R. Mailindra's Blog, page 3

July 28, 2013

Tips Menulis Dari Penulis Besar (04)

Tips kali ini menampilkan saran dari pada master tentang indahnya menulis sederhana.


1. “What lasts in the reader’s mind is not the phrase but the effect the phrase created: laughter, tears, pain, joy. If the phrase is not affecting the reader, what’s it doing there? Make it do its job or cut it without mercy or remorse.” –ISAAC ASIMOV


Ketika membuat sketsa, gambar, ataupun lukisan, para pelukis tidak mungkin menggambarkan benda-benda yang tidak perlu, benda yang tidak mendukung tema karyanya. Sebuah tempat sampah dengan bungkus nasi berserakan di bawahnya dan lalar serta kecoak yang mengerututi tong sampah, tak mungkin digambarkan pada lukisan sepasang kekasih yang sedang duduk di taman.


Demikan pula seharusnya cerita. Potong, hajar tanpa ampun kalimat dan adegan yang tidak mendukung cerita.


2. “Repeat after me: ?Short is better than long.? Simple is good. (Louder.) ?Long Latin nouns are the enemy.? Anglo-Saxon active verbs are your best friend. ?One thought per sentence.” –WILLIAM ZINSSER


Mantra yang dahsyat. Cerita yang menarik ditulis dengan kata yang pendek (2 suku kata lebih baik dari 3 suku kata), kalimat yang pendek, dan logika yang simpel. Tulis dengan kata benda yang kuat dan dalam kalimat aktif. Jika ide terlalu rumit, sabar, paparkan satu persatu. Jika cerita sudah ruwet di pikiran penulis pastilah ia akan amburadul ketika hinggap di pikiran pembaca.


3.“The best rule for writing–as well as for speaking—is to use always the simplest words that will accurately convey your thought.” –DAVID LAMBUTH


Tulislah cerita seakan-akan sedang berbincang dengan teman. Orang yang bercakap-cakap tidak mungkin memilih kata dan kalimat yang panjang dan rumit.


“Bro, cewe itu cakep ya!”, itu yang akan diucapkan seorang pemuda. Mengapa di dalam tulisan ia berubah menjadi, “Oh kawanku terkarib, lihatlah, sungguh jelita bagai rembulan gadis berambut kelam berwajah bidadari itu.” ?


4. “Find what gave you emotion; what the action was that gave you excitement. Then write it down making it clear so that the reader can see it too. Prose is architecture, not interior decoration, and the Baroque is over.” –ERNEST HEMINGWAY


Tulislah adegan yang kau suka. Tuliskan sehingga pembaca melihat betapa manariknya adegan itu. Lewat adegan yang ditulis, buat pembaca mengerti mengapa kau memilih untuk menuliskan adengan itu, bukan yang lain. Kejelasan cerita lebih penting daripada prosa yang berbunga-bunga.


Adakah rekan sekalian yang punya tips kesukaan tentang kesederhanaan bercerita? Aku ingin mendengarnya. Silakan.


Salam,


R.Mailindra

twitter: @mailindra


The post Tips Menulis Dari Penulis Besar (04) appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 28, 2013 17:20

July 27, 2013

Kompasiana.com, Mengubah Kebiasaan Berkicau Menjadi Mengoceh

Konon Thomas Alva Edison Isaac Newton menyadari hukum gravitasi ketika kepalanya kejatuhan buah apel. Siang ini, mungkin karena perut yang keroncongan, aku jadi tersadar hal yang telah kulakukan beberapa hari ini di kompasiana.com.


Aku sangat suka membaca tips maupun quote tentang menulis. Biasanya jika ada yang mencerahkan, maka akan aku kicaukan di twitter. Namun tiga hari lalu, selesai subuh, aku malah memilih beberapa tips, memberi komentar tentang saran-saran tersebut, lalu menuliskannya di kompasiana dan blog pribadiku. Hal itu ternyata berlanjut keesokan harinya, dan hari berikutnya.


Awalnya kupikir, tips-tips tersebut kupilih secara acak. Tetapi, setelah membaca ulang, ternyata ada polanya. Pada tips pertama misalnya, ternyata aku secara tidak sadar telah mengomentari kemampuan menulis dan bercerita. Lalu pada tips kedua, pikiran bawah sadarku memilihkan saran tentang pentingnya berlatih menulis secara rutin. Selanjutnya, pada tips ketiga aku secara tidak sadar mengomentari tentang teknik menulis.


Apa yang dipelajari dari hal ini? Ternyata sadar atau tidak sadar, menulis membuat kita berpikir secara teratur dan terpola. Ini bagus untuk seorang penulis. Blogging, seperti yang kulakukan di kompasiana.com, selain membuat lancar menulis juga membiasakan kita berpikir secara teratur dan terstruktur. Hal yang sudah sangat jelas sebenarnya, sejelas hukum gravitasi.


Bagaimana pendapat kawan sekalian. Adakah yang mengalami hal seperti yang aku alami?


Salam,


Mailindra

twitter: @mailindra


The post Kompasiana.com, Mengubah Kebiasaan Berkicau Menjadi Mengoceh appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 27, 2013 00:39

July 24, 2013

Tips Menulis Dari Penulis Besar (03)

Semua orang butuh motivasi, terutama penulis. Menulis adalah pekerjaan penyendiri. Penulis fiksi berjuang mengarungi dunia rekaannya sendiri. Namun teknik menulis juga tak kalah penting. Ia lah alat yang dipakai penulis untuk membuat kata-kata yang ditulisnya bernilai dan layak dibaca. Berikut tips menulis dari para master tentang teknik menulis:


1. “The road to hell is paved with adverbs.” —Stephen King

Kata keterangan (adverbs) dan kata sifat (adjektives), harus digunakan dengan hati-hati. Mereka alatnya para pemalas. Kedua kata itu dengan cepat membuat cerita menjadi hambar. Sebisa mungkin ganti mereka dengan kata benda dan kata kerja yang tepat dan kuat.


Arjuna berkata dengan perlahan.; bisa diganti dengan Arjuna berbisik.

Contoh lain,

Bima memukul meja itu dengan keras hingga semua orang terkejut.

Coba ini: Bima menggebrak meja itu hingga semua orang terkejut.


2. “Style means the right word. The rest matters little.” —Jules Renard

Lupakan kalimat berbunga-bunga. Dalam bercerita yang paling penting kata yang tepat, yaitu kalimat yang berisi kata benda dan kata kerja terpilih. Yang lain adalah aksesoris.


3.“If it sounds like writing, I rewrite it.” —Elmore Leonard

Tulislah fiksi hingga terdengar seperti diceritakan langsung kepada pembaca–sampai pembaca merasa masuk ke dunia yang kau buat.


4.You do not have to explain every single drop of water contained in a rain barrel. You have to explain one drop—H2O. The reader will get it.” —George Singleton


Hati-hati, jangan terlalu boros dan cerewet dalam menuliskan detail. Pilih bagian yang unik untuk menggambarkannya. Orang cerewet dengan cepat membuat pembaca kabur.


Demikian tips kali ini. Komentar di atas tentu saja cuma pendapat pribadi. Bagaimana menurut kawan sekalian. Terlalu sotoy? Atau ada yang punya pendapat lain? Saya ingin mendengarkan. Silakan berkomentar.


Salam menulis.


R.Mailindra


The post Tips Menulis Dari Penulis Besar (03) appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 24, 2013 18:12

July 23, 2013

Tips Menulis Dari Penulis Besar (02)

Pagi rasanya waktu yang tepat untuk menyuntikkan motivasi. Sepertinya akan aku buat rutin saja penulisan tips ini. Pertama supaya tidak lupa dan kedua untuk memotivasi diri sendiri.


Tips untuk hari ini adalah berikut:


1.“Just write every day of your life. Read intensely. Then see what happens. Most of my friends who are put on that diet have very pleasant careers.” —Ray Bradbury, WD


Seperti olahragawan ataupun seniman di berbagai bidang, kunci untuk menjadi kompeten adalah RUTIN BERLATIH. Susah? Memang. Itulah sebabnya tak banyak penulis hebat.


2.“Keep a small can of WD-40 on your desk—away from any open flames—to remind yourself that if you don’t write daily, you will get rusty.” —George Singleton


WD-40 sodara-sodara, adalah pelumas. Kemampuan menulis ternyata sejenis mesin mekanik. Berkarat kalau tidak dilumasi dan dipakai setiap hari.


3.“It’s none of their business that you have to learn to write. Let them think you were born that way.” —Ernest Hemingway


Ini sebabnya banyak yang terpana kepada orang yang pandai bercerita. Seolah-olah mereka mutan yang terlahir dengan kemampuan super. Hemingway di sini mengatakan, semuanya dipelajari sodara-sodara.


4.Write while the heat is in you. … The writer who postpones the recording of his thoughts uses an iron which has cooled to burn a hole with.” —Henry David Thoreau


Siap! Jadi jangan tunda menulis. Segerakan jika kepala dan hati sudah mulas untuk memberojolkannya.


Segitu dulu hari ini.

Salam menulis.


R.Mailindra


The post Tips Menulis Dari Penulis Besar (02) appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 23, 2013 22:15

Sang Kritikus: Sangkuriang (Bagian 2)


Sesaat kemudian kulihat batu itu pecah berkeping. Pecahan batu beterbangan menutupi pandanganku. Ketika debu-debu telah hilang, tampaklah sesosok pemuda. Ia berdiri dengan kujang di tangan kanannya. Tubuhnya tegap dan di kepalanya melilit kain. Wajahnya mirip bintang sinetron Korea. Sungguh tidak cocok muka seapik itu dengan tubuhnya yang demikian kekar. Ampun, menggelikan sekali.



“Hei, makhluk tak tahu diri,” teriaknya. “Beraninya kau menghinaku. Siapa yang kau bilang calon istrimu?”


Aku bangkit, meludah. Tadinya ingin juga kugosok hidungku ala Bruce Lee, tapi kubatalkan demi melihat kuku-kuku sialan ini.


“Ha..ha..ha..,” aku tertawa sekeras-kerasnya. Kuusahakan juga semenyeramkan mungkin namun tindakan itu dengan cepat kusesali. Ampun, apa aku terlalu banyak nonton sinetron? Aku jadi seperti bandit-bandit di tayangan tak bermutu itu.


“Kupingmu pasti belum tuli anak ingusan, kau sudah dengar. Cepat selesaikan danau dan perahunya sebelum kau kubuat jadi … perkedel?”


Eh, kenapa perkedel? Memang biasanya begitu, kan? Ah, kata terakhir itu memang susah sekali. Aku juga tak tahu kenapa perkedel yang keluar.


“Perkedel?” Sangkuriang mengerenyitkan dahi.


Aku menggosok hidung dengan punggung tanganku lalu bersin-bersin. Bulu-bulu sontoloyo. Ampun, beginilah kalau buat cerita tanpa riset. Jaman begini apa sudah ada perkedel?


Bagaimanapun the show must go on. Harus buat improvisasi kalau begitu.


“Ah, cecunguk macam kau mana tahu barang begituan. Majulah kau, wahai … pembokong?”


Sebenarnya aku juga bingung mau bicara apa. Tapi aku ingat bagian menarik dari sebuah dongeng justru adegan laganya—berantem. Jadi sekalian saja kupotong dan langsung ke adegan itu.


Sangkuriang memaki lalu menyerbu. Dua tusukannya berhasil kuhindari. Aku melompat. Jurus apa yang mau aku keluarkan? Tendangan tanpa bayangan seperti punya Jet Li? Ah, jangan. Tiruan murahan.


Tunggu dulu. Harus hemat. Bukankah setiap adegan harus punya maksud? Lalu, apa pula maksud laga ini?


Salah! Tidak semuanya. Ada juga yang cuma untuk bersenang-senang. Dan, adegan ini bisa kupakai untuk berpikir.


Jadi apa rencananya?


Sambil berjumpalitan menghindari serbuan, aku menyapu pandangan, mencari ide. Aku pasti bisa. Oh, dewi inspirasi, datanglah!


Sesungguhnya aku paling benci dengan kebetulan-kebetulan dalam sebuah cerita. Kalau sampai kutemukan, kujamin penulisnya akan menyesal pernah terlahir dan menulis cerita itu. Herannya kali ini aku malah menyukurinya. Saat melihatnya, aku langsung mengenalinya.


Itu dia, tiket keluarku!


Segera saja kupercepat gerakan. Kulentingkan tubuhku, bersalto dua kali, menjejakkan kaki ke bahu seekor jin bertubuh kerbau, lalu melenting lagi sebelum mendarat lima langkah dari perahu yang belum selesai dikerjakan. Rencanaku: akan kuhancurkan perahu ini. Dengan begitu gunung Tangkuban Perahu tak akan masuk cerita.


Aku berlari sekencang mungkin dan dengan segenap kekuatan aku arahkan tendangan ke perahu—seperti pemain bola mengeksekusi pinalti.


Sesaat lagi kujamin perahu itu akan pecah berkeping-keping. Namun, sulit dipercaya, sontoloyo juga, tendanganku meleset karena entah bagaimana Sangkuriang sudah ada di sana dan menghantamku dari samping.


Aku oleng, tapi sebelum terjatuh, aku berhasil memutar badan dan menyampok kakinya.


Rasakan!


Namun, hasilnya sungguh mencengangkan: kaki Sangkuriang menendang perahu.


Sangkuriang berteriak kaget.


Aku juga—tentu saja lebih keras.


Entah siapa yang paling terkejut atau paling menyesali kebetulan itu, yang pasti semuanya sudah terlambat. Batu sudah terlanjur jadi arca dan perahu itu sudah melesat ke utara. Mengikuti logika dongeng, nantinya ia pasti akan menjadi gunung—gunung Tangkuban Perahu.


Terkutuklah kau wahai kebetulan. Terkutuklah kebetulan yang tak masuk akal ini. Terkutuklah …ya sudah, semuanya sudah berantakan, jadi sekalian saja kulumat Si Sangkuriang ini.


Dengan segenap kekuatan putus asa, aku melompat dan menyerbu. Sangkuriang, yang tak kalah kalapnya, berkomat-kamit merapal ajiannya. Tubuhnya bersinar kekuning-kuningan seperti mentari pagi. Aku tak perduli dengan atraksi itu. Aku terus merangsek. Kedua tangan kukepalkan. Entah jurus apa ini, tapi seharusnya hantamanku lebih dahsyat dari godam.


Sesaat lagi kedua tanganku akan menghantam kepala pemuda sialan itu. Jika kena, dipastikan kepalanya remuk seperti kerupuk diduduki gajah. Herannya, ia tidak mengelak. Ia malah maju sambil menusukkan kujangnya.


Aku tercekat. Terlambat, tak mungkin kuhindari kenekatan itu. Dua tusukan langsung menghujam dadaku. Aku meraung dan refleks kutendangkan kaki. Tendanganku menghantam telak perutnya dan Sangkuriang pun terlempar.


Tusukan itu membuat dadaku nyeri. Dingin berganti hangat menjalariku. Aku tak tahu ke mana Sangkuriang terpental. Rasanya terpelanting ke selatan sambil berteriak ‘ibu’—seperti balita.


Tapi apa peduliku? Oh, kenapa ini sakit sekali? Apakah aku akan mati? Perempuan, maksudku penulis sialan itu, pernah menjawab pertanyaanku di cerita sebelumnya: “apakah aku bisa mati di tempat ini?”


Ia tertawa lalu dengan jumawa berkata: “hanya zombie yang bisa hidup tanpa jiwa.”


Bohong. Dia pasti menipuku, seperti jebakan ini. Tapi, tentu saja aku tak mau gegabah. Bagaimana kalau benar?


Kini kurasakan itu. Oh, sepertinya dia tak berdusta. Dadaku berdenyut, kepalaku pening. Aku seperti sedang diputar-putar. Tuhan, ampuni aku jika harus menghadapmu sekarang.


[BERSAMBUNG]


The post Sang Kritikus: Sangkuriang (Bagian 2) appeared first on R.Mailindra Blog.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 23, 2013 18:35

July 22, 2013

Tips Menulis Dari Penulis Besar (01)

Penulis pemula sepertiku selalu ingin tahu rahasia para penulis hebat menciptakan karyanya. Seperti master-master ilmu bela diri, para master penulis ini pun membeberkan rahasia mereka dengan ungkapan dan pernyataan yang dalam maknanya.

Berikut beberapa kutipan yang mencerahkan dari mereka:


1. “We are all apprentices in a craft where no one ever becomes a master.” —Ernest Hemingway

Hemingway seakan mengatakan kepadaku kesempurnaan dalam menulis tidak mungkin. Terus belajar dan tulislah sebaik mungkin. Ketika sebuah karya sudah selesai publikasikan. Tak mungkin dibuat sempurna. Namun jika ada kesalahan, belajarlah dari kesalahan tersebut.


2. “The greatest part of a writer’s time is spent in reading, in order to write; a man will turn over half a library to make one book.” —Samuel Johnson

Cocok dengan nasehat jorok seorang teman. Menulis itu ibarat berak, buah dari membaca. Untuk menghasilkan segunduk tahi, butuh makan banyak buku. (Keterlaluan ini nasehat).


3. “I do not over-intellectualize the production process. I try to keep it simple: Tell the damned story.” —Tom Clancy, WD

Yang paling penting dari sebuah karya fiksi adalah ceritanya. Selalu tentang cerita. Keindahan prosa dan lain-lainnya tak berguna kalau tidak ada ceritanya.


4.“Beware of advice—even this.” —Carl Sandburg, WD

Ini sangat mantap. Jangan percaya dengan segala tips menulis. Uji dan tanyakan, apakah berguna untuk kemajuan menulismu.


Segitu dulu untuk kali ini. Lain waktu kita lanjutkan.

Salam menulis


R. Mailindra

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 22, 2013 16:24

July 21, 2013

Sang Kritikus: Sangkuriang (Bagian 1)

Oleh: R. Mailindra (twitter: @mailindra )



Gambar: sumber wikipedia


Kabut putih di depanku kian menipis. Guncangan-guncangan juga semakin mereda. Tapi kekesalanku belum juga sirna.


Ampun, susahnya.


Kekesalanku semakin menebal saat tawa dan ejekan kembali berputar di kepalaku.


Klise, tuan, hanya tukang foto keliling yang pakai.


“Sontoloyo!”


Dimaki begitu dia malah tergelak.


Dan, spesies mereka juga hampir punah.


Ia tertawa lebih keras lagi.


Aku menggeretakkan rahang. Darahku serasa mendidih. Mungkin kini asap telah mengepul di ubun-ubunku. Ingin kubongkar kebon binatang dan melempar nama-nama penghuninya ke muka penulis picisan itu. Sialnya aku malah terdiam. Ampun.


Ah, sudah berapa cerita yang kulewati? Dua mungkin. Tapi mengapa seperti sudah beratus-ratus?


 


Kini kabut dengan cepat menghilang. Pijakanku juga semakin mantap. Begitu warna putih di sekelilingku menghilang, tampaklah segerombolan makhluk. Aku terbelalak. Penampilan mereka membuatku merinding: sebagian mempunyai bulu bergumpal-gumpal, ada yang bertandung, bertaring, serta bercakar. Aku menelan ludah lalu surut selangkah. Bulu kudukku mungkin sudah serupa bulu landak.


A-pa itu?


Kukerjapkan mata namun keanehan itu tidak menghilang. Sebenarnya yang kusebut aneh bukan hanya makhluk-makhluk itu, namun juga pandanganku. Di mataku semuanya tampak kehijauan—seperti sedang memakai kacamata night vision.


Aku mencoba mengenali tempat ini. Luar angkasa? Alien–kah itu? Science fiction pasti, pikirku spontan. Ah, ini tentu lebih baik dari cerita sebelumnya. Paling tidak aku bisa memperkenalkan ide-ide ajaib di sini. Lihat saja, perempuan itu pasti melongo melihat kecanggihannya. Tapi, mengapa ada sungai berbatu?


Aku tak sempat memikirkan jawabannya karena harus terlonjak. Semuanya buyar gara-gara suara berdebum diiringi kecipak air yang sekonyong-koyong menyeruak. Sontoloyo, ternyata sesosok makhluk sebesar kuda dengan rambut awut-awutan baru saja melemparkan sesuatu ke aliran sungai.


 


“Kalapitung. Hei, tong bengong wae maneh!” teriak suara di sebelah kanan.


Kalapitung? Makhluk bodoh mana pula yang punya nama itu. Rasanya aku pernah mendengarnya. Tapi di mana?


Ingatanku berjalan mundur, mencari sesuatu yang bisa dikenali. Layar Terkembang? bukan; Mahabarata mungkin? juga bukan; Star wars kalau begitu?  jelas bukan. Yang pasti itu nama dari masa lalu. Semacam dongeng sepertinya. Dongeng? Ampun, hari begini masih ada yang suka dongeng? Benar-benar keterlaluan. Mereka pantas diawetkan dan dipajang di museum. Oh, tunggu dulu, jangan-jangan .…


“Kalapitung, hei…!”


Tiba-tiba kudengar desisan di belakangku. Seperti desisan ular namun lebih samar. Belum sempat aku melakukan apapun, tubuhku seperti diseruduk. Aku tersungkur dan tertelungkup. Saat kuangkat wajah, suara tawa berkumandang.


Sialan, keluhku. Apa itu barusan?


Kuelus kepalaku dan kuusap wajahku. Ketika melakukannya terlihatlah keanehan di tanganku. Ampun, mengapa buluku begini banyak? Aku memang tak pernah mencukur lenganku, tapi sejak kapan mereka tumbuh menggila? Memang, lenganku tampak jauh lebih berotot, itu sedikit membanggakan, tapi … wah, tanganku bercakar? Sungguh mengerikan. Bagaimana kalau hidungku gatal, repot benar ngupil dengan kuku sepanjang ini.


Kuraba wajahku. Cermin, cermin, aku harus lihat mukaku. Kuputar kepala, mencari cermin, namun yang kudapati makhluk-makhluk mengerikan sedang terkekeh menatapku.


 


“Hei, Kalapitung, jangan bengong!” sesosok makhluk berambut gimbal dangan taring bercabang tiga tiba-tiba berdiri di depanku.


Ini mungkin salah satu mimpi terburukku. Dipanggil dengan sebutan jin jelek. Belum pernah ada yang seberani ini menghinaku. Kutatap dia. Dia berkacak pinggang. Sombong betul. Pastilah dia yang tadi membokongku. Entah bagaimana caranya. Sebenarnya ingin kuhajar mukanya. Tapi aku takut juga.


 


“Sangkuriang mau danau ini beres sebelum ayam-ayam berkokok!”


Sangkuriang? Oh, tidak. Ampun! Sungguh tidak modis. Ini benar-benar keterlaluan.


Maneh angkat batu sebelah barat dan bendung alirannya. Sedikit lagi kita beres. Ngartos?


“Ini sia-sia. Tak akan berhasil. Aku hapal cerita ini. Sebentar lagi .…”


“Cerita?” potong makluk itu.


Ampun. Haruskah kujelaskan? Pengalaman di dua cerita sebelumnya mengurungkan niatku mendebatnya, apalagi harus menjelaskan situasiku kepada makhluk tongos bertanduk di gigi ini. Tampaknya si jelek ini arogan sekali, jadi lebih baik aku menurut.


“Baiklah!” jawabku lesu dalam bahasa Sunda.


Mungkin ini salah satu keuntungan dari jebakan ini. Aku tiba-tiba fasih berbahasa sunda—sebenarnya bahasa apa pun. Setelah dua cerita, tentu saja keherananku sedikit berkurang.


 


Aku berjalan ke barat. Baru beberapa langkah, sesosok makhluk agak ceking bermata tiga menghadangku.


“Kalapitung,” katanya, lalu mulutnya seperti mengunyah sesuatu, “tadi itu benar-benar keterlaluan!” Ia berhenti sesaat lalu mengaruk-garuk perut, “dia permalukan kau, berarti dia permalukan semua guriang penjaga hutan!”


Aku berhenti, menatapnya setengah tidak percaya. Mata tiga, ceking, dan kepala plontos. Mungkin inilah makhluk fantasi paling menyedihkan—gabungan memilukan antara gembel, copet ketangkap, ondel-ondel, dan ikan sapu-sapu. Kalau saja bisa kurekam dan pamerkan di youtube, makhluk ini bisa mendadak terkenal.


“Kita harus tuntut balas,” lanjutnya. “Lagipula kita tak pernah angkat dia jadi ketua? Kebetulan saja Sangkuriang menyuruhnya.


Ini agak menarik. Balas dendam. Pembangkangan. Ada yang menolak membantu Sangkuriang karena berselisih. Aku menutup mata, berpikir, lalu membukanya kembali. Ah, tak akan cukup. Paling hanya jadi side story. Aku butuh lebih dari itu. Aku perlu perubahan plot!


Setelah mengibaskan tangan, aku pun berbalik dan melanjutkan langkah. Ketika makhluk itu memanggilku lagi, kuangkat jari tengahku. Sebenarnya tidak tepat tengah, karena aku punya enam jari. Tapi siapa perduli. Ia pasti tak akan mengerti.


Apa bagusnya dongeng Sangkuriang ini? Ceritanya aneh dan punya banyak kebetulan. Aku benci kebetulan, tapi mengapa pula aku memilihnya? Sudah puluhan tahun aku tidak membaca dongeng. Memang, aku pernah menggandrunginya. Tapi itu dulu, sewaktu kecil. Seingatku dongenglah yang membuatku terus memaksa ayah dan ibuku bercerita. Ketika stok cerita mereka habis, mereka memberiku komik dan novel. Mungkinkah dongeng yang membuatku begini? Entahlah.


“Ya, kau angkat batu sebelah sana, Kalapitung! Cepat lempar ke sungai!” teriak suara itu—suara makluk yang tadi membokongku.


Sontoloyo, enak saja dia perintah-perintah. Bagaimana kalau kulempar batu-batu itu ke jidatnya. Atau kulepar saja ke Sangkuriang, atau ibunya? Kalau mereka mati ketimbun batu, kan, ceritanya jadi beda?


Tentu akan beda, tapi apa jadi lebih bagus? Bagaimana kalau lebih jelek? Kematian mereka cuma akan memperlama waktuku di tempat terkutuk ini. Ampun, harus bagaimana ini?


Setengah putus asa kuambil batu sebesar kerbau lalu kulemparkan ke arah sungai. Lumayanlah, sedikit menghibur menyadari aku punya kekuatan sebesar itu. Dengan mudah aku mengangkat dan melempar batu sebesar itu. Luar biasa, benar-benar ngibul cerita ini!


Tapi begitulah. Mungkin di sanalah nikmatnya menulis. Kubayangkan seorang penulis pasti terus menerus terperangkap dalam cerita yang sedang ia kerjakan. Bermimpi sepanjang waktu sambil menyusun kebohongan demi kebohongan. Harusnya itu menyenangkan, bukan? Tapi, mengapa perempuan itu menjebakku?


Aku ingat sedang ada di kereta api sebelum semua kejadian aneh ini. Ia duduk di sebelahku dan kami berkenalan. Seingatku wajahnya manis, walau tidak terlalu cantik. Entah siapa yang memulai, kami pun ngobrol dengan enak. Ia bilang tidak pernah melewatkan tulisan-tulisanku. Dan, resensiku yang terakhir, membuatnya tak bisa tidur. Oh, perempuan ini punya selera bagus, sungguh sebuah kebetulan yang menyenangkan.


Setelah sekitar satu jam, dia menawariku coklat. Katanya khas Swiss. Rasanya memang agak beda dari coklat-coklat yang biasa kumakan. Tidak terlalu manis dan lebih banyak pahitnya. Malah menurutku rasanya lebih mirip kopi daripada coklat.


Setelah habis beberapa gigitan, kepalaku terasa lebih ringan. Sepertinya obrolan kami juga semakin lancar. Terakhir yang kuingat ia tersenyum. Manis sekali. Kupikir ia tampak seperti bidadari. Lalu, dengan genit ia mengedipkan mata kirinya, menyentuh lenganku, dan berkata, “Boleh aku menciummu?”


Aku terperanjat, tak siap menjawab. Setelah itu, tiba-tiba saja aku sudah berada di ruang serba putih. Selagi kebingungan, kudengar suara perempuan itu menggema: “Masuklah ke dalam cerita favoritmu!”


Apa-apaan ini? Belum sempat kutanyakan itu, tiba-tiba saja aku sudah di tengah pertempuran Robin Hood—cerita kesukaanku.


Begitulah, ia lalu berkata, aku harus bisa mengubah jalan cerita Robin Hood menjadi lebih menarik kalau ingin kembali.


Kembali? Perintah macam apa itu? Ini sungguh tidak adil. Menarik atau tidak itu sangat relatif. Itu hak prerogatif pencerita.


Seperti bisa mendengar pikiranku, perempuan itu tertawa.


“Tak disangka kritikus seulung tuan bisa berkata demikian. Lupakah tuan dengan semua kritikan tuan? Ingatlah, betapa gagah dan terpelajarnya tuan ketika mengkritik novel, novelku!”


Sontoloyo, ternyata ia memang bisa mendengar pikiranku.


 


“Hei!” sebuah teriakan membuyarkan lamunanku, “kalian dengar itu?”


Suara kentongan terdengar.


Seingatku itu berarti cerita Sangkuriang ini mendekati akhir. Sebentar lagi api besar akan terlihat di timur—dekat pemukiman. Orang-orang kampung akan memukul segala macam yang bisa dipukul, para guriang akan kabur, dan seterusnya. Kalau kubiarkan, cerita ini akan berakhir sebagaimana aslinya.


Lalu aku harus apa? Apakah sebuah cerita bisa diubah seenaknya? Ataukah ia akan mengalir begitu saja? Ah, kalau hal ini kutanyakan ke sepuluh penulis, mungkin akan muncul sebelas pendapat. Entahlah, aku bukan penulis cerita. Aku kritikus.


Tapi, bukankah selalu ada alternatif? Paling tidak begitulah teorinya. Bagaimana kalau si Dayang Sumbi itu aku culik saja?


Aku menertawai ide itu. Betapa konyolnya. Pasti gagal melawan begini banyak guriang. Lagipula, melihat jumlah jin yang tunduk, Sangkuriang itu pastilah amat sakti. Dan, kalaupun berhasil, mau aku bawa ke mana cerita ini? Memelet Dayang Sumbi, lalu kami menikah, dan anak-anak kami memerintah seluruh Jawa? Ampun, ini jauh lebih buruk dari aslinya.


Atau, aku ubah saja muka Si Sumbi itu jadi seperti Mak Lampir? Bah, tak kalah konyolnya; sekonyol muka Mak Lampir. Lagipula, aku belum tahu, apa karakter yang kupakai ini mampu melakukannya. Bukankah setiap cerita, se-fiksi apapun, pasti punya logika? Tapi, seharusnya kesaktianku jauh di bawah Sangkuriang. Dan, kalaupun berhasil, apakah itu akan membuat pemuda itu membatalkan niatnya? Lalu bagaimana pula akhir ceritanya? Ampun, aku tak punya waktu.


Suara kentongan terdengar semakin nyaring. Di timur kulihat cahaya semakin terang. Trik bodoh sebenarnya. Dan, aku cukup heran mengapa orang-orang dahulu bisa dibodohi dengan teknik murahan seperti itu.


“Lihat, fajar tiba,” teriak sesosok di belakangku.


“Itu bukan fajar, bodoh!” sergahku.


Namun tidak ada yang mempedulikan. Mereka resah dan sebagian mulai meninggalkan sungai. Aku berlari ke arah sebuah pohon besar. Dengan segenap tenaga kucabut pohon itu lalu kulemparkan ke arah kerumunan jin, dedemit, dan entah makluk buruk rupa apa lagi yang ada di sana. Mereka menghindar.


“Hei, Kalapitung. Maneh dah gila?”


“Dengar wahai cecunguk-cecunguk!” teriakku. Sengaja suara kubuat seberat dan seserak mungkin. ”Siapa yang berani meninggalkan tempat ini harus berhadapan denganku! Dengar, aku mau permintaan Sumbi selesai tepat waktu!”


Mereka saling bertatapan.


“Tunggu apalagi, cepat kerja, bodoh!” Aku berkacak pinggang. “Mana Sangkuriang, dia juga harus kerja. Calon istriku tidak boleh kecewa.”


Makhluk-makhluk itu terdiam. Lalu perlahan mundur.


Aku tersenyum. Mereka pasti kaget. Baru tahu aku bisa sangat serius rupanya.


Dari belakang kudengar desisan.


Ah, masa sih aku kecolongan dua kali? Keledai pun tak akan, dan aku pasti lebih pintar dari keledai. Aku menjatuhkan badan, berguling ke kiri—ke arah batu besar, lalu menyabetkan tangan kanan. Batu sebesar lemari meluncur deras ke arah pembokongku. Aku tersenyum. Luar biasa, cerita ini benar-benar ngibul.


[BERSAMBUNG]

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 21, 2013 21:33

Rahasia Novel Bestseller

Oleh: R. Mailindra (Twitter: @mailindra)


book bestseller


Apa rahasia sebuah novel sehingga bisa menjadi bestseller? Apakah kualitas sastra tulisannya? Rasanya tidak. Sayang sekali, fakta menunjukkan novel bagus belum tentu laris dan novel laris juga belum tentu punya kualitas tulisan yang bagus.


Saya setuju jika dikatakan menerbitkan novel adalah sebuah perjudian. Makanya banyak yang menyarankan tulislah cerita yang kau sukai. Entah itu novelmu menjadi bestseller atau tidak, kepuasan sudah kau miliki. Tapi adakah benang merah novel-novel yang laris? Banyak yang sudah membahas, mulai dari teknik menulis hingga teknik memasarkan.


Salah satu blog yang aku baca mengatakan bahwa NOVEL ADALAH PRODUK EMOSI. Ia adalah buah kerja otak kanan.

Hal itu membuat aku tercengang. Kok bisa aku melewatkan hal sejelas itu?


Semua orang tahu, orang membaca novel untuk menikmati pengalaman tokoh-tokoh dalam cerita. Semua juga tahu membaca novel bisa membangkitkan emosi. Dan nenek-nenek juga tahu bahwa novel adalah karya kreatif yang merupakan buah kerja otak kanan. Namun yang buat aku tercengang, mengapa banyak orang mencoba menjual produk emosi, buah kerja otak kanan dengan pendekatan otak kiri?


Lihatlah di facebook, twitter, ataupun berbagai blog. Para penulis dan penerbit menjejalkan iklan tentang buku mereka, tentang betapa bagus dan hebatnya buku mereka dan segala janji hal yang akan didapat jika membaca buku tersebut. **ehm, ya..ya.. ngaku deh, aku juga melakukannya :-| ***

Sepengetahuanku, cara itu tidak efektif. Buang waktu, tenaga, dan biaya saja. Aku curiga, banyak calon pembaca yang diam-diam menyumpahi telah di-spam seperti itu.


Di lain pihak coba liat buku-buku para selebritas blog dan twitter. Ambil contoh Raditya Dika dan Arief Muhamman si poconggg. Mereka sudah punya banyak pengikut dan orang-orang yang secara emosi mendukung mereka. Dan apa yang terjadi ketika mereka meluncurkan buku? Bum! Terjual bagai kacang goreng.


Novel Laskar Pelangi bercerita tentang perjuangan murid-murid sekolah Muhammadyah. Aku menebak–ini mungkin saja keliru–salah satu faktor novel itu bisa laris adalah karena dukungan orang-orang Muhamadyah.


Dan Novel Ayat-ayat Cinta, dipublikasikan sebagai cerita bersambung di Republika sebelum novelnya dibukukan. Mungkin jumlah mereka yang tertarik mengikuti cerita itu sudah demikian banyaknya sehingga ketika buku itu muncul di pasar, langsung sukses.


Jadi apa pelajaran yang bisa diambil di sini?

Orang-orang di luar negeri sana berbicara tentang Author Platform. Blog dan media sosial memungkinkan penulis untuk berinteraksi dan dekat dengan pembacanya dan menarik calon pembaca. Harapannya, pembaca akan jauh lebih tertarik untuk membeli buku orang yang ia kenal.


Yah, tapi ini hanya hasil pengamatanku. Bagaimana menurut kawan sekalian. Apakah tulisan ini terlalu ‘sotoy’ alias sok tahu? Ada yang tahu resep buku-buku best seller? Atau mungkin ingin membagi pengalaman cara membuat buku yang bestseller? Silakan berbagi di sini. Aku sangat ingin mendengarnya.


Salam,


R. Mailindra

mailindra.cerbung.com

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 21, 2013 02:44

June 18, 2013

Mengasah Keterampilan Menulis Fiksi

Latihan Karate

Belajar menulis cerita tak ada bedanya dengan latihan mempelajari keahlian lain. Mungkin, sangking benarnya hal tersebut sampai-sampai banyak orang melewatkan detailnya.

Banyak saran tentang menulis yang mengatakan, untuk bisa membuat cerita, ya tulis saja. Kalau saran model seperti itu diberikan kepada murid karate pastilah akan berbunyi: untuk menjadi kareteka ya langsung berantem saja.


Kemarin, sambil menunggui anakku latihan karate, aku berpikir, guru karate anakku pasti akan tertawa keras-keras kalau kuberi saran, “Sensei, biarkan anak-anak langsung latihan komite, sparring. Ngga usah di drill seperti itu!”

Itu saran tidak logis. Untuk menjadi kareteka setiap aspeknya harus dilatih satu per satu, seperti: latihan kuda-kuda, pukulan, tendangan, dan tangkisan. Tak ada karateka yang berhasil jika langsung disuruh komite.

Menulis cerita pun demikian. Harus dilatih bagian per bagiannya. Ada banyak sekali komponen keahlian menulis. Mulai dari tata bahasa, kosa kata, teknik bercerita. Ada yang disebut narasi, deskripsi, dialog, dan lain sebagainya. Ada lagi teknik membuka cerita, mengembangkan cerita, dan menutup cerita. Belum lagi tentang penokohan.

Tentu tak semua bisa dikuasai sekaligus dan tak semuanya perlu dikuasai. Di dunia ini banyak sekali jurus beladiri. Dan tak semuanya harus dikuasai oleh karateka. Menulis cerita pun demikian. Pelajari teknik yang membuat karya kita menjadi enak dibaca dan membekas di pembaca.

Bagaimana pendapat kawan sekalian? Ada yang punya saran atau bahkan pengalaman belajar menulis fiksi? Saya tertarik untuk mendengarnya.

Salam menulis.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 18, 2013 03:25

January 24, 2013

Mat Gonggong

Ada banyak alasan anjing menggonggong. Untuk mengancam lawan misalnya. Mendekat selangkah, habis kau. Namun kalau terlalu sering dikeluarkan maka tahulah kau bahwa ancaman itu kosong belaka. Pria bertubuh gempal itu meludah-ludah dan memaki-maki. Matanya yang hitam dan sipit mendelik. Semburan ludah membuat jenggotnya yang hitam dan keriting sedikit basah. Sambil memaki, ia terus mengitari lawannya.


“Cari mampus, lu. Kampret!” makinya sambil memainkan golok di tangan kanannya.



Laki-laki yang dikitari si Gempal ikut berputar. Ia membuat tubuhnya terus berhadapan dengan si Gempal sambil memutar tongkat kayunya. Tongkat itu telah merobohkan tiga orang begundal, anak buah si Gempal.


Para pedagang pasar Ujung Beling, sudah menjauh dari arena pertarungan. Tadi, beberapa pedagang yang terlambat membereskan barang terpaksa pasrah dagangan mereka berantakan. Namun orang-orang kecil malang itu tidak ingin jauh-jauh. Mereka ingin tahu siapa pemenang duel ini. Semuanya berharap suasana pasar kembali damai, kalau bisa damai seterusnya, dan itu baru mungkin terjadi jika si Gempal, kepala begundal pasar yang dijuluki Mat Gonggong, tewas.


Mat Gonggong melompat, menebas, namun lelaki tak dikenal itu memutar badannya ke kanan. Ia menangkis golok Mat Gonggong, lalu menyampokkan kakinya. Kaki Mat Gonggong tersapu, ia oleng, dan ketika akan terjatuh barulah ia sadari siapa lelaki tak dikenal itu.


***


Lelaki itu punya nama, tentu saja, sama seperti semua orang. Namun ia tak terlalu menghiraukan namanya. Nama tak penting untuk diingat karenanya ia mencomot apa pun sebagai nama. Pernah dia memperkenalkan diri sebagai Mentari, di lain waktu sebagai Rembulan. Bahkan tak jarang dia memakai nama binatang, seperti Kebo, Tikus, Rubah, ataupun Marmut.


Nama tak penting untuk diingat, namun harus dipunyai, agar orang bisa memanggil. Ia tak suka mengingat nama, karenanya selalu memberikan nama baru kepada setiap lawan tandingnya. Nama itu kemudian akan selalu melekat pada lawannya. Kerenanya ia dijuluki Pendekar Seribu Nama.


Seorang perompak, pernah ketiban sial berhadapan dengannya. Sepanjang pertarungan, perompak itu tak henti-hentinya memaki dan mengancam. Persis gonggongan anjing kampung. Entah sudah berapa jurus yang perompak itu keluarkan, namun sang pendekar, dengan mudah mengindari. Parahnya, kaki si perompak selalu tersampok, sehingga ia berulang kali tersungkur. Akhirnya ia menyerah dan meminta agar selembar nyawanya diampuni. Pendekar itu tersenyum lalu berkata,


“Pergilah, Mat Gonggong. Kita akan bertemu lagi jika pilihan hidupmu masih begini.”


Setelah pertarungan itu, gelar Mat Gonggong tak bisa lepas dari si perompak—persis seperti panu di dahi, memalukan.


***


Sudah lebih dari sepenanak nasi guru bertubuh gempal itu berbincang dengan dua orang muridnya. Dua orang yang haus perhatian. Mereka baru saja mengobrak-abrik pasar Beringin Bawah, dan petingkah itu bukanlah yang pertama kalinya. Sang Guru sudah bosan menghukum mereka dan tampaknya semua hukuman hanya membuat mereka semakin beringas, semakin keras, dan semakin kuat.


Mengeluarkan mereka dari perguruan tidak menyelesaikan masalah. Mereka akan jadi sampah pengganggu di luar sana. Jadi, alih-alih mengkhotbahi, sang Guru malah mengajak mereka berbincang-bincang.


Mata sipit Guru itu berbinar ketika salah seorang murid bengal itu berkata,“Guru, ceritakan dari mana kau dapatkan gelar Mat Gonggong itu.”


Sempat terpikir oleh guru itu untuk mengeluskan jenggotnya yang keriting, atau mengangguk khidmat sambil menatap kejauhan, atau ekspresi bijak apa pun yang biasanya dikeluarkan oleh seorang guru jika mendapat kesempatan untuk mengkhotbahi muridnya. Tapi tidak, ia tidak melakukan semua hal itu. Ia malah berkelit. Setelah beberapa jurus mengelak untuk memastikan bahwa kedua bengal itu benar-benar tertarik, ia pun berkata,


“Baiklah, kalau kalian memaksa. Akan kuceritakan. Begini, … .”


Sang Guru berhenti sejenak, menghirup setangkup udara, lalu mulai menceritakan kisah ini.


***

Bandung, 25 Januari 2013

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 24, 2013 20:20