Tia Setiawati's Blog, page 803
January 5, 2013
"Kita sama-sama si keras kepala. Akan ada suatu masa, kita sama-sama tertawa karena keegoisan kita...."
- Tia Setiawati Priatna
"Terlelap mungkin mampu mendamaikan amarahmu sesaat. Dan ketika terbangun esok pagi, kau harus siap..."
- Tia Setiawati Priatna
"Jika kau tak ingin aku melupa bagaimana rasanya dicintai sejak kumembuka mata, jangan pernah..."
- Tia Setiawati Priatna
"Jika sudah sama-sama dewasa, pertengkaran seharusnya mampu mendekatkan keduanya."
- Tia Setiawati Priatna
"Sungguh tak ada yang salah dengan masa lalumu. Kecuali satu; ia terlalu sering mampir dalam..."
- Tia Setiawati Priatna
Bisakah Kita?
Bisakah kita duduk santai berdua?
Dengan secangkir cokelat panas di masing-masing tangan kita.
Aku akan bercerita tentang apa saja.
Kau akan mendengarkan dengan seksama.
Dan sesekali, berkomentar tidak terlalu penting.
Lalu kemudian, kita akan tertawa.
Bisakah kita sejenak saja melupakan dunia?
Aku akan dengan senang hati,
mengajakmu berjalan-jalan di sepanjang taman kota.
Lalu kita akan mengabadikan gambar kita berdua,
sambil tersenyum dengan mesra.
Bisakah kita duduk berhadap-hadapan berdua? Sebentar saja.
Aku ingin kau melihat mataku,
dan membaca apa yang ada di sana.
Lalu akan kutuliskan lagi,
puisi rindu paling syahdu,
seperti yang sudah-sudah.
Bisakah kita tidak mendebatkan masing-masing ego kita?
Karena jika aku mampu,
akan kubuang semua ego yang menghalangi kasih kita.
Bisakah kau mengizinkanku mendengar detak jantungmu?
Agar dapat kurasa juga,
detak rasa yang sama dengan yang kupunya.
Bisakah kita saling mencinta dengan setia?
Karena aku mulai lelah,
mengkhawatirkan hal-hal yang tidak berguna.
Aku ingin kita bisa bersama
selama nyawa masih ada.
Tangerang, 5 Januari 2013
- Tia Setiawati Priatna
Surat Yang Tak Pernah Terkirim
Kutulis lagi surat ini.
Kata...

Surat Yang Tak Pernah Terkirim
Kutulis lagi surat ini.
Kata demi kata.
Kalimat demi kalimat.
Entah kali ke berapa
aku berusaha mengutarakan semuanya.
Isi hati,
perasaan,
kesedihan,
harapan,
keinginan.
Lalu satu demi satu tertulis.
Tersusun.
Rapih.
Tiga kata.
Delapan huruf.
Ah. Percuma.
Surat ini tak berguna.
Ia tak akan pernah sampai di tanganmu.
Baiknya kudoakan saja kau dari jauh.
Seperti biasanya.
Itu sudah menenangkan hatiku.
Sungguh.
Inilah surat ke tiga belas untukmu
: Surat yang Tak Pernah Terkirim.
Tangerang, 5 Januari 2013
- Tia Setiawati Priatna
January 4, 2013
Mungkin Suatu Hari Nanti
Mungkin suatu hari nanti,
akan ada seseorang yang bersedia berlari kencang.
Menaiki beberapa angkutan umum,
lalu diteruskan dengan menaiki ojek atau becak,
untuk sekedar mengantarkan sebuah payung padaku,
agar aku tidak sakit karena kehujanan.
Hujan sedang lebat sekali kala itu.
Mungkin suatu hari nanti,
akan ada seseorang yang akan dengan segera memelukku sampai terasa sesak di dada.
Hanya karena aku akan pergi satu hari lamanya.
‘Aku akan merindumu dengan sangat’, katanya.
Mungkin suatu hari nanti,
akan ada seseorang yang selalu mau menemaniku kemanapun aku pergi.
Dengan hanya sebuah genggaman tangan,
ia mampu membuatku merasa begitu nyaman.
Mungkin suatu hari nanti itu adalah sekarang.
Mungkin seseorang itu adalah kamu.
Dan mungkin suatu tempat itu adalah di sini.
Siapa yang tahu.
Tangerang, 5 Januari 2013
- Tia Setiawati Priatna
Membuang Kesedihan Di Tepi Jalan Bebas Hambatan
Terkadang, manusia suka memelihara kesedihan.
Sampai lama, sampai mereka tak sanggup lagi memelihara.
Aku bertanya,
‘untuk apa?’
Kau jawab,
‘mungkin saja kesedihan mampu membuat manusia menjadi lebih manusia’.
Jadi kuputuskan saja,
untuk berkendaraan di sepanjang jalan bebas hambatan.
Aku sendirian.
Aku kesepian.
Dan aku sedang dirundung kesedihan.
Saat itu, aku mencoba membuang kesedihan
di tepi jalan bebas hambatan.
Karena tak ada yang tahu.
Tak ada yang peduli.
Tak ada yang akan menghakimi.
Dan aku sungguh tak perlu
menampilkan wajah yang pura-pura berseri.
: karena bukankah aku memang sedang bersedih?
Aku sungguh tak hendak memelihara kesedihan.
Dan membiarkannya memakan kebahagiaan.
Jakarta, 4 Januari 2013
- Tia Setiawati Priatna
Sebuah Catatan Di Depan Pintu Kamar
Kutempelkan sebuah catatan di depan pintu kamarmu.
Agar ketika kau bepergian, kau akan selalu mengingat pesanku.
Pagi ini tersenyumlah lagi.
Wajahmu lebih indah,
jika dihiasi dengan senyum merona.
Jangan menghiraukan keburukan-keburukan dunia.
Karena kau terlalu menawan, untuk menjadi lawan.
Dan jika hari ini berlangsung tidak terlalu menyenangkan,
ingatlah bahwa manusia bukanlah malaikat,
yang penuh kesempurnaan.
Akan kuselipkan doa seperti biasanya,
agar hari ini kau tetap berbahagia.
Jakarta, 4 Januari 2013
- Tia Setiawati Priatna


