Psike Quotes
Quotes tagged as "psike"
Showing 1-3 of 3
“Sang Penari—
(Intertextual Reconstruction)
I. Bisikan Kematian
Ia mendengkur dalam rupa awan kelam
Malaikat Azrael turun membisikkan litani terakhirnya
sayap hitam yang rontok seperti bulu-bulu burung Icarus
ketika lilin ambisi mulai menguap
di ketinggian.
Detak nadi yang nyaris tak teraba lagi.
Tatap mata pastor muda memberi sakramen perminyakan,
wajahnya mengingatkan pada Padre Amaro
yang memandang dosa dan kepolosan
sebagai dua sisi pisau yang sama-sama memotong urat nadi.
Gumam doa terdengar seperti elegi yang menangis,
serupa lantunan “Lacrimosa” dari komposisi Requiem D Minor
di gereja reruntuhan pasca perang.
Hunjaman paku di kepala,
penderitaan seperti hujan Ingmar Bergman
di The Seventh Seal—
di mana kematian duduk bermain catur
di atas batu nisan yang dingin.
Tanah basah tergenang lumpur pekat,
tarian brutal menyeretnya ke ingatan masa muda—
seakan ia adalah Nina, angsa hitam nan cantik dan kejam itu
yang tubuhnya menolak tunduk
dan menjadi musuh paling setia.
Ia berdiri di perbatasan:
sungai keruh yang bergolak
dan tebing yang runtuh perlahan
seperti ambang psike pasien Freud yang kesurupan
yang memikul trauma masa kecil
tak pernah diucapkan.
Seekor domba jatuh terbawa arus,
penanda takdir seperti dalam kitab Kejadian—
ia anak yang dikorbankan, tetapi tak ada malaikat yang menahan pisau
di tangan Abraham.
Suara dengkuran itu:
apakah itu suara hewan teraniaya?
atau luka masa kecil yang meminta dilepaskan?
Perjalanan dari ladang kumuh pegunungan,
mengais mimpi di jalan becek menuju stasiun kota.
Dengkuran itu kini terdengar seperti jeritan peluit kereta ala Kill Bill,
penanda pelarian yang tak pernah berakhir.
Pohon pinus berkejar-kejaran
di balik jendela kereta;
bayangan sayap kelam membuntuti,
serupa Dementor dalam mimpi Harry Potter,
penyedot debu sukacita yang hidup dari sampah ketakutan.
Desah sayup-sayup terdengar,
gelas pecah berkeping,
hujan menuruni jembatan—
semuanya tereduksi seperti adegan Tarkovsky
yang memantulkan kenangan setengah-mati.
Hujan yang sama
selalu membawa rumah dalam ingatan:
rumah yang menggigil oleh detak nadi sendiri.
Dengkuran itu menggetarkan bingkai foto di dinding,
membangkitkan masa lalu
dalam rasa sakit yang tak kunjung pergi—
seperti jiwa tokoh-tokoh Dostoyevsky
yang bergentayangan,
kembali pada lukanya sendiri.
Agustus 2026”
―
(Intertextual Reconstruction)
I. Bisikan Kematian
Ia mendengkur dalam rupa awan kelam
Malaikat Azrael turun membisikkan litani terakhirnya
sayap hitam yang rontok seperti bulu-bulu burung Icarus
ketika lilin ambisi mulai menguap
di ketinggian.
Detak nadi yang nyaris tak teraba lagi.
Tatap mata pastor muda memberi sakramen perminyakan,
wajahnya mengingatkan pada Padre Amaro
yang memandang dosa dan kepolosan
sebagai dua sisi pisau yang sama-sama memotong urat nadi.
Gumam doa terdengar seperti elegi yang menangis,
serupa lantunan “Lacrimosa” dari komposisi Requiem D Minor
di gereja reruntuhan pasca perang.
Hunjaman paku di kepala,
penderitaan seperti hujan Ingmar Bergman
di The Seventh Seal—
di mana kematian duduk bermain catur
di atas batu nisan yang dingin.
Tanah basah tergenang lumpur pekat,
tarian brutal menyeretnya ke ingatan masa muda—
seakan ia adalah Nina, angsa hitam nan cantik dan kejam itu
yang tubuhnya menolak tunduk
dan menjadi musuh paling setia.
Ia berdiri di perbatasan:
sungai keruh yang bergolak
dan tebing yang runtuh perlahan
seperti ambang psike pasien Freud yang kesurupan
yang memikul trauma masa kecil
tak pernah diucapkan.
Seekor domba jatuh terbawa arus,
penanda takdir seperti dalam kitab Kejadian—
ia anak yang dikorbankan, tetapi tak ada malaikat yang menahan pisau
di tangan Abraham.
Suara dengkuran itu:
apakah itu suara hewan teraniaya?
atau luka masa kecil yang meminta dilepaskan?
Perjalanan dari ladang kumuh pegunungan,
mengais mimpi di jalan becek menuju stasiun kota.
Dengkuran itu kini terdengar seperti jeritan peluit kereta ala Kill Bill,
penanda pelarian yang tak pernah berakhir.
Pohon pinus berkejar-kejaran
di balik jendela kereta;
bayangan sayap kelam membuntuti,
serupa Dementor dalam mimpi Harry Potter,
penyedot debu sukacita yang hidup dari sampah ketakutan.
Desah sayup-sayup terdengar,
gelas pecah berkeping,
hujan menuruni jembatan—
semuanya tereduksi seperti adegan Tarkovsky
yang memantulkan kenangan setengah-mati.
Hujan yang sama
selalu membawa rumah dalam ingatan:
rumah yang menggigil oleh detak nadi sendiri.
Dengkuran itu menggetarkan bingkai foto di dinding,
membangkitkan masa lalu
dalam rasa sakit yang tak kunjung pergi—
seperti jiwa tokoh-tokoh Dostoyevsky
yang bergentayangan,
kembali pada lukanya sendiri.
Agustus 2026”
―
“Sang Penari—
(Intertextual Reconstruction)
I. Bisikan Kematian
Ia mendengkur dalam rupa awan kelam
Malaikat Azrael turun membisikkan litani terakhirnya
sayap hitam yang rontok seperti bulu-bulu burung Icarus
ketika lilin ambisi mulai menguap
di ketinggian.
Detak nadi yang nyaris tak teraba lagi.
Tatap mata pastor muda memberi sakramen perminyakan,
wajahnya mengingatkan pada Padre Amaro
yang memandang dosa dan kepolosan
sebagai dua sisi pisau yang sama-sama memotong urat nadi.
Gumam doa terdengar seperti elegi yang menangis,
serupa lantunan “Lacrimosa” dari komposisi Requiem D Minor
di gereja reruntuhan pasca perang.
Hunjaman paku di kepala,
penderitaan seperti hujan Ingmar Bergman
di The Seventh Seal—
di mana kematian duduk bermain catur
di atas batu nisan yang dingin.
Tanah basah tergenang lumpur pekat,
tarian brutal menyeretnya ke ingatan masa muda—
seakan ia adalah Nina, angsa hitam nan cantik dan kejam itu
yang tubuhnya menolak tunduk
dan menjadi musuh paling setia.
Ia berdiri di perbatasan:
sungai keruh yang bergolak
dan tebing yang runtuh perlahan
seperti ambang psike pasien Freud yang kesurupan
yang memikul trauma masa kecil
tak pernah diucapkan.
Seekor domba jatuh terbawa arus,
penanda takdir seperti dalam kitab Kejadian—
ia anak yang dikorbankan, tetapi tak ada malaikat yang menahan pisau
di tangan Abraham.
Suara dengkuran itu:
apakah itu suara hewan teraniaya?
atau luka masa kecil yang meminta dilepaskan?
Perjalanan dari ladang kumuh pegunungan,
mengais mimpi di jalan becek menuju stasiun kota.
Dengkuran itu kini terdengar seperti jeritan peluit kereta ala Kill Bill,
penanda pelarian yang tak pernah berakhir.
Pohon pinus berkejar-kejaran
di balik jendela kereta;
bayangan sayap kelam membuntuti,
serupa Dementor dalam mimpi Harry Potter,
penyedot debu sukacita yang hidup dari sampah ketakutan.
Desah sayup-sayup terdengar,
gelas pecah berkeping,
hujan menuruni jembatan—
semuanya tereduksi seperti adegan Tarkovsky
yang memantulkan kenangan setengah-mati.
Hujan yang sama
selalu membawa rumah dalam ingatan:
rumah yang menggigil oleh detak nadi sendiri.
Dengkuran itu menggetarkan bingkai foto di dinding,
membangkitkan masa lalu
dalam rasa sakit yang tak kunjung pergi—
seperti jiwa tokoh-tokoh Dostoyevsky
yang bergentayangan,
kembali pada lukanya sendiri.
Agustus 2025”
―
(Intertextual Reconstruction)
I. Bisikan Kematian
Ia mendengkur dalam rupa awan kelam
Malaikat Azrael turun membisikkan litani terakhirnya
sayap hitam yang rontok seperti bulu-bulu burung Icarus
ketika lilin ambisi mulai menguap
di ketinggian.
Detak nadi yang nyaris tak teraba lagi.
Tatap mata pastor muda memberi sakramen perminyakan,
wajahnya mengingatkan pada Padre Amaro
yang memandang dosa dan kepolosan
sebagai dua sisi pisau yang sama-sama memotong urat nadi.
Gumam doa terdengar seperti elegi yang menangis,
serupa lantunan “Lacrimosa” dari komposisi Requiem D Minor
di gereja reruntuhan pasca perang.
Hunjaman paku di kepala,
penderitaan seperti hujan Ingmar Bergman
di The Seventh Seal—
di mana kematian duduk bermain catur
di atas batu nisan yang dingin.
Tanah basah tergenang lumpur pekat,
tarian brutal menyeretnya ke ingatan masa muda—
seakan ia adalah Nina, angsa hitam nan cantik dan kejam itu
yang tubuhnya menolak tunduk
dan menjadi musuh paling setia.
Ia berdiri di perbatasan:
sungai keruh yang bergolak
dan tebing yang runtuh perlahan
seperti ambang psike pasien Freud yang kesurupan
yang memikul trauma masa kecil
tak pernah diucapkan.
Seekor domba jatuh terbawa arus,
penanda takdir seperti dalam kitab Kejadian—
ia anak yang dikorbankan, tetapi tak ada malaikat yang menahan pisau
di tangan Abraham.
Suara dengkuran itu:
apakah itu suara hewan teraniaya?
atau luka masa kecil yang meminta dilepaskan?
Perjalanan dari ladang kumuh pegunungan,
mengais mimpi di jalan becek menuju stasiun kota.
Dengkuran itu kini terdengar seperti jeritan peluit kereta ala Kill Bill,
penanda pelarian yang tak pernah berakhir.
Pohon pinus berkejar-kejaran
di balik jendela kereta;
bayangan sayap kelam membuntuti,
serupa Dementor dalam mimpi Harry Potter,
penyedot debu sukacita yang hidup dari sampah ketakutan.
Desah sayup-sayup terdengar,
gelas pecah berkeping,
hujan menuruni jembatan—
semuanya tereduksi seperti adegan Tarkovsky
yang memantulkan kenangan setengah-mati.
Hujan yang sama
selalu membawa rumah dalam ingatan:
rumah yang menggigil oleh detak nadi sendiri.
Dengkuran itu menggetarkan bingkai foto di dinding,
membangkitkan masa lalu
dalam rasa sakit yang tak kunjung pergi—
seperti jiwa tokoh-tokoh Dostoyevsky
yang bergentayangan,
kembali pada lukanya sendiri.
Agustus 2025”
―
“Sang Penari—
(Intertextual Reconstruction)
II. Tarian Terakhir
Hari pertama ia hadir,
seperti hari yang tak pernah berakhir:
menghitung sisa uang
mengulang adegan Travis Bickle dalam Taxi Driver,
mempertaruhkan semuanya
di atas dua dadu yang berdenyut seperti tali nasib.
Harapan kuning keemasan, di atas
angka dua belas, angka tertinggi—
ia menari seperti Salome
yang menuntut kepala Yohanes
dalam satu putaran rahasia.
Lompatan dua kaki membentuk tarian misteri,
melampaui bintang-bintang,
melampaui tubuhnya sendiri:
seperti Frida Kahlo yang menari
dengan tulang punggung retak
namun tetap memaksa hidup memandangnya.
Potret kemasyhuran di dinding,
berkejaran seperti hantu Billie Holiday,
dalam segelas sampanye bersama Marilyn Monroe
yang tersenyum tepat sebelum runtuh.
Ia mengejar audisi
seperti seseorang yang mengejar Tuhan
di lorong-lorong sempit Kafka.
Makin dekat dengan kenyataan:
Menari… seakan esok tubuhnya
tak sanggup lagi berdiri.
Menari… seperti setiap helaan napas
mungkin adalah yang terakhir.
Ia menerjemahkan dirinya
serupa rembulan perak Virginia Woolf
yang suatu hari
meninggalkan jejak di permukaan air.
Mata kehijauan seperti telaga Nostradamus
yang memantulkan firasat kematian.
Rambut menyala seperti api—
bintang kejora yang akan padam
sebelum fajar mengenal namanya.
Seekor angsa elok
di antara para penari lain,
namun kita tahu bagaimana nasib angsa
dalam dongeng Andersen:
keindahan selalu menjadi kutuk sekaligus mahkota.
Meja panjang dengan hidangan asing,
bahasa yang tak sepenuhnya ia pahami—
seakan ia adalah tokoh Haruki Murakami
yang tersesat dalam realitas paralel antara igau seekor kucing
dan rembulan yang menangis.
Ia bukan menulis puisi,
ia sedang menulis obituari:
riwayat singkat seorang penari muda
yang mati saat mengejar mimpinya—
seperti tokoh Son Mi-451
di Cloud Atlas
yang mati dalam usaha membebaskan diri
dari sistem yang mencabiknya
jadi serpihan.
Kisah penuh luka,
kisah tanpa akhir bahagia:
nirwana yang tak pernah ia capai,
walau ia sudah menari dengan sepenuh hati, seluruh tubuh,
seluruh trauma, seluruh jiwa.
Agustus 2025”
―
(Intertextual Reconstruction)
II. Tarian Terakhir
Hari pertama ia hadir,
seperti hari yang tak pernah berakhir:
menghitung sisa uang
mengulang adegan Travis Bickle dalam Taxi Driver,
mempertaruhkan semuanya
di atas dua dadu yang berdenyut seperti tali nasib.
Harapan kuning keemasan, di atas
angka dua belas, angka tertinggi—
ia menari seperti Salome
yang menuntut kepala Yohanes
dalam satu putaran rahasia.
Lompatan dua kaki membentuk tarian misteri,
melampaui bintang-bintang,
melampaui tubuhnya sendiri:
seperti Frida Kahlo yang menari
dengan tulang punggung retak
namun tetap memaksa hidup memandangnya.
Potret kemasyhuran di dinding,
berkejaran seperti hantu Billie Holiday,
dalam segelas sampanye bersama Marilyn Monroe
yang tersenyum tepat sebelum runtuh.
Ia mengejar audisi
seperti seseorang yang mengejar Tuhan
di lorong-lorong sempit Kafka.
Makin dekat dengan kenyataan:
Menari… seakan esok tubuhnya
tak sanggup lagi berdiri.
Menari… seperti setiap helaan napas
mungkin adalah yang terakhir.
Ia menerjemahkan dirinya
serupa rembulan perak Virginia Woolf
yang suatu hari
meninggalkan jejak di permukaan air.
Mata kehijauan seperti telaga Nostradamus
yang memantulkan firasat kematian.
Rambut menyala seperti api—
bintang kejora yang akan padam
sebelum fajar mengenal namanya.
Seekor angsa elok
di antara para penari lain,
namun kita tahu bagaimana nasib angsa
dalam dongeng Andersen:
keindahan selalu menjadi kutuk sekaligus mahkota.
Meja panjang dengan hidangan asing,
bahasa yang tak sepenuhnya ia pahami—
seakan ia adalah tokoh Haruki Murakami
yang tersesat dalam realitas paralel antara igau seekor kucing
dan rembulan yang menangis.
Ia bukan menulis puisi,
ia sedang menulis obituari:
riwayat singkat seorang penari muda
yang mati saat mengejar mimpinya—
seperti tokoh Son Mi-451
di Cloud Atlas
yang mati dalam usaha membebaskan diri
dari sistem yang mencabiknya
jadi serpihan.
Kisah penuh luka,
kisah tanpa akhir bahagia:
nirwana yang tak pernah ia capai,
walau ia sudah menari dengan sepenuh hati, seluruh tubuh,
seluruh trauma, seluruh jiwa.
Agustus 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
