Intertekstual Quotes
Quotes tagged as "intertekstual"
Showing 1-15 of 15
“Suara Kesunyian
(Whisper-Psychoanalysis, Slow, Surgical, and Intimately Terrifying ala Lecter)
Dalam ruang yang tidak mengizinkan gema,
aku mendengarnya—
suara sunyi yang berbicara lebih pelan daripada desah napasmu sendiri.
Ia duduk di sebelahku,
bukan sebagai musuh, bukan sebagai penyelamat,
melainkan sebagai saksi yang terlalu mengerti
apa yang bersembunyi di balik tulang-tulang ingatan.
“Duduklah,” katanya lembut,
seolah menawarkan secangkir teh
yang sudah menelan banyak pengakuan sebelumnya.
“Tidak perlu takut. Keheningan tidak pernah melukai siapa pun…
kecuali mereka yang menyembunyikan sesuatu.”
Aku tidak menjawab.
Ia tidak membutuhkan jawaban.
Di matanya yang tak berkedip,
aku melihat ulang diriku sendiri seperti rekaman yang diputar terlalu lambat:
detik-detik ketika hasrat mati,
saat yang tak pernah kuakui,
ketika aku menusukkan belati pada diriku
tanpa tahu apakah aku mencoba menyakiti
atau sekadar memastikan aku masih bisa merasakan sesuatu.
“Menarik,” katanya pelan,
“kau menyalahkan pikiranmu seakan ia musuh.
Padahal ia hanya anak yang kau kunci di ruang bawah tanah,
memukul pintu dengan kepalan yang semakin kecil…
sampai suaranya terdengar seperti gemerisik debu.”
Aku menelan kekosongan itu.
Ia miring sedikit, seolah menikmati aroma ketakutanku.
“Cinta membingungkanmu,” lanjutnya,
“karena kau menuntutnya jujur
sementara kau sendiri hidup dalam topeng yang begitu terampil
hingga kau lupa yang mana wajahmu.”
Sunyi menebal.
Ia menyandarkan kepala,
seakan mendengarkan sesuatu yang datang dari dalam dadaku.
“Dengar,” katanya,
“dengarkan baik-baik.
Ada suara di dalam dirimu yang selalu kau coba bunuh dengan keseragaman,
dengan keinginan menjadi normal,
dengan godaan untuk diterima.”
Ia menutup mata,
seolah menyetel antenanya ke frekuensi paling gelap.
“Suara itu…”
ia berbisik,
“adalah suara domba yang terus berlari
di padang rumput traumamu.
Mereka menjerit bukan karena mereka sedang disembelih—
tetapi karena mereka tahu kau tidak pernah kembali untuk menyelamatkan mereka.”
Aku menggigil.
Ia tersenyum nyaris tak terlihat.
“Trauma,” katanya,
“adalah binatang yang sangat peka.
Ia menunggu.
Ia tidak pergi.
Ia duduk seperti aku—
tenang, sabar, mengamati kapan kau akhirnya siap
untuk berhenti melarikan diri.”
Aku terdiam seperti batu yang siap dipahat.
“Kau ingin menjadi berbeda,” ujarnya lembut,
“tapi berbeda tidak lahir dari penolakan.
Berbeda lahir dari keberanian untuk membuka pintu
yang membuatmu gemetar.”
Ia mencondongkan tubuh,
suara hampir menempel di telingaku:
“Jika kau benar-benar ingin berhenti mendengar jeritan itu…
kau harus kembali ke tempat di mana domba-domba itu mati disembelih.”
Aku menutup mata.
Dan saat itulah aku tersadar
keheningan tidak lagi menjadi musuh—
melainkan satu-satunya suara yang mau mendengarkanku
tanpa menghujat
tanpa menghakimi.
November 2025”
―
(Whisper-Psychoanalysis, Slow, Surgical, and Intimately Terrifying ala Lecter)
Dalam ruang yang tidak mengizinkan gema,
aku mendengarnya—
suara sunyi yang berbicara lebih pelan daripada desah napasmu sendiri.
Ia duduk di sebelahku,
bukan sebagai musuh, bukan sebagai penyelamat,
melainkan sebagai saksi yang terlalu mengerti
apa yang bersembunyi di balik tulang-tulang ingatan.
“Duduklah,” katanya lembut,
seolah menawarkan secangkir teh
yang sudah menelan banyak pengakuan sebelumnya.
“Tidak perlu takut. Keheningan tidak pernah melukai siapa pun…
kecuali mereka yang menyembunyikan sesuatu.”
Aku tidak menjawab.
Ia tidak membutuhkan jawaban.
Di matanya yang tak berkedip,
aku melihat ulang diriku sendiri seperti rekaman yang diputar terlalu lambat:
detik-detik ketika hasrat mati,
saat yang tak pernah kuakui,
ketika aku menusukkan belati pada diriku
tanpa tahu apakah aku mencoba menyakiti
atau sekadar memastikan aku masih bisa merasakan sesuatu.
“Menarik,” katanya pelan,
“kau menyalahkan pikiranmu seakan ia musuh.
Padahal ia hanya anak yang kau kunci di ruang bawah tanah,
memukul pintu dengan kepalan yang semakin kecil…
sampai suaranya terdengar seperti gemerisik debu.”
Aku menelan kekosongan itu.
Ia miring sedikit, seolah menikmati aroma ketakutanku.
“Cinta membingungkanmu,” lanjutnya,
“karena kau menuntutnya jujur
sementara kau sendiri hidup dalam topeng yang begitu terampil
hingga kau lupa yang mana wajahmu.”
Sunyi menebal.
Ia menyandarkan kepala,
seakan mendengarkan sesuatu yang datang dari dalam dadaku.
“Dengar,” katanya,
“dengarkan baik-baik.
Ada suara di dalam dirimu yang selalu kau coba bunuh dengan keseragaman,
dengan keinginan menjadi normal,
dengan godaan untuk diterima.”
Ia menutup mata,
seolah menyetel antenanya ke frekuensi paling gelap.
“Suara itu…”
ia berbisik,
“adalah suara domba yang terus berlari
di padang rumput traumamu.
Mereka menjerit bukan karena mereka sedang disembelih—
tetapi karena mereka tahu kau tidak pernah kembali untuk menyelamatkan mereka.”
Aku menggigil.
Ia tersenyum nyaris tak terlihat.
“Trauma,” katanya,
“adalah binatang yang sangat peka.
Ia menunggu.
Ia tidak pergi.
Ia duduk seperti aku—
tenang, sabar, mengamati kapan kau akhirnya siap
untuk berhenti melarikan diri.”
Aku terdiam seperti batu yang siap dipahat.
“Kau ingin menjadi berbeda,” ujarnya lembut,
“tapi berbeda tidak lahir dari penolakan.
Berbeda lahir dari keberanian untuk membuka pintu
yang membuatmu gemetar.”
Ia mencondongkan tubuh,
suara hampir menempel di telingaku:
“Jika kau benar-benar ingin berhenti mendengar jeritan itu…
kau harus kembali ke tempat di mana domba-domba itu mati disembelih.”
Aku menutup mata.
Dan saat itulah aku tersadar
keheningan tidak lagi menjadi musuh—
melainkan satu-satunya suara yang mau mendengarkanku
tanpa menghujat
tanpa menghakimi.
November 2025”
―
“Sang Penari—
(Intertextual Reconstruction)
I. Bisikan Kematian
Ia mendengkur dalam rupa awan kelam
Malaikat Azrael turun membisikkan litani terakhirnya
sayap hitam yang rontok seperti bulu-bulu burung Icarus
ketika lilin ambisi mulai menguap
di ketinggian.
Detak nadi yang nyaris tak teraba lagi.
Tatap mata pastor muda memberi sakramen perminyakan,
wajahnya mengingatkan pada Padre Amaro
yang memandang dosa dan kepolosan
sebagai dua sisi pisau yang sama-sama memotong urat nadi.
Gumam doa terdengar seperti elegi yang menangis,
serupa lantunan “Lacrimosa” dari komposisi Requiem D Minor
di gereja reruntuhan pasca perang.
Hunjaman paku di kepala,
penderitaan seperti hujan Ingmar Bergman
di The Seventh Seal—
di mana kematian duduk bermain catur
di atas batu nisan yang dingin.
Tanah basah tergenang lumpur pekat,
tarian brutal menyeretnya ke ingatan masa muda—
seakan ia adalah Nina, angsa hitam nan cantik dan kejam itu
yang tubuhnya menolak tunduk
dan menjadi musuh paling setia.
Ia berdiri di perbatasan:
sungai keruh yang bergolak
dan tebing yang runtuh perlahan
seperti ambang psike pasien Freud yang kesurupan
yang memikul trauma masa kecil
tak pernah diucapkan.
Seekor domba jatuh terbawa arus,
penanda takdir seperti dalam kitab Kejadian—
ia anak yang dikorbankan, tetapi tak ada malaikat yang menahan pisau
di tangan Abraham.
Suara dengkuran itu:
apakah itu suara hewan teraniaya?
atau luka masa kecil yang meminta dilepaskan?
Perjalanan dari ladang kumuh pegunungan,
mengais mimpi di jalan becek menuju stasiun kota.
Dengkuran itu kini terdengar seperti jeritan peluit kereta ala Kill Bill,
penanda pelarian yang tak pernah berakhir.
Pohon pinus berkejar-kejaran
di balik jendela kereta;
bayangan sayap kelam membuntuti,
serupa Dementor dalam mimpi Harry Potter,
penyedot debu sukacita yang hidup dari sampah ketakutan.
Desah sayup-sayup terdengar,
gelas pecah berkeping,
hujan menuruni jembatan—
semuanya tereduksi seperti adegan Tarkovsky
yang memantulkan kenangan setengah-mati.
Hujan yang sama
selalu membawa rumah dalam ingatan:
rumah yang menggigil oleh detak nadi sendiri.
Dengkuran itu menggetarkan bingkai foto di dinding,
membangkitkan masa lalu
dalam rasa sakit yang tak kunjung pergi—
seperti jiwa tokoh-tokoh Dostoyevsky
yang bergentayangan,
kembali pada lukanya sendiri.
Agustus 2026”
―
(Intertextual Reconstruction)
I. Bisikan Kematian
Ia mendengkur dalam rupa awan kelam
Malaikat Azrael turun membisikkan litani terakhirnya
sayap hitam yang rontok seperti bulu-bulu burung Icarus
ketika lilin ambisi mulai menguap
di ketinggian.
Detak nadi yang nyaris tak teraba lagi.
Tatap mata pastor muda memberi sakramen perminyakan,
wajahnya mengingatkan pada Padre Amaro
yang memandang dosa dan kepolosan
sebagai dua sisi pisau yang sama-sama memotong urat nadi.
Gumam doa terdengar seperti elegi yang menangis,
serupa lantunan “Lacrimosa” dari komposisi Requiem D Minor
di gereja reruntuhan pasca perang.
Hunjaman paku di kepala,
penderitaan seperti hujan Ingmar Bergman
di The Seventh Seal—
di mana kematian duduk bermain catur
di atas batu nisan yang dingin.
Tanah basah tergenang lumpur pekat,
tarian brutal menyeretnya ke ingatan masa muda—
seakan ia adalah Nina, angsa hitam nan cantik dan kejam itu
yang tubuhnya menolak tunduk
dan menjadi musuh paling setia.
Ia berdiri di perbatasan:
sungai keruh yang bergolak
dan tebing yang runtuh perlahan
seperti ambang psike pasien Freud yang kesurupan
yang memikul trauma masa kecil
tak pernah diucapkan.
Seekor domba jatuh terbawa arus,
penanda takdir seperti dalam kitab Kejadian—
ia anak yang dikorbankan, tetapi tak ada malaikat yang menahan pisau
di tangan Abraham.
Suara dengkuran itu:
apakah itu suara hewan teraniaya?
atau luka masa kecil yang meminta dilepaskan?
Perjalanan dari ladang kumuh pegunungan,
mengais mimpi di jalan becek menuju stasiun kota.
Dengkuran itu kini terdengar seperti jeritan peluit kereta ala Kill Bill,
penanda pelarian yang tak pernah berakhir.
Pohon pinus berkejar-kejaran
di balik jendela kereta;
bayangan sayap kelam membuntuti,
serupa Dementor dalam mimpi Harry Potter,
penyedot debu sukacita yang hidup dari sampah ketakutan.
Desah sayup-sayup terdengar,
gelas pecah berkeping,
hujan menuruni jembatan—
semuanya tereduksi seperti adegan Tarkovsky
yang memantulkan kenangan setengah-mati.
Hujan yang sama
selalu membawa rumah dalam ingatan:
rumah yang menggigil oleh detak nadi sendiri.
Dengkuran itu menggetarkan bingkai foto di dinding,
membangkitkan masa lalu
dalam rasa sakit yang tak kunjung pergi—
seperti jiwa tokoh-tokoh Dostoyevsky
yang bergentayangan,
kembali pada lukanya sendiri.
Agustus 2026”
―
“Sang Penari—
(Intertextual Reconstruction)
I. Bisikan Kematian
Ia mendengkur dalam rupa awan kelam
Malaikat Azrael turun membisikkan litani terakhirnya
sayap hitam yang rontok seperti bulu-bulu burung Icarus
ketika lilin ambisi mulai menguap
di ketinggian.
Detak nadi yang nyaris tak teraba lagi.
Tatap mata pastor muda memberi sakramen perminyakan,
wajahnya mengingatkan pada Padre Amaro
yang memandang dosa dan kepolosan
sebagai dua sisi pisau yang sama-sama memotong urat nadi.
Gumam doa terdengar seperti elegi yang menangis,
serupa lantunan “Lacrimosa” dari komposisi Requiem D Minor
di gereja reruntuhan pasca perang.
Hunjaman paku di kepala,
penderitaan seperti hujan Ingmar Bergman
di The Seventh Seal—
di mana kematian duduk bermain catur
di atas batu nisan yang dingin.
Tanah basah tergenang lumpur pekat,
tarian brutal menyeretnya ke ingatan masa muda—
seakan ia adalah Nina, angsa hitam nan cantik dan kejam itu
yang tubuhnya menolak tunduk
dan menjadi musuh paling setia.
Ia berdiri di perbatasan:
sungai keruh yang bergolak
dan tebing yang runtuh perlahan
seperti ambang psike pasien Freud yang kesurupan
yang memikul trauma masa kecil
tak pernah diucapkan.
Seekor domba jatuh terbawa arus,
penanda takdir seperti dalam kitab Kejadian—
ia anak yang dikorbankan, tetapi tak ada malaikat yang menahan pisau
di tangan Abraham.
Suara dengkuran itu:
apakah itu suara hewan teraniaya?
atau luka masa kecil yang meminta dilepaskan?
Perjalanan dari ladang kumuh pegunungan,
mengais mimpi di jalan becek menuju stasiun kota.
Dengkuran itu kini terdengar seperti jeritan peluit kereta ala Kill Bill,
penanda pelarian yang tak pernah berakhir.
Pohon pinus berkejar-kejaran
di balik jendela kereta;
bayangan sayap kelam membuntuti,
serupa Dementor dalam mimpi Harry Potter,
penyedot debu sukacita yang hidup dari sampah ketakutan.
Desah sayup-sayup terdengar,
gelas pecah berkeping,
hujan menuruni jembatan—
semuanya tereduksi seperti adegan Tarkovsky
yang memantulkan kenangan setengah-mati.
Hujan yang sama
selalu membawa rumah dalam ingatan:
rumah yang menggigil oleh detak nadi sendiri.
Dengkuran itu menggetarkan bingkai foto di dinding,
membangkitkan masa lalu
dalam rasa sakit yang tak kunjung pergi—
seperti jiwa tokoh-tokoh Dostoyevsky
yang bergentayangan,
kembali pada lukanya sendiri.
Agustus 2025”
―
(Intertextual Reconstruction)
I. Bisikan Kematian
Ia mendengkur dalam rupa awan kelam
Malaikat Azrael turun membisikkan litani terakhirnya
sayap hitam yang rontok seperti bulu-bulu burung Icarus
ketika lilin ambisi mulai menguap
di ketinggian.
Detak nadi yang nyaris tak teraba lagi.
Tatap mata pastor muda memberi sakramen perminyakan,
wajahnya mengingatkan pada Padre Amaro
yang memandang dosa dan kepolosan
sebagai dua sisi pisau yang sama-sama memotong urat nadi.
Gumam doa terdengar seperti elegi yang menangis,
serupa lantunan “Lacrimosa” dari komposisi Requiem D Minor
di gereja reruntuhan pasca perang.
Hunjaman paku di kepala,
penderitaan seperti hujan Ingmar Bergman
di The Seventh Seal—
di mana kematian duduk bermain catur
di atas batu nisan yang dingin.
Tanah basah tergenang lumpur pekat,
tarian brutal menyeretnya ke ingatan masa muda—
seakan ia adalah Nina, angsa hitam nan cantik dan kejam itu
yang tubuhnya menolak tunduk
dan menjadi musuh paling setia.
Ia berdiri di perbatasan:
sungai keruh yang bergolak
dan tebing yang runtuh perlahan
seperti ambang psike pasien Freud yang kesurupan
yang memikul trauma masa kecil
tak pernah diucapkan.
Seekor domba jatuh terbawa arus,
penanda takdir seperti dalam kitab Kejadian—
ia anak yang dikorbankan, tetapi tak ada malaikat yang menahan pisau
di tangan Abraham.
Suara dengkuran itu:
apakah itu suara hewan teraniaya?
atau luka masa kecil yang meminta dilepaskan?
Perjalanan dari ladang kumuh pegunungan,
mengais mimpi di jalan becek menuju stasiun kota.
Dengkuran itu kini terdengar seperti jeritan peluit kereta ala Kill Bill,
penanda pelarian yang tak pernah berakhir.
Pohon pinus berkejar-kejaran
di balik jendela kereta;
bayangan sayap kelam membuntuti,
serupa Dementor dalam mimpi Harry Potter,
penyedot debu sukacita yang hidup dari sampah ketakutan.
Desah sayup-sayup terdengar,
gelas pecah berkeping,
hujan menuruni jembatan—
semuanya tereduksi seperti adegan Tarkovsky
yang memantulkan kenangan setengah-mati.
Hujan yang sama
selalu membawa rumah dalam ingatan:
rumah yang menggigil oleh detak nadi sendiri.
Dengkuran itu menggetarkan bingkai foto di dinding,
membangkitkan masa lalu
dalam rasa sakit yang tak kunjung pergi—
seperti jiwa tokoh-tokoh Dostoyevsky
yang bergentayangan,
kembali pada lukanya sendiri.
Agustus 2025”
―
“Sang Penari—
(Intertextual Reconstruction)
II. Tarian Terakhir
Hari pertama ia hadir,
seperti hari yang tak pernah berakhir:
menghitung sisa uang
mengulang adegan Travis Bickle dalam Taxi Driver,
mempertaruhkan semuanya
di atas dua dadu yang berdenyut seperti tali nasib.
Harapan kuning keemasan, di atas
angka dua belas, angka tertinggi—
ia menari seperti Salome
yang menuntut kepala Yohanes
dalam satu putaran rahasia.
Lompatan dua kaki membentuk tarian misteri,
melampaui bintang-bintang,
melampaui tubuhnya sendiri:
seperti Frida Kahlo yang menari
dengan tulang punggung retak
namun tetap memaksa hidup memandangnya.
Potret kemasyhuran di dinding,
berkejaran seperti hantu Billie Holiday,
dalam segelas sampanye bersama Marilyn Monroe
yang tersenyum tepat sebelum runtuh.
Ia mengejar audisi
seperti seseorang yang mengejar Tuhan
di lorong-lorong sempit Kafka.
Makin dekat dengan kenyataan:
Menari… seakan esok tubuhnya
tak sanggup lagi berdiri.
Menari… seperti setiap helaan napas
mungkin adalah yang terakhir.
Ia menerjemahkan dirinya
serupa rembulan perak Virginia Woolf
yang suatu hari
meninggalkan jejak di permukaan air.
Mata kehijauan seperti telaga Nostradamus
yang memantulkan firasat kematian.
Rambut menyala seperti api—
bintang kejora yang akan padam
sebelum fajar mengenal namanya.
Seekor angsa elok
di antara para penari lain,
namun kita tahu bagaimana nasib angsa
dalam dongeng Andersen:
keindahan selalu menjadi kutuk sekaligus mahkota.
Meja panjang dengan hidangan asing,
bahasa yang tak sepenuhnya ia pahami—
seakan ia adalah tokoh Haruki Murakami
yang tersesat dalam realitas paralel antara igau seekor kucing
dan rembulan yang menangis.
Ia bukan menulis puisi,
ia sedang menulis obituari:
riwayat singkat seorang penari muda
yang mati saat mengejar mimpinya—
seperti tokoh Son Mi-451
di Cloud Atlas
yang mati dalam usaha membebaskan diri
dari sistem yang mencabiknya
jadi serpihan.
Kisah penuh luka,
kisah tanpa akhir bahagia:
nirwana yang tak pernah ia capai,
walau ia sudah menari dengan sepenuh hati, seluruh tubuh,
seluruh trauma, seluruh jiwa.
Agustus 2025”
―
(Intertextual Reconstruction)
II. Tarian Terakhir
Hari pertama ia hadir,
seperti hari yang tak pernah berakhir:
menghitung sisa uang
mengulang adegan Travis Bickle dalam Taxi Driver,
mempertaruhkan semuanya
di atas dua dadu yang berdenyut seperti tali nasib.
Harapan kuning keemasan, di atas
angka dua belas, angka tertinggi—
ia menari seperti Salome
yang menuntut kepala Yohanes
dalam satu putaran rahasia.
Lompatan dua kaki membentuk tarian misteri,
melampaui bintang-bintang,
melampaui tubuhnya sendiri:
seperti Frida Kahlo yang menari
dengan tulang punggung retak
namun tetap memaksa hidup memandangnya.
Potret kemasyhuran di dinding,
berkejaran seperti hantu Billie Holiday,
dalam segelas sampanye bersama Marilyn Monroe
yang tersenyum tepat sebelum runtuh.
Ia mengejar audisi
seperti seseorang yang mengejar Tuhan
di lorong-lorong sempit Kafka.
Makin dekat dengan kenyataan:
Menari… seakan esok tubuhnya
tak sanggup lagi berdiri.
Menari… seperti setiap helaan napas
mungkin adalah yang terakhir.
Ia menerjemahkan dirinya
serupa rembulan perak Virginia Woolf
yang suatu hari
meninggalkan jejak di permukaan air.
Mata kehijauan seperti telaga Nostradamus
yang memantulkan firasat kematian.
Rambut menyala seperti api—
bintang kejora yang akan padam
sebelum fajar mengenal namanya.
Seekor angsa elok
di antara para penari lain,
namun kita tahu bagaimana nasib angsa
dalam dongeng Andersen:
keindahan selalu menjadi kutuk sekaligus mahkota.
Meja panjang dengan hidangan asing,
bahasa yang tak sepenuhnya ia pahami—
seakan ia adalah tokoh Haruki Murakami
yang tersesat dalam realitas paralel antara igau seekor kucing
dan rembulan yang menangis.
Ia bukan menulis puisi,
ia sedang menulis obituari:
riwayat singkat seorang penari muda
yang mati saat mengejar mimpinya—
seperti tokoh Son Mi-451
di Cloud Atlas
yang mati dalam usaha membebaskan diri
dari sistem yang mencabiknya
jadi serpihan.
Kisah penuh luka,
kisah tanpa akhir bahagia:
nirwana yang tak pernah ia capai,
walau ia sudah menari dengan sepenuh hati, seluruh tubuh,
seluruh trauma, seluruh jiwa.
Agustus 2025”
―
“Sang Penari
III – Tarian di Antara Dua Dunia
Ia terbangun di sebuah ruang yang tak memiliki dinding.
Seolah ia masuk ke panggung mimpi Yasunari—
di mana tubuh perempuan menari bukan sebagai gerakan,
melainkan sebagai bayangan rasa bersalah
yang lembut dan sekaligus mematikan.
Dalam jarak yang liminal itu,
ia melihat sosok dirinya menari seperti
Chieko dari Beauty and Sadness—
kesendirian yang membelah tubuh menjadi dua:
yang menari demi cinta,
dan yang menari demi luka
yang tak terucap.
Di ujung ruang itu, lampu neon berkedip.
Tiba-tiba, sepasang kekasih
muncul dari balik kegelapan—
seperti dua hantu pop yang tersesat
di klub malam muram era Tarantino.
Mia Wallace menggigit bibir;
Vincent Vega mengangkat bahu.
Dan mereka mulai menari—
gerakan pinggul, jentikan jari, putaran kepala—
yang menertawakan kematian seakan ia sekadar
“babak tanpa dialog” dalam kisah hidup manusia.
Sang Penari menatap mereka,
baik terpukau maupun tersayat:
begitu ringannya mereka bercanda dengan kehancuran.
Begitu mudahnya mereka menari
di atas mayat takdir.
Ia mencoba mengikuti langkah:
dua ayunan tangan, rotasi kecil pinggang,
gerak “twist” yang meminjam ritme rockabilly.
Namun setiap gerakan membuatnya merasa
seolah tulang-tulangnya adalah serat kaca
yang akan pecah kapan saja.
Dan dari jauh, hujan mulai turun—
tapi bukan hujan muram seperti Bergman,
melainkan hujan musikal ala Singin’ in the Rain.
Saat Gene Kelly melompat dengan payungnya,
memercikkan air ke segala arah
dengan senyum polos yang mustahil
dipercaya manusia modern.
Sang Penari melihat keriangan itu
dan mendadak dadanya ngilu:
Bagaimana mungkin dunia sempat merasa sebahagia itu?
Atau mungkin
kebahagiaan itu cuma propaganda nostalgia
yang kita tempelkan pada masa lalu
agar ia tak terlihat mengerikan?
Di belakangnya, dua lukisan muncul:
Degas dengan para ballerina pucat
yang tersenyum hanya untuk menutupi
rasa nyeri di kaki mereka,
dan Matisse dengan warna-warna api
yang memaksa tubuh menari
dalam dunia yang terlalu terang untuk manusia menyandang kesedihan.
Keduanya seperti dua dewa kecil—
satu merayakan disiplin,
yang lain memuja ledakan spontan.
Sang Penari merasa tubuhnya ditarik
di antara dua estetika:
kesempurnaan yang memaksa,
atau kegilaan yang membebaskan.
Dan ketika ia mulai menari,
bayangan lain muncul:
Michael Jackson mengenakan fedora putih,
meluncur ke depan dengan anti-gravity lean.
Siluetnya seperti tokoh malaikat jatuh
yang memilih menjadi legenda
daripada mati sebagai manusia biasa.
“Beat it,” bisik MJ dalam seringai misterius,
seakan menantang siapa saja yang berani
menghalangi takdirnya.
“Smooth criminal,” lanjutnya,
seakan menegaskan bahwa kehidupan adalah
perampokan yang dilakukan
oleh waktu terhadap tubuh manusia.
Sang Penari menutup mata.
Ia menari.
Ia hanyut.
Ia memutar lingkaran-lingkaran mitos,
mengumpulkan semua tarian dari zaman ke zaman
dalam satu tubuh yang retak.
Dan ketika ia membuka mata,
ia sudah berada di pesta yang tak pernah tidur—
rumah megah Fitzgerald,
dengan lampu-lampu Gatsby
berkedip seakan dunia tak akan pernah runtuh.
Namun ia tahu:
di balik pesta, selalu ada reruntuhan.
Di balik tarian, selalu ada kubur.
Di balik tubuh, selalu ada hantu.
Dan semua itu menyatu
dalam satu tarikan nafas.
Agustus 2025”
―
III – Tarian di Antara Dua Dunia
Ia terbangun di sebuah ruang yang tak memiliki dinding.
Seolah ia masuk ke panggung mimpi Yasunari—
di mana tubuh perempuan menari bukan sebagai gerakan,
melainkan sebagai bayangan rasa bersalah
yang lembut dan sekaligus mematikan.
Dalam jarak yang liminal itu,
ia melihat sosok dirinya menari seperti
Chieko dari Beauty and Sadness—
kesendirian yang membelah tubuh menjadi dua:
yang menari demi cinta,
dan yang menari demi luka
yang tak terucap.
Di ujung ruang itu, lampu neon berkedip.
Tiba-tiba, sepasang kekasih
muncul dari balik kegelapan—
seperti dua hantu pop yang tersesat
di klub malam muram era Tarantino.
Mia Wallace menggigit bibir;
Vincent Vega mengangkat bahu.
Dan mereka mulai menari—
gerakan pinggul, jentikan jari, putaran kepala—
yang menertawakan kematian seakan ia sekadar
“babak tanpa dialog” dalam kisah hidup manusia.
Sang Penari menatap mereka,
baik terpukau maupun tersayat:
begitu ringannya mereka bercanda dengan kehancuran.
Begitu mudahnya mereka menari
di atas mayat takdir.
Ia mencoba mengikuti langkah:
dua ayunan tangan, rotasi kecil pinggang,
gerak “twist” yang meminjam ritme rockabilly.
Namun setiap gerakan membuatnya merasa
seolah tulang-tulangnya adalah serat kaca
yang akan pecah kapan saja.
Dan dari jauh, hujan mulai turun—
tapi bukan hujan muram seperti Bergman,
melainkan hujan musikal ala Singin’ in the Rain.
Saat Gene Kelly melompat dengan payungnya,
memercikkan air ke segala arah
dengan senyum polos yang mustahil
dipercaya manusia modern.
Sang Penari melihat keriangan itu
dan mendadak dadanya ngilu:
Bagaimana mungkin dunia sempat merasa sebahagia itu?
Atau mungkin
kebahagiaan itu cuma propaganda nostalgia
yang kita tempelkan pada masa lalu
agar ia tak terlihat mengerikan?
Di belakangnya, dua lukisan muncul:
Degas dengan para ballerina pucat
yang tersenyum hanya untuk menutupi
rasa nyeri di kaki mereka,
dan Matisse dengan warna-warna api
yang memaksa tubuh menari
dalam dunia yang terlalu terang untuk manusia menyandang kesedihan.
Keduanya seperti dua dewa kecil—
satu merayakan disiplin,
yang lain memuja ledakan spontan.
Sang Penari merasa tubuhnya ditarik
di antara dua estetika:
kesempurnaan yang memaksa,
atau kegilaan yang membebaskan.
Dan ketika ia mulai menari,
bayangan lain muncul:
Michael Jackson mengenakan fedora putih,
meluncur ke depan dengan anti-gravity lean.
Siluetnya seperti tokoh malaikat jatuh
yang memilih menjadi legenda
daripada mati sebagai manusia biasa.
“Beat it,” bisik MJ dalam seringai misterius,
seakan menantang siapa saja yang berani
menghalangi takdirnya.
“Smooth criminal,” lanjutnya,
seakan menegaskan bahwa kehidupan adalah
perampokan yang dilakukan
oleh waktu terhadap tubuh manusia.
Sang Penari menutup mata.
Ia menari.
Ia hanyut.
Ia memutar lingkaran-lingkaran mitos,
mengumpulkan semua tarian dari zaman ke zaman
dalam satu tubuh yang retak.
Dan ketika ia membuka mata,
ia sudah berada di pesta yang tak pernah tidur—
rumah megah Fitzgerald,
dengan lampu-lampu Gatsby
berkedip seakan dunia tak akan pernah runtuh.
Namun ia tahu:
di balik pesta, selalu ada reruntuhan.
Di balik tarian, selalu ada kubur.
Di balik tubuh, selalu ada hantu.
Dan semua itu menyatu
dalam satu tarikan nafas.
Agustus 2025”
―
“Sang Penari
IV – Wawancara dengan Malaikat Pencabut Nyawa
Ia duduk sendirian
di sebuah ruang tunggu yang tampak seperti speakeasy
era 1920-an.
Musik jazz mendesing,
lampu gantung berayun pelan,
dan kaca-kaca retak memantulkan wajahnya
seolah ia tak pernah sepenuhnya hadir.
Di sofa merah yang terlalu empuk,
duduklah Malaikat Pencabut Nyawa.
Bukan bersayap.
Bukan bersenjata.
Hanya mengenakan jas putih
seperti Gatsby sedang menunggu Daisy
yang tak akan pernah datang.
“Duduklah,” katanya.
Suaranya lembut,
seperti suara narator Kawabata
ketika membaca kalimat tentang kesepian.
“Engkau menari seperti orang yang ingin melupakan.”
Sang Penari menggigit bibir.
“Bukankah semua tarian adalah pelarian?”
Malaikat itu tersenyum samar.
“Tidak. Beberapa tarian adalah pengakuan.”
Hening jatuh.
Hening yang menyerupai jeda sebelum tembakan
di akhir adegan Smooth Criminal.
“Lalu tarian yang mana yang kulakukan?”
“Yang membuatmu retak,” jawabnya,
seperti seorang psikoanalis
yang baru saja menemukan trauma inti.
Sang Penari tak tahu apakah ia harus marah atau menangis.
Ia hanya menatap ke arah panggung kosong,
di mana bayangannya sendiri
melakukan gerakan “twist” Pulp Fiction
tanpa tubuh, tanpa wajah,
hanya ritme yang memudar.
“Apakah aku akan mati?”
tanyanya.
Malaikat itu mengangkat bahu.
“Semua orang akan mati.
Pertanyaannya adalah:
apakah engkau ingin mati sebagai manusia yang menari,
atau sebagai tubuh yang berhenti bergerak
tanpa pernah tahu apa artinya hidup?”
Tiba-tiba suasana berubah.
Lampu-lampu padam.
Satu sorot tunggal menyorot panggung.
Malaikat itu menepuk tangan.
“Ini audisi terakhirmu.”
Di panggung, bayangan Degas muncul:
ballerina yang letih,
menjatuhkan kepalanya di atas selendang.
Lalu Matisse:
warna merah, biru, kuning
meledak seperti ledakan batin
yang tak bisa ia jinakkan.
Lalu muncul MJ lagi—
kali ini lebih gelap,
lebih menyerupai siluet,
lebih seperti dewa pergerakan
yang memanggilnya:
"Come on. Show me your last move."
Sang Penari melangkah ke depan.
Ia menari:
sedikit twist ala Mia Wallace,
sedikit slide ala Gene Kelly,
sedikit lean ala MJ,
sedikit patahan tubuh ala Degas,
sedikit ledakan warna ala Matisse.
Tubuhnya menjadi arsip segala tarian dunia.
Menjadi museum luka.
Menjadi perayaan.
Menjadi ratapan.
Dan ketika tarian itu selesai,
Malaikat itu berdiri.
Bertepuk tangan.
Pelan.
Menyakitkan.
“Sekarang aku tahu,” katanya.
“Apa?”
“Engkau menari bukan untuk menjadi abadi.
Engkau menari untuk mengembalikan dirimu
dari segala kenangan yang
telah mencuri hidupmu.”
Sang Penari terdiam.
Napasnya membatu.
Dadanya retak oleh sesuatu yang bukan penyakit.
“Dan apakah aku sudah kembali?”
Malaikat itu menggeleng lembut.
“Belum.
Tapi aku akan memberitahumu,
ini adalah titik di mana
engkau menghilang.”
Agustus 2025”
―
IV – Wawancara dengan Malaikat Pencabut Nyawa
Ia duduk sendirian
di sebuah ruang tunggu yang tampak seperti speakeasy
era 1920-an.
Musik jazz mendesing,
lampu gantung berayun pelan,
dan kaca-kaca retak memantulkan wajahnya
seolah ia tak pernah sepenuhnya hadir.
Di sofa merah yang terlalu empuk,
duduklah Malaikat Pencabut Nyawa.
Bukan bersayap.
Bukan bersenjata.
Hanya mengenakan jas putih
seperti Gatsby sedang menunggu Daisy
yang tak akan pernah datang.
“Duduklah,” katanya.
Suaranya lembut,
seperti suara narator Kawabata
ketika membaca kalimat tentang kesepian.
“Engkau menari seperti orang yang ingin melupakan.”
Sang Penari menggigit bibir.
“Bukankah semua tarian adalah pelarian?”
Malaikat itu tersenyum samar.
“Tidak. Beberapa tarian adalah pengakuan.”
Hening jatuh.
Hening yang menyerupai jeda sebelum tembakan
di akhir adegan Smooth Criminal.
“Lalu tarian yang mana yang kulakukan?”
“Yang membuatmu retak,” jawabnya,
seperti seorang psikoanalis
yang baru saja menemukan trauma inti.
Sang Penari tak tahu apakah ia harus marah atau menangis.
Ia hanya menatap ke arah panggung kosong,
di mana bayangannya sendiri
melakukan gerakan “twist” Pulp Fiction
tanpa tubuh, tanpa wajah,
hanya ritme yang memudar.
“Apakah aku akan mati?”
tanyanya.
Malaikat itu mengangkat bahu.
“Semua orang akan mati.
Pertanyaannya adalah:
apakah engkau ingin mati sebagai manusia yang menari,
atau sebagai tubuh yang berhenti bergerak
tanpa pernah tahu apa artinya hidup?”
Tiba-tiba suasana berubah.
Lampu-lampu padam.
Satu sorot tunggal menyorot panggung.
Malaikat itu menepuk tangan.
“Ini audisi terakhirmu.”
Di panggung, bayangan Degas muncul:
ballerina yang letih,
menjatuhkan kepalanya di atas selendang.
Lalu Matisse:
warna merah, biru, kuning
meledak seperti ledakan batin
yang tak bisa ia jinakkan.
Lalu muncul MJ lagi—
kali ini lebih gelap,
lebih menyerupai siluet,
lebih seperti dewa pergerakan
yang memanggilnya:
"Come on. Show me your last move."
Sang Penari melangkah ke depan.
Ia menari:
sedikit twist ala Mia Wallace,
sedikit slide ala Gene Kelly,
sedikit lean ala MJ,
sedikit patahan tubuh ala Degas,
sedikit ledakan warna ala Matisse.
Tubuhnya menjadi arsip segala tarian dunia.
Menjadi museum luka.
Menjadi perayaan.
Menjadi ratapan.
Dan ketika tarian itu selesai,
Malaikat itu berdiri.
Bertepuk tangan.
Pelan.
Menyakitkan.
“Sekarang aku tahu,” katanya.
“Apa?”
“Engkau menari bukan untuk menjadi abadi.
Engkau menari untuk mengembalikan dirimu
dari segala kenangan yang
telah mencuri hidupmu.”
Sang Penari terdiam.
Napasnya membatu.
Dadanya retak oleh sesuatu yang bukan penyakit.
“Dan apakah aku sudah kembali?”
Malaikat itu menggeleng lembut.
“Belum.
Tapi aku akan memberitahumu,
ini adalah titik di mana
engkau menghilang.”
Agustus 2025”
―
“SANG PENARI
V — Wirasa para Bayang Penanda
Pada malam di mana kota kehilangan listrik
dan cahaya hanya datang dari bara rokok para gelandangan,
Sang Penari memasuki ruang kosong
yang seakan dibangun dari gema ribuan panggung yang pernah runtuh.
Di sana, bayang-bayang empat maestro dunia
menunggu seperti para begawan dari peradaban yang jauh lebih tua.
—Mata kosong dari Teater Noh — “Hannya”—
Topeng iblis perempuan dari Jepang kuno itu
menggantung di udara seperti wajah kesedihan yang diawetkan.
Setiap denting langkah Sang Penari
menghidupkan memori ratusan aktor
yang pernah mengabdi pada ritual panggung
yang mengaburkan batas antara tubuh dan arwah.
Hannya berbisik:
“Kemarahan yang kau sembunyikan adalah dewa yang kelaparan.”
Dan Sang Penari pun bergerak
seolah sedang kerasukan,
memanggil monster yang ia takutkan.
—Bayang Lorca di Granada—
Dari kejauhan terlihat siluet Federico García Lorca,
penyair yang mati karena rezim yang membenci imajinasi.
Tubuhnya yang tak ditemukan
mengirimkan resonansi gelap ke dalam tarian itu.
Ia membawa gitar patah,
dan setiap petikan memanggil ingatan perang saudara
yang pernah memakan generasi muda Spanyol.
“Tarianmu bukan hiburan,” katanya,
“itu adalah pemberontakan sunyi terhadap sejarah yang lupa belajar.”
Sang Penari menekuk tubuhnya
seperti ingin memecahkan waktu
dan dari gerakan itu terpancar bintang-bintang.
—Siluet Anna Pavlova — The Dying Swan—
Dari kabut lampu panggung, muncul bayang ratu balet itu,
gaunnya tampak koyak, sayap putihnya hitam terbakar
seperti burung yang gagal melintasi api neraka.
Ia menari pelan,
penuh luka yang dilipat-lipat menjadi keanggunan.
“Tak ada kecantikan yang lahir dari kemenangan,”
bisiknya seperti bulu angsa yang tercerabut dari akarnya.
“Kecantikan hanya lahir dari kehancuran yang kau terima tanpa menunduk.”
Dan Sang Penari mengikuti geraknya:
sebuah tarian kematian yang memurnikan diri.
—Bayang Bhairava — Penari Kosmik India—
Dari dasar ruangan muncul langkah-langkah keras
dari Bhairava, aspek tergelap dari Śiva,
penari yang menari untuk menghancurkan dunia
agar dunia dapat dilahirkan kembali.
Rambut gimbalnya menyulut angin hitam,
lonceng-lonceng di pergelangan kakinya
menggetarkan mimpi buruk yang sejak lama ia tinggalkan.
“Kalau kau ingin hidup baru,” suara Bhairava membelah udara,
“tarianmu harus membinasakan dirimu yang lama.”
Dan Sang Penari mulai berputar dengan sangat cepat,
meninggalkan serpih-serpih identitas yang terlepas dari tubuhnya
seperti sisik ular yang terkelupas.
Agustus 2025”
―
V — Wirasa para Bayang Penanda
Pada malam di mana kota kehilangan listrik
dan cahaya hanya datang dari bara rokok para gelandangan,
Sang Penari memasuki ruang kosong
yang seakan dibangun dari gema ribuan panggung yang pernah runtuh.
Di sana, bayang-bayang empat maestro dunia
menunggu seperti para begawan dari peradaban yang jauh lebih tua.
—Mata kosong dari Teater Noh — “Hannya”—
Topeng iblis perempuan dari Jepang kuno itu
menggantung di udara seperti wajah kesedihan yang diawetkan.
Setiap denting langkah Sang Penari
menghidupkan memori ratusan aktor
yang pernah mengabdi pada ritual panggung
yang mengaburkan batas antara tubuh dan arwah.
Hannya berbisik:
“Kemarahan yang kau sembunyikan adalah dewa yang kelaparan.”
Dan Sang Penari pun bergerak
seolah sedang kerasukan,
memanggil monster yang ia takutkan.
—Bayang Lorca di Granada—
Dari kejauhan terlihat siluet Federico García Lorca,
penyair yang mati karena rezim yang membenci imajinasi.
Tubuhnya yang tak ditemukan
mengirimkan resonansi gelap ke dalam tarian itu.
Ia membawa gitar patah,
dan setiap petikan memanggil ingatan perang saudara
yang pernah memakan generasi muda Spanyol.
“Tarianmu bukan hiburan,” katanya,
“itu adalah pemberontakan sunyi terhadap sejarah yang lupa belajar.”
Sang Penari menekuk tubuhnya
seperti ingin memecahkan waktu
dan dari gerakan itu terpancar bintang-bintang.
—Siluet Anna Pavlova — The Dying Swan—
Dari kabut lampu panggung, muncul bayang ratu balet itu,
gaunnya tampak koyak, sayap putihnya hitam terbakar
seperti burung yang gagal melintasi api neraka.
Ia menari pelan,
penuh luka yang dilipat-lipat menjadi keanggunan.
“Tak ada kecantikan yang lahir dari kemenangan,”
bisiknya seperti bulu angsa yang tercerabut dari akarnya.
“Kecantikan hanya lahir dari kehancuran yang kau terima tanpa menunduk.”
Dan Sang Penari mengikuti geraknya:
sebuah tarian kematian yang memurnikan diri.
—Bayang Bhairava — Penari Kosmik India—
Dari dasar ruangan muncul langkah-langkah keras
dari Bhairava, aspek tergelap dari Śiva,
penari yang menari untuk menghancurkan dunia
agar dunia dapat dilahirkan kembali.
Rambut gimbalnya menyulut angin hitam,
lonceng-lonceng di pergelangan kakinya
menggetarkan mimpi buruk yang sejak lama ia tinggalkan.
“Kalau kau ingin hidup baru,” suara Bhairava membelah udara,
“tarianmu harus membinasakan dirimu yang lama.”
Dan Sang Penari mulai berputar dengan sangat cepat,
meninggalkan serpih-serpih identitas yang terlepas dari tubuhnya
seperti sisik ular yang terkelupas.
Agustus 2025”
―
“Sang Penari
VI — Perjumpaan Puncak — Litani Penanggalan Roh—
Keempat empu itu mengitari Sang Penari seperti konstelasi gelap yang menolak memberikan arah.
Topeng Hannya—membuka rahasia luka batin yang ia simpan sejak remaja.
Lorca—memberinya bahasa untuk mengutuk ketidakadilan yang ia alami.
Pavlova—mengajarinya bahwa keanggunan adalah bentuk terakhir dari keputusasaan.
Bhairava—menuntut ia menghabisi semua bentuk “aku” yang masih ia genggam.
Sang Penari bergerak di tengah mereka,
gerakannya membentuk huruf-huruf tak dikenal
seperti alfabet kuno dari peradaban yang hilang.
Ia menari sampai tubuhnya bukan tubuh,
waktu bukan waktu,
dan seluruh ruangan berubah menjadi ruang batin.
Di puncak putaran terakhir,
ia merasakan dirinya terbelah:
separuh menjadi angin,
separuh menjadi debu,
separuh lagi menjadi sesuatu yang tak memiliki wujud
namun menyimpan kecerdasan tak terlukiskan.
Dan tiba-tiba, sunyi.
Hannya jatuh menjadi topeng kosong.
Lorca lenyap seperti tembakan yang tak punya peluru.
Pavlova memudar menjadi serbuk putih.
Bhairava kembali menjadi cahaya merah gelap
yang mengalir ke tanah seperti darah dari dimensi lain.
Sang Penari berdiri sendirian.
Tapi ia bukan lagi manusia.
Ia adalah penanda,
arsip hidup tentang apa yang terjadi
ketika seseorang menari sampai inti jiwanya menghilang.
Dan dari ruang gelap itu,
sebuah suara tanpa bentuk terdengar:
“Kini kau bukan lagi penari.
Kau adalah tarian itu sendiri.”
Agustus 2025”
―
VI — Perjumpaan Puncak — Litani Penanggalan Roh—
Keempat empu itu mengitari Sang Penari seperti konstelasi gelap yang menolak memberikan arah.
Topeng Hannya—membuka rahasia luka batin yang ia simpan sejak remaja.
Lorca—memberinya bahasa untuk mengutuk ketidakadilan yang ia alami.
Pavlova—mengajarinya bahwa keanggunan adalah bentuk terakhir dari keputusasaan.
Bhairava—menuntut ia menghabisi semua bentuk “aku” yang masih ia genggam.
Sang Penari bergerak di tengah mereka,
gerakannya membentuk huruf-huruf tak dikenal
seperti alfabet kuno dari peradaban yang hilang.
Ia menari sampai tubuhnya bukan tubuh,
waktu bukan waktu,
dan seluruh ruangan berubah menjadi ruang batin.
Di puncak putaran terakhir,
ia merasakan dirinya terbelah:
separuh menjadi angin,
separuh menjadi debu,
separuh lagi menjadi sesuatu yang tak memiliki wujud
namun menyimpan kecerdasan tak terlukiskan.
Dan tiba-tiba, sunyi.
Hannya jatuh menjadi topeng kosong.
Lorca lenyap seperti tembakan yang tak punya peluru.
Pavlova memudar menjadi serbuk putih.
Bhairava kembali menjadi cahaya merah gelap
yang mengalir ke tanah seperti darah dari dimensi lain.
Sang Penari berdiri sendirian.
Tapi ia bukan lagi manusia.
Ia adalah penanda,
arsip hidup tentang apa yang terjadi
ketika seseorang menari sampai inti jiwanya menghilang.
Dan dari ruang gelap itu,
sebuah suara tanpa bentuk terdengar:
“Kini kau bukan lagi penari.
Kau adalah tarian itu sendiri.”
Agustus 2025”
―
“Variasi Suluk Tambangraras
Buku Kesembilan
: Elizabeth D. Inandiak
Inilah jantra sang Amongraga:
sedhakep awe-awe.
Serupa lintah yang lapar dan haus tenggelam dalam api samadi,
pulut ngelangut dalam pertapaan, terbuai bunyi gending Ladrang Rarangis. Tembang lamat-lamat mengalun,
batin lanjur tercebur dalam suara kidung Tri Kawula Gusana.
Seperti getah memikat balam, mambang terbang ngawang uwung ke jantung pulung.
Merangsek rubeda. Menjimak paksa ruda pari peksa Randa Sembada.
Matak aji jaran goyang: memagut bibir, menggerayang pinggang, meremas sintal buah dada.
Sungguh tiada beda watak manusia atau kera.
Jati ketlusupan ruyung.
Seratus lembing memburai usus menembus jantung.
Merasuk mabuk di bantun kidung Catur Wanara Rukem.
Gamelan sakti mengukir mimpi, memaksa turun dewi hapsari,
melucuti pakaian yang dikenakannya satu persatu.
Basah lidah menganak tuak.
Sloki demi sloki menantang mati.
Pada bunyi gong ke-12
kidung Sapta Kukila Wresa,
melupa umur, mengulur timba sembarang sumur.
Lupa japa segala mantra.
Lupa jampi segala kendi.
Di tempur Sungai Centhini
muntah api segala farji.
Rubuh segala tubuh.
Muspra segala radi.
Obah polah segala salah.
Singkap segala wadi.
Klenthing wadhah masin.
Bergaung kidung Nawa Wagra Lupa, menjelmalah ia jadi ular sawah yang menelan mentah-mentah seratus gajah. Bumi berputar bagai gasingan.
Bulan berjumpalitan seperti monyet kena tulup.
Sepuluh liman gergasi terkapar mati digempur nafsu tiada terbendung.
Tapi belum lagi usai kidung pamungkas, diteluhnya purusa lingga sang gandarwa hingga mengejang di sela-sela paha. Lembing mendesing menembus langit, telanjur kepayang menunggangi malam. Menyungsang batang pisang, memamah daun keladi.
Mabuk berat menimba hasrat,
hingga muncrat segala hayat.
Maret 2011”
―
Buku Kesembilan
: Elizabeth D. Inandiak
Inilah jantra sang Amongraga:
sedhakep awe-awe.
Serupa lintah yang lapar dan haus tenggelam dalam api samadi,
pulut ngelangut dalam pertapaan, terbuai bunyi gending Ladrang Rarangis. Tembang lamat-lamat mengalun,
batin lanjur tercebur dalam suara kidung Tri Kawula Gusana.
Seperti getah memikat balam, mambang terbang ngawang uwung ke jantung pulung.
Merangsek rubeda. Menjimak paksa ruda pari peksa Randa Sembada.
Matak aji jaran goyang: memagut bibir, menggerayang pinggang, meremas sintal buah dada.
Sungguh tiada beda watak manusia atau kera.
Jati ketlusupan ruyung.
Seratus lembing memburai usus menembus jantung.
Merasuk mabuk di bantun kidung Catur Wanara Rukem.
Gamelan sakti mengukir mimpi, memaksa turun dewi hapsari,
melucuti pakaian yang dikenakannya satu persatu.
Basah lidah menganak tuak.
Sloki demi sloki menantang mati.
Pada bunyi gong ke-12
kidung Sapta Kukila Wresa,
melupa umur, mengulur timba sembarang sumur.
Lupa japa segala mantra.
Lupa jampi segala kendi.
Di tempur Sungai Centhini
muntah api segala farji.
Rubuh segala tubuh.
Muspra segala radi.
Obah polah segala salah.
Singkap segala wadi.
Klenthing wadhah masin.
Bergaung kidung Nawa Wagra Lupa, menjelmalah ia jadi ular sawah yang menelan mentah-mentah seratus gajah. Bumi berputar bagai gasingan.
Bulan berjumpalitan seperti monyet kena tulup.
Sepuluh liman gergasi terkapar mati digempur nafsu tiada terbendung.
Tapi belum lagi usai kidung pamungkas, diteluhnya purusa lingga sang gandarwa hingga mengejang di sela-sela paha. Lembing mendesing menembus langit, telanjur kepayang menunggangi malam. Menyungsang batang pisang, memamah daun keladi.
Mabuk berat menimba hasrat,
hingga muncrat segala hayat.
Maret 2011”
―
“Variasi Suluk: Suara yang Tersesat dalam Tubuh
Ada suara lama yang memanggilmu.
Bukan tembang, bukan kidung,
melainkan gema yang kehilangan asal-usulnya,
mengambang di udara seperti serpihan mimpi
yang tak pernah selesai ditidurkan.
Kau mencoba menjadikannya doa.
Tapi setiap doa adalah luka yang belum sembuh;
ia menetes di antara sela-sela tulang,
merembes perlahan
ke sumur gelap yang kau gali selama bertahun-tahun.
Tubuhmu,
yang dulu kau banggakan sebagai altar,
kini tinggal reruntuhan yang memantulkan kembali
semua hasrat yang kau kira telah kau jinakkan.
Ia berdengung pelan,
seperti mesin tua yang dipaksa hidup
di tengah badai yang tak memilih korban.
Kau menyebutnya laku.
Padahal lebih tepat disebut pelarian.
Segala mantra yang kau pacu ke langit
jatuh kembali ke wajahmu,
meninggalkan jelaga tipis
yang tak pernah sempat kau bersihkan.
Ada malam-malam
ketika engkau merasa disentuh sesuatu
yang lebih tua dari dirimu sendiri.
Bukan dewa,
bukan malaikat,
hanya bayang yang ingin
menumpang tidur
di tubuh yang kau biarkan terbuka.
Setiap keinginan
meninggalkan lubang baru.
Setiap lubang
menuntut satu lagi bagian dari dirimu.
Begitu seterusnya,
hingga kau tak tahu lagi
mana yang lebih dalam:
hasratmu,
atau kehampaan yang memanggilmu pulang.
Ada denting jauh—
suara yang mengingatkanmu
betapa kecilnya engkau
di hadapan gelap yang terus tumbuh.
Gelap itu tidak mengancam.
Ia hanya menunggu.
Seperti seseorang yang tahu
bahwa semua jalan, pada akhirnya,
akan kembali kepadanya.
Kau pernah mengejar ekstase
seperti mengejar cahaya yang jatuh dari langit.
Kini engkau tahu:
setiap cahaya menyisakan abu,
dan abunya menempel di napasmu
sepanjang malam.
Ritual gagal.
Bukan karena kurangnya mantra,
melainkan karena tubuh
tak lagi percaya
pada apa pun selain retakan.
Engkau mencoba melupakan,
tapi bahkan lupa pun
memiliki caranya sendiri untuk mengingat.
Ia mengintai dari balik kelopak mata,
menunggu kau lengah
agar bisa merayap masuk
dan menduduki detak jantungmu.
Pada akhirnya,
semua suara yang kau puja
kembali padamu—
bukan sebagai wahyu,
melainkan sebagai sunyi
yang tak bisa kaubunuh.
Sunyi itu berdiri di ambang pintu,
mengangkat wajahnya perlahan,
dan kau melihat dirimu sendiri
di dalam retakannya.
Tidak ada ekstase.
Tidak ada penebusan.
Hanya tubuh
yang menua di hadapan gelap.
Dan gelap
yang sabar menunggu
kau berhenti melawan.
Desember 2025.”
―
Ada suara lama yang memanggilmu.
Bukan tembang, bukan kidung,
melainkan gema yang kehilangan asal-usulnya,
mengambang di udara seperti serpihan mimpi
yang tak pernah selesai ditidurkan.
Kau mencoba menjadikannya doa.
Tapi setiap doa adalah luka yang belum sembuh;
ia menetes di antara sela-sela tulang,
merembes perlahan
ke sumur gelap yang kau gali selama bertahun-tahun.
Tubuhmu,
yang dulu kau banggakan sebagai altar,
kini tinggal reruntuhan yang memantulkan kembali
semua hasrat yang kau kira telah kau jinakkan.
Ia berdengung pelan,
seperti mesin tua yang dipaksa hidup
di tengah badai yang tak memilih korban.
Kau menyebutnya laku.
Padahal lebih tepat disebut pelarian.
Segala mantra yang kau pacu ke langit
jatuh kembali ke wajahmu,
meninggalkan jelaga tipis
yang tak pernah sempat kau bersihkan.
Ada malam-malam
ketika engkau merasa disentuh sesuatu
yang lebih tua dari dirimu sendiri.
Bukan dewa,
bukan malaikat,
hanya bayang yang ingin
menumpang tidur
di tubuh yang kau biarkan terbuka.
Setiap keinginan
meninggalkan lubang baru.
Setiap lubang
menuntut satu lagi bagian dari dirimu.
Begitu seterusnya,
hingga kau tak tahu lagi
mana yang lebih dalam:
hasratmu,
atau kehampaan yang memanggilmu pulang.
Ada denting jauh—
suara yang mengingatkanmu
betapa kecilnya engkau
di hadapan gelap yang terus tumbuh.
Gelap itu tidak mengancam.
Ia hanya menunggu.
Seperti seseorang yang tahu
bahwa semua jalan, pada akhirnya,
akan kembali kepadanya.
Kau pernah mengejar ekstase
seperti mengejar cahaya yang jatuh dari langit.
Kini engkau tahu:
setiap cahaya menyisakan abu,
dan abunya menempel di napasmu
sepanjang malam.
Ritual gagal.
Bukan karena kurangnya mantra,
melainkan karena tubuh
tak lagi percaya
pada apa pun selain retakan.
Engkau mencoba melupakan,
tapi bahkan lupa pun
memiliki caranya sendiri untuk mengingat.
Ia mengintai dari balik kelopak mata,
menunggu kau lengah
agar bisa merayap masuk
dan menduduki detak jantungmu.
Pada akhirnya,
semua suara yang kau puja
kembali padamu—
bukan sebagai wahyu,
melainkan sebagai sunyi
yang tak bisa kaubunuh.
Sunyi itu berdiri di ambang pintu,
mengangkat wajahnya perlahan,
dan kau melihat dirimu sendiri
di dalam retakannya.
Tidak ada ekstase.
Tidak ada penebusan.
Hanya tubuh
yang menua di hadapan gelap.
Dan gelap
yang sabar menunggu
kau berhenti melawan.
Desember 2025.”
―
“Variasi Suluk Tembang Raras – Genealogi Saras Dialogis
Saras berdiri di ambang pintu yang bahkan tidak ia kenali.
Di belakangnya masa lalu menetes seperti air yang sulit ia tampung;
di depannya masa kini bergetar, kabur, seolah baru saja dicetak dari
bayangan yang salah mengingat dirinya.
Ia tidak tahu pintu mana yang benar.
Ia hanya tahu retakan yang makin melebar itu menggigil,
memanggil sesuatu yang lebih tua dari bahasa,
lebih tajam dari ketakutan.
Maka muncullah suara pertama—dingin, berdebu,
seperti batu yang lama disembunyikan malam.
SUWUNG:
"Kau mencari jawaban, anak waktu.
Namun dirimu sendiri masih bayang di balik kaca.
Mana yang kau pilih: jejak yang tak dapat kembali,
atau dunia yang selalu mengkhianatimu dengan wujud baru?"
Saras menunduk. Ia tidak paham apakah ia sedang ditanya,
atau sedang dihakimi.
Lalu suara kedua muncul—lebih hangat,
lebih manusiawi, tapi tetap menyimpan sesuatu yang liar.
AMONGRAGA:
"Jangan kau kira masa kini lebih benar dari mimpimu.
Tubuhmu menyimpan ingatan yang lebih jujur dari akalmu.
Mengapa kau biarkan logika dan nafsu bertengkar
di ruang sempit dadamu?"
Saras menggigit bibirnya.
Ia tahu suara itu berbicara tentang kegelisahan
yang ia simpan seperti batu panas di bawah lidah:
keinginan untuk melompat ke gelap,
tapi juga ketakutan akan cahaya yang telanjang.
SARAS (berbisik):
"Aku tidak tahu mana aku yang sebenarnya.
Yang di masa lalu terasa asing,
yang di masa kini kabur,
yang di masa depan meragukan.
Semua pintu bagiku seperti ilusi."
Suara Suwung dan Amongraga saling bersilangan,
seperti dua arus sungai yang menolak bercampur.
SUWUNG:
"Itu karena kau terlalu percaya pada batas.
Hitam–putih hanyalah cara dunia memudahkan dirinya sendiri.
Kesadaranmu bukan padat, ia kabut; biarkan ia bentuk dirinya."
AMONGRAGA:
"Namun jangan abaikan tubuhmu.
Tubuh tahu duluan apa yang rohmu sembunyikan.
Tidak semua ilusi adalah kebohongan;
kadang ia hanya anak bungsu dari kenyataan."
Saras terdiam.
Ia tidak ingin menjadi perantara dua dunia;
Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Namun setiap kali ia mencari dirinya,
yang ia temukan adalah paradoks baru.
Suara Suwung merayap lembut:
SUWUNG:
"Ambang adalah rumahmu.
Kau bukan dicipta untuk memilih,
tetapi untuk mengungkap apa yang membuat pilihan itu mungkin."
Suara Amongraga menambahkan:
AMONGRAGA:
"Dan jangan takut pada keinginanmu sendiri.
Kadang nafsu lebih jujur daripada pikiran yang pura-pura bijak."
Saras mengangkat wajahnya.
Untuk pertama kali, ia melihat bahwa retakan itu
bukan ancaman—melainkan peta.
Ia tidak perlu memilih pintu.
Ia adalah pintu itu sendiri.
Dan ketika ia menyadari itu,
suara Suwung dan Amongraga
tidak hilang atau pergi—
mereka kembali diam
di tempat mereka lahir:
kedalaman dirinya sendiri.
Desember 2025”
―
Saras berdiri di ambang pintu yang bahkan tidak ia kenali.
Di belakangnya masa lalu menetes seperti air yang sulit ia tampung;
di depannya masa kini bergetar, kabur, seolah baru saja dicetak dari
bayangan yang salah mengingat dirinya.
Ia tidak tahu pintu mana yang benar.
Ia hanya tahu retakan yang makin melebar itu menggigil,
memanggil sesuatu yang lebih tua dari bahasa,
lebih tajam dari ketakutan.
Maka muncullah suara pertama—dingin, berdebu,
seperti batu yang lama disembunyikan malam.
SUWUNG:
"Kau mencari jawaban, anak waktu.
Namun dirimu sendiri masih bayang di balik kaca.
Mana yang kau pilih: jejak yang tak dapat kembali,
atau dunia yang selalu mengkhianatimu dengan wujud baru?"
Saras menunduk. Ia tidak paham apakah ia sedang ditanya,
atau sedang dihakimi.
Lalu suara kedua muncul—lebih hangat,
lebih manusiawi, tapi tetap menyimpan sesuatu yang liar.
AMONGRAGA:
"Jangan kau kira masa kini lebih benar dari mimpimu.
Tubuhmu menyimpan ingatan yang lebih jujur dari akalmu.
Mengapa kau biarkan logika dan nafsu bertengkar
di ruang sempit dadamu?"
Saras menggigit bibirnya.
Ia tahu suara itu berbicara tentang kegelisahan
yang ia simpan seperti batu panas di bawah lidah:
keinginan untuk melompat ke gelap,
tapi juga ketakutan akan cahaya yang telanjang.
SARAS (berbisik):
"Aku tidak tahu mana aku yang sebenarnya.
Yang di masa lalu terasa asing,
yang di masa kini kabur,
yang di masa depan meragukan.
Semua pintu bagiku seperti ilusi."
Suara Suwung dan Amongraga saling bersilangan,
seperti dua arus sungai yang menolak bercampur.
SUWUNG:
"Itu karena kau terlalu percaya pada batas.
Hitam–putih hanyalah cara dunia memudahkan dirinya sendiri.
Kesadaranmu bukan padat, ia kabut; biarkan ia bentuk dirinya."
AMONGRAGA:
"Namun jangan abaikan tubuhmu.
Tubuh tahu duluan apa yang rohmu sembunyikan.
Tidak semua ilusi adalah kebohongan;
kadang ia hanya anak bungsu dari kenyataan."
Saras terdiam.
Ia tidak ingin menjadi perantara dua dunia;
Ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Namun setiap kali ia mencari dirinya,
yang ia temukan adalah paradoks baru.
Suara Suwung merayap lembut:
SUWUNG:
"Ambang adalah rumahmu.
Kau bukan dicipta untuk memilih,
tetapi untuk mengungkap apa yang membuat pilihan itu mungkin."
Suara Amongraga menambahkan:
AMONGRAGA:
"Dan jangan takut pada keinginanmu sendiri.
Kadang nafsu lebih jujur daripada pikiran yang pura-pura bijak."
Saras mengangkat wajahnya.
Untuk pertama kali, ia melihat bahwa retakan itu
bukan ancaman—melainkan peta.
Ia tidak perlu memilih pintu.
Ia adalah pintu itu sendiri.
Dan ketika ia menyadari itu,
suara Suwung dan Amongraga
tidak hilang atau pergi—
mereka kembali diam
di tempat mereka lahir:
kedalaman dirinya sendiri.
Desember 2025”
―
“Suluk Suwung: Percakapan yang Tak Pernah Selesai Antara Suwung dan Amongraga
1.
AMONGRAGA:
Aku mendengarmu dari jauh—
gema yang berjalan tanpa tubuh,
seperti bayang yang lupa asalnya.
Apa yang kau cari di celah-celah
gelap ini?
SUWUNG:
Aku tidak mencari.
Aku hanya diam.
Diam yang terlalu lama,
hingga berubah menjadi bentuk
yang tak punya nama.
2.
AMONGRAGA:
Diam juga bagian dari suluk.
Ia jembatan menuju terang.
Mengapa kau menjadikannya liang?
SUWUNG:
Karena terangmu terlalu ribut.
Dan setiap mantra yang kau sebut
meninggalkan debu di nafas manusia.
3.
AMONGRAGA:
Aku berjalan dari kidung ke kidung,
dari tubuh ke tubuh,
hingga segala kenikmatan
mengungkit pintu-pintu wahyu.
SUWUNG:
Aku tahu.
Itulah jejak yang kau tinggalkan
di dada sejarah.
Tapi apa yang kau temukan?
Selain tubuh yang terus meminta
tanpa pernah selesai?
4.
AMONGRAGA:
Aku mencari puncak.
Puncak yang melampaui dunia.
Di sanalah aku menanggalkan daging
seperti menanggalkan bayang-bayangku.
SUWUNG:
Dan aku mencari dasar.
Dasar yang menelan dunia.
Dasar tempat segala suara berhenti
dan hanya retakan yang berbicara.
5.
AMONGRAGA:
Retakan juga bisa menjadi jendela.
Mengapa kau memilih menjadikannya rumah?
SUWUNG:
Karena rumah yang kau buat
ditopang oleh api.
Aku lelah menjadi tubuh
yang terus kau bakar
demi sebuah cahaya
yang tak pernah sampai.
6.
AMONGRAGA:
Lalu mengapa kau datang padaku?
Mengapa engkau memanggil namaku
dari jauh—
seperti anak yang kehilangan jalan pulang?
SUWUNG:
Aku ingin tahu
apakah seseorang sepertimu
pernah merasa kosong.
Atau kau memang menutupinya
dengan nyala yang memabukkan.
7.
AMONGRAGA:
Aku tak pernah kosong.
Aku penuh.
Penuh dengan bunyi,
dengan tubuh-tubuh,
dengan api yang naik turun
seperti nafas yang tak mau padam.
SUWUNG:
Maka di sanalah perbedaan kita.
Engkau penuh.
Dan aku kosong.
Tapi keduanya
sama-sama tak menjawab
apa-apa.
8.
AMONGRAGA:
Apa itu yang kau sebut suwung?
Hening yang menolak segala bentuk?
SUWUNG:
Suwung adalah tempat
di mana setiap jawaban
mati sebelum sempat disebutkan.
Sebuah ruang
yang tidak ingin menang.
Tidak ingin selamat.
Tidak ingin terlahir kembali.
9.
AMONGRAGA:
Jika begitu, apa yang kau inginkan dariku?
SUWUNG:
Aku ingin melihat
apa yang tetap berada pada dirimu
ketika seluruh kidungmu
aku bungkam.
Ketika seluruh tubuhmu
aku lepaskan.
Ketika seluruh cahaya
aku padamkan.
10.
AMONGRAGA:
Dan apa yang kau lihat?
SUWUNG:
Hanya satu hal:
bahwa bahkan engkau pun,
pada akhirnya,
adalah pintu yang tidak menuju
siapa-siapa.
11.
AMONGRAGA:
Jika aku pintu,
maka mengapa engkau tidak masuk?
SUWUNG:
Karena tidak ada apa pun di dalam.
Dan tidak ada apa pun di luar.
Yang ada hanyalah aku.
Dan bahkan aku
tidak sedang mencari diriku sendiri.
12.
AMONGRAGA:
Kalau begitu,
mengapa engkau tetap berdiri
di ambangku?
SUWUNG:
Karena di antara terangmu yang berisik
dan gelapku yang sunyi,
ambang adalah satu-satunya tempat
yang tidak memaksaku memilih.
13.
AMONGRAGA:
Engkau suluk yang patah.
Suluk yang menolak puncak.
SUWUNG:
Dan engkau
adalah doa yang terlalu keras
hingga lupa
bagaimana cara menjadi sunyi.
Desember 2025”
―
1.
AMONGRAGA:
Aku mendengarmu dari jauh—
gema yang berjalan tanpa tubuh,
seperti bayang yang lupa asalnya.
Apa yang kau cari di celah-celah
gelap ini?
SUWUNG:
Aku tidak mencari.
Aku hanya diam.
Diam yang terlalu lama,
hingga berubah menjadi bentuk
yang tak punya nama.
2.
AMONGRAGA:
Diam juga bagian dari suluk.
Ia jembatan menuju terang.
Mengapa kau menjadikannya liang?
SUWUNG:
Karena terangmu terlalu ribut.
Dan setiap mantra yang kau sebut
meninggalkan debu di nafas manusia.
3.
AMONGRAGA:
Aku berjalan dari kidung ke kidung,
dari tubuh ke tubuh,
hingga segala kenikmatan
mengungkit pintu-pintu wahyu.
SUWUNG:
Aku tahu.
Itulah jejak yang kau tinggalkan
di dada sejarah.
Tapi apa yang kau temukan?
Selain tubuh yang terus meminta
tanpa pernah selesai?
4.
AMONGRAGA:
Aku mencari puncak.
Puncak yang melampaui dunia.
Di sanalah aku menanggalkan daging
seperti menanggalkan bayang-bayangku.
SUWUNG:
Dan aku mencari dasar.
Dasar yang menelan dunia.
Dasar tempat segala suara berhenti
dan hanya retakan yang berbicara.
5.
AMONGRAGA:
Retakan juga bisa menjadi jendela.
Mengapa kau memilih menjadikannya rumah?
SUWUNG:
Karena rumah yang kau buat
ditopang oleh api.
Aku lelah menjadi tubuh
yang terus kau bakar
demi sebuah cahaya
yang tak pernah sampai.
6.
AMONGRAGA:
Lalu mengapa kau datang padaku?
Mengapa engkau memanggil namaku
dari jauh—
seperti anak yang kehilangan jalan pulang?
SUWUNG:
Aku ingin tahu
apakah seseorang sepertimu
pernah merasa kosong.
Atau kau memang menutupinya
dengan nyala yang memabukkan.
7.
AMONGRAGA:
Aku tak pernah kosong.
Aku penuh.
Penuh dengan bunyi,
dengan tubuh-tubuh,
dengan api yang naik turun
seperti nafas yang tak mau padam.
SUWUNG:
Maka di sanalah perbedaan kita.
Engkau penuh.
Dan aku kosong.
Tapi keduanya
sama-sama tak menjawab
apa-apa.
8.
AMONGRAGA:
Apa itu yang kau sebut suwung?
Hening yang menolak segala bentuk?
SUWUNG:
Suwung adalah tempat
di mana setiap jawaban
mati sebelum sempat disebutkan.
Sebuah ruang
yang tidak ingin menang.
Tidak ingin selamat.
Tidak ingin terlahir kembali.
9.
AMONGRAGA:
Jika begitu, apa yang kau inginkan dariku?
SUWUNG:
Aku ingin melihat
apa yang tetap berada pada dirimu
ketika seluruh kidungmu
aku bungkam.
Ketika seluruh tubuhmu
aku lepaskan.
Ketika seluruh cahaya
aku padamkan.
10.
AMONGRAGA:
Dan apa yang kau lihat?
SUWUNG:
Hanya satu hal:
bahwa bahkan engkau pun,
pada akhirnya,
adalah pintu yang tidak menuju
siapa-siapa.
11.
AMONGRAGA:
Jika aku pintu,
maka mengapa engkau tidak masuk?
SUWUNG:
Karena tidak ada apa pun di dalam.
Dan tidak ada apa pun di luar.
Yang ada hanyalah aku.
Dan bahkan aku
tidak sedang mencari diriku sendiri.
12.
AMONGRAGA:
Kalau begitu,
mengapa engkau tetap berdiri
di ambangku?
SUWUNG:
Karena di antara terangmu yang berisik
dan gelapku yang sunyi,
ambang adalah satu-satunya tempat
yang tidak memaksaku memilih.
13.
AMONGRAGA:
Engkau suluk yang patah.
Suluk yang menolak puncak.
SUWUNG:
Dan engkau
adalah doa yang terlalu keras
hingga lupa
bagaimana cara menjadi sunyi.
Desember 2025”
―
“KISAH KAKTUS DARI 6 TARIKAN NAPAS
1. Kidung Duri yang Direbus Matahari (Historical—Politics)
Kaktus tumbuh dari bara,
dari dada bumi yang retak oleh lapar
dan dahaga yang diseret angin.
Ia berdiri seperti—lelaki hijau—
menyimpan segenggam air
seperti seorang ibu menyimpan roti
untuk anak satu-satunya.
Duri-durinya mengingatkan aku
pada teriakan pedagang garam,
pada nyanyian buruh nelayan
yang patah di bawah peluit penguasa.
Kaktus, tubuh kecil yang keras,
yang tetap hidup
ketika cinta laki-laki
diseret banjir sejarah.
Ia menyimpan matahari
begitu lama
hingga panasnya menjadi bahasa,
dan aku membaca padanya
sebuah puisi yang tak menginginkan
apa pun
selain bertahan dari luka,
bertahan dengan cara
paling indah.
2. Kesunyian Sukubus Hijau
(Dialectical—Paradox)
Di tengah gurun yang gemetar,
kaktus memanggul diam.
Di dalam diam itu
mengalir jam pasir yang balik,
menghapus langkah-langkah
yang belum sempat kita buat.
Duri adalah kata
yang menahan napasnya sendiri.
Luka yang ingin menjadi bahasa,
bahasa yang ingin menjadi tubuh.
Aku mendekat,
dan waktu runtuh
seperti bayangan tanpa raga.
Kaktus membuka ruang—
ruang yang menatapku kembali:
sebuah mata tak bernama
yang mengingatkan
bahwa seluruh rasa sakit
berasal dari ketidaksabaran
untuk menjadi abadi.
Dan di sana
aku melihat wajahku
yang tidak hidup,
tidak mati,
hanya bergerak
seperti pasir dihisap rembulan.
3. Opera Duri Hitam
(Hallucinatory—Symbolism)
Aku melihatnya:
sebuah menara hijau yang terbakar
di padang pasir violet,
tempat angin berteriak
dengan lidah logam.
Kaktus itu bangkit
dari mimpi setan mabuk,
mengibar seperti bendera
yang pernah dicium matahari hitam.
Duri-durinya melesat—
meteor kecil
yang menyanyikan napalm.
Aku mendengar gelaknya,
gelak anak yatim
yang menelan badai.
Dan ketika bayanganku
mencoba pulang,
kaktus itu menelannya,
membuatku tercerai
menjadi warna-warna
yang tidak dikenal bunga mana pun.
Aku pun berjalan
tanpa tubuh,
mengikuti kaktus
seperti nabi gila
yang kehilangan kitabnya
di bawah jam yang menembak
dengan peluru cahaya.”
―
1. Kidung Duri yang Direbus Matahari (Historical—Politics)
Kaktus tumbuh dari bara,
dari dada bumi yang retak oleh lapar
dan dahaga yang diseret angin.
Ia berdiri seperti—lelaki hijau—
menyimpan segenggam air
seperti seorang ibu menyimpan roti
untuk anak satu-satunya.
Duri-durinya mengingatkan aku
pada teriakan pedagang garam,
pada nyanyian buruh nelayan
yang patah di bawah peluit penguasa.
Kaktus, tubuh kecil yang keras,
yang tetap hidup
ketika cinta laki-laki
diseret banjir sejarah.
Ia menyimpan matahari
begitu lama
hingga panasnya menjadi bahasa,
dan aku membaca padanya
sebuah puisi yang tak menginginkan
apa pun
selain bertahan dari luka,
bertahan dengan cara
paling indah.
2. Kesunyian Sukubus Hijau
(Dialectical—Paradox)
Di tengah gurun yang gemetar,
kaktus memanggul diam.
Di dalam diam itu
mengalir jam pasir yang balik,
menghapus langkah-langkah
yang belum sempat kita buat.
Duri adalah kata
yang menahan napasnya sendiri.
Luka yang ingin menjadi bahasa,
bahasa yang ingin menjadi tubuh.
Aku mendekat,
dan waktu runtuh
seperti bayangan tanpa raga.
Kaktus membuka ruang—
ruang yang menatapku kembali:
sebuah mata tak bernama
yang mengingatkan
bahwa seluruh rasa sakit
berasal dari ketidaksabaran
untuk menjadi abadi.
Dan di sana
aku melihat wajahku
yang tidak hidup,
tidak mati,
hanya bergerak
seperti pasir dihisap rembulan.
3. Opera Duri Hitam
(Hallucinatory—Symbolism)
Aku melihatnya:
sebuah menara hijau yang terbakar
di padang pasir violet,
tempat angin berteriak
dengan lidah logam.
Kaktus itu bangkit
dari mimpi setan mabuk,
mengibar seperti bendera
yang pernah dicium matahari hitam.
Duri-durinya melesat—
meteor kecil
yang menyanyikan napalm.
Aku mendengar gelaknya,
gelak anak yatim
yang menelan badai.
Dan ketika bayanganku
mencoba pulang,
kaktus itu menelannya,
membuatku tercerai
menjadi warna-warna
yang tidak dikenal bunga mana pun.
Aku pun berjalan
tanpa tubuh,
mengikuti kaktus
seperti nabi gila
yang kehilangan kitabnya
di bawah jam yang menembak
dengan peluru cahaya.”
―
“KISAH KAKTUS DARI 6 TARIKAN NAPAS
4. Cahaya Duri
(Surreal—Minimalism)
Di gurun yang tak berkepala,
sebuah kaktus berdiri.
Sebutlah ia
yang kembali
tanpa pulang.
Padanya,
duri menahan angka—
angka yang gugur
sebelum sempat dikubur.
Air yang disimpan batangnya
adalah nama
yang tidak diucap.
Nama yang mengalir
melalui kebisuan
yang memotong udara
tanpa pisau.
Setiap malam,
kaktus itu menumbuhkan
bayangan baru:
lebih pendek,
lebih hening,
seperti doa
yang kehilangan pemiliknya.
Aku menyentuhnya.
Ia tidak berdarah.
Aku yang berdarah.
5. Pemakan Duri
(Psychic—Introspection)
Kaktus ini—
aku kenal jenisnya.
Tubuh yang tinggal menunggu
siapa yang lebih dulu
menusuk siapa.
Aku melihat diriku
dalam tiap duri:
anak perempuanku yang gemetar
di sudut kamar
ketika jam berdetak
seperti gigi ayahku.
Kaktus memakan matahari
dan kembali dengan
wajah lebih pucat.
Aku memakan durinya
di dalam mimpi,
membiarkan sakitnya
menjadi mahkota kecil
yang kuberi nama
ketabahan.
Dalam batang hijau itu
ada ruang
untuk seluruh tangisku
yang tak pernah keluar.
Maka biarlah ia hidup:
satu-satunya tanaman
yang mengerti
bagaimana luka bisa
menjadi pekerjaan harian.
6. Romansa Kaktus Malam (Tragic—Magic)
Bulan berkibar
di atas gurun Andalusia.
Di sana kaktus bernyanyi—
suara yang dicuri
dari tenggorokan seorang gitano
yang mati muda.
Duri-durinya menari
seperti penari flamenco
tanpa kaki.
Angin membawa
napas hitam
dari kampung-kampung
yang dibakar takdir.
Kaktus memanggilku,
dan aku datang
membawa biola patah
yang masih mengingat
lagu masa kecilku.
Kami menyanyi bersama—
lagu hijau,
lagu sedih,
lagu yang bila kau dengar
akan membuat langit
turun setinggi bahu anak kecil.
Di akhir malam,
kaktus itu mati.
Tetapi suaranya
tinggal di aku,
seperti duende
yang tak mau pergi
dari dada penyair.
Desember 2025”
―
4. Cahaya Duri
(Surreal—Minimalism)
Di gurun yang tak berkepala,
sebuah kaktus berdiri.
Sebutlah ia
yang kembali
tanpa pulang.
Padanya,
duri menahan angka—
angka yang gugur
sebelum sempat dikubur.
Air yang disimpan batangnya
adalah nama
yang tidak diucap.
Nama yang mengalir
melalui kebisuan
yang memotong udara
tanpa pisau.
Setiap malam,
kaktus itu menumbuhkan
bayangan baru:
lebih pendek,
lebih hening,
seperti doa
yang kehilangan pemiliknya.
Aku menyentuhnya.
Ia tidak berdarah.
Aku yang berdarah.
5. Pemakan Duri
(Psychic—Introspection)
Kaktus ini—
aku kenal jenisnya.
Tubuh yang tinggal menunggu
siapa yang lebih dulu
menusuk siapa.
Aku melihat diriku
dalam tiap duri:
anak perempuanku yang gemetar
di sudut kamar
ketika jam berdetak
seperti gigi ayahku.
Kaktus memakan matahari
dan kembali dengan
wajah lebih pucat.
Aku memakan durinya
di dalam mimpi,
membiarkan sakitnya
menjadi mahkota kecil
yang kuberi nama
ketabahan.
Dalam batang hijau itu
ada ruang
untuk seluruh tangisku
yang tak pernah keluar.
Maka biarlah ia hidup:
satu-satunya tanaman
yang mengerti
bagaimana luka bisa
menjadi pekerjaan harian.
6. Romansa Kaktus Malam (Tragic—Magic)
Bulan berkibar
di atas gurun Andalusia.
Di sana kaktus bernyanyi—
suara yang dicuri
dari tenggorokan seorang gitano
yang mati muda.
Duri-durinya menari
seperti penari flamenco
tanpa kaki.
Angin membawa
napas hitam
dari kampung-kampung
yang dibakar takdir.
Kaktus memanggilku,
dan aku datang
membawa biola patah
yang masih mengingat
lagu masa kecilku.
Kami menyanyi bersama—
lagu hijau,
lagu sedih,
lagu yang bila kau dengar
akan membuat langit
turun setinggi bahu anak kecil.
Di akhir malam,
kaktus itu mati.
Tetapi suaranya
tinggal di aku,
seperti duende
yang tak mau pergi
dari dada penyair.
Desember 2025”
―
“RUMAH SUNYI YANG TAK MEMILIKI TUHAN
(Pergulatan Batin Hang Tuah Sebuah Resonansi Metafisik)
Hujan menitik dari atap reyot,
jatuh perlahan ke lantai kayu
seperti detak jantung yang tak percaya
pada hidup yang masih tersisa.
Kamera bergerak menyilang tubuhku,
menangkap butir air
yang tertahan di ujung rambut
—seolah memori enggan jatuh
karena tahu tanah tak lagi suci.
Di sudut gelap,
kulihat Jebat duduk membelakangi cahaya.
Silau senjata di pangkuannya
terasa seperti bisikan dingin
yang tak pernah memilih kata.
“Aku tidak memberontak,” katanya nyaris tak terdengar.
“aku hanya menolak menjadi diam.”
Namun Hang Tuah dalam diriku
masih berdiri seperti batu nisan,
teguh. Terlalu setia pada perintah
yang bahkan tak lagi diyakini langit.
Aku menoleh,
dan dalam pantulan air yang menggenang
kulihat dua wajahku sendiri:
yang satu membeku,
yang satu retak.
Hujan di luar tak lagi turun—
ia seperti menggantung di udara,
ditahan oleh waktu yang membisu.
Dan dalam hening itu,
aku mengerti:
bukan Tuah yang benar,
bukan Jebat yang salah,
bukan dunia yang memilih.
Yang ada hanya jiwa yang mencari
ruang untuk tidak patuh
dan tidak pula membangkang,
tapi sekadar ingin bernafas
tanpa diadili oleh sejarah.
Desember 2014”
―
(Pergulatan Batin Hang Tuah Sebuah Resonansi Metafisik)
Hujan menitik dari atap reyot,
jatuh perlahan ke lantai kayu
seperti detak jantung yang tak percaya
pada hidup yang masih tersisa.
Kamera bergerak menyilang tubuhku,
menangkap butir air
yang tertahan di ujung rambut
—seolah memori enggan jatuh
karena tahu tanah tak lagi suci.
Di sudut gelap,
kulihat Jebat duduk membelakangi cahaya.
Silau senjata di pangkuannya
terasa seperti bisikan dingin
yang tak pernah memilih kata.
“Aku tidak memberontak,” katanya nyaris tak terdengar.
“aku hanya menolak menjadi diam.”
Namun Hang Tuah dalam diriku
masih berdiri seperti batu nisan,
teguh. Terlalu setia pada perintah
yang bahkan tak lagi diyakini langit.
Aku menoleh,
dan dalam pantulan air yang menggenang
kulihat dua wajahku sendiri:
yang satu membeku,
yang satu retak.
Hujan di luar tak lagi turun—
ia seperti menggantung di udara,
ditahan oleh waktu yang membisu.
Dan dalam hening itu,
aku mengerti:
bukan Tuah yang benar,
bukan Jebat yang salah,
bukan dunia yang memilih.
Yang ada hanya jiwa yang mencari
ruang untuk tidak patuh
dan tidak pula membangkang,
tapi sekadar ingin bernafas
tanpa diadili oleh sejarah.
Desember 2014”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
