semua buku politik dan ekonomi, termasuk karya Marx, Engels, dan semua penulis kiri sesudahnya yang jauh lebih modern. Tapi kami kan juga harus membaca pemikiran politik lainnya. Justru karena kami membaca, kami paham mengapa komunisme gagal di banyak negara.
Buat saya, malah aneh melarang buku kajian komunisme di Indonesia. Karena itu menganggap masyarakat kita bodoh dan tidak bisa menggunakan otaknya. Puluhan tahun masyarakat kita dianggap tolol, tak bisa berpikir sendiri.”
― Pulang
Buat saya, malah aneh melarang buku kajian komunisme di Indonesia. Karena itu menganggap masyarakat kita bodoh dan tidak bisa menggunakan otaknya. Puluhan tahun masyarakat kita dianggap tolol, tak bisa berpikir sendiri.”
― Pulang
