Udo Z. Karzi's Blog

August 26, 2024

Cinta Lama yang Tiada Bersemi Kembali, Sebuah Autofiksi dari Udo Z Karzi

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis by Udo Z. Karzi NOVEL terbaru Udo adalah novel romantis berlatar gerakan mahasiswa dasawarsa 1990-an. Sinopsisnya, melalui surat yang ditujukan kepada Pithagiras, Kenut Ali Kelumbai menuturkan tentang betapa dia tak pernah berhenti mencintai Pithagiras. Tapi, waktu dan keadaan, tetap menyimpan perasaan Kenut terhadap Pithagiras. Tak terkatakan dan pula tersurat sampai puluhan tahun kemudian. Lalu, Kenut kenal dengan Vitalita Dania yang mirip dalam nama dan banyak hal dengan Pithagiras. Dimulailah kisah asmara itu. Tapi, semua tak berjalan seperti yang Kenut dambakan. Musibah pun menimpa keluarga dan sanak-familinya di Liwa, Lampung Barat yang tertimpa gempa. Sebagai aktivis dan penulis, ia ditangkap dan ditahan aparat. Sekeluarnya dari penjara, Kenut pun harus rela kehilangan banyak hal, teman, termasuk kekasih.

Berikut petikannya: “Aku terlambat memahami semua ini. Kini semua menjauh. Aku telah kehilangan segalanya. Aku mencoba membayangkan satu persatu wajah-wajah orang yang kukasihi. Mulai dari dirimu, Pitha, yang begitu dekat, tetapi sedari awal rasanya memang tak bisa terjangkau olehku. Ada Tari yang manis, tetapi terlalu singkat untuk mengenalnya lebih dekat karena terpaksa atau dipaksa orang tuanya menikah dengan seorang lelaki yang sudah mengikat keluarganya dengan budi. Tari menikah muda sekali ketika ia belum lagi naik kelas dua SMP. Aku hampir tak percaya di zaman yang bergerak maju, masih saja berlaku perjodohan ala Siti Nurbaya. Aku ingin menentang itu. Tapi, apalah dayaku. Sebab, menampak padaku Tari nyatanya senang-senang saja. Mengapa pula aku harus peduli dan membela nasib Tari? Setelah itu Tiara, adikku sayang yang harus pergi meninggalkan keremajaannya bersama ratusan saudaraku yang lain yang menjadi korban gempa Liwa 1994 yang meluluhlantakkan Bumi Beguai Jejama. Lalu, Vitalita Dania yang sempat menjadi tumpuan kasih-sayang dan harapanku di masa depan. Namun, ternyata dalam perjalanan waktu sulit dia menerima keadaan diriku yang serba-membingungkan, sering bikin cemas, penuh ketidakpastian, dan akhirnya memilih seseorang yang lebih bisa memberikan hal yang lebih jelas dan konkret. Dan, Nafsiah ... ah, malangnya dirinya ... Bukan, bukan dirinya yang malang, melainkan akulah yang bodoh dan sialan karena telah mengabaikan sekeping hati yang penuh ketulusan berharap mendapatkan sambutan dariku hingga akhir hayatnya. Kanker telah merenggut nyawanya tanpa aku bisa berbuat apa-apa. Semua menjadi gelap. Jalan-jalan membelukar dan penuh onak. Sementara, semangat dan vitalitas hidupku telah jatuh ke jurang yang paling dalam. Oohh ... apa kini yang bisa aku lakukan?" (hlm 141—142)

“Setelah itu, kami menikmati jalan-jalan setapak di bawah terik matahari. Menelusuri pematang sawah, menapaki sela-sela kebun, dan memandang aneka tetanaman yang tumbuh di perladangan sambil berpegang tangan. Berbincang, bertukar senyum, dan kadang tertawa. Duh, lumayan mesra.” (hlm 71)

“Karena itu, daripada mengadu pada yang masih hidup yang tidak mau mendengar dan tidak bisa membantu apa-apa, lebih baik melapor kepada arwah para pahlawan bahwa telah terjadi penindasan, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan di tanah yang mereka perjuangkan dulu.” (hlm 117)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis adalah sebuah novel romantis berlatar gerakan mahasiswa 1990-an, gempa Liwa 1994, dan keindahan hamparan perkebunan kopi di kaki Gunung Pesagi. Udo mengambil bentuk surat untuk menuturkan pelbagai hal mulai dari cinta lama yang tiada bersemi kembali, gempa Liwa 1994, gerakan mahasiswa, hingga perkebunan kopi di kaki Pesagi dan musim bunga di Kota Liwa yang berudara sejuk. Novel terdiri atas 24 bab. Karena mengambil bentuk surat, sejumlah bab diawali dengan “Phita yang baik”, bahkan “Pitha yang manis” dan “Pitha yang cantik” dalam bab “Mawar Merah untukku.” Pitha adalah sapaan pendek untuk Pithagiras dan tokoh “aku” bernama lengkap Kenut Ali Kelumbai yang disapa Kenut atau Nut.

Seperti novel Udo sebelumnya, Negarabatin, novel ini pun berupa autofiksi atau novel biografis yang menceritakan pengalaman tokoh “aku” saat duduk di SMP, saat terjadi gempa Liwa, kota tempat tokoh “aku” berasal dan tempat tinggal orang tua, adik-adik, kakek-nenek, dan sanak famili. Juga saat menjadi jurnalis kampus dan mahasiswa aktivis. Udo juga bercerita tentang Atul, yang bernama lengkap Saidatul Fitriah, jurnalis/fotografer surat kabar mahasiswa Teknokra yang menjadi korban kekerasan aparat dalam Tragedi UBL (Universitas Bandar Lampung) Berdarah, 28 September 1998 (mestinya: 1999). Atul (21 tahun) mahasiswa FKIP Unila meninggal pada 3 Oktober 1999 karena kepalanya retak akibat dipopor tentara saat sedang menjalankan tugas jurnalistik meliput demontrasi mahasiswa menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya.

Novel biografis atau autofiksi (fiksi autobiografis) adalah suatu genre sastra yang mengombinasikan elemen-elemen autobiografi dan sastra. Di dalam autofiksi, detail-detail dari kehidupan penulis dipadukan dengan informasi fiksional, para karakter (tokoh cerita), dan peristiwa-peristiwa. Karya ini merupakan naratif personal yang dituturkan melalui lensa ingatan, kesan-kesan masa lalu dan masa kini.

Pada “Ucapan Terima Kasih” untuk novel ini, Udo menulis, “Gerakan mahasiswa di Lampung tahun 1990-an prareformasi 1998, gempa bumi Liwa pada 16 Februari 1994, dan suasana perkebunan kopi robusta di tanah kelahiran saya berputar-putar di kepala saya sekian lama. Saya harus menulis sebuah novel dengan latar ketiga situasi itu, begitu yang terpikir oleh saya setelah menyelesaikan novel Negarabatin (2016) dan menerbitkan Negarabatin, Negeri di Balik Bukit (2022). Dalam proses penjajakan dan penulisan novel Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis ini, terlalu banyak pihak yang membantu jalan cerita, inpirasi, dan gagasan. Saya berutang ide kepada Knut Hamsun (1859--1952), novelis Norwegia, penerima Nobel Sastra 1920. Nama Knut Hamsun secara kebetulan mirip dengan nama Mamak Kenut, seorang tokoh fiktif dalam khazanah folklor Lampung. Mamak Kenut ini kemudian saya gunakan sebagai nama tokoh dalam kolom-kolom saya. Dan, dalam novel ini saya modifikasi menjadi nama tokoh utama, Kenut Ali Kelumbai (aku). Pythagoras, filsuf Yunani yang terkenal dengan rumus Pythagoras-nya, dipinjam dengan modifikasi juga untuk nama seorang perempuan cantik dan cerdas: Pithagiras. Kepada Pithagiras inilah, Kenut menuliskan surat cintanya.

Salam hormat juga kepada aktivis prodemokrasi asal Lampung Muhajir Utomo, Andi Arief, dan (alm) Bambang Ekalaya yang pernah ditangkap, diculik, dan ditahan aparat di era masing-masing. Sedikit-banyak saya meminjam cerita mereka untuk novel ini. Diskusi dan bahan bacaan dari Rosita Sihombing dengan novelnya Luka di Champs Elysees (2008) serta Rilda Taneko dengan novel Anomie (2017) dan Selama Air Hilir (2023) kian menumbuhkan kecintaan pada Lampung dan mendorong saya merampungkan surat tak terlalu panjang ini.”

Sebuah novel dari sedikit novel yang mengambil latar Lampung. Sangat menarik! []

---------
Iwan Nudaya-Djafar, sastrawan; sebuah petikan dari naskah panjang
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 26, 2024 04:10

Cinta dengan Argumen yang Enak dan Mengalir secara Wajar

Oleh Ari Darmastuti

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis by Udo Z. Karzi MEMBACA novel Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis karya Udo Z Karzi a.k.a Zulkarnain Zubairi ini membawa kembali ingatan saya ke peristiwa-peristiwa yang terjadi dari masa awal sampai sekitar akhir 1990-an. Ya, masa-masa interaksi saya sebagai dosen baru di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Univesitas Lampung dengan para mahasiswa yang masih intensif karena beberapa hal, antara lain jumlah mahasiswa yang sedikit, tenaga saya masih kuat dan perbedaan umur dengan mahasiswa yang tidak terlalu jauh. Kami sangat akrab sehingga peristiwa yang dialami mahasiswa pada umumnya kami ketahui dan ikuti, bahkan seringkali bersama berinteraksi secara fisik. Hal ini saya kemukakan karena memang pengantar ini menjadi catatan yang saya buat sebagai hasil interaksi saya baik pada saat Udo Z Karzi masih jadi mahasiswa maupun sampai saat ini.

Novel karya Udo Z karzi ini memang berasal dan mendapat inspirasi dari peristiwa-peristiwa yang sebagian besar berasal dari kejadian-kejadian nyata dalam hidupnya. Beberapa hal yang saya catat adalah asal daerah. Udo Z Karzi memang berasal dari Liwa di Lampung Barat, daerah yang menjadi setting hampir separuh isi novel. Dalam novel, aktor utama dipanggil oleh teman-temannya dengan nama panggilan “Nut”. Dalam kenyataannya, Udo Z Karzi memang acap menggunakan tokoh Mamak Kenut di kolom-kolomnya di koran dan sempat dibukukan dalam Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (2012) dan Ke Negarabatin, Mamak Kenut Kembali (2016). Nama Mamak Kenut kemudian sering dilekatkan padanya. Karena itu, ada kesulitan untuk membedakan tokoh Kenut dalam novel ini dan Kenut sebagai nama panggilan (nama alias) penulisnya, Udo Z Karzi. Walaupun tidak sepenuhnya, tokoh utama novel ini, Kenut Ali Kelumbai, memiliki kemiripan karakter dengan penulisnya, Udo Z Karzi. Tentu saja, ia dilumuri dengan imajinasi disertai drama di sana-sini. Meskipun banyak fakta yang mengitari novel ini, tetap saja secara keseluruhan kisah ini adalah fiksi!

Berikutnya adalah soal tempat kuliah. Si “Nut” ini kuliah di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Lampung, sama dengan tempat kuliah Udo Z Karzi. Sebagaimana Udo Z Karzi yang juga menjadi aktivis pers kampus, maka aktor utama dalam novel juga aktif di pers kampus. Peristiwa gempa Liwa 1994 juga direkam dalam novel ini. Ikut larut dalam kesedihan ketika dicerita meninggal adik Kenut yang menjadi korban Gempa Liwa 1994. Ini termasuk yang saya tidak tahu cerita sesungguhnya.

Yang mengejutkan saya adalah soal ditahannya tokoh utama novel oleh aparat keamanan karena buah pikirnya yang dia tuangkan di media dinilai membahayakan negara. Saya tidak tahu apakah Udo Z Karzi pernah ditahan selama 10 bulan atau tidak. Saya juga tidak tahu apakah ceritanya tentang “Gunung Terang” juga berasal dari fakta, padahal ternyata teman jalannya ke Gunung Terang ternyata menjadi akhir perjalanan cintanya. Saya juga tidak tahu apakah dalam kehidupan nyatanya tokoh Pithagiras itu memang ada. Bagi saya hal ini tidak penting. Yang penting Pithagiras menjadi sarana bagi penulis untuk menuangkan ide yang runtut dan logis dalam bentuk surat, sesuatu yang jarang terjadi dalam novel-novel yang saya baca sebelumnya.

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis ini juga bisa menjadi bahan refleksi bagi semua pihak tentang perjalanan kehidupan berbangsa-bernegara kita. Secara berseloroh, Udo berkata, “Saya sengaja kuliah Ilmu Pemerintah FISIP Unila biar bisa nulis novel semacam ini. Lewat novel ini, saya mencoba mengingatkan aktivis prodem tentang gerakan mahasiswa 1990-an. Reformasi sudah diselewengkan. Kondisi sosial-politik negeri saat ini sungguh memprihatinkan."

Semoga tidak semua orang lupa dengan idealisme Reformasi yang dibawa gerakan mahasiswa yang mencapai puncaknya dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 sebagaimana Udo Z Karzi menuliskan cerita ini setelah tersimpan berpuluh-puluh tahun lewat. Ya, kisah novel ini adalah sejarah jualah versi Udo Z Karzi.

Novel ini, meski menggunakan bahasa yang berasal dari percakapan dan bahasa sehari-hari yang ringan, memiliki nilai sastra yang enak dibaca serta mengangkat tema serius dengan cara yang ringan. Tema “cinta yang setia tetapi sekaligus realistis menerima kondisi yang berubah” disampaikan dengan argumen yang enak dan mengalir secara wajar sehingga kita sebagai pembaca tidak menganggap aktor utama sebagai orang yang tidak setia, mudah berganti pacar karena perubahan kondisi yang terjadi, khususnya pergantian tingkat sekolah dan tempat tinggal. Ini salah satu kekuatan penulis yang perlu diapresiasi.

Novel ini juga membuka wawasan kepada kita bahwa percintaan remaja bisa tetap indah dan terjadi secara wajar tanpa “dikotori” hubungan fisik berlebihan. Karena itu novel ini layak direkomendasikan menjadi bahan muatan lokal untuk siswa-siswa SLTA di Lampung, novel yang sehat untuk remaja.

Selamat menikmati novel Pithagiras. Selamat berkarya untuk Udo Z Karzi. []

Bandar Lampung, 15 Agustus 2024


-------------------
Prof. Dr. Ari Darmastuti, M.A., guru besar bidang ilmu politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 26, 2024 03:54

April 4, 2023

Kental Nuansa Etnik, tapi Bukan Kebanggaan Primordialisme

Oleh Irene Teng Siat Hwa

Negarabatin Negeri di Balik Bukit by Udo Z. Karzi Judul: Negarabatin, Negeri di Balik Bukit
Penulis: Udo Z Karzi
Penerbit: Pustaka Jaya, Bandung
Cetakan: 1, 2022
Tebal: 168 hlm
ISBN: 978-623-221-834-5

LUMAYAN lama saya tenggelam dalam kesibukan sebagai mak rumtang, saya terpaksa menunda janji untuk me-review novel Mas Udo (ini harusnya udo aja ya, nggak pake 'mas' lagi). Maaf ya, Mas. Saya ternyata segombal itu.

Membaca judul dan melihat kovernya, terbersit di pikiran saya bahwa novel ini adalah kisah tentang ilmu kebatinan, atau semacam dongeng surealistik, atau sesuatu yang berbau klenik-klenikan.

Eternyata saya salah dong.

Novel ini ternyata novel coming out yang sangat realistik dan down to earth. Jenis tulisan dan style yang sangat saya favoritkan.

Dengan humble dan cute, juga teramat jujur, (Mas) Udo melemparkan saya ke petikan-petikan kenangan masa kecil yang dialami oleh sebagian besar generasi kelahiran 70-80an. Menciptakan déjà vu yang terhablur dengan cantik, membuat saya seakan berkaca dengan diri saya sendiri.

Meskipun sepintas seperti novel kanak-kanak, (Mas) Udo cukup berani dengan kosakata dewasa. Di antaranya penggunaan kata jerabuk (jembut) dan nenet (kemaluan anak lelaki, mungkin sama artinya dengan tytyd). Ini keberanian yang saya acungi jempol, karena tahun-tahun belakangan ini penghalusan atau eufimisme dalam karya sastra sudah menyempitkan penggunaan kosakata tertentu, sehingga dianggap tabu dan mencarut.

Dilatarbelakangi keindahan alam Liwa dan ditaburi berbagai kosakata serta peribahasa Lampung, novel ini sangat kental dengan nuansa etnik, meskipun uniknya tidak terasa sebagai kebanggaan primordialisme. Karena itulah novel ini dapat dinikmati oleh non-Lampung sekalipun.

Jadi wajar saja kecantikan novel ini (ketika dalam versi Bahasa Lampung) membuatnya didapuk sebagai pemenang Hadiah Sastra Rancage tahun 2017.

Di sisi lain, ada hal-hal yang harus saya garis bawahi. Selain beberapa typo, ada semacam inkonsistensi dalam plot maupun POV. Misalnya (Mas) Udo berganti-ganti menggunakan POV1 dan POV3 tanpa batasan jelas. Inkonsistensi ini juga terjadi pada plot prolog dan isi novel, sehingga terjadi semacam ketidaksinambungan di antaranya: sampai akhir pembaca tidak diberi tahu apa penyebab si 'aku' enggan pulang ke Negarabatin.

Namun, selain itu, novel ini amat layak masuk daftar buku favorit dan direkomendasikan. Yang jelas novel ini novel favorit saya dan saya merekomendasikannya.

Way to go, (Mas) Udo! Kudos! []

--------------------
Irene Teng Siat Hwa, novelis

Sumber: LaBRAK.CO, 4 April 2023
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 04, 2023 07:14

November 8, 2022

Warna Lokal dalam Cerita Masa Kecil

Oleh Eko Sugiarto


Negarabatin Negeri di Balik Bukit by Udo Z. Karzi Judul buku: Negarabatin, Negeri di Balik Bukit
Penulis: Udo Z Karzi
Penerbit: Dunia Pustaka Jaya
Cetakan: Pertama, 2022
ISBN: 978-623-221-834-5

ENTAH senang, entah susah, cerita tentang masa kecil selalu menarik. Peristiwa sehari-hari yang dijalin dalam cerita model ini terasa apa adanya. Inilah yang dilakukan Udo Z Karzi.

Cerita dalam novel ini memang rekaan. Namun, beberapa bagian adalah fakta dari kisah nyata. Latar cerita di Negarabatin (Liwa, Lampung Barat) pada tahun 1970-1986 adalah sebagian dari fakta itu.

Salah satu kekuatan novel ini adalah pelukisan suasana cerita. Warna lokal sangat kental. Ingatan pembaca akan dibawa terbang ke sebuah tempat yang asing bagi generasi kekinian, tetapi sangat akrab bagi generasi 70 hingga 80-an. Terutama mereka yang kurang beruntung secara ekonomi.

Saat ibu tokoh utama akan melahirkan, misalnya. Gambaran suasana tengah malam begitu mencekam. Rumah panggung yang hampir roboh, hujan lebat, dan deru angin yang menghantam dinding bambu yang mulai rapuh, atap seng yang berlubang di beberapa bagian, ditambah penerangan yang hanya mengandalkan lampu minyak tanah karena listrik belum masuk (hlm 13) semakin memperkuat suasana mencekam yang coba digambarkan oleh pengarang.

Pemanfaatan kosakata dari bahasa daerah yang menghiasi banyak halaman juga cukup menarik. Bukan hanya memperkuat warna lokal ke-Lampung-an novel ini, kosakata dari bahasa Lampung ini tampaknya juga digunakan dengan alasan yang memang perlu.

Bagian yang berjudul 'Sapsada Berbunyi Sore' adalah salah satu contohnya. Di bagian ini ada catatan kaki untuk 'sapsada', yaitu 'nama burung, saya tidak tahu nama Indonesianya'. Tampaknya si pengarang novel ini memang kesulitan menyebut nama burung tersebut dalam bahasa Indonesia. Bisa jadi jenis burung yang dimaksud adalah satwa endemik yang hanya ada di Lampung Barat sehingga sulit ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia.

Terdapat 224 catatan kaki dalam novel ini. Jumlah ini bahkan melebihi tebal novel yang hanya 168 halaman. Jika dirata-rata, setiap halaman novel ini mengandung catatan kaki. Bahkan, lebih dari satu. Bagi pembaca yang tidak paham bahasa Lampung, catatan kaki ini memang perlu. Bagi pembaca yang mengerti bahasa Lampung, mungkin ini terasa sedikit mengganggu. []

------------
Eko Sugiarto, dosen di Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta.

* dimuat di Kedaulatan Rakyat, Selasa Pon, 8 November 2022 hlm. 13.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 08, 2022 16:20 Tags: negarabatin

October 26, 2022

Negarabatin dan Kekayaan Hati

Oleh Hidayati Rusydi


Negarabatin Negeri di Balik Bukit by Udo Z. Karzi PADA satu kesempatan, saya mengikuti acara bedah buku berjudul Negarabatin, Negeri di Balik Bukit (Pustaka Jaya, 2022) dengan pembicara Arman AZ, Dedy Tri Riyadi, penulisnya, Udo Z. Karzi, dan moderator Maghdalena. Zoom yang diselenggarakan Apresiasi Sastra dan Rumah Produksi Indonesia (RPI), 15 September 2022 lalu, ini saya ikuti sampai selesai. Bahkan, saya menjadi penanya pertama dalam acara tersebut.

Bertanya membawa berkah, saya mendapat hadiah buku Negarabatin yang dikirimkan langsung oleh penulisnya.

Buku ini tidak terlalu tebal, jumlah halaman 168 saja. Sekali duduk bertemankan kopi atau teh manis hangat, khatamlah membacanya.

Namun, ada yang luar biasa dari buku ini. Gaya penulisannya mengingatkan saya kepada Buya Hamka, ulama dan penulis dengan gaya bertutur lisan. Pembaca seperti diceritakan secara langsung. Yang membedakan adalah “rasa bahasa”-nya. Jika Buya Hamka menulis dengan “rasa Minang”, maka Udo Z. Karzi menulis dengan “rasa Lampung”.

Negarabatin adalah sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lampung Barat hari ini, tanah kelahiran penulis. Banyak pengalaman masa kecil yang dirangkai oleh penulis menjadi kisah-kisah yang sangat menarik. Luar biasa daya ingat Udo Karzi. Betapa banyaknya dari kita tidak mampu mengingat kenangan masa kecil yang sudah dilalui.

Kisah diawali dengan kelahiran si tokoh di sebuah rumah panggung yang merupakan rumah khas Lampung. Udo piawai sekali mengolah diksi dalam narasinya, sehingga membawa pembaca seolah olah turut hadir dalam peristiwa tersebut.

Perjalanan tumbuh-kembang si tokoh sangat kental dengan suasana desa, tradisi, dan budaya di Lampung Barat. Sehingga menambah khazanah pengetahuan pembaca tentang budaya Lampung. Termasuk, pengetahuan tentang istilah-istilah nasab, kosakata, pengenalan tradisi, dan budaya kearifan lokal bumi Negarabatin. Lengkap ada di dalam buku ini.

Tak luput juga “adukan emosi” ikut membuncah rasa dan air mata. Betapa piawainya penulis “mengaduk-aduk” emosi pembaca, ada rasa iba ketika Zanaha harus berjuang melahirkan Uyung di saat hujan lebat tercurah dari langit dan jauh dari suami, bahagia ketika Uyung masuk sekolah dan berkawan-kawan dengan sebayanya, kehangatan keluarga tampak tergambar jelas ketika ayah Uyung berhasil membuat rumah kemudian pindah ke rumah baru dan khitan Uyung. Emosi pembaca ikut naik pula ketika Uyung kabur dari rumah. Dan, tersasar tidak tahu jalan sampai ke Panjang. Warga Bandar Lampung pasti bisa membayangkan jauhnya jarak tempuh yang disusuri Uyung. Hadeeeuh, si Uyung ini ya. Pokoknya nano-nano deh….

Novel ini layak dibaca, karena sarat dengan pengenalan tradisi dan budaya sehari-hari. Banyak tata adab dan kesopan-santunan yang diajarkan kepada pembaca di dalamnya. Tata kehidupan yang takkan lekang oleh waktu karena ia universal.

Alhamdulillah, buku Negarabatin, Negeri di Balik Bukit ini telah terpilih menjadi salah satu nomine Penghagaan Sastra 2022 Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bersanding dengan beberapa novel lain.

Semoga menang Negarabatin, memenangkan kemajuan literasi untuk Bumi Lampung.

Sukses selalu Udo Z. Karzi , kami nantikan karya selanjutnya. []

————
Hidayati Rusydi, praktisi pendidikan di Perguruan Diniyah Putri, Negerisakti, Gedongtataan, Pesawaran.

* dimuat di LaBRAK.CO, 26 Oktober 2022.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 26, 2022 17:44 Tags: negarabatin

September 18, 2022

Menelusuri Sekujur Negarabatin

Oleh Arman AZ


Negarabatin Negeri di Balik Bukit by Udo Z. Karzi PERTAMA saya mengucapkan selamat kepada Udo Z Karzi yang sudah menerbit novel Negarabatin: Negeri di Balik Bukit (Pustaka Jaya, 2022).

Tidak banyak novel yang berlatar Lampung. Saya ingat ada Muhammmad Harya Ramdhoni pernah menulis novel berlatar Lampung Barat juga.

Ada sebagian novel-novel yang beberapa fragmennya berlatar Lampung. Mungkin kita ingat beberapa novel-novel Motinggo Busye atau K Usman berlatar Lampung.

Untuk yang up date adalah novel Negarabatin Udo ini. Nanti kita diskusi tentang novel-novel berlatar Lampung.

Toponimi Negarabatin

Kedua, saya coba memasuki dari toponim Negarabatin itu sendiri. Saya cek di data-data saya sejak kapan toponim Negarabatin itu dikenal atau sudah didokumentasikan. Setidaknya ada tiga buku Ensiklopedia Toponim daerah-daerah di Hindia Belanda. Di Eksiklopedia Toponim tahun 1863, belum dikenal atau tidak ada toponim Negarabatin. Kemudian di Eksiklopedia Toponim Kedua tahun 1895, sudah ditemukan toponim Negarabatin. Dan diperkuatkan lagi dengan Eksiklopedia Ketiga, 1903, itu dicatat nama daerah Nagarabatin sebagai toponim arkaik daerah Liwa. Jadi, ada tiga sumber yang saya cari. Mungkin ada arsip-arsip yang lebih tua tentang Negarabatin.

Toponim Negarabatin di Lampung tidak hanya di Liwa, Lampung Barat, tetapi dia juga ada di beberapa kabupaten lain. Di Way Kanan ada Negarabatin. Terus di catatan-catatan Belanda juga disebut di sekitar Tulangbawang dan di sekitar Sekampung.

Jadi, sebaran Negarabatin bukan hanya ada di daerah Liwa.

Idiom-idiom Lokal Liwa

Kemudian saya mencoba memasuki novel Udo ini, Negarabatin. Ada banyak hal membuat saya tertarik. Ada banyak sekali idiom-idiom lokal daerah Liwa. Idiom-idiom lokal Lampung Barat itu saya sendiri belum banyak tahu.

Di bagian awal di bab 2 ada ilwal pengobatan tradisional yang bercampur dengan unsur-unsur klenik. Di situ disebut saat si Uyung masih kecil dan sakit-sakitan, ada semacam tabib atau dukun yang mengobati Uyung. Nah, informasi tentang pengobatan tradional yang berbau klenik ini bisa ditemukan di bab 14. Jadi, di awal dan di akhir ada informasi tentang tradisi pengobatan tradional juga hal-hal yang berbau klenik. Di bab 14 itu diceritakan ketika Uyung minggat, keluarganya memakai orang pintar untuk melacak keberadaan Uyung. Ada dua ilwal klenik dan pengobatan tradional yang masih berlaku pada saat Uyung kecil.

Udo juga saya lihat mengangkat mengagkat ilwal-ihwal lain yang mungkin masih relevan dengan sekarang. Misalnya, di bab 7 Udo menulis permainan-permainan tradisional yang biasa dilukan anak-anak di Lampung Barat. Itu saya pikir menarik juga. Ada beberapa permainan tradional.

Gastronomi, Permainan Tradisional, Sirkus dari Rusia

Sebagaimana kita ketahui, Liwa memang dikenal sebagai daerah penghasil kopi. Informasi tentang bagaimana masyarakat Liwa berkebun kopi dan bagaimana tradisi minum kopi itu bisa kita temukan di bab 10. Saya pikir itu cukup menarik.

Salain itu, Udo memanfaatkan informasi tentang gastronomi atau kuliner-kuliner lokal. Itu bisa kita temukan di bab 8.

Kisah Uyung ini juga menceritakan tentang anak-anak. Ya, sebagaimana dunia anak-anak, tentu di situ ada kenakalan-kenakalan anak. Misalnya, Uyung hilang saat di Metro. Terus, bagaimana Uyung dan beberapa temannya mencuri dari kebun. Kenakalan-kenakalan itu bisa ditemukan di bab 11.

Saya mencoba mengira-ngira di era kapan setting cerita Uyung, baru saya temukan di bab 12, jelas ditulis Udo, tahun 1979.

Nah, informasi yang menarik juga, saya temukan di bab 11 tentang sirkus dari Rusia yang datang ke Metro. Ini menarik bagi saya. Pada sekitar tahun itu rombongan Uyung dan teman-teman sekolahnya didampingi oleh guru-guru pergi dari Liwa menuju Metro untuk menonton sirkus dari Rusia.

Andai ini memang informasi faktual, saya pikir Udo bisa cerita tentang itu, tentang rombongan sirkus dari Rusia yang ke Metro.

Memori Personal ke Memori Komunal

Saya sependapat dengan Dedy Tri Riyadi yang menganggap Negarabatin sebagai novel memoar. Saya mengendusnya itu sebagai pengalaman Udo semasa kecil.

Saya menyimpulkan ini semacam memori personal Udo yang dikonversi menjadi memori komunal dan bisa dibaca oleh orang yang mungkin belum tahu banyak tentang Liwa.

Kemudian tentang kontradiksi dalam cerita-cerita di Negarabatin, saya menemukan ada kontradiksi dan nanti Udo bisa menjelaskan. Di halaman 10 dan 11, di satu sisi Udo menuliskan tentang kemiskinan di Liwa, lalu ia hendak melupakan, dulu dia sering menyesal mengapa mengapa dilahirkan di Liwa, dan kampungnya tidak ada yang bisa diharapkan. Tapi, di sisi yang berbeda, ia tidak bisa melepaskan diri dari Negarabatin itu. Ini saya kutip sedikit satu paragraf:


Tapi, entah mengapa… mati-matian aku membuang pekon-ku dari kepalaku, dari hatiku, dan dari ingatanku, selalu saja ada bahan yang menjadi lantaran bahwa Negarabatin tidak mungkin hilang dariku.

Jadi ada semacam kontradiksi. Di satu sisi, dia ingin melupakan, meninggalkan Negarabatin, tetapi di sisi lain, dia tetap… satu kakinya, sebelah kakinya masih tertancap di Negarabatin.

Mungkin itu nanti bisa Udo ceritakan kepada kita semua. Tentang bagaimana Udo sebagai penduduk yang lahir dan besar di Negarabatin atau Liwa itu melihat Liwa dari luar Liwa. Itu yang saya tunggu dari Udo.

Sekali lagi selamat kepada Udo yang telah menerbitkan Negarabatin. Ini anak kultural Udo setelah Mamak Kenut, dll.

Tanpa bermaksud seperti agen pariwisata, saya pikir, menarik untuk teman-teman di sini yang belum pernah datang ke Liwa untuk sekali waktu datang ke Liwa, ke Negarabatin. Negarabatin itu tempatnya asyik, tempat yang sejuk. Di situlah cikal-bakalnya orang Lampung. Banyak lokus-lokus menarik yang bisa didatangi seperti yang ada di buku Udo.

Mudah-mudahan nanti Udo berkesempatan menulis lebih detil tentang Negarabatin atau Liwa. Sebab, menurut saya, banyak sekali lokus menarik di sekitaran Negarabatin atau Liwa yang belum dieksplore oleh Udo. Mudah-mudahan di novel berikutnya tentang Negarabatin, Udo bisa mengeksplore lokus-lokus dan ihwal-ihwal menarik tentang Liwa.[]

————-
Arman AZ, sastrawan, peneliti sejarah sosial-budaya

* dimuat di LaBRAK.CO, 18
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 18, 2022 17:32 Tags: negarabatin

September 17, 2022

Negarabatin: Upaya Meninggalkan dan Mengekalkan Kampung Halaman

Oleh Dedy Tri Riyadi


Negarabatin Negeri di Balik Bukit by Udo Z. Karzi Mengapa Negarabatin?

Di Lampung ada banyak tempat dengan kata Negara/Negeri seperti Negara Ratu, Negara Sungkai, Negara Sakti, Negara Tama, Negara Harja, Negeri Besar, Negeri Jaya, dsb.

Tentu, alasan utama novel ini berjudul Negarabatin karena didasarkan pada kenangan akan tempat lahir, dibesarkan, dan sebagai tempat membentuk pribadi dari Uyung/Zulkarnain/Yasir Irawan.

Sebagai tempat lahir, Negarabatin memberi corak dalam kehidupan pribadi Uyung (alamnya, udaranya yang dingin, lingkungan para petani, dll.)

Sebagai tempat Uyung dibesarkan, Negarabatin ada dalam periode kehidupan Uyung dari lahir sampai menempuh Pendidikan tingkat pertama (dalam cerita Uyung melanjutkan sekolah keluar Negarabatin)
Sebagai tempat membentuk pribadi, terkait dengan periode kehidupan Uyung, Negarabatin melibatkan keluarga dan teman-teman Uyung minimal dari Uncuk ke Tangsi, dari Tamong Hakim ke Wak Bakri di Surau, dari satu ke lain ladang bersama dengan keluarga besarnya, bahkan Negarabatin memberi tekanan (lewat nasihat-nasihat ayah/bak pada Uyung) sehingga Uyung pergi ke kota lain karena marah.

Membandingkan Negarabatin dengan tempat lainnya

Blora sebagai latar dari aneka peristiwa yang terjadi pada beragam tokoh dalam kumpulan cerita Pramoedya Ananta Toer, Cerita-Cerita dari Blora.

Oetimu dalam Orang-Orang Oetimu menjadi meltingpot bagi beragam karakter manusia/orang-orang yang ada di sana selain sebagai latar peristiwa-peristiwa yang terjadi antaramereka.

Bloomington dalam Orang-Orang Bloomington juga sebagai latar terjadinya beragam kisah dari berbagai tokoh/karakter.

Semasa sekolah menengah pertama, saya akrab dengan tulisan Karl May dengan judul Di Pelosok-Pelosok Balkan di mana Karl May menggerakkan seorang karakter bernama Kara Ben Nemsy menjelajah berbagai negara dari Gurun Afrika Utara sampai Albania. Wilayah Balkan menjadi daerah petualangan yang dinamis bagi tokoh tersebut.

Yang utama dari kuatnya sebuah tempat di dalam cerita adalah jika tempat itu dicabut, dihilangkan, maka ceritanya menjadi absurd, bahkan goyah. Dalam Negarabatin, Udo Z Karzi membuat Negarabatin punya posisi kuat terhadap cerita.

Tidak ada Serial The Office tanpa adanya The Office

Serial komedi The Office menceritakan kiprah para karyawan di dalam sebuah kantor (office).
Bisa saja karakter-karakter dan konfliknya dipindahkan, tapi serial itu tidak akan bernama The Office.

Komedi lain seperti OB (Office Boy) juga akan hambar jika setting-nya di luar kantor, atau sama seperti Lapor Pak! Tapi, setting-nya sebuah kampung kumuh seperti Bajaj Bajuri.

Kekuatan Negarabatin terhadap karakter dan cerita di dalamnya sedemikian kuat. Meskipun ada beberapa bagian memang bisa saja terjadi di wilayah mana pun di Lampung, bahkan di Indonesia. Misalnya, guru ngaji yang galak dalam cerpen Ida Fitri, “Lukmanul Hakim” juga diceritakan tentang guru ngaji yang suka main rotan. Permainan kanak di sawah dan di sungai juga terjadi di banyak tempat.

Tahun 1980-an, saya pun mengalami menonton televisi di rumah tetangga di Tegal, Jawa Tengah. Memanglistrik dan televisi waktu itu masih seperti barang mewah bagi sebagian besar orang.

Barangkali, sistem masyarakat adat, hubungan kekeluargaan, dan juga bahasa menjadi simpul utama yang mengikatkan cerita, karakter, dengan latarnya yaitu Pekon Negarabatin.

Bagaimana Negarabatin Diikat?

Sebuah latar cerita biasanya disampaikan melalui beragam hal agar terikat sepenuhnya sehingga tidak bisa dilepaskan dari cerita, antara lain dengan;
- Menggambarkannya melalui indera para karakter-karakternya
- Memasukkan periode waktu ke dalam deskripsi sehingga ada kedinamisan pada perubahan yang dapat dirasakan para pembacanya
- Memasukkan perubahan-perubahan tersebut termasuk yang sekecil-kecilnya
- Menunjukkan perasaan dari karakter terhadap hal-hal yang detail di dalam lokasi tersebut
- Menjaga deskripsi lokasi itu tetap relevan dengan cerita
- Memberi beberapa keterangan terkait dengan terjadinya suatu cerita

Hampir seluruh cara ini digambarkan oleh penulis sehingga pembaca bisa merasakan bagaimana suasana, alamnya, dan lingkungan termasuk kehidupan sosial masyarakat di lokasi tersebut.

Uniknya, di halaman 50 terdapat penggambaran Negarabatin seperti penjelasan dalam lingkup administratif pemerintahan.

Novel

Dari awal, pembaca dibuat bimbang dengan pernyataan; Negarabatin tapi penduduknya miskin, Negarabatin negeri antah berantah, enggan untuk dikunjungi walaupun dekat, juga hendak dilupakan tapi mengenangnya membuat tertawa-menangis.

Novel ini secara ringkas menggambarkan perjalanan hidup Uyung dari lahir sampai mau masuk SMA.

Setelah dibaca habis, ternyata Negarabatin penduduknya tidak miskin, punya kebun kopi, berladang pindah-pindah, ada sekolah, ada infrastruktur tinggalan Belanda, bahkan Uyung pergi dari rumah bukan karena tidak bisa makan, tapi lantaran dimarahi terus (dinasehati) oleh Bak-nya. Bahkan, Uyung sering berkumpul dengan saudara-saudara dari keluarga besarnya sehingga bisa dikatakan berkelimpahan kasih-sayang.

Jika dilacak, “Hero Journey” dari Uyung kurang dramatik, kecuali mungkin pas yang minggat ke Tanjungkarang dan tinggal di rumah orang, dan itu pun penyelesaiannya tiba-tiba ingat rumah keluarganya dan minta diantar ke sana.

Boleh jadi seperti dari prolog disampaikan, bahwa ini adalah memoir yang berkaitan dengan kampung halaman bernama Negarabatin.

Simpulan

Secara umum, penggambaran tentang Negarabatin di dalam novel ini tersampaikan dengan baik.

Yang membuat ragu(dari pembacaan saya) sepertinya penggambaran tentang Negarabatin yang begitu detail dan menarik dalam kehidupan Uyung belum menjawab pernyataan yang ada di prolog bahwa Negarabatin itu penduduknya miskin dan membuat enggan untuk dikunjungi.

Novel ini lebih dekat kepada memoir karena didasarkan pada rangkaian kejadian yang benar-benar terjadi pada karakter yang diceritakan, meskipun di sini Udo Z Karzi menceritakan tentang Uyung (Zulkarnain) seperti menggunakan mata pihak ketiga, meskipundi awal-awal sempat menggunakan/bertindak sebagai pihak pertama (aku).

Nerima nihan.

—————
Dedy Tri Riyadi, sastrawan, pekerja iklan, Redaktur Majalah Sastra Digital Mata Puisi.

* dimuat di LaBRAK.CO, 17 September 2022
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 17, 2022 17:13 Tags: negarabatin

September 6, 2022

Jendela ke Dunia Pengalaman yang Berbeda, Unik, dan Penuh Cerita

Oleh Rahmad Desmi Fajar

Negarabatin Negeri di Balik Bukit by Udo Z. Karzi MEMBACA Negarabatin: Negeri di Balik Bukit karya Udo Z. Karzi (Pustaka Jaya, 2022) ini menyenangkan. Sebagai penikmat (salah-satunya) genre kenangan masa kecil, memoar dan autobiografi, ada nilaiplus yg mudah dilihat dari karya-karya yang ditulis dengan baik seperti ini. Penuh detil, termasuk kesetiaan menggunakan istilah dan kebiasaan lokal.

Gaya penulisan yang mampu menyampaikan ambience khas daerah tersebut pada masanya. Plot yang menarik, termasuk ketika menggambarkan proses menuju dan di sekitar kaburnya Uyung dari kampung.

Buat saya dengan masa kecil di daerah-daerah lain di Lampung yang lebih majemuk (Ruwa Jurai beneran), apalagi bagi mereka yang dibesarkan di luar Lampung, buku ini adalah jendela ke dunia pengalaman yang berbeda, unik, dan penuh cerita.

Sejak lama, bagi saya pembanding utama karya kenangan masa kecil adalah Semasa Kecil di Kampung (1974) dari Muhamad Radjab dan tetralogi "Cerita Kenangan" yaitu Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), dan Sekayu (1988) dari Nh Dini.

Karya Radjab menjadi menarik karena dia mampu memasukkan dinamika sosial yang ada di masyarakat pedesaan Minang tahun 1920-an ketika menggambarkan proses tumbuh-kembangnya sebagai pribadi. Pembaca mendapat gambaran dari tangan pertama bagaimana praktek sehari-hari adat matrilineal berjalan saat itu. Atau, penggambarannya tentang bagaimana para tetua adat dan tokoh agama mengeksploitasi posisi istimewa mereka.

Di sisi lain, membaca tetralogi Nh Dini seolah membaca buku harian yang lancar menceritakan respons pribadinya terhadap lingkungan sekitar dan peristiwa-peristiwa yang dialami di Semarang akhir 1930-an sampai era Jepang. Detail dan nuansa yang dihadirkannya dalam tetralogi ini sedemikian rupa sehingga seseorang pernah mengaku kesukaannya pada sayur bobor bayam justru muncul pertama kali ketika membaca salah-satu buku di tetralogi ini.

Buku Negarabatin ini condong ke tipe tetralogi Nh Dini, karena banyak menggambarkan peristiwa-peristiwa di kehidupan Uyung. Cukup dengan 168 halaman kita dengan sukses diajak tamasya ke kehidupan masyarakat Lampung Liwa di era 1970-an.

Akan sangat menarik jika Udo Z. Karzi melanjutkan karyanya ini dengan cerita-cerita lain yang diangkat dari khazanah pengalaman seorang Lampung. Masih banyak ruang kosong yang dapat diisi untuk hal ini, karena sependek pengetahuan saya baru ada 1-2 karya yang bermain di tema ini. Dulu ada Andy Wasis yang menulis Songket Kenangan (1982), Ketika Panen Kopi Tiba (1994), Bunga di Balik Bukit (2009, yang diterjemahkan Udo Z Karzi ke bahasa Lampung, Usim Kembang di Balik Bukik, 2017), berapa judul lain.

Akan menarik jika ada penulis yang bisa mengeksplorasi pengalaman orang Lampung ketika menghadapi, misalnya, maraknya kedatangan transmigrasi resmi di era 1950-1970. Atau bagaimana praktek-praktek adat mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Fakta dan data yang bisa jadi kering dan membosankan ketika ditampilkan di karya akademis pasti bisa dirajut dan memberikan kesan yang berbeda ketika ditampilkan sebagai sebuah karya fiksi.

Pada saat yang berbarengan, saya sedang berusaha menyelesaikan baca Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat . Ini sebuah memoar yang menakjubkan. Lagi-lagi pembaca dibawa ke suasana Banten akhir abad ke-19, bagaimana seorang keturunan bangsawan dibesarkan, belajar ilmu dunia dan agama, tahap-tahap awal dididik menjadi ambtenaar dan meniti karir dari leval bawah.

Setengah perjalanan membaca, kesan terpenting yang saya dapat adalah betapa pengalaman menghadapi berbagai keluhan masyarakat di level paling bawah itu menjadi unsur paling utama yang menunjang keberhasilan karier Achmad Djajadiningrat sebagai Bupati, yang merupakan level penguasa daerah tertinggi di era itu (diluar Jogja-Solo). []

--------------
Rahmad Desmi Fajar , pembaca buku

Sumber: LaBRAK.CO, 26 Agustus 2022
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 06, 2022 06:14

October 25, 2017

Jejak Islam Lampung dan Problem Penulisan Sejarah

Oleh Udo Z Karzi

Napak Tilas Jejak Islam Lampung by Muhammad Candra Syahputra KAMI, Penerbit Pustaka LaBRAK, Satupena, dan Pusat Dokumentasi Lampung (PDL), baru saja meluncurkan buku Meniti Jejak Tumbai di Lampung: Zollinger, Kohler dan PJ Veth--Lampung Tumbai 2015 karya Frieda Amran di PDL, Langkapura, Bandar Lampung, 14 Oktober 2017 lalu. Buku mengenai Lampung tempo dulu (tumbai, bahasa Lampungnya) ini adalah yang kedua dari Frieda Amran yang antropolog dan pemerhati sejarah sosial budaya yang sangat konsen dengan Sumatera bagian selatan. Sebelumnya, terbit bukunya Mencari Jejak Masa Lalu Lampung: Lampung Tumbai 2014 (2015 dan Edisi Kedua, 2016).

Kedua buku itu, terlepas bahwa ia bersumber pada tulisan ilmuwan, pegawai pemerintah Hindia Belanda dan penjelajah Inggris dan Belanda abad ke-19; menjadi sumbangan penting Frieda Amran bagi sejarah sosial budaya Lampung. Frieda Amran telah berbaik hati menyadur (bukan menerjemahkan!) sumber-sumber berbahasa Belanda kuno yang panjang dan berbelit-belit ke dalam bahasa Indonesia yang enak dan gurih.

Yang saya ingin katakan, betapa sulitnya ketika hendak membicarakan sejarah (sosial budaya) Lampung. Masalahnya terletak pada minimnya referensi (tertulis) dalam bahasa Indonesia (dan bahasa Lampung?). Kata "tertulis" perlu digarisbawahi karena sebagaimana dikatakan Erwiza Erman, "Tak ada seorang pun yang berani membantah sampai kini bahwa sumber-sumber tertulis adalah syarat paling utama untuk menulis sejarah dalam perspektif apa pun. Karenanya, para sejarahwan, antropolog atau ilmuwan sosial lainnya yang menggunakan pendekatan sejarah dalam mengkaji isu-isu sosial budaya membutuhkan bukti-bukti tertulis. Maka, mereka tak enggan untuk berlama-lama duduk di arsip dan di perpustakaan, membuka-buka kertas yang sudah berwarna kekuning-kuningan, berdebu, rapuh, dan berbau untuk mencari bukti-bukti tertulis dari sejumlah pertanyaan riset mereka."

Setelah mengetahui betapa sulitnya menulis sejarah dan menyadari akan keterbatasan diri, maka saya memutuskan hanya menjadi “pembaca sejarah” saja. Saya heran kalau ada yang menyangka saya telah “menulis sejarah”. Terus terang, saya tidak berani menulis sejarah karena tidak kuat mempertanggungjawabkannya secara ilmiah. Makanya saya pun hanya berani memberi judul “Mitos Ulun Lampung” untuk sebuah artikel “sejarah” yang dimuat dalam buku Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan.

Saya menulis, antara lain dalam bab "Mitos Ulun Lampung" dalam buku itu : "Akan halnya sejarah? Beberapa saat setelah Orde Baru berakhir bermunculan gugatan masyarakat terhadap sejarah (versi pemerintah). Buku-buku baru diluncurkan. Sejarah pun jadi polemik. Asvi Warman Adam (2007) menawarkan beberapa tipologi kontroversi sejarah Indonesia yang disebabkan oleh fakta (dan interpretasi) yang tidak tepat, tidak lengkap, dan tidak jelas." Di sinilah di antaranya letak problem penulisan sejarah sosial budaya Lampung itu.

Karena masalah ini pula, M Harya Ramdhoni seperti ia akui ketika berbincang kepada saya, memutuskan menulis novel Perempuan Penunggang Harimau dan tidak menulis sejarah Kerajaan Sekala Brak.

Secara berseloroh saya berkata kepada Harya Ramdhoni, “Kenapa tidak kau tulis buku “Runtuhnya Kerajaan Sekala Brak Hindu dan Masuknya Agama Islam ke Lampung Barat”?”

Harya menjawabnya hanya dengan tertawa.

Ya, akhirnya meskipun novel itu diembel-embeli dengan istilah “novel sejarah” dan penuh dengan catatan kaki dari berbagai referensi yang penulisnya temukan dari berbagai sumber kepustakaan, karyanya ini tetap fiksi.

Makanya saya salut dengan, antara lain Syafari Daud yang menulis Sejarah Paksi Pak Sekala Brak. Begitu pula, saya langsung berdecak kagum dan sangat aprresiatif mengetahui ada buku Napaktilas Jejak Islam Lampung yang ditulis Muhammad Candra Syahputra dan Riyansyah yang kita bahas sekarang ini. Lebih kaget lagi ketika Sekretaris Hari Santri Nasional (HSN) Lampung Idhan Januwarda meminta saya menjadi pembahas buku ini. Apalah saya ini… Tapi, saya memberanikan diri saja untuk sedikit mengomentari karya dua anak muda yang saat ini mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung ini. Salut buat mereka berdua.

Dalam sebuah rapat redaksi Lampung Post tahun 2010, yang di antaranya saya, diputuskan bahwa koran ini akan menyajikan sesuatu yang berbeda sebagai santapan rohani bagi kaum muslim selama Ramadan 1431 Hijriah, yaitu sejarah Islam di Lampung. Untuk itu dibentuklah sebuah tim yang akan menelusuri jejak masuknya agama Islam di Bumi Ruwa Jurai. Penelusuran dimulai dengan menggelar diskusi terbatas bersama tokoh agama K.H. Arief Makhya dan K.H. Nurvaif Chaniago, dosen IAIN Raden Intan Dr. Fauzie Nurdin, Khairuddin Tahmid, M.A, dan dosen STAIN Metro Drs. M. Soleh. Selanjutnya, Lampung Post juga melakukan reportase ke berbagai peninggalan sejarah Islam yang tersebar di Lampung.

Alhasil, lahirlah serial Jejak Islam di Lampung, mulai dari Jejak Islam di Lampung (1): Masuk lewat Tiga Penjuru (Lampung Post, 11 Agustus 2010) hingga Jejak Islam di Lampung (29-Habis): Budaya Lampung Menghargai Keberagaman (Lampung Post, 9 September 2010).

Tersebutlah dalam serial itu Masjid Jami' Al Anwar sebagai masjid tertua di Lampung dengan salah ulama pejuangnya, Muhammad Soleh atau yang lebih dikenal dengan nama Tubagus Buang asal Kesultanan Bone yang merintis rumah ibadah. Surau yang dibangun Muhammad Soleh dkk hancur saat Gunung Krakatau meletus, 1883. Lima tahun kemudian, 1888, rumah ibadah ini kembali dibangun menjadi masjid permanen.

Di pihak lain, ahli filologi Suryadi menemukan naskah kuno Syair Lampung Karam yang ditulis Mohammad Saleh dari enam negara Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia serta mengumumkan ke publik.

Dari dua fakta itu, ada pernyaan yang mengusik adalah apakah benarkah Mohammad Soleh yang menulis Syair Lampung Karam yang dimaksud adalah Mohammad Soleh yang merintis pembangunan Masjid Jami’ Al Anwar dan pernah menjadi Regent Telukbetung.

Sebuah testemen berbahasa Belanda, berangka bertanggal 24 Agustus 1864, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menyebutkan soal pewarisan harta dari Tomonggong Mohammad Ali, Regent dari Telok Betong. Salah satu ahli waris penerima bernama Mohammad Salah, umur 50 tahun.

Mengutip Jejak Islam di Lampung (20) , Kalau pada 1864 Mohammad Saleh berusia 50 tahun, maka pada 1883 ketika Gunung Krakatau meletus dan Syair Lampung Karam ditulis tiga bulan setelah itu, Mohammad Saleh berusia 69 tahun. Dua tahun kemudian, Mohammad Saleh meninggal. Kalau melihat data ini, mungkin saja Mohammas Saleh ini yang menulis.

Namun, bukankah Mohammad Saleh menjadi pemimpin dan ulama di Telukbetung? Sementara dalam naskah Syair Lampung Karam sebagaimana diungkap Suryadi menyebutkan, Mohammad Saleh memang sedang berada di Lampung saat letusan dahsyat Gunung Krakatau itu terjadi. Dan, dia selamat dan setelah itu dia pergi ke Singapura. "Saya menduga bahwa dia salah seorang pengungsi dari letusan itu dan dia mengatakan bahwa dia menulis itu di kampung Bangkahulu di Singapura. Sekarang menjadi Bengkulen Stree. Itu Singapura lama,” kata Suryadi seperti dikutip dari website Radio Nederland Wereldomroep.

Namanya juga dugaan, John H. McGlynn yang melakukan penelitian untuk sebuah menerbitkan Syair Lampung Karam, telah menjawabnya: Muhammad Saleh penulis Syair Lampung Karam bukan ulama perintis Masjid Jami' Al Anwar. Ya, sudah tak ada masalah.

Yang ingin saya katakan, letak kesulitan menulis sejarah adalah pada verifikasi dan validasi fakta-fakta empiris. Dalam kasus Lampung, kesulitannya lebih lagi karena tercampurnya sumber, bukti, dan fakta sejarah dengan mitos, legenda, dan cerita rakyat.

Waktu itu, ada keinginan untuk mehimpun ke-29 seri Jejak Islam di Lampung di Lampung Post tersebut. Namun, tentu saja harus dilakukan riset ulang untuk menutupi bolong-bolong dari tulisan bersambung di koran itu. Sudah tujuh tahun niat membukukan itu tidak terealisasi. Oleh karena itu, terbitnya buku Napak Tilas Islam Lampung patut disambut gembira. Apalagi membaca catatan kaki dan daftar pustaka, ternyata Serial Jejak Islam di Lampung dimaksud menjadi rujukan penting di buku ini.

Membaca buku ini, kita bisa paham bahwa Islam agama Islam masuk Lampung sekitar abad ke-15 melalui tiga pintu utama. Dari arah barat (Minangkabau) agama ini masuk melalui Belalau (Lampung Barat), dari utara (Palembang) melalui Komering pada masa Adipati Arya Damar (1443), dan dari arah selatan (Banten) oleh Fatahillah atau Sunan Gunung Jati, melalui Labuhanmaringgai di Keratuan Pugung (1525).

Proses Islamisasi dari Hindu-Budha juga dengan tiga jalur, yaitu jalur budaya seperti dicontohkan Walisongo di Jawa, jalur perdagangan seperti yang terjadi di pesisir Sumatera Utara yang menjadi persinggahan pedagang muslim dari Gujarat India yang mensyiarkan agama Islam, dan jalur perkawinan dengan penduduk setempat yang membuat Islam menyebar.

Dalam buku ini juga disinggung tentang Kerajaan Sekala Brak zaman Hindu Budha dan Kerajaan Paksi Pak Sekala Brak yang Islam. Ada juga Kerajaan Tulang Bawang Hindu-Budha dan Kerajaan Tulang Bawang Islam.

Dalam bab lain dibahas tokoh-tokoh penyebar dan pejuang Islam di Lampung, mulai dari Sunan Gunung Jati, Sayyid Maulana Malik Abdullah, Syaikh Aminullah Ibrahim, Ratu Menangsi, Ratu Darah Putih, Pamutokh Agung, Raden (Radin?) Inten II, Al Habib Ali bin Abdurrahman Alaydrus, Tubagus Mahdum, Tubagus Yahya, Wali Samin bin Muhammad, Tubagus Buang Gunung Kunyit, Tubagus Ali Faqih, Tubagus Sangkrah, Syaikh Muhammad Nambihi hingga KH Glolib Pringsewu.

Buku ini ditutup dengan peninggalan Islam Lampung berupa Masjid Al Anwar dan Masjid Al Yakin sebagai penanda agama Islam berkembang sejak lama di Lampung.

Hanya sedikit yang mengganggu – yang sebenarnya ini tidak etis saya kemukakan karena ini berkaitan dengan bahasa dan seharusnya sudah selesai dalam proses penerbitannya --, yaitu minimnya peran penyuntingan atau editing dalam buku ini. Dari halaman awal saja (hlm v), saya menemukan kesalahan ejaan seperti kata Allah dan Islam (yang ditulis dengan huruf a dan I kecil), diatas (seharusnya di atas); kalimat yang panjang-panjang yang mengakibatkan makna menjadi kabur seperti di hlm ix—xiii yang cenderung satu kalimat di satu paragraf.

Ada juga beberapa nama yang mungkin keliru ditulis seperti Maulana Umpu Ngegalang Paksi (ditulis: Maulana Umpu Ngelalang Paksi, ngelalang (bhs Lampung) = menertawakan), Ramji Pasai (juga nama dusun di Kecamatan Belalau, Lampung Barat), artinya “kita ini Pasai” yang dalam buku ditulis “Kanji Pasai”. Disebut juga pada awalnya Ratu Sekeremong adalah raja pertama Sekala Brak, tetapi pada bagian lain dikatakan ada raja Sekala Brak sebelum Sekeremong.

Selebihnya secara keseluruhan buku ini patut kita sambut, kita apresiasi, dan kita berikan penghargaan kepada penulisnya: Muhammmad Candra Syahputra dan Riyansyah. Terima kasih telah menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi masyarakat dan tamadun Lampung. Sebagai pembuka awal untuk memahami dan menelusi Islam di Lampung, buku ini memiki arti penting. Ia bisa menjadi referensi yang utama di tengah minimkan buku yang membicarakan Lampung dan kelampungan, khususnya mengenai Islam di Lampung. Tabik. []

* Disampaikan dalam Ngaji Budaya dan Bedah Buku Napak Tilas Jejak Islam Lampung karya Muhammad Candra Syahputra dan Royansyah dalam rangkaian Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) di Pondok Pesantren Al Hikmah, Langkapura, Bandar Lampung, 21 Oktober 2017.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 25, 2017 10:33 Tags: islam, lampung, sejarah, udo-z-karzi

May 25, 2016

Menguping Celoteh Warga Negarabatin

Oleh Aris Kurniawan


Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali by Udo Z. Karzi HAMPIR setiap koran dan majalah memiliki kolom khusus. Pada koran harian biasanya muncul pada hari Minggu. Kolumnisnya kadang bukan bagian dari orang dalam koran bersangkutan. Harian Kompas misalnya, dulu punya kolom Asal Usul yang diisi secara bergantian oleh Ariel Heryanto dan Mohamad Sobary dan jauh sebelumnya oleh Mahbub Djunaidy—sekarang bernama Udar Rasa yang ditulis secara bergiliran oleh Bre Redana, Seno Gumira Ajidarma, dan Jean Couteau. Majalah Tempo punya kolom Catatan Pinggir dengan Goenawan Mohamad sebagai penulis tetapnya hingga sekarang. Kedaulatan Rakyat ada kolom Sketsa yang ditulis Umar Kayam. Suara Pembaruan punya kolom Cemplon yang ditulis Umar Nur Zain. Kolom khusus di Koran Jakarta penulisnya Arswendo Atmowiloto.

Lampung Post, sebuah koran terbesar di Lampung punya kolom Nuansa yang ditulis oleh -- salah satunya -- Udo Z Karzi (alias Zulkarnain Zubairi) yang kemudian dibukukan dengan judul Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali. Udo menulis kolom di harian tersebut sejak 2009 hingga 2015. Tampaknya tidak semua kolom yang ditulis Udo sepanjang rentang waktu tersebut disertakan di buku ini, mengingat di bawah judul tersebut diberi penjelasan Kolom Terpilih 2009-2015. Saya jelas tidak tahu judul-judul mana yang tidak terpilih dan terlewatkan serta bagaimana ia memiliah dan memilih yang terbaik.

Tulisan kolom Udo pendek-pendek saja, yang dapat dibaca dalam satu tarikan napas. Tema yang ditulis Udo untuk kolom-kolomnya ini, sebagaimana tabiat koran harian yang selalu mengejar aktualitas, mengikuti peristiwa dan fenomena yang sedang aktual. Mengikuti dalam pengertian ikut nimbrung dalam bentuk sumbang saran, komentar, atau sekadar menyinggung secara selintasan. Kadang bernada sinis, lebih banyak bersemangat kritik. Karena terbit di Lampung dan untuk masyarakat pembaca terbesarnya adalah orang Lampung, maka kolom-kolom Udo penuh ujaran atau istilah-istilah dalam bahasa Lampung, tapi kadang juga terselip istilah-istilah Betawi.

Mamak Kenut, Mat Puhit, Udien, Pithagiras, Minan Tunja, Pinyut, Radin Mak Iwoh, dan teman-temannya yang lain adalah tokoh-tokoh yang hadir dalam kolom-kolom Udo. Mereka adalah warga Negarabatin, negeri antah berantah. Barangkali semacam Republik Mimpi di sebuah acara tivi. Mereka mengobrolkan dan mengomentari situasi politik dan berbagai fenomena. Sudut pandang mereka tentu saja rakyat kebanyakan yang hanya bisa menggerutu dan mengelus dada melihat peristiwa dan perilaku sungsang para elit. Yang banyak mereka komentari tampaknya dunia perpolitikan, baik di level Lampung maupun nasional, karena entitas ini yang paling menarik dan kuat pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat luas.

Mereka ini kadang muncul dengan sikap yang sok tahu, tapi kritis dan berlaga bijak, tapi kadang pula memperlihatkan keputusasaan mereka melihat situasi yang karut marut. Melalui tulisan yang sangat pendek ini Udo barangkali agak tanggung menggerakkan arah tulisannya, tetapi sikapnya yang kritis terhadap situasi negara serta memihak kepada rakyat jelata yang hanya bermodal cocot, jelas sangat kentara. Inilah barangkali ruh dari kolom-kolom Udo. Nilai yang dijunjung atau diperjuangkan Udo dengan cara bersahaja, tanpa pretensi.

Udo menyindir kegemaran jalan-jalan dengan dalih studi banding para anggota dewan, kegandrungan mereka nonton video porno dan mengonsumsi narkoba serta perilaku tidak terpuji lainnya di tengah kehidupan rakyat yang pontang-panting memperjuangkan isi perut. Politik uang para calon kepala daerah, kriminalitas, hingga harga-harga sembako di pasar. Dengan referensi bacaan yang luas dan perspektif yang tajam, obrolan Mamak Kenut dengan kawan-kawannya sesepele apa pun tema memiliki bobot berbeda dengan tulisan-tulisan berita.

Melalui Mamak Kenut, Udo mengomentari perihal harga cabai rawit melangit lalu anjlok. Dari cabe rawit kemudian merembet kepada logika kesehatan dan kerja metabolism tubuh sekaligus juga kebijakan politik kepala daerah. Bahkan Udo tak segan mengomentari tema-tema liputan media lain perihal kota kreatif sambil menyindir kebijakan pusat yang terlalu fokus kepada Jawa dan mengabaikan Sumatera.

Tentu saja, Udo juga menulis tema lain di luar situasi politik. Jurnalis dan pengarang yang pernah meraih Hadiah Sastra Rancage dan kini mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Lampung Barat ini, juga menulis perihal bahasa dan bagaimana para petinggi negara memperlakukan bahasa. Udo mengulas secara ringkas perihal jejak Machiavelli, Socrates, Imam Khomeini, Jimmy Carter, hingga tokoh pers nasional Djafar Assegaff dan pendiri Lampung Post, Solfian Akhmad sejak 1974. Membaca kolom-kolom Udo sedikit banyak memperkaya cara pandang kita terhadap dinamika Lampung. []

dimuat di http://belagaresensi.blogspot.co.id, 24 Mei 2016
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 25, 2016 09:30