R. Mailindra's Blog, page 2

September 17, 2013

Trik agar Rutin Ngeblog

Rutin ngeblog

Rutin ngeblog


Sepertinya aman untuk berasumsi bahwa kau membuka tulisan ini karena tertarik untuk bisa rutin mengisi blogmu. Mungkin kau frustasi lebih sering kosong. Intinya, kau ingin mencari rahasia agar bisa lebih sering menulis. Betul?


Sebenarnya tak ada rahasia.Semua orang sudah tahu bahkan sejak kecil. Kalau mungkin terlewat olehmu, kuberi petunjuk.


Apa sebab siswa dan mahasiswa RUTIN ke sekolah atau ke kampus? Mereka punya jadwal pelajaran.


Apa sebab pekerja dan buruh RUTIN ke tempat kerja? Mereka punya jadwal/jam kerja.


Apa sebab olahragawan RUTIN berlatih? Mereka punya jadwal latihan.


Ya, rahasianya punya JADWAL.


Sedikit buka kartu, sebenarnya aku juga baru menemukan rahasia ini beberapa waktu lalu :D . Ini kubocorkan jadwal dan tema ngeblogku untuk bulan September 2013


Buat Jadwal agar rutin ngeblog

Buat Jadwal agar rutin ngeblog


Dua pertanyaan langsung muncul ketika melihat jadwal tersebut:


1) Bagaimana aku tahu seberapa sering menulis?


2) Bagaimana cara menentukan tema?


Berapa Sering?


Seberapa sering kau menulis itu semua terserah kau, yang penting rutin. Saranku buatlah jadwal yang tidak terlalu memberatkan namun cukup menantang. Setiap hari, dua hari sekali, tiga hari sekali, seminggu sekali, rasanya cukup menantang. Kecuali kau memang ingin mengisi dengan artikel yang berat, saranku jangan lebih dari seminggu sekali. Percayalah, jika jadwalmu terlalu longgar, kau akan cenderung meremehkannya dan baru mengerjakannya pada detik terakhir. Jadi aku berani mengatakan mengisi kompasiana setiap hari dan sebulan sekali sama beratnya, karena jika kau mengisi sebulan sekali kau tetap akan menuliskannya pada hari terakhir. Sekali lagi hal ini tidak berlaku jika kau berniat menulis hal-hal berat yang butuh riset panjang.


Jadi buatlah jadwal ngeblog. Kau bisa menuliskannya di agenda, di selembar kertas yang ditempel di dinding, atau di program komputer. Terserah. Yang penting kau punya jadwal yang kau niatkan untuk kau laksanakan.


Jika kau lihat jadwalku, aku sempat beberapa kali gagal menulis. Aku juga masih coba-coba. Mungkin nanti akan aku sesuaikan menjadi dua atau tiga hari sekali. Namun sekarang aku masih tertantang untuk bisa mengisi setiap hari. Kau pun bisa melakukan hal serupa. Paksa dengan jadwal yang paling menantang, lalu sesuaikan dengan kemampuanmu.


Tema


Dari mana aku menentukan tema?


Sebelum menjawab pertanyaan itu aku ingin menunjukkan satu hal yang sudah sangat terang benderang namun sering terlewatkan.


Kalau kau seorang guru tentu kau ingin berpenampilan formil dan berbahasa santun di sekolah. Kalau kau seorang direktur, kau tak mungkin berbahasa alay dan bergaya seperti Vicky di rapat direksi bersama para investor. Kalau kau kolektor mobil antik, tentu kau ingin pengetahuanmu dikagumi sesama kolektor. Apa persamaan semua hal tersebut? Image  sodara-sodara. Di dunia nyata kita semua jaim, menjaga image. Nah, hal tersebut juga berlaku di dunia maya.


Bagaimana kau ingin dikenal orang itu adalah pilihanmu sendiri. Mungkin kau ingin dikenal orang di dunia maya seperti orang mengenalmu di dunia nyata. Namun, jika kau ingin dikenal sebagai sosok lain, itu juga sebuah pilihan. Lalu apa hubungannya dengan pemilihan tema untuk menulis? Nah, ini kuncinya. Setelah kau menentukan image yang ingin kau tampilkan, kau akan lebih fokus dan mudah mencari tema.


Misalnya: Jika kau memutuskan untuk dikenal sebagai Pendukung Jokowi dan Pembenci Jengkol, maka tema menulismu akan kau fokuskan tentang Jokowi dengan segala daya tariknya dan Jengkol dengan segala hal yang menjijikkannya.


Pencerahan


Satu lagi hal menarik yang ingin kubagikan, setelah punya jadwal dan calon tema yang akan ditulis, kau secara tidak sadar akan lebih fokus membaca. Judul berita dan tulisan yang berhubungan dengan tema yang kau incar akan segera menarik perhatianmu. Yang pasti kau akan lebih terarah dan tidak terombang-ambing ketika berselancar di Internet.


Bagaimana? Tercerahkan? Atau mungkin masih bingung? Atau kau malah punya tips yang lebih aduhai? Silakan tulis di kolom komentar.


Salam menulis,


R.Mailindra


The post Trik agar Rutin Ngeblog appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 17, 2013 19:34

September 16, 2013

Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya

Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya

Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya


Gambar dipinjam dari sini


Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pepatah itu biasa dipakai untuk menunjukkan bahwa kelakukan anak tak jauh berbeda dari orangtuanya. Jika bapaknya maling maka ketika anaknya tertangkap karena maling orang tak heran lagi. Jika anaknya berhasil menjadi dokter maka orang tak heran jika melihat orangtuanya ada yang menjadi dokter. Namun tahukah kau bahwa anak adalah sebuah mesin fotokopi hidup?


Membaca artikel gaya hidup yang berjudul ‘Indonesia yang Makin Tambun’ di kompas minggu tanggal 13 September 2013 kemarin, membuatku semakin waspada agar tidak meracuni anak-anak dengan kebiasaan buruk. Pada satu bagian artikel ada cerita tentang keluarga ‘Big Size’. Ayah dan ibu keluarga itu punya berat di atas 100 kg dan ketiga putri mereka yang masih SD tampak gemuk. Para anak bahkan berkata, “Jangan nanyain berat badan!” saat ditanyakan tentang berat badan mereka. Itu karena mereka kerap diledek di sekolah. Rahasia buah-buah itu jatuh tak jauh dari pohonnya, seperti yang diungkapkan orangtuanya, adalah karena orangtua itu biasa memberi buah hati mereka MAKANAN PORSI BESAR.


Sepertinya para orangtua sadar kebiasaan-kebiasan buruk yang tidak ingin mereka tularkan. Terbukti pada cerita keluarga di atas, orangtuanya mencoba membiasakan anak-anaknya berolahraga. Namun sepertinya kalori yang masuk jauh lebih banyak dari yang terbakar.


Kesadaran untuk menjadikan buahnya unggul, tampak juga pada para perokok. Hampir semua melarang anaknya merokok, meski di rumah mereka memberi contoh betapa nikmatnya merokok. Lalu ada lagi orangtua yang ingin anaknya rajin membaca dengan menunjukkan bahwa duduk bersantai sambil chatting atau bermain game adalah hal yang mengasikkan.


Sayang sekali. Maaf. Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya. Dan ternyata anak bahkan tidak perlu disuruh-suruh untuk meniru. Aku suka geli melihat anakku yang masih balita ikut pura-pura membaca—usianya masih tiga tahun dan ia masih buta huruf—jika melihat aku membaca. Ia bahkan bisa menirukan cerita dari buku cerita yang sering dibacakan untuknya. Yah, anak memang seperti mesin fotokopi. Jadi berhati-hatilah.


Bagaimana? Apa kau punya pengalaman atau cerita tentang penurunan kebiasaan kepada anak? Silakan tulis di kolom komentar.


Salam,


 


R.Mailindra


The post Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 16, 2013 18:03

September 15, 2013

Seri Cara Membuat Cerita Menarik : Humor

Pengumuman Lucu

Sumber: http://www.vemale.com (Foto by _FredFerry/twitter.com)


Kecuali cerita humor atau penulisnya memang tukang banyol, kebanyakan cerita, ketika pertama muncul, berwarma suram. Mungkin karena cerita yang mendesak keluar dari kepala penulis kebanyakan berasal dari pengalaman tidak menyenangkan. Ya, menulis memang bisa menjadi semacam terapi. Lihat saja cerita yang ditulis di banyak situs menulis atau blog. Kebanyakan berwarna gelap dan suram. Patah hati, kematian,dan beragam kesedihan tak bosan-bosannya diangkat. Pengemis, pelacur, dan orang-orang teraniaya menjadi tokoh yang paling sering muncul. Memang tak ada yang salah dengan hal itu. Namun, seperti halnya foto dan lukisan, warna yang monoton tentu membosankan. Dan cerita yang membosankan adalah cara pasti untuk membuat sebuah karya fiksi segera ditinggalkan.


Selain suspense, yang pernah dibahas di sini dan sini, humor adalah alat yang ampuh untuk membuat cerita menarik, apa pun tema dan genrenya. Mungkin kau bertanya, bagaimana jika tokoh utama tidak homoris dan tema cerita pun serius? Tak masalah. Berikut ini beberapa triknya.



Seperti halnya kesedihan atau kemarahan, cara terbaik untuk membuat pembaca terbawa suasana–dalam hal ini terseyum–adalah dengan menampilkannya dalam bentuk adegan. Show it. Kalau tingkah laku protagonis tidak ada yang bisa membuat tersenyum, coba selipkan humor lewat tingkah tokoh antagonis atau tokoh sampingan. Joker misalnya, berhasil membuat film Batman yang gelap menjadi berwarna karena tingkah konyolnya.


Memang, membuat sebuah karakter humoris apalagi konyol bukanlah pekerjaan gampang. Bagaimana kalau kau tidak sanggup membuat karakter seperti itu? Jangan panik, masih ada trik lain.


Unsur humor bisa juga disuntikkan ke dalam setting cerita. Yang paling gampang dengan membuat karaktermu mengamati keadaan sekelilingnya. Keadaan tersebut dirancang untuk mengejek atau menertawakan sang tokoh. Biar lebih jelas kita buat contoh.

Misalnya tokoh cerita kita baru saja dikabari pacarnya yang bernama Jamila bahwa mereka harus putus karena Jamila sudah dilamar seorang jendral polisi. Tokoh kita ini patah hati dan sedih karena mereka sudah pacaran lima tahun. Tokoh kita orangnya serius jadi tak mungkin bertingkah konyol. Bagaimana memasukkan humor di adegan yang sedih mengharu biru seperti itu? Gampang. Coba cara berikut:


Ketika berjalan di pinggir jalan buat tokoh itu membaca tulisan pada bak belakang sebuah truk yang melintas. Ditulis dengan cat berwarna merah dan oranye, pada bak tersebut tercetak sebuah kalimat: JAMILA, KUTUNGGU JANDAMU


Atau mungkin tokoh kita ini melihat tulisan ini:


Putus Cinta Soal Biasa, Humor yang mengejek kesialan karakter.

Putus Cinta Soal Biasa, Bung.


Gambar pinjam dari sini


Bagaimana kalau kita buat ia mendengar sebuah lagu di radio tentang Jamila yang cantik jelita namun disambar bandot tua? Intinya, ciptakan keadaan yang menertawai kesialan sang tokoh. Yah, jadi penulis memang harus raja tega. Ini memang teknik humor paling primitif yaitu menertawakan kesialan orang lain. Namun teknik inilah yang paling gampang. Lagi pula bukan salah supir truk jika sang tokoh membaca ‘status’ atawa ‘tweet’ mereka pada bak truk, bukan?


Kalau belum terasa lucu, gambarkan juga reaksi sang tokoh. Biasanya, apa pun reaksinya akan mengundang senyum. Bahkan garuk-garuk kepala pun bisa membuat pembaca tersenyum.


Bagaimana? Terinspirasi? Atau kau masih punya kesulitan memasukkan humor ke dalam cerita? Atau mungkin punya trik lain yang ingin kau bagi? Silakan tulis pada kolom komentar.


Salam menulis,


R. Mailindra


PPFX7KW7P6E5


The post Seri Cara Membuat Cerita Menarik : Humor appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 15, 2013 08:21

September 13, 2013

Ketika Customer Service Gagap Informasi

[image error]

Customer Service


Gambar pinjam dari sini


Ketika masuk ke kantor sebuah bank, biasanya segala urusan—kecuali yang berhubungan dengan tarik-setor uang—akan ditangani oleh customer service alias cs. CS ini memang serba bisa dan jika ia tidak sanggup menangai urusan yang kau minta, ia tahu siapa yang bisa membantumu.


Masalah jadi agak memalukan ketika kau punya pengetahuan lebih dari cs tentang produk yang mereka jual. Ini mirip dengan olahragawan yang lebih paham produk suplemen daripada penjualnya. Masalahnya bank bukanlah toko obat. Yang dijual bank adalah kepercayaan, tepatnya kemampuan untuk membuat kau percaya bahwa uangmu aman bersama mereka. Dan untuk produk dalam kategori investasi, yang tidak dijamin seperti halnya tabungan dimana berkurangnya dana karena kerugian adalah hal yang lumrah, penjual harusnya jauh lebih paham daripada pembeli, jika ingin produknya dibeli. Namun sepertinya bukan pekerjaan cs untuk menarik calon nasabah membeli produk investasi. Sayang sekali. Padahal selain satpam, cs lah orang yang bisa dimintai keterangan untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan tarik-setor uang, dan satpam jelas bukanlah penjual yang kompeten.



Untuk mendukung pekerjaannya, cs dilengkapi dengan aplikasi komputer. Masalah jadi pelik dan mungkin bisa buat kau terserang stroke jika aplikasi bank bermasalah. Contohnya hari ini. Aku mendatangi kantor cabang sebuah bank besar untuk redemption alias penjualan kembali reksadana. Butuh waktu agak lama sebelum cs yang menangani urusanku kembali menghadapku setelah meminta bantuan rekannya di belakang layar. Sayangnya ia mengatakan akunku tidak bisa dibaca dan rekannya akan istrahat (kebetulan hari jum’at) dan dengan sopan memintaku untuk kembali setelah istirahat. Yah, karena kebetulan aku pun harus jum’atan, jadi aku turuti. Aku bilang akan kembali jam setengah dua.


Jam setengah tiga aku kembali. Ketika melihatku, setelah selesai membantu seorang nasabah, ia menghampiri dan memintaku untuk menunggu. Sepuluh menit kemudian ia kembali dengan membawa segepok kertas dan mengatakan padaku akunku sudah ditutup. Ia menunjukkan sebuah lembaran dengan tulisan CLOSED.


Aku mengerenyit. “Maksudnya?” tanyaku.


“Ya, akunnya sudah ditutup, Pak.”


“Uangnya sudah tidak ada?”


“Iya. Bapak sudah pernah narik?”


“Belum,” kataku lemas.


“Oh, sebentar,” kata cs itu. Ia lalu kembali masuk ke dalam.


Sebentar yang dia bilang ternyata menghabiskan waktu hampri setengah jam. Dan aku merasa menunggu hampir setengah abad. Memang uang yang kutanam tidak seberapa banyak, namun jumlahnya lumayan. Aku membayangkan kalau saja aku ini seorang pensiunan yang sudah renta dan uang yang kutanam berjumlah ratusan juta, dana pensiun untuk hari tuaku, pastilah saat ini aku sudah terkapar di lantai. Memikirkan hal itu aku jadi bimbang harus bersedih atau bersyukur. Tapi apa sebenarnya yang terjadi? Apa manager investasi itu rugi sampai 100 persen? Seingatku tiga tahun ini bursa saham tidak sampai rontok parah. Memang kemarin sempat terkapar, tapi tidak sampai 50 persen, masa sih danaku bisa hangus begitu? Kupikir jika publik tahu, pasti sekuritas yang kupakai sekarang bisa langsung bangkrut karena nasabahnya akan panik dan ingin segera menarik dana. Ketika cs itu kembali menghampiriku dengan bibir yang masih tersenyum, aku sudah tak berminat lagi untuk tersenyum.


“Maaf, Pak, bisa ikut ke dalam, rekan saya akan membantu,” katanya.


Aku ikuti ia ke dalam. Di sana aku diterima oleh seorang lelaki, mungkin managernya. Lelaki itu meminta maaf kepadaku bahwa sistem mereka sedang terganggu. Ia menunjukkan kepadaku selembar kertas yang isinya portfolioku. Danaku aman, masih ada. Ternyata setelah mereka berkominikasi kembali dengan sekuritas, closed yang dimaksud berarti dana sudah di-booked alias diterima.


Aku tak sempat mengomeli mereka karena keburu lega. Cuma heran saja, bagaimana istilah yang digunakan dikalangan mereka sendiri bisa disalah artikan. Untung saja aku tidak punya penyakit jantung. Kalau tidak, bisa terkapar gara-gara cs gagap informasi.


Pelajaran yang didapat:



Tetap tenang menghadapi informasi dari Customer Service. Mereka juga manusia yang bisa salah. Dorong mereka untuk menggali informasi lebih detail jika hal yang mereka katakan tidak sesusai dengan hal yang kau ketahui. Panik, marah, apalagi pingsan jelas menambah ruwet suasana.
Untuk urusan produk investasi, sebaiknya langsung berhubungan dengan sekuritas daripada melalui bank. Jika memilih bank, cari bank yang punya divisi sekuritas, jadi kau tidak ditangani oleh customer service serbaguna bank.
Hidup sehat dan hindari stress. Urusan menjadi lebih mudah jika badan dan pikiran sehat (Ya iya lah!)

***


Bandung, Jum’at 13 September 2013


The post Ketika Customer Service Gagap Informasi appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 13, 2013 06:25

September 11, 2013

Sarekat Penulis Kuping Hitam

Menulis novel adalah pekerjaan para penyendiri. Stephen King dalam buku On Writing bahkan bilang bahwa menulis novel tak beda dengan mengarungi samudra menggunakan bak mandi. Mungkin karena itulah ketika aku menemukan geng menulis yang satu ini, rasanya seperti pemabuk menemukan lapo tuak.


Pertemuanku dengan kelompok ini berawal di tahun 2009, saat aku baru mulai belajar menulis cerita dan merasa kemampuanku tak bisa meningkat meski sudah hampir satu tahun aku mempelajarinya–tentu saja secara otodidak. Di sebuah forum menulis ada pengumuman bahwa Dewan Kesenian Jakarta sedang membuka pendaftaran kelas penulisan novel. Mungkin memang jodoh, aku pun diterima di sana dan dimulailah perkenalanku dengan orang-orang ajaib.


dkj_bengkel2009 Sumber: www.dkj.or.id



Kursus penulisan itu–mereka menamakannya Bengkel Penulisan Novel DKJ dan para murid menamakan dirinya para montir–berlangsung selama 6 bulan. Bengkel itu memang sangat tidak mirip dengan lapo tuak. Baik guru maupun murid yang hadir tidaklah mabuk tuak (entah kalau zat yang lain). Namun, kumpul-kumpul yang kami lakoni agak-agak memabukkan. Ia menyebabkan kecanduan. Bahkan setelah jam kursus selesai, baik guru maupun murid masih saja melanjutkan acara kumpul-kumpul itu. Mungkin para guru kecanduan meracau dan para murid kecanduan dibohongi.


waktu_kursusjpg waktukelas2


Guru dan Murid yang ‘sakau’. (Gambar dok. Nia Nurdiansyah)


Peserta kursus datang dari berbagai latar belakang. Masih muda-muda–mungkin di kelas aku lah yang paling tua dan itu sempat membuatku berpikir kok baru belajar menulis setelah tua begini. Sampai sekarang pun aku masih tidak mengerti mengapa gerombolan ini bisa punya kecocokan. Mungkin lain waktu perlu kuadakan riset tersendiri tentang hal ini.


waktubelajar4jpg waktubelajar3 waktubelajar5


Suasana Lapo Tuak Bengkel Novel DKJ 2009


(Gambar dok. Nia Nurdiansyah)


Tak terasa enam bulan berlalu dan bengkel itu pun berakhir, namun kegembiraan pertemanan justru baru dimulai. Pak Yusi A. Pareanom melontarkan ide untuk membuat karya bersama untuk diterbitkan. Beliau bersama rivalnya sahabatnya, yaitu Pak A.S Laksana akan membimbing kami di hutan rimba proyek penulisan itu. Dari sanalah lahir sebuah novel keroyokan yang berjudul Lenka. Dan dari sana pulalah lahir nama Sarekat Penulis Kuping Hitam. Tentang proses lahirnya novel Lenka tersebut, Pak Yusi menuliskannya dengan sangat ciamik pada lampiran novel Lenka. Softcopynya bisa di lihat di sini.


Aku ingat, saat proyek penulisan Lenka, kami sempat berkumpul beberapa kali. Suatu kali, Pak Yusi bakan sempat mengundang temannya untuk memperkenalkan Jurnalisme Narasi. Dr. Janet Steele, teman Pak Yusi ini, adalah seorang profesor dari George Washington University. Lehih banyak tentang hal ini mungkin akan aku ceritakan di lain kesempatan.


bukbermalaca buker2


Merancang ‘Pembunuhan’ Lenka (Gambar dok. Nia Nurdiansyah)


  kelas_narasijpg Janet Memberikan Kuliah Jurnalisme yang Sastrawi


(Gambar dok.Nia Nurdiansyah)


Dari foto-foto di atas mungkin bisa terbayang betapa asiknya geng ini. Namun sebenarnya hal-hal yang tertulis di milis kelompok ini jauh lebih heboh lagi. Internet membuat kami yang terpencar-pencar bisa ngobrol sedemikian gilanya. Sayang sekali hal tersebut tidak bisa dipotret dengan kamera.


Pada bulan Oktober 2010, novel Lenka pun lahir. Pak Yusi, guru kami, merangkap editor serta petinggi penerbit, berbaik hati membuatkan acara peluncuran. Acara tersebut berbarengan dengan Biennale Sastra Salihara. Seperti masih kurang heboh, beliau mengundang Ayu Utami dan Prof. Maneke Budiman sebagai pembedah novel. Acara diskusi yang dimoderatori oleh Sastrawan Sitok Srengenge itu sukses membuat anggota Sarekat Penulis Kuping Hitam ‘dag-dig-dug’. Tak terkecuali aku. Bayangkan, karya kami dibantai dikupas penulis dan kritikus sastra, apa ngga bikin badan meleleh?


undangan  Sumber www.salihara.org


Lenka-Ayu Utami-Manneke Budiman (Medium) bedah buku dan diskusi lenka (Medium)


Lenka sedang dibedah (Gambar dok. Nia Nurdiansyah)


 


the writer & the editor (Medium)Sarekat Penulis Kuping Hitam bersama para Guru


(Gambar dok.Nia Nurdiansyah)


  berita Sumber: www.vhrmedia.com


Oh ya, tentang nama Sarekat Penulis Kuping Hitam, sewaktu pertama kali mendengarnya aku sendiri sempat terhenyak. Amboi, alangkah berbau jaman perjuangan nama ini. Namun setelah mendengarkan penjelasan bahwa nama itu terinspirasi dari sebuah grup lawak–ditambah penjelasan  filosofis seperti kuping menyiratkan tindakan mendengar dan hitam melambangkan kesaktian; diikuti keterangan bahwa nama tersebut diberikan guru kami karena menganggap kami anak-anak yang lucu, cerdas, dan bakal terkenal  –aku ikut bergembira. Ajaibnya tak ada yang protes, paling tidak tidak secara terbuka. Mungkin semuanya mengamini hal tersebut, mungkin juga karena tidak ada ide yang lebih baik, entahlah. Yang pasti sampai sekarang kami masih memelihara nama tersebut.


Tiga tahun kemudian, pada malam takbiran di bulan Agustus 2013, grup whatsapp geng ini tiba-tiba menjadi ramai. Seperti biasa pembicaraan remeh-temeh dan ngalor-ngidul sukses membuatku terbahak-bahak. Mungkin karena sudah lama tak berkumpul, pada pembicaraan malam itu terlontar ide untuk kembali pamer cerpen. Pembicaraan berlanjut dengan  ide untuk membuat web bersama.


Keberuntungan sedang menyinari geng ini. Ide itu pun terealisasi dalam hitungan hari. Kini  kami punya situs yang beralamat di www.kupinghitam.com untuk memajang karya-karya kami.


webspkh


Melalui situs ini, para anggota Sarekat Penulis Kuping Hitam pun berniat untuk merayakan sastra. Ini juga salah satu cara kami untuk saling menyemangati agar terus menulis. Siapa tahu hal-hal ajaib bisa terjadi lewat situs ini.


***


Bandung, 12 September 2013


P.S:


Beberapa anggota Sarekat Penulis Kuping Hitam sudah menerbitkan buku, contohnya:



Andina Dwifatma, novelnya yang berjudul ‘Semusim, dan Semusim Lagi’ menjadi juara di ajang lomba Novel DKJ 2012.
Nia Nurdiansyah baru saja menerbitkan novel keduanya yang berjudul ‘My Cup of Tea

Semoga dimasa depan lebih banyak lagi anggota SPKH yang menerbitkan buku.


The post Sarekat Penulis Kuping Hitam appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 11, 2013 10:09

September 5, 2013

Menulis, Sebuah Pekerjaan Remeh

Oleh: R.Mailindra (Twitter: @mailindra)


menulis_remeh

Pernah merasakan situasi berikut ini?


Kau sedang menulis, lalu tiba-tiba ibumu muncul.


“Sedang apa?” tanya ibu.


“Lagi nulis, Bu,” katamu.


“Oh, nak tolong ke warung sebentar, beliin ibu telur!”


 


Atau situasi berikut.


Kau sedang menulis, lalu suamimu muncul.


“Sedang apa, Sayang?” kata suamimu.


“Lagi nulis, Pa,” katamu.


“Ma, tolong setrikain baju dong!”


 


Atau situasi berikut. Kau sedang menulis, lalu istrimu muncul.


“Lagi apa, Pak?” kata istrimu.


“Lagi nulis,” katamu.


“Pa, tolong ganti lampu depan dong. Dah rusak tuh!”


 


Lalu kau akan menuruti permintaan itu. Padahal mungkin sudah setengah jam kau bengong menatap layar kosong dan baru akan menuliskan kalimat pertamamu. Sialnya, setelah selesai melakukan permintaan itu (biasanya permintaannya memang remeh dan tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya), kau sudah kehilangan minat untuk melanjutkan tulisanmu.


Bandingkan dengan situasi berikut:


Kau sedang belajar, lalu tiba-tiba ibumu muncul.


“Sedang apa?” tanya ibu.


“Lagi belajar, Bu,” katamu.


“Oh, ya udah,” kata ibu.


“Kenapa, bu?”


“Enggak, ibu perlu telur. Ya udah belajarlah. Ibu mau ke warung dulu.”


 


Atau situasi berikut.


Kau sedang memasak, lalu suamimu muncul.


“Sedang apa,  Sayang?” kata suamimu.


“Ya kalo lagi motong bawang, berarti lagi masak dong, Pa. Kenapa?” katamu.


“Oh, ia ya,” kata suamimu. Ia lalu menyetrika sendiri bajunya.


 


Atau situasi berikut.


Kau sedang membuat presentasi, lalu istrimu muncul. “Lagi apa, Pak?” kata istrimu.


“Lagi nyelesaiin presentasi. Lusa ada meeting budget, nih,” katamu.


“Oh,” kata istrimu, “jangan terlalu capek ya, sayang.”


 


Lihatlah situasi di atas. Kau dianggap sedang tidak ada kerjaan jika mengatakan sedang menulis. Dan kebanyakan penulis (ya, mungkin kau belum terkenal dan belum bisa menghasilkan uang dari tulisanmu, tapi jika kau suka menulis maka kau adalah penulis), terutama para pemula, secara tidak sadar mengamini hal tersebut. Kau akan menuruti permintaan yang datang tiba-tiba di tengah sesi menulismu. Padahal butuh waktu yang tidak sebentar untuk memulai kalimat pertama. Kau relakan usaha kerasmu terbuang begitu saja.


Bandingkan dengan situasi ketika sedang belajar, memasak, atau membuat presentasi. Jika orang lain memaksamu menginterupsi  hal yang sedang kau kerjakan, maka kau mungkin akan menjawab: “Nanti ya, Bu. Sejam lagi aku beres belajar. Besok ujian nih.” atau  “Ya, nanti, Pa. Mama setrikain kalo dah beres masak.” atau “Besok aja ganti lampunya, Ma.” Rasanya tak banyak blogger yang berani bilang, “Nanti ya. Lagi nanggung nih. Blog saya sudah tiga bulan ngga diupdate.”


Tak salah jika Stephen King dalam bukunya yang berjudul “On Writing”, dalam bab tentang menulis, mengatakan:


“…engkau butuh ruangan, engkau butuh pintu, dan engkau butuh tekad untuk menutup pintu.”


Mungkin sedemikian tipisnya beda antara menulis dan melamun sehingga kebanyakan orang tak bisa membedakannya. Namun, penulis harusnya tahu bahwa keduanya berbeda jauh, seperti odong-odong dan Disneyland.


@mailindra, September 2013


The post Menulis, Sebuah Pekerjaan Remeh appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 05, 2013 20:49

August 10, 2013

Menulis Cerita, Sebuah Kegiatan Yang Tidak Alami

Oleh: R.Mailindra (twitter: @mailindra)


menulis, tindakan tidak alami

Sumber gambar: Wikipedia


Everything in boxing is backwards.

Segala hal dalam tinju adalah kebalikan. Kalimat itu muncul di film Million Dollar Baby, sebuah film drama olahraga yang diangkat berdasarkan sebuah buku dengan judul yang sama buah karya F.X Toole. Dalam film itu, pernyataan tentang tinju itu diikuti dengan adegan yang menunjukkan kebenaran pernyataan tersebut. Jika petinju ingin bergerak ke kiri, ia tidak melangkah ke kiri tetapi menekan jempol kaki kanan, demikian pula jika ingin bergerak ke kanan, petinju akan menekan jempol kiri, dan yang lebih parah, alih-alih lari dari rasa sakit—seperti yang seharusnya dilakukan oleh kebanyakan orang—seorang petinju justru masuk dan mendekati biang rasa sakitnya, yaitu lawannya.



Film dan buku itu jelas berasal dari penulis yang tahu seluk beluk dunia tinju. Dan memang F.X Toole adalah nama pena dari Jerry Boyd. Ia sudah bertahun-tahun menjadi pelatih tinju sebelum menuliskan Million Dollar Baby.

Tindakan yang dilakukan oleh para petinju itu jelas tidak alami, demikan pula saran dan nasehatnya. Saran tersebut mengingatkanku akan nasehat untuk mahir menulis cerita. Jika dipikir-pikir, nasehat untuk para petinju itu tak jauh berbeda dengan saran untuk penulis fiksi. Paling tidak begitulah yang aku rasakan.


Seperti kebanyakan penulis pemula, aku juga mengalami kesulitan memulai tulisan. Bisa bengong cukup lama menatap layar kosong dan kursor yang berkedap-kedip sementara kepala mencari-cari kata atau kalimat pembuka yang tepat. Itu hal yang menjengkelkan dari menulis cerita. Anehnya, jika tiba-tiba ada ide yang menyambar kepala, yang datang entah darimana, aku merasa seperti orang yang kebelet. Buka komputer dan kalimat menyembur seperti air bah. Begitu mudah dan mengalir. Mungkin itu sebabnya penulis pemula seperti aku malas menulis jika tak ada ide yang muncul. Gambaran akan menghadapi layar kosong dengan kursor yang berkedip mengejek sungguh mengerikan. Tetapi, para penulis profesional justru menyarankan untuk menulis dengan teratur meski sedang tidak sedang ingin menulis, terutama jika sedang tidak ingin menulis.


Awalnya kupikir itu saran aneh. Sebuah nasehat untuk melakukan tindakan tidak alami. Namun setelah mencobanya, aku bersukur pernah menemukan nasehat itu karena aku tak mungkin selalu menunggu dewi inspirasi untuk datang, tersenyum, dan dengan tongkat ajaibnya berseru ‘Abrakadabra’. Sang dewi bisa saja datang kepadaku sekali setahun saat aku rapat di kantor atau sedang berada di sebuah tempat yang tidak memungkinkan untuk menulis. Maaf ya Dewi cantik, daku tak mungkin mengandalkanmu.


Setelah mengalami sendiri betapa sulitnya menulis ketika tidak ada kalimat pembuka yang bagus namun merasakan betapa mudahnya kata-kata keluar ketika ide dan kalimat pembuka sudah tertulis di layar, aku jadi berpikir sepertinya nasehat para professional itu merupakan bagian dari hukum alam. Newton dalam hukum geraknya mengatakan: Sebuah objek yang diam akan tetap diam kecuali ada gaya yang membuatnya bergerak. Sebuah objek yang bergerak akan terus bergerak kecuali ada gaya yang menghentikannya.


Nasehat berikutnya yang pernah kudapat adalah: berhentilah menulis selagi masih ada yang ingin ditulis (nasehat ini kudapat dalam konteks menulis novel atau tulisan yang panjang). Nah, nasehat ini bukan saja tidak alami, tapi gila. Penjelasan saran tersebut adalah: dengan masih adanya hal yang ingin ditulis akan membuat niat untuk melanjutkan tulisan keesokan harinya menjadi kuat dan membuang sampai tuntas rasa takut mengadapi layar kosong dengan kursor yang berkedap-kedip genit mengejek. Lihatlah, saran ini juga bagian dari hukum newton: benda bergerak akan terus bergerak!


Setelah sekian lama mempelajari skill menulis membuat aku sadar betapa tidak alaminya skill ini. Coba perhatikan buku-buku cerita yang bagus. Mereka menjadi menarik karena berisi kesalahan yang dilakukan para tokoh dalam cerita, konflik gila, atau bahkan tokoh-tokoh yang bertindak aneh. Para pembaca tergelitik dan penasaran dengan kehidupan tidak alami di cerita itu. Dan nasehat lain yang pernah aku dapat adalah: untuk membuat cerita yang bagus, jangan pernah mengelak dari masalah. Penulis yang baik selalu mencari masalah untuk para tokoh ceritanya. Semakin buruk masalah semakin bagus cerita. Jika misalnya sang jagoan sedang bergelantungan di pinggir tebing dengan luka parah di tangannya, jatuhkan batu kepadanya atau lebih bagus lagi kirimkan angin topan kepadanya. Usaha jagoan itu untuk keluar dari masalah akan membuat pembaca enggan melepas bukunya.


Liatlah betapa absurd dan tidak alaminya saran-saran menulis. Di kehidupan sehari-hari kita belajar untuk menghindari masalah. Kita bekerja keras, belajar dengan keras, dan berusaha melakukan segala hal dengan sempurna untuk menghindari masalah. Tapi, untuk menjadi penulis cerita yang bagus, disarankan untuk mencari masalah. Gila ngga?


Semua hal tersebut membuatku berpikir, mengapa orang-orang suka membaca nasib buruk yang dialami para tokoh dalam cerita. Beberapa penulis mengatakan hal tersebut dikarenakan pembaca ingin diingatkan betapa beruntungnya mereka dengan melihat ke bawah, kepada orang-orang yang nasibnya lebih buruk dari mereka. Penulis yang lain mengatakan bahwa pembaca ingin mengetahui bagaimana manusia bertahan dari masalah. Namun aku berpikir keanehan dan ketidakalamian pada cerita mungkin saja mewakili sesuatu yang selalu kita coba hindari.


Secara tidak sadar, ketika manusia tumbuh, kita diajarkan untuk bertindak tidak alami. Jika sedih dinasehati untuk tidak menangis, minimal tidak menunjukkan kesedihan; ketika marah harus mengendalikan diri, minimal tidak menunjukkannya. Hal serupa berlaku untuk emosi yang lain seperti jatuh cinta, kesal, keberatan, dan lain-lain. Pada akhirnya aku jadi berpikir, bisa jadi kehidupan normal dan alami yang kita lakoni tidaklah senormal dan sealami yang kita pikirkan. Bisa jadi kehidupan tidak alami di cerita fiksi adalah kehidupan normal sebenarnya.


Suatu ketika guru menulisku berkata: fiksi itu lebih nyata dari kehidupan nyata. Di kehidupan nyata sesuatu yang tidak logis bisa saja terjadi, tapi dalam fiksi segala hal harus logis jika ceritamu ingin dipercaya (kupikir ia menyadur kalimat milik Hemmingway). Ketika mendengar nasehat itu satu hal yang terpikir olehku. Orang ini sudah sinting. Itu nasehat sinting. Dan sampai sekarang aku masih berpikir itu nasehat sinting. Hanya saja saat ini aku ikut-ikutan melakukan dan menyebarkannya.

***

R.Mailindra

Bandung, 11 Agustus 2013


The post Menulis Cerita, Sebuah Kegiatan Yang Tidak Alami appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 10, 2013 20:08

August 5, 2013

Menulis itu Sulit?

whichsteps


Gambar diambil dari https://plus.google.com/100007700613223581192/posts/X3i71jEGYdU


Hal tak terhindari ketika bergaul dan membaca tulisan di kompasiana.com adalah terjangkit penyakit kampungan, yaitu gatal. Dan gatal yang satu ini baru bisa terobati jika dilampiaskan dalam bentuk kata-kata (meski tidak selalu, terkadang malah tambah parah). Rasa gatalku kali ini datang setelah membaca tulisan dan komentar pada tulisan berjudul ‘Bohong Besar Jika Menulis itu Gampang’ dan Einstein Bikin Cerpen?. Keduanya memberikan argumen bahwa menulis itu sulit.



Sebenarnya dua tahun lalu aku pernah merenungkan klaim tentang hal tersebut, bisa dilihat di sini. Namun rasa gatal ternyata bisa membuat aku merenungkan kembali apa yang pernah direnungkan di masa lalu (mohon maaf untuk kalimat bertele satu ini, saya sudah berusaha untuk selalu efisien namun ia terus saja kumat).


Jadi apakah menulis itu sulit? Arswendo bilang menulis itu gampang, loh. Dan Arswendo itu penulis besar. Kalau diteliti dari kalimat tanya tersebut, sebenarnya jawabannya cuma dua: Ya atau Tidak. Anehnya pikiranku malah menjawab Ya-dan-Tidak. Aku jadi bertanya-tanya, kok begitu jawabannya? Plintat-plintut. Apa aku takut keceplung pusaran hater dan lover  seperti tema PKS, Jokowi, dan Fathin? Entahlah. Hal itu mungkin menarik, namun kita bahas lain kali saja. Sekarang, racauan tulisan ini harus memberi argumen jawaban nyeleneh tadi.


Memikirkan apakah menulis itu gampang saya jadi bertanya-tanya, apakah berbicara itu (sekadar ngobrol-ngidul) gampang? Apakah berdiri di kedua kaki lalu berjalan itu gampang? Kalau sampai kujawab kedua pertanyaan itu dengan SULIT, tentu aku akan dilempar jumroh berjamaan di sini.


Kebetulan aku masih punya balita dan iparku punya bayi berusia kurang dari setahun. Aku perhatikan ponakanku itu berulang kali bangkit dan terjatuh dalam usahanya untuk bisa merangkak. Aku jadi bertanya-tanya, mengapa tidak ada yang bilang sama bocah itu, “Nak, sudah lah, jangan dipaksain. Kau mungkin tidak berbakat!”


Anakku sendiri sedang belajar berbicara. Lafalnya belum sempurna. Sekarang ia sedang belajar mengucapkan kata WARUNG, yang selalu saja terpeleset menjadi RA-UNG, serta KELELAWAR menjadi KELE-WAWAR. Meski tersenyum, ajaibnya semua orang dewasa tidak ada yang mencegah bocah-bocah itu untuk terus berlatih. Hal tersebut sudah berjalan beberapa bulan.


Aku jadi berpikir, asyik betul jika calon penulis bisa bersikap seperti bayi-bayi tersebut, tidak memikirkan apakah keahlian yang ingin dia kuasai itu sulit atau gampang, tetapi penting atau tidak penting. Kupikir  kalau kita sudah ngebet ingin mengusai sesuatu, kita akan mencari cara terbaik untuk mempelajarinya, alih-alih memikirkan kesulitannya. Dan aku yakin ini berlaku di segala bidang, bukan hanya dalam bidang tulis-menulis.


Tentu saja urusannya jadi berbeda jika aku berharap dengan berlatih terus menerus anakku akan menjadi orator sehebat Presiden Sukarno, misalnya. Untuk sampai ketingkat jenius tentu tidak hanya perlu latihan, tapi juga bakat. Tapi kalau cuma bisa berpidato dengan baik, rasanya sangat mungkin untuk diraih.


Bagaimana menurut rekan sekalian. Apakah racauan ini terlalu naif? Apakah teman sekalian punya pengalaman tentang sulitnya mempelajari keahlian menulis? Atau mungkin pencerahan cara terbaik dan tercepat untuk menguasai teknik menulis? Silakan, aku ingin mendengarnya.


Salam,


R.Mailindra


 


The post Menulis itu Sulit? appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 05, 2013 00:41

July 30, 2013

Setiap Rabu

Cerpen Setiap Rabu oleh R.Mailindra


Oleh: R.Mailindra


Gambar diambil dari: http://www.barbiecollector.com/


Menguntit bukanlah keahlianku. Aku bergerak mengikuti insting, penasaran, atau mungkin pengetahuan dari cerita-cerita detektif.


Di depan sebuah kios kaki lima aku berhenti lalu membuka kotak plastik tempat minuman. Meski demikian pandanganku tak lepas dari sosok perempuan berusia tiga puluhan yang sedang berjalan kira-kira delapan meter di depanku. Sinar mentari kekuningan menyirami sosok itu. Tubuh ramping, rambut hitam sebahu, serta blazer krem yang ia pakai sangatlah kukenal. Ia lah istriku, perempuan yang kunikahi enam bulan lalu.



Si cantik berkulit langsat, berwajah semanis coklat itu pertama kali kutemukan di sebuah acara peluncuran produk. Ia product manager yang sedang bersinar dan sinarnya menyihirku. Aku bak bocah yang menatap kembang api untuk pertama kali. Mimik, gerak tubuh, serta kalimat cerdas yang ia lontarkan di atas panggung, membuatku seperti kembang matahari mengikuti gerak sang surya. Saat ia melirik ke arahku lalu tersenyum, jantungku seperti disetrum.


Setelah pendekatan tiga bulan, suatu hari tak dapat lagi kutahan perasaanku. Aku pun mengungkapkan cintaku.


“Kau baik,” jawabnya waktu itu. “Maaf, tapi aku tak mencintaimu.”


Harusnya aku paham arti jawaban itu. Kata-kata itu tidak bersayap. Ajaibnya, aku tak layu dihujam sedemikian rupa. Aku malah tersenyum. Lalu, entah dari mana datangnya kegilaan itu, aku pun berkata, “Jangan khawatir, aku akan mengajarimu.”


Kegilaanku mungkin menularinya. Entahlah. Yang pasti, setelah kejadian itu, hubungan kami malah kian erat. Ringkas kata, singkat cerita, kami saling jatuh cinta. Tepatnya aku yang langsung jatuh cinta, dan ia tertimpa.


Saat pacaran, tak banyak yang bisa kukorek tentang dia dan keluarganya. Kalau aku berkeras, ia akan menceritakannya dengan wajah muram dan nada suram. Ia bilang sudah yatim piatu sejak bayi—orangtuanya meninggal dalam kecelakaan. Ia dibesarkan oleh pamannya. Saat berusia tujuh belas, pamannya meninggal. Setelah itu ia hidup mandiri.


Cuma segitu kisahnya. Namun tanpa kisah pun, ia sudah membuatku mabuk. Tak kupersoalkan asal usul serta masa lalunya. Buatku yang terpenting adalah sekarang dan masa depan.


“Kuterima kau apa adanya,” begitulah yang kukatakan padanya, atau seingatku semacam itulah gombalanku. Setahun kemudian aku melamarnya.


Segalanya tampak indah dan baik-baik saja selama pacaran. Sayangnya, setelah menikah sebuah kejanggalan mengusikku. Seminggu sekali, setiap Rabu, ia selalu ngeluyur entah ke mana dan baru pulang jam delapan malam. Awalnya kupikir ia ada urusan di luar kantor, tapi setelah mencari tahu, kudapati fakta mengejutkan: ia selalu cuti setiap Rabu.


Aku tahu dia manager hebat, aset berharga perusahaannya. Namun tetap saja aku terperangah mengetahui ada perusahaan di Indonesia yang memberikan waktu kerja begitu longgar.


Saat kutanyakan hal itu, ia cuma tersenyum, mencoba membuatku cemburu, mengalihkan topik, lalu mulai menyentuhku. Man, ia perempuan hebat. Aku keburu lumer ketika ia mencumbu hingga penasaranku pun ikut meleleh.


Tapi, penasaran itu seperti penyakit kulit—semacam panu atau kurap. Dalam fase awal, ketika masih sedikit, ia luput dari perhatian. Namun dengan berjalannya waktu, pertumbuhannya menggerogoti kesabaranmu.


Demikian pula soal menghilangnya istriku ini. Setelah berbulan-bulan hal tersebut tak kunjung reda, tak dapat kutahan lagi gatal ini. Aku harus segera menguaknya. Jadilah hari ini aku cuti lalu menguntitnya.


 


Istriku melanjutkan langkah. Di kiri jalan berjajar toko-toko. Cahaya mentari berkilap dipantulkan jendela kaca yang maha besar. Ia berhenti sejenak lalu memberikan uang kepada seorang pengamen yang duduk di pinggiran toko sambil bermain gitar. Setelah berjalan beberapa langkah, ia berbelok lalu masuk ke sebuah butik.


Aku mengikutinya dan berhenti beberapa toko dari butik itu. Suara pengamen itu menyusup ke telingaku. Ia menyanyikan lagu Aku-Ingin-Pulang-nya Ebiet G. Ade dengan suara serak seorang rocker. Di depanku, di balik kaca, manekin cantik tersenyum padaku. Sebenarnya benda itu akan tersenyum kepada siapa pun yang kebetulan melihatnya. Aku tak tahu mengapa ia tersenyum. Mungkin ia ingin mengatakan, “lihat betapa modis busana ini!” Aku menatap balik manekin itu lalu teringat istriku. Ia secantik dan seramping manekin itu. Pantas saja teman-temanku mengutuki keberuntunganku.


Setengah jam berlalu, istriku belum juga keluar dari butik itu. Kakiku mulai pegal namun manekin di depanku masih saja tersenyum. Kini kusadari benda bodoh itu ternyata mengejekku sedari tadi. Sialan, aku tak berniat bersaing dengannya—berdiri di sini sepanjang hari.


Saat sedang menimbang langkah selanjutnya kudengar decitan mobil. Sebuah taksi berwarna hijau alpukat berhenti di depan butik itu. Seorang pria berjas hitam turun lalu masuk.


Beberapa menit kemudian, orang berjas hitam itu keluar dari butik itu. Ia tampak terburu-buru. Sebuah taksi yang kebetulan lewat langsung ia hentikan. Taksi itu segera menghilang ke utara. Sungguh pria yang efisien, pikirku. Kalau lelaki itu sempat membeli sesuatu di sana, pastilah ia sangat ahli berbelanja.


Setengah jam setelah si jas hitam itu pergi, aku tak kuat lagi. Sudah hampir satu jam istriku di sana. Apa yang ia lakukan? Borong baju? Mungkin karena sudah capai tak terperi, atau karena sudah bosan diejek menekin di depanku, atau karena kombinasi konyol keduanya, aku nekat menghampiri butik itu.


Senyum seorang gadis dan sejuknya udara menyambut kedatanganku. Sudah kuduga, ini butik mewah. Di sebelah kanan kulihat jajaran baju wanita dengan berbagai model dan warna. Aku punya dugaan tentang banderol harganya, namun sumpah aku tak berniat mencari tahu.


“Bisa dibantu, Pak?” tanya gadis itu.


Aku mengedarkan pandangan. Bingung karena tak menemukan istriku. Anehnya aku malah melihat si jas hitam di pojok. Aku mengerjapkan mata. Tidak salah lagi. Itu lelaki yang turun dari taksi hijau alpukat tadi. Bukankah dia sudah keluar setengah jam lalu?


“Ya, maaf, istri saya tadi ke sini. Dia pakai blazer krem, Mbak lihat?” tanyaku.


Kuberitahu lebih detail lagi. Ia akhirnya ingat dan bilang istriku telah pergi.


“Kira-kira setengah jam lalu, Pak.”


Banderol di butik ini pasti bisa membuatku pening, namun kepalaku berdenyut bukan karena hal itu.


Kemana dia?


Pertanyaan itu berputar-putar seperti laron dan laron tak seharusnya ada di butik. Sambil membawa pikiran orang yang baru kehilangan dompet, aku pun keluar. Karena tak tahu harus mencari ke mana lagi, kuputuskan untuk pulang.


[BERSAMBUNG]


The post Setiap Rabu appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 30, 2013 18:48

July 28, 2013

Si Gendut Yang Licin

cerpen_si_gendut


Pria itu mendekatkan ponselnya ke telinga dan terdiam seolah sedang mendengar khotbah maha penting. Matanya nyalang. Ia melirik ke kiri, ke arah lelaki tambun yang berdiri di depan konter resepsionis hotel—lima belas meter di samping kirinya.

Sambil terus tersenyum, sang resepsionis—seorang gadis berusia dua puluhan—mengangguk-angguk seperti burung pelatuk. Beberapa saat kemudian gadis itu berjalan ke belakang lalu menghilang. Saat kembali, ia membawa sebuah amplop.



Pria yang sedang mendengarkan ponsel itu ingin sekali mendekati mereka lalu mencuri dengar pembicaraan. Kalau mungkin sekalian melihat isi amplop tersebut. Namun ia tak mungkin melakukannya. Bisa kacau semuanya. Ia telah bersumpah kali ini harus berhasil. Sepertinya keputusannya kali ini tepat. Ia ingat dua minggu lalu sempat terkecoh. Dua minggu lalu bapak gendut itu pergi ke hotel lain dan ia hanya mengamati mobilnya saja. Setelah dua jam menunggu dan si gendut tidak kunjung muncul, ia pun masuk mencari tahu namun mendapati fakta ajaib: si gendut tidak pernah masuk ke kamar ataupun meninggalkan hotel. Ke mana hilangnya pria segendut itu?


Keledai pun tak masuk lubang yang sama dua kali. Ia tak ingin disamakan dengan keledai apalagi kalah pintar dari keledai. Demi arwah Sherlock Holmes, ia adalah detektif profesional. Kali ini ia akan menempel si gendut. Tidak terlalu dekat tapi mustahil untuk lenyap.


Awalnya dia pikir ini pekerjaan surveillance ringan yang bisa dikerjakan dua atau tiga hari. Sebuah perkiraan yang biasa ia pakai untuk mengamati kasus perselingkuhan. Seorang wanita berusia empat puluhan mencurigai suaminya dan menyewa mereka untuk menyelidiki. Kasus ringan. Biasanya begitu. Kunyuk. Siapa sangka suami wanita itu benar-benar licin.


Dalam sebuah kasus perselingkuhan, target mungkin mengandalkan hotel sebagai tempat bertemu. Namun mereka jarang memeriksa atau membuat langkah antisipasi untuk mengelabui para penguntit. Itu mungkin karena bedebah di selangkangan mereka sudah mengeras hingga otak mereka tak sempat memikirkan apa pun selain lubang untuk landing. Tapi si gendut ini beda. Ia mau berepot-repot membuat langkah antisipasi. Apa dia terlalu banyak nonton film spy?


Ah, si gendut bergerak. Ia segera bangkit lalu mengikuti.

Si gendut berjalan menuju area parkir di lantai dasar lalu berbelok ke kiri dan mendekati sebuah mobil kijang berwarna hitam.


Detektif itu mempercepat langkah. Udara terasa lebih pengap. Bau asap kendaraan tercium. Ternyata banyak juga mobil yang parkir di sini. Sebagian besar mobil keluaran terakhir.

Detektif itu terus mengikuti. Menjaga jarak. Di samping pintu depan mobil kijang berwarna hitam mengkilap itu, si gendut mengeluarkan kunci dari amplop lalu membuka pintu.


Detektif itu mempercepat langkah. Si gendut mulai memasuki mobil. Saat melintas di depan mobil itu, sang detektif berhenti, lalu mengeluarkan ponselnya. Tanpa melirik si gendut, ia mendekatkan ponselnya ke telinga dan mengarahkan kamera ponselnya ke kijang itu.


Detektif itu menekan sebuah tombol, lalu mengoceh seolah sedang menerima telepon. Sesaat kemudian, ia melanjutkan langkah sambil melihat gambar pada ponsel. Mobil kijang bergerak. Detektif itu menekan beberapa tombol untuk menelepon.


“Bintang, target bergerak. Kijang hitam, pelat B 5– …,” katanya. ”Kau tempel, aku susul.”

Setelah memutuskan sambungan, ia kembali menekan beberapa tombol.

”Hai Mika, kau kosong? Sip! Kau jemput aku ya, hotel .…”


Dua jam kemudian detektif itu telah duduk di dalam mobil, di samping temannya yang bernama Bintang. Mereka mengamati sebuah rumah bertingkat tiga bergaya minimalis di seberang jalan. Rumah itu berwarna krem dan coklat tua dengan pagar tembok setinggi dua meter di depannya.

”Bah! Bandot itu benar-benar paranoid. Cuma mau ’gituan’ saja dia buat berbelit-belit begini. Pikirnya dia itu James Bond apa?” kata detektif itu.

”Mungkin dia takut istrinya bakal nguntit, Bang.”

”Apa? Nguntit kata kau? Bah! Kalau begini ceritanya, sampai ganti mobil di dalam hotel segala, perempuan itu boleh mimpi kalau bisa nguntit sendiri. Polisi saja mungkin perlu berhari-hari buat tahu di sini gundiknya tinggal. Ah, sudahlah, potret dan cari tahu siapa yang tinggal di rumah itu. Kita harus buat laporan bagus. Kalau tidak, bisa hancur nama kita. Masa urusan begini perlu tiga minggu? Apa kata dunia?”

***


The post Si Gendut Yang Licin appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 28, 2013 23:41