R. Mailindra's Blog, page 5
May 21, 2012
Draft Novel dan Deadline
Menulislah setiap hari.
Saran itu sudah sering aku dengarkan namun sering abai. Aku kena batunya ketika melihat kembali file-file dari novel yang belum aku selesaikan.
Gila, pikirku. Ada empat draft novel dan beberapa cerpen yang hidup segan dihapus sayang. Lebih gila lagi, aku tidak tahu mau dibawa ke mana ceritanya.
Sepertinya harus aku baca ulang satu-satu dan diberi garis mati, alias deadline. Kalau tidak cerita-cerita itu benar-benar akan dead.
May 16, 2012
Ganti Tampilan Blog
Sepetinya karena bosan melihat tampilan gambar–sebagian besar merupakan iklan–yang wara-wiri memenuhi ruang interne,t aku jadi merasa blog ini tampil membosankan. Mungkin juga karena setelah dipelototi lama, isi blog ini tidak juga bertambah, dan itu membuat kebosanan tiba-tiba meluap sampai ke kepala. Agar tidak kelelap dalam kebosanan (serta jadi punya bahan untuk posting), aku ganti tampilan blog ini.
Dan inilah yang akul lakukan,
. Hal pertama yang aku singkirkan dari blog ini adalah gambar-gambar di sisi kiri. Meski memang dimaksudkan untuk mengiklankan bukuku, entah mengapa aku kurang sreg.
Kedua, aku mencari theme wordpress yang memberi fokus kepada tulisan atau teks. Bukankah blog ini berjudul lab menulis? Jadi sudah sewajarnya kalimat dan kata-kata punya tempat yang lebih terhormat.
Apa komentar kalian?
February 20, 2012
[Lomba Fiksi Fantasi 2012] Salju Terakhir
Maaf kawan, cerita ini dihapus untuk diterbitkan dalam bentuk buku.
Informasi tentang bukunya segera menyusul, ya.
Terima kasih.
October 15, 2011
Ngamen Gratis
Tukang ngamen bisa muncul di mana saja dan kapan saja. Kadang tanpa aba-aba mereka langsung melantunkan lagu. Tapi tak jarang juga mereka mengawali pertunjukannya dengan seribu basa-basi. Kau tidak bisa mencegah mereka. Tapi entah kau menikmati atau tidak sajian mereka, kau punya kendali untuk memutuskan akan 'membayar' atau tidak.
Kalau kau kebetulan naik bis di Jakarta, ada saja pedagang kaki lima yang tiba-tiba naik lalu meletakkan satu atau dua barang dagangannya ke pangkuanmu sebelum kemudian 'berkhotbah' dan merayumu untuk membeli. Entah kau suka dengan barang itu atau tidak, kau pun punya kendali sepenuhnya atas transaksi dengan mereka. Kau bisa mengintip, mencium, dan meraba bagian mana pun dari barang yang ditawarkan tersebut namun akhirnya memutuskan untuk tidak membeli.
[image error]
Para pengamen dan pedagang kecil tersebut, semiskin atau sesusah apa pun hidup mereka, tidak cukup nekad untuk sekoyong-konyong merogoh dompetmu dan mengambil recehan sambil mengatakan, "Saya sudah nyanyi dan bapak tidak menghentikan saya, jadi saya ambil bayarannya!"
Seandainya ada yang nekad melakukan aksi seperti itu, kau akan segera mendapati mereka digelandang ke polsek terdekat—mungkin disertai hidung patah, gigi pecah, dan muka setengah ringsek.
Tak gampang memang mencomot recehan kalau benda itu tersimpan rapi di kantong atau dompet pelanggan. Cerita akan berbeda semisal uang pelanggan dititipkan ke pihak lain, bahkan kepada perusahaan besar sekalipun—semisal operator telekomunikasi di Indonesia. Dengan jumlah pelanggan seluler mencapai hampir 200 juta—yang lebih dari 90 persen merupakan pelanggan prabayar—maka titipan pelanggan ke para operator itu jumlahnya luar biasa. Jika rata-rata pelanggan punya 10 ribu rupiah, maka totalnya mencapai hampir 2 triliyun. Jika dimasukkan ke deposito, dengan bunga setengah persen per bulan, maka keuntungan dari bunga saja mencapai hampir 10 milyar rupiah setiap bulannya.
Harusnya titipan dan kepercayaan sebesar itu patut disyukuri, namun alih-alih mensyukurinya, perusahaan-perusahaan tajir itu justru berpikir keras untuk 'mendaya-sedotkan'—menggunakan segala instrumen dan peraturan yang ada—agar titipan pelanggan tersebut segera menjadi milik mereka, bahkan dengan cara yang kalau dipakai para pengamen atau pedagang kecil bisa berakibat muka ringsek.
Saat ini kau bisa tiba-tiba mendapatkan ucapan selamat lewat sms, yang memberitahu kau beruntung mendapatkan RBT (Ring Back Tone) gratis. Namun kalau kau lupa memberitahu operator telekomunikasi untuk menghentikan aksi jualan itu, maka mereka akan anggap kau setuju untuk terus mendapatkan layanan mereka, dan karenanya mereka akan langsung merogoh dompet dan mengambil recehanmu. Untuk protes tak gampang, Bung. Kalaupun kau mau protes, butuh usaha keras agar recehanmu itu kembali. Yang sering terjadi adalah usaha, waktu, dan biaya yang kau keluarkan bisa lebih besar dari recehan yang mungkin kembali ke dompetmu.
Layanan SMS Premium Berlangganan (Premium SMS Subscription) bahkan lebih ganas lagi. Operator dan para content provider kaki tangannya tak sungkan menyebar gula, madu, perempuan seksi, pelawak, ataupun umpan lainnya. Mereka tampak harum, nikmat, lucu, imut, dan sexy. Namun berhati-hatilah karena mereka bukan pedagang yang bisa kau temui di bis kota. Kalau kau terpencet sebuah link (tautan), atau karena penasaran menekan beberapa tombol pada ponselmu (bukan ponsel mereka), atau karena imanmu tipis kau tergoda lalu mengirim sebuah sms, maka akibatnya bisa fatal: kau segera divonis menginginkan berita gosip, curhatan para artis, ramalan, atau remeh temeh lainnya yang gampang dan gratis ditemui di internet ataupun televisi. Dan untuk itu, para pebisnis jenius ini akan langsung merogoh dompetmu lalu memindahkan recehanmu ke dompet mereka.
Luar biasa! Tingkah kemaruk ini tak mungkin disaingi pebisnis sektor lain. Distributor majalah misalnya, tak mungkin sekoyong-koyong mempercayai permintaan langganan yang datang dari mister A lalu tanpa verifikasi apapun langsung mengirimkan secara periodik majalah. Kau juga tidak mungkin mengaku sebagai mister A-Satu lalu minta dikirimi pizza, dan restoran tanpa verifikasi apapun langsung menganggap kau ada, kau punya uang, alamatmu benar, sehingga mereka dengan tergopoh-gopoh segera membuatkan pesananmu dan secepat tagihan ponsel mengirimkan makanan itu ke alamat yang kau sebutkan.
Operator Telekomunikasi beserta content provider kaki tangannya berbeda. Cerita bidang bisnis di atas tak berlaku buat mereka. Kau tahu, seluruh permintaan yang sampai ke sistem milik mereka, tanpa perlu diverifikasi dan dikonfirmasi ulang, langsung dianggap sebagai pesanan dan persetujuan dari pemilik nomor ponsel. Mereka tak ambil pusing kalau kau bilang bahwa kebetulan anak atau orang lain yang melakukannya. Mereka juga tak akan menggubris kalau kau bilang tak sengaja terpencet tombol 'OK' karena terburu-buru, karena kebelet dan mulas, ataupun karena ngantuk. Selama perintah atau sms itu berasal dari ponselmu, itu berarti kau yang minta untuk dihujani curhatan artis, gosip, ataupun ramalan. Karenanya mereka berhak merogoh dompet dan menguras recehanmu.
Mungkin kau ingat, untuk menghadapi para pengamen maka warung atau rumah sering kali memasang tulisan 'Ngamen Gratis!'. Sungguh melegakan kalau pemberitahuan semacam itu bisa juga keluar dari ponselmu untuk memperingatkan para operator telekomunikasi beserta gerombolan content providernya.
** 15 Oktober 2011.
October 5, 2011
Memanfaatkan Kesalahpahaman
Kelucuan bisa datang dari kesalahpahaman. Jika beruntung kita bisa tertawa karena kesalahpahaman, entah tersebab salah dengar atau salah mengerti. Karena dia akrab dan sepertinya pernah dirasakan semua orang, kesalahpahaman bisa dijadikan salah satu teknik dalam cerita untuk mengocok perut pembaca atau penonton.
Saya mengamati salah satu pola menarik dari teknik ini adalah memanfaatkan kesalahpahaman tokoh atau karakter dalam cerita. Idenya sederhana saja: kalau tokoh dalam cerita bisa terkecoh, maka besar kemungkinan pemirsa pun akan mengalami hal yang sama. Dengan 'gocekan' yang lihai –tentu saja dengan tidak meremehkan kemampuan logika pembaca atau penonton—disusul 'tendangan' pada posisi dan waktu yang tepat, teknik ini bisa menggetarkan syaraf tertawa.
Berikut ini cerita yang saya ingat berhasil mengecohku:
Jin dan Aktivis
"Kuberi kau satu permintaan," kata jin setelah ia berhasil terbebas dari lampu ajaib.
Dengan girang aktivis perdamaian yang berhasil mengeluarkan sang jin pun berseru, "Aku mau Timur Tengah damai!"
"Hei," protes sang jin, "ilmuku juga ada batasnya. Minta yang lain saja, yang masuk akal!"
Setelah diam sejenak, sang aktivis yang berasal dari Indonesia itu pun berkata, "Jin yang baik, tolong sadarkan anggota DPR negriku. Buat mereka tidak korupsi lagi dan berbakti untuk negrinya."
Kali ini sang jin yang terdiam. Setelah merenung beberapa saat ia pun dengan takzim berkata,"Baiklah kalau kau memang memaksa. Bisa kau ulangi lagi permintaan pertama tadi?"
Jika ada yang punya cerita lain, silakan dibagi di sini.
Salam,
R. Mailindra
July 14, 2011
Haru Berbuah Buku
Jadi, haru juga bisa menelurkan novel. Inilah yang terjadi dengan buku keduaku, novel Lenka, yang kutulis dengan penuh haru (ini maksa, biar gaya) bersama teman-teman Bengkel Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta angkatan 2008 dan 2009. Versi pengalamanku mungkin akan kutilis kapan-kapan, namun untuk saat ini bolehlah kawan sekalian membaca catatan di bawah ini. Catatan ini dibuat oleh Yusi A Pareanom–guruku sekaligus editor novel Lenka.
Catatan Proyek Lenka – Yusi Avianto Pareanom
Proyek Lenka
Sebuah buku bisa lahir karena rasa haru. Lenka adalah salah satunya. Tapi, sebelum sampai ke sana, izinkan saya melantur dulu.
Bagi saya, Bengkel Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta yang digelar pada 2008 dan 2009 adalah berkah karena kegiatan ini mempertemukan orang-orang yang beruntung. Dua pengajarnya, A.S. Laksana (Sulak) dan saya, sangat gemar membual. Kami sudah terjangkit bakat ini saat pertama kali bertemu pada 1981 di kota kelahiran kami, Semarang. Saat itu kami masih duduk di bangku SMP. Kebiasaan ini kami lanjutkan di SMA ketika kami juga belajar di sekolah yang sama. Seperti lazimnya orang Semarang yang lain, kami tumbuh atau tepatnya dikutuk menjadi tukang cela, tukang ngeyel, dan tukang keluh profesional (kuliah di Jogjakarta sedikit melunakkan bakat-bakat kami itu). Dengan portofolio semacam ini, jelas kami merasa beruntung saat Zen Hae, Nukila Amal, dan Ayu Utami dari Komite Sastra DKJ menawari kami mengasuh Bengkel. Sungguh menggiurkan, diberi kesempatan menipu orang-orang baru selama tiga bulan. Dasar jodoh, murid-murid yang kami dapatkan selama dua periode ternyata sangat senang kami gurui dan cela karyanya.
Ada dua belas kali pertemuan untuk setiap periode Bengkel yang digelar di MP Book Point di kawasan Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Induk semang pertemuan adalah Rosdianah Angka. Setiap Sabtu, kelas dimulai pukul dua siang dan berakhir pukul empat sore. Itu jadwal resminya. Setiap selesai kelas, pertemuan selalu berlanjut sampai petang bahkan malam hari, biasanya di teras belakang MP Book Point dengan ngopi dan menggasak camilan-camilan yang bentuk, tekstur, dan rasanya ajaib—utamanya pada 2009, kadang kami pindah ke kafe lain. Jelas, pengajarnya belum puas berkicau sementara muridnya kecanduan dikibuli.
Ketika kelas 2009 berakhir pada Desember tahun itu, beberapa peserta secara terbuka menyatakan kesedihan mereka. Mungkin mereka kebanyakan nonton fim India atau telenovela. Sialnya, kami berdua ketularan. Agar ada alasan pertemuan terus berlanjut, saya menawarkan kepada angkatan 2009 untuk membuat karya bersama. Ini murni kecelakaan dan awal kepuyengan saya—saya akan menjelaskan lebih lanjut di bawah. Semestinya, saya meniru saja orang-orang desa Asterix yang tak memerlukan alasan saat ingin menggelar kenduri.
Apa pun, tawaran sudah kadung digulirkan. Apalagi saya punya janji kepada Komite Sastra, bahwa penerbitan saya, Banana, akan menerbitkan karya terbaik peserta pelatihan. Bila kemudian tawaran berubah menjadi penerbitan karya bersama, itu karena semua peserta setara kecakapannya. Sekalipun awalnya tawaran ini disodorkan di milis Bengkel 2009, saya dan Sulak juga mengajak anak-anak angkatan 2008 ikut bergabung dalam proyek kegembiraan bersama ini.
Di milis Bengkel, pada 27 Desember 2009, terilhami oleh beberapa peristiwa bunuh diri di mal-mal Jakarta, saya menulis begini: Pada sebuah acara penggalangan dana yang meriah, seorang perempuan muda bergaun biru wisnu jatuh dari lantai lima. Namanya Magdalena, biasa dipanggil Lenka mengikuti kebiasaan orang Eropa Timur (neneknya orang Magyar, Hungaria), 22 tahun, mahasiswa dan model. Bunuh diri, kecelakaan, atau sengaja didorong oleh seseorang?
Saya masih menulis beberapa kalimat pancingan lagi yang intinya meminta para montir—demikian para peserta menyebut diri mereka, saya dan Sulak tak pernah menyapa mereka seperti itu, kami memanggil mereka Sarekat Penulis Kuping Hitam, lebih lanjut soal ini di bawah—merumuskan sendiri siapa Lenka dan mengapa peristiwa naas itu bisa terjadi. Saya mempersilakan mereka mengajukan ide yang ingin mereka tulis. Boleh mengikuti pancingan, boleh juga bikin lakon carangan sepanjang ada benang merahnya.
Apakah ide awal tersebut akan menjadi kumpulan cerpen atau novel, saya menyerahkannya kepada peserta Bengkel. Apakah nantinya akan plek seperti pancingan atau menyimpang seliar mungkin, saya tak punya bayangan pada waktu itu. Saya mengambil sikap meniru sebuah bait puisi petuah dari seorang perempuan yang pernah saya taksir semasa SMA—ia sering sekali menulis puisi semacam itu di milis alumni SMA kami: biarkanlah semuanya mengalir. Tapi, saya dan Sulak yakin proses dan hasilnya bakal seru. Yang kami minta adalah anak-anak Bengkel menghadirkan kejutan dan berani meninggalkan zona nyaman mereka.
Tawaran itu langsung disambar. Pertama-tama soal keikutsertaan. Sekalipun saya memberi tenggat pendaftaran, yang telat tahu kabar ini juga ingin ikut. Lalu Sulak mengompori soal honor. Nyaris semuanya langsung mempraktekkan jurus sapi bersimpuh dan bilang bahwa diajak menulis bersama saja sudah senang. Dalam hati saya merutuk, sialan, mereka pintar memancing haru, dan itu alamat bandar bakal rugi.
Tepat pada 1 Januari 2010, Yuki Anggia Putri Ritonga menjadi orang pertama yang menggelindingkan bola. Ia menulis kehidupan kuliah Lenka dan pertemuannya dengan seorang fotografer—Andina menyambarnya dengan menyebut-nyebut soal aliran fotografi pembebasan. Lalu Miftah Rahman menulis tentang perjanjian dengan setan yang dilakukan ayah Lenka, seorang konduktor orkestra. Apendi, sesuai petingkahnya yang serba misterius dan konspiratif, bahkan sampai saat ini, menyodorkan keterlibatan organisasi rahasia yang berada di balik kematian Lenka. Wahyu Heriyadi, jauh-jauh dari Palu, menyumbang cerita mistis tentang gedung yang menjadi lokasi kematian Lenka. Sementara itu, Nia Nurdiansyah memberi tinjauan psikologi panjang lebar tentang orang-orang yang bunuh diri.
Bagaikan gerombolan piranha mendapatkan tetelan babi, anggota Bengkel yang lain menyambar dan memberi kritik. Saling kritik—atau saling bantai—memang menjadi asupan harian kami. Dilarang sakit hati adalah pelajaran hari pertama di Bengkel. Dengan kritik, ide kurang bagus bisa terasah, dan ide yang sudah bagus akan tambah mengkilap. Usulan-usulan baru pun meluncur deras. Sulak menyebut mereka kaum yang kesurupan Lenka.
Setelah beberapa bola menggelinding dan ditendang beramai-ramai, saya mengulang lagi pertanyaan apakah Proyek Lenka, demikian kegembiraan dan eksperimen bersama ini disebut, akan digarap bersama-sama sebagai sebuah novel atau setiap yang terlibat ingin membuat tafsir sendiri-sendiri atas ide awal. Semuanya sepakat memilih yang pertama.
Saya mengajak mereka berkumpul lagi untuk membahas outline dan karakter-karakter yang ingin dimunculkan. Kami bertemu pada awal Januari 2010, dan tempat pertemuan yang dipilih anak-anak Bengkel sungguh tak imajinatif. Dari 1.234 kafe di Jakarta, mereka memilih MP Book Point. Alasannya, takut kesasar kalau ke tempat lain. Saya mengancam tak akan meneruskan Proyek Lenka bila tempat pertemuan berikutnya tak berubah.
Pertemuan hari itu juga menandai perjumpaan pertama anak-anak angkatan 2008 dan 2009. Perbedaan yang mencolok antara dua angkatan ini adalah anak-anak 2008, tepatnya Wiwin Erikawati, membawa sekardus kue yang enak-enak sementara anak-anak 2009 datang dengan tangan kosong. Mungkin angkatan 2009 kangen dengan camilan MP Book Point seperti combro yang harus dicelupkan ke kopi panas karena saking kerasnya atau bolu yang seukuran telapak tangan orang dewasa yang baru saja tersengat lebah—besar sekali.
Pertemuan itu menyepakati banyak hal. Utamanya tentang apa dan siapa Lenka—usianya terpangkas menjadi 19 tahun dalam rapat ini, misalnya—motif tindakan-tindakannya, karakter-karakter pendukung, serta yang tak kalah penting adalah nada penulisan. Setiap orang boleh bereksperimen dan membawa gaya mereka masing-masing, tapi nada mesti selaras. Untuk mendapatkan keselarasan itu, saya meminta mereka membaca buku, menonton film, dan mendengarkan lagu yang saya pikir bisa membantu. Dalam waktu singkat, usulan daftar lagu dan film bertambah sementara daftar bacaan tidak.
Berdasarkan hasil rapat, saya kemudian membuat outline dan kemudian membagi bola, siapa menggarap bab berapa. Pembagian ini selain mengacu kepada minat dan usulan para penulis juga semacam tantangan kepada mereka. Jadi, sedikit banyak agak sepihak, untungnya pengambilan keputusan ala demokrasi terpimpin ini diamini anak-anak Bengkel. Sebetulnya, rencana awalnya saya dan Sulak akan ikut menulis satu bab. Tapi, akhirnya kami sepakat semuanya digarap Barisan Penulis Kuping Hitam.
Saya lalu mendorong yang terlibat dalam Proyek Lenka bereksperimen lebih lanjut. Saya meminta mereka membuat akun Facebook atas nama tokoh-tokoh dalam Lenka dan menjalankan peran itu secara bersungguh-sungguh. Hitung-hitung latihan method writing. Beberapa menjalankan dengan takzim, beberapa tak sanggup menahan geli. Yang paling parah untuk yang terakhir ini adalah Laire Siwi Mentari.
Lalu, mulailah proses yang paling menarik. Satu demi satu pengeroyok Lenka memacak bab yang mereka tulis di milis. R. Mailindra menyebut Bengkel adalah padepokan silat sehingga jika dapat sedikit tendangan atau pukulan itu wajar belaka. Artinya, kritik pedas, dan mungkin bertubi-tubi, itu mesti diterima kalau mau tambah ilmu. Ia benar, karena jika ada yang mengirimkan naskah tapi sepi tanggapan yang bersangkutan justru merasa nelangsa. Yuki yang paling rajin berperan sebagai polisi bahasa. Saya dan Sulak biasanya memberi tanggapan atas tanggapan, utamanya yang luput ditanggapi para penanggap (saya meminjam gaya bahasa Wahyu di sini).
Sulak menyebut aksinya mengkritik sebagai mengamuk. Dan, ia mengamuk dengan brutal. Yang paling sering ia lakukan adalah meminta anak-anak Bengkel memperagakan kalimat-kalimat janggal yang mereka buat. Beberapa anak Bengkel tergerak meniru, dan komentar yang muncul atas kiriman naskah semakin tajam. Kadang ada yang sedemikian tajam sehingga yang kena kritik tergores hati dan harga dirinya, lalu menyerang balik dan mempertanyakan kualitas si pengkritik. Andina menyebut gesekan semacam ini percikan bunga api. Mendengar kata bunga api itu Sulak buru-buru membawa jeriken bensin oplosan dan saya menyusul di belakangnya dengan kipas besar. Ganjilnya, hasutan kami agar perang makin ramai justru membuat anak-anak Bengkel yang bertikai saling meminta dan memberi maaf, seperti Lebaran saja.
Sebetulnya, saya dan Sulak bisa saja memainkan peran juru damai seperti Ketua RT di sinetron-sinetron Indonesia atau Babinsa di kampung-kampung. Tapi, alangkah membosankannya. Dinamika dalam sebuah grup biasanya menjadikan karya yang muncul dari kelompok itu ciamik. The Beatles jelang bubarnya menghasilkan karya-karya terbaik justru ketika ketegangan menjelujur di antara keempat anggotanya. Sebaliknya, karya Queen jelang Freddie Mercury meninggal—ketika semua anggotanya rukun—jauh di bawah album-album mereka sebelumnya. Saya sama sekali tak ingin menyamakan Sarekat Penulis Kuping Hitam dengan dua grup musik hebat itu, tapi saya ingin bilang ke mereka bahwa rivalitas itu penting karena semuanya ingin membuktikan diri sebagai yang terbaik. Rivalitas tak perlu ditakuti karena ia bukan permusuhan.
Setelah hampir semua bab ditulis, kami berkumpul lagi membahas penulisan bersama ini. Kali ini dalam jumlah besar. Pengeroyok Lenka dari dua angkatan yang sebelumnya hanya bercakap-cakap melalui milis bisa berkenalan langsung, dan makan-makan tentunya. Kali ini, mungkin malu saya sindiri terus, angkatan 2009 ikut membawa kue-kue, dan selanjutnya saling tukar hadiah atau buah tangan menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Pertemuan semacam ini terjadi beberapa kali. Katamsi Ginano, kawan Sulak dan saya, ikut meramaikan beberapa pertemuan dan melontarkan hasutan di sana-sini agar tulisan anak-anak Bengkel makin sedap. Setiap setelah pertemuan, saya dan Sulak meminta anak-anak Bengkel merevisi tulisan mereka.
Pada Juni 2010, draf pertama Lenka rampung. Saya dan Sulak bersepakat bahwa saya akan menjadi penyunting pertama dan baru kemudian ia merapikan lebih lanjut. Lagi-lagi, ini keputusan yang keliru. Mestinya saya mengumpankan Sulak lebih dahulu. Draf pertama, sekalipun tulisan per babnya sudah lebih baik ketimbang setoran-setoran awal, bercerita tentang Lenka yang berbeda-beda. Kadang, kepribadiannya sangat bertolak belakang dari satu bab ke bab lainnya. Untuk sebuah omnibus, hal ini tak menjadi masalah. Untuk sebuah novel yang tujuh belas penulisnya bertindak sebagai satu orang, ini persoalan. Persoalan saya, tepatnya.
Untuk naskah-naskah yang kembangannya terlalu jauh dari outline, saya meminta para penulisnya menulis ulang. Tapi, persoalan tak berhenti sampai di sini. Nada penulisan yang sejak awal disepakati ternyata dilanggar beramai-ramai. Penyelarasan bab-bab yang bercerita tentang Lenka inilah yang membuat penyuntingan tahap pertama memakan waktu—untuk bab-bab yang bercerita tentang karakter pendukung penyuntingannya lebih enteng. Sialnya, anak-anak Bengkel dengan semena-semena mendakwa saya mengidap fobia menyunting Lenka. Sapi betul.
Saat menyunting, saya mengubah pembukaan beberapa bab, menambahkan kalimat-kalimat penyambung, dan juga memangkas bagian-bagian yang membikin pembacaan seret atau tak sesuai dengan nada penulisan. Ketika saya pacak icip-icip penyuntingan tahap pertama di milis, anak-anak Bengkel bereaksi. Salah seorang penulis yang naskahnya saya permak langsung protes. "Kok metafora yang saya pakai hilang semua?" Saya menjawab bahwa metaforanya lemah, dan masih untung titik dan komanya tetap saya pakai. Ia nangis bombay, tapi kemudian hari mengaku bahwa penyuntingan menjadikan naskahnya lebih bagus. Tentu saja.
Ketika naskah sudah disetor semua pertemuan bulanan tidak berhenti, menjadi-jadi malah. Kami bertemu untuk berbual-bual sembari makan dan ngopi bareng. Pada kesempatan-kesempatan semacam ini, biasanya mereka tak lupa mendesak saya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang sekian lama mengganggu mereka: kepanjangan A.S. pada nama Sulak. Awalnya saya menjawab Ahmad Sulaiman, dan mereka percaya. Lain kali saya bilang Alexie Sherman. Anak-anak Bengkel yang makin penasaran akhirnya mengajukan kombinasi mereka sendiri: Antonio Severus, Ajengan Sayid, Amadeus Salieri dan apa saja yang cocok dengan inisial A.S. Yuki pernah suatu kali datang dengan muka serius dan bilang kepada semua orang bahwa ia akhirnya tahu kepanjangan A.S. yang sebenarnya: Alit Seto, dua nama tokoh yang sering Sulak pakai untuk cerpen-cerpennya. Saya ketawa, tidak membenarkan atau menyalahkan, hanya berpikir yang seperti itu saja kok jadi obsesi berat. Si sasaran, Sulak, ketawa-ketawa senang.
Namun, tidak semua pertemuan diisi kuis remeh-temeh semacam itu. Sesekali, kami mengisinya dengan acara yang lebih serius seperti pengenalan Jurnalisme Sastrawi yang dilakukan kawan saya, Janet Steele dari George Washington University, atau diskusi penulisan yang lain.
Setelah penyuntingan tahap pertama selesai, saya mengopernya ke Sulak. Dengan alasan tak mau mengganggu penyuntingan yang sudah saya lakukan, ia menyunting dengan cara yang orisinil sekaligus ruwet. Ia menyunting dari belakang. Saya tak tahu apakah metodanya ini bisa dipraktekkan orang lain. Pastinya, penyuntingan gaya atret ini memakan waktu lama sehingga anak-anak Bengkel berteriak lagi dan berencana membuat gerakan FB agar Sulak segera menyelesaikan penyuntingannya. Mungkin, karena khawatir bakal tambah populer, ia akhirnya beralih ke penyuntingan yang lumrah-lumrah saja. Dalam penyuntingan tahap kedua ini, Sulak juga mengubah beberapa pembukaan dan memperketat bagian-bagian longgar yang luput dari penyuntingan tahap pertama karena saya kadung kenyang mengunyah Lenka.
Setelah Sulak selesai, saya memeriksanya sekali lagi, dan hasilnya adalah buku yang sekarang ada di tangan pembaca. Kalau ada yang menghibur dari Lenka, itu adalah hasil kerja bersama, utamanya 17 orang yang bersedia memberi ruang kepada gagasan teman-temannya agar tulisan mereka semakin kaya. Setiap bab dalam Lenka digarap oleh seorang atau dua orang penulis, tapi gagasan yang ada di dalamnya adalah sumbangan semua yang terlibat. Adapun, kalau Lenka tak berhasil mencapai kualitas yang diharapkan, atau malah membuat pembaca gusar, itu benar-benar karena keteledoran saya dan Sulak sebagai penyunting.
Senyampang Lenka disunting, beberapa anak Bengkel sudah berhasil menerbitkan karya mereka, baik berupa cerpen maupun novel. Di luar penulisan, ada yang berhasil lulus kuliah, ada yang memutuskan berhenti kuliah, ada yang pindah pekerjaan, ada yang menikah, ada yang punya bayi lagi, dan ada pula yang kehilangan anggota keluarga. Perjalanan panjang Lenka sarat dengan cerita sampingan yang kelak mungkin menarik untuk ditulis tersendiri.
Tentang nama Sarekat Penulis Kuping Hitam, ada sedikit cerita. Sekian puluh tahun yang lalu ada Barisan Pelawak Kuping Hitam yang anggotanya antara lain Basiyo, Jony Gudel, dan Atmonadi. Mereka lucu dan pintar sekali. Kami berdua sangat kagum kepada mereka. Kami menganggap anak-anak Bengkel pintar dan lucu sehingga pengadopsian nama itu kok rasanya enak. Kuping juga mengisyaratkan tindakan menyimak sementara warna hitam adalah lambang kesaktian. Tentu saja, penamaan ini semena-mena. Tapi, apa boleh buat, ini konsekuensi tak terhindarkan belajar kepada sepasang pendusta seperti kami. Lagi pula, kapan pun mereka bisa menyempal dari barisan dan mendirikan panji mereka sendiri. Dan, itu akan menjadi hari yang membahagiakan bagi kami berdua.
Yusi Avianto Pareanom
February 16, 2011
Menulis Itu Gampang?

Menulis itu gampang!
Setiap kali aku membaca tulisan di facebook ataupun blog yang menjanjikan bahwa menulis itu gampang selalu saja jadi tak tahan untuk komentar, bohong!
Bohong itu kalau ada yang bilang menulis itu gampang. Menulis yang aku maksud tentu saja membuat cerita fiksi, entah itu cerpen ataupun novel.
Jadi, apakah menurutku menulis fiksi itu sulit?
Memikirkan pertanyaan itu ternyata lebih mencerahkan daripada memikirkan jawabannya.
Itu terjadi karena kejadian seminggu ini. Seminggu ini aku belajar tentang investasi saham dan juga bermain rubik. Untuk investasi tentu saja targetku berani berinvestasi dan untung. Untuk rubik aku ingin bisa memecahkan persoalan rubik hingga 20 detik.
Segera saja aku dibanjiri dengan segala teori. Dan setelah seminggu, baru rubik yang aku bisa. Itupun dengan catatan waktu yang cukup lama–lima menit ke atas.
Aku ingat-ingat lagi tentang segala pengetahuan yang pernah aku pelajari. Belajar naik sepeda, renang, membuat program komputer, belajar bahasa Jerman. Ternyata semuanya tidak gampang. Apakah sulit? Ya, pada saat belajar tentu saja aku akan mengatakan hal itu sulit. Susah, puyeng, tapi juga mengasikkan. Hanya karena keinginan besarlah aku terus bertahan dan menolak menyerah sampai mereka bisa aku kuasai. Kupikir hal ini juga terjadi pada orang lain.
Kesimpulannya, belajar menulis itu tidak lebih sulit dari mempelajari skill lain. Tentu saja pada saat mempelajarinya kadang tergoda untuk menyerah. Seperti saat mempelajari sebuah bahasa. Semuanya tergantung seberapa besar niat untuk menaklukkan tantangan itu.
Menulis pun seperti ini. Tergantung seberapa besar tekad untuk menaklukkan. Jadi, apakah menulis sebuah novel pantas untuk ditaklukkan?
Note: image diambil dari http://yourenglishlessons.files.wordp...
December 5, 2010
Pemberi Peringatan

Ia memandangku sendu.
"Papa mama ngga mau dengerin," ucapnya.
Aku mengangguk. Telah kulihat sendiri usahanya: mulai meminta, merengek, sampai mogok bicara. Namun orangtuanya tak bergeming. Mereka selalu membujuk, "Jangan takut, Sayang. Nanti kau juga betah."
Mungkin mereka mengira Wulan kangen teman-temannya. Wajar, mereka memang baru beberapa minggu pindah ke sini.
"Nanti malam purnama," peringatku.
"Tak ada yang percaya."
Aku mendesah. Wulan benar, tidak ada yang mempercayai kami—anak-anak. Orang dewasa pasti menyangka ini khayalan.
Tengah malamnya kudengar gemerisik. Tiga orang pria memasuki rumah ini. Lalu, kudengar teriakan dan rintihan. Darah mengalir di lantai; usus terburai dan Wulan telah terkulai.
Aku menangis. Aku dan keluargaku pun pernah mengalaminya.
Para kanibal itu selalu datang saat purnama ketujuh. Dan keluarga Wulan, keluarga keempat yang telah kuberi peringatan.
****
Catatan:
Cerita ini diikutkan pada lomba FF dari Blogfam. Info lengkapnya dapat dilihat disini: http://blogfam.com/wordpress/kabar-ka...
November 23, 2010
Nulis di mana pun
Canggih! Begitu komentarku pertama kali mencobanya. Masih belum begitu nyaman sih. keyboard virtual ini masih buat aku kagok. tapi ntar juga terbiasa.
WordPress for android senjata baruku. Harusnya sekarang ngga ada alasan lagi buat ngga ngeblog. Yah semoga aja.
Oh ya, 2 hari lalu dapat info ada lomba nulis flash fiction dari komunitas blogfam. Maksimal 126 kata dan temanya horor atau misteri. Rencananya pengen ikutan. Idenya udah ada tapi baru bisa dipajang ntar tanggal 5 Desember 2010.
So, stay tune di sini.
October 17, 2010
Bersama Lebih Seru
Judul tulisan ini terdengar seperti iklan, ya.
Tapi swer, ini bukan iklan. Tidak juga suatu bujukan apalagi hasutan. Kalau ngga percaya sih, ngga apa-apa. Aku ngga maksa. Kau bisa membantahnya nanti, setelah membaca keseluruhan tulisan ini. Sumpah, aku tak keberatan.
Entahlah denganmu, tapi aku memang merasa kalau mengerjakan sesuatu beramai-ramai terasa lebih seru. Ya, aku tahu, tak semua hal bisa dikerjakan bersama-sama. Seperti buang air besar. Sebaiknya tak kau lakukan bersama konco-koncomu. Eh, tapi kalau dicoba mungkin seru juga.
Menulis, maksudku menulis sebuah buku, normalnya dikerjakan sendiri. Penulis akan menyendiri, merenung, bermimpi dan menuangkannya dalam tulisan. Setelah jadi, barulah karya tersebut dipamerkan ke beberapa orang untuk dimintai pendapatnya. Setelah puas, si penulis tadi akan kembali menyendiri dan memoles karyanya.
Beberapa waktu lalu aku dapat kesempatan untuk menggarap novel bareng beberapa teman. Plot ceritanya sudah ada. Masing-masing penulis sudah dapat bagian bab yang harus digarap. Berhubung ini karya kolaborasi maka ada beberapa karakter yang harus ditulis oleh beberapa orang. Dan, berhubung kami punya latar belakang yang berbeda, pekerjaan sehari-hari yang berbeda, juga gaya menulis yang berbeda, maka terjadilah hal yang ajaib. Karakter/tokoh dalam cerita jadi tidak konsisten kepribadiannya. Kadang terlihat bodoh, tapi di bagian lain tokoh tersebut tampak bijaksana. Kadang terlihat anggun namun oleh penulis lain digambarkan centil. Dan seterusnya. Ketika saling mengoreksi, kau bisa tebak yang terjadi. Perdebatan seru!
Untunglah semuanya berakhir baik karena kami punya orang yang dituakan. Guru yang pengetahuannya melebihi yang lain. Singkat kata, untung saja kami diberi kebebasan terpimpin. Bebas, tapi kalau sudah mentok harus ada yang ketok palu biar semua nurut. Kalau masih belum nurut sepertinya harus ketok kepala.
Setelah melewati semua itu, dengan segala perbedaan, kami jadi lebih saling menghargai. Aku misalnya, suka menulis dengan gaya bahasa yang lugas. Tapi sekarang jadi ingin juga belajar gaya menulis yang berbunga-bunga–puitis.
Bersama, beragam, emang lebih seru!


