Tia Setiawati's Blog, page 804

January 4, 2013

Betapa Kau Mampu Begitu Menyebalkan


Sesekali aku ingin bercerita padamu,
tentang semua hal, tentang apa saja.



Tentang betapa aku terlalu sering merindukanmu.
Tentang betapa aku begitu mengkhawatirkan keadaanmu.
Tentang betapa sapa darimu adalah yang kunanti-nanti setiap harinya.
Tentang betapa dahulu jarak begitu menjadi masalah buatku, dan sekarang ia telah mampu menjadi teman dekatku karena kamu.
Tentang betapa aku begitu tak ingin bangun dari tidurku,
saat memimpikanmu.
Sampai sebuah hal ini,


: tentang betapa kau mampu begitu menyebalkan bagiku.



Jadi, harus darimana cerita ini kumulai, Tuan?


Tuan,
sadarkah kau bahwa sering kali kau membuatku menangis tak tahu tempat?
Sehingga aku harus sibuk bersembunyi,
agar air mata tak nampak di mata mereka yang mungkin akan menghakimi.


Tuan,
apakah kau tahu rasanya menunggu waktu bertemu denganmu?
Sesaat terasa lama, dan lama terasa seperti selamanya.
Dulu kurasa, menunggu tidak akan semenyeramkan itu. 


Tuan,
ingatkah kau bahwa ketika kita memutuskan untuk tak saling bicara,
kita masih saling memberikan perhatian?
Kita tak pernah menyebutkan nama dalam kalimat-kalimat di media sosial,
namun kita selalu tahu,
kau dan aku sama-sama menyelipkan berbagai doa kebaikan.


Kau perlu tahu sebuah kebenaran, Tuan.
Puisi-puisiku tak akan setara dengan doa-doa yang setiap saat kuucap pada Sang Pencipta.
Doaku sederhana.



: Aku hanya ingin kau bahagia.


Jika itu memang denganku, itulah kebahagiaan terbesar bagiku.
Bila bukan, tak mengapa.
Toh bahagiamu, juga tetap menjadi bahagiaku.
Walau mungkin ada secuil rasa nyeri,
karena aku tak mampu membayangkan,
ada wanita lain yang mampu membuatmu merasakan cinta sebesar cinta yang telah kuberikan.



Lalu Tuan,
apakah masih menempel di ingatanmu
bahwa kita sama-sama pernah berniat mencari pengganti?
Dengan asumsi masing-masing dari kita sudah bahagia bersama yang lainnya?
Untunglah kenyataan berkata ‘tidak’.
Kau dan aku, kita sama-sama tersentak.
Namun aku tahu,
jawaban selalu diberikan Tuhan
pada mereka yang bersungguh-sungguh melakukan perjalanan pencarian.


Tahukah kau, Tuan?
Bahwa kau seringkali menjadi pria yang sangat menyebalkan? 



Kau terlalu sering tak tahu harus berkata apa,
di saat aku sedang berduka.
Kau harus tahu,
terkadang aku tak ingin sebuah solusi.
Aku hanya ingin kau ada dan tak kemana-mana.
Seperti yang biasa kulakukan, saat kau sedang membutuhkan seseorang. 


Kau pun sering menghakimi,
maka tak jarang aku hanya akan berdiam diri.
Cukup lah kurasa, kegalauan yang kurasakan sendiri.


Kau sering tak sadar,
bahwa semua keceriaanku adalah untuk mencerahkan harimu.
Dan kebisuanku, semata adalah ketidakberdayaanku untuk berkata, ‘aku tak ingin kau merasakan kesusahan yang sama’.


Kau selalu saja mempermasalahkan segala rasa khawatirku atasmu.
Seandainya saja, ya seandainya saja kau merasanya juga.
Kurasa kau tak ingin, merasanya sampai dua kali. 


Kau, Tuan.
Kau lelaki yang kucintai berkali-kali.
Kau lelaki yang kubuatkan ratusan puisi.
Kau lelaki yang terlalu sering menyebalkan hati.
Kau tak pernah tahu, dan tak pernah mau kuberi tahu. 



Tahukan kau, Tuan.
Terkadang ketika kita merasa sudah tahu segalanya,
saat itulah kita merupakan orang yang sama sekali tak tahu apa-apa. 


Maka kukatakan sekali lagi.
Biarkan aku bercerita padamu tentang banyak hal.
Aku ingin kau tahu tentang banyak hal,


: termasuk tentang bagaimana kau mampu begitu menyebalkan. 


Jakarta, 4 Januari 2013


- Tia Setiawati Priatna

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 04, 2013 00:55

January 3, 2013

"Jika menurutmu hari ini aku begitu menyebalkan, mungkin esok aku akan begitu kau rindukan. Roda..."

“Jika menurutmu hari ini aku begitu menyebalkan, mungkin esok aku akan begitu kau rindukan. Roda berputar, Sayang. Aku mungkin tak selamanya, ada di sana.”

- Tia Setiawati Priatna
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2013 23:36

"Jangan khawatir ketika aku masih saja mengkhawatirkan hal-hal sepele dan kecil. Khawatirlah jika aku..."

“Jangan khawatir ketika aku masih saja mengkhawatirkan hal-hal sepele dan kecil. Khawatirlah jika aku mulai tidak berlaku demikian. Karena itu artinya, aku sudah tidak peduli lagi; pada banyak hal, termasuk (barangkali) padamu.”

- Tia Setiawati Priatna
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2013 23:32

Katakanlah, Aku Tak Mencintaimu Sebesar Itu

‘Kamu tidak pernah mencintaiku, sebesar aku mencintaimu’



Tahukah kau, Tuan.
Rasanya seperti ada semburat merah melayang-layang di dinding kamarku.
Seperti sebuah kesedihan yang berniat datang lagi,
karena telah diundang dengan murah hati.


Maka, inilah yang harus kau baca dengan seksama :


Katakanlah, aku tak mencintaimu sebesar itu.
Lalu mengapa aku selalu mampu kembali
walau berkali-kali telah kau lukai? 


Katakanlah, aku tak mencintaimu sebesar itu.
Lalu mengapa setiap saat yang kuingat adalah kamu? 
Bahkan segala kesibukan pun belum mampu,
mengenyahkan pikiranku dari mengkhawatirkan keselamatanmu. 


Katakanlah, aku tak mencintaimu sebesar itu.
Lalu, sudahkah kau membaca semua puisi-puisi cinta dalam bukuku?
Lalu tanyakan sendiri pada dirimu,
siapakah dia yang selalu menjadi inspirasiku. 
Siapakah dia, Tuan? 


Katakanlah, aku tak mencintaimu sebesar itu.
Lalu cinta sebesar apa yang kau lihat dari sikapku?
Karena aku tahu,
doaku atas kebahagiaanmu
tak pernah disampaikan seisi ruang ibadahku padamu.


Katakanlah, aku tak mencintaimu sebesar itu.
Katakanlah lagi, lalu lagi, sampai berkali-kali.
Dan akan kumaafkan kau lagi,
seperti yang sudah-sudah,
seperti yang telah kau ketahui. 


Tuhan Maha Tahu, aku mencintaimu sebesar itu.
Dan mungkin hanya Dia,
yang mampu dengan sempurna
membuatmu berhenti bertanya-tanya.



Wanita ini sungguh mencintaimu sebesar itu. 



 Jakarta, 4 Januari 2013


- Tia Setiawati Priatna

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2013 22:00

Sudah Berapa Kali, Tuan?

Hai, Tuan.
Jika banyak waktu tersisa dari kesibukanmu,
mampirlah sejenak di sini,
: di ruang puisiku.


Di sini,
kutulis ratusan sajak hanya untukmu.
Di sini,
kubingkai sejuta kenangan atas perihalmu. 
Di sini,
kubuka rahasia yang mungkin sempat kau tanya
dan tak pernah kaudapatkan jawabannya.


Maka, luangkanlah waktumu sejenak saja.
Untuk merasai semua kata yang tersusun dengan dasar cinta.


Ah ya, perihal cinta.



Bila kita ingat-ingat lagi,
sudah berapa kali kita saling menyakiti?

Sudah berapa kali aku menangis saat kau tak peduli?
Sudah berapa kali kau bersedih saat aku memutuskan pergi?
Sudah berapa kali kita tak percaya bahwa Tuhan sungguh menakdirkan kita bersama?
Sudah berapa kali kita terpisah jarak, dan cinta tetap baik-baik saja?
Sudah berapa kali kita memutuskan untuk menjalani hidup sendiri-sendiri,
lalu kemudian cinta kembali lagi?



Sudah berapa kali, Tuan?


Jika kau tak ingin menghitungnya, biar saja itu menjadi rahasia Tuhan,
yang Maha Segalanya. 


Cukup saja kau ingat ini, Tuan. 


Jika kita tidak berjodoh, mengapa hati kita seperti enggan kemana-mana?


Kurasa cinta tahu kemana ia hendak pulang.
Tentu saja, ke rumahnya kan, Tuan?



 Jakarta, 4 Januari 2013


- Tia Setiawati Priatna

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2013 21:22

Menjauhi Cinta, Sungguh Tak Berguna

Ego manusia memang sering sekali melucu.



Suatu hari, kulihat kau pergi,
sempat sambil menangis,
dan berucap tak akan kembali lagi.


Lalu, aku dengan tegasnya kata dan kerasnya hati
berusaha melepaskan kau pergi,


kukatakan :


‘Pergi saja! kita memang tak pernah ditakdirkan untuk bersama’


Waktu demi waktu berlalu.
Aku dengan hidupku,
kau dengan hidupmu.


Sementara cinta kita, entah ada di mana.


Mungkin saja ia bersembunyi,
menunggu waktu yang tepat untuk muncul lagi.
Atau bisa saja ia sudah berlari,
jenuh dan memang ingin selamanya pergi.


Aku terseok-seok saat itu.
Sepi, sendiri, dan kenangan sungguh benar-benar enggan pergi.
Aku tak tahu bagaimana denganmu.
Namun sungguh, aku rindu segala hal tentang kamu.


:



Berbicara di larut malam,
sampai kedua mataku atau matamu lebih dulu terpejam.
Mendebatkan hal-hal tidak penting,
merasa bahwa dunia ini sudah sinting.
Menertawakan kebodohan teman-teman,
temanku yang tak pernah kau temui atau temanmu yang tak pernah kuhapal siapa namanya.



Kita bahagia saat itu, kan?


Aku malu mengingat-ingat kembali,
bahwa seharusnya tidak ada kita yang terpisah.
Aku enggan mengakui,
bahwa memenangkan ego sama sekali tidak membahagiakan diri.
Aku marah mengetahui,
bahwa kau ternyata juga merasa yang sama,
hanya lagi-lagi; egomu lebih juara.


Beberapa pertanyaan tiba-tiba saja muncul di kepalaku :


Adakah gunanya sikapku saat itu yang menjauhimu setengah mati?
Adakah gunanya janjimu untuk tak kembali lagi?



Karena nyatanya, menjauhi cinta sungguh sama sekali tak berguna.



Jakarta, 4 Januari 2013


- Tia Setiawati Priatna

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2013 20:39

Halo kunamaibintangitunamamu.
Walaupun suratmu panjang, namun...



Halo kunamaibintangitunamamu.


Walaupun suratmu panjang, namun sepertinya aku hanya akan membalasnya dengan singkat. :P



Jangan pernah, sekalipun jangan, memberikan hati pada dia yang ketika hatimu kau tanyakan, hatimu menjawab ‘tidak’.


Pengkhianatan sesungguhnya (menurutku) adalah ketika kita sudah mencoreng komitmen kita pada sesuatu atau seseorang. Dalam kasus ini, mungkin kurang cocok kau sebut sebagai pengkhianatan.


Ada baiknya memperjelas semua pertanyaan dengan jawaban sebagai keputusan. Karena hal-hal yang tidak diketahui jawabannya, akan lebih mudah untuk ditinggalkan.



:)

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2013 19:13

"Genggaman tanganmu menenangkan. Maka jangan pernah terpikir, untuk selamanya melepaskan."

“Genggaman tanganmu menenangkan. Maka jangan pernah terpikir, untuk selamanya melepaskan.”

- Tia Setiawati Priatna
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2013 18:26

Setiap membuka payung saat hujan deras telah tiba, wajahmulah...



Setiap membuka payung saat hujan deras telah tiba, wajahmulah yang terbayangkan dengan segera.


Ternyata, ingatan memang tak mampu dipaksa melupa kenangan indah, ya?


- Tia Setiawati Priatna

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2013 16:40

"Jika kau merasa bahwa hidup ini tak pernah adil, tenang saja. Tuhan tidak tuli dan buta."

“Jika kau merasa bahwa hidup ini tak pernah adil, tenang saja. Tuhan tidak tuli dan buta.”

-

Dia memang yang Maha Adil, kan?



- Tia Setiawati Priatna

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2013 16:36