Jump to ratings and reviews
Rate this book

Pulang

Rate this book
Paris, Mei 1968.

Ketika revolusi mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo seorang eksil politik Indonesia bertemu Vivienne Deveraux, seorang mahasiswa Prancis yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas menerima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara dan dinyatakan tewas. Dimas merasa cemas dan gamang. Bersama puluhan wartawan dan seniman lain, dia tak bisa kembali ke Jakarta karena paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia. Sejak itu mereka mengelana tanpa status yang jelas dari Santiago ke Havana, ke Peking dan akhirnya mendarat di tanah Eropa untuk mendapatkan suaka dan menetap di sana.

Di tengah kesibukan mengelola Restoran Tanah Air di Paris bersama tiga kawannya: Nug, Tjai, dan Risjaf—mereka berempat disebut Empat Pilar Tanah Air—Dimas, terus-menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia satu persatu tumbang, dikejar, ditembak, atau menghilang begitu saja dalam perburuan Peristiwa 30 September. Apalagi dia tak bisa melupakan Surti Anandari—isteri Hananto—yang bersama ketiga anaknya berbulan-bulan diinterogasi tentara.

472 pages, Paperback

First published December 1, 2012

Loading interface...
Loading interface...

About the author

Leila S. Chudori

22 books654 followers
Leila Salikha Chudori adalah penulis Indonesia yang menghasilkan berbagai karya cerita pendek, novel, dan skenario drama televisi.Leila S. Chudori bercerita tentang kejujuran, keyakinan, dan tekad, prinsip dan pengorbanan. Mendapat pengaruh dari bacaan-bacaan dari buku-buku yang disebutnya dalam cerpen-cerpennya yang kita ketahui dari riwayat hidupnya ialah Franz Kafka, pengarang Jerman yang mempertanyakan eksistensi manusia, Dostoyewsky pengarang klasik Rusia yang menggerek jauk ke dalam jiwa manusia. D.H Lawrence pengarang Inggris yang memperjuangkan kebebasan mutlak nurani manusia, pengarang Irlandia James Joyce, yang terkenal dengan romannya Ullysses. Suatu pelaksanaan proses kreatif Stream of Consciousnes, Herman Jesse, Freud, Erich Fromm, A.S. Neill. Maka tidak mengherankan apabila Leila S. Chudori memperlihatkan tokoh-tokoh cerita yang mempunyai kesadaran yang dalam dan hasrat jiwa yang bebas merdeka. Leila S. Chudori pun tak asing dengan Baratayudha, Ramayana dari dunia pewayangan. Leila S. Chudori juga menggunakan imajinasinya untuk meruyak ruang dan waktu, penuh ilusi dan halusinasi, angan-angan dan khayalan. Leila melukiskan kejadian-kejadian secara pararel dan simultan, berbaur susup menyusup untuk saling memperkuat kesan pengalaman dan penghayatan. Leila juga mensejajarkan pengalaman pribadi, membaurkannya dengan cerita mitologi. Dengan teknik pembauran seperti ini, terjadi dimensi baru dalam pengaluran cerita. Satu hal lain yang istimewa dalam cerpen-cerpen Leila bahwa dia tidak ragu-ragu menceritakan hal-hal yang tabu bagi masyarakat tradisional. Gaya cerita Leila S. Chudori intelektual sekaligus puitis. Banyak idiom dan metafor baru di samping pandangan falsafi baru karena pengungkapan yang baru.

Leila terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh pendidikan di "Lester B. Pearson College of the Pacific (United World Colleges)" di Victoria, Kanada. Lulus sarjana Political Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada.
Sejak tahun 1989 hingga kini bekerja sebagai wartawan majalah berita Tempo. Di tahun-tahun awal, Leila dipercayakan meliput masalah internasional—terutama Filipina dan berhasil mewawancarai Presiden Cory Aquino pada tahun 1989, 1991 di Istana Malacanang; Fang Lizhi seorang ahli Fisika dan salah satu pemimpin gerakan Tiannamen, Cina, WWC di Cambrige Universitypada tahun 1992, Presiden Fidel Ramos di Manila pada tahun 1992, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di Jakarta, pada tahun 1992, Pemimpin PLO Yasser Arafat pada tahun 1992 dan 2002 di Jakarta, Nelson Mandela pada tahun 1992 di Jakarta, dan Pemimpin Mozambique Robert Mugabe pada tahun 2003, di Jakarta. Kini Leila adalah Redaktur Senior Majalah Tempo, bertanggung-jawab pada rubrik Bahasa dan masih rutin menulis resensi film di majalah tersebut.

Karya-karya awal Leila dimuat saat ia berusia 12 tahun di majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Hai. Pada usia dini ia menghasilkan buku kumpulan cerpen berjudul "Sebuah Kejutan", "Empat Pemuda Kecil", dan "Seputih Hati Andra". Pada usia dewasa cerita pendeknya dimuat di majalah Zaman, majalah sastra Horison, Matra, jurnal sastra Solidarity (Filipina), Menagerie (Indonesia), dan Tenggara (Malaysia). Buku kumpulan cerita pendeknya Malam Terakhir telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzte Nacht (Horlemman Verlag). Cerpen Leila dibahas oleh kritikus sastra Tinneke Hellwig “Leila S.Chudori and women in Contemporary Fiction Writing dalam Tenggara”, Tineke Helwig kembali membahas buku terbaru Leila, “9 dari Nadira” dan mengatakan bahwa buku ini memiliki “authencity in reality” dan mengandung “complex narrative”. Nama Leila S. Chudori juga tercantum sebagai salah satu sastrawan Indonesia dalam kamus sastra "Dictionnaire des Creatrices" yang diterbitkan EDITIONS DES FEMMES, Prancis, yang disusun oleh Jacqueline Camus. Kamus sastra ini berisi data dan profil perempuan yang berkecimpung di dunia seni.

Pada tahun 2013 Leila S. Chudori memenangkan Kh

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
3,002 (47%)
4 stars
2,352 (37%)
3 stars
745 (11%)
2 stars
138 (2%)
1 star
74 (1%)
Displaying 1 - 30 of 1,035 reviews
Profile Image for Dea Anugrah.
Author 11 books328 followers
July 17, 2014
YANG MENARIK DAN YANG TIDAK MENARIK DARI NOVEL PULANG


Selama ini, membaca, bagi saya, adalah kegiatan yang nyaris sepenuhnya bersifat pribadi, yang baik dalam proses maupun hasilnya tidak melibatkan orang-orang lain. Seperti halnya makan, buang hajat, dan menonton film yang senantiasa saya lakukan secara soliter. Namun lama-kelamaan timbul juga secepuh keinginan untuk membaca dengan cara yang berbeda.

Mulanya memang tidak jelas apa yang saya maksud dengan “berbeda” itu, sampai kemudian seorang kawan mengajak saya membaca sebuah novel yang sama, membuat catatan atau komentar-komentar atasnya, lalu membandingkan catatan kami satu sama lain. Dengan kobar luar biasa—yang saya pikir agak salah tempat, si kawan berusaha meyakinkan saya bahwa cara tersebut sungguh efektif untuk membangun sikap kritis dalam membaca. Semangat saya, seperti biasa, tentu saja lebih redup dari siapapun, tapi pada akhirnya ajakan itu tetap saya terima.

Setelahnya, kawan saya itu pun menerangkan aturan main. Pertama, catatan yang akan kami buat mesti menyeluruh. Melingkupi semua lapis dalam Pulang. Mulai dari komentar atas hal-hal sepele hingga yang dinilai esensial dalam sebuah novel. Kedua, catatan itu tidak akan diperbandingkan dalam bentuk poin-poin umum sebagaimana slide-show yang biasa dipakai para dosen sebagai bahan-ajar. Melainkan harus terlebih dahulu disusun dalam sebuah esei yang bisa menerangkan duduk perkara tanpa sokongan ceramah dari penulisnya.

Dan dengan demikian, inilah catatan saya atas novel Pulang karya Leila S. Chudori.


/1/

Chairil Anwar, James Joyce, Subagio Sastrowardoyo, Lord Byron, Goenawan Mohamad, John Keats, Pramoedya Ananta Toer, TS Eliot, Rivai Apin, William Shakespeare, WS Rendra, dan Walt Whitman. Sembari membaca Pulang, sesekali saya iseng mencatat nama-nama sastrawan yang disebutkan dan yang karyanya dikutip oleh tokoh-tokoh di dalamnya. Saya pikir, penyebutan sejumlah nama serta serangkaian pengutipan itu bisa berarti dua hal. Satu, Leila bermaksud menempatkan sastrawan-sastrawan Indonesia dalam posisi yang sejajar dengan sastrawan-sastrawan dunia: karya-karya mereka sama dibaca, sama bermutu, dan sama layak direnungkan. Dua, Leila hanya ingin tokoh-tokohnya tampak cerdas dan luas bacaannya.

Yang pertama jelas menarik. Sebagai seorang pelaku sastra Indonesia, boleh jadi Leila merasa muak dengan kebanyakan koleganya yang tergeragap di muka kesusastraan dunia. Atau barangkali, dia justru “marah” karena kesusastraan Indonesia dianggap terbelakang dan dikira sama primitifnya dengan birokrasi Indonesia, sistem transportasi Indonesia, dan Majelis Ulama Indonesia.

Yang kedua pun menarik. Seorang pengarang tak boleh dituntut hanya karena dia ingin tokoh-tokoh dalam ceritanya tampak pandai. Itu sepenuhnya pilihan, atau gampangnya: “suka-suka si pengarang.” Pembaca mungkin ingat, Francois Truffaut—yang di dalam film-filmnya bertebaran gambar buku-buku sastra dan adegan orang menyuntuki bacaan—pernah mengatakan bahwa dia hanya membuat film untuk para penonton yang membaca. Sebagian bisa berlaku sinis dan mencemooh Truffaut—juga Leila—sebagai snob, elitis, tukang pamer, dan sebagainya. Namun itu tak penting. Sinisme semacam itu (pada taraf tertentu, sekaligus orang yang mengatakannya) layak dijebloskan ke keranjang sampah. Yang mesti diperhatikan adalah sejauh mana tumpukan bacaan itu bisa menghidupkan tokoh-tokoh dalam cerita, mempengaruhi cara berpikir mereka, dan menjadikan mereka pribadi-pribadi yang unik sebagaimana manusia sebenarnya.


/2/

Dalam Pulang, terdapat tujuh orang juru-kisah: Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne Deveraux, Segara Alam, Bimo Nugroho, dan orang-ketiga-di-luar-cerita. Kecuali narator terakhir yang hanya digunakan Leila pada subbab Keluarga Aji Suryo (hlm. 329-363), enam narator lain berbicara mengenai diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya secara personal. Namun tentu saja porsinya tak sama banyak. Bisa dikatakan, yang paling dominan suaranya dalam novel ini adalah Dimas dan Lintang. Dimas sebagai perwakilan generasi pertama—generasi yang berhubungan secara langsung dengan prahara 1965—dan Lintang sebagai juru bicara generasi kedua, generasi yang terkena imbas masa silam dan diharuskan ikut menanggung beban sejarah.

Tadi saya katakan bahwasanya para narator dalam Pulang berbicara secara personal. Ini benar, selama yang dimaksud adalah perkara sudut pandang. Kita bisa melihat sosok Dimas dari mata Vivienne, sosok Alam dari mata Lintang, atau sosok Prakosa dari mata Bimo. Kita tahu apa yang masing-masing narator pikirkan dan bagaimana penilaian mereka atas tokoh-tokoh lainnya. Tetapi sayangnya hanya sebatas itu. Jika kita meninggalkan soal sudut pandang dan beralih pada perkara suara, bisa dikatakan lenyaplah segala keunikan, kekhasan, atau perbedaan antar narator dalam novel ini. Abaikan saja siapa yang berkata “aku,” suara mereka tetap kedengaran sama belaka.

Adakah narator dalam Pulang yang menyatakan bahwa dirinya meyakini komunisme? Tidak ada. Dimas Suryo yang tak memilih ideologi tertentu itu menjerit pilu justru karena hak-haknya dirampas sebagaimana seorang komunis. Seakan “yang sungguh-sungguh komunis” lebih layak mengalami penderitaan itu ketimbang orang seperti dirinya—yang “tak bersalah” tapi ikut tersapu amuk tentara. Alam dan Bimo yang merupakan aktivis 1998 juga tak meyakini komunisme. Pun Lintang yang berpendidikan Sorbonne. Alam mengatakan, dia dan kawan-kawannya membaca literatur kiri justru karena hal itu dilarang di Indonesia. Dan dengan entengnya dia bilang: mana ada yang bakal tertarik dengan ideologi ringsek yang gagal di mana-mana itu. Satu-satunya narator yang percaya pada komunisme hanyalah Hananto Prawiro, itu pun tak kita dapati langsung dari penuturannya yang singkat, melainkan dari cerita Dimas.

Yang jadi persoalan buat saya tentu bukanlah ketidakpercayaan mereka atas komunisme itu sendiri, melainkan bagaimana mungkin sekian banyak orang dengan latar pengalaman serta pendidikan yang berbeda bisa punya pendapat yang seragam mengenai hal tersebut, seakan-akan “kegagalan komunisme” telah jadi hukum-alam yang tak tergugat, seperti air yang selamanya mendidih pada suhu 100 derajat celcius.

Pembaca boleh tak sepakat dengan keheranan saya di atas, karena memang ada banyak yang bisa dijadikan pemakluman atas “keseragaman pendapat” para narator dalam Pulang terhadap komunisme. Pembaca bisa mengatakan, misalnya: lepas dari perbedaan pengalaman dan pendidikan, toh mereka membaca buku-buku yang sama, maka wajar saja jika pendapatnya mirip. Tetapi masihkah dapat dikatakan wajar apabila keseragaman suara para narator itu juga terjadi pada tataran cara bertutur? Tentu saja tidak.

Perhatikanlah narasi Dimas, Lintang, Alam, Vivienne, atau yang lainnya, niscaya kita akan menemukan kesamaan cara berkisah. Lupakan istilah-istilah gaul khas anak muda 90-an yang diselipkan sana-sini dalam dialog antar tokoh-tokoh generasi muda—itu cuma tempelan. Sebagai gantinya, cermatilah monolog-interior mereka, cecap rasa bahasanya. Mirip, bukan? Saya bahkan sempat mencatat beberapa istilah unik yang semestinya bisa dijadikan penanda kekhasan narator tertentu, namun (sayangnya) dipakai berulang-ulang secara keroyokan dan lintas-generasi: “menggelinding pergi,” “membuhulkan hubungan,” “paranoia,” dan “merunduk.”

Karena keseragaman luar-dalam tersebut, saya pikir, Pulang telah gagal mengoptimalkan kerja perangkatnya yang paling potensial: tujuh orang narator yang berbeda. Dan pada akhirnya perangkat tersebut hanya berguna untuk menghindarkan pembaca (juga pengarangnya, barangkali) dari deraan rasa jenuh.

Sebetulnya ada contoh prosa Indonesia yang berhasil memanfaatkan variasi suara narator dengan baik: Tetralogi Buru. Saya tak bermaksud membandingkan Tetralogi Buru dengan Pulang. Itu tak adil. Yang satu terdiri dari empat buah novel, sementara lainnya hanya sebuah. Tapi memang bukan itu. Titik-tekan saya adalah soal suara. Dalam Tetralogi Buru, kita akan mendapati dua orang narator: Minke untuk tiga buku pertama dan Pangemanann untuk buku penghabisan. Pramoedya menulis Rumah Kaca dalam gaya bahasa yang berbeda dengan tiga buku lainnya. Lengkap dengan istilah-istilah khas Pangemanann yang betul-betul berlainan dengan Minke.

Maka, hemat saya: dalam Tetralogi Buru, suara Pramoedya selaku pengarang melebur di antara Minke dan Pangemanann, sedangkan Leila dalam Pulang justru sebaliknya. Serba tampak dan terdengar. Seolah-olah Leila sendiri-lah yang berbicara dalam novel tersebut, bukan para narator yang diciptakannya.


/3/

Sebagaimana tak pernah ada kehidupan manusia yang luput dari terjangan asmara, maka tidak sepantasnya pula sebuah novel (terutama yang bercorak realisme) mengabaikan aspek tersebut. Memangnya siapa yang betah membaca novel setebal 500 halaman yang tak ada kisah cintanya? Barangkali ada, tetapi jelas bukan saya. Saya terlalu menyukai kisah cinta. Bahkan pergulatan asmara antara gelombang-gelombang radio atau zat-zat kimia di udara pun akan saya terima. Dengan satu syarat: tidak picisan. Sebab yang picisan itu memuakkan.

Kebetulan, ada banyak kisah cinta dalam Pulang. Menurut saya, yang terbaik adalah antara Dimas Suryo dan Surti Anandari. Di luar perkara putusnya hubungan pacar-pacaran mereka sewaktu remaja yang agak norak itu—karena Surti menginginkan kepastian yang tak bisa diberikan Dimas, dia meloncat macam seekor kutu ke pelukan Hananto Prawiro si tetangga—cinta yang mengikat keduanya selama puluhan tahun kemudian nyaris sedahsyat cinta Florentino Ariza dan Fermina Daza dalam Love in the Time of Cholera karya Gabriel Garcia Marquez.

Dan yang saya anggap paling murahan dan buruk adalah hubungan Lintang Utara dan Segara Alam. Leila memang menjadikan le coup de foudre, alias cinta pada pandangan pertama, sebagai trik untuk melangkahi proses yang agak berbelit dan makan waktu sebelum lazimnya sepasang manusia meyakini bahwa mereka saling mencintai. Namun soalnya bukan le coup de foudre itu sendiri. Dimas-Vivienne juga mengalaminya, tapi kisah cinta mereka tetap terasa indah dan tak terkesan picisan. Saya bisa memaklumi perasaan “ingin menyembuhkan” milik Vivienne sejak pertama kalinya dia melihat mata Dimas yang sarat kehilangan dan kesedihan. Tapi apa yang dilihat Lintang dari Alam? Laki-laki begajul yang gagasannya tidak menarik, agak lihai omong-omong dan mengerjai perempuan, sekaligus tukang kelahi penuh ide-ide heroik? Bukankah Narayana, kekasihnya di Perancis sana, lebih unggul dalam banyak hal? Coba bandingkan dialog-dialog Lintang-Nara dengan Lintang-Alam. Maka besar curiga saya, ketertarikan Lintang terhadap Alam terutama dipicu oleh kegenitan serta hasrat mencobai sesuatu yang eksotis belaka.

/4/

Pulang adalah novel pertama tentang kehidupan orang-orang Indonesia di pengasingan pasca-prahara 1965 yang saya baca. Sebelumnya saya hanya mengenal tema tersebut lewat memoar Utuy Tatang Sontani yang berjudul Di Bawah Langit Tak Berbintang. Kebetulan, cerita Utuy tersebut hanya sedikit perbedaannya dengan kisah Dimas Suryo dalam Pulang. Keduanya berada di luar negeri tatkala tanah airnya dilanda pergolakan itu, keduanya terpisah dengan orang-orang yang dikasihi, keduanya pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain di pengasingan, serta keduanya meninggal dunia sebagai eksil. Bedanya: Utuy memang anggota Lekra, tidak ditemani tiga orang sahabat, tidak mendirikan restoran, dan tidak dimakamkan di Karet secara mengharukan sebagaimana Dimas. Selebihnya mereka punya gerowong yang sama di dalam hati masing-masing karena kobar kerinduan dan kenangan yang tersangkut pada Indonesia dan manusianya. Dimas di Perancis dengan toples-toples cengkih dan bubuk kunyit; Utuy di Cina dan Rusia dengan selembar potret sang istri yang di-repro nyaris setiap hari selama puluhan tahun.

Saya tidak tahu apakah Leila pernah membaca memoar tersebut atau tidak. Jika merujuk pada catatan referensi Pulang, buku Utuy itu memang tidak tercantum. Namun ini justru menarik. Artinya, Leila telah berhasil menghidupkan sosok Dimas Suryo sebagai seorang eksil yang sangat representatif. Tak hanya mewakili kehidupan orang-orang yang diwawancarai dan dipelajari Leila dari buku-buku di daftar referensinya, tetapi juga mewakili kehidupan seorang lain yang bernasib sama.

Saya pikir, mengenal pengalaman dan perasaan orang-orang yang pernah ditolak pemerintah Indonesia selama puluhan tahun ini adalah bagian yang tak boleh dilupakan dalam mempelajari prahara 1965 serta akibatnya pada bangsa ini secara utuh. Dan dalam konteks itu, Pulang adalah sebuah novel yang penting. Sama pentingnya dengan Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer dalam konteks mempelajari kebangkitan rasa-berbangsa di Hindia atau Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis untuk memahami kondisi sosial pada masa awal kemerdekaan Indonesia.

/5/

Sebetulnya masih ada beberapa hal yang menarik dan yang tidak menarik dari Pulang. Yang menarik, misalnya, adalah cerita kematian Dimas Suryo di penghujung buku. Mulai dari surat untuk putrinya, Lintang, hingga adegan di pemakaman yang membikin saya menangis. Yang tak menarik, misalnya, demarkasi yang agak kelewatan antara para protagonis dan antagonis. Pembedaan itu, saya kira, terlalu hitam-putih, seakan-akan manusia hanya terdiri dari satu sisi saja: baik atau buruk.

Parahnya lagi, pemisahan dua kubu ini tak hanya terjadi pada tataran kepribadian dan sikap para tokoh semata, melainkan sampai meluber ke luar, ke tataran fisik. Adakah tokoh protagonis dalam Pulang yang wajahnya jelek dan otaknya kurang sekian gram? Tidak ada. Semua tampan atau cantik sekaligus cerdas gilang-gemilang. Kebalikannya, tokoh-tokoh antagonis nyaris semuanya buruk rupa dan kurang sehat pikirannya. Ada tentara pemberang yang mukanya legam macam ter, ada interogator mesum yang gemar melakukan onani sembari bertanya ini-itu kepada tahanan perempuan, ada tukang rebut istri orang yang hobi menyundut anak tirinya dengan rokok, ada intel-intel bengak, ada putra pejabat yang imbisil, dan ada pula informan pemerintah yang serba menjijikkan.

Bukan saya hendak bersimpati pada tokoh-tokoh antagonis tersebut, hanya saja, menampilkan mereka sebagai manusia yang cuma gelap adanya justru memiskinkan Pulang sebagai sebuah karya sastra. Seandainya ia sebuah sinetron, tentu saya tak bakal omong-omong soal ini. Tokoh informan yang dijuluki “si telunjuk” itu, misalnya, kenapa tak diberikan suara walau sedikit? Toh dari penuturan Dimas kita tahu, dia menjadi seorang pengkhianat karena tak tahan mengalami siksaan militer yang maha keji—salah satunya: penisnya digencet dengan kaki kursi. Ini jelas potensial. Jika saja Leila mau memberikan sedikit ruang kepada “si telunjuk” yang malang itu untuk bercerita, saya pikir, akan ada tambahan efek yang signifikan bagi pembaca dalam memahami cara-cara kerja militer Indonesia di masa itu. Dan tentu saja, karya sastra yang baik biasanya tak memandang persoalan secara hitam-putih.[]

/2102
Profile Image for Azarine Arinta.
37 reviews
March 26, 2013
Review ini harus dibuka dengan kutipan dari Franz Kafka,"I think we ought to read only the kind of books that wound and stab us. If the book we are reading doesn't wake us up with a blow on the head, what are we reading it for? ...we need the books that affect us like a disaster, that grieve us deeply, like the death of someone we loved more than ourselves, like being banished into forests far from everyone, like a suicide. A book must be the axe for the frozen sea inside us."

Buku ini begitu luar biasa dan mengguncang syaraf syaraf excitement saya sehingga saya begitu berdeterminasi untuk menghabiskannya dalam waktu secepatnya.Sensasi buku dari Leila S. Chudori ini seperti sensasi yang diberikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi Buru nya namun dengan sentuhan modernitas dan nuansa drama romantika masa kini yang saya rasa merupakan pengaruh dari Leila yang juga menulis script film.Buku ini begitu membuka mata saya tentang masa yang tidak saya kenal sama sekali, masa Orde Baru. Lahir di tahun 90'an dan baru berusia 6 tahun ketika reformasi terjadi di Indonesia, saya sama sekali buta dengan zaman dimana mahasiswa tidak mungkin membaca buku kaya Karl Marx dan berkumpul untuk mendiskusikan ideologi-ideologi besar dunia.Buku ini juga menampar saya dengan kenyataan bahwa saya selama 12 tahun bersekolah telah menelan bulat-bulat sejarah yang ditulis di buku-buku pelajaran dan didalam diri ini telah tertanam bahwa komunis adalah ideologi yang gagal dan nama seperti Aidit, Semaun, dll adalah nama seorang kriminal. Buku ini membuka cakrawala dalam artian bahwa saya telah terlalu banyak melihat hanya dari satu sisi dan saya diberikan pelajaran bahwa segala sesuatu yang dilihat harus seimbang, dari kedua sisi dan tidak memilih untuk condong ke sisi manapun juga adalah suatu pilihan.

Meskipun buku ini sarat dengan muatan politik, tetapi buku ini juga mengeksplorasi keindahan sastra dengan banyaknya kutipan dan referensi dari sastrawan terkenal seperti Chairil Anwar, Lord Byron, T.S. Elliot, George Orwell, James Joyce dan tanpa melupakan sentimentalitas dari romantika anak muda di kota Paris.

Terima kasih Leila S. Chudori, buku anda begitu menyentakkan hati ini dan pengalaman menyenangkan bersama Dimas Suryo dkk ini akan saya tularkan kepada teman-teman lain.
Profile Image for Uci .
601 reviews110 followers
May 25, 2013
Siang ini, kami akan memberi penghormatan terakhir pada para mahasiswa yang tertembak kemarin. Suatu peristiwa yang semoga tak dilupakan oleh generasi masa kini (hal.413)

Beberapa tahun lalu, saya pernah bicara dengan mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir yang sedang magang di kantor saya. Ketika saya mengungkit tentang peristiwa 13 Mei 1998, wajah mereka sungguh-sungguh kosong dan mereka tak mengerti kenapa saya begitu berapi-api membahasnya.

"Tapi kalian kan mahasiswa?"
"Tapi waktu itu kan saya baru SMP Mbak..."
"Ya pernah denger sih...tapi nggak paham."

Padahal obrolan kami berlangsung tak sampai 10 tahun setelah peristiwa itu terjadi. Dan mereka adalah mahasiswa jurusan komunikasi/jurnalistik. Saya yakin tidak semua mahasiswa buta sejarah. Tapi sungguh mengerikan betapa mudah kita melupakan sejarah. Mahasiswa-mahasiswa ini tak menyadari bahwa ada sesama mahasiswa yang harus berkorban nyawa sehingga kini mereka bisa menikmati alam kebebasan yang mereka reguk dengan begitu mudahnya.

Saya bukan aktivis. Saya hanya mengalami dan menyaksikan. Sewaktu ikut berbondong-bondong ke DPR tanggal 18 Mei 1998 dulu, bisa dibilang saya hanya ikut ramai-ramainya saja, tak ingin melewatkan momen bersejarah. Lalu di sana saya asyik berfoto bersama teman-teman sekampus.

Aneh sekali, suasana di DPR siang itu terasa agak festive. Rasanya aku tak percaya baru beberapa hari yang lalu telah terjadi kerusuhan dan kekejian di negeri ini. Makanan dibagikan, minuman berkardus-kardus disebarkan. (hal.439)

Namun jujur saya cukup terpukul melihat adik-adik saya ternyata tidak tahu atau tidak peduli akan momen bersejarah tersebut. Pantaslah reformasi seperti berjalan di tempat. Bahkan aktivis yang dulu diculik pun kini mengabdi pada penculiknya. So Sad.

Baiklah, kembali ke buku ini. Pulang memberikan pengalaman membaca yang luar biasa bagi saya. Mungkin karena saya sedikit banyak ikut merasakan ketegangan di masa yang menjadi latar belakang paruh kedua novel ini. Namun pada saat bersamaan saya seperti tengah menonton Indonesia dari luar kotak. Selama membaca saya kerap membatin, seperti inikah Indonesia saya? Mungkin selama ini saya terlalu nyaman tinggal di dalamnya, sehingga tidak menyadari berbagai penyakit yang menggerogotinya. Mungkin saya harus terdampar di luar negeri seperti Dimas Suryo dan kawan-kawan, untuk bisa melihat negeri tercinta ini dengan lebih jernih.

Kembali saya angkat topi untuk penulis-penulis seperti Leila, yang dengan karyanya membuka mata kita tentang perjalanan sejarah Indonesia, dengan cara yang mudah dicerna. Karena kita mudah lupa. Kadang malah memilih untuk lupa.

Pulang adalah suara kegelisahan anak negeri. Pulang adalah keyakinan bahwa sejauh apa pun melangkah, tanah air adalah tempat kembali untuk selamanya.
Profile Image for Stebby Julionatan.
Author 13 books45 followers
February 14, 2013
masih belum bisa berkata apa-apa. ini amazing!


Rasanya aku tidak bisa menulis review buku ini tanpa pembanding, tanpa membanding-bandingkan buku ini dengan buku lain yang senafas yang juga terbit di akhir tahun 2012 lalu, Amba.

Sama-sama bercerita soal eksil, sama-sama bersetting tentang pergolakan Indonesia di tahun ’65, sama-sama banyak menggunakan istilah wayang (kelindan para tokohnya dengan tokoh pewayangan), sama-sama catatan sejarah, sama-sama menggunakan banyak referensi, sama penulis senior perempuan yang juga redaktur yang cerdas, tapi kalau dihadapkan pada sebuah pilihan, rasaya aku akan memilih Pulang untuk menemani perjalananku ketimbang Amba. [kelebihan novel Amba karya Laksmi, telah saya sebutkan di flash review saya terdahulu tentang novel tersebut]

Ya, dibanding Amba yang liris dan puitis, novel Pulang ini lebih renyah. Lebih enak dibaca. Meskipun settingnya adalah tempat-tempat yang antaberantah (baca: luar negeri, yang biasanya saya memang tak pernah suka dengan penulis Indonesia yang menggunakan setting luar negeri. “Memang di Indonesia nggak ada setting tempat yang bagus ya?! Indonesia ini kaya lho...”), lokasi-lokasi yang belum pernah saya kunjungi sama sekali, tapi saya tidak merasa kesulitan membacanya. Mengikuti alur emosinya sampai akhir cerita.

Entahlah, meski sebagian besar bersetting Paris, di Rue de Vaugirard, namun tokoh-tokohnya dan juga kisahnya sangat membumi. Tak mengawang-awang. Sehingga ini mengakibatkan Pulang, sekali lagi dibanding Amba, lebih bisa dibaca oleh siapa saja. Tak perlu oleh para maniak sastra. Kurasa, Leila benar-benar mampu menjadikan sastranya sangat membumi tanpa kehilangan kecerdasannya.

Referensinya sungguh kaya. Berbagai buku dibahas: Mulai dari Le Petit (yang sampai sekarang aku belum tahu menariknya di mana), sampai buku-buku karangan Hugo, Wilde, Joyce dan Mahabarata (terutama Bima dan Ekalaya), sampai penulis-penulis Indonesia macam Chairil Anwar; berbagai aliran musik juga menjadi bahasannya, aneka menu masakan, tempat-tempat bersejarah dan peristiwa bersejarah tentunya, semua mengalir deras dan lancar menjadi sebuah struktur yang menjadi tulang cerita.

Tak hanya itu, tak hanya tulang pembentuk struktur cerita, dengan simpati yang kuat, aku sangat bisa memahami bagaimana kehilangannya tokoh Dimas dan Surti, akan rasa bersalahnya Dimas terhadap Hananto, serta kerinduannya akan Indonesia. Dari sisi Viviennne, aku juga merasakan bagaimana emosinya, ketika dia meski memiliki Hananto, ternyata tidak bisa sepenuhnya memilikinya (menyentu hatinya). Masuk di tokoh-tokoh yang berusia muda pun (yang masih seumuran saya, ciyeeee), yang menjadi saksi sejarah kejadian ‘98, Leila pun (sang penulis senior ini) tidak kehilangan kemudaannya. Dia sangat luwes menggambarkan tokoh-tokoh yang masih berusia muda itu.

Yang aku suka, Leila pun dengan mudah menyindir orang-orang Indonesia yang hanya tau Paris dari barang branded dan industri modenya lewat sosok Rininta. Well, I love it, mbak Leila S. Chudori!!!


NB: Eits, ada satu yang tertinggal; yaitu suatu semangat yang telah ditancapkan semenjak lahirnya Saman oleh Ayu Utami, yang kemudian dilanjutkan oleh banyak penulis perempuan Indonesia (dan ini juga terlihat pada Amba dan Pulang). Sebuah perayaan kemerdekaan tubuh. Memandang persetubuhan bukan sebagai sesuatu yang sakral. Melainkan sebuah gerakan mekanis dan plastis hormonal dari mahluk yang bernama manusia. Tapi itu nggak salah sih. Nggak sepenuhnya salah. Memang jamannya sudah seperti itu. Sastra kan sejatinya adalah sebuah refleksi atas zaman di mana seorang sastrawan itu hidup.



Profile Image for Ronald Morton.
408 reviews152 followers
January 5, 2017
My roots were in a foreign land. I was born in France, a country with a beautiful body and fragrant scent. But, according to my father, my blood came from another country one far distant from the European land mass, a place that gave the world the scent of cloves and wasted sadness; a land of fecundity, rich with plants of myriad colors, shapes, and faiths, yet one that could crush its own citizens merely because of a difference in opinion.
I love being able to add new shelves for my books on GR - it feels like an expansion of perspective, no matter how minor. I'm frequently surprised when I need to add a shelf as well: "have I really never read any Indonesian literature until now? Did I really not know any of this history?"

I had not. I did not.

This is a lovely book. It is dense with history (specifically the history of Indonesia post-1965, until the end of the dictatorship in 1998), and in that sense it is expansive, encompassing; but it is also deeply personal, focusing on a group of exiles, and their families, and the diaspora they create in France, and the various places that can be "home"; thus it is also introspective, deeply personal. It succeeds at both, and it is elevated by succeeding at both.

It doesn't hurt that it's compulsively readable: I read this obsessively over the last two days, and I'm sad it is done, but I'm glad to have spent the time exploring its pages. This publisher (Deep Vellum) continues to impress me. I really need to get to their store, since they're local and all.
Profile Image for Zulfy Rahendra.
283 reviews52 followers
August 10, 2015
Pulang. Satu kata yang paling ditunggu banget sama anak rantau kayak saya. Ketika masih jaman kuliah (dimana libur lumayan panjang cuma terjadi 6 bulan sekali), pulang adalah sesuatu yang amat berharga, amat ditunggu, dan amat bikin frustasi karena 48 jam sebelum hari pulang rasanya bagaikan sepuluh tahun cahaya *lebay lebay!*. Pulang memberi saya rumah. Tempat dimana saya tau bahwa saya disayangi tanpa alasan, diperhatikan tanpa pengharapan balasan. Rumah adalah kotak penyimpanan ribuan kenangan, tempat dimana semua hal dari mulai orang tua, adik sampe kursi dan remote TV pun kayaknya kenal dan menerima saya sebagaimana adanya. Tempat yang menjanjikan perasaan nyaman, hangat dan aman. Demikian kira-kira arti rumah bagi saya, dan kenapa pulang jadi momen yang sakral banget. Kegiatan pulang adalah kegiatan yang mudah dan sederhana buat saya, dan nyaris tanpa perjuangan (kecuali kalo menolak dengan tegas sambil melototin mamang-mamang tukang gehu atau tukang kerupuk kulit di Cileunyi bisa disebut perjuangan). Saya tinggal duduk manis di bis, pasang headset, twiteran watsapan smsan dan lain lain dengan santai lalu tidur *contoh perilaku yang individualis sekali* lalu ujug-ujug “Garut Garut abis!! Minal minal! Habis!!” yak, nyampe.

Tapi rupanya ga semudah itu melakukan aktivitas pulang buat Dimas Suryo dan putrinya, Lintang Utara. Bagi Dimas, pulang berarti bertemu dengan rumah yang dirindukan, dengan wanita yang dicintai, dengan negara porak poranda yang membuang dia ke negeri antah berantah. Pulang merupakan hadiah yang sulit didapat, karena keadaan politik tanah air tidak memungkinkan baginya. Bagi Lintang pulang berarti mempersiapkan diri menghadapi kisah sang ayah tentang sejarah tanah leluhurnya. Lintang yang “dipaksa” untuk pulang justru pada awalnya menolak, memberontak karena menganggap tanah air menyimpan masa lalu suram ayahnya, menyimpan alasan mengapa ayah dan ibunya bercerai, alasan mengapa dia merasa tak pernah kenal ayahnya. Lintang menolak mencari tahu tentang akarnya. Sampai kemudian dia dihadapkan pada situasi yang membuatnya berpikir “bagaimana semua ini terjadi sampai ayah dan aku jadi seperti sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi pada ”akar”ku?” Akhirnya Lintang memutuskan pergi ke Indonesia, kebetulan di saat negeri itu (lagi-lagi) diancam tragedi. Setelah mengenal Indonesia, manakah negara yang merupakan rumah baginya? Yang membuatnya merasa bisa pulang?

Lalu ada pula Rama, seorang pemuda yang merasa menjadi “korban” ketidakadilan indoktrinasi rezim *naon sih eta?* yang membuatnya merasa harus menanggalkan nama keluarganya hanya agar diterima oleh masyarakat. Ada juga si cassanova Alam, anak seorang tapol yang cerdas, idealis, kritis tapi sinis dan skeptis tarariis kumaha kitu. Taksirable banget lah. Aduduh Alam Alam Alaaaammm... :3 Tapi bukan faktor taksirable-nya yang bikin saya ngefans sama Alam, melainkan karena saya ngerasa diajak membuka pikiran lewat pemikiran Alam. Melihat pemerintahan pada masa itu dengan cerdas dan kritis, walaupun dibayangin sama dendam masa lalu yang mungkin berakibat pemikiran itu jadi sedikit subjektif. Salah satu pemikiran Alam yang saya suka adalah: “siapakah pemilik sejarah? Siapa yang menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang jadi penjahat? Siapa pula yang menentukan akurasi setiap peristiwa?” (hal 290) Oohh... sejarah PKI jaman saya SMP ternyata versi pemerintah Orde Baru ya?

Ini bukan cerita sejarah. Ini adalah cerita tentang bagaimana sejarah berdampak pada manusia, dan bagaimana setiap manusia itu menyikapinya.

Saya bukan orang dengan kemampuan otak prima, juga bukan orang yang punya lingkar otak besar, dan sialnya bukan juga orang yang tertarik apalagi paham sejarah sampe detil-detilnya, dan terutama buta 98.7% soal politik *bodoh bodoh!! :(*. Ya, saya tau tentang gerakan 30 September (siapa yang engga? Apalagi guru sejarah SMP saya buldog banget), tau juga soal peristiwa berdarah Mei 1998. Tapi ya itu. Cuma tau. Titik. Ga ada terbersit di pikiran saya buat menggali itu lebih dalam lagi. Ketika belajar tentang PKI pas SMP saya masih lugu dan polos, ditambah hasil didikan serial Power Ranger yang mendarah daging, yang membuat saya ngerasa wajib ngedukung pihak yang baik dalam kasus apapun, dan untuk kasus ini jadinya saya mentok di pertanyaan hitam putih khas bocah-lima-tahun; “di peristiwa itu, siapa yang jahat siapa yang baik?” Karena sepertinya politik Indonesia lebih kompleks dari sekedar siapa-yang-jahat-siapa-yang-baik, maka kemajuan pengetahuan sejarah saya mandek sampe di titik 30-September-1968-terjadi-penculikan-para-jendral-lalu-TKI-ditumpas-habis-kemudian-Soeharto-jadi-presiden-selama-32-tahun-lalu-rakyat-bosen-dan-pada-Mei-1998-terjadi-demo-besar-besaran-yang-akhirnya-memakan-korban. Selesai. Tamat. Kesimpulan: SAYA CACAT SEJARAH. Sehingga, saya membaca ini tanpa distorsi kanan kiri, dan sebenernya, dengan pesimistis setinggi Monas bahwa saya ga akan sanggup namatin buku ini. Alesan minjem ini terus terang buat keren-kerenan aja sebenernya. Biar dianggap pinter gitu.. #DigilesMobilMolenSamaYangMinjeminBuku. Ya, maklum lah, lagi ngegebet cowo nih.. *sumpah, apakah info itu penting dan relevan untuk review ini dek upi?* Jadilah, review ini ga berisi pujian dan tetek bengek soal latar belakang kisahnya yang sangat sarat sejarah, tapi lebih ke “komentar seorang pembaca awam sejarah mengenai kisah tentang seorang eksil politik yang ingin pulang dan kebetulan punya setting sejarah yang bagus”. #RibetDah

Dulu, ketika baca Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, saya terpengaruh sama banyak sekali pendapat bahwa buku Pram sangat bagus, merefleksikan Indonesia pada masa itu, tulisan yang berani dan jujur, dan sejenisnya dan semacamnya dan sebangsa setanah airnya. Sehingga terus terang, saya kurang menikmati ceritanya karena terlalu fokus nyari bagian yang keren dari buku itu. Membaca ini berbeda. Entah karena belom semeledak bukunya Pram, atau karena sayanya udah lelah berusaha keliatan pinter karena ternyata dia cuek-cuek aja. Duh sedih ih.. *APA SIIIHHH??!!* Eniwey, jujur saya aja kaget ketika sadar saya suka buku ini. Karena saya rasa, buku ini tidak menjelaskan tentang sejarah. Saya ga merasa digurui atau lagi dikasih penjelasan soal tragedi G30S ataupun kerusuhan Mei 1998. Buku ini adalah kisah perjuangan dan pergolakan batin manusia yang menjadi korban dan saksi dari tragedi-tragedi tersebut. Ceritanya bagus, dibangun dengan tidak terburu-buru tapi ga lambat, sehingga tiba-tiba saya udah masuk aja ke ceritanya. Dengan penggalan sejarah yang diramu secara amat sangat tidak membosankan sampe nyaris ga kayak sejarah, saya ngerasa dikasih dongeng nyata, menyambungkan “dongeng-dongeng�� itu ke pengetahuan saya yang emang minim sekali, kemudian berpikir ulang mengenai tragedi-tragedi itu. Alasan semuanya terjadi, gimana dampaknya buat korban, gimana reaksi manusiawi dan rasional saya misalnya saya adalah korban (amit-amit) atau paling engga saksi dari tragedi itu, dan seperti apakah saya harus bersikap sekarang? Yah, kejauhan sih kalo sampe harus nentuin sikap sekarang kayak gimana, tapi minimal setelah baca buku ini, saya jadi lebih banyak tau tentang apa yang sebenernya pernah terjadi di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Mata saya jadi lebih terbuka, hati saya lebih jernih, pikiran saya pun tercerahkan.. *ini sih antara abis baca buku dan selesai dirukiyah*

Kesan: baguuuss banget! Ga nyangka sejarah indonesia bisa masuk ke otak-bebal-sejarah saya dengan cara yang begitu menyenangkan. Salut juga mba Leila bisa bikin saya mikirin keadaan politik negeri ini. Terima kasih mba Leila S. Chudori.. :) Makasih juga buat yang minjemin bukunya. Kalo ga dibalikin boleh ga? #KurangAjar

Pada akhirnya, setelah melihat perjuangan Dimas dan Lintang untuk sekedar pulang, saya bersyukur, karena tidak sulit bagi saya untuk pulang. Untuk menemukan rumah saya. Dan kamu, apakah kamu udah menemukan rumahmu? Tempat di mana kamu bisa merasa pulang? Kalo belom, kamu bisa pulang ke hatiku kok.. *INI APA LAGI SIHH?!! SEMPET-SEMPETNYA!!*

Baydewei, ini review saya yang paling panjang lohh... *ya gimana ga panjang, isinya separo review separo curhat.. (._.)*
Profile Image for Nurul.
267 reviews23 followers
October 5, 2020
Saya nyesel baru lanjut baca novel ini, emang mood baca saya waktu bulan-bulan kemarin lagi nggak bagus, jadi mungkin karna itu saya berhenti di pertengahan cerita. Padahal novel ini seru banget, emosi tokoh-tokohnya terasa. Dan ini risetnya keren banget sih.

Alasan saya nggak membulatkan rating novel ini menjadi 5 bintang adalah karna di pertengahan cerita saya sedikit bosan, banyak cerita tentang perkembangan restoran yang alurnya lama banget, tapi pas awal-awal dan bagian Alam-Lintang itu seru walaupun terasa singkat dan saya agak kurang setuju tentang pendapat cinta pandangan pertama. Lalu yang kedua itu ending-nya kurang memuaskan menurut saya karna masih ada beberapa hal yang terasa belum rampung.

Tapi terlepas dari itu semua, saya suka keseluruhan ceritanya sama gaya penulisan novel ini yang nggak berat seperti novel historical fiction lainnya dan tentunya mengalir. Saya bakalan baca buku Bu Leila yang lain pastinya karna saya suka banget buku ini.

Rate: 4.5/5
Profile Image for Nilam Suri.
Author 2 books136 followers
December 16, 2013
First, this book is about something historic.
Second, major part in this book is dominate by romance.
Hence, historical-romance.

Sebenarnya sejak buku kuning ini pertama kali keluar saya sudah ingin membacanya, malahan ada saat dimana saya benar-benar tak sabar membacanya. Seorang teman malah menjanjikannya sebagai hadiah ulangtahun saya tahun lalu (btw, ulangtahun saya sebentar lagi lho :)) ) tapi due to the mixed review about this book, keinginan saya pun surut. I know, I know, seharusnya saya nggak membiarkan pendapat orang lain mempengaruhi minat baca saya, but sometimes things like that is just happened.

Akhirnya, setelah melalui tahun 2013 hanya dengan menatap-natapi novel yang bersampul seperti logo minuman energi ini, akhirnya keinginan saya untuk membaca buku inipun terkumpul. Hal itu pun sebenarnya lebih karena dibuat penasaran oleh si suami yang sempat larut ketika membacanya, padahal biasanya pilihan baca suami saya itu berkisar antara Harry Potter, Eragon, Percy Jackson dan sebangsanya. (I know, i probably married to a manchild, but sometimes that's the appeal, right?) anyways...karena dia berhasil menyelesaikan buku ini, bahkan sampai bikin dia pulang ke rumah dalam keadaan mual karena terlalu asyik membaca buku ini di mobil, akhirnya saya pun memutuskan bahwa mungkin orang yang bilang buku ini nggak bagus adalah orang yang terlalu kritis, atau yang punya ekspektasi terlalu besar sama bukunya Leila, yang memang digadang-gadang sebagai "anak emas sastra Indonesia" lewat buku Malam Terakhir-nya.

Sebenarnya, alasan lain saya agak enggan membaca buku ini adalah karena nuansa politiknya yang kuat, apalagi tentang kejadian tahun 65 silam. Saya itu buta politik, dan saya itu benci politik, buat saya politik itu kotor dan penuh omong kosong. Membayangkan harus membaca novel setebal 400an halaman yang kental dengan unsur ini langsung bikin kepala saya sakit. Tapi untungnya niat saya sudah terlanjur terkumpul.

Dan saya tidak menyesalinya sama sekali, karena buku ini berbeda jauh dari yang saya bayangkan.

Ada satu kata yang terus terngiang di kepala saya saat saya membaca Pulang, yaitu "jenaka". Siapa sangka buku yang membahas tentang isu yang begitu berat ini bisa terasa lucu, menyenangkan, dan bahkan ada beberapa bagian yang membuat saya terbahak. Dan hal itu mampu dituliskan Leila tanpa mengecilkan permasalahan sebenarnya yang sedang dia bahas.

Hal lain yang bikin saya betah membacanya adalah, karena ada banyak kisah percintaan di dalamnya. Sebagai seorang pecinta romance dan buku-buku ringan macam chick-lit, hal itu tentulah sangat menyenangkan hati saya. Apalagi Leila juga mendeskripsikan para tokohnya seperti para penulis romance, semua orang di dalam buku ini cantik dan ganteng, siapa yang nggak betah membacanya coba!

Dan mungkin ditambah fakta bahwa saya buta politik, dan detail berbagai kejadian penting yang terjadi di dalam buku ini jugalah yang bikin saya bisa menikmatinya dengan lebih mudah. Karena saya nggak merasa perlu mengkritisi apakah semua peristiwa itu benar-benar terjadi, apakah detilnya tepat, apakah faktanya akurat....semua itu tidak penting bagi saya, karena saya membaca buku ini sebagai fiksi. Tapi, bukan berarti saya lantas mengecilkan apa yang ingin disampaikan Leila melalui Pulang ini.

Saya menyukai 4 orang kakek-kakek tua pilar pendiri Restoran Tanah Air di Prancis sana. Yang nasib sialnya membuat mereka tak bisa pulang ke tanah air. Saya menyukai hubungan mereka, bagaimana mereka saling menopang, bagaimana mereka saling menjaga, dan bagaimana masing-masing dari mereka mampu menjaga diri mereka sehingga tidak menjadi pahit seperti kopi yang mereka minum setiap harinya. Selalu ada sisi manis yang tertinggal dalam diri mereka, persis seperti rokok kretek yang mereka puja-puja.

Dimas Suryo, tokoh utama novel ini yang berorientasi pada mati. Tapi sepertinya hal ini memang karakterisasi orang Indonesia. Kita seperti sangat mementingkan, akan mati dan dikubur di mana kita nanti. Kaki boleh saja melanglang buana, tapi saat mati, harus kembali ke tempat ke mana kita pulang. Hal itulah yang membuat Dimas tetap tak bisa menganggap Paris sebagai rumahnya, tak peduli bahwa dia sudah membangun kehidupan baru dan memiliki keluarga lain di kota cahaya itu.

Saya menyukai Dimas Suryo, walaupun saya juga sedikit kecewa padanya karena membiarkan pernikahannya dengan Vivienne kandas. Saya kesal padanya karena terus menyimpan bayangan seorang perempuan lain yang seharusnya sudah direlakannya. Seandainya kau tidak bisa melupakan seorang perempuan, harusnya kau tak boleh melepasnya begitu saja. Kalau kau tidak bisa lupakan, dapatkan. Kalau kau tidak bisa dapatkan, lupakan.

Lalu ada Surti...perempuan yang terus menghantui hidup Dimas. Yang membuat Dimas meromantisasi bau cengkeh dan kunyit. Sosok perempuan yang membuat saya kesal karena sepertinya dia tak mau benar-benar melepas Dimas, tapi dia lantas memilih laki-laki lain. Tapi, cerita Surti mau nggak mau membuat saya kagum pada perempuan melati ini.

Dan kemudian, ada Lintang Utara. Lintang yang ambivalen, keras sekaligus rapuh. Yang rela tak berbicara selama 5 bulan dengan ayahnya karena sang ayah tak respek pada pacarnya, tapi lantas tidur dengan laki-laki lain pertama yang membuat darahnya berdesir. Ah....

Mungkin fokus saya melenceng, karena saya lebih meributkan romansa yang terjadi di dalam novel ini dibanding tema besarnya sendiri, yaitu tentang pergelutan hidup para tapol dan keluarganya, yang telah mendapat perlakuan tak adil dari suatu rezim. Tapi, ya memang hal itulah yang lebih menarik perhatian saya.

Anyways....apart from the story, from its morale yang comme si comme ca, yang sepertinya mengecilkan arti komitmen dan terlalu meromantisasi nafsu dan perasaan, novel ini tetap mampu membuai saya. Saya lagi-lagi larut dalam rangkaian kata dan kalimat yang dijalin oleh Leila. Saya menyukai dan jatuh cinta pada cara penulisannya, saya mengagumi bagaimana dia bisa mengubah-ngubah suara karakternya saat mereka berpindah atau berganti, dan saya menyukai bagaimana Leila menciptakan karakter-karakter yang berhasil membuat perasaan saya campur aduk, antara kesal atau sayang.

Apapun itu, novel ini sangat membuai saya, tak peduli orang berkata apa, saya sangat menyukainya. Saya tidak membaca novel-novel sastra lain, tapi, setelah membacanya saya merasa Pulang layak-layak saja menang KLA 2013. Apalagi dengan sebegitu banyaknya referensi yang dilemparkan di dalam novel ini, tentunya sang penulis ada di suatu level yang layak diberi penghargaan.

Sementara itu, saya penasaran, apakah Nugroho dan Risjaf berhasil menemukan kambing untuk mereka sembelih saat Soeharto akhirnya turun? Ada yang tahu?

"Can death be sleep, when life is but a dream."


Profile Image for ainhoas front soldier.
833 reviews245 followers
October 8, 2022
3.75✨ seru sih. dr awal ampe akhir. lbh ke cara nulisny kekny yg bikin pengen lnjut bca aja

'Menurut Leila, salah satu hal yang penting dalam menulis fiksi adalah kemampuan penulis menaklukkan bahasa. Bahasa adalah salah satu alat yang mengantar pembaca memasuki dunia alternatif yang diciptakan oleh pengarang. Oleh karena itu, ide sedahsyat apa pun jika disampaikan dengan buruk atau dengan datar karya itu tidak akan bercahaya. Sebaliknya, sebuah ide yang sederhana akan meledak jika disampaikan dengan tepat, baik, dan cerdas.'

dan sy stuju sekali. jujur kl ditanya inti dr crta ini ap, ak ga gitu tau? gaada kejadian yg bnr2 wah, epic bgt, gaada kejadian yg bikin ak stop, plot twist yg aku ganyangka. semuanya berjalan konsisten, lancar aja bak air sungai, tanpa terasa datar sama sekali
Profile Image for Dinur A..
223 reviews74 followers
October 30, 2019
Baca buku ini bikin saya ingat Pak Sarmadji yg dulu pernah saya tonton profilnya, beliau salah satu eksil politik yg tinggal di Belanda yang sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang, mengumpulkan ribuan buku bertema 1965 yg beliau sebut sebagai "Monumen untuk Mereka yang Dirampas Paspornya dan Meninggal di Luar Negeri".

Perjalanan hidup yg orang-orang seperti Pak Sarmadji lalui sama sekali nggak akan bisa ditemukan di buku pelajaran mana pun, and that's what I despise most about learning history at school. We don't, EVER, get to really see and understand what's deep within the lives of those our teachers refer to as "the bad guys".

Lima bintang untuk kesukaan saya terhadap sejarah Indonesia yg ekpektasinya dipenuhi oleh buku ini, dan untuk para korban sejarah yg bakal selalu punya tempat khusus di hati saya. Benar kata Alam, malpraktek sejarah di Indonesia dan bahkan seluruh dunia emang udah kronis.

Ini ratingnya biased, dikarenakan buku ini dua kali lipat lebih membekas bagi saya yg dari dulu emang punya semacam ketagihan dan ketertarikan berlebih terhadap kisah-kisah '65 dan '98, sejak kakek saya rutin bercerita tentang sahabatnya yg seorang eksil di Jerman yg sudah nggak ditemuinya selama puluhan tahun, lost contact tanpa sedikit pun tau kabarnya. Asli, saya aja walaupun masih kecil, udah bisa nangis ngebayangin kesedihan kakek saya dan temannya itu, padahal saya nggak ngalamin apa yg mereka rasain.

Saya rada obsessed sama kisah2 65 & 98, tapi baru kali ini saya baca novel fiksi yg berlatarbelakang dua era tsb, selama ini saya cuma baca artikel atau nonton interview (sama tiap tahun ngikutin para mahasiswa Trisakti konvoi di Tanah Kusir karena jaraknya dari sekolah saya tinggal ngesot), jadi yah, rating 5 ini biased.

Saya baca buku ini sambil dengerin Sabda Rindu - Tio Pakusadewo dan Nyali Terakhir - Julie Estelle dari film Surat dari Praha yg sama-sama menggambarkan kehidupan para eksil (film Indonesia terbagus yg saya tonton sejak beberapa tahun, btw).
Sensasinya? Mantap.
Saya baru tau kalo suaranya Om Tio itu killer abis.

Ohiya, buku ini juga bikin saya keinget sama film pendek tahun 2004 berjudul Klayaban, yg kurang lebih juga memvisualisasikan hal yang sama, walaupun story wise berbeda.

Fix sih. This is my book of the year. Beli udah dari 2013 dan baru kebaca sekarang; no regrets. Kayaknya untuk beberapa hari ke depan saya ga akan mood buat baca apa pun. Wkwk. Udah lama sejak terakhir kali saya dapet bacaan sebagus ini. Setelah halaman terakhir, saya ngerasa penuh sekaligus kosong. Huft.

Ahelah. Kayaknya saya mau lanjut mewek lagi deh.
Profile Image for Sheila.
414 reviews106 followers
November 15, 2020
Membaca buku ini terasa seperti berjalan di museum dan melihat segala yang telah lewat, sambil sesekali tersenyum dalam rasa hangat air mata nostalgia cerita sedih.

Untuk saya yang baru lahir 2 tahun setelah latar waktu buku ini, saya melihat dan merasakan masa lalu saya terpampang di hadapan saya dalam bentuk baris-baris kata romantis.

Buku ini buku roman. Kisah cinta antara Indonesia dan banyak hati yang Ia pegang. Keteguhan rakyatnya, sampai-sampai Lintang (dan saya) bertanya-tanya, terbuat dari apakah darah dan tulangnya.

Kami sedih. Tapi kami tak ingin hancur.
January 24, 2013
Tiba-tiba saja siang tadi, Yu Leila, pengarang novel ini, posting di FB saya bahwa dia senang saya masih kebagian buku yang sold out laris manis itu, dan bahwa dia menunggu komentar saya atas karyanya. Tentu saja saya merasa tersanjung. Tempo hari dia tertawa, ketika saya bilang : semua tokoh di Nadira, kepala batu. Saya tidak mengenal Yu Leila pribadi, saya cuma pernah bilang kepadanya, bahwa saya adalah penggemar lama, sejak 1981-an dulu ketika dia membikin cerpen Karateka Perempuan di Kawanku. Jadilah saya bersegera membikin review ini.

Apa sih sastra itu ? Setidaknya dua kali saya tertumbuk pertanyaan itu. Yang pertama, sebagai penggiat di Komunitas Karl May, selalu dipertanyakan apakah karya Karl May itu layak disebut sastra, atau cerita petualangan semata. Yang kedua, Bondan Winarno pada pengantar kumpulan novelnya mengatakan karyanya bukan sastra melainkan cuma cerita yang dibuat sambil menunggu boarding di bandara. Definisi sastra bisa kita temukan di google atau wikipedia, tapi secara gampang, saya bisa bilang : bacalah Leila, itulah representasi sastra modern negeri ini. Ada kalimat yang mempesona, cerita yang membawa pembacanya terlarut, dan tentunya suatu after taste, perasaan yang tertinggal pasca bukunya tamat dibaca.

Tampaknya Leila mengambil spesialis kisah kelam dan muram. Novel Pulang, bercerita tentang sejarah gelap negeri ini, ketika begitu banyak orang dihilangkan nyawanya, atau dicerabut dari penghidupannya, dalam sebuah drama panjang kekuasaan yang dimulai tahun 1965 dan berakhir pada 1998. Drama muram itu memberikan kepahitan hidup bagi begitu banyak orang, dikisahkan dengan sangat menarik melalui tokoh-tokoh yang diciptakan Leila dalam novel ini.

Pahit, menyakitkan, meninggalkan goresan yang dalam. Saya, laki-laki umur 40 tahun lebih, rela membiarkan air mata saya mengalir dalam diam ketika sampai pada kisah interogasi tentara terhadap tokoh ibu dari 3 orang anak kecil. Tentu saya harus memalingkan badan, apa yang mau saya jawab jika sampai istri saya yang berbaring di bantal sebelah bertanya : mbaca novel sampai nangis ? Tentu, karena Leila melukiskan dengan sempurna, bagaimana kekejaman terhadap manusia tak berdaya bisa dilakukan tanpa kekerasan fisik sekalipun.

Ada banyak tokoh dalam novel ini, berganti-ganti berkisah sebagai orang pertama (aku) maupun orang ketiga. Time frame nya meloncat-loncat, dari masa lalu ke masa kini. Seorang kawan yang sarjana strata tiga, memprotes loncatan waktu ini menyulitkan rekonstruksinya. Saya bisa memahami bahwa pemrotes ini sesuai pola pikir doktoralnya terbiasa sistematis, maka saya bilang kepadanya, disitulah sedapnya novel ini supaya pembacanya makin tenggelam dalam cerita.

After taste nya ? Sebagaimana saya tulis di FB waktu itu : Oui ma’am.. you really make a good story.. a real good story.. Saya bertukar pandangan dengan satu dua sahabat pembaca, kenapa harus (selalu) kelam dan muram. Satu kawan berkata mungkin itu alter ego penulisnya. Kawan yang lain berpendapat : because she’s really good in it.

Saya berikan empat bintang di Goodreads ini. Tidak lima ? Tidak. Karena ada hal-hal yang membuat saya bergumam : piye toh mbakyu ...

Saya merasa kurang nyaman dengan tokoh Lintang. Luar biasa cantik dan tinggi. Saya belum pernah ke Perancis, tapi saya terlanjur punya bayangan bahwa perempuan disana seperti Sophie Neveu (Da Vinci Code), absolutely adorable, but not so tall. Tapi itu bukan masalah besar. Ada detail-detail yang rasanya meleset tentang Lintang, seperti pertemuannya dengan keluarga pacar Rama. Seorang perempuan kaukasia bernama Indonesia, berbahasa Indonesia, lazimnya pertanyaan pertama adalah : siapa orang tua mu, bukan cerita tentang pelesiran si tuan rumah ke Perancis. Tapi kalau begitu tentunya akan merusak kelanjutan kisah bab itu. Saya juga merasa ada ganjalan ketika Lintang tertarik dengan Amien Rais, Adnan Buyung, atau Forkot. Seandainya saja seluruh penggalan kisah Mei 1998 itu atas sudut pandang seorang Alam, mustinya bisa lebih pas. Porsi Lintang pada masa itu bisa lebih pada rasa takut atas amuk massa dan kerusuhan etnis.

Lalu tentang Vivienne dan Dimas. Dimas jelas-jelas diceritakan berumur 38 tahun pada 1968. Vivienne masih mahasiswa saat itu, tampaknya strata bachelor. Beda usianya jauh, dan biasanya mempengaruhi perasaan seseorang pada pasangannya. Tapi tidak ada perasaan ke-bapak-an atau ke-abang-an diantara keduanya. Disini Leila juga terlalu asyik bermain-main dengan Led Zeppelin, padahal penggemar fanatik LZ masih banyak dan kritis, meleset sedikit saja bisa gampang di-challenge. Orang berusia 38 tahun, tidak berganti selera musik bukan ? Kenapa tidak Vivienne saja yang memuja LZ dan Dimas followernya ? Lalu potongan syair Stairway to Heaven itu (dan Bob Marley juga), rasanya seperti membaca sepotong cerpen remaja yang hampir selalu menyelipkan syair lagu. Seandainya saja kehebatan LZ bisa diceritakan sebagaimana kecintaan Nyonya Suryo atas batik, dengan kalimat-kalimat yang sama puitisnya.

Selesai sudah kisah Pulang. Sebagai penggemar lama, saya menanti kisah baru. Saya berharap di kisah-kisah selanjutnya ada perubahan karakter tokoh-tokohnya. Mungkin sama sekali tidak berlatar jurnalis. Mungkin sama sekali tak menyinggung Dedalus karena setidaknya dia sudah muncul dua kali (Malam Terakhir dan Pulang). Atau mungkin sama sekali tidak membawa sekian banyak buku di dalam ransel hariannya (Nadira dan Lintang). Mungkin juga untuk sedikit erotikanya, ada gaya yang berbeda selain perempuan di pangkuan (favorit style mulai Yu Nina tayang perdana di Matra dahulu sampai Lintang sekarang).

Yu Leila, penggemarmu menunggu kejutan pada perjalanan berikutnya.
Profile Image for Aditya Hadi.
Author 2 books138 followers
January 10, 2013
Perjalanan hidup tahanan politik eks gejolak G30S 1965, yang ternyata harus menurun juga ke anak-cucu mereka. Ada yang terus menunduk dengan terus menutup-nutupi nama keluarganya, ada juga yang keras dan terus melawan Malpraktik Sejarah berdarah tersebut.

Perjalanan cinta dan idealisme yang dikemas dengan jenaka, namun tetap penuh inspirasi.

Pertanyaan besar : "Inginkah kita Pulang?"

============================================

Ada beberapa tempat menarik yang disebutkan di buku ini,


Toko Buku Shakespeare & Co, Paris. Tempat Dimas Suryo dan Lintang Utara berhasil mencairkan ketegangan di antara mereka dengan sesuatu yang mereka sama-sama suka, buku.



Toko Louis Vuitton, salah satu dari toko-toko mode kelas atas di Aveneu des Champs Elysees, di mana Rininta dan keluarganya berbelanja barang-barang mewah. Sebuah ironi bila mengingat Indonesia yang sedang krisis sekitar tahun 1998.

============================================

It's typo time ... *peace*

Hal. 210 - Aku tak percaya d_iri (?)
Hal. 238 - Indonesia saat (ini) dalam (!)
Profile Image for Maddie.
177 reviews47 followers
March 12, 2017
I began reading Pulang/Home (English translation) after hearing Leila Chudori speak at my university a couple of weeks ago. Other than this book, I have never read any other Indonesian literature and thought Pulang sounded like an interesting place to start - and it was. I have limited knowledge about Indonesia's political history but Leila Chudori covered the historical side well. It was shocking to learn what happened in 1965 and the years that followed. However, the book is not entirely about history. Most of it focuses on the post-1965 life of political exiles and the younger generation, especially Lintang, the daughter of one exile. It includes romance, family relations, action and more. What I loved most about Pulang was the characters. They were complex and well-developed, so I became invested in their stories and kept wanting to read.

There were some disappointments, particularly the ending. It wasn't bad, but I feel like it left several loose ends which frustrated me. It would have been nice to have more answers. I personally also found the descriptions to sometimes be a little strange, but I assumed this is largely due to being a translated version. On the whole though, I loved this book and give it 4/5 stars :)
Profile Image for Calzean.
2,591 reviews1 follower
July 13, 2017
This book looks at the impact on those considered to be enemies of the State as part of Sukarno's crackdown in 1965. The book then follows a small group of Indonesians and their families who find themselves unable to return to their country and are stuck in Paris. The book then moves to the end of the General Suharto era in 1998. Their is some coverage of the tortures, deaths and imprisonment that occurred under Suharto but this was often shadowed by various diversions.
I don't know whether the impact of the story was lost in translation but I felt no real interest in the characters, no actual tension built, there was a constant shift of narrators and timelines, a lot of unnecessary diversions into various character's love lives and a long section devoted to the cooking and recipes of one of the main characters.
Profile Image for ucha (enthalpybooks) .
186 reviews1 follower
September 22, 2013
Dua puluh tahun lalu di masa akhir kami di sekolah dasar, sepanjang minggu ini adalah minggu yang menyebalkan. Pagi itu kami mendapat tugas sejarah dimana kami dibagikan semacam lembar sinopsis film G30S, dan di beberapa bagian kalimat dikosongkan untuk bagian yang diisi. Dapat dipastikan kami harus menonton dari awal sampai akhir untuk bisa menyelesaikan tugas tersebut. Film yang mengerikan bagi kami yang sekecil itu, dan sialnya malam itu saya tidak bisa penuh menonton film itu karena kanal TV dipindahkan ke acara lain. Akhirnya tugas bisa diselesaikan dengan menyontoh tugas teman lain dilanjutkan dengan acara main-main menirukan fragmen-fragmen yang ada di film, termasuk tagline terkenal sepanjang masa : darah itu merah, Jendral !

Sepuluh tahun lalu, adalah masa awal saya dan beberapa teman masa kuliah tergila-gila dengan buku. Bergabung dengan kegiatan mahasiswa di luar kampus, di rumah komunitas kami di Terban, Yogyakarta punya kamar perpus penuh dengan buku dari bermacam aliran termasuk yang disebut buku-buku aliran kiri. Kami tidak mengalami masa sembunyi-sembunyi untuk membaca buku “terlarang”, dan hanya mendengar kisah para angkatan sebelumnya. Pernah saat kami keliling ke berbagai perpus di Yogya dan di satu perpus daerah di Malioboro ada satu bagian dimana banyak buku dimasukkan ke dalam tempat yang berkerangkeng dan digembok. Kami hanya menebak-nebak mungkin itu buku-buku yang dianggap mereka adalah buku yang dilarang.

Bagaimana bisa membaca buku adalah perbuatan terlarang.

Mungkin juga begitu banyak pertanyaan dari mereka yang dicap ET oleh rezim baru di era tahun 1965. Tersingkir karena rezim baru sedang menghapus sejarah dan menuliskan lagi versi baru miliknya. Memburamkan dengan menutupi pembantaian besar-besaran semua yang terkait dengan komunis beberapa tahun. Liputan khusus majalah TEMPO tentang Pengakuan Algojo 1965 membuat bergidik kedua kalinya untuk hal yang berbeda.

Untuk sisi lain mengenai kisah 65 yang jarang saya baca saya didapatkan di novel ini. Novel PULANG karya mba Leila S. Chudori dengan sangat bagus mendokumentasikan perjalanan hidup sekumpulan sahabat yang terbuang dari tanah air karena aliran politik yang dianut bahkan karena alasan yang tidak jelas. Cerita yang terinspirasi dari kisah nyata dari eksil politik yang mendirikan restoran Indonesia di sisi jalan Rue de Vaugirard, Paris. Kisah 4 sahabat Nugroho, Tjai, Risjaf dan Dimas Suryo ini dikemas dengan apik dan dilatarbelakangi oleh peristiwa sejarah di Paris dan Jakarta. Novel ini dipersiapkan dengan baik selama 6 tahun dan membacanya adalah kebahagiaan tersendiri dengan bahasa yang mengalir. Dua adegan yang paling saya suka adalah saat berjalan-jalan di areal pemakaman di Paris dan acara makan di rumah pak Pri. Walau kurang terkesan dengan kisah Alam dan Lintang, namun secara keseluruhan saya suka novel ini. Menelusur internet tentang latar belakang restoran ini membuat semakin kagum atas kisah ini. Restoran yang sudah berdiri lebih dari 30 tahun sekarang mempunyai lebih dari 24 jilid buku tamu. Saya yakin catatan di buku tamu tersebut tercantum kisah sejarah yang otentik yang para tamu tuliskan dan berbeda dengan buramnya sejarah di negri ini.

-ucha-
anggota klub pengunyah yang bermimpi bisa wiskul di Restoran Indonesia, Rue de Vaugirard
Profile Image for Ardita Çaesari.
305 reviews6 followers
December 26, 2012
This book had me at, "Un tres bon plat, Ayah." It was a sentence that lift the whole thing, summarized details that followed later into the book.

I haven't read good story in Bahasa Indonesia for quite a while. I'd like to say "Pulang" shed a light on many things. It's a new hybrid of a genre that comes with a bibliography (which means: pretty thorough research). The characters study, the plot, the sub-plot, the atmosphere building, and the intimacy were just the right dose. For me, at least. It didn't burden you with heavy theories, mind-boggling facts and philosophy. It was a story about four men and their families and friends (though not all were included, otherwise it would be biblical) caught in a political storm.

Though on the other hand, "Pulang" attests to Seno Gumira Ajidarma's "ketika jurnalisme dibungkam, sastra bicara" (when journalism is banned, literature rises). I guess Chudori's background as a journalist helped. Otherwise things would be too flowery and prose-y. Also, the whole manuscript has a good dose of English language logic, sewn into the journalistic style Bahasa Indonesia. What I like most was different linguistic style (diction, the way they talk, mostly) used by two different generations, the exile gang in Paris and the young activists in Jakarta. It would be interesting to have a deeper look at this subject.

I attended a short talk show on women political prisoners (of the 65 political calamity) a couple of years back, discussing a short documentary about them. A prominent movie maker took the stage. A question from one of the woman featured in the documentary,"what would you think about making a movie with this theme." The movie maker says,"that would be very difficult." That was 2010 or 11, I forgot.

As a children of "Orde Baru" (new regime), forced to see the garish "Pengkhianatan G30S/PKI" propaganda and was taken to "Monumen Pancasila Sakti" during holiday, studied Politics, read summary of Marx thoughts (not the book, which would just fly through my head), saw "Act of Killing", I'd really love to see this book goes into cinema, with serious research and scriptwriting and all. Otherwise, it would be a huge waste of talent and story ideas if this book is not properly translated into cinematic experience.

Could someone get Anna Hathaway to take up the role of "Lintang Utara" or "Vivienne Deveraux"? Oh, and perhaps that director from "Ronggeng Dukuh Paruk" who just nailed everything nicely.. If only.
Profile Image for Arien.
60 reviews55 followers
October 14, 2013
I will be very honest here: Saya belum pernah membaca novel yang sarat nuansa politik dan nasionalisme seperti Pulang. Bahkan ketika saya mengambilnya dari rak di toko buku beberapa hari yang lalu pun saya sempat ragu, apakah saya akan menyukai tema buku ini? Apakah saya akan sanggup membaca novel sepanjang hampir 500 halaman, yang isinya hampir melulu tentang politik? I'm the least political person you'll ever know, apalagi, era politik yang diangkat di sini adalah era yang tidak pernah saya jelajahi sebelumnya. Saya tidak banyak mendengar cerita tentang tragedi 1965 ataupun 1998 dari orang tua saya. Pertama, karena waktu tahun 65 mereka masih kecil, dan kedua, karena pada tahun 98, sayalah yang masih terlalu kecil. Mereka bukan tipe orang tua yang suka mengisahkan sejarah negeri ini yang begitu menyayat hati, meskipun saya yakin mereka juga tahu kejadian-kejadian mengerikan apa saja yang terjadi ketika itu.

Membaca Pulang membuat saya belajar banyak tentang situasi politik ketika, and I have to say, it's one of the most fun ways that studying could be. Mungkin akan banyak yang bilang, kalau mau belajar sejarah jangan dari novel karena tidak relevan dan sebagainya. But whoever says that doesn't understand what I feel when I read through something non-fiction. Fiction, no matter how much it was based on true story, will remain fiction, sehingga semanis atau sepahit apapun isinya, setidaknya saya tidak dijejali dengan kenyataan demi kenyataan yang mungkin too much to bear untuk saya pribadi.

Pada akhirnya, Pulang bisa menjadi turning point bagi orang-orang yang sudah mulai kehilangan ke-Indonesia-aannya seperti saya. Saya terlalu banyak membaca buku yang non-Indonesia, dan kalaupun membaca novel Indonesia modern, saat ini ada terlalu banyak yang membiarkan foreign languages gets in the way of their writing. (Ya, sama seperti review ini juga sih) Tapi sebanyak apapun Bahasa Inggris dan Perancis yang digunakan dalam novel ini, unsur Indonesia nya masih kental sekali. Sangat kental, sampai saya harus terdiam dan berpikir, "Ya, ini semua ada di kehidupan saya. I can't believe someone actually bring it on a book." Saya tidak pernah terpikir bahwa minyak jelantah dan sebagainya could make a story. A really good one.
Profile Image for Surya Ds.
39 reviews5 followers
December 31, 2021
Sebenarnya, 4,5⭐

Hampir kukasih nilai sempurna! Sayang aku baca Laut Bercerita terlebih dahulu, jadinya aku nggak bisa kalau tak bandingin Pulang dengan Laut Bercerita. Itu yang buat aku nggak bisa kasih bintang lima, sebab aku rasa Laut Bercerita lebih superior dari Pulang. Walau jelas cerita Pulang jauh lebih kompleks, namun aku ngerasa kisah di Laut Bercerita lebih nusuk. Mungkin, ini faktor pengalaman pribadi sih.

Superioritas Laut Bercerita atas Pulang malah terasa banget waktu (spoiler alert!) adegan Lintang siapin tiga piring di meja makan untuk dirinya, ibunya, dan ayahnya--walau sudah sadar ayahnya bakal tak pulang lagi. Adegan ini jelas hampir buatku mau nangis--namun bukan karena adegan itu sendiri, namun lebih karena aku teringat kisah keluarga Laut di Laut Bercerita... Ya, mungkin ini yang dimaksud Vivienne dan Lintang dengan le coup de foudre, jatuh cinta pada pandangan pertama.
Profile Image for A.A. Muizz.
210 reviews23 followers
November 4, 2015
Keren banget! Dari gaya penceritaannya, dari kisahnya, dari apa yang ingin disampaikan, dari nama-nama dan karakter tokohnya. Semua keren menurut saya.
Profile Image for gongju.
187 reviews38 followers
February 15, 2022
apa-apaan-_-"

Kenapa semua karakternya pada ngeselin😑
Profile Image for Glenn Ardi.
72 reviews468 followers
August 2, 2014
Terbitnya karya terbaru Leila S.Chudori ini langsung menyita perhatian saya di tengah kesibukan aktivitas, mungkin karena saya memang penggemar tulisannya, atau mungkin karena kehadiran novel ini saya ketahui langsung dari mbak Leila sendiri sekitar sebulan sebelum peluncurannya.

Ekspektasi besar saya terhadap buku ini ternyata tidak salah, novel ini bukan saja hanya menarik karena berlatar belakang serangkaian peristiwa sejarah bangsa ini yang paling gelap dan kelam - tetapi novel ini juga memiliki 'roh' yang begitu kuat. Seolah penulis berharap agar pembaca dapat merasakan bagaimana menjadi bagian dari bangsa ini secara telanjang, realistis - namun juga puitis.

Tentang bagaimana kepiawaian penulis menyusun plot, atau kekayaan pengetahuan buku ini akan sastra dan sejarah - Sepertinya tidak perlu lagi saya bahas dalam review ini karena sudah banyak diulas oleh reviewer lain.

Saya selalu lebih tertarik pada unsur yang lebih emosional dalam novel atau karya sastra apapun. Karena bagi saya membaca karya seseorang berarti menyelami emosi yang ingin diwariskan penulisnya. Dari setiap karya Leila, saya selalu kagum pada cara khas dia utk mengembangkan karakter setiap tokoh yang melekat semakin kuat pada setiap bab.. serta bagaimana penulis mengasosiasikan sesuatu yang sederhana (juga terkadang abstrak) -seperti wangi cengkih, kunyit, sepenggal kisah mahabharata, bunga seruni, jamban, kolong meja kerja, dll.. - untuk menjembatani pembaca dalam menyelami kedalaman setiap tokoh yang ia ciptakan. Bagi saya, ini adalah keunggulan dari setiap karya Leila yang menjadikannya selalu memiliki 'roh' tersendiri. 

Setelah membaca karya ini, Saya tersadar ada beberapa unsur yang kembali dihadirkan mbak Leila dalam beberapa karyanya yang menggelitik perhatian saya
- ironi cinta yang tidak terbalas (atau tidak dapat bersatu)
- cinta kasmaran yang begitu membara sekaligus naif
- perselingkuhan / pengkhianatan (baik secara fisik maupun emosional)
- perceraian / perpisahan yang mengakhiri serta menjadikan semuanya realistis

Pola yang kembali diangkat seperti di atas membuat saya berpikir bahwa penulis selalu ingin memberi sindiran terhadap konsep cinta dan kesetiaan yang idealis, yang seringkali menjadi bumbu penyedap di setiap novel lain. disini saya merasa penulis ingin menyampaikan bahwa ada bentuk kenyataan cinta yang lain, yang lebih pahit namun membumi (dan bisa jadi lebih puitis) pada cinta yang pada hakikatnya hanyalah semburan dopamine dan serotonin belaka. Haha.. Entahlah, mungkin dalam hal ini saya terlalu konspiratif. 


#SPOILER ALLERT#
Satu hal yang mungkin agak mengejutkan saya adalah kisah romansa dadakan yang hadir di bab-bab akhir kisah ini. Saya tidak menyangkal bahwa hal itu memang dapat secara wajar terjadi  pada siapapun. Namun saya gagal untuk memahami mengapa Lintang Utara, bisa begitu mencintai Alam secara instant selain hanya karena karakter Alam menarik secara fisik serta perhatiannya yang berlebihan - terlebih pada saat Lintang masih memiliki hubungan dengan Nara yang sudah dibangun cukup kuat dari awal cerita. 

Ah mungkin memang karena saya belum pernah mengalami "halilintar" seperti itu - atau mungkin krn memang pandangan sinis saya terhadap ide "love at first sight" yang seringkali hanya dibangun dari impuls sesaat karena ketertarikan fisik dan tidak dilahirkan dari proses. Apalagi jika itu terjadi pada saat kita masih terikat dengan orang lain.


Terlepas dari itu, tentu saja  PULANG adalah karya luar biasa yang wajib dibaca oleh siapapun yang benar-benar ingin mencintai negeri ini - tentu bukan cinta yang chauvinistik, namun cinta yang wajar - sewajar saya begitu menyukai beras Cianjur, ayam goreng bengawan solo, udara sejuk Bandung, nelayan yg ramah di pelabuhan Cirebon dan Indramayu, atau kisah Adipati Karna yang berulang kali ayah saya ceritakan sejak kecil.. Cinta yang begitu wajar hingga absurd jika dipertanyakan - yang menjadikan negeri ini adalah (selalu) tempat untuk PULANG.
Profile Image for Tirta.
250 reviews34 followers
March 16, 2013
Seru dan menyentuh sekali.
Cerita berkisar tentang kehidupan Dimas Suryo, seorang eksil politik yang selamat dari peristiwa pembersihan orang-orang 'golongan kiri' tahun 1965 dan kini tinggal di Paris. Padahal Dimas sendiri sebenarnya tidak memihak. Hanya saja hidupnya dan kerjanya di kantor berita Harian Nusantara memang membuatnya dikelilingi oleh orang-orang yang dekat dengan golongan itu.

Hidup bertahun-tahun di Paris dengan beberapa teman hingga akhirnya membangun sebuah keluarga sendiri, Dimas tetap tidak bisa pulang. Selama rezim kekuasaan Soeharto masih berlangsung, Dimas masih dianggap seorang eksil politik. Padahal satu-satunya keinginan Dimas hanyalah itu; pulang dan mati di tanah kelahirannya, Indonesia. Pada akhirnya, bisakah Dimas memenuhi keinginan itu?

Pulang disampaikan melalui sudut pandang Dimas dan anak perempuannya, Lintang Utara. Tahun 1998 kebetulan Lintang berniat membuat sebuah film dokumenter yang membahas tentang hidup para korban & keluarga dari tapol (tahanan politik) akibat gerakan '65 dan perlakuan yang mereka dapatkan. Lintang yang seumur hidup belum pernah ke Indonesia dan selama ini hanya pernah membayangkan & mendengarkan tanah tempat kelahiran Ayahnya, kini bersikeras pergi kesana dengan bantuan beberapa staf muda KBRI. Padahal situasi Indonesia di tahun 1998, kebetulan, juga tengah pelik dengan ramainya masyarakat yang menuntut agar rezim Presiden Soeharto turun.

Honestly, I picked this book based on my impuls only. Saat bingung mau baca buku apa, tiba-tiba saya melihat buku ini. Saya baca sinopsis di bagian belakang bukunya, lantas saya bawa ke kasir. And I didn't regret it at all. Bukunya bagus sekali. Saya senang dengan segala sesuatu yang bikin saya tahu lebih dalam tentang peristiwa sejarah yg terjadi di luar masa hidup saya sendiri. Pulang mengungkap dengan lugas dari sisi lain korban-korban yang 'tertuduh' dekat dengan golongan kiri meskipun kadang tanpa alasan jelas. Perlakuan apa yang mereka dapatkan, social punishment apa yang mereka hadapi (Bersih diri, Bersih lingkungan), yang bahkan berlaku sampai ke generasi-generasi selanjutnya, saya baru tahu. (Karena kalau di buku pelajaran kan, tidak dijelaskan sudut kemanusiaannya seperti ini). Proses 'pembersihan' ini ternyata bisa jauh lebih kejam dari 'kejadian utama'nya itu sendiri.

Pulang juga tidak membosankan (saya pikir akan sedikit 'berat', ternyata tidak), cara penuturannya justru menarik. Setting kota Paris digambarkan dengan sangat baik. Saya paling suka bagian Dimas dan ketiga temannya mendirikan restoran Tanah Air di Paris dan kisah-kisah perwayangan (Bima, Arjuna, Drupadi dan Ekalaya) yang ikut menghiasi di sana-sini. Karakter-karakter yg ada di buku ini tampil dengan kesederhanaan, mereka tokoh-tokoh real dengan segala kekurangannya juga, tapi saling melengkapi. Referensinya kaya dan banyak informasi. Saya cuma agak bingung tentang keterangan waktu (yg buat saya agak jumbled dan harus cek ulang waktu membacanya). Overall, I would give this book 4,5 stars. :)
Profile Image for Dea Dwi Novita.
229 reviews5 followers
August 31, 2022
4,5 out of 5
Seperti yang sudah diceritakan di sinopsisnya, PULANG mengambil sudut pandang Eks Tapol yang harus berdikari di negeri orang lantaran tidak diterima pulang oleh negerinya sendiri.

Buku ini berlatar keadaan politik 1965, dimana memilih kiri atau kanan, atau tidak memilih sekalipun, beresiko besar. Apalagi bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia jurnalisme, maupun kesenian. Kebebasan pers dan berpendapat, masih sangat tercekik.

Dari sudut pandang Dimas Suryo, istri, dan teman2nya, kita menyelami tidak hanya dunia politik, namun juga romansa erotik yang melibatkan persahabatan dan janji di masa depan.

Bagaimana mereka akhirnya mampu bertahan hidup dengan mendirikan sebuat restoran khas makanan Indonesia di Perancis. Serta kecemasan yang tak kunjung usai lantaran mereka hidup dalam bayang2 pelarian.

Rentang waktu peristiwa dalam buku ini cukup panjang. Pada bagian 3/4 buku hingga akhir, kita akan disodorkan oleh peristiwa2 pada tahun 1998 dari pov Lintang Utara, dan Segara Alam. Kondisi ekonomi, politik, dan seruan reformasi mewarnai bagian2 akhir buku.

Menurut saya pribadi, buku ini termasuk salah satu sejarah fiksi Indonesia yang paling bagus. Terfokus pada perasaan sebagai korban, hukuman2 yang memilukan, tetapi tetap menghibur dengan dinamika karakter yang seru dan bumbu romansa yang cukup kental.

Pendeskripsian tempat dan MAKANAN sungguh sungguh menggiurkan. Bu Leila juaranya.

Hal yang sedikit saya sayangkan, kecepatan pada bagian2 awal buku cukup lambat. Lalu, karena menampilkan beberapa sudut pandang, ada beberapa adegan atau pernyataan yang diulang. Tetapi, tenang saja. Tidak sampai yang mengganggu, kok sebenarnya. Hanya preferensi saya saja menyukai cerita yang lebih padat dan action-packed.

Secara bahasa, puitisnya tidak kalah dengan novel Laut Bercerita yang lebih dulu saya baca.

Dibandingkan dengan laut bercerita, dalam buku ini, Bu Leila lebih berani untuk menuliskan 'nama-nama besar'. Saya suka. Penggambaran kekerasan dalam buku ini juga lumayan explisit walaupun tidak sebanyak yg ada pada Laut Bercerita. Jangan lupa baca sesuai umur, dan cek trigger warning ya!!!

Oiya, satu lagi. Lelaki yang suka main perempuan bukan termasuk trope karakter favorite saya hehehehe

Kesimpulannya, apakah buku ini layak untuk dibaca dan dibeli? WORTH sekali.

Sangat direkomendasikan untuk teman2 pecinta fiksi sejarah, dengan romansa berliku dan keadaan politik yang secara eksplisit menegangkan.
Profile Image for (≧∇≦).
125 reviews7 followers
September 13, 2021
Selesai baca ini yang terlintas dipikiran saya adalah: Jadi intinya apa, toh?

Baik, saya paham bahwa Pulang ingin mengikuti kisah Dimas yang meninggalkan tanah air namun sayangnya tak kunjung pulang karena status 'buron'. Tapi, semua sudut pandang yang dijabarkan dalam buku ini menurut saya terlalu bertele-tele dan isinya tidak menjurus pada satu topik khusus, sehingga saya pun terkadang bosan mengikuti ceritanya. Banyak detail lain tentang penulis, buku, dan film yang buat saya tidak penting tetapi seringkali disisipkan. Detail kecil yang saya suka adalah perihal cerita Mahabarata dan kaitannya dengan sifat Dimas.

Seperti saya katakan sebelumnya bahwa buku ini banyak membawa sudut pandang, tapi yang mengganjal adalah saya tidak merasakan perbedaan nyata terhadap gaya bercerita setiap tokoh.

Khas Bu Leila juga adalah menyisipkan masakan di dalam bukunya, termasuk Pulang. Dan tak dipungkiri Bu Leila kembali berhasil menyita perhatian pembaca karena deskripsinya yang sangat lihai terhadap makanan. Tapi secara personal deskripsi makanan tersebut tidak benar-benar memikat, mungkin karena saya menemukan hal yang serupa di Laut Bercerita.

Saya pun tidak merasakan sesuatu yang dalam mengenai hubungan antar tokohnya, bahkan Dimas dan Surti. Selain itu alurnya pun terkesan datar-datar saja sampai akhir, padahal saya menantikan sesuatu yang membuat adrenalin terpacu atau setidaknya membuat emosional. Perasaan saya baru tersentuh saat benar-benar di akhir cerita sekitar 5 halaman akhir.
Profile Image for Annie.
2,037 reviews96 followers
February 9, 2019
Leila S. Chudori’s Home (translated by John H. McGlynn) circles around a black day in Indonesian history, while not revealing much about what happened on September 30, 1965. Instead, it details the long aftermath of the violence and the violent, repressive crackdown on communism through the lives of Dimas Suryo and his family. McGlynn’s translation includes some poorly chosen words and the book could have done with more editing, as it contains some typos...

Read the rest of my review at A Bookish Type.
Profile Image for Firda Mahdanisa.
57 reviews3 followers
February 20, 2021
gatau lagi harus nulis apa terkait buku ini. buat kalian yang pengen belajar sejarah indonesia dengan bahasa dan alur cerita yang menyenangkan serta mudah dipahami. ini cocok banget. tapi, aku peringatkan, hati-hati membacanya. karena kamu pasti akan patah hati.
Displaying 1 - 30 of 1,035 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.