Udo Z. Karzi's Blog, page 4
April 23, 2013
Menyegarkan (Kembali) Rumusan Kelampungan
Oleh Darojat Gustian Syafaat
BUKU Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan yang ditulis Udo Z. Karzi (diterbitkan Indepth Publishing, April 2013) menjadi suatu sumbangan pemikiran yang patut dikaji secara mendalam lagi, terutama oleh masyarakat Lampung sendiri.
Buku ini tampaknya memang interpretasi yang muram tentang Lampung dan kelampungan. Di dalamnya Udo Z. Karzi menggambarkan secara dramatis ulun Lampung yang bersikukuh untuk disebut sebagai “kesatuan (masyarakat) yang sekiranya (akan) sadar-diri mengenai keberasal-usalannya”. Namun, terus menerus mengalami kekisruhan akibat munculnya guncangan-guncangan yang mengakibatkan mandeknya penyegaran pemikiran yang murni demi kemajuan ulun Lampung itu sendiri.
Kajian yang dilakukan Udo Z. Karzi dalam buku ini bisa dikatakan “manuskrip embrio” yang tetap hidup sampai kapan pun dalam permasalahan Lampung dan Kelampungan. Perenungan Udo Z Karzi patut kita telaah sampai ke dasarnya. Sebab, Udo berbicara Lampung dan kelampungan berdasarkan penjelasan secara pararel historis-diakronis yang pada intinya mengambarkan proses kemerosotan peran adat, akademisi, dan masyarakat Lampung dalam memajukan kebudayaan, sastra dan literasi Lampung.
Memang mengenai kebudayaan dan sastra Lampung menarik untuk dilihat sebagai sebuah dinamika sosio-historis yang kompleks, dan ini disadari sendiri oleh Udo Z Karzi dan juga mungkin termasuk orang Lampung sendiri.
Perhatian Udo Z Karzi terhadap Kebudayaan Lampung tampak tidak hanya dimaksudkan sekadar untuk penggambaran deskriptif, tetapi lebih dari itu juga diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran historis betapa kebudayaan Lampung yang mahakompleks. Sebagai sastrawan ia memahami Lampung dan Kelampungan sangat potensial untuk menelusuri keberasal-usulan sebagai Sang Bumi Ruwa Jurai menjadi etnik sendiri, sebagaimana etnik-etnik yang lainnya.
Sebenarnya, untuk menyegarkan kembali kesadaran historis Lampung dan Kelampungan yang bersifat “pribumi” mengenai ulun Lampung tentunya akan mengilhami gerakan yang lebih membumi di Lampung. Bukankah instrumen untuk melacak keberasal-usulan ulun Lampung sudah ada atau paling tidak bertebaran di berbagai tempat di Lampung?
Mungkinkah kitab Kuntara Raja Niti, yang merupakan sebuah kitab yang dimiliki salah satu adat orang Lampung, hendaknya dijadikan fundamen awal untuk menyusuri historis Lampung secara utuh. Bahkan Udo Z Karzi mengatakan sebagaimana disebut Almarhum Prof Hilman Hadikusuma masih ada tiga kitab lagi yang dipegang subetnik Lampung masing-masing.
Upaya ini bukan saja penting dari segi penulisan historiografi Lampung dalam konteks sejarah orang Lampung, tapi juga bahwa manfaatnya sungguh akan bersifat strategis dan fundamental bagi revitalisasi Lampung dan kelampungan di masa depan.
Tentu saja sejarah Lampung yang konon dinisbatkan kepada kerajaan Sekala Brak mempunyai legitimasinya sendiri untuk dipertimbangkan sebagai acuan revitalisasi Lampung dan Kelampungan untuk menentukan validitas sesuai dengan khazanah historis Lampung sendiri.
Dengan memberikan interpretasi awal semacam ini, kita akan lebih cermat memahami buah pemikiran Udo Z Karzi terutama yang berkenaan dengan topik-topik mengenai Lampung dan Kelampungan. Sejauh memahami tulisan-tulisan dalam buku di atas, selanyaknya kita mendapat kesan bahwa topik-topik semacam inilah yang menjadi fokus ulun Lampung untuk merumuskan kembali dengan menatanya lebih konkret tentang budaya dan sastra Lampung dengan harapan berkembang di masa mendatang.
Menyegarkan Sastra Lampung
Adalah menarik untuk kita cermati bahwa sastra tradisi merupakan bentuk wujud nyata dari keberadaan sebuah komunitas atau etnik. Untuk itu, setidaknya sastra tradisi dapat pula dilihat secara kultural sebagai tradisi transformasi nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya.
Memang tak bisa dimungkiri dan ini harus kita sadari bahwa sastra tradisi seiring perkembangan zaman lambat laun akan tergerus oleh budaya-budaya lain dengan mengikuti modernisasi. Apa yang diagungkan sastra tradisi tak akan berkembang menjadi cita ideal yang dijadikan pijakan etis dan estetis oleh masyarakat itu manakala tidak dibarengi dengan menata kembali kesadaran untuk menyelamatkan sastra tradisi dari kepunahan.
Dalam konteks ini, bisakah kita menyegarkan “kelayuan” sastra tradisi menjadikan lentera untuk menumbuhkembangkan sebuah kesustraan. Hemat penulis, sastra tradisi berfungsi ganda yang dapat pula menciptakan kemajuan dan kemunduran bagi dirinya. Di satu sisi sastra tradisi memelihara nilai-nilai lama yang dibakukan sebagai barometer normatif yang harus terus menerus dipegang oleh masyarakat sampai kapan pun.
Di sisi lain, untuk melanggengkan sebuah tradisi agar tetap lestari, sastra tradisi berfungsi – sedapat mungkin – memadukan nilai-nilai baru yang berkembang sesuai zaman sehingga menjadi tolak ukur yang baru pula bagi kehidupan masyarakat.
Namun sangat disayangkan pada kenyataannya bila mengorbankan nilai-nilai lama untuk “dibenturkan” dengan nilai-nilai baru akan menimbulkan ketegangan. Ketegangan yang muncul dari sebab benturan tadi dapat mengakibatkan krisis identitas dan nilai yang merusak kredibilitas sastra tradisi itu sendiri.
Di Lampung bukan hal baru dari “dua kutub” ini yang sampai sekarang masih bersitegang. Padahal kekayaan sastra tradisi Lampung sangat berlimpah, tinggal bagaimana kita mengemasnya. Untuk itu, perlu ada revolusi dalam memadukan dua kekuatan ini.
Untuk menjembati hal ini, perlu adanya ruang dialog secara intens untuk meluruskan persepsi yang berbeda dalam merumuskan Lampung dan Kelampungan menjadi satu versi terutama di bidang sastra Lampung. Setidaknya dalam proses ini menunjuk pada dua hal: proses mempertahankan tradisi kesusastraan yang lama di satu sisi, dan proses akulturasi sastra tradisi lama ke dalam pola baru dengan kemasan yang kontemporer.
Mengingat bahwa baik sastra lisan dan tulisan memliki cita rasa yang tinggi. Permasalahannya tidak banyak yang paham dengan sastra lisan tetapi tidak pandai secara tulis. Begitu pun sebaliknya, sedikit yang bisa menulis sastra dalam bentuk tulisan, tetapi tersedat-sedat dalam pengucapan.
Untuk itu perlu adanya ikhtiar untuk memiliki satu konsepsi yang bisa dijadikan pegangan dalam mempertahankan kesusastraan Lampung dalam masalah di atas dari bahaya keruntuhan menjadi lambang kejayaan Sastra Lampung.
Tentu saja harus ada pernyataan sikap dari ulun Lampung untuk memajukan kesusastraan mereka. Sebab jika bukan mereka siapa lagi. Apakah hanya mengandalkan sastrawan, budayawan, sejarahwan, seniman dan sebutan lainnya.
Dengan demikian, saya kira hanya satu untuk memajukan kesusastraan Lampung dengan mentransformasikan cita-cita luhur tersebut dengan gerakan sosial. Artinya, semua elemen yang menganggap dirinya ulun Lampung mulai menyadari dirinya betapa pentingnya membangun Lampung dan Kelampungan mulai saat ini, di mulai dari sekarang tentunya sesuai peran dan fungsinya masing-masing.
Orang tua mengajarkan anak-anaknya, pemangku adat berusaha sekuat tenaga melestarikan tradisi yang ada, para akademisi mengatur alur konsepsi Kelampungan ke arah yang lebih maksimal, dan para sastrawan, budayawan, sejarahwan, seniman dll, mengawal kesusastraan, kebudayaan, kesenian di Lampung menjadi lebih hidup lagi.
Gerakan sosial yang sangat sederhana ini, tentu tidaklah mudah dalam pelaksanaannya. Pasti ada titik lemah yang terlihat sangat jelas. Persoalannya sekarang adalah apakah ada kemauan untuk itu atau adakah alternatif lainnya? Jika memang demikian mari kita segarkan kembali pemikiran untuk mewujudkan Lampung dan Kelampungan ke arah yang lebih baik lagi. Tabik. n
Darojat Gustian Syafaat, Pengamat sosial keagamaan
Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 April 2013
Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan

Buku ini tampaknya memang interpretasi yang muram tentang Lampung dan kelampungan. Di dalamnya Udo Z. Karzi menggambarkan secara dramatis ulun Lampung yang bersikukuh untuk disebut sebagai “kesatuan (masyarakat) yang sekiranya (akan) sadar-diri mengenai keberasal-usalannya”. Namun, terus menerus mengalami kekisruhan akibat munculnya guncangan-guncangan yang mengakibatkan mandeknya penyegaran pemikiran yang murni demi kemajuan ulun Lampung itu sendiri.
Kajian yang dilakukan Udo Z. Karzi dalam buku ini bisa dikatakan “manuskrip embrio” yang tetap hidup sampai kapan pun dalam permasalahan Lampung dan Kelampungan. Perenungan Udo Z Karzi patut kita telaah sampai ke dasarnya. Sebab, Udo berbicara Lampung dan kelampungan berdasarkan penjelasan secara pararel historis-diakronis yang pada intinya mengambarkan proses kemerosotan peran adat, akademisi, dan masyarakat Lampung dalam memajukan kebudayaan, sastra dan literasi Lampung.
Memang mengenai kebudayaan dan sastra Lampung menarik untuk dilihat sebagai sebuah dinamika sosio-historis yang kompleks, dan ini disadari sendiri oleh Udo Z Karzi dan juga mungkin termasuk orang Lampung sendiri.
Perhatian Udo Z Karzi terhadap Kebudayaan Lampung tampak tidak hanya dimaksudkan sekadar untuk penggambaran deskriptif, tetapi lebih dari itu juga diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran historis betapa kebudayaan Lampung yang mahakompleks. Sebagai sastrawan ia memahami Lampung dan Kelampungan sangat potensial untuk menelusuri keberasal-usulan sebagai Sang Bumi Ruwa Jurai menjadi etnik sendiri, sebagaimana etnik-etnik yang lainnya.
Sebenarnya, untuk menyegarkan kembali kesadaran historis Lampung dan Kelampungan yang bersifat “pribumi” mengenai ulun Lampung tentunya akan mengilhami gerakan yang lebih membumi di Lampung. Bukankah instrumen untuk melacak keberasal-usulan ulun Lampung sudah ada atau paling tidak bertebaran di berbagai tempat di Lampung?
Mungkinkah kitab Kuntara Raja Niti, yang merupakan sebuah kitab yang dimiliki salah satu adat orang Lampung, hendaknya dijadikan fundamen awal untuk menyusuri historis Lampung secara utuh. Bahkan Udo Z Karzi mengatakan sebagaimana disebut Almarhum Prof Hilman Hadikusuma masih ada tiga kitab lagi yang dipegang subetnik Lampung masing-masing.
Upaya ini bukan saja penting dari segi penulisan historiografi Lampung dalam konteks sejarah orang Lampung, tapi juga bahwa manfaatnya sungguh akan bersifat strategis dan fundamental bagi revitalisasi Lampung dan kelampungan di masa depan.
Tentu saja sejarah Lampung yang konon dinisbatkan kepada kerajaan Sekala Brak mempunyai legitimasinya sendiri untuk dipertimbangkan sebagai acuan revitalisasi Lampung dan Kelampungan untuk menentukan validitas sesuai dengan khazanah historis Lampung sendiri.
Dengan memberikan interpretasi awal semacam ini, kita akan lebih cermat memahami buah pemikiran Udo Z Karzi terutama yang berkenaan dengan topik-topik mengenai Lampung dan Kelampungan. Sejauh memahami tulisan-tulisan dalam buku di atas, selanyaknya kita mendapat kesan bahwa topik-topik semacam inilah yang menjadi fokus ulun Lampung untuk merumuskan kembali dengan menatanya lebih konkret tentang budaya dan sastra Lampung dengan harapan berkembang di masa mendatang.
Menyegarkan Sastra Lampung
Adalah menarik untuk kita cermati bahwa sastra tradisi merupakan bentuk wujud nyata dari keberadaan sebuah komunitas atau etnik. Untuk itu, setidaknya sastra tradisi dapat pula dilihat secara kultural sebagai tradisi transformasi nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lainnya.
Memang tak bisa dimungkiri dan ini harus kita sadari bahwa sastra tradisi seiring perkembangan zaman lambat laun akan tergerus oleh budaya-budaya lain dengan mengikuti modernisasi. Apa yang diagungkan sastra tradisi tak akan berkembang menjadi cita ideal yang dijadikan pijakan etis dan estetis oleh masyarakat itu manakala tidak dibarengi dengan menata kembali kesadaran untuk menyelamatkan sastra tradisi dari kepunahan.
Dalam konteks ini, bisakah kita menyegarkan “kelayuan” sastra tradisi menjadikan lentera untuk menumbuhkembangkan sebuah kesustraan. Hemat penulis, sastra tradisi berfungsi ganda yang dapat pula menciptakan kemajuan dan kemunduran bagi dirinya. Di satu sisi sastra tradisi memelihara nilai-nilai lama yang dibakukan sebagai barometer normatif yang harus terus menerus dipegang oleh masyarakat sampai kapan pun.
Di sisi lain, untuk melanggengkan sebuah tradisi agar tetap lestari, sastra tradisi berfungsi – sedapat mungkin – memadukan nilai-nilai baru yang berkembang sesuai zaman sehingga menjadi tolak ukur yang baru pula bagi kehidupan masyarakat.
Namun sangat disayangkan pada kenyataannya bila mengorbankan nilai-nilai lama untuk “dibenturkan” dengan nilai-nilai baru akan menimbulkan ketegangan. Ketegangan yang muncul dari sebab benturan tadi dapat mengakibatkan krisis identitas dan nilai yang merusak kredibilitas sastra tradisi itu sendiri.
Di Lampung bukan hal baru dari “dua kutub” ini yang sampai sekarang masih bersitegang. Padahal kekayaan sastra tradisi Lampung sangat berlimpah, tinggal bagaimana kita mengemasnya. Untuk itu, perlu ada revolusi dalam memadukan dua kekuatan ini.
Untuk menjembati hal ini, perlu adanya ruang dialog secara intens untuk meluruskan persepsi yang berbeda dalam merumuskan Lampung dan Kelampungan menjadi satu versi terutama di bidang sastra Lampung. Setidaknya dalam proses ini menunjuk pada dua hal: proses mempertahankan tradisi kesusastraan yang lama di satu sisi, dan proses akulturasi sastra tradisi lama ke dalam pola baru dengan kemasan yang kontemporer.
Mengingat bahwa baik sastra lisan dan tulisan memliki cita rasa yang tinggi. Permasalahannya tidak banyak yang paham dengan sastra lisan tetapi tidak pandai secara tulis. Begitu pun sebaliknya, sedikit yang bisa menulis sastra dalam bentuk tulisan, tetapi tersedat-sedat dalam pengucapan.
Untuk itu perlu adanya ikhtiar untuk memiliki satu konsepsi yang bisa dijadikan pegangan dalam mempertahankan kesusastraan Lampung dalam masalah di atas dari bahaya keruntuhan menjadi lambang kejayaan Sastra Lampung.
Tentu saja harus ada pernyataan sikap dari ulun Lampung untuk memajukan kesusastraan mereka. Sebab jika bukan mereka siapa lagi. Apakah hanya mengandalkan sastrawan, budayawan, sejarahwan, seniman dan sebutan lainnya.
Dengan demikian, saya kira hanya satu untuk memajukan kesusastraan Lampung dengan mentransformasikan cita-cita luhur tersebut dengan gerakan sosial. Artinya, semua elemen yang menganggap dirinya ulun Lampung mulai menyadari dirinya betapa pentingnya membangun Lampung dan Kelampungan mulai saat ini, di mulai dari sekarang tentunya sesuai peran dan fungsinya masing-masing.
Orang tua mengajarkan anak-anaknya, pemangku adat berusaha sekuat tenaga melestarikan tradisi yang ada, para akademisi mengatur alur konsepsi Kelampungan ke arah yang lebih maksimal, dan para sastrawan, budayawan, sejarahwan, seniman dll, mengawal kesusastraan, kebudayaan, kesenian di Lampung menjadi lebih hidup lagi.
Gerakan sosial yang sangat sederhana ini, tentu tidaklah mudah dalam pelaksanaannya. Pasti ada titik lemah yang terlihat sangat jelas. Persoalannya sekarang adalah apakah ada kemauan untuk itu atau adakah alternatif lainnya? Jika memang demikian mari kita segarkan kembali pemikiran untuk mewujudkan Lampung dan Kelampungan ke arah yang lebih baik lagi. Tabik. n
Darojat Gustian Syafaat, Pengamat sosial keagamaan
Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 April 2013
Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan
Published on April 23, 2013 08:23
•
Tags:
darodjat-gustian-syafaat, feodalisme-modern, kelampungan
April 10, 2013
‘Api Muneh’: [Salah Satu] Akar Bahasa Melayu Sumatera*
Oleh Muhammad Harya Ramdhoni**
TABIK dan terima kasih kepada Udo Z Karzi yang telah memberi kehormatan luar biasa dan kesempatan kepada seorang junior seperti saya untuk menulis kata pengantar buku berbobot ini. Udo mulai dikenal sebagai pengarang muda berbakat di Lampung di era 1990-an kala saya masih ingusan dan berstatus siswa di SDN 2 Teladan, Rawa Laut. Rentang waktu karier kepengarangan Udo Z. Karzi dengan percobaan saya mengarang secara nekat dan tak tahu malu terbentang hampir 14 tahun lamanya. Itulah mengapa saya amat teruja dengan kehormatan yang Udo berikan kepada saya dalam menulis kata pengantar buku ini.
Membaca karya-karya Udo Z. Karzi, baik berupa puisi, esei maupun artikel adalah sama dengan menyelami hakikat masyarakat dan adab Lampung beserta beragam problematikanya yang khas dan unik. Sejak lebih dari dua puluh tahun silam Udo telah memulai usaha dan kerja kerasnya sebagai sebuah cita-cita luhur mengangkat harkat dan maruah bahasa dan tamadun Lampung. Mengapa bahasa dan tamadun? Sebab keduanya saling berhubung-kait. Kita dapat memulai mengkaji tamadun bangsa yang bernama Lampung dimulai dari bahasa dan aksaranya. Bahasa Lampung selain dipergunakan oleh sedikit orang di tempat-tempat tertentu juga memiliki kekhasan, keseksian, ketulenan, dan keistimewaan tersendiri. Ia merupakan warisan dari suatu zaman yang begitu purba, begitu kuno dan hampir tidak tergapai oleh imajinasi kita yang hidup di masa kini.
Silakan sidang pembaca mencari kata-kata bahasa Lampung berikut ini dari bahasa Nusantara lain (kecuali dari suku-suku bangsa di Sumsel temurun Sekala Brak seperti Minanga dan Kayu Agung yang masih menggunakannya): sumang (beda), gegoh (mirip), lehot (pesan), betungga (bertemu), kenui (elang), metong (kenyang), handak (putih), risok (sering), kahut (sayang), dan masih banyak kata-kata lainnya yang begitu unik dan purba. Sampai setakat ini, saya belum menjumpai kata-kata tersebut digunakan oleh suku-suku bangsa Melayu lainnya baik di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau di Semenanjung Malaya tempat saya bermastautin saat ini. Memang, terdapat banyak ayat dalam bahasa Lampung yang bisa kita temui dalam bahasa Melayu Malaysia seperti katil (ranjang) dan sudu (sendok). Namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kata-kata yang hanya ditemukan/masih digunakan oleh suku bangsa Lampung Sekala Brak dan keturunannya di saentro Lampung dan Sumatera Selatan.
Saya yakin Udo Z. Karzi sepakat dengan keyakinan saya bahwa bahasa Lampung memiliki sifat-sifat misterius yang masih belum selesai dikaji dan diteliti dengan baik. Dengan keterbatasan pengetahuan saya mengenai teori sastra dan bahasa, akan coba menghuraikan bagaimana hujahan tersebut bermula. Seperti yang dihuraikan Udo Z. Karzi dalam buku Feodalisme Modern ini bahwa terdapat kosakata bahasa Lampung yang mirip dengan kosakata dalam bahasa Talagalog di Filipina dan bahasa Melayu Banjar di Kalimantan. “Api Muneh?”, menyitir salah satu tajuk karya Udo Z Karzi dalam buku ini. Tapi ini adalah kenyataan yang tidak dapat ditampik. Disebabkan, lagi-lagi oleh ketidakpahaman saya mengenai teori sejarah diaspora bahasa Melayu di Nusantara, membuat saya sempat membuat analisis yang ngawur dan tidak layak dipercaya, “bahasa Lampung dan juga bahasa Melayu Sumatera berasal dari salah satu rumpun bahasa Tagalog dan rumpun bahasa Melayu Kalimantan/Borneo” seperti yang pernah dipaparkan oleh pakar bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dari Universitas Naples L’Orientale, Italia Prof. Dr. Antonia Soriente (alumnus PhD Sastra Melayu ATMA Universitas Kebangsaan Malaysia) sempena kuliah umum di UKM pada 21 Februari 2013 yang lalu. Jadi bila mengikuti teori yang dihujahkan Prof. Antonia bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu modern berasal dari ibunda yang sama yaitu bahasa Melayu Dahayunik/Kenyah setelah melampaui evolusi selama, mungkin, ribuan tahun.
Akan tetapi teori Prof. Antonia ternyata telah lama dibantah oleh para pakar bahasa Melayu dari semenanjung tanah Melayu Malaysia sendiri. Setidaknya terdapat dua sanggahan/hipotesis dan sebuah fakta sejarah yang secara langsung maupun tidak langsung malah mengukuhkan sifat-sifat misterius, khas, unik, jenial dan tulen terhadap eksistensi bahasa dan tamadun Lampung.
Pertama, seorang peserta program Pasca Doctoral Filologi di Institute ATMA UKM yang menguasai dua lusin bahasa Nusantara telah menyatakan kepada saya pada medio 2005 bahwa bahasa Melayu Sumatera justru merupakan akar bahasa Melayu modern saat ini. Masalahnya kemudian, ujarnya, bahasa yang manakah di antara semua bahasa di Sumatera hingga kini yang merupakan Ibunda asali bahasa Melayu. Sang Filolog curiga bahwa bahasa Lampung yang kurang dikenal oleh mayoritas masyarakat Indonesia sebab tertelan oleh arus kedatangan transmigran dari luar Lampung dengan adab, bahasa dan budayanya justeru merupakan ibunda asali bahasa Melayu modern. Berdasarkan analisisnya terhadap bahasa Lampung, ia memiliki hujahan tersendiri mengenai sifat-sifat kepurbaan dan ketulenan bahasa itu yang masih kekal hingga kini.
Masih terngiang dalam ingatan saya ketika sang Filolog menampilkan hujahannya, “Saya menguasai dua lusin bahasa-bahasa Nusantara, tetapi baru kali ini saya bertemu dengan bahasa yang jauh lebih tua dibanding dengan apa yang sudah saya pelajari. Bahasa Lampung adalah keturunan langsung bahasa Sansekerta dengan sedikit perubahan. Saya curiga bahasa Lampung adalah ibunda bahasa Melayu, terutama di Sumatera.” Sampai di sini usaha dan ide Udo Z. Karzi menulis karya-karyanya dalam bahasa Lampung memiliki landasan yang kuat dan beralasan. Mak Dawah Mak Dibingi (2007) karya Udo yang ditulis sepenuhnya dalam bahasa Lampung dan memperoleh Hadiah Sastra Rancage 2008 sepatutnya merupakan tonggak yang mesti diapresiasi sebagai usaha melestarikan bahasa purba yang tulen ini.
Kedua, hipotesis kedua mengenai keunikan, ketulenan dan kecurigaan bahasa Lampung sebagai (salah satu) akar bahasa Melayu Sumatera (yang saya yakin telah lama pula dicurigai oleh Udo Z. Karzi) justru berasal dari seorang pakar bahasa Melayu bertenis Tionghoa, Prof. Dr. Ding Choo Ming dari Institute ATMA UKM yang amat disegani sebagai pakar bahasa dan peradaban Melayu di Malaysia. Prof. Ding menyoroti bahasa Lampung yang menggunakan huruf tersendiri dan ditulis dalam kulit kayu atau kulit hewan. Sementara media yang mempertemukan titah raja Sekala Brak dengan rakyatnya dilakukan melalui batu bertulis dengan menggunakan huruf Jawi dan berbahasa Melayu.
Apa yang dikatakan Prof. Ding adalah betul belaka. Hampir semua batu bertulis di bekas wilayah kerajaan Sekala Brak ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan berbahasa Melayu. Sementara itu, bahasa Lampung hanya digunakan oleh kalangan tertentu saja di dalam istana raja Sekala Brak. Menurut Prof. Ding, hal ini aneh dan unik sebab tidak ditemui dalam sejarah pentarikhan dan pembuatan batu bertulis di dunia Melayu yang konsisten menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa istana maupun bahasa pergaulan raja dengan rakyat atau rakyat jelata dengan sesamanya. Jika mencermati betapa kukuhnya bahasa Lampung hingga sekarang dengan hurufnya serta keberadaan bahasa Melayu yang kekal sebagai bahasa pergaulan sejak dulu di seluruh Lampung, Prof. Ding berhipotesis bahwa bahasa Melayu bukan berasal dari luar Sekala Brak. Ia bukan bahasa yang diimpor dari tamadun lain secara tiba-tiba sebagai bahasa pergaulan antara raja dengan rakyat atau rakyat dengan sesamanya. Bahasa Melayu Sumatera adalah anak kandung bahasa Lampung itu sendiri setelah melalui proses evolusi selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Saya terkejut bukan kepalang dengan hipotesis tersebut.
Saya berharap hipotesis mentah yang dilemparkan sebagai wacana baru ini dapat menjadi “makanan latihan otak” bagi para akademisi dan siapa saja yang peduli dengan tamadun dan budaya masyarakat Lampung. Syukur-syukur jika suatu hari nanti ada seorang gubernur atau bupati yang baik hati mau mendanai riset serius untuk membuktikan sejauhmana kebenaran atau bahkan kesilapan hipotesis mentah di atas. Atau tegakah kita membiarkan ilmuwan-ilmuwan pakar bahasa Melayu dari Malaysia berdatangan ke kaki Gunung Pesagi untuk membuktikan kebenaran hipotesis di atas? Saya curiga Prof. Ding telah memikirkan hal itu sebab salah satu obsesi terbesar beliau adalah mencari “ibu asli” bahasa Melayu modern yang hingga kini kekal menjadi bahan pertanyaan sebagian besar pakar peradaban Melayu di Malaysia yang berpikiran dan berhujah kritikal.
Ketiga, pengakuan jujur dan terbuka Sunan Keraton Surakarta Hadingrat mengenai keterkaitan dinasti-dinasti Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya sejak 1.500 tahun silam kepada Bapak Dalom Pangeran Edward Syah Pernong (Sultan Sekala Brak XXIII) sempena Festival Kraton Nusantara tahun 2006 yang silam di Solo cukup menggemparkan bagi Sang Sultan sendiri. Saat itu, Sunan Solo mengeluarkan sebuah naskah kuno berhuruf Pallawa mengenai keterkaitan tiga wangsa tersebut. Beliau menceritakan susur galur evolusi Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya sejak keluarnya Dapunta Sailendra (moyang Samaratungga pendiri Borobudur) dari dataran tinggi Sekala Brak sekitar 14-15 abad yang lalu hingga munculnya dinasti Sanjaya di Jawa Tengah yang kemudian menurunkan raja-raja Jawa hingga saat ini. Pak Dalom Pangeran Edward mengaku menyesal sekali kepada Yang Mulia Sunan Solo karena disebabkan kesibukan pekerjaan sebagai Wakapoltabes Palembang pernah tidak memenuhi undangan mendiang ayahanda Sunan Solo sekitar enam tahun sebelumnya. Kala itu, mendiang Sunan Solo mengirimkan pesan melalui orang kepercayaan beliau untuk mengundang Pak Dalom Pangeran Edward bertandang ke Solo. Bahasa yang digunakan mendiang Sunan pun teramat getir dan berbau sejarah sekali, “Sampaikan kepada Sultan Sekala Brak bahwa saudaranya dari Dinasti Sanjaya menunggu di Solo.”
Enam tahun kemudian Bapak Dalom Pangeran Edward Pernong baru sadar bahwa perkataan sang Sunan bukan sebuah lelucon belaka. Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya bukan sekadar mitologi ciptaan pujangga kemawasan. Ia adalah konstruksi adab dan sejarah yang telah berlangsung sejak belasan abad silam. Lagi-lagi saya harus menoleh dan memberi tabik kepada Udo Z. Karzi yang konsisten mengkampanyekan bahasa Lampung sebagai bahasa muasal adab. Udo berada di atas track yang benar sebab secara tidak langsung telah mendokumentasikan bahasa Lampung dengan cara-cara modern. Itulah pula kekurangan Sekala Brak di masa lampau yang tidak memiliki catatan lengkap dan hanya sepotong-sepotong mengenai diaspora wangsa dan tamadunnya. Akhirnya, yang hidup di bumi Sekala Brak adalah dongeng dan hikayat ajaib yang tidak bertapak kukuh pada alam pikir rasional. Sorry to say, orang gunung jadi makin terbelakang. Secara jujur dan tulus hati kita mesti mengakui bahwa Sailendra dan Sanjaya yang berleluhurkan Sekala Brak ternyata memiliki kapasitas yang lebih baik dalam hal usaha-usaha dokumentasi mengenai adab, tamadun dan leluhurnya sejak ribuan tahun silam. Saya tiba-tiba teringat pesan DN Aidit, bekas Ketua CC PKI: “Jawa adalah kunci!”
Di akhir kata pengantar ini, saya setuju dengan Udo Z. Karzi dalam buku ini bahwa feodalisme modern yang dilaungkan segelintir penjilat kepada para petinggi di provinsi Lampung sama sekali tidak bermanfaat, tidak produktif dan justru lebih banyak mudharatnya. Feodalisme jenis ini hanya akan melahirkan megaloman-megaloman baru dengan persfektif diri yang absurd dan terbelakang. Tamadun Lampung tidak cukup hanya dimaknai dengan gelar suttan, suntan, settan, kyai, pun, pangiran, dalom, atin, ratu, dan sebagainya. Adab Lampung bermula dari bahasa, tutur kata, huruf Lappung yang merupakan hasil evolusi entah berapa abad; dan juga tata hukum serta tata masyarakat yang menjadi asas bagi berdirinya masyarakat Lampung modern hingga setakat ini. Budaya Lampung seperti yang dikatakan Udo bukan sebuah barang dagangan untuk membikin-bikin proyek baru yang hanya bernuansa simbolik dan semakin menerbitkan perilaku kolutif dan korupsi di kalangan birokrasi pemerintahan. Budaya Lampung mesti dikembalikan kepada esensi jati diri dan sejarahnya sebagai usaha memahami ulun Lappung (seperti dihujahkan oleh Udo) itu sendiri beserta permasalahannya, termasuk setiap kontradiksi dalam dirinya dan tentu saja sebagai titik tolak untuk membangun Provinsi Lampung dan rakyatnya di masa hadapan.
Kepada Udo Z. Karzi, saya haturkan tabik yang setinggi-tingginya sebab tanpa segan silu melalui buku ini telah mengangkat derajat bahasa dan tamadun Lampung ke peringkat yang lebih tinggi dan terhormat. Saya yakin usaha dan kerja keras Udo bukan sesuatu hal yang sia-sia apalagi jika kelak terbukti bahwa ternyata “Api Muneh?” merupakan salah satu akar bahasa Melayu Sumatera. Tetaplah menjadi Guru kami, wahai Udo Z. Karzi. Anda layak disebut sebagai Pujangga Lampung Terakhir. Tetap pula berbangga hati dengan Api Muneh, gulai paku, bekasom, iwa tuhuk dan sambol tetos. Salam.
Kampus UKM Bangi, Selangor DE, Malaysia
3 April 2013
* Prolog untuk Udo Z. Karzi. 2013. Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan. Bandar Lampung: Indepth Publishing.
** Muhammad Harya Ramdhoni, dosen FISIP Universitas Lampung, kandidat PhD Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Sai Batin Marga Liwa, Paksi Pak SekalaBrak ini menulis novel sejarah Perempuan Penunggang Harimau (2011) dan kumpulan cerpen Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (2012).

Membaca karya-karya Udo Z. Karzi, baik berupa puisi, esei maupun artikel adalah sama dengan menyelami hakikat masyarakat dan adab Lampung beserta beragam problematikanya yang khas dan unik. Sejak lebih dari dua puluh tahun silam Udo telah memulai usaha dan kerja kerasnya sebagai sebuah cita-cita luhur mengangkat harkat dan maruah bahasa dan tamadun Lampung. Mengapa bahasa dan tamadun? Sebab keduanya saling berhubung-kait. Kita dapat memulai mengkaji tamadun bangsa yang bernama Lampung dimulai dari bahasa dan aksaranya. Bahasa Lampung selain dipergunakan oleh sedikit orang di tempat-tempat tertentu juga memiliki kekhasan, keseksian, ketulenan, dan keistimewaan tersendiri. Ia merupakan warisan dari suatu zaman yang begitu purba, begitu kuno dan hampir tidak tergapai oleh imajinasi kita yang hidup di masa kini.
Silakan sidang pembaca mencari kata-kata bahasa Lampung berikut ini dari bahasa Nusantara lain (kecuali dari suku-suku bangsa di Sumsel temurun Sekala Brak seperti Minanga dan Kayu Agung yang masih menggunakannya): sumang (beda), gegoh (mirip), lehot (pesan), betungga (bertemu), kenui (elang), metong (kenyang), handak (putih), risok (sering), kahut (sayang), dan masih banyak kata-kata lainnya yang begitu unik dan purba. Sampai setakat ini, saya belum menjumpai kata-kata tersebut digunakan oleh suku-suku bangsa Melayu lainnya baik di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau di Semenanjung Malaya tempat saya bermastautin saat ini. Memang, terdapat banyak ayat dalam bahasa Lampung yang bisa kita temui dalam bahasa Melayu Malaysia seperti katil (ranjang) dan sudu (sendok). Namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kata-kata yang hanya ditemukan/masih digunakan oleh suku bangsa Lampung Sekala Brak dan keturunannya di saentro Lampung dan Sumatera Selatan.
Saya yakin Udo Z. Karzi sepakat dengan keyakinan saya bahwa bahasa Lampung memiliki sifat-sifat misterius yang masih belum selesai dikaji dan diteliti dengan baik. Dengan keterbatasan pengetahuan saya mengenai teori sastra dan bahasa, akan coba menghuraikan bagaimana hujahan tersebut bermula. Seperti yang dihuraikan Udo Z. Karzi dalam buku Feodalisme Modern ini bahwa terdapat kosakata bahasa Lampung yang mirip dengan kosakata dalam bahasa Talagalog di Filipina dan bahasa Melayu Banjar di Kalimantan. “Api Muneh?”, menyitir salah satu tajuk karya Udo Z Karzi dalam buku ini. Tapi ini adalah kenyataan yang tidak dapat ditampik. Disebabkan, lagi-lagi oleh ketidakpahaman saya mengenai teori sejarah diaspora bahasa Melayu di Nusantara, membuat saya sempat membuat analisis yang ngawur dan tidak layak dipercaya, “bahasa Lampung dan juga bahasa Melayu Sumatera berasal dari salah satu rumpun bahasa Tagalog dan rumpun bahasa Melayu Kalimantan/Borneo” seperti yang pernah dipaparkan oleh pakar bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dari Universitas Naples L’Orientale, Italia Prof. Dr. Antonia Soriente (alumnus PhD Sastra Melayu ATMA Universitas Kebangsaan Malaysia) sempena kuliah umum di UKM pada 21 Februari 2013 yang lalu. Jadi bila mengikuti teori yang dihujahkan Prof. Antonia bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu modern berasal dari ibunda yang sama yaitu bahasa Melayu Dahayunik/Kenyah setelah melampaui evolusi selama, mungkin, ribuan tahun.
Akan tetapi teori Prof. Antonia ternyata telah lama dibantah oleh para pakar bahasa Melayu dari semenanjung tanah Melayu Malaysia sendiri. Setidaknya terdapat dua sanggahan/hipotesis dan sebuah fakta sejarah yang secara langsung maupun tidak langsung malah mengukuhkan sifat-sifat misterius, khas, unik, jenial dan tulen terhadap eksistensi bahasa dan tamadun Lampung.
Pertama, seorang peserta program Pasca Doctoral Filologi di Institute ATMA UKM yang menguasai dua lusin bahasa Nusantara telah menyatakan kepada saya pada medio 2005 bahwa bahasa Melayu Sumatera justru merupakan akar bahasa Melayu modern saat ini. Masalahnya kemudian, ujarnya, bahasa yang manakah di antara semua bahasa di Sumatera hingga kini yang merupakan Ibunda asali bahasa Melayu. Sang Filolog curiga bahwa bahasa Lampung yang kurang dikenal oleh mayoritas masyarakat Indonesia sebab tertelan oleh arus kedatangan transmigran dari luar Lampung dengan adab, bahasa dan budayanya justeru merupakan ibunda asali bahasa Melayu modern. Berdasarkan analisisnya terhadap bahasa Lampung, ia memiliki hujahan tersendiri mengenai sifat-sifat kepurbaan dan ketulenan bahasa itu yang masih kekal hingga kini.
Masih terngiang dalam ingatan saya ketika sang Filolog menampilkan hujahannya, “Saya menguasai dua lusin bahasa-bahasa Nusantara, tetapi baru kali ini saya bertemu dengan bahasa yang jauh lebih tua dibanding dengan apa yang sudah saya pelajari. Bahasa Lampung adalah keturunan langsung bahasa Sansekerta dengan sedikit perubahan. Saya curiga bahasa Lampung adalah ibunda bahasa Melayu, terutama di Sumatera.” Sampai di sini usaha dan ide Udo Z. Karzi menulis karya-karyanya dalam bahasa Lampung memiliki landasan yang kuat dan beralasan. Mak Dawah Mak Dibingi (2007) karya Udo yang ditulis sepenuhnya dalam bahasa Lampung dan memperoleh Hadiah Sastra Rancage 2008 sepatutnya merupakan tonggak yang mesti diapresiasi sebagai usaha melestarikan bahasa purba yang tulen ini.
Kedua, hipotesis kedua mengenai keunikan, ketulenan dan kecurigaan bahasa Lampung sebagai (salah satu) akar bahasa Melayu Sumatera (yang saya yakin telah lama pula dicurigai oleh Udo Z. Karzi) justru berasal dari seorang pakar bahasa Melayu bertenis Tionghoa, Prof. Dr. Ding Choo Ming dari Institute ATMA UKM yang amat disegani sebagai pakar bahasa dan peradaban Melayu di Malaysia. Prof. Ding menyoroti bahasa Lampung yang menggunakan huruf tersendiri dan ditulis dalam kulit kayu atau kulit hewan. Sementara media yang mempertemukan titah raja Sekala Brak dengan rakyatnya dilakukan melalui batu bertulis dengan menggunakan huruf Jawi dan berbahasa Melayu.
Apa yang dikatakan Prof. Ding adalah betul belaka. Hampir semua batu bertulis di bekas wilayah kerajaan Sekala Brak ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan berbahasa Melayu. Sementara itu, bahasa Lampung hanya digunakan oleh kalangan tertentu saja di dalam istana raja Sekala Brak. Menurut Prof. Ding, hal ini aneh dan unik sebab tidak ditemui dalam sejarah pentarikhan dan pembuatan batu bertulis di dunia Melayu yang konsisten menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa istana maupun bahasa pergaulan raja dengan rakyat atau rakyat jelata dengan sesamanya. Jika mencermati betapa kukuhnya bahasa Lampung hingga sekarang dengan hurufnya serta keberadaan bahasa Melayu yang kekal sebagai bahasa pergaulan sejak dulu di seluruh Lampung, Prof. Ding berhipotesis bahwa bahasa Melayu bukan berasal dari luar Sekala Brak. Ia bukan bahasa yang diimpor dari tamadun lain secara tiba-tiba sebagai bahasa pergaulan antara raja dengan rakyat atau rakyat dengan sesamanya. Bahasa Melayu Sumatera adalah anak kandung bahasa Lampung itu sendiri setelah melalui proses evolusi selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Saya terkejut bukan kepalang dengan hipotesis tersebut.
Saya berharap hipotesis mentah yang dilemparkan sebagai wacana baru ini dapat menjadi “makanan latihan otak” bagi para akademisi dan siapa saja yang peduli dengan tamadun dan budaya masyarakat Lampung. Syukur-syukur jika suatu hari nanti ada seorang gubernur atau bupati yang baik hati mau mendanai riset serius untuk membuktikan sejauhmana kebenaran atau bahkan kesilapan hipotesis mentah di atas. Atau tegakah kita membiarkan ilmuwan-ilmuwan pakar bahasa Melayu dari Malaysia berdatangan ke kaki Gunung Pesagi untuk membuktikan kebenaran hipotesis di atas? Saya curiga Prof. Ding telah memikirkan hal itu sebab salah satu obsesi terbesar beliau adalah mencari “ibu asli” bahasa Melayu modern yang hingga kini kekal menjadi bahan pertanyaan sebagian besar pakar peradaban Melayu di Malaysia yang berpikiran dan berhujah kritikal.
Ketiga, pengakuan jujur dan terbuka Sunan Keraton Surakarta Hadingrat mengenai keterkaitan dinasti-dinasti Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya sejak 1.500 tahun silam kepada Bapak Dalom Pangeran Edward Syah Pernong (Sultan Sekala Brak XXIII) sempena Festival Kraton Nusantara tahun 2006 yang silam di Solo cukup menggemparkan bagi Sang Sultan sendiri. Saat itu, Sunan Solo mengeluarkan sebuah naskah kuno berhuruf Pallawa mengenai keterkaitan tiga wangsa tersebut. Beliau menceritakan susur galur evolusi Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya sejak keluarnya Dapunta Sailendra (moyang Samaratungga pendiri Borobudur) dari dataran tinggi Sekala Brak sekitar 14-15 abad yang lalu hingga munculnya dinasti Sanjaya di Jawa Tengah yang kemudian menurunkan raja-raja Jawa hingga saat ini. Pak Dalom Pangeran Edward mengaku menyesal sekali kepada Yang Mulia Sunan Solo karena disebabkan kesibukan pekerjaan sebagai Wakapoltabes Palembang pernah tidak memenuhi undangan mendiang ayahanda Sunan Solo sekitar enam tahun sebelumnya. Kala itu, mendiang Sunan Solo mengirimkan pesan melalui orang kepercayaan beliau untuk mengundang Pak Dalom Pangeran Edward bertandang ke Solo. Bahasa yang digunakan mendiang Sunan pun teramat getir dan berbau sejarah sekali, “Sampaikan kepada Sultan Sekala Brak bahwa saudaranya dari Dinasti Sanjaya menunggu di Solo.”
Enam tahun kemudian Bapak Dalom Pangeran Edward Pernong baru sadar bahwa perkataan sang Sunan bukan sebuah lelucon belaka. Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya bukan sekadar mitologi ciptaan pujangga kemawasan. Ia adalah konstruksi adab dan sejarah yang telah berlangsung sejak belasan abad silam. Lagi-lagi saya harus menoleh dan memberi tabik kepada Udo Z. Karzi yang konsisten mengkampanyekan bahasa Lampung sebagai bahasa muasal adab. Udo berada di atas track yang benar sebab secara tidak langsung telah mendokumentasikan bahasa Lampung dengan cara-cara modern. Itulah pula kekurangan Sekala Brak di masa lampau yang tidak memiliki catatan lengkap dan hanya sepotong-sepotong mengenai diaspora wangsa dan tamadunnya. Akhirnya, yang hidup di bumi Sekala Brak adalah dongeng dan hikayat ajaib yang tidak bertapak kukuh pada alam pikir rasional. Sorry to say, orang gunung jadi makin terbelakang. Secara jujur dan tulus hati kita mesti mengakui bahwa Sailendra dan Sanjaya yang berleluhurkan Sekala Brak ternyata memiliki kapasitas yang lebih baik dalam hal usaha-usaha dokumentasi mengenai adab, tamadun dan leluhurnya sejak ribuan tahun silam. Saya tiba-tiba teringat pesan DN Aidit, bekas Ketua CC PKI: “Jawa adalah kunci!”
Di akhir kata pengantar ini, saya setuju dengan Udo Z. Karzi dalam buku ini bahwa feodalisme modern yang dilaungkan segelintir penjilat kepada para petinggi di provinsi Lampung sama sekali tidak bermanfaat, tidak produktif dan justru lebih banyak mudharatnya. Feodalisme jenis ini hanya akan melahirkan megaloman-megaloman baru dengan persfektif diri yang absurd dan terbelakang. Tamadun Lampung tidak cukup hanya dimaknai dengan gelar suttan, suntan, settan, kyai, pun, pangiran, dalom, atin, ratu, dan sebagainya. Adab Lampung bermula dari bahasa, tutur kata, huruf Lappung yang merupakan hasil evolusi entah berapa abad; dan juga tata hukum serta tata masyarakat yang menjadi asas bagi berdirinya masyarakat Lampung modern hingga setakat ini. Budaya Lampung seperti yang dikatakan Udo bukan sebuah barang dagangan untuk membikin-bikin proyek baru yang hanya bernuansa simbolik dan semakin menerbitkan perilaku kolutif dan korupsi di kalangan birokrasi pemerintahan. Budaya Lampung mesti dikembalikan kepada esensi jati diri dan sejarahnya sebagai usaha memahami ulun Lappung (seperti dihujahkan oleh Udo) itu sendiri beserta permasalahannya, termasuk setiap kontradiksi dalam dirinya dan tentu saja sebagai titik tolak untuk membangun Provinsi Lampung dan rakyatnya di masa hadapan.
Kepada Udo Z. Karzi, saya haturkan tabik yang setinggi-tingginya sebab tanpa segan silu melalui buku ini telah mengangkat derajat bahasa dan tamadun Lampung ke peringkat yang lebih tinggi dan terhormat. Saya yakin usaha dan kerja keras Udo bukan sesuatu hal yang sia-sia apalagi jika kelak terbukti bahwa ternyata “Api Muneh?” merupakan salah satu akar bahasa Melayu Sumatera. Tetaplah menjadi Guru kami, wahai Udo Z. Karzi. Anda layak disebut sebagai Pujangga Lampung Terakhir. Tetap pula berbangga hati dengan Api Muneh, gulai paku, bekasom, iwa tuhuk dan sambol tetos. Salam.
Kampus UKM Bangi, Selangor DE, Malaysia
3 April 2013
* Prolog untuk Udo Z. Karzi. 2013. Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan. Bandar Lampung: Indepth Publishing.
** Muhammad Harya Ramdhoni, dosen FISIP Universitas Lampung, kandidat PhD Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Sai Batin Marga Liwa, Paksi Pak SekalaBrak ini menulis novel sejarah Perempuan Penunggang Harimau (2011) dan kumpulan cerpen Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (2012).
Published on April 10, 2013 03:55
•
Tags:
feodalisme-modern, muhammad-harya-ramdhoni, prolog
Manifesto Kelampungan Udo Z. Karzi*
Oleh Febrie Hastiyanto**
SELAMA ini publik telah mengenal sejumlah usaha partikelir-perorangan untuk merawat arsip dan kepustakaan di tanah air. Sebut saja H.B. Jassin yang bertahun-tahun setia mengkliping artikel seni dan budaya di koran untuk kemudian didokumentasikan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. Usaha H.B. Jassin ini diikuti pula oleh Korrie Layun Rampan yang mengumpulkan terbitan sastra dan budaya dalam Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) Korrie Layun Rampan. Selain itu perpustakaan pribadi milik sejumlah tokoh yang menghargai buku tak terhitung jumlahnya, sebut saja Fadli Zon Library, yang dirintis Fadli Zon. Masih ada Perpustakaan Bung Hatta yang memuat koleksi buku sang Wakil Presiden pertama kita—yang kini kondisinya merana sebagaimana PDS H.B. Jassin sebelum teman-teman sastrawan bergerak menyelamatkannya dalam gerakan #koin sastra.
Seturut perkembangan dan kebutuhan peradaban, perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi tak hanya memposisikan diri sebagai tempat menyimpan pustaka, dokumen atau arsip belaka. Perpustakaan-perpustakaan yang ada—yang menggembirakan sebagian dikelola anak muda—kini semakin bersemangat membuka dan menjadikan dirinya sebagai ruang belajar literasi yang lebih kompleks. Perpustakaan-perpustakaan ini menjelma menjadi komunitas yang tidak hanya menjadi rumah baca namun sekaligus menjadi candradimuka, tempat lahirnya (calon) penulis-penulis baru. Sejumlah kegiatan dirintis, seperti workshop menulis, rangkaian lomba, diskusi, hingga penerbitan. Rumah Dunia yang dirintis Gola Gong di Banten, atau Rumah Baca Asma Nadia yang memiliki cabang di sejumlah daerah, termasuk Iboekoe, komunitas pustaka dan penerbitan yang digawangi anak-anak muda Yogyakarta—yang menonjol sebut saja Muhidin M. Dahlan—dapat disebut sebagai contoh.
Usaha merawat buku—termasuk di dalamnya sari pati ilmu dan ingatan kolektif terhadap kebangsaan yang disimpan dalam lembar-lembar buku—umumnya dilakukan dalam bentuk fisiknya, meskipun sejumlah kantong-kantong dokumentasi literasi mulai melakukan usaha digitalisasi. Di era yang semakin mengglobal, di mana kebutuhan akses informasi yang semakin cepat dalam genggaman makin menguat, usaha-usaha mendokumentasikan literasi dalam arsip maya (online) patut diapresiasi. Kehadiran media sosial (social media), utamanya blog membuat demokratisasi pendokumentasian literasi menemukan momentumnya. Namun, kemudahan memproduksi blog-blog di dunia maya berbanding lurus dengan mudahnya blog-blog yang ada berguguran. Mengelola sebuah blog rupanya bukan kerja yang tak melelahkan. Dari situ konsistensi, semangat mendokumentasikan pengetahuan, termasuk keihklasan mewakafkan waktu untuk terus memperbarui isi (content) blog menunjukkan kapasitas literer pengelolanya. Tak salah bila kemudian kehadiran blog dianggap sebagai kegenitan intelektual belaka. Hadir semarak untuk kemudian meredup diam-diam dan dilupakan orang.
Memuliakan Kelampungan dalam Arsip
Adalah Udo Z. Karzi, satu nama yang setia mewakafkan dirinya untuk menjadi penjaga gawang ingatan untuk merawat kelampungan melalui akun blognya: http://ulunlampung.blogspot.com/. Ulunlampung.blogspot.com—selanjutnya disebut ulunlampung saja—secara sadar diniatkan sebagai ruang mendokumentasikan segala sesuatu mengenai Lampung. Ya, Lampung, provinsi paling selatan Sumatera yang paling dekat dengan Jawa. Sebagai sebuah entitas, tulis Udo Z. Karzi dalam “Manifesto Ulunlampung” di halaman muka ulunlampung, Lampung masih penuh misteri karena masih terlampau sedikit kajian yang dilakukan tentangnya. Lampung terlalu sering luput dari perhatian orang pula. Karena itu tak salah bila Udo Z. Karzi—nama sebenarnya Zulkarnain Zubairi—mengelola ulunlampung yang dapat disebut sebagai usaha untuk meminimalkan kelangkaan pustaka mengenai Lampung dan kelampungan.
Dalam ruang sunyi Udo Z. Karzi mulai mengumpulkan sejumlah dokumentasi mengenai Lampung dan kelampungan paling tidak sejak tahun 2004. Namun baru pada tahun 2007 ulunlampung benar-benar dikelola secara lebih serius, ditinjau dari intensitas artikel yang diunggah. Dalam setiap bulan Udo Z. Karzi—jurnalis yang kini menjabat Redaktur Budaya Lampung Post cum sastrawan peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 untuk Sastra Lampung serta editor dan penulis sejumlah buku—mengunggah tidak kurang 20 sampai 50 artikel, bahkan pada bulan-bulan tertentu hingga 100 artikel.
Memang hampir keseluruhan artikel tidak ditulis sendiri oleh Udo Zul—sapaan akrabnya. Sebagian besar artikel dikutip Udo dari sejumlah media massa yang terbit secara nasional maupun regional, termasuk publikasi yang dilakukan media sosial macam blog maupun media online. Artikel-artikel yang diunggah diklasifikasi dengan baik, meliputi kategori adat (51 artikel), arsitektur (14), bahasa (198) , budaya (430), buku (214), film (23), kain (13), kemiskinan (19), kependudukan (2), komunitas (3), kuliner (26), lingkungan (163), masalah sosial (33), mode (4), musik (73), pendidikan (79), pers (45), polemik (12) seni rupa (57), sastra (395), sejarah (176), seni (140), seni tradisi (82), siswa (55), sosok (153), tari (22), teater (123), transmigrasi (11), udo z. karzi (143), dan wisata (543).
Boleh dibilang, seluruh artikel yang dikutip ulunlampung adalah artikel-artikel yang “bergizi,” artikel-artikel yang ditulis oleh media dan penulis yang memiliki kapasitas yang kompeten dalam menulis Lampung dan kelampungan. Belum cukup dengan sajian artikel yang berkualitas, Udo Zul juga taat dalam melengkapi setiap artikel dengan sumber yang ia dikutip, bahkan beberapa artikel disertakan pula jejaring online (pranala) menuju referensi online sumber yang dikutip. Untuk ini Udo Zul mempersilakan pembaca mengutip semua artikel ulunlampung dengan menyebutkan sumbernya, karena hak cipta dan hak siar tetap ada pada penulis dan/atau pihak yang menyiarkan tulisan sebagaimana tertulis dalam “Manifesto Ulunlampung.” Tak hanya itu, ulunlampung juga menyediakan pranala ke sejumlah situs lain mengenai Lampung dan kelampungan, seperti situs online milik pemerintah daerah se-Lampung, media, ataupun tokoh-tokoh perseorangan yang concern pada banyak bidang, utamanya seni, budaya, intelektual dan sastra.
Menjelajah Lampung dan kelampungan melalui ulunlampung dapat menjadi tamasya online yang menyenangkan. Dari ulunlampung pembaca yang tak mengenal Lampung sebelumnya sekalipun dapat mendapat gambaran, tak hanya singkat namun juga seringkali mendalam terhadap Lampung dan kelampungan. Perkenalan saya dengan ulunlampung juga bermula dari persinggahan saya di situs ini ketika saya memulai penulisan manuskrip mengenai etnografi kebuayan (federasi marga) Way Kanan di Lampung—tanah tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Melalui mesin pencari google, kata-kata kunci mengenai Lampung dan kelampungan akan segera merujuk pada ulunlampung. Belajar dari ulunlampung saya memperoleh ekstase pustaka yang memuaskan dahaga kelangkaan literasi mengenai Lampung dan kelampungan. Manuskrip saya mengenai etnografi tersebut—pada akhirnya saya beri judul Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Kebuayan Way Kanan Lampung—sebagian di antaranya mendasarkan pada studi pustaka dan dokumen yang disediakan cuma-cuma oleh ulunlampung. Tak hanya itu, setelah banyak melakukan studi pustaka mengenai Lampung dan kelampungan antara lain di situs ulunlampung saya mendapatkan kerangka berpikir bagi lebih dari 20 artikel mengenai Lampung dan kelampungan—belakangan saya edit menjadi bunga rampai artikel bertajuk Kronik Budaya Lampung dalam Tafsir. Tak salah bila ulunlampung dapat disebut sebagai salah satu referensi utama yang paling otoritatif bagi siapa pun yang ingin melakukan studi pustaka mengenai Lampung dan kelampungan.
Sesungguhnya usaha-usaha untuk mendokumentasikan literasi mengenai Lampung dan kelampungan tak hanya dilakukan oleh Udo Z. Karzi dan ulunlampung. Sejumlah intelektual Lampung—di antaranya yang menyebutkan diri sebagai penulisnya, Diandra Natakembahang—banyak menulis isu-isu adat dan budaya di situs Wikipedia. Umumnya tulisan-tulisan di Wikipedia—karena karakteristiknya sebagai situs ensiklopedia online—banyak berbentuk resume buku-buku teks atau dokumen mengenai adat dan budaya Lampung ketimbang artikel opini. Selain arsip literer dalam situs Wikipedia, sejumlah intelektual juga mengelola blog-blog layaknya ulunlampung, seperti institutlampungologi.blogspot.com atau budayalampung.blogspot.com. Media-media di Lampung, seperti Lampung Post dan Radar Lampung juga memiliki versi online bahkan e-paper sehingga dapat diakses siapa saja yang ingin mendapat referensi yang memadai soal Lampung. Namun media-media yang ada tidak secara khusus menyediakan rubrikasi mengenai Lampung dan kelampungan sebagaimana ulunlampung. Bahkan media seperti Lampung Post beberapa kali merombak tampilan versi online-nya namun tak menyiapkan back up data dan artikel penerbitan yang lampau. Akibatnya, arsip pemberitaan online Lampung Post menjadi sulit dilacak.
Meski demikian usaha-usaha yang ada cukup membantu bagi siapapun yang ingin menulis mengenai Lampung dan kelampungan. Hanya saja, arsip-arsip literasi mengenai Lampung dan kelampungan selain yang diunggah ulunlampung tidak mampu menjaga konsistensi dalam memperkaya dokumentasi dari frekuensi unggahan artikel setiap bulan. Walhasil, tinggallah ulunlampung sebagai satu-satunya situs yang paling konsisten mengunggah artikel secara kontinu setiap bulannya.
Kaya Informasi
Mengikuti unggahan artikel di ulunlampung membuat pembaca dapat mengikuti isu-isu aktual yang sedang berkembang di Lampung. Melalui ulunlampung misalnya, kita dapat mengikuti sejumlah polemik, misalnya relasi independen (atau dependen?) seni terhadap birokrasi yang melibatkan sejumlah budayawan kenamaan Lampung dalam diskusi sambung-menyambung di media. Juga isu-isu soal sejarah budaya Lampung, semisal pernyataan bila Kerajaan Sriwijaya tidak beribukota di Palembang sebagaimana tertulis dalam buku teks sejarah yang dipelajari di sekolah dan diyakini banyak orang, tetapi hidup di dataran tinggi Sekala Brak Lampung Barat. Masih ada polemik soal bahasa Lampung, termasuk istilah yang tepat apakah ulun Lampung atau tian Lampung untuk menyebut “orang Lampung.”
Melalui ulunlampung pula kita dapat mengikuti tamasya sejarah yang bertutur mengenai penyebaran Islam di Lampung sejak abad pertengahan; korelasi penyebaran Islam di Lampung dengan letusan Krakatau tahun 1883; sejarah pergerakan nasional dan aktivitas cabang-cabang ormas keagamaan nasional seperti Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU); Fatwa 100 Ulama Lampung tahun 1949 dalam mempertahankan kemerdekaan yang ekuivalen dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama tahun 1945 di Surabaya; hingga sari pati nilai-nilai Islam yang mewarnai kehidupan masyarakat Lampung sebagaimana kodifikasi dalam kitab Kuntara Raja Niti, yakni piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), nengah-nyappur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan sakai-sambaian (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Polemik soal Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) sebagai federasi (atau konfederasi?) buay-buay (marga) di Lampung yang kedudukannya tergeser oleh kelembagaan pemerintahan formal juga dapat dibaca secara utuh dalam ulunlampung. Dalam mengunggah setiap artikel, tampak Udo Zul memposisikan diri sebagai dokumentator. Semua artikel, apa pun perspektifnya akan dipublikasikan-ulang oleh ulunlampung tanpa melalui proses penyuntingan. Bahkan Udo Zul juga bertindak pasif dengan tidak memberi komentar apapun pada setiap artikel yang ditampilkan. Dengan demikian, pembaca diberi kebebasan untuk menafsir, memaknai, menyepakati, atau membantah perspektif artikel-artikel yang ada.
Sebagai ikhtiar kebudayaan, usaha yang dilakukan Udo Z. Karzi nyaris tanpa cela. Ulunlampung berguna bagi siapa saja yang ingin sekedar tahu atau ingin memperdalam pengetahuan mengenai Lampung dan kelampungan. Kalau harus memberikan saran, saya lebih suka menyemangati Udo Z. Karzi dan ulunlampung agar tetap setia dan ikhlas mewakafkan diri dalam merawat dan memuliakan kelampungan melalui literasi maya. Begitu juga bagi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Belajar dari pengalaman ulunlampung, tak keliru rasanya bila digitalisasi arsip yang telah dilakukan ANRI selama ini ditampilkan secara online sehingga mudah diakses siapa saja, di mana saja. Pusat Bahasa misalnya, telah melakukan usaha mendokumentasikan secara online Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan (daring; online) sehingga demokratisasi literasi telah terjadi. Setiap orang kini dapat mengakses Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara online, tanpa harus memiliki bukunya yang tebal—yang identik sebagai milik sarjana atau guru Bahasa Indonesia. Kita telah memasuki era online, sehingga sudah seharusnya setiap orang dan lembaga menyesuaikan diri dengan kehendak zaman ini. Tabik.
* Epilog untuk Udo Z. Karzi. 2013. Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan. Bandar Lampung: Indepth Publishing.
** Febrie Hastiyanto. Alumnus Sosiologi FISIP UNS yang kini sedang melanjutkan studi pada Prodi Magister Administrasi Publik FIA Universitas Brawijaya ini pernah tinggal di Lampung, Solo, Tegal, dan Malang serta intim dengan Yogyakarta dan Banjarnegara.

Seturut perkembangan dan kebutuhan peradaban, perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi tak hanya memposisikan diri sebagai tempat menyimpan pustaka, dokumen atau arsip belaka. Perpustakaan-perpustakaan yang ada—yang menggembirakan sebagian dikelola anak muda—kini semakin bersemangat membuka dan menjadikan dirinya sebagai ruang belajar literasi yang lebih kompleks. Perpustakaan-perpustakaan ini menjelma menjadi komunitas yang tidak hanya menjadi rumah baca namun sekaligus menjadi candradimuka, tempat lahirnya (calon) penulis-penulis baru. Sejumlah kegiatan dirintis, seperti workshop menulis, rangkaian lomba, diskusi, hingga penerbitan. Rumah Dunia yang dirintis Gola Gong di Banten, atau Rumah Baca Asma Nadia yang memiliki cabang di sejumlah daerah, termasuk Iboekoe, komunitas pustaka dan penerbitan yang digawangi anak-anak muda Yogyakarta—yang menonjol sebut saja Muhidin M. Dahlan—dapat disebut sebagai contoh.
Usaha merawat buku—termasuk di dalamnya sari pati ilmu dan ingatan kolektif terhadap kebangsaan yang disimpan dalam lembar-lembar buku—umumnya dilakukan dalam bentuk fisiknya, meskipun sejumlah kantong-kantong dokumentasi literasi mulai melakukan usaha digitalisasi. Di era yang semakin mengglobal, di mana kebutuhan akses informasi yang semakin cepat dalam genggaman makin menguat, usaha-usaha mendokumentasikan literasi dalam arsip maya (online) patut diapresiasi. Kehadiran media sosial (social media), utamanya blog membuat demokratisasi pendokumentasian literasi menemukan momentumnya. Namun, kemudahan memproduksi blog-blog di dunia maya berbanding lurus dengan mudahnya blog-blog yang ada berguguran. Mengelola sebuah blog rupanya bukan kerja yang tak melelahkan. Dari situ konsistensi, semangat mendokumentasikan pengetahuan, termasuk keihklasan mewakafkan waktu untuk terus memperbarui isi (content) blog menunjukkan kapasitas literer pengelolanya. Tak salah bila kemudian kehadiran blog dianggap sebagai kegenitan intelektual belaka. Hadir semarak untuk kemudian meredup diam-diam dan dilupakan orang.
Memuliakan Kelampungan dalam Arsip
Adalah Udo Z. Karzi, satu nama yang setia mewakafkan dirinya untuk menjadi penjaga gawang ingatan untuk merawat kelampungan melalui akun blognya: http://ulunlampung.blogspot.com/. Ulunlampung.blogspot.com—selanjutnya disebut ulunlampung saja—secara sadar diniatkan sebagai ruang mendokumentasikan segala sesuatu mengenai Lampung. Ya, Lampung, provinsi paling selatan Sumatera yang paling dekat dengan Jawa. Sebagai sebuah entitas, tulis Udo Z. Karzi dalam “Manifesto Ulunlampung” di halaman muka ulunlampung, Lampung masih penuh misteri karena masih terlampau sedikit kajian yang dilakukan tentangnya. Lampung terlalu sering luput dari perhatian orang pula. Karena itu tak salah bila Udo Z. Karzi—nama sebenarnya Zulkarnain Zubairi—mengelola ulunlampung yang dapat disebut sebagai usaha untuk meminimalkan kelangkaan pustaka mengenai Lampung dan kelampungan.
Dalam ruang sunyi Udo Z. Karzi mulai mengumpulkan sejumlah dokumentasi mengenai Lampung dan kelampungan paling tidak sejak tahun 2004. Namun baru pada tahun 2007 ulunlampung benar-benar dikelola secara lebih serius, ditinjau dari intensitas artikel yang diunggah. Dalam setiap bulan Udo Z. Karzi—jurnalis yang kini menjabat Redaktur Budaya Lampung Post cum sastrawan peraih Hadiah Sastra Rancage 2008 untuk Sastra Lampung serta editor dan penulis sejumlah buku—mengunggah tidak kurang 20 sampai 50 artikel, bahkan pada bulan-bulan tertentu hingga 100 artikel.
Memang hampir keseluruhan artikel tidak ditulis sendiri oleh Udo Zul—sapaan akrabnya. Sebagian besar artikel dikutip Udo dari sejumlah media massa yang terbit secara nasional maupun regional, termasuk publikasi yang dilakukan media sosial macam blog maupun media online. Artikel-artikel yang diunggah diklasifikasi dengan baik, meliputi kategori adat (51 artikel), arsitektur (14), bahasa (198) , budaya (430), buku (214), film (23), kain (13), kemiskinan (19), kependudukan (2), komunitas (3), kuliner (26), lingkungan (163), masalah sosial (33), mode (4), musik (73), pendidikan (79), pers (45), polemik (12) seni rupa (57), sastra (395), sejarah (176), seni (140), seni tradisi (82), siswa (55), sosok (153), tari (22), teater (123), transmigrasi (11), udo z. karzi (143), dan wisata (543).
Boleh dibilang, seluruh artikel yang dikutip ulunlampung adalah artikel-artikel yang “bergizi,” artikel-artikel yang ditulis oleh media dan penulis yang memiliki kapasitas yang kompeten dalam menulis Lampung dan kelampungan. Belum cukup dengan sajian artikel yang berkualitas, Udo Zul juga taat dalam melengkapi setiap artikel dengan sumber yang ia dikutip, bahkan beberapa artikel disertakan pula jejaring online (pranala) menuju referensi online sumber yang dikutip. Untuk ini Udo Zul mempersilakan pembaca mengutip semua artikel ulunlampung dengan menyebutkan sumbernya, karena hak cipta dan hak siar tetap ada pada penulis dan/atau pihak yang menyiarkan tulisan sebagaimana tertulis dalam “Manifesto Ulunlampung.” Tak hanya itu, ulunlampung juga menyediakan pranala ke sejumlah situs lain mengenai Lampung dan kelampungan, seperti situs online milik pemerintah daerah se-Lampung, media, ataupun tokoh-tokoh perseorangan yang concern pada banyak bidang, utamanya seni, budaya, intelektual dan sastra.
Menjelajah Lampung dan kelampungan melalui ulunlampung dapat menjadi tamasya online yang menyenangkan. Dari ulunlampung pembaca yang tak mengenal Lampung sebelumnya sekalipun dapat mendapat gambaran, tak hanya singkat namun juga seringkali mendalam terhadap Lampung dan kelampungan. Perkenalan saya dengan ulunlampung juga bermula dari persinggahan saya di situs ini ketika saya memulai penulisan manuskrip mengenai etnografi kebuayan (federasi marga) Way Kanan di Lampung—tanah tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Melalui mesin pencari google, kata-kata kunci mengenai Lampung dan kelampungan akan segera merujuk pada ulunlampung. Belajar dari ulunlampung saya memperoleh ekstase pustaka yang memuaskan dahaga kelangkaan literasi mengenai Lampung dan kelampungan. Manuskrip saya mengenai etnografi tersebut—pada akhirnya saya beri judul Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Kebuayan Way Kanan Lampung—sebagian di antaranya mendasarkan pada studi pustaka dan dokumen yang disediakan cuma-cuma oleh ulunlampung. Tak hanya itu, setelah banyak melakukan studi pustaka mengenai Lampung dan kelampungan antara lain di situs ulunlampung saya mendapatkan kerangka berpikir bagi lebih dari 20 artikel mengenai Lampung dan kelampungan—belakangan saya edit menjadi bunga rampai artikel bertajuk Kronik Budaya Lampung dalam Tafsir. Tak salah bila ulunlampung dapat disebut sebagai salah satu referensi utama yang paling otoritatif bagi siapa pun yang ingin melakukan studi pustaka mengenai Lampung dan kelampungan.
Sesungguhnya usaha-usaha untuk mendokumentasikan literasi mengenai Lampung dan kelampungan tak hanya dilakukan oleh Udo Z. Karzi dan ulunlampung. Sejumlah intelektual Lampung—di antaranya yang menyebutkan diri sebagai penulisnya, Diandra Natakembahang—banyak menulis isu-isu adat dan budaya di situs Wikipedia. Umumnya tulisan-tulisan di Wikipedia—karena karakteristiknya sebagai situs ensiklopedia online—banyak berbentuk resume buku-buku teks atau dokumen mengenai adat dan budaya Lampung ketimbang artikel opini. Selain arsip literer dalam situs Wikipedia, sejumlah intelektual juga mengelola blog-blog layaknya ulunlampung, seperti institutlampungologi.blogspot.com atau budayalampung.blogspot.com. Media-media di Lampung, seperti Lampung Post dan Radar Lampung juga memiliki versi online bahkan e-paper sehingga dapat diakses siapa saja yang ingin mendapat referensi yang memadai soal Lampung. Namun media-media yang ada tidak secara khusus menyediakan rubrikasi mengenai Lampung dan kelampungan sebagaimana ulunlampung. Bahkan media seperti Lampung Post beberapa kali merombak tampilan versi online-nya namun tak menyiapkan back up data dan artikel penerbitan yang lampau. Akibatnya, arsip pemberitaan online Lampung Post menjadi sulit dilacak.
Meski demikian usaha-usaha yang ada cukup membantu bagi siapapun yang ingin menulis mengenai Lampung dan kelampungan. Hanya saja, arsip-arsip literasi mengenai Lampung dan kelampungan selain yang diunggah ulunlampung tidak mampu menjaga konsistensi dalam memperkaya dokumentasi dari frekuensi unggahan artikel setiap bulan. Walhasil, tinggallah ulunlampung sebagai satu-satunya situs yang paling konsisten mengunggah artikel secara kontinu setiap bulannya.
Kaya Informasi
Mengikuti unggahan artikel di ulunlampung membuat pembaca dapat mengikuti isu-isu aktual yang sedang berkembang di Lampung. Melalui ulunlampung misalnya, kita dapat mengikuti sejumlah polemik, misalnya relasi independen (atau dependen?) seni terhadap birokrasi yang melibatkan sejumlah budayawan kenamaan Lampung dalam diskusi sambung-menyambung di media. Juga isu-isu soal sejarah budaya Lampung, semisal pernyataan bila Kerajaan Sriwijaya tidak beribukota di Palembang sebagaimana tertulis dalam buku teks sejarah yang dipelajari di sekolah dan diyakini banyak orang, tetapi hidup di dataran tinggi Sekala Brak Lampung Barat. Masih ada polemik soal bahasa Lampung, termasuk istilah yang tepat apakah ulun Lampung atau tian Lampung untuk menyebut “orang Lampung.”
Melalui ulunlampung pula kita dapat mengikuti tamasya sejarah yang bertutur mengenai penyebaran Islam di Lampung sejak abad pertengahan; korelasi penyebaran Islam di Lampung dengan letusan Krakatau tahun 1883; sejarah pergerakan nasional dan aktivitas cabang-cabang ormas keagamaan nasional seperti Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU); Fatwa 100 Ulama Lampung tahun 1949 dalam mempertahankan kemerdekaan yang ekuivalen dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama tahun 1945 di Surabaya; hingga sari pati nilai-nilai Islam yang mewarnai kehidupan masyarakat Lampung sebagaimana kodifikasi dalam kitab Kuntara Raja Niti, yakni piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya), nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), nengah-nyappur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), dan sakai-sambaian (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).
Polemik soal Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) sebagai federasi (atau konfederasi?) buay-buay (marga) di Lampung yang kedudukannya tergeser oleh kelembagaan pemerintahan formal juga dapat dibaca secara utuh dalam ulunlampung. Dalam mengunggah setiap artikel, tampak Udo Zul memposisikan diri sebagai dokumentator. Semua artikel, apa pun perspektifnya akan dipublikasikan-ulang oleh ulunlampung tanpa melalui proses penyuntingan. Bahkan Udo Zul juga bertindak pasif dengan tidak memberi komentar apapun pada setiap artikel yang ditampilkan. Dengan demikian, pembaca diberi kebebasan untuk menafsir, memaknai, menyepakati, atau membantah perspektif artikel-artikel yang ada.
Sebagai ikhtiar kebudayaan, usaha yang dilakukan Udo Z. Karzi nyaris tanpa cela. Ulunlampung berguna bagi siapa saja yang ingin sekedar tahu atau ingin memperdalam pengetahuan mengenai Lampung dan kelampungan. Kalau harus memberikan saran, saya lebih suka menyemangati Udo Z. Karzi dan ulunlampung agar tetap setia dan ikhlas mewakafkan diri dalam merawat dan memuliakan kelampungan melalui literasi maya. Begitu juga bagi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Belajar dari pengalaman ulunlampung, tak keliru rasanya bila digitalisasi arsip yang telah dilakukan ANRI selama ini ditampilkan secara online sehingga mudah diakses siapa saja, di mana saja. Pusat Bahasa misalnya, telah melakukan usaha mendokumentasikan secara online Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan (daring; online) sehingga demokratisasi literasi telah terjadi. Setiap orang kini dapat mengakses Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara online, tanpa harus memiliki bukunya yang tebal—yang identik sebagai milik sarjana atau guru Bahasa Indonesia. Kita telah memasuki era online, sehingga sudah seharusnya setiap orang dan lembaga menyesuaikan diri dengan kehendak zaman ini. Tabik.
* Epilog untuk Udo Z. Karzi. 2013. Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan. Bandar Lampung: Indepth Publishing.
** Febrie Hastiyanto. Alumnus Sosiologi FISIP UNS yang kini sedang melanjutkan studi pada Prodi Magister Administrasi Publik FIA Universitas Brawijaya ini pernah tinggal di Lampung, Solo, Tegal, dan Malang serta intim dengan Yogyakarta dan Banjarnegara.
Published on April 10, 2013 03:44
•
Tags:
epilog, feodalisme-modern
April 3, 2013
Ikam Ulun Lampung
Oleh Tita Tjindarbumi
JAUH dari tanah Lampung biasanya membuat kita semakin jauh dari peradaban tanah kelahiran. Tetapi itu tak terjadi pada diri ikam. Saya memakai kata “ikam” karena saya asli putri kelahiran tanah Lampung. Tepatnya, nenek moyang ikam berasal dari Kalianda. Ikam justru merasa ingin lebih dekat dengan segala yang berbau lampung, berbicara dalam bahasa Lampung, menulis soal adat istiadat yang berlaku di tanah Lampung bahkan ingin bersastra dengan menggunakan bahasa Lampung.
Namun, ikam yang mengaku ulun Lampung, sepertinya hanya sebagai sebutan saja. Kenapa begitu? Ikam yang katanya ulun Lampung, keturunan asli marga Tjindarbumi asal Kalianda, nyata senyatanya, sejak kecil tidak pernah diakrabi dengan hal-hal yang berbau Lampung. Bagaimana mau berkomunikasi dalam bahasa daerah Lampung? Di sekolah sejak TK tidak pernah ada pelajaran bahasa daerah dan di rumah tak ada yang menggunakan bahasa Lampung dalam percakapan sehari-hari.
Ketika membaca calon buku Udo Z Karzi yang berjudul Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan yang sedang proses cetak, ikam merasa semakin mempertanyakan diri sendiri, sungguhkah ikam memang ulun Lampung?
Di dalam bukunya itu. Udo menyarankan sekaligus menyentil seniman asal Lampung agar memulai usaha pengembangan sastra (bahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Yang menurut Udo, sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti sastra daerah lainnya, yakni sastra Jawa, sastra Sunda dan sastra Bali. (hlm. 64).
Sentilan Udo memang jitu, ikam pribadi langsung seperti kena strum. Ikam banyak menulis puisi, cerpen dan tulisan lainnya, tetapi tak terpikir untuk menulis sastra dengan mengangkat budaya, adat atau landmark yang berbau tanah Lampung. Keterbatasan bahasalah yang membuat ikam seperti menyerah sebelum maju.
Bahasa Daerah Tak Ada di Sekolah
Siapa yang harus dipersalahkan ketika banyak ulun Lampung yang tidak bisa berbicara dalam bahasa Lampung. Bahkan ikam baru saja berpikir, ketika ikam masih sekolah di tingkat TK, ikam tidak pernah mendengar teman ikam berkomunikasi dalam bahasa Lampung ketika di sekolah. Kalau pun ada beberapa yang menggunakannya, kam tidak paham artinya.
Lalu mengapa tidak ada pelajaran bahasa daerah Lampung di mata pelajaran sekolah tingkat TK. SD, SMP, SMA? Begitu sulitkah dipelajari? Atau memang tenaga pengajar yang tidak ada?
Bisa jadi kesempatan kami ulun Lampung yang menghabiskan masa kecil di tanah Lampung, tidak cukup dibekali pengetahuan tentang Sejarah tanah Lampung dan diajari bahasa Lampung baik lisan maupun tulisan. Sehingga ketika ikam bersama teman-teman menyanyikan lagu Tepui-tepui atau lagu Pang Lipangdang ikam hanya ikut-ikutan menyanyi tanpa memahami apa arti lirik lagu-lagu tersebut. Kenapa? Ikam tidak bisa berbahasa Lampung sekaligus tidak paham artinya.
Situasi seperti ini, akhirnya dibawa sampai dewasa. Apa yang dapat dilakukan oleh ikam yang penulis asal tanah Sang Bumi Ruwa Jurai untuk ikut memajukan sastra berbahasa Lampung? Ini sungguh membuat ikam merasa bersalah dan seperti anak daerah yang lupa pada daerahnya.
Itu sebabnya ikam menulis soal ini, setidaknya bisa dijadikan gambaran bahwa menjadi anak daerah harus bisa bahasa daerah dan memahami artinya. Sekarang saja ikam bisa berbahasa Jawa dan memahami meski sebatas bahasa pergaulan saja.
Bahasa Gaul
Kebayang nggak jika dalam pergaulan sehari-hari ulun Lampung semua menggunakan bahasa Lampung seperti halnya di daerah Surabaya yang menggunakan bahasa Jawa bergaya arek Suroboyo? Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa.
Membudayakan menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa dalam pergaulan, sangat membantu melejitkan perkembangan bahasa daerah termasuk “melampungkan” tanah kelahiran kita. Upaya semacam itu sudah dilakukan oleh Jokowi ketika menjadi walikota Solo dengan mewajibkan menggunakan busana daerah di hari tertentu, lalu dilanjutkan kebiasaan baik itu saat beliau menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Kenapa Lampung tidak mencontoh Jokowi jika bisa membuat perkembangan bahasa daerah Lampung tidak hanya tumbuh di kampung atau pelosok daerah lampung, tetapi juga menjadi icon di kota dan semua lini yang ada di tanah lampung. Yang pada akhirnya bahasa Lampung akan juga bisa dipelajari oleh pendatang?
Nah, jika saja program menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa pergaulan di Lampung berjalan baik, bukankah semua ulun Lampung tidak akan merasa kesulitan ketika bertemu sesama ulun Lampung yang tinggal di kota lain, setidaknya jalinan persaudaraan semakin erat sesama ulun Lampung. Dengan begitu para seniman Lampung pun tidak akan merasa ragu ketika menulis puisi, cerpen, novel, esai, dll dengan menggunakan bahasa Lampung, sebab yang baca pun bisa memahami langsung apa yang dibaca. Tak perlu penerjemah.
Dengan begitu harapan Udo perlahan akan bisa tercapai, tak hanya mimpi belaka. Selain itu, seniman Lampung akan lebih bergairah memajukan sastra daerah karena tak perlu memikirkan apakah ada yang membaca dan memahami isi tulisan mereka. Toh semua ulun Lampung sudah bisa berbahasa Lampung, lisan maupun tulisan.
Tita Tjindarbumi, Penulis asal Kalianda, Lampung yang kini tinggal di Surabaya
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Maret 2013

Namun, ikam yang mengaku ulun Lampung, sepertinya hanya sebagai sebutan saja. Kenapa begitu? Ikam yang katanya ulun Lampung, keturunan asli marga Tjindarbumi asal Kalianda, nyata senyatanya, sejak kecil tidak pernah diakrabi dengan hal-hal yang berbau Lampung. Bagaimana mau berkomunikasi dalam bahasa daerah Lampung? Di sekolah sejak TK tidak pernah ada pelajaran bahasa daerah dan di rumah tak ada yang menggunakan bahasa Lampung dalam percakapan sehari-hari.
Ketika membaca calon buku Udo Z Karzi yang berjudul Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan yang sedang proses cetak, ikam merasa semakin mempertanyakan diri sendiri, sungguhkah ikam memang ulun Lampung?
Di dalam bukunya itu. Udo menyarankan sekaligus menyentil seniman asal Lampung agar memulai usaha pengembangan sastra (bahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Yang menurut Udo, sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti sastra daerah lainnya, yakni sastra Jawa, sastra Sunda dan sastra Bali. (hlm. 64).
Sentilan Udo memang jitu, ikam pribadi langsung seperti kena strum. Ikam banyak menulis puisi, cerpen dan tulisan lainnya, tetapi tak terpikir untuk menulis sastra dengan mengangkat budaya, adat atau landmark yang berbau tanah Lampung. Keterbatasan bahasalah yang membuat ikam seperti menyerah sebelum maju.
Bahasa Daerah Tak Ada di Sekolah
Siapa yang harus dipersalahkan ketika banyak ulun Lampung yang tidak bisa berbicara dalam bahasa Lampung. Bahkan ikam baru saja berpikir, ketika ikam masih sekolah di tingkat TK, ikam tidak pernah mendengar teman ikam berkomunikasi dalam bahasa Lampung ketika di sekolah. Kalau pun ada beberapa yang menggunakannya, kam tidak paham artinya.
Lalu mengapa tidak ada pelajaran bahasa daerah Lampung di mata pelajaran sekolah tingkat TK. SD, SMP, SMA? Begitu sulitkah dipelajari? Atau memang tenaga pengajar yang tidak ada?
Bisa jadi kesempatan kami ulun Lampung yang menghabiskan masa kecil di tanah Lampung, tidak cukup dibekali pengetahuan tentang Sejarah tanah Lampung dan diajari bahasa Lampung baik lisan maupun tulisan. Sehingga ketika ikam bersama teman-teman menyanyikan lagu Tepui-tepui atau lagu Pang Lipangdang ikam hanya ikut-ikutan menyanyi tanpa memahami apa arti lirik lagu-lagu tersebut. Kenapa? Ikam tidak bisa berbahasa Lampung sekaligus tidak paham artinya.
Situasi seperti ini, akhirnya dibawa sampai dewasa. Apa yang dapat dilakukan oleh ikam yang penulis asal tanah Sang Bumi Ruwa Jurai untuk ikut memajukan sastra berbahasa Lampung? Ini sungguh membuat ikam merasa bersalah dan seperti anak daerah yang lupa pada daerahnya.
Itu sebabnya ikam menulis soal ini, setidaknya bisa dijadikan gambaran bahwa menjadi anak daerah harus bisa bahasa daerah dan memahami artinya. Sekarang saja ikam bisa berbahasa Jawa dan memahami meski sebatas bahasa pergaulan saja.
Bahasa Gaul
Kebayang nggak jika dalam pergaulan sehari-hari ulun Lampung semua menggunakan bahasa Lampung seperti halnya di daerah Surabaya yang menggunakan bahasa Jawa bergaya arek Suroboyo? Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa.
Membudayakan menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa dalam pergaulan, sangat membantu melejitkan perkembangan bahasa daerah termasuk “melampungkan” tanah kelahiran kita. Upaya semacam itu sudah dilakukan oleh Jokowi ketika menjadi walikota Solo dengan mewajibkan menggunakan busana daerah di hari tertentu, lalu dilanjutkan kebiasaan baik itu saat beliau menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Kenapa Lampung tidak mencontoh Jokowi jika bisa membuat perkembangan bahasa daerah Lampung tidak hanya tumbuh di kampung atau pelosok daerah lampung, tetapi juga menjadi icon di kota dan semua lini yang ada di tanah lampung. Yang pada akhirnya bahasa Lampung akan juga bisa dipelajari oleh pendatang?
Nah, jika saja program menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa pergaulan di Lampung berjalan baik, bukankah semua ulun Lampung tidak akan merasa kesulitan ketika bertemu sesama ulun Lampung yang tinggal di kota lain, setidaknya jalinan persaudaraan semakin erat sesama ulun Lampung. Dengan begitu para seniman Lampung pun tidak akan merasa ragu ketika menulis puisi, cerpen, novel, esai, dll dengan menggunakan bahasa Lampung, sebab yang baca pun bisa memahami langsung apa yang dibaca. Tak perlu penerjemah.
Dengan begitu harapan Udo perlahan akan bisa tercapai, tak hanya mimpi belaka. Selain itu, seniman Lampung akan lebih bergairah memajukan sastra daerah karena tak perlu memikirkan apakah ada yang membaca dan memahami isi tulisan mereka. Toh semua ulun Lampung sudah bisa berbahasa Lampung, lisan maupun tulisan.
Tita Tjindarbumi, Penulis asal Kalianda, Lampung yang kini tinggal di Surabaya
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Maret 2013
Published on April 03, 2013 06:49
•
Tags:
tita-tjindarbumi
January 30, 2013
Menjadi Lampung dengan Pluralitas:

Oleh Udo Z. Karzi
SUNGGUH saya tidak ingin mengulang cerita tentang aksi kekerasan di Lampung Selatan, Lampung Timur, di Lampung Tengah, dan sebelumnya di Mesuji. Apa yang terjadi, bagaimana peristiwanya, apa akibatnya, dst. sudah diberitakan, diulas, dikomentari, dan dianalisis di banyak media cetak dan elektronik.
Tragedi, Cinta, dan Sajak
Setiap kali kekerasan dan kerusuhan terjadi, apalagi sampai merenggut nyawa, saya selalu merasa terenyuh. Saya menulis sebuah sajak:
ajari kami bahasa cinta
bukan kekuasaan membelenggu kemerdekaan
bukan piil yang diumbar sekadar mempertaruhkan harga diri
sebab, barang ini sudah lama tergadaikan
sejak berjuta-juta abad silam ketika air tanah,
hutan, kopi, lada menjadi milik orang-orang mabuk harta
bukan pisau badik haus darah yang menangis
saat dikembalikan ke sarungnya
bukan pedang berlumur dosa yang siap menebas
leher siapa pun yang menyimpan kesumat
kemarin seseorang mengancamku: kupagas niku kanah
hari ini aku mendengar ia mati tertikam belati
seorang pendendam tak dikenal sudah lama mengincarnya
: besok entah siapa lagi yang akan mati sia-sia
ajari kami bahasa cinta
bukan perang antardesa yang meledak di mana-mana
ketika keadilan, hukum, adat tak lagi jadi patokan
ketika kemanusiaan berganti dengan kebinatangan
bukan moncong pistol-senapan panas bau mesiu yang baru saja menyambar
leher para demontran yang menuntut undang-undang drakula
: dua pasang mahasiswa mati dibunuh tentara harus darah!
(Udo Z. Karzi, Ajari Kami Bahasa Cinta, 2000)
Aduh, betapa sebenarnya “betapa pedih peri” mendengar darah tumpah dan jiwa kembali melayang:
: setelah hari ini tak boleh ada lagi
sepotong nyawa yang melayang sia-sia
sebab, sepotong jiwa lebih berharga
ketimbang sejuta kepongahan penguasa
(Udo Z. Karzi, Negeri Ini Teater Tentara, Zal, 1999)
Ya, kepongahanlah yang membuat seseorang, sekelompok orang, atau mungkin juga pemimpin (penguasa?) merasa perlu meniadakan orang lain. Sikap-sikap merasa benar sendiri, paling hebat, paling mulialah yang melahirkan sikap menapikan orang. Atau, sebaliknya merasa paling menderita sedunia, merasa paling malang, merasa disalahkan melulu, merasa dipinggirkan, dst. yang pada titik tertentu menjadi sikap sombong — semacam biar miskin asal sombong! — yang menumbuhkan “perlawanan” dan anarkistik.
Streotip Ulun Lampung
Saya (masih saja) larut dengan emosi. Rasanya sulit sekali menuliskan masalah ini. Tapi, baiklah saya coba saja menuliskan kembali percakapan, wawancara, diskusi, dan penggalan-penggalan tulisan yang terserak mengenai kekerasan, kerusuhan, bentrok antarwarga yang — diakui atau tidak — jelas ada kaitannya dengan lampung, kelampungan, dan kebudayaan.
Pasca kerusuhan Sidomulyo, Lampung Selatan, Januari 2012 dan perubuhan Patung Zainal Abidin Pagar Alam, Mei 2012 sebelum terjadoni tragedi Agom-Balinuraga, Oktober 2012; saya diwawancarai seorang mahasiswa yang tengah menyelesaikan tesisnya. Pertanyaannya, bagaimanakah eksistensi masyarakat adat di Lampung? Bagaimanakah peranan tokoh adat (penyimbang) dalam kehidupan? Bagaimanakah hubungan penyimbang itu dengan masyarakat adat Lampungnya, dengan masyarakat adat etnik lain, dan dengan pemimpin formal pemerintahan?
Inilah. Letak masalahnya kenapa akhir-akhir ini sering terjadi kekisuhan. Orang di Lampung boleh jadi sudah satu abad (empat generasi) atau malah lebih tinggal di Lampung, tetapi sesungguhnya kita tidak mengenal atau tidak mau tahu tentang Lampung dan kelampungan. Apa Lampung? Bagaimana Lampung? Seperti apa bahasa Lampung? Bagaimana kebiasaan orang Lampung, bagaimana gaya bicara orang Lampung, bagaimana cara atau kebiasaan makan orang Lampung, bagaimana kesenian Lampung, bagaimana musik Lampung, bagaimana kepemimpinan Lampung, bagaimana hubungan kekerabatan ulun Lampung, bagaimana konsep kekuasaan menurut ulun Lampung, dst.
Sedikit — apa boleh buat memang — orang yang disebut beretnik Lampung di Lampung saat ini memang menjadi minoritas (lihat data statistik BPS!). Sudah sedikit, kebanyakan juga tidak mau mengaku ulun (beretnis) Lampung, malu berbahasa Lampung, minder kalau diketahui berdarah Lampung. Apa pasal?
Jauh sebelum kekerasan, kerusuhan, dan konflik antarwarga, sebenarnya tidak banyak yang tahu tentang ulun Lampung.Lampung itu kayak apa sih? Bahasa Lampung itu bahasa apa? Tidak banyak yang paham. Oleh ulun Lampung sendiri sekalipun. Apalagi yang bukan ulun Lampung.”
Ada kesan ulun Lampung termarginalkan (saya yakin tanpa ada unsur kesengajaan atau setting tertentu) dalam arti orang — termasuk yang tinggal di Lampung sendiri — merasa tidak perlu mengenal Lampung atau kelampungan: bahasa, kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, kesenian, kebudayaan, dst. Maka, benarlah Lampung itu cuma nama provinsi saja, tetapi makna dan apa pun yang tersirat dari nama Lampung tak perlulah dibicarakan panjang lebar.
Kondisi ini ditambah pula dengan kaum elite Lampung sendiri sering menyalahartikan, bahkan menyalahgunakan nilai-nilai kelampungan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan. Adat itu cuma dijadikan alat politik saja! Akibatnya, kalau pemimpin daerah bicara kearifan lokal, tentang keluhuran budaya, tentang tingginya peradaban orang Lampung… weh, sapa muneh sai percaya?
Maka, semakin sesatlah pandangan orang terhadap ulun Lampung. Yang lahir adalah stereotip-stereotip betapa buruk kelakuan ulun Lampung. Bahwa orang Lampung itu pemalas, suka pesta, pemarah, pembegal, dan seterusnya.
Stereotip itu adalah pictures in our head, kata Walter Lippman. Stereotip adalah persepsi yang dianut yang dilekatkan pada kelompok-kelompok atau orang-orang dengan gegabah yang mengabaikan keunikan-keunikan individual. Kerusuhan yang marak boleh jadi karena berkembangnya stereotip dari kelompok masing-masing.
Etnis Lampung
Lampung sebagai sebuah nama sesungguhnya bermakna ambigu. Namun setidaknya, ada empat nama yang bisa dilekatkan pada Lampung itu: suku, bahasa, budaya, dan provinsi.
Kalau kita bicara Provinsi Lampung, akan lebih mudah merumuskannya. Namun, kalau hendak membahas suku, bahasa, dan budaya Lampung, maka sungguh sulit. Buku Adat Istiadat Lampung yang disusun Prof Hilman Hadikusuma dkk (1983), akan terasa sangat minim untuk memahami Lampung secara kultural. Sampai saat ini, relatif belum ada yang berhasil memberikan gambaran yang menyeluruh, sistematis, dan meyakinkan tentang kebudayaan Lampung. Kebudayaan Lampung miskin telaah, riset, dan studi. Yang paling banyak lebih berupa klaim atau sebaliknya, malah upaya untuk meniadakan atau setidaknya mengerdilkan kebudayaan Lampung.
Bahasa-budaya Lampung sesungguhnya tidak sama dan sebangun dengan Provinsi Lampung. Secara geografis, yang disebutkan sebagai wilayah penutur bahasa Lampung dan pendukung kebudayaan Lampung itu ada di empat provinsi, yaitu Lampung sendiri, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Banten.
Ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang membuat kategorisasi masyarakat adat Lampung. Kategorisasi atau pembagian sebenarnya penting untuk studi (ilmiah) dan bukannya malah membuat orang Lampung terpecah-pecah.
Secara garis besar masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin.
Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
Keempat, Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.
Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari: Pertama, Peminggir Paksi Pak (Buay Pernong, Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way).
Kedua, Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan.
Kalau merujuk pada marga-marga di Lampung setidaknya ada 84 marga. Marga-marga di Lampung mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing (Hilman Hadikusuma, 1985).
Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.
Susunan marga-marga teritorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.
Melihat ke-84 marga itu, kita bisa melihat adat dan bahasa yang bisa adat dan bahasa yang digunakan masing-masing marga. Adat yang dipakai bisa kita lihat bisa Lampung Pepadun, Lampung Saibatin/Peminggir, dan adat dari Sumatera Selatan (al. Semende, Ogan, dan Pegagan). Demikian pula, dari segi bahasa ada bahasa Lampung dialek api (A), bahasa Lampung dialek nyo (O), dan bahasa daerah dari Sumatera Selatan.
Satu hal, pembagian ulun Lampung secara adat dan bahasa tidak sebangun. Dalam arti tidak berarti bahasa Lampung beradat Pepadun otomatis berbahasa dialek nyo (O) dan Lampung beradat Saibatin pasti berabahas Lampung berdialek api (A). Sebab, dalam kenyataannya, Lampung Way Kanan, Sunkai-Bunga Mayang, dan Pubian yang beradat pepadun bertutur dalam bahasa Lampung dialak api (A).
Etnis Lain
Usia transmigrasi di Lampung boleh dibilang tertua di Indonesia karena sudah ada sejak 1905 ketika masih bernama kolonisasi di zaman pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Kemudian berlanjut di zaman Indonesia merdeka, baik transmigrasi yang diprogramkan pemerintah maupun transmigrasi spontan atas kemauan sendiri.
Bagian ini mungkin tidak perlu dibahas panjang lebar karena keterbatasan ruang dan waktu. Saat ini Lampung berpenduduk hampir 8 juta jiwa.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, komposisi penduduk Lampung berdasarkan etnis adalah Jawa 61,88%, Lampung 11,92%, Sunda, termasuk Banten 11,27%, Semendo dan Palembang 3,55%, suku lain Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, dll 11,35%.
Memang yang menjadi pertanyaan adalah kenapa etnis lain katakan Jawa yang sudah masuk Lampung tahun 1905 kok tidak terakomodasi dalam marga-marga teritorial-genealogis. Sehingga, tidak terjadi pembauran di antara etnik-etnik yang ada. Setiap etnik yang ada di Lampung tetap hidup dengan tatanan budaya etnis masing-masing. Maka, yang ada kemudian enklap-enklap etnik semacam wilayah pemukiman etnis-etnis tertentu.
Karena komunikasi antarbudaya sering mengalami kemampetan, yang timbul kemudian dalam stereotip negatif dari setiap etnik yang pada giliran melahirkan kesalahpahaman, tindakan diskriminatif, konflik, kekerasan, amuk massa, hingga kerusuhan.
Nah, di sinilah peran kepemimpinan lokal. Selain kepala daerah, camat, lurah/kepala desa, ada juga pemimpin informal yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Sebab, penyingkiran peran tokoh adat misalnya, bisa berakibat fatal.
Kepemimpinan Kepenyimbangan
Dalam bagian ini saya ingin meminjam pemikiran Firdaus Augustian (2002). Menurut Firdaus, dalam konsepsi adat Lampung kita mengenal di dalamnya wujud dari pengertian kepemimpinan. Kepemimpinan yang kita kenal dalam kepenyimbangan, yang dapat diklasifikasikan sebagai: penyimbang marga, penyimbang kebuaian, penyimbang tiuh, penyimbang suku.
Mungkin klasifikasi seperti ini dapat diperdebatkan. Namun, substansi dari pengertian penyimbang (pada tingkat apa pun) merupakan refleksi kepemimpinan keluarga. Seorang penyimbang adalah anak tertua yang mewarisi kepemimpinan dari orang tuanya yang juga adalah seorang penyimbang.
Proses inisiasi seseorang menjadi penyimbang melalui declare dalam bentuk cakak pepadun diumumkan di patchah haji melelui proses dan prosedur adat tertentu yang mendapat pengesahan dari para penyimbang marga dalam persekutuan adat masing-masing.
Hakikat seorang penyimbang adalah refleksi kepemimpinan keluarga, yang terdiri dari adik-adiknya, anak-anaknya, paman-pamannya, anak kemenakannya, termasuk adik perempuan ayahnya, tidak termasuk saudara laki-laki dari ibunya. Penyimbang dalam adat Lampung hanyalah sebatas pemimpin keluarga, yang anggota keluarganya tertentu. Dia adalah seorang penyimbang marga identik dengan garis keturunan lurus yang tidak terputus sebagai anak tertua laki-laki dari keturunan keluarganya. Sebagai pemimpin keluarga, merupakan panutan moral dan sama sekali tidak berkaitan dengan cakupan wilayah kerja/daerah kekuasaan.
Posisi seorang penyimbang marga terhadap penyimbang marga yang lain adalah setara, bukan merupakan subordinat. Dan, penyimbang marga masing-masing dalam persekutuan adat yang bersangkutan dapat saling mewakili untuk masalah-masalah adat sebagai tamu/sumbai sebuah perhelatan adat yang dilakukan persekutuan adat lainnya.
Dengan demikian, seorang penyimbang adat, katakanlah penyimbang marga sama sekali tidak mempunyai kewenangan struktural yang mewakili sebuah wilayah kekuasaan/kekuasaan adat. Kewenangan seorang penyimbang marga hanyalah sebatas kewenangan moral bertindak untuk dan atas nama keluarganya. Sementara di sebuah kampung, tidak mungkin hanya ada seorang penyimbang marga. Pada sebuah kampung jumlah penyimbang marga atau yang dapat menjadi penyimbang marga dapat saja lebih dari 10 orang dan masing-masing berkedudukan setara. Dengan demikian, untuk mempresentasikan di antara penyimbang marga-penyimbang marga tersebut pada salah satu penyimbang marga merupakan sebuah usaha yang sama sekali tidak punya makna.
Lampung Ragom
Masih mengeksplorasi pemikiran Firdaus Augustian, dalam konstruksi berpikir adat budaya Lampung, kita akan dihadapkan pada persekutuan-persekutuan adat tertentu. Penyimbang-penyimbang marga berhimpun dalam sebuah persekutuan adat tertentu. Penyimbang-penyimbang marga dalam sebuah persekutuan adat berkedudukan setara, tidak bersifat struktural. Begitu pun kedudukan persekutuan-persekutuan adat dalam adat Pepadun, berkedudukan setara dan saling menghormati.
Begitu banyak persekutuan adat yang ada dan dikenal, antara lain: Abung Siwo Mego, Pubian Buku Jadi, Mego Pak Tulangbawang, Pubian Menyarakat, masyarakat Abung Kota Bandar Lampung, Way Kanan Lima Kebuaian, Sungkai Bunga Mayang, Pesisir Telukbetung, Pesisir Krui, Belalau, dan seterusnya.
Kedudukan satu persekutuan adat dengan persekutuan adat lain bersifat setara dan tidak ada yang menjadi subordinasi. Penyimbang-penyimbang marga yang ada hanya berperan pada masing-masing persekutuan adat. Sebagai penyimbang marga dalam persekutuan adat Pubian Buku Jadi, sama sekali tidak punya hak apa-apa apabila dia menghadiri acara adat pada persekutuan adat di luar Pubian Buku Jadi. Dia hanyalah berkedudukan sebagai temui/sumbai/tamu dan fungsinya hanyalah penggembira, peramai acara adat. Begitu pun sebaliknya penyimbang marga dari persekutuan adat mana pun, memasuki persekutuan adat yang berbeda sama sekali tidak mempunyai hak, kecuali haknya sebagai tamu agung.
Irfan Anshory (2011) menegaskan, tidak ada dan memang tidak boleh ada yang mengklaim penyimbang seluruh Lampung. Masyarakat adat Lampung itu semacam federasi, yang masing-masing penyimbang dalam kelompoknya. Seorang penyimbang di kelompoknya tidak bisa menjadi penyimbang di kelompok yang lain.
Dengan demikian, terlihat posisi penyimbang marga, berkedudukan di tempat kedudukannya masing-masing, tidak dapat dipresentasikan secara signifikan. Setiap persekutuan adat mempunyai legitimasi yang berbeda satu dengan yang lain. Dalam konteks adat permusyawaratan adat yang terjadi adalah musyawarahnya para penyimbang/penyimbang marga dalam satu persekutuan adat.
Tidak pernah terjadi penyimbang/penyimbang marga duduk satu meja dalam musyawarah adat di antara persekutuan-persekutuan adat. Dengan demikian kita, para penyimbang, masyarakat adat tidak pernah mengenal konsep “sai” dalam adat Lampung. Yang ada dan sekaligus merupakan kekuatan adalah konsep “beragam” (ragom).
Epilog
Saya ingin mengutip Radhar Panca Dahana (2011) yang mengatakan, “Realitas obyektif akan menyadarkan kita, kekuatan itu sebenarnya tidak berada di pusat kekuasaan, apalagi di segelintir elite. Kekuatan itu justru ada di daerah-daerah. Maka, jadilah Jawa, Jawa yang sesungguhnya; Bugis, Bugis yang sesungguhnya; Batak, Batak yang sesungguhnya; dan seterusnya. Maka, kemudian, kita bersama akan menjadi Indonesia yang sesungguhnya.”
Jadi, sesungguhnya Lampung yang plural, multikultur, multietnik, dst adalah sebuah kekuatan yang luar biasa. Tentu, jika semua pihak, terutama pemimpinnya bisa mengelaborasi perbedaan dan konflik menjadi jalinan mosaik yang indah dalam sebuah harmoni kehidupan. Begitu.
Referensi
Firdaus Augustian. “Kepenyimbangan, Mitos Lampung Sai, dan Konflik Sosial di Lampung”. Makalah disampaikan sebagai bahan Diskusi Awal Tahun Harian Lampung Post, Bandar Lampung, 16 Januari 2002.
Hilman Hadikusuma dkk. Adat Istiadat Lampung. Bandar Lampung: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Lampung, 1985/1986.
Irfan Anshory. “Mengenal Lampung”. http://irfananshory.blogspot.com, 1 April 2007.
Irfan Anshory. “Sang Bumi Ruwa Jurai.” Lampung Post, Jumat, 2 Mei 2009.
Rizani Puspawidjaya. Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran. Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2006.
Udo Z. Karzi. “Feodalisme Modern di Lampung”. Lampung Post, Rabu, 28 Juli 2010
Udo Z. Karzi. “Kebudayaan Lampung, Api Muneh?”. Lampung Post, Rabu, 29 Mei 2005.
Udo Z. Karzi. “Mitos Ulun Lampung.” Lampung Post, Minggu, 15 April 2007.
Udo Z. Karzi. “Peta Bahasa-Budaya Lampung”. Lampung Post, Minggu, 16 dan 23 Maret 2008).
Udo Z. Karzi. “Politisasi Masyarakat Adat Lampung”. Media Indonesia, Sabtu, 23 Juni 2007.
* Sebuah sumbang pikir untuk buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung. Editor: Budisantoso Budiman dan Oyos Saroso HN. Bandar Lampung: AJI Bandar Lampung dan Indepth Publishing, Januari 2013. Hlm. 22-33. Merajut Jurnalisme Damai di Lampung
Published on January 30, 2013 03:31
•
Tags:
jurnalisme-damai, udo-z-karzi
November 24, 2012
Mamak Kenut, Refleksi Ketulusan dari Lokal
Oleh Selvi Diana Meilinda
“lagi api guwaimu?”
“lagi ngebaca Mamak Kenut”
“api? Mamak Inut? Na, geguwai nunggu langkut da ano.”[i]
Dari warahan Among Ajjong (Nenek Kakek), sejak kecil saya sangat familiar dengan sosok imajiner bernama Mamak Inut yang mungkin sampai sekarang masih saja cepupput nunggu langkut (duduk melamun menunggu kerak nasi), sebuah istilah untuk hal yang tidak produktif.
Lalu zaman ini, saya mengenal Mamak Kenut dari warahan Udo Z. Karzi. Entahlah, Mamak Inut dan Mamak Kenut ini mungkin bersaudara kandung, atau anak kembar yang sengaja dipisahkan karena tabiatnya sangat berbeda. Mamak Inut merupakan personifikasi untuk orang yang kurang produktif, mblelo, tidak banyak pikiran. Sementara Mamak Kenut adalah pemuda yang resah dengan kondisi lokal dan nasional terutama semasa 2002-2004.
Saya mencoba mengingat sedang apa saya ketika mak dawah mak debingi Mamak Kenut dan teman-temannya hendak segegolan, suka kredok, menjadi politisi banjir, terjangkit virus A2DC, kalut membuat kartu kuning, sampai Temon do Aklamasi. Ternyata kala itu, saya tengah dipersimpangan memilih jurusan IPA atau IPS serta belajar di bawah tekanan karena aturan lulus SMA harus dengan nilai minimal 4,01 untuk satu mata pelajaran wajib. Tentu tidak ada waktu saya memahami hiruk-pikuk politik, selain karena termasuk kelinci percobaan kebijakan caibucai, saya juga sanak nambi[ii]. Maka dari itu, membaca Mamak Kenut ini membuat saya tidak kehilangan puzzle situasi kenegaraan dan kemasyarakatan kala itu. Jadi, izinkan saya mengategorikan 101 patahan tulisan ini sebagai buku sejarah sosial politik yang renyah tanpa harus mengernyitkan dahi tatkala membacanya di perpustakaan.
Seratus satu tulisan yang tersaji memiliki kekhasan sendiri, renyah mengkerangkeng wacana lokal yang tidak lokalistik. Spontanitas Mamak Kenut dan teman-teman sebagai kaum muda dalam dominasi ruang budaya mengejawantahkan sikap permisif serta berusaha melepaskan diri dari ikatan-ikatan primordial yang dienkulturasikan dan disosialisasikan dalam berbagai wacana sosial politik. Hal ini seperti hendak membawa pesan bahwa pemuda (khususnya di Lampung) tidak lagi sebagai konsumen terhadap nilai-nilai yang dirumuskan oleh generasi tua dalam suatu setting sosial, namun mulai ikut mengendalikan nilai dan menegosiasikan praktik-praktik sosial politik, sebagaimana yang telah diramalkan oleh Griffin dalam representation of youth, 19 tahun silam.
Zaman ini, ketika masih tercecap warisan demokrasi zaman Victoria abad ke-18 dimana novelis, jurnalis, dan politisi berjamaah dalam persekongkolan kemunafikan politik melalui karya-karya linguistik, Mamak Kenut hadir membawa ilustrasi ketulusan, anti kemunafikan. Rasanya kita tak perlu jauh-jauh mencari ketulusan politik dalam bentuk tulisan sampai menghadiri sebuah pertemuan politik untuk menyimak pidato tentang seorang bocah yang menggadaikan kehidupan pribadinya hanya untuk menulis buku melawan Hitler, dalam periode sebelum meletusnya permusuhan antara Inggris dan Jerman seperti setting novel politik Coming Up for Air dari Goerge Orwell. Ketulusan politik itu sudah ada pada pena jurnalis lokal.
Adalah Udo[iii] Z Karzi nama pena dari Zulkarnain Zubairi, generasi muda Lampung penerima Hadiah Sastra Rancage (2008) yang menghidupkan celotehan Mamak Kenut dengan istilah-istilah Lampung secara kental, sehingga saya yang tengah di tanah Jawa Dwipa seketika itu juga lompat sampai ke Bumi Ruwa Jurai, melarung rindu.
Ya, interaksi tokoh yang dimunculkan terasa sungguh nyata. Tokokh mak nyusuk[iv], begitulah orang Lampung, gemar sekali bicara politik dengan polosnya. Bahkan jika ada 5 topik pembicaraan sambil menyesap kopi, 3 di antaranya pasti berceloteh politik, 2 lainnya membahas harga padi, lada, cengkih selebihnya gegerohan kicik angon.[v]
Selain itu, jarang bagi saya menemukan pengamat, jurnalis, kritikus, kolumnis, yang mendedah wacana publik menggunakan istilah Lampung yang segar, mungkin jika banyak yang mengikuti jejak Udo, maka tidak akan ada lagi generasi muda Lampung yang malu berbahasa Lampung bahkan bahasa Lampung akan terbebas dari kategori bahasa yang hampir punah. Jangan sampai bahasa Lampung tekacai, Bahasa Indonesia mak kepegung.[vi] Saya bukan bermaksud hendak membangkitkan etnosentrisme atau sukuisme tapi mungkin benar kiranya Kluckhohn dan Strodtbeck dalam variation in value orientation yang menyatakan bahwa variasi budaya mencerminkan bagaimana masyarakat merespon permasalahan atau isu umum sepanjang waktu, maka saya mengapresiasi diksi dan gaya Udo dalam menulis.
Sampai akhirnya, saya harus mengakui bahwa membaca buku ini membuat batin bergetar karena lidah-lidah api Mamak Kenut dan teman-temannya membakar langit-langit emosi. Selamat untuk para senior, Udo Z Karzi selaku penulis beserta banyak tangan editor dibalik layar seperti Bang Juwendra Asdiansyah, Bang Adian Saputra, Kak Ridwan Hardiansyah, Bang Oki Hajiansyah, Kak Tri Purna Jaya dan teman-teman di Indepth serta Lampung Post. Kiranya, 226 halaman dalam buku berjudul Mamak Kenut Orang Lampung Punya Celoteh ini adalah salah satu wujud karya terbaik para Munsyi Lampung. Proficiat!
Yogyakarta, 25 November 2012
Tabik,
[i] “kamu sedang apa?”
“sedang membaca Mamak Kenut”
“apa? Mamak Inut? Oh, seraya nunggu kerak dong itu”
[ii] Anak kemarin sore
[iii] Udo: sapaan untuk anak laki-laki tertua dari orang tua yang juga anak tertua dalam keluarga Lampung khususnya dialek api.
[iv] Sama persis.
[v] Spontanitas melucu dengan fantasi yang berlebihan agar terasa sangat lucu.
[vi] Tak ada satu bahasa pun yang dikuasai

“lagi ngebaca Mamak Kenut”
“api? Mamak Inut? Na, geguwai nunggu langkut da ano.”[i]
Dari warahan Among Ajjong (Nenek Kakek), sejak kecil saya sangat familiar dengan sosok imajiner bernama Mamak Inut yang mungkin sampai sekarang masih saja cepupput nunggu langkut (duduk melamun menunggu kerak nasi), sebuah istilah untuk hal yang tidak produktif.
Lalu zaman ini, saya mengenal Mamak Kenut dari warahan Udo Z. Karzi. Entahlah, Mamak Inut dan Mamak Kenut ini mungkin bersaudara kandung, atau anak kembar yang sengaja dipisahkan karena tabiatnya sangat berbeda. Mamak Inut merupakan personifikasi untuk orang yang kurang produktif, mblelo, tidak banyak pikiran. Sementara Mamak Kenut adalah pemuda yang resah dengan kondisi lokal dan nasional terutama semasa 2002-2004.
Saya mencoba mengingat sedang apa saya ketika mak dawah mak debingi Mamak Kenut dan teman-temannya hendak segegolan, suka kredok, menjadi politisi banjir, terjangkit virus A2DC, kalut membuat kartu kuning, sampai Temon do Aklamasi. Ternyata kala itu, saya tengah dipersimpangan memilih jurusan IPA atau IPS serta belajar di bawah tekanan karena aturan lulus SMA harus dengan nilai minimal 4,01 untuk satu mata pelajaran wajib. Tentu tidak ada waktu saya memahami hiruk-pikuk politik, selain karena termasuk kelinci percobaan kebijakan caibucai, saya juga sanak nambi[ii]. Maka dari itu, membaca Mamak Kenut ini membuat saya tidak kehilangan puzzle situasi kenegaraan dan kemasyarakatan kala itu. Jadi, izinkan saya mengategorikan 101 patahan tulisan ini sebagai buku sejarah sosial politik yang renyah tanpa harus mengernyitkan dahi tatkala membacanya di perpustakaan.
Seratus satu tulisan yang tersaji memiliki kekhasan sendiri, renyah mengkerangkeng wacana lokal yang tidak lokalistik. Spontanitas Mamak Kenut dan teman-teman sebagai kaum muda dalam dominasi ruang budaya mengejawantahkan sikap permisif serta berusaha melepaskan diri dari ikatan-ikatan primordial yang dienkulturasikan dan disosialisasikan dalam berbagai wacana sosial politik. Hal ini seperti hendak membawa pesan bahwa pemuda (khususnya di Lampung) tidak lagi sebagai konsumen terhadap nilai-nilai yang dirumuskan oleh generasi tua dalam suatu setting sosial, namun mulai ikut mengendalikan nilai dan menegosiasikan praktik-praktik sosial politik, sebagaimana yang telah diramalkan oleh Griffin dalam representation of youth, 19 tahun silam.
Zaman ini, ketika masih tercecap warisan demokrasi zaman Victoria abad ke-18 dimana novelis, jurnalis, dan politisi berjamaah dalam persekongkolan kemunafikan politik melalui karya-karya linguistik, Mamak Kenut hadir membawa ilustrasi ketulusan, anti kemunafikan. Rasanya kita tak perlu jauh-jauh mencari ketulusan politik dalam bentuk tulisan sampai menghadiri sebuah pertemuan politik untuk menyimak pidato tentang seorang bocah yang menggadaikan kehidupan pribadinya hanya untuk menulis buku melawan Hitler, dalam periode sebelum meletusnya permusuhan antara Inggris dan Jerman seperti setting novel politik Coming Up for Air dari Goerge Orwell. Ketulusan politik itu sudah ada pada pena jurnalis lokal.
Adalah Udo[iii] Z Karzi nama pena dari Zulkarnain Zubairi, generasi muda Lampung penerima Hadiah Sastra Rancage (2008) yang menghidupkan celotehan Mamak Kenut dengan istilah-istilah Lampung secara kental, sehingga saya yang tengah di tanah Jawa Dwipa seketika itu juga lompat sampai ke Bumi Ruwa Jurai, melarung rindu.
Ya, interaksi tokoh yang dimunculkan terasa sungguh nyata. Tokokh mak nyusuk[iv], begitulah orang Lampung, gemar sekali bicara politik dengan polosnya. Bahkan jika ada 5 topik pembicaraan sambil menyesap kopi, 3 di antaranya pasti berceloteh politik, 2 lainnya membahas harga padi, lada, cengkih selebihnya gegerohan kicik angon.[v]
Selain itu, jarang bagi saya menemukan pengamat, jurnalis, kritikus, kolumnis, yang mendedah wacana publik menggunakan istilah Lampung yang segar, mungkin jika banyak yang mengikuti jejak Udo, maka tidak akan ada lagi generasi muda Lampung yang malu berbahasa Lampung bahkan bahasa Lampung akan terbebas dari kategori bahasa yang hampir punah. Jangan sampai bahasa Lampung tekacai, Bahasa Indonesia mak kepegung.[vi] Saya bukan bermaksud hendak membangkitkan etnosentrisme atau sukuisme tapi mungkin benar kiranya Kluckhohn dan Strodtbeck dalam variation in value orientation yang menyatakan bahwa variasi budaya mencerminkan bagaimana masyarakat merespon permasalahan atau isu umum sepanjang waktu, maka saya mengapresiasi diksi dan gaya Udo dalam menulis.
Sampai akhirnya, saya harus mengakui bahwa membaca buku ini membuat batin bergetar karena lidah-lidah api Mamak Kenut dan teman-temannya membakar langit-langit emosi. Selamat untuk para senior, Udo Z Karzi selaku penulis beserta banyak tangan editor dibalik layar seperti Bang Juwendra Asdiansyah, Bang Adian Saputra, Kak Ridwan Hardiansyah, Bang Oki Hajiansyah, Kak Tri Purna Jaya dan teman-teman di Indepth serta Lampung Post. Kiranya, 226 halaman dalam buku berjudul Mamak Kenut Orang Lampung Punya Celoteh ini adalah salah satu wujud karya terbaik para Munsyi Lampung. Proficiat!
Yogyakarta, 25 November 2012
Tabik,
[i] “kamu sedang apa?”
“sedang membaca Mamak Kenut”
“apa? Mamak Inut? Oh, seraya nunggu kerak dong itu”
[ii] Anak kemarin sore
[iii] Udo: sapaan untuk anak laki-laki tertua dari orang tua yang juga anak tertua dalam keluarga Lampung khususnya dialek api.
[iv] Sama persis.
[v] Spontanitas melucu dengan fantasi yang berlebihan agar terasa sangat lucu.
[vi] Tak ada satu bahasa pun yang dikuasai
Published on November 24, 2012 23:50
November 7, 2012
Tradisi Lisan Orang Lampung

Penulis: Udo Z. Karzi
Penerbit: Indepth Publishing, Bandar Lampung
Cetakan: I, Juni 2012
Tebal: xxii + 226 hlm
ISBN: 978-602-18479-0-9
"Tolong ambilkan dan berikan padaku semangat yang tercampak di semak-semak," Mat Puhit bersajak.
Mamak Kenut tertawa berderai. "Mat, Mat... puasa ya puasa. Jangan lantas jadi ngawur begitu."
ITU adalah paragraf awal dari judul Semangat halaman 66 dalam buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh, yang merupakan kumpulan tulisan Udo Z Karzi di koran Lampung Post dalam kolom Nuansa.
Membaca buku setebal 226 halaman dengan 101 tulisan ini, kita seperti tengah menikmati sebuah sketsa bagaimana Mamak Kenut dkk memandang, membicarakan, mengguyoni, menertawakan, menyindir, atau mendiskusikan “sok serius” pelbagai masalah mulai dari politik, budaya, sosial, keagamaan, ekonomi, olahraga, hingga kehidupan sehari-hari. Sebagian besar, tema yang ditulis Udo adalah merupakan cerminan apa yang terjadi (aktual), baik di daerahnya (Lampung) maupun di negeri ini (Indonesia). Maklum, sebagai wartawan di Lampung Post, Udo tentu bersentuhan langsung dengan pelbagai berita, sehingga sebagian besar itulah yang menjadi tema tulisannya.
Gaya tulisan Udo yang ringan, santai, namun sebenarnya cukup sublim, menjadikan setiap tulisannya cukup enak dimamah. Latar belakang Udo sebagai sastrawan– penyair, cerpenis, penerima Hadiah Sastra Rancage 2008, barangkali memudahkan ia “memainkan” kata-kata sehingga ia tidak merasa terbebani harus menulis sebuah kolom yang berat, penuh kontemplasi, atau dengan sederet referensi dari buku-buku dan kutipan-kutipan dari mulut orang Barat.
Seperti judul bukunya; Orang Lampung Punya Celoteh, setiap tulisan kolom ini seperti merefleksikan bagaimana orang Lampung memandang atau menanggapi suatu isu. Karenanya, dalam setiap tulisan Udo, tak hanya ada tokoh (utama) Mamak Kenut --dalam bahasa Lampung, Mamak sebutan untuk paman atau om namun belum kawin-- yang digambarkan sebagai sosok muda yang kadang konyol namun juga kerap membawa solusi, juga ada beberapa temannya seperti Mak Puhit, Minan Tunja, dan Pithagiras. Juga sesekali muncul Udien (wartawan), Radin Mak Iwoh (birokrat), dan Paman Takur (politisi pengusaha kotor).
Udo yang pernah menjadi wartawan di Borneo News, Pangkalan Bun (2006-2009) ini dalam setiap tulisan kolomnya tidak pernah berupaya menggurui. Malah, terkadang lebih mirip merupakan potongan-potongan cerita – karena sebagian besar banyak ditulis dalam bentuk dialog antar tokoh di dalamnya. Kerap juga nakal, terkadang bijak, dan penuh imajinasi—salah satunya seperti pada tulisan dengan judul Kereta Api, Nyut..., Nyut..., Nyut... Dalam tulisan ini, tokoh Mamak Kenut dkk mengimajinasikan kereta api bisa terbang bagai pesawat dan bisa berlayar seperti kapal hingga menjelajahi dunia.
Sementara dalam kata pengantarnya, Djadjat Sudradjat (Wakil Pemimpin Umum Lampung Post) menyebutkan, tulisan Udo terasa kental dengan tradisi lisan (orality tradition) Lampung. Bahkan, katanya, hal itu bisa langsung dikenali dengan pemakaian nama lokal, juga seringnya menggunakan ungkapan dan istilah Lampung. Jadi, memang jelas ada upaya Udo untuk mengangkat tradisi lisan Lampung yang pernah hidup dan berkembang dalam kehidupan masa kini.
Endorsment Binhad Nurrohmat, penyair, di awal buku ini juga menarik disimak; Mamak Kenut adalah jelmaan King of Rumpi yang gampang tergoda nafsu untuk mencereweti urusan politik, olahraga, dangdut, hingga korupsi lewat gaya slebor kampung Negarabatin. Sesungguhnya Mamak Kenut “dipintarkan” oleh kenyataan yang bodoh dan “dicerdaskan” oleh kondisi yang bebal. Mamak Kenut adalah miniatur manusia bangsa ini yang dihujani kenyataan abnormal, sehingga nalar kian berdaya, tetapi tak becus membereskan apa pun selain menggerutu.
Akhirnya, lewat buku ini masyarakat di luar Lampung sedikit banyak bisa membaca bagaimana tradisi lisan orang Lampung—yang telah diupayakan Udo lewat Mamak Kenut. “Mamak Kenut ini semacam Paman Gembul,” canda Udo kepadaku ketika kami bertemu di acara Temu Redaktur Kebudayaan Se-Indonesia beberapa waktu lalu, sembari berjanji memberi buku ini—yang kemudian dikirimkannya lewat pos ke Banjarbaru. (sandi firly)
Sumber: Tepi Langit, Media Kalimantan, Minggu, 4 November 2012
Published on November 07, 2012 04:38
•
Tags:
mamak-kenut, sandi-firly, udo-z-karzi
October 7, 2012
Kiat Heboh Bikin Biografi Gaya Ramadhan K.H.
Oleh Udo Z. Karzi
Data Buku
The Secret of Biography: Rahasia Menulis Biografi ala Ramadhan K.H.
Zulfikar Fuad
Akademia, Jakarta, 2012
xvi + 155 hlm.
"Ini tentang pengalamanku dengannya, dengan seseorang yang mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang sebenarnya kita cita-citakan bersama, yakni kemerdekaan bagi bangsa kita. Di balik itu, ia pun adalah seorang yang sangat penuh romantika. Aku mengikutinya, melayaninya, mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya, meluluhkan keinginan-keinginannya.
Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang apa yang jadi cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya."
(Inggit Ganarsih, Kuantar ke Gerbang hlm. 2)
SIAPA yang tak tergetar membaca novel biografi Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno yang diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Sinar Harapan, 1981, kemudian diterbitkan kembali oleh Kiblat Buku Utama, 2000 dan Bentang Pustaka, 2011. Bahkan, Mizan Production memproduksinya dalam bentuk film dengan pemeran Maudy Koesnaidi (Inggit Garnasih) dan Anjasmara (Bung Karno).
Kemampuan Ramadhan K.H. dalam melakukan rekonstruksi riwayat hidup Inggit Garnasih, istri pertama Presiden Indonesia pertama memang luar biasa. Tak perlu heran karena sebagai penyair, Ramadhan K.H. sangat memikat dalam Priangan Si Djelita (1956). Novel-novelnya Royan Revolusi (1958), Kemelut Hidup (1976), Keluarga Permana (1978), dan Ladang Perminus (1990) mempunyai warna tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia.
Ayahanda pemusik Gilang Ramadhan ini menjadi pioner dalam menulis roman biografi. Maka, lahirlah roman biografi lain dari penanya semacam Gelombang Hidupku: Dwi Dja dari Dardanella. Ada juga biografi tokoh-tokoh besar antara lain Ali Sadikin, Mochtar Lubis, D.I. Pandjaitan, Soemitro, Gobel, A.E. Kawilarang, Hoegeng, dan Adnan Buyung Nasution.
Yang paling heboh adalah ketika Ramadhan bersama G. Dwipayana meluncurkan Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Buku ini banyak mendapat perhatian publik dengan segala kontroversinya.
Bagi pembaca buku, nama sastrawan kelahiran Bandung, 16 Maret 1927 memiliki tempat tersendiri. Kita jelas merasa kehilangan besar ketika peraih Hadiah Sastra ASEAN" (Southeast Asia Write Award) 1993 ini meninggal pada 16 Maret 2006. Tapi, peninggalannya berupa tidak kurang dari 30 buku puisi, novel, dan biografi menjadi warisan tak ternilai bagi bangsa ini.
Fakta menunjukkan kepergian seorang seniman, sastrawan, atau tokoh memang tak kan tergantikan. Adakah yang bisa menjadi duplikat bagi Bung Karno, Bung Hatta, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, dan seterusnya? Rasanya sulit! Begitu juga dengan Ramadhan K.H., perjuangan hidupnya, dedikasinya, dan karya-karyanya, tidak mungkin bisa ditiru.
Namun, beruntunglah kita karena ada Zulfikar Fuad yang secara tekun berupaya "berguru" kepada almarhum. Hasilnya, lahirlah buku The Secret of Biography: Rahasia Menulis Biografi ala Ramadhan K.H. ini. Seperti ditulis dalam persembahannya, buku ini merupakan intisari pelajaran menulis biografi yang disampaikan kepada Zulfikar Fuad sepanjang tahun 2002-2003 (hlm. 5).
Buku ini terbagi empat bagian. Bagian I menghadirkan kembali Ramadhan K.H., mengenang Sang Maestro Biografi Indonesia. Bagian II membahas beberapa hal yang melatarbelakangi mengapa menulis biografi, syarat penulis biografi, dan tahapan penulisan dan penerbitan biografi. Bagian III membahas bagaimana Ramadhan K.H. menulis biografi, strategi dan praktik menulis biografi. Dan, Bagian IV membahas tentang beberapa catatan tokoh dan peristiwa.
Sebagai penulis biografi -- beberapa biografi yang sudah ditulisnya di antaranya biografi B.J. Habibie, Derom Bangun, Mochtar Sani Badrie, dan beberapa lagi, termasuk yang sedang dalam proses terbit biografi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono -- Zulfikar Fuad relatif berhasil melakukan transfer ilmu dan pengalaman Sang Maestro dalam menulis biografi melalui buku ini.
Menulis tentang manusia, pemikiran, dan lakon hidupnya memang selalu menarik. Apatah lagi Ramadhan K.H. Karena itu, buku ini sangat enak dibaca dan sangat kaya dengan tips, motivasi, dan seluk-beluk penulisan biografi. Pada bagian akhir, Zulfikar memperlihatkan contoh-contoh penulisan biografi tokoh dalam berbagai model.
Meskipun tidak sepenuhnya kemahiran Ramadhan K.H. dalam menggeluti penulisan biografi dapat disajikan dalam buku ini seperti diakui Zulfikar sendiri (hlm v-vi), kiranya buku ini sangat bisa memberikan inspirasi dan sekaligus menyadarkan kita bahwa segala ucapan, sikap, dan tindakan dari siapa pun bisa menjadi sejarah. Syaratnya, ditulis. Salah satu bentuknya yang cukup menantang adalah biografi atau autobiografi kalau ditulis sendiri.
Mari menulis biografi.
Udo Z. Karzi, pembaca buku
dimuat Lampung Post, Minggu, 7 Oktober 2012 hlm. 21

The Secret of Biography: Rahasia Menulis Biografi ala Ramadhan K.H.
Zulfikar Fuad
Akademia, Jakarta, 2012
xvi + 155 hlm.
"Ini tentang pengalamanku dengannya, dengan seseorang yang mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang sebenarnya kita cita-citakan bersama, yakni kemerdekaan bagi bangsa kita. Di balik itu, ia pun adalah seorang yang sangat penuh romantika. Aku mengikutinya, melayaninya, mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya, meluluhkan keinginan-keinginannya.
Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang apa yang jadi cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya."
(Inggit Ganarsih, Kuantar ke Gerbang hlm. 2)
SIAPA yang tak tergetar membaca novel biografi Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno yang diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Sinar Harapan, 1981, kemudian diterbitkan kembali oleh Kiblat Buku Utama, 2000 dan Bentang Pustaka, 2011. Bahkan, Mizan Production memproduksinya dalam bentuk film dengan pemeran Maudy Koesnaidi (Inggit Garnasih) dan Anjasmara (Bung Karno).
Kemampuan Ramadhan K.H. dalam melakukan rekonstruksi riwayat hidup Inggit Garnasih, istri pertama Presiden Indonesia pertama memang luar biasa. Tak perlu heran karena sebagai penyair, Ramadhan K.H. sangat memikat dalam Priangan Si Djelita (1956). Novel-novelnya Royan Revolusi (1958), Kemelut Hidup (1976), Keluarga Permana (1978), dan Ladang Perminus (1990) mempunyai warna tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia.
Ayahanda pemusik Gilang Ramadhan ini menjadi pioner dalam menulis roman biografi. Maka, lahirlah roman biografi lain dari penanya semacam Gelombang Hidupku: Dwi Dja dari Dardanella. Ada juga biografi tokoh-tokoh besar antara lain Ali Sadikin, Mochtar Lubis, D.I. Pandjaitan, Soemitro, Gobel, A.E. Kawilarang, Hoegeng, dan Adnan Buyung Nasution.
Yang paling heboh adalah ketika Ramadhan bersama G. Dwipayana meluncurkan Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Buku ini banyak mendapat perhatian publik dengan segala kontroversinya.
Bagi pembaca buku, nama sastrawan kelahiran Bandung, 16 Maret 1927 memiliki tempat tersendiri. Kita jelas merasa kehilangan besar ketika peraih Hadiah Sastra ASEAN" (Southeast Asia Write Award) 1993 ini meninggal pada 16 Maret 2006. Tapi, peninggalannya berupa tidak kurang dari 30 buku puisi, novel, dan biografi menjadi warisan tak ternilai bagi bangsa ini.
Fakta menunjukkan kepergian seorang seniman, sastrawan, atau tokoh memang tak kan tergantikan. Adakah yang bisa menjadi duplikat bagi Bung Karno, Bung Hatta, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, dan seterusnya? Rasanya sulit! Begitu juga dengan Ramadhan K.H., perjuangan hidupnya, dedikasinya, dan karya-karyanya, tidak mungkin bisa ditiru.
Namun, beruntunglah kita karena ada Zulfikar Fuad yang secara tekun berupaya "berguru" kepada almarhum. Hasilnya, lahirlah buku The Secret of Biography: Rahasia Menulis Biografi ala Ramadhan K.H. ini. Seperti ditulis dalam persembahannya, buku ini merupakan intisari pelajaran menulis biografi yang disampaikan kepada Zulfikar Fuad sepanjang tahun 2002-2003 (hlm. 5).
Buku ini terbagi empat bagian. Bagian I menghadirkan kembali Ramadhan K.H., mengenang Sang Maestro Biografi Indonesia. Bagian II membahas beberapa hal yang melatarbelakangi mengapa menulis biografi, syarat penulis biografi, dan tahapan penulisan dan penerbitan biografi. Bagian III membahas bagaimana Ramadhan K.H. menulis biografi, strategi dan praktik menulis biografi. Dan, Bagian IV membahas tentang beberapa catatan tokoh dan peristiwa.
Sebagai penulis biografi -- beberapa biografi yang sudah ditulisnya di antaranya biografi B.J. Habibie, Derom Bangun, Mochtar Sani Badrie, dan beberapa lagi, termasuk yang sedang dalam proses terbit biografi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono -- Zulfikar Fuad relatif berhasil melakukan transfer ilmu dan pengalaman Sang Maestro dalam menulis biografi melalui buku ini.
Menulis tentang manusia, pemikiran, dan lakon hidupnya memang selalu menarik. Apatah lagi Ramadhan K.H. Karena itu, buku ini sangat enak dibaca dan sangat kaya dengan tips, motivasi, dan seluk-beluk penulisan biografi. Pada bagian akhir, Zulfikar memperlihatkan contoh-contoh penulisan biografi tokoh dalam berbagai model.
Meskipun tidak sepenuhnya kemahiran Ramadhan K.H. dalam menggeluti penulisan biografi dapat disajikan dalam buku ini seperti diakui Zulfikar sendiri (hlm v-vi), kiranya buku ini sangat bisa memberikan inspirasi dan sekaligus menyadarkan kita bahwa segala ucapan, sikap, dan tindakan dari siapa pun bisa menjadi sejarah. Syaratnya, ditulis. Salah satu bentuknya yang cukup menantang adalah biografi atau autobiografi kalau ditulis sendiri.
Mari menulis biografi.
Udo Z. Karzi, pembaca buku
dimuat Lampung Post, Minggu, 7 Oktober 2012 hlm. 21
Published on October 07, 2012 04:13
•
Tags:
the-secret-biography, zulfikar-fuad
September 30, 2012
Rancage Mamak Kenut
Oleh Tandi Skober
HADIAH sastra rancage made in Pasundan entah kenapa tak pernah mletek di tanah Cerbon Dermayu. Padahal ada banyak pemahat kata berkacamata sastra yang layak diayak untuk menjadi penerima rancage. Sebut saja Ahmad Subhanuddin Alwy, Nurdin M. Noer, Supali Kasim, Sumbadi Sastra Alam, Masduki Sarpin, dan Ipon Bae.
Yang memedihkan, ketika rancage lebih melirik sastra Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi (2007) karya Udo Z. Karzi untuk dianugerahi Hadiah Sastra Rancage 2008. Jadi wajar ketika ada sastrawan Cerbon yang enggan disebut namanya berurai airmata, nelangsa, "Aja mujur ngalor sedurung tinemu mleteke rancage!" (Jangan dulu dikubur menghadap kiblat sebelum mendapat hadiah sastra rancage).
Adakah ini pertanda duka sastra ketika Cerbon selalu terposisikan sebagai anak haram budaya? Bisa jadi, memang begitu itu. Tapi menjadi lain ketika saya membaca Mamak Kenut (2012) karya sang peraih hadiah sastra Rancage itu. Adalah kumpul teks naratif khas wartawan merangkap sastrawan bernama Udo Z. Karzi, meski tak berbentuk tapi layak diasketis sebagai celotehan nakal ketika Jakarta berambut ikal keriting dan maaf... tidak berakal.
"Hmm, luar biasa, luar dalam," ucap saya untuk diri saya sendiri.
Kenapa? Udo mampu memetakan pulau-pulau keterasingan ketika kekuasaan (baca Jakarta) bertiwikrama menjadi puncak menara gading yang angkuh, gelo, dan lugu. Mamak Kenut adalah kritik akar rumput, ludah yang muncrat-muncrat sekaligus sejenis kesunyian yang meletihkan. Harap maklum, "Power tends to corrupt," tulis sejarawan Lord Acton, "But absolute power corrupts absolutely." Bahkan dramaturgi wayang Jawa --Penglepasan Kultural Ki Semar Kudapawana yang kerap hadir di ujung cerita-- diyakini bagian dari kekuasaan itu sendiri. Lir ambune njabah kelir lakon (Sejatining kritik akar rumput itu meski berbau tak sedap tapi mampu membuka ada apa di balik siapa). Lagi pula kritik terhadap penguasa (muhasabatul hukam) adalah ibadah amar makruf nahi munkar yang hukumnya fardu kifayah. "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil." (QS. Almaaidah: 8)
Itulah sudah! Sesudah itu, Kovenan Internasional tentang hak kritik akar rumputpun dialirkan. "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah."
Bisa jadi, di ruang ini celotehan Udo Z. Karzi dalam Mamak Kenut saya selipkan di saku nalar saya. Terus terang, dalam ruang Indonesia yang tak benderang, nalar nakal Mamak Kenut membuat saya terlempar pada ruang sepi yang mencerahkan. Ada banyak judul yang memosisikan kritik akar rumput Mamak Kenut patut diperdengarkan di teras istana Negara.
Sebut saja 'orang bersih', 'politisi olahraga', 'kapasitas', 'biasa saja', 'musyawarah-mufakat', dan entah apalagi. Peraih hadiah sastra Rancage 2008, Udo Z. Karzi, secara tersembunyi alirkan proses cendekia di belantara kemajemukan hasrat masyarakat sekaligus --mengutip Edward T. Hall, Beyond Culture, 1977-- sejenis pergulatan kultur tersembunyi yang sukar ditangkap oleh orang lain.
Tak pelak, kritik akar rumput Mamak Kenut berupaya mengadopsi kritik sosial sebagai proses logika sekaligus memasukan jaringan indera cium dalam pusaran revitalisasi estetika kearifan lokal ke ruang yang lebih cair. Ia tahu betul bahwa Kritik Akar rumput kerap memiliki potensi dalam hal penjelajahan bentuk, ruang dan waktu. Imanuel Kant menyebutnya sebagai das ding an sich (Wiegend dan Schinnagel 1964:272). Das ding an sich ini sejenis keniscayaan yang mustahil dapat ditangkap manusia. Seperti angin yang tak terbaca sekaligus laksana rsuara tanpa rupar yang mustahil bisa membaca. Tak pelak, Kritik akar rumput Mamak Kenut tidak sekadar absurditas fenomental juga siluet holistik di lembaran kain hitam putih. Artinya, kritik yang berbasis pada nalar cendekiawan akan lebih memiliki pilar pemberdayaan, abstraksi kontesia pemikiran serta validitas yang tinggi.
Ada banyak trik menarik yang diungkap Mamak Kenut sebagai jaringan indera dialektika yang mengubahsuai kontesia abstraksi menjadi sosok yang seolah-olah masuk akal. Abstraksi realitas ini memosisikan kritik akar rumput sebagai mikroskop steril yang futuris.
Artinya, seorang Udo melihat masa depan sebagai realitas kekinian. Adalah realitas yang memiliki potensi yang mentransformasi abstraksi sebagai suatu pembenaran. Memang kritik kerap overlap hingga ke batas tak terduga. "The future is in some sense some as real as the present too," ungkap Wendell Bell dan James A, The Sociology of The Future (1973: 8), "The future in some respect is as real as the past, since we know both in much the sameway-trought our conseption of them."
Mewacanai agregat di atas, maka kritik sosial menitikberatkan pada apa yang oleh kritikus dianggap benar yang juga dibenarkan pendapat kolektif. Artinya, saat Udo mengkritik penguasa maka dibutuhkan pembenaran bersifat kolektif. Seorang Joseph S. roucek, (Social Control 1956:3) menyebutnya, "Social control is a collecitive term for those processes, planed or unplaned, by which individuals are taught, persuaded or completed to conform to the usages and live-values of groups." Jadi, tak aneh apabila kritik sosial saat pertama diluncurkan memiliki potensi konflik untuk saling bersebrangan. Kritik yang bermakna perubahan akan berhadapan dengan keajegan kondisional. Kritik yang menuntut adanya ideal conduct dan high standars of performance diadopsi penguasa sebagai perilaku mabelelo yang nganeh-nganehi.
***
Aneh atau tidak, kritik akar rumput Mamak Kenut tercipta dari ruang pengap Indonesia. Terlebih lagi ketika republik tempat bersemayamnya para predator korup ini hampir pada setiap hari mematut jati diri menjadi sosok cleptocracy yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh para pencuri dan birokrasi dengan tingkat korupsi luar biasa. Tak ayal lagi, kritik akar rumput pun pun melintas-lintas. Udo melihat ini dan ini pernah disitir Goenawan Mohamad dalam pahatan teks yang memukau, "Kekuasaan, pada tingkat tertentu, memang sejenis kesepian. Yang menarik, ialah pada saat penguasa menyadari hal itu, ia ternyata tidak begitu gampang untuk membebaskan diri dari kungkungannya."
Apa artinya? Cuma kesunyian kekuasaan yang akan mengakhiri kecurangan-kecurangan tersembunyi itu. Cuma Tangan Tuhan yang tersembunyilah yang akan mengakhiri kepemimpinan politik yang bertahan amat lama yang seolah-olah, mengutip Budiana Kusumohamidjojo (1986:3), tidak mengenal tahun terakhir.
Emang sih, kritik akar rumput Mamak Kenut bukan hal yang anyar dalam percaturan pikir Indonesiana. Sebut saja Zaim Saidi, Emha Ainun Nadjib, Farid Gaban, Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, dan Tandi Skober. Mereka adalah realitas yang kerap tersembunyi di bilik-bilik sunyi kekuasaan. Ini sejenis partikel nurudin (cahaya Tuhan) yang kerap muncul setiap kali kekuasaan mentuhankan nafsu.
Malangnya, banyak penguasa yang enggan mengasketis partikel nurudin itu menjadi cermin jujur yang seteril. Di titik inilah pada akhirnya kritik akar rumput Mamak Kenut bisa jadi tak lebih dari lintasan angin yang memasuki banyak ruang sonder permisi. Atau tidak lebih dari secangkir kopi yang terhidang diambang fajar, di teras rumah ketika kemarau kian retak.
Tandi Skober, budayawan, penulis, sastrawan
Sumber: Galamedia, Jumat, 28 september 2012

Yang memedihkan, ketika rancage lebih melirik sastra Lampung, Mak Dawah Mak Dibingi (2007) karya Udo Z. Karzi untuk dianugerahi Hadiah Sastra Rancage 2008. Jadi wajar ketika ada sastrawan Cerbon yang enggan disebut namanya berurai airmata, nelangsa, "Aja mujur ngalor sedurung tinemu mleteke rancage!" (Jangan dulu dikubur menghadap kiblat sebelum mendapat hadiah sastra rancage).
Adakah ini pertanda duka sastra ketika Cerbon selalu terposisikan sebagai anak haram budaya? Bisa jadi, memang begitu itu. Tapi menjadi lain ketika saya membaca Mamak Kenut (2012) karya sang peraih hadiah sastra Rancage itu. Adalah kumpul teks naratif khas wartawan merangkap sastrawan bernama Udo Z. Karzi, meski tak berbentuk tapi layak diasketis sebagai celotehan nakal ketika Jakarta berambut ikal keriting dan maaf... tidak berakal.
"Hmm, luar biasa, luar dalam," ucap saya untuk diri saya sendiri.
Kenapa? Udo mampu memetakan pulau-pulau keterasingan ketika kekuasaan (baca Jakarta) bertiwikrama menjadi puncak menara gading yang angkuh, gelo, dan lugu. Mamak Kenut adalah kritik akar rumput, ludah yang muncrat-muncrat sekaligus sejenis kesunyian yang meletihkan. Harap maklum, "Power tends to corrupt," tulis sejarawan Lord Acton, "But absolute power corrupts absolutely." Bahkan dramaturgi wayang Jawa --Penglepasan Kultural Ki Semar Kudapawana yang kerap hadir di ujung cerita-- diyakini bagian dari kekuasaan itu sendiri. Lir ambune njabah kelir lakon (Sejatining kritik akar rumput itu meski berbau tak sedap tapi mampu membuka ada apa di balik siapa). Lagi pula kritik terhadap penguasa (muhasabatul hukam) adalah ibadah amar makruf nahi munkar yang hukumnya fardu kifayah. "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil." (QS. Almaaidah: 8)
Itulah sudah! Sesudah itu, Kovenan Internasional tentang hak kritik akar rumputpun dialirkan. "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah."
Bisa jadi, di ruang ini celotehan Udo Z. Karzi dalam Mamak Kenut saya selipkan di saku nalar saya. Terus terang, dalam ruang Indonesia yang tak benderang, nalar nakal Mamak Kenut membuat saya terlempar pada ruang sepi yang mencerahkan. Ada banyak judul yang memosisikan kritik akar rumput Mamak Kenut patut diperdengarkan di teras istana Negara.
Sebut saja 'orang bersih', 'politisi olahraga', 'kapasitas', 'biasa saja', 'musyawarah-mufakat', dan entah apalagi. Peraih hadiah sastra Rancage 2008, Udo Z. Karzi, secara tersembunyi alirkan proses cendekia di belantara kemajemukan hasrat masyarakat sekaligus --mengutip Edward T. Hall, Beyond Culture, 1977-- sejenis pergulatan kultur tersembunyi yang sukar ditangkap oleh orang lain.
Tak pelak, kritik akar rumput Mamak Kenut berupaya mengadopsi kritik sosial sebagai proses logika sekaligus memasukan jaringan indera cium dalam pusaran revitalisasi estetika kearifan lokal ke ruang yang lebih cair. Ia tahu betul bahwa Kritik Akar rumput kerap memiliki potensi dalam hal penjelajahan bentuk, ruang dan waktu. Imanuel Kant menyebutnya sebagai das ding an sich (Wiegend dan Schinnagel 1964:272). Das ding an sich ini sejenis keniscayaan yang mustahil dapat ditangkap manusia. Seperti angin yang tak terbaca sekaligus laksana rsuara tanpa rupar yang mustahil bisa membaca. Tak pelak, Kritik akar rumput Mamak Kenut tidak sekadar absurditas fenomental juga siluet holistik di lembaran kain hitam putih. Artinya, kritik yang berbasis pada nalar cendekiawan akan lebih memiliki pilar pemberdayaan, abstraksi kontesia pemikiran serta validitas yang tinggi.
Ada banyak trik menarik yang diungkap Mamak Kenut sebagai jaringan indera dialektika yang mengubahsuai kontesia abstraksi menjadi sosok yang seolah-olah masuk akal. Abstraksi realitas ini memosisikan kritik akar rumput sebagai mikroskop steril yang futuris.
Artinya, seorang Udo melihat masa depan sebagai realitas kekinian. Adalah realitas yang memiliki potensi yang mentransformasi abstraksi sebagai suatu pembenaran. Memang kritik kerap overlap hingga ke batas tak terduga. "The future is in some sense some as real as the present too," ungkap Wendell Bell dan James A, The Sociology of The Future (1973: 8), "The future in some respect is as real as the past, since we know both in much the sameway-trought our conseption of them."
Mewacanai agregat di atas, maka kritik sosial menitikberatkan pada apa yang oleh kritikus dianggap benar yang juga dibenarkan pendapat kolektif. Artinya, saat Udo mengkritik penguasa maka dibutuhkan pembenaran bersifat kolektif. Seorang Joseph S. roucek, (Social Control 1956:3) menyebutnya, "Social control is a collecitive term for those processes, planed or unplaned, by which individuals are taught, persuaded or completed to conform to the usages and live-values of groups." Jadi, tak aneh apabila kritik sosial saat pertama diluncurkan memiliki potensi konflik untuk saling bersebrangan. Kritik yang bermakna perubahan akan berhadapan dengan keajegan kondisional. Kritik yang menuntut adanya ideal conduct dan high standars of performance diadopsi penguasa sebagai perilaku mabelelo yang nganeh-nganehi.
***
Aneh atau tidak, kritik akar rumput Mamak Kenut tercipta dari ruang pengap Indonesia. Terlebih lagi ketika republik tempat bersemayamnya para predator korup ini hampir pada setiap hari mematut jati diri menjadi sosok cleptocracy yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh para pencuri dan birokrasi dengan tingkat korupsi luar biasa. Tak ayal lagi, kritik akar rumput pun pun melintas-lintas. Udo melihat ini dan ini pernah disitir Goenawan Mohamad dalam pahatan teks yang memukau, "Kekuasaan, pada tingkat tertentu, memang sejenis kesepian. Yang menarik, ialah pada saat penguasa menyadari hal itu, ia ternyata tidak begitu gampang untuk membebaskan diri dari kungkungannya."
Apa artinya? Cuma kesunyian kekuasaan yang akan mengakhiri kecurangan-kecurangan tersembunyi itu. Cuma Tangan Tuhan yang tersembunyilah yang akan mengakhiri kepemimpinan politik yang bertahan amat lama yang seolah-olah, mengutip Budiana Kusumohamidjojo (1986:3), tidak mengenal tahun terakhir.
Emang sih, kritik akar rumput Mamak Kenut bukan hal yang anyar dalam percaturan pikir Indonesiana. Sebut saja Zaim Saidi, Emha Ainun Nadjib, Farid Gaban, Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, dan Tandi Skober. Mereka adalah realitas yang kerap tersembunyi di bilik-bilik sunyi kekuasaan. Ini sejenis partikel nurudin (cahaya Tuhan) yang kerap muncul setiap kali kekuasaan mentuhankan nafsu.
Malangnya, banyak penguasa yang enggan mengasketis partikel nurudin itu menjadi cermin jujur yang seteril. Di titik inilah pada akhirnya kritik akar rumput Mamak Kenut bisa jadi tak lebih dari lintasan angin yang memasuki banyak ruang sonder permisi. Atau tidak lebih dari secangkir kopi yang terhidang diambang fajar, di teras rumah ketika kemarau kian retak.
Tandi Skober, budayawan, penulis, sastrawan
Sumber: Galamedia, Jumat, 28 september 2012
Published on September 30, 2012 04:57
•
Tags:
mamak-kenut, tandi-skober, udo-z-karzi
September 29, 2012
Kritik Akar Rumput Mamak Kenut
Oleh Tandi Skober
KRITIK Akar Rumput itu bernama Mamak Kenut. Sebuah kumpul teks naratif khas wartawan merangkap sastrawan bernama Udo Z Karzi, meski tak berbentuk tapi layak diasketis sebagai celotehan nakal ketika Jakarta berambut ikal keriting dan maaf tidak berakal. Soalnya, kekuasaan (baca Jakarta) pada puncak menara gading, konon sejenis kesunyian yang meletihkan.
“Power tends to corrupt," tulis sejarawan Lord Acton, "But absolute power corrupts absolutely." Bahkan dramaturgi wayang Jawa—Penglepasan Kultural Ki Semar Kudapawana yang kerap hadir di ujung cerita—diyakini bagian dari kekuasaan itu sendiri. “Lir ambune njabah kelir lakon” yang bermakna sejatining Kritik Akar Rumput itu meski berbau tak sedap tapi mampu membuka ada apa di balik siapa.
Lagi pula kritik terhadap penguasa (muhasabatul hukam) adalah ibadah amar ma’ruf nahi munkar yang hukumnya fardhu kifayah. “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil ” (QS. Al-Maaidah[5]: 8)
Itulah sudah! Sesudah itu, Kovenan Internasional tentang Hak Kritik Akar Rumput pun dialirkan "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah."
Bisa jadi, di ruang ini celotehan Udo Z.Karzi dalam Mamak Kenut saya selipkan di saku nalar saya. Terus terang, dalam ruang Indonesia yang tak benderang, nalar nakal Mamak Kenut membuat saya terlempar pada ruang sepi yang mencerahkan. Ada banyak judul yang memosisikan Kritik Akar Rumput Mamak Kenut patut diperdengarkan di teras istana Negara. Sebut saja ‘Orang Bersih’, ‘Politisi Olahraga’, ‘Kapasitas’, ‘Biasa Saja’, ‘Musyawarah-Mufakat’ dan entah apalagi. Dan, peraih hadiah Sastra Rancage 2008 Udo Z Karzi secara tersembunyi alirkan proses cendekia di belantara kemajemukan hasrat masyarakat sekaligus—mengutip Edward T. Hall," Beyond Culture", 1977— sejenis pergulatan 'kultur tersembunyi' yang sukar ditangkap oleh orang lain.
Tak pelak, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut berupaya mengadopsi kritik sosial sebagai proses logika sekaligus memasukan jaringan indera cium dalam pusaran revitalisasi estetika kearifan lokal ke ruang yang lebih cair. Ia tahu betul bahwa Kritik Akar Rumput kerap memiliki potensi dalam hal penjelajahan bentuk, ruang dan waktu. Dan Imanuel Kant menyebutnya sebagai ‘Das Ding an Sich’ (Wiegend dan Schinnagel 1964:272). "Das Ding an Sich" ini sejenis keniscayaan yang mustahil dapat ditangkap manusia. Seperti angin yang tak terbaca sekaligus laksana 'suara tanpa rupa' yang mustahil bisa membaca.
Tak pelak, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut tidak sekadar absurditas fenomental juga siluet holistik di lembaran kain hitam putih. Artinya, kritik yang berbasis pada nalar cendekiawan akan lebih memiliki pilar pemberdayaan, abstraksi kontesia pemikiran serta validitas yang tinggi.
Ada banyak trik menarik yang diungkap Mamak Kenut sebagai jaringan indera dialektika yang mengubahsuai kontesia abstraksi menjadi sosok 'yang seolah-olah masuk akal'. Abstraksi realitas ini memosisikan Kritik Akar Rumput sebagai mikroskop steril yang futuris. "Artinya," seorang Udo melihat masa depan sebagai realitas kekinian. Adalah realitas yang memiliki potensi yang mentransformasi abstraksi sebagai suatu pembenaran. Dan, memang kritik kerap overlap hingga ke batas tak terduga. "The future is in some sense some as real as the present too," ungkap Wendell Bell dan James A, "The sociology of the future" 1973: 8, "The future in some respect is as real as the past, since we know both in much the sameway-trought our conseption of them."
Mewacanai agregat di atas, maka kritik sosial menitikberatkan pada apa yang oleh kritikus dianggap benar yang juga dibenarkan pendapat kolektif. Artinya, saat Udo Z Karzi mengkritik penguasa maka dibutuhkan pembenaran bersifat kolektif. Seorang Joseph S. Roucek, (Social Control 1956:3) menyebutnya, "Social control is a collecitive term for those processes, planed or unplaned, by which individuals are taught, persuaded or completed to conform to the usages and live-values of groups." Maka tak aneh bila kritik sosial saat pertama diluncurkan memiliki potensi konflik untuk saling berseberangan. Kritik yang bermakna perubahan akan berhadapan dengan keajegan kondisional. Kritik yang menuntut adanya ideal conduct dan high standars of performance" diadopsi penguasa sebagai perilaku mabelelo yang nganeh-nganehi.
***
Aneh atau tidak, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut tercipta dari ruang pengap Indonesia. Terlebih lagi ketika republik tempat bersemayamnya para predator korup ini hampir pada setiap hari mematut jatidiri menjadi sosok "Cleptocracy" yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh para pencuri dan birokrasi dengan tingkat korupsi luar biasa. Tak ayal lagi, Kritik Akar Rumput pun pun melintas-lintas. Udo melihat ini. Dan ini pernah disitir Goenawan Mohamad dalam pahatan teks yang memukau, "Kekuasaan, pada tingkat tertentu, memang sejenis kesepian. Yang menarik, ialah pada saat penguasa menyadari hal itu, ia ternyata tidak begitu gampang untuk membebaskan diri dari kungkungannya."
Apa artinya? Cuma kesunyian kekuasaan yang akan mengakhiri kecurangan-kecurangan tersembunyi itu. Cuma Tangan Tuhan yang tersembunyilah yang akan mengakhiri kepemimpinan politik yang bertahan amat lama yang seolah-olah, mengutip Budiana Kusumohamidjojo (1986:3), tidak mengenal 'tahun terakhir'.
Emang sih, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut bukan hal yang anyar dalam percaturan pikir indonesiana. Sebut saja Zaim Saidi, Emha Ainun Nadjib, Farid Gaban, Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, dan Tandi Skober. Mereka adalah realitas yang kerap tersembunyi di bilik-bilik sunyi kekuasaan. Ini sejenis partikel "nurudin" (cahaya Tuhan) yang kerap muncul setiap kali kekuasaan mentuhankan nafsu.
Malangnya, banyak penguasa yang enggan mengasketis partikel nurudin itu menjadi cermin jujur yang seteril. Di titik inilah pada akhirnya Kritik Akar Rumput Mamak Kenut bisa jadi tak lebih dari lintasan angin yang memasuki banyak ruang sonder permisi. Atau, tidak lebih dari secangkir kopi yang terhidang diambang fajar, di teras rumah ketika kemarau kian retak.
Bandung, 21 September 2010
Tandi Skober, penasihat budaya Indonesia Police Watch
Sumber: Waspada, Minggu, 23 September 2012

“Power tends to corrupt," tulis sejarawan Lord Acton, "But absolute power corrupts absolutely." Bahkan dramaturgi wayang Jawa—Penglepasan Kultural Ki Semar Kudapawana yang kerap hadir di ujung cerita—diyakini bagian dari kekuasaan itu sendiri. “Lir ambune njabah kelir lakon” yang bermakna sejatining Kritik Akar Rumput itu meski berbau tak sedap tapi mampu membuka ada apa di balik siapa.
Lagi pula kritik terhadap penguasa (muhasabatul hukam) adalah ibadah amar ma’ruf nahi munkar yang hukumnya fardhu kifayah. “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil ” (QS. Al-Maaidah[5]: 8)
Itulah sudah! Sesudah itu, Kovenan Internasional tentang Hak Kritik Akar Rumput pun dialirkan "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah."
Bisa jadi, di ruang ini celotehan Udo Z.Karzi dalam Mamak Kenut saya selipkan di saku nalar saya. Terus terang, dalam ruang Indonesia yang tak benderang, nalar nakal Mamak Kenut membuat saya terlempar pada ruang sepi yang mencerahkan. Ada banyak judul yang memosisikan Kritik Akar Rumput Mamak Kenut patut diperdengarkan di teras istana Negara. Sebut saja ‘Orang Bersih’, ‘Politisi Olahraga’, ‘Kapasitas’, ‘Biasa Saja’, ‘Musyawarah-Mufakat’ dan entah apalagi. Dan, peraih hadiah Sastra Rancage 2008 Udo Z Karzi secara tersembunyi alirkan proses cendekia di belantara kemajemukan hasrat masyarakat sekaligus—mengutip Edward T. Hall," Beyond Culture", 1977— sejenis pergulatan 'kultur tersembunyi' yang sukar ditangkap oleh orang lain.
Tak pelak, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut berupaya mengadopsi kritik sosial sebagai proses logika sekaligus memasukan jaringan indera cium dalam pusaran revitalisasi estetika kearifan lokal ke ruang yang lebih cair. Ia tahu betul bahwa Kritik Akar Rumput kerap memiliki potensi dalam hal penjelajahan bentuk, ruang dan waktu. Dan Imanuel Kant menyebutnya sebagai ‘Das Ding an Sich’ (Wiegend dan Schinnagel 1964:272). "Das Ding an Sich" ini sejenis keniscayaan yang mustahil dapat ditangkap manusia. Seperti angin yang tak terbaca sekaligus laksana 'suara tanpa rupa' yang mustahil bisa membaca.
Tak pelak, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut tidak sekadar absurditas fenomental juga siluet holistik di lembaran kain hitam putih. Artinya, kritik yang berbasis pada nalar cendekiawan akan lebih memiliki pilar pemberdayaan, abstraksi kontesia pemikiran serta validitas yang tinggi.
Ada banyak trik menarik yang diungkap Mamak Kenut sebagai jaringan indera dialektika yang mengubahsuai kontesia abstraksi menjadi sosok 'yang seolah-olah masuk akal'. Abstraksi realitas ini memosisikan Kritik Akar Rumput sebagai mikroskop steril yang futuris. "Artinya," seorang Udo melihat masa depan sebagai realitas kekinian. Adalah realitas yang memiliki potensi yang mentransformasi abstraksi sebagai suatu pembenaran. Dan, memang kritik kerap overlap hingga ke batas tak terduga. "The future is in some sense some as real as the present too," ungkap Wendell Bell dan James A, "The sociology of the future" 1973: 8, "The future in some respect is as real as the past, since we know both in much the sameway-trought our conseption of them."
Mewacanai agregat di atas, maka kritik sosial menitikberatkan pada apa yang oleh kritikus dianggap benar yang juga dibenarkan pendapat kolektif. Artinya, saat Udo Z Karzi mengkritik penguasa maka dibutuhkan pembenaran bersifat kolektif. Seorang Joseph S. Roucek, (Social Control 1956:3) menyebutnya, "Social control is a collecitive term for those processes, planed or unplaned, by which individuals are taught, persuaded or completed to conform to the usages and live-values of groups." Maka tak aneh bila kritik sosial saat pertama diluncurkan memiliki potensi konflik untuk saling berseberangan. Kritik yang bermakna perubahan akan berhadapan dengan keajegan kondisional. Kritik yang menuntut adanya ideal conduct dan high standars of performance" diadopsi penguasa sebagai perilaku mabelelo yang nganeh-nganehi.
***
Aneh atau tidak, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut tercipta dari ruang pengap Indonesia. Terlebih lagi ketika republik tempat bersemayamnya para predator korup ini hampir pada setiap hari mematut jatidiri menjadi sosok "Cleptocracy" yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh para pencuri dan birokrasi dengan tingkat korupsi luar biasa. Tak ayal lagi, Kritik Akar Rumput pun pun melintas-lintas. Udo melihat ini. Dan ini pernah disitir Goenawan Mohamad dalam pahatan teks yang memukau, "Kekuasaan, pada tingkat tertentu, memang sejenis kesepian. Yang menarik, ialah pada saat penguasa menyadari hal itu, ia ternyata tidak begitu gampang untuk membebaskan diri dari kungkungannya."
Apa artinya? Cuma kesunyian kekuasaan yang akan mengakhiri kecurangan-kecurangan tersembunyi itu. Cuma Tangan Tuhan yang tersembunyilah yang akan mengakhiri kepemimpinan politik yang bertahan amat lama yang seolah-olah, mengutip Budiana Kusumohamidjojo (1986:3), tidak mengenal 'tahun terakhir'.
Emang sih, Kritik Akar Rumput Mamak Kenut bukan hal yang anyar dalam percaturan pikir indonesiana. Sebut saja Zaim Saidi, Emha Ainun Nadjib, Farid Gaban, Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, dan Tandi Skober. Mereka adalah realitas yang kerap tersembunyi di bilik-bilik sunyi kekuasaan. Ini sejenis partikel "nurudin" (cahaya Tuhan) yang kerap muncul setiap kali kekuasaan mentuhankan nafsu.
Malangnya, banyak penguasa yang enggan mengasketis partikel nurudin itu menjadi cermin jujur yang seteril. Di titik inilah pada akhirnya Kritik Akar Rumput Mamak Kenut bisa jadi tak lebih dari lintasan angin yang memasuki banyak ruang sonder permisi. Atau, tidak lebih dari secangkir kopi yang terhidang diambang fajar, di teras rumah ketika kemarau kian retak.
Bandung, 21 September 2010
Tandi Skober, penasihat budaya Indonesia Police Watch
Sumber: Waspada, Minggu, 23 September 2012
Published on September 29, 2012 01:04
•
Tags:
mamak-kenut, tandi-skober, udo-z-karzi