R. Mailindra's Blog, page 4

January 20, 2013

Cara Membuat Cerita Menarik – Trik Membuat Suspense (Bagian 2)

Ini adalah bagian kedua trik membuat suspense. Yah, oke, minta maaf tulisan itu sangat terlambat dipajang. Ini masalah prioritas, dan sepertinya mengisi blog harus naik pangkat prioritasnya agar bisa tepat waktu.


Kembali ke topik kita, di bagian pertama kita telah berdiskusi tentang penggunaan keterbatasan waktu. Trik berikutnya adalah Taruhan Besar.



(Gambar diambil dari : http://www.zastavki.com)


2. Taruhan Besar

Dulu sekali, ada adegan di komik Kungfu Boy yang menggambarkan sangat bagus tentang hal ini. Ceritanya Chinmi, si Kungfu Boy, disuruh gurunya untuk melompati sungai dangkal. Lebarnya kurang dari dua meter. Jagoan kita berlari, melompat, bersalto, dan mendarat dengan satu kaki di seberang sungai. “Gampang,” katanya.


Lalu ia diajak ke sebuah tebing yang sangat dalam. Di puncak tebing, Chinmi kembali disuruh untuk melompat hingga ke seberang tebing. Jarang kedua tebing sama dengan lebar sungai yang dengan gampang Chinmi lompati. Jagoan kita mengambil ancang-ancang, berlari, namun tepat di ujung tebing, ia berhenti—tak berani melompat. Apa yang terjadi? Ternyata sadar akan resiko jika gagal melompat membuat jagoan kita ciut nyalinya. Ia resah memikirkan resiko kegagalan itu.


Begitulah. Untuk membangun ketegangan pada tokoh (yang pada akhirnya akan meresahkan pembaca), kita bisa memasukkan resiko atau taruhan besar yang harus dibayar sang tokoh jika gagal melakukan suatu tindakan—misalnya menembak, merebut mobil, mematikan bom, dan lain-lain. Semakin besar taruhan tokoh kita, semakin tengang adegan itu.


Namun demikian, taruhan tersebut tidak mesti mempengaruhi bumi, negara, atau presiden. Resiko tersebut bisa saja cuma anak, istri, teman, orangtua, anjing, atau hal-hal lain. Intinya, pembaca harus paham, bahwa kehilangan hal-hal tersebut akan membuat hidup sang tokoh jadi hancur. Dengan kombinasi tokoh yang disukai–sebelumnya pembaca harus dibuat menyukai dan sangat peduli dengan nasib sang tokoh–maka pembaca akan merasa misi yang sedang dilakukan sang tokoh seolah adalah misi hidupnya. Ujung-ujungnya mereka akan terus membaca untuk tahu apakah tokoh kesayangan mereka itu berhasil atau tidak.


Demikianlah bagian kedua ini. Jika pembaca sekalian punya pengalaman atau tips lain tentang suspense yang melibatkan taruhan besar, saya sangat tertarik untuk mengetahuinya.

Salam Menulis.


R.Mailindra

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 20, 2013 02:00

November 26, 2012

Cara Membuat Cerita Menarik – Trik Membuat Suspense (Bagian 1)

Hampir semua cerita, terutama yang alurnya panjang—seperti novel, punya unsur suspense di dalamnya. Mengapa? Karena penulis berusaha membuat ceritanya enak diikuti sampai akhir dan suspense adalah salah satu alat yang bisa diandalkan. Dengan suspense, pembaca akan terjebak dalam ketegangan. Suspense juga terus-menerus menggelitik rasa penasaran sehingga jalan satu-satunya bagi pembaca untuk memuaskan rasa ingin tahunya adalah dengan menuntaskan cerita

timebomb

(Gambar diambil dari:

http://soundofcannons.blogspot.com/2011/06/ticking-time-bomb.html)


Jika diteliti, ternyata suspense memiliki beberapa trik untuk membuat cerita menjadi menegangkan sekaligus membuat pembaca penasaran.

Berikut ini adalah beberapa trik untuk menciptakan suspense dalam cerita.



1. Waktu

Tepatnya batas waktu, deadline, atau keterbatasan waktu. Dalam kehidupan sehari-hari, situasi berikut mungkin pernah kita rasakan.


Besok ujian. Kau menggerutu dan panik ketika menyadari baru berhasil mempelajari satu bab.

“Besok laporannya selesai ya!” perintah Bos tadi pagi, dan sekarang sudah jam sebelas malam namun masih baru selesai setengah.

“Edan, macetnya!” pikirmu dan ketika melihat jam sudah jam 4.55, padahal pacar sudah mewanti-wanti minta dijemput jam 5 tepat.


Persamaan dari semua situasi di atas adalah adanya batas waktu. Itu yang membuat keringat bisa menetes, jantung berdebar, dan dalam siatuasi ekstrim rasanya dunia akan kiamat. Efek seperti itulah yang ingin dicapai dengan menggunakan suspense.


Masih ingat dongeng Cinderela?


Cinderela bergegas menuruni istana saat menyadari jam dinding berdentang. Pangeran memanggil, Si Putri Cantik tak perduli. Satu sepatunya terlepas, ia ingin mengambilnya, tapi sudah tak ada waktu lagi. Ia terus berlari. Tengah malam sebentar lagi.


Dengan adanya batas waktu, sebuah dongeng pun bisa punya unsur suspense.


Contoh lain bisa kita lihat di film Robin Hood — Price Of Thieves.

Robin Hood harus menyelamatkan Marian sebelum Sheriff of Nottingham menikahinya.


Masih banyak lagi contoh penggunaan suspense dan saya yakin anda bisa melanjutkannya. Yang mungkin perlu diingat adalah, suspense merupakan gaya bercerita. Ia bisa dipakai dalam cerita apa saja, tidak terbatas pada genre suspense. Tentu saja ia dipakai sangat banyak pada film atau novel suspense, triller, dan misteri.


Iseng-iseng untuk latihan, saya mencoba membuat cerita suspense bermodalkan kalimat berikut:


Mau tak mau, Birminta harus menyeberangi jembatan untuk membebaskan kekasihnya.


Tentu, ini cuma kalimat biasa. Ya, tokoh utama ingin membebaskan kekasihnya, kalau bisa sesegera mungkin (namanya kekasih). Tapi, kalau tidak bisa cepat, santai pun jadilah, asalkan bisa dibebaskan.

Untuk memberikan unsur suspense, saya akan tambahkan satu efek waktu.


Mau tak mau, Birminta harus menyeberangi jembatan untuk membebaskan kekasihnya sebelum bom yang telah diaktifkan penculiknya meledak.


Nah sekarang, tokoh kita didesak untuk bergerak cepat jika ingin kekasihnya selamat.

Jika ingin menambah tingkat ketengangannya, saya bisa menambah satu efek waktu lagi.


Mau tak mau, Birminta harus menyeberangi jembatan untuk membebaskan kekasihnya di seberang sebelum bom yang telah diaktifkan penculiknya meledak.


Jembatan kayu itu bergoyang-goyang ditiup angin dan rasanya tak mungkin diseberangi jika ada angin kencang. Birminta tercekat ketika melihat ke utara. Awan gelap melaju cepat ke arahnya. Tak lama lagi badai akan menerjang.


Masih kurang? Tambah lagi.


Mau tak mau, Birminta harus menyeberangi jembatan untuk membebaskan kekasihnya sebelum bom yang telah diaktifkan penculiknya meledak.


Jembatan kayu itu bergoyang-goyang ditiup angin dan rasanya tak mungkin diseberangi jika ada angin kencang. Birminta tercekat ketika melihat ke utara. Awan gelap melaju cepat ke arahnya. Tak lama lagi badai akan menerjang. Baru pemuda itu akan melangkah hati-hati ke jembatan mengerikan itu, ia mendengar suara gong-gongan dan teriakan di belakangnya. Ya, Tuhan, pasukan pemberontak yang mengejarnya berhasil mengikuti sampai sejauh ini. Mereka bisa muncul sekarang juga.


Begitulah, suasana menegangkan bisa dihasilkan dengan mengotak-atik faktor waktu.

Tulisan ini adalah bagian pertama dari trik membat suspense. Bagian selanjutnya direncanakan muncul minggu depan.


Sebagai penutup, dengan rendah hati saya akui bahwa saya masih pemula dan masih harus banyak belajar. Jika ada diantara pembaca sekalian yang punya pengalaman membuat cerita suspense, terutama yang berhubungan dengan pemanfaatan waktu, saya sangat senang bisa mendengarnya.


Terima kasih sebelumnya untuk kritik dan komentarnya.


Salam menulis.


R.Mailindra

4 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 26, 2012 21:40

October 29, 2012

Oksimoron hari ini (20120118)

Menyatukan dan menyelaraskan beberapa pekerjaan mudah adalah pekerjaan rumit, dan butuh orang pintar untuk mengembalakan para keledai bertubuh manusia.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 29, 2012 21:41

Pikiran ruwet hari ini (20121029)

Tinju adalah tindakan yang tidak alami. Segala sesuatu dalam tinju adalah kebalikan dari yang terjadi dalam kehidupan. Itu kata F.X.Toole dalam bukunya Million Dollar Baby.


Sepertinya menulis juga bukan tindakan alami manusia. Kau disarankan menulis ketika tidak ingin menulis dan sebaiknya berhenti selagi masih ada yang ingin ditulis.


Dan apakah tindakan alami manusia? Mungkin bersantai sambil mendengarkan musik mendayu lalu menyiarkan status: kaulah makhluk paling teraniaya di seantero fesbuk tersebab jerawat tumbuh bak bisul di ujung hidung yang memang tak mancung.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 29, 2012 21:37

October 13, 2012

Pikiran ruwet hari ini (20121014)

Bahasa menunjukkan bangsa, berbahasa menunjukkan usia. Itu petunjuk tak berguna.

Di fesbuk (atau situs jejaring sosial lain) tak mungkin menerapkannya. Mengapa gerombolan itu tak berbahasa sesuai usia? Para bangkotan dengan kerutan di wajah dan varieses di tempat lain menyaru dengan “abege alay” yang hobi membuat foto profil dengan mulut dimonyongkan. Mungkinkah mereka ketularan artis lawas yang berhasil menggaet “brondong lebay”? Tak mampu membedakan antara “unyu” dan uzur.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 13, 2012 18:22

Pikiran ruwet hari ini (20121012)

Mengapa ada saja orang yang berdoa di dinding fesbuknya, seolah Tuhan salah satu followernya. Atau mungkinkah Tuhan salah satu pegawai si Mark? Jika begitu, para pencari Tuhan bisa mempertimbangkan untuk meneliti daftar pegawai Facebook.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 13, 2012 17:49

October 7, 2012

Pikiran Ruwet Hari ini (20121008)

Mengapa penghuni fesbuk, twitter, atau situs jejaring sosial lain jika marah senang menambahkan tanda seru sebanyak-banyaknya, seolah tanda mirip pentungan itu sama dengan tingkat kepedasan keripik merek Mak Icih–semakin banyak semakin pedas?

Waktu kecil, kalau marah, temanku cukup membuat lingkaran besar di tanah lalu menambahkan dua bulatan kecil di dalamnya sebelum berkata:

“Ini bapakmu!” Ia lalu meludahi lingkaran itu dan dilanjutkan dengan menginjak-injak gambar tersebut.

Dengan caranya yang kreatif itu, temanku jarang gagal membuat lawannya menangis atau balik menyerang dengan tinju atau batu.

Di dunia nyata, orang-orang juga cukup berkata, “Anjing” atau “Babi” jika marah. Dan meski dikatakan dengan suara lemah lembut, kalimat: “Babi ya kamu pake nyenggol toket gue,” sepertinya tetap punya daya gebrak melebihi tiga puluh tiga setengah tanda seru.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 07, 2012 21:37

July 2, 2012

Merzen



Ketika bangun pada pukul tujuh pagi, hal pertama yang Tommy lakukan adalah memeriksa bokongnya. Mimpi gila semalam terasa begitu nyata. Ia seolah masih mendengarkan perintah makhluk-makhluk itu serta merasakan sebuah … ekor.

Ekor?

Tommy segera terduduk di tempat tidurnya dengan mata membuka penuh dan refleks melihat ke belakang saat tangannya merasakan kejanggalan. Tangannya kanannya seperti sedang memegang seutas tambang sepanjang sekitar tiga puluh sentimeter di balik celana dalamnya. Di mimpinya semalam, ia mempunyai ekor yang panjang—sampai kira-kira sepanjang kaki—tapi sekarang, setelah bangun, mengapa ia masih mempunyainya namun hanya dua jengkal?



“Memang masih pendek, dan akan tumbuh maksimal dalam tiga ratus ribu tiga ratus enam puluh deringo.”

Tepat sekali, pikir Tommy.

Tommy terlonjak. Ia mengenalinya. Itu suara makhluk yang selalu mengikutinya semalam, tapi mengapa ia masih bisa mendengarkannya? Tommy memutar badannya lalu melirik ke samping kiri dan kembali terlonjak. Astaga! Makhluk itu berdiri di sana—tepat di ujung tempat tidurnya.

***

“Sebaiknya Tuanku segera mandi dan sarapan. Ini akan jadi hari yang berat.”

Tommy menelan ludah. Susah sekali karena tenggorokannya kering dan ia merasa badannya begitu lengket seolah baru selesai maraton beberapa puluh kilometer. Setelah berhasil mengendalikan keterkejutannya, pemuda bertubuh atletis itu menatap takjub makhluk yang sama sekali tidak cocok dijadikan aksesoris kamarnya karena warnanya terlalu cerah—keemasan. Makhluk itu balas menatap dan mengangguk memberi menghormat. Tommy merasa wajah aksesoris hidup itu mirip sekali dengan dirinya namun makhluk aneh itu tak tampak seperti manusia. Ia mirip gorila berbulu emas yang memakai semacam baju karet. Si gorila mengingatkan Tommy akan film Star Wars. Apakah ia salah satu penghuni planet Klingon?

“Getho?”

“Hamba, Tuanku.”

Tommy menggelengkan kepala dan menyumpahi ingatannya. Ini bahkan lebih aneh lagi, mengapa ia bisa tahu nama makhluk itu? Apakah ia masih bermimpi?

“Tuanku sudah terbangun dan kembali ke dunia selama delapan ribu deringo yang jika dikonversikan ke dalam satuan waktu Bumi adalah dua menit empat puluh detik.”

“Kau ini robot?” Tanya Tommy dengan suara serak.

“Robot paling canggih di Bumi ini masih berusaha untuk bisa berjalan, menari, menendang bola dan mencari jalan, Tuanku. Mereka bahkan lebih bodoh dari bayi simpanse. Sedangkan saya …”

Tommy mengangkat tangannya.

“Getho, namamu Getho kan? Kepalaku pusing. Coba katakan, kalau benar aku sudah terbangun, mengapa aku masih bisa mengingat semuanya dan yang lebih parah lagi, kenapa kau masih mengikutiku?”

“Tuanku sudah tahu segalanya.”

“Aku mau dengar dari mulutmu karena aku sedang tidak bisa mempercayai pikiran dan penglihatanku.”

“Tuanku harus percaya ….”

“Katakan saja!”

“Sebaiknya Tuanku membersihkan diri dan sarapan dahulu. Saya akan ceritakan kembali di dapur nanti.”


 


Ini Sabtu yang cerah. Dari dapurnya Tommy bisa melihat langit musim semi berwarna biru bersih tanpa awan sedikit pun dan ruangan itu sudah dikuasai aroma sedap kopi Jawa serta roti bakar yang menggoda bujang berusia dua puluh delapan tahun itu untuk melahap sarapan di atas meja sampai tuntas.

Tommy mengoleskan mentega di rotinya dan memasang raut wajah orang yang tersesat di hutan Amazon. Ia menatap minta pertolongan kepada Getho yang duduk di seberangnya. Cahaya mentari yang masuk dari jendela di belakang Getho membuat bulu-bulu makhluk itu berpendar-pendar.

“Kita ada di Bumi, tepatnya Hannover, Jerman, tanggal 12 Mei tahun 2012. Sekarang musim semi dan semua hukum alam, mulai dari gravitasi hingga sebab-akibat masih tetap berlaku. Hanya saja Tuanku sekarang membawa serta kekuatan Alam Merzen.”

Tommy menggigit rotinya. Setiap selesai dua gigitan, ia menyesap kopinya. Plain, tanpa gula. Rasanya pahit dengan bayangan manis di ujungnya.

“Getho,” kata Tommy sambil mengoles roti keduanya, ”Kau lebih pintar dari ….”

“Ralat, Tuanku. Jauh lebih pintar,” potong Getho.

“Oke, jauh lebih pintar dari komputer tercanggih dan bahkan bisa membaca pikiranku,” Tommy mendengus. “Aku yakin kau membawa serta kekuatan dari alam, apa namanya?”

“Merzen.”

“Ya, Merzen. Jadi kenapa tidak kau saja yang melakukan tugas itu dan berhenti mengikutiku?”

“Hamba hanya bayangan Tuanku.”

Tommy berhenti mengoles. “Maksudmu cuma aku yang bisa melihatmu?”

Getho mengangguk. Dahi Tommy berkerut.

“Jadi, kalau saat ini orang lain melihatku, aku akan tampak seperti pasien rumah sakit jiwa yang sedang berdiskusi dengan roti panggangnya?”

Getho mengangguk penuh simpati.

“Ampun, tobat!” Tommy menepuk jidatnya.

“Tuanku, hamba hanya bayangan Tuanku. Hamba adalah Tuanku, dan Hamba hanya dapat Tuanku lihat dan dengarkan selama nexus Tuanku ada.”

“Nexus?”

“Di sini disebut ekor atau buntut. Tapi itu tidak tepat benar karena ekor tidak memberi kekuatan sedangkan nexus menyimpan kekuatan Tuanku sejak sebelum empat ribu empat ratus empat puluh empat reinkarnasi.”

“Hei, aku tak perduli itu. Aku cuma bingung, jika ekor, atau u-us…”

“Nexus, Tuanku.”

“Ya, whatever lah, ini tumbuh sampai kakiku dalam dua jam mendatang….”

“Dua jam, lima menit, tiga puluh sembilan detik.”

“Hei, jangan memotong kalau aku bicara ….”

“Tepatnya mengoreksi, Tuanku.”

“Ampun! Kau ini cerewet betul. Maksudku, kalau ekor ini tumbuh sampai kaki hari ini, bagaimana aku menyembunyikannya waktu kerja hari Senin nanti?”

Getho memberi Tommy pandangan seorang dokter kepada pasien yang sedang sekarat. Ia takjub, mengapa Tommy tidak juga sadar hal besar yang sedang menanti malah memikirkan hal remeh yang belum pasti. Sinar mata Getho meredup ketika ia kembali bersuara.

“Tak akan ada hari Senin kalau Tuanku tidak menyelesaikannya saat mentari terbenam.”

***


Cerita lengkap dapat dilihat pada tanggal 4 Juli 2012 jam 10.50 di alamat ini: http://kastilfantasi.com/2012/07/merzen/

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 02, 2012 02:49

June 10, 2012

Anakku Calon Penulis Cerita Thriller

Menuliskan kenangan mungkin cara terbaik agar ia terus hidup. Inilah kisah kelahiran anak keduaku yang bikin aku terus tersenyum.


Setelah gagal mendampingi istri bersalin di kelahiran anak pertama, aku bertekad mewujudkannya di kelahiran anak keduaku. Namun, keinginan yang tampaknya sepele itu ternyata susah juga untuk diwujudkan, utamanya karena aku bekerja di Jakarta sementara keluarga di Bandung. Tingkat kesulitan meningkat karena bakat mengecoh dan selera humor anak keduaku yang tinggi. Seorang teman secara bercanda pernah berkata bahwa anak keduaku berbakat menjadi sutradara atau penulis cerita thriller. Ia pandai mengatur kemunculannya hingga terus-menerus mengecoh dan membuat tegang orang-orang sekitarnya.


Kupikir ada benarnya juga karna sejak Januari 2010, sekitar satu setengah bulan sebelum kelahirannya, anak itu sudah mulai membuat kehebohan. Saat itu dokter kandungan yang biasa didatangi istri sedang tidak di tempat dan digantikan oleh dokter lain. Si dokter pengganti meragukan usia jabang bayi setelah melihat dan mengukur melalui alat USG-nya—ada kemungkinan istri salah hitung. Saat hal itu kemudian dilaporkan kepada dokter kandungan yang telah mengangani sejak pertama, dokter itu ikut ragu. Jadilah dua dokter serta istriku meragu. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka dilakukan pemeriksaan USG besar. Radiolog mengatakan semua normal; perkiraan kelahiran tanggal 28 Februari 2010, paling telat 5 Maret 2010.


Lega, aku merencanakan cuti akhir Februari 2010.

Tanggal 11 Februari jam 12.00 istri masuk rumah sakit. Aku diminta segera datang jika ingin mendampingi proses bersalin.

Loh, bukannya masih dua minggu lagi? pikirku keheranan.

“Plus minus dua minggu itu biasa,” kata teman kantorku.

Jam 14.00 aku ditelepon lagi. “Status sudah bukaan-3. Dokter bilang kalau seperti ini terus, anakku akan lahir jam 21-an,” kata adik iparku.

Tiada keraguan lagi, inilah harinya. Aku pun meluncur dan tiba di rumah sakit sekitar jam 20-an namun terheran saat diberitahu bahwa bukaan berhenti di 3 sejak jam lima sore. Suster lalu memintaku menandatangani surat pernyataan—ijin melakukan proses induksi. Katanya, biasanya cuma butuh kurang dari satu labu infus, paling banyak dua, untuk membuat orok keluar.


Satu labu habis, bukaan masih di tiga; labu kedua tandas, bukaan masih sama, dan ketika disarankan untuk melanjutkan dengan labu infus ketiga, istri menolak.

Apa yang terjadi? pikirku.

Dokter lalu melakukan observasi selama 24 jam, hasilnya semuanya normal dan ketuban juga belum pecah. Setelah berdiskusi, kami meminta proses bersalin tetap dilakukan secara normal. Dokter setuju. Ia mengatakan mungkin belum waktunya. Kemungkinan kelahiran akan terjadi sesuai jadwal, dua minggu lagi. Aku cuma bisa menggeleng kepala, tapi tetap bersyukur karena tidak ada yang mengkhawatirkan.


Tanggal 20 Februari 2010 jam 6.00, istri mengeluh mules kepada adiknya, mungkin bayinya mau lahir. Sang Adik ogah-ogahan menanggapi—khawatir ini ‘alarm palsu’ lagi, namun diantar juga ke rumah sakit setelah didesak.

Jam 8.00 pagi aku diberitahu, istri sudah di rumah sakit, status bukaan-3. Kubilang dua jam lagi kutelepon, kalau masih bukaan-3 aku mau ikut sebuah acara penting dulu baru kemudian ke Bandung. Yah, dua kali dikecoh sudah cukup toh, kali ini aku harus lebih cerdik.

Jam 8.45 aku ditelepon lagi, status sudah bukaan 6. Wah gawat, kali ini anakku tidak main-main. Dengan kecepatan orang kebelet karena mules akibat kebanyakan makan sambel, aku pun meluncur ke travel dan jam sembilan sudah di mobil lalu tancap gas ke Bandung.


Jam 9.30 ponselku berbunyi lagi, adik ipar minta keputusan, mau menunggu atau bagaimana. Kubilang dua jam lagi aku sampai di Bandung, tapi kalau tidak kuat ya keluarkan saja. Setelah telepon ditutup, aku menghubungi Bapak, memberitahukan status dan meminta beliau bergegas ke rumah sakit agar ada yang menadzani anakku. Ini langkah antisipasi kalau-kalau aku tidak berhasil datang tepat waktunya. Kakek si buyung, yang malam harinya baru kembali dari Jakarta, setelah dua minggu di Semarang untuk membidani sebuah proyek, tergopoh-gopoh ke rumah sakit.


Jam 9.45, saat mobil meluncur di jalan tol cipularang, aku mendapat kabar bahwa anak keduaku sudah lahir dengan selamat, Alhamdulillah. Nantinya aku diceritakan waktu lahir ia sempat tersangkut sebentar di ari-ari dan suster yang menangani minta istri menahan sebentar untuk memotong agar si bayi lolos, dan setelah berhasil dipotong, istri merasakan mulas yang sangat—katanya sakitnya tiga kali lebih dahsyat dari diinduksi kemarin—karenanya tanpa bisa ditahan anakku langsung mbrojol. Ia bahkan terlihat seperti melompat keluar dan air ketuban menyembur sangat banyak—sampai –sampai dua orang suster yang tidak memperkirakan hal tersebut basah bajunya. Dengan senyum kecut si Suster cuma bisa berkata, “Nakal ya, bikin Suster mandi lagi.”

Humor yang berbahaya, Nak!


Jam 11 kurang aku sampai. Istri sudah bersih demikian juga dengan anakku—sudah apik dibungkus dan sedang terlelap di box bayi. Semua orang di ruang itu terlihat bahagia. Saat ia kugendong, aku seolah melihatnya tersenyum dan berkata, “Nice try, Ayah. Sayang kurang cepat!”

[]

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 10, 2012 21:31

May 24, 2012

Dihantui Draft

Seperti arwah penasaran, draft cerita yang belum selesai itu akan terus menghantui. Dan arwah seperti ini tidak kenal siang atau malam, terang atau gelap, sepi ataupun ramai. Setiap ada waktu, ia bisa tiba-tiba saja muncul dan mengaduk-aduk pikiran serta menyedot tenaga dan mood-mu.


Percayalah padaku, mereka makhluk yang tak kenal lelah dan kata menyerah dan sepertinya cuma satu jalan agar mereka bisa kembali tenang: menyelesaikan cerita dan melahirkannya dalam bentuk buku.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 24, 2012 00:45