Udo Z. Karzi's Blog, page 2

May 17, 2016

Keisengan Mamak Kenut dalam Corak Kehidupan Berwajah Banyak

Oleh Hardi Hamzah

Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali by Udo Z. Karzi Data Buku
Judul: Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
Penulis: Udo Z Karzi
Penerbit: Pustaka Labrak, Maret 2016
ISBN: 978-602-96731-8-0
Tebal: iv + 231 halaman

DENGAN bahasa yang sederhana, bahkan cenderung berkelakar dan mencibir blak-blakan, mungkin sekali penulis buku ini bermaksud mengajak kita untuk “mari membicarakan yang serius dengan keisengan”. Itu barangkali sebagian yang bisa kita tangkap dari buku Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali karya Udo Z Karzi.

Membaca buku ini kita dapat mengambil berbagai varian kesimpulan seperti kejenakaan, kesederhanaan, mencuatkan yang mikro menjadi hal-hal yang spektakuler. Kendati melalui berbagai varian itu implisit kita mampu mengidentifikasi imbauan agar kita “ngeh” terhadap berbagai persoalan. Misalnya saja tentang kekuasaan dan kepemimpinan, seperti yang ada pada Para Calon Pemimpi(n) (hlm 7) dan Machiavelli (hlm 17).

Zulkarnain Zubairi, nama asli Udo Z Karzi, pengarang buku ini, yang kini sedang mengadu nasib untuk menjadi Bupati Lambar lewat jalur “nekad” (independen). Kiranya “nekad” juga menawarkan buku ini agar kita semua muhasabah dan instropeksi. Misalnya, saja tulisan Zoon Politicon (hlm 3), Udo Z Karzi seperti ingin mempersilakan pembacanya mengaca diri. Tidak sekadar sebagai individu, tetapi juga responlah terhadap lingkungan, pedulilah kepada komunitas di sekitar kita.

Demikian pula pada Oposisi sebagai Pengingat (hlm 25). Di sini Udo Z Karzi “mencibir” overlap-nya tatanan parlemen kita yang tidak mampu menentukan jati dirinya dalam lingkup sistem presidensial atau parlementer. Dari bahasan singkat ini, bisa ditangkap Udo sedang “mengajari” wakil kita di Senayan untuk bisa tahu bagaimana caranya memerintah dan diperintah.

Tidak dapat dipungkiri pula dalam buku sederhana yang cukup menghibur ini, Udo mengasah pemikiran politisi, bahkan masyarakat pada umumnya. Dalam Kritiklah Aku Kau ku Cuekin (hlm 23), Udo menulis secara lugas, bagaimana kita tidak bisa lepas dari ruang publik yang begitu banyak variabel dan implikasi sebagai akibat dari universalisme kehidupan dan tingkah laku kita yang terkadang enggan dikritik.

Dalam paparan bahasa yang menghibur, buku ini, mengajak kita untuk memahami interaksi satu dengan yang lainnya dalam konteks dan segmentasi yang berbeda dan berdiri di atas singgasana Negarabatin. Karena itu, buku yang judulnya cukup menggelitik ini dan sarat dengan joke dan hiruk pikuknya interaksi sosial, pun juga dihiasi dengan tokoh “kelampungan” seperti Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, Udien, Pinyut, dan Radin Mak Iwoh sangat laik dibaca siapa pun. Udo Z Karzi berhasil menghidupkan karakter dan lakon ini dikurun waktu yang berbeda dan struktur sosial yang berlainan.

Membaca buku ini, meski “belum tentu” kita untung, tidak pula kita rugi untuk menambah wawasan dan perspektif. Maka, bolehlah kita menyimak dan mengkaji ulasan yang nampak sederhana dari buku ini, tetapi ia terstruktur dalam corak kehidupan yang berwajah banyak. Mengapa demikian? Sebab, seperti kata penulis buku ini: Negarabatin masih seperti dahulu. Banyak masalah. Tapi, karena itu Negarabatin hidup. Soalnya hidup memang segudang masalah. Tidak ada masalah berarti tidak hidup. Asal hidup tidak jadi masalah. Tapi, jangan hidup hobi cari masalah. Masalah ya kita atasi. Maunya. Tapi, kalau tidak mampu mengatasi ya cukuplah jadi tukang kritik –bahasa aslinya sih tukang recok. (hlm. 1)

Memang, membaca Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali tidak seperti apa yang diungkap oleh Daniel Dhakidae, mantan Litbang Kompas, bahwa buku akan enak dibaca manakala untaian bersifat naratif penyajiannya pop atau dalam bahasa klise ilmiah populer; buku ini lebih banyak tersekat dalam kepopuleran yang ilmiah. Ngepop tapi ilmiah jelas tidak gampang menulis model ini. Tapi, bagi Udo agaknya apa pun soal, termasuk yang paling sepele pun, bisa dibincangkan dengan asyik dan terkadang terselip ironi yang secara tidak langsung sebenarnya mengajak pembaca ikut memikirkan atau minimal merenungkan.

Ya, kolom-kolom pendek Udo ini memang hanya menyentil-nyentil, menyenggol-nyenggol, atau mencolek kita untuk sedikit memberikan waktu barang lima menit mendengar atau ikut mengoceh mengenai hal-hal yang terasa “mengganggu” pikiran atau suasana hati kita. Udo tidak menyodorkan solusi atau jalan keluar dari masalah. Ia – melalui tokoh-tokohnya – hanya ingin merecoki (baca: mengkritik) untuk sekadar memberi tahu, menyadarkan, dan mengingatkan bahwa di balik gejala, peristiwa, ucapan, atau perilaku ada persoalan yang patut diperhatikan. Bagaimana mengatasinya, sudah bukan tugas Mamak Kenut, eh… Udo Z Karzi, melainkan sudah menjadi tanggung jawab para pihak yang bersangkutan.

Dasar tukang recok! []


Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation

dimuat di Fajar Sumatera, Rabu, 18 Mei 2016
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 17, 2016 11:27 Tags: hardi-hamzah, kolom, mamak-kenut, negarabatin

May 15, 2016

Mamak Kenut dan Abnormalitas Politik

Oleh Rahmatul Ummah


Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali by Udo Z. Karzi Data Buku:
Judul: Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali
Penulis: Udo Z. Karzi
Penerbit: Pustaka Labrak, Maret 2016
ISBN: 978-602-96731-8-0
Tebal: iv + 231 halaman

“Dalam masyarakat jejaring yang di dalamnya pengetahuan tidak lagi menjadi milik khas kaum tertentu, skema pengetahuan dan skema politik representatif terbukti tidak lagi cukup-diri. Ketidakcukupan (insufficiency) politik demokrasi representatif dalam memenuhi janji-janjinya telah menciptakan jalur demokrasi yang bergerak di luar norma kewajaran namun autentik dan mampu mempertahankan otonominya.” (Pierre Rosanvallon, Counter-Democracy, 274)

Mungkin memang diperlukan abnormalitas di tengah kekacauan dan society of distrust dalam istilah Rosanvallon, yaitu masyarakat demokratis yang tidak lagi mudah percaya pada elite politik dan kelembagaan demokrasi.

Tokoh Mamak Kenut, dalam buku Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali, tampil sebagai sosok yang abnormal, melompati kenormalan dan kelaziman, bicara suka-suka, menyela pembicaraan, kemudian berlalu pergi.

Mamak Kenut adalah pendobrak tatanan, entah itu tatanan keluarga, tatanan kota, tatanan jiwa, tatanan politik. Sosok pembangkang dan pendobrak yang selalu dibutuhkan, meski kontroversial tetapi menyehatkan bagi tatanan yang selalu punya kecenderungan memutlakkan diri.

Mamak Kenut, memang tak perlu dipahami terlalu rumit, sebagaimana ia tak pernah mau serius dan rumit membahas setiap masalah. Mamak Kenut yang nyeleneh, ngomong suka-suka, menyela, hadir dan kemudian pergi. Cukup, ketika hendak memahami Mamak Kenut, berkenalan saja dengan Udo Z. Karzi, penulis buku Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali ini, meski tak selalu memiliki tabiat dan watak yang sama persis.

Udo Z. Karzi dan Mamak Kenut, minimal memiliki keresahan, kegelisahan, dan kegalauan yang sama, meski kedua tokoh ini resah dan gelisah secara serius, tapi mereka tak mau ribet dan rumit membincangnya.

Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali sebagaimana pendahulunya Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh selalu update dengan isu-isu aktual yang ada di sekitar kita. Mulai soal politik , pendidikan, sosial-budaya, moral hingga listrik yang byarpet.

Mamak Kenut, menurut Udo Z. Karzi hanya sketsa kaum muda terdidik yang bingung hendak melakukan apa. Mamak Kenut akhirnya Cuma bisa setia untuk berteriak-teriak kalut : “Mau jadi apa kami nantinya? Mengapa orang-orang tua tidak sadar-sadar juga? Mengapa korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap subur? Mengapa jiwa feodalisme, paternalisme, antikritik, anti perubahan tak juga pergi dari kaum birokrat, legislator, dan petinggi-petinggi negeri?”

Kini, Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali, menyuarakan banyak hal. Mulai soal politik, sosial-budaya, pendidikan hingga isu-isu terkini, seperti korupsi, patung dan kota berhala serta listrik yang tak kunjung jelas kapan berhenti melakukan pemadaman,

Semua cerita yang disusun dengan tema acak itu, adalah celoteh keresahan. Seperti misalnya saat membincang Demokrasi Tanpa Demos (hal. 147), kawan-kawan Mamak Kenut dengan masygul menyimpulkan bahwa agaknya demokrasi telah menggeser ruang publik ke ruang domestik. Demokrasi tanpa publik, demokrasi tanpa demos. Konsolidasi politik dalam pemilu menempatkan tokoh-tokoh primordial sebagai identitas pertama dan utama.

Hal tersebut, menjadikan pelitik yang tadinya baek menjadi bejat, yang tadinya santun menjadi kurang ngajar, yang tadinya murah senyum menjadi suka marah-marah, yang tadinya suka traktir mejadi tambah pelit… tik … tik… (hal. 176).

Akhirnya, politik terkesan menanggalkan moral. Padahal seharusnya politik bergerak untuk membentuk masyarakat dan menciptakan kebaikan bersama (hal. 3). Tetapi, mana mungkin itu terjadi dalam politik di negeri ini, “Kalau Tuhan Aja di Korup, Apakah Etika Masih Laku?” teriak Mamak Kenut (hal. 181) ketika merespon kasus dugaan korupsi dana haji yang menimpa Menteri Agama Suryadharma Ali, Mei tahun 2014 lalu.

Mamak Kenut ingin mengingatkan bahwa moral politik memang sudah menjadi barang langka di Republik ini. Sebagai perbandingan, Jepang Negeri Matahari Terbit itu mengenal budaya Bushido. Dalam prakteknya Perdana menteri yang merasa malu atas kesalahannya atau ketidakberhasilannya dalam melaksanakan tugas pasti mengundurkan diri dari jabatannya.

Apakah budaya Bushido di Jepang, bisa kita harapkan pada pejabat BUMN yang mengurusi listrik yang sudah seperti lampu disko (mati-hidup) setiap hari, tak peduli siang atau malam? Mamak Kenut tak berani memberikan jawaban apapun dalam tulisan Listrik Byarpet, Diskusi Pelitik, dan Puisi Antikorupsi.

Itulah Mamak Kenut, tak pernah tuntas membahas soal apalagi menjawabnya. Datang tiba-tiba, nyeletuk dan bicara suka-suka, menjadi kelebihan dan kelemahan Mamak Kenut, yang secara otomatis menjadi kelebihan dan kelemahan buku ini, yang memang disusun dari kumpulan kolom sepanjang tahun 2009 – 2015.

Maka selain menyarankan pembaca untuk membaca buku ini sebagai bagian dari cara untuk memperkaya perspektif, mengetahui banyak hal yang berat dan serius tanpa harus mengerutkan dahi, maka bacalah Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali sembari menyeruput kopi, dan untuk Mamak Kenut, memang sudah saatnya kembali ke Negarabatin, bukan hanya sebagai tukang kritik, tapi kembali untuk bekerja mengembalikan moral dan budaya malu yang telah lama hilang. []

Rahmatul Ummah, Pembaca Buku, Mengelola Penerbitan Lokal SWP di Metro


dimuat di Nuwobalak.com, 13 Mei 2016
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 15, 2016 08:27 Tags: kolom, mamak-kenut, negarabatin

August 26, 2015

Menulis Asyik, Udo Z. Karzi

Oleh Zabidi Yakub


Menulis Asyik Ocehan Tukang Tulis Ihwal Literasi dan Proses Kreatif dengan Sedikit Tips by Udo Z. Karzi ADA kelegaan di hati, ketika akhirnya buku Menulis Asyik-nya Udo Z. Karzi terbitan Sai Wawai Publishing, Kota Metro, jadi juga kumiliki. Saat buku ini di-launching beberapa bulan lalu, saya berhasrat memesan namun karena buku ini dibuat sebagai partisipasi Udo Z. Kazi menyukseskan program Gerakan Metro Membaca. Konon buku ini murni sebagai amal dan tak dijual untuk umum. Begitu yang tersirat dalam percakapan via inbox fesbuk antara kami berdua.

Ketika ditawarkan kembali oleh Udo Z. Karzi bersamaan dengan buku Rumah Berwarna Kunyit langsung kusambar. Kayak ikan aja nyamber…. emangnya umpan pancing… Lagi, percakapan via inbox saya lontarkan berharap disambar juga dengan baik. Ternyata benar, gayung bersambut. Udo Z. Karzi tulis berapa nilai tukar kedua buku itu berikut noreknya di Bank Mandiri, padahal saya sudah tahu noreknya karena dulu pernah transfer.

Karena nilai tukar dua buku yang harus saya bayar tanpa embel-embel ongkir, lalu saya tanya ongkirnya? Kata dia nggak pake ongkir, nanti buku diantarkannya ke kantor tempat saya nguli. ”Nanti saya tambah ongkir, buku kirim ke rumah,” jawabku. Kenapa saya menghendaki buku dikirim ke rumah? Karena saya tak ingin hilang tak karuan. Tercecer tak sampai ke tangan saya.

Ini bukan tak percaya dengan orang-orang di tempat saya nguli itu. Tapi lebih kepada tindakan waspada biar tidak jadi sesalan dan tak ada tuduhan atau sakwasangka, baik terhadap orang-orang yang saya maksud maupun kepada Udo Z. Karzi. Ini juga bukan berarti suudzon yang berlebihan, melainkan menginginkan yang terbaik dan menghindari kemungkinan buruk.

Pasalnya, HM Harun Muda Indrajaya (HMI) Pemimpin Umum/Perusahaan tempat saya nguli, tidak menghadiri undangan penganugerahan penghargaan yang diberikan Pemprov Lampung kepada 14 Tokoh Lampung pada peringatan HUT ke-70 RI di lapangan Korpri Bandarlampung, Senin (17/8). Penyebabnya, undangan yang dikirim panitia tidak nyampe ke tangan HMI. Belakangan baru ketahuan ternyata tertahan di laci staf adm perusahaan.

Dengan sekilas cerita perihal ketelingsutan surat undangan untuk HMI di atas, tentu terang apa persoalan yang perlu diwaspadai. Kemudian terbetik pilihan bijak, daripada serah-serahan uang dan barang via norek dan jasa hantaran. Saya pikir kenapa tidak dengan cara cash and carry, padahal saya dan Udo Z. Karzi sama-sama tinggal di wilayah demografis Kemiling. Lalu, inbox dilanjutkan dengan tawaran dari saya untuk ketemuan aja di daerah Kemiling. ”Oke,” kata Udo. Kembali dia kasih nomobnya (nomor mobile), padahal sudah saya tanam di pekarangan phonebook hp.

Benar juga, setelah janjian pukul berapa mau ketemuan. Kamis (20/8) kami berdua ketemuan di ’Kafe Condong Catur’ pukul 10 lebih-lebih dikitlah, biasa ngaret. Ketika saya sampai di TKP (Tempat Kafe Persisnya), ternyata Udo Z. Karzi sudah menikmati kopi hangat sajian peramunikmat di kafe itu. Dan, benar kan, ketemuan langsung rupanya lebih asyik, sembari ngopi-ngeteh bisa ngobrol tentang banyak hal. Memang, sejak tidak pernah ada even diskusi di Lampost, yang biasanya saya selalu diundangnya, jadinya kami berdua alah lamo indak basuo. Kak ngegham moneh jamow nikew.

Pinginnya Lamaaaaa

Kepingin sih ngobrol lamaaaaa bersama Udo, tapi saya-nya kebelet pipis. Jadinya saya buru-buru pamit. Saya ini tipenya orang apa ya, pernah sih ada yang bilang tapi saya lupa. Pokoknya kalau baca buku saya selalu urut dari depan ke belakang (kecuali kalau baca Quran). Setelah saya baca-baca, pada tulisan berjudul ’Jejak Literasi Liwa’, di halaman 20 tertulis Surabaya Banding (Agung) Ranau. Wow… saya serasa ejakulasi. Kenapa?

Ya, di Surabaya (Pekon Sakhbaya) itulah saya dilahirkan. Karena tercantum/terbaca Surabaya, lantas anggapan ’orang-orang’ (kebanyakan mereka) menafsirkan saya berasal dari Suroboyo, Jawa Timur. Ada manfaatnya, karena dulu waktu SMA di Jogja, kalau nyari kamar kost bila ngaku dari Sumatera agak susah diterima. Kenapa?

Karena ’Kampung Begal’ kali….. hahaha….. Bukan, bukan itu. Tahun ’77-79-an sering terjadi konflik antaretnis di kalangan pelajar/mahasiswa di sana. Perang antarpenghuni asrama daerah X dengan Y. Tahun ’80 ketika pecah kerusuhan rasial (anticina) di Solo, asrama-asrama pelajar/mahasiswa tiap daerah disweeping. Dari peristiwa-peristiwa itulah kira-kira yang membuat sebagian induk semang (pemilik rumah kos) lebih teliti bila menerima anak kos yang akan mondok di rumahnya.

Setting Liwa (Lambar) atau Krui (Pesisir Barat kini) dengan panorama alam berbukit dan samudra lepas serta Gunung Pesagi berikut situs-situs budayanya, atau Ranau dengan danau dan Gunung Seminungnya, tentu akan menambah berisi dan berjiwanya karya tulis, apa pun bentuknya. Entah puisi, cerpen, atau catatan perjalanan seperti yang dibuat J. Pattullo, pada halaman 20 buku Menulis Asyik di atas.

Sulit Menemukan Jejak

Ada beberapa puisi yang saya buat –juga mencoba– mengambil setting daerah-daerah tersebut. Seperti puisi berjudul ’Karena… (Hanya Ini yang Ibu Mampu)’ menggambarkan tentang bahasa ibu yang akan hilang, ’Tak Usah Kau Risaukan’ tentang dermaga Kuala di Krui, ’Pulau Pisang 1 dan 2’, ’Banding Agung’, juga beberapa cerpen. Puisi berbahasa lampung juga lumayan, cukup kalau mau dibukukan. Tapi karena puisi itu jarang saya publikasikan, jadi sulit menemukan jejaknya.

Untuk puisi Pulau Pisang 1 dan 2 saya ikutkan untuk antologi puisi dua bahasa (Indonesia-Lampung) yang digagas/dieditori Udo Z. Karzi (belum terbit). Saya menduga karena pesertanya bejibun (lebih 50 orang) dan tidak semuanya langsung mengirim naskah dalam bentuk dwibahasa, sehingga Udo Z. Karzi terpaksa harus mentransletnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Lampung. Agui, bukan main rekosonya. Payu kidah, tangeh kidang kekalau. Beguyor riya.

Lagi pula, sepertinya Udo Z. Karzi bekerja sendiri dalam ’proyek’ ini, tentu butuh waktu panjang untuk merampungkannya. Sedangkan Udo Z. Karzi telah pula disibukkan dalam tugasnya mengevaluasi kinerja satuan kerja (satker) di Pemprov Lampung dalam jabatannya sebagai Tim Ahli Gubernur. Ditambah lagi masuk pula ke dalam gerbong kepengurusan Dewan Kesenian Lampung (DKL) periode 2015-2019 Komite Sastra. ”Ini karena ketarik oleh yang ngajak masuk Tim Ahli,” kilahnya. Jawabku, mereka berani narik karena tahu dengan kapasitas Udo.

Jadi, menurut saya bugu gawoh orang yang mendepak Udo sehingga harus resign dari sono, hanya karena masuk lingkaran Tim Ahli yang hanya sementara waktu. Padahal sudah beberapa even diskusi Udo Z. Karzi prakarsai dan berjalan dengan baik. Tapi, itu bagian dari risiko yang harus dihadapi untuk menundukkan sebuah tantangan. Jadilah ia bahan perenungan, introspeksi, bahwa kita tidak hanya berjalan di antara ruang dan waktu, tapi juga di antara orang-orang yang suka dan tidak suka (like and dislike).

Itulah rangkuman yang bisa kucatat dari obrolan kami di tengah saya menahan kebelet pipis itu. Entah juga, kenapa itu kafe kok nggak ada ruang private untuk urusan buang hajat. Sehingga saya harus buru-buru menyudahi kebersamaan yang jarang tercipta itu. Yah, ruang dan waktu terasa begitu gesit mengejar, kalau tidak pandai-pandai memanfaatkannya tentu banyak hal yang akan terbuang percuma. Nah, saya tak ingin itu terjadi, makanya segala hal ihwal di antara obrolan kami berdua, dalam waktu sesingkat-singkatnya saya catat di laman blog ini.

Begitu juga masalah jejak literasi di Tanoh Lada, kalau terungkap semua sebenarnya akan mengayakan ragam budaya. Tapi, ada yang tidak terpublikasi, seperti puisi-puisi dan cerpen yang saya buat mengendap di hardisc komputer. Sebenarnya blog KAMPUNG KATA ini saya niatkan untuk ruang memublikasikannya, tapi ada pertimbangan lain, yaitu menyangkut plagiarism. Saya agak takut aja kalau dicomot dan diaku-kaku orang sebagai ciptaannya.

Kekhawatiran demikian mungkin berelebihan, dan tentu tidak semestinya. Lagi pula, menjadikan minimnya publikasi dan minim pula bukti autentik tentang jejak-jejak kepenulisan. Apalagi kalau tolok ukurnya berdasar karya, susah membuat orang percaya bila tidak menemukan jejak berkarya melalui publikasi. Untungnya, di postingan awal blog, ada sebagian pilihan puisi yang saya buat pada tahun ’80-’90an sewaktu di Jogja dan Malang, yang terkumpul dalam manuskrip.

Lain halnya dengan Udo Z. Karzi, karena menahbiskan diri sebagai ’Tukang Tulis’ dan memang rajin memublikasikan tulisan, baik di halaman surat kabar maupun dalam bentuk buku. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan beberapa penghargaan yang diraihnya. Sehingga setiap kali namanya disebut, mudah bagi orang mengarahkan ingatan kepada laki-laki beranak laki-laki dua kelahiran Liwa ini.


------------
Zabidi Yakub, lahir di kota Banding Agung, Ranau, OKU Selatan, Sumatera Selatan, 28 Oktober. Menempuh pendidikan SD Teladan dan SMP di Banding Agung, SMA Muhammadiyah II Jogjakarta, FE Manajemen UWG Malang. Memulung remah-remah kata menjelma sajak sejak SMP hingga hari ini.


diambil dari Kampung Kata Zabidi Yakub (http://zabidiyakub.blogspot.com), Minggu, 23 Agustus 2015
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 26, 2015 04:42 Tags: menulis-asyik, udo-z-karzi

August 21, 2015

Dari Mejaku Pagi Ini Memandang Rumah Berwarna Kunyit

Oleh Yuli Nugrahani


Rumah Berwarna Kunyit' Polemik Kesenian, Kesenimanan, dan Lembaga Seni (di) Lampung by Udo Z. Karzi SANGAT mudah mengingat kapan aku menerima buku ini. Rabu, 19 Agustus 2015, di Balai Keratun, Kompleks Kantor Gubernur Provinsi Lampung, dari tangan editornya langsung, Udo Z. Karzi. Aku menanti buku ini sudah agak lama, dan akhirnya kudapatkan. Bukan berarti isi buku ini hal yang baru sehingga aku sangat ingin mendapatkannya, karena aku sudah membaca sebagian artikel dalam Rumah Berwarna Kunyit (Polemik Kesenian, Kesenimanan dan Lembaga Seni (di) Lampung) ini di koran, tapi aku ingin menyimpannya sebagai salah satu dokumen di perpustakaanku.

Ya, seperti dikatakan Udo, buku ini berupa kumpulan dari artikel-artikel yang sudah dipublikasi di media massa. Dan secara umum aku bisa memahami situasinya kalau yang ditulis adalah tentang kesenian, kesenimanan dan lembaga seni yang ada di Lampung. Walau aku tidak terlibat banyak di situ, tentu saja aku paham juga sedikit-sedikit tentang hal ikhwalnya. Karena aku juga membuat karya seni, aku seniman, dan sesekali aku terlibat dalam lembaga atau komunitas seni.

Aku menerima buku ini pada hari bersejarah bagi Dewan Kesenian Lampung (DKL), yaitu pengukuhan pengurusnya untuk masa jabatan 5 tahun mendatang. Aku sedang menunggu acara dimulai ketika Udo memberikannya padaku dalam sampul coklat bertulis namaku. Acaranya sendiri belum mulai juga walau aku sudah satu jam lebih duduk di situ. Undangan yang kuterima menyebutkan acara akan dimulai pada pukul 09.00. Aku datang di lokasi sekitar 7 menit sebelum jam 09.00. Dan aku terima buku biru ini sudah lewat 5 menit dari pukul 10.00! Dan acara belum ada tanda-tanda akan mulai!

Aku sengaja meniatkan datang setelah mendapat surat undangan warna biru sehari sebelumnya karena beberapa alasan. Pertama, aku ingin hadir untuk teman-temanku seniman yang sudah pasti akan masuk dalam jajaran kepengurusan. Kedua, aku penasaran ingin tahu apa yang terjadi pada DKL kedepan. Menurutku salah satu tanda yang bisa kutangkap adalah siapa yang ada di dalamnya. Dan saat aku terima undangan pengukuhan itu, tak ada informasi jelas yang kudapat tentang orang-orang yang akan masuk dalam jajaran pengurus yang akan dikukuhkan itu. Ketiga, aku sedang tak ada acara apapun di manapun. Jadi kupikir tak ada ruginya untuk hadir.

Pagi itu merasa antusias menyiapkan diri. Baju dominan biru sengaja kupakai dan bukan batik. Ya, sesuai dengan warna undangan biru. Dan ini pasti akan membedakan dengan sangat kontras dengan para calon pengurus yang akan dikukuhkan, yang disebutkan sudah menerima batik seragam. Sepatu kulit coklat kupakai. Mestinya lebih enak jika aku pakai sandal tumit tinggiku yang ringan. Tapi hari Minggu lalu aku terkilir. Kaki kiriku masih sakit jika digerakkan walau bengkaknya sudah mengempis. Dan aku berangkat dari kantor pukul 08.30. Aku memastikan tidak akan terlambat dan melewatkan hal-hal yang akan kutemui di sana.

Sayangnya, aku kecewa di satu jam pertama. Okey, harapanku memang tak bisa terpenuhi seluruhnya. Lihat saja, pertama, ya, aku bertemu teman-teman seniman. Sebagian memakai 'batik seragam' sebagian lain tidak. Jadi merekalah yang akan jadi pengurus, yang lain hadirin undangan seperti aku. Kedua, aku mendapati nama-nama pengurus. Soal ketua umum sudah terpilih Yustin Ridho Ficardo. Lalu ketua harian Heri Suliyanto. Hmmm.... Yang lain, aku baru tahu kemudian, lewat media online. Setelah acara selesai. Ketiga, ah,... aku tak bisa menunggu segitu lama untuk acara yang sudah bisa kutebak situasinya. Jadi pukul 10.30, aku bangkit. "Aku bosan. Harus jalan dulu." Kataku pada Imas Sobariah, yang duduk tak jauh dariku. Lalu aku ke tempat Kang Dana,"Selamat, kang. Aku tak tahan lagi menunggu." KD menyebut 2 menit, pasti mulai.

Aku tertawa dan pergi. 1,5 jam cukup bagiku. Tak ada pengaruhnya apa-apa jika kursiku kukosongkan. Jadi aku pulang, walau saat aku di teras Balai Keratun aku berpapasan dengan mobil yang membawa Ridho dan Yustin, Gubernur dan Ketua Umum DKL. Dalam hati aku menyapa mereka, "Sukses selalu, Pak dan Bu." Aku paham, sangat paham, acara-acara seperti ini biasa dimulai dengan sangat-sangat terlambat, molor jauh dari waktu yang tertulis. Sangat-sangat biasa. Dan karena untuk acara ini Ridho dan Yustin atau entah protokoler pemprov Lampung tak membuat gebrakan sehingga hal yang memalukan ini tidak terjadi, ya serta merta rasa pesimisku mencuat. Ya yang biasa-biasa itulah yang akan terjadi. Huft.

Di parkiran, bapak tukang parkir manggut-manggut sambil membantuku mengeluarkan motor. "Mereka ndak paham. Menunggu sampai selama ini buat ibu-ibu ya akan merepotkan. Belum lagi harus masak, ngurus anak. Acara belum mulai juga padahal sudah siang. Hati-hati ya bu." Hehehe... aku tertawa mendengar komentar si bapak. Komentar ini memberiku ilham sebuah resep masakan. Dan spontan membuatku rindu dapur.

Hmmm... akan kemana DKL dengan jajaran pengurus seperti itu? Hmmm... hmmm... hmmm... Aku menulis soal harapan saja. Karena DKL sudah diisi oleh orang-orang yang dekat dengan pemerintahan, ketua umum istri Gubernur, lalu ketua harian kepala dinas pendidikan, aku berharap pemerintah Lampung semakin memberikan perhatian dan ruang yang nyata dan merata terhadap seni, seniman dan lembaga seni termasuk komunitas-komunitas seni di Lampung. Bukan untuk lamis-lamis lambe tampak gemebyar saja tapi sungguh-sungguh. Serius. Dan besok-besok, terlambatnya jangan keterlaluan deh. Ya 10 menit 15 menit bolehlah. Lampung sudah terlambat jauh, jangan lagi ditambah mengulur waktu yang merugikan begitu. Wis, itu saja deh.

Selebihnya, ya ya ya, Rumah Berwarna Kunyit membantuku melihat pandangan-pandangan para penulis tentang geliat seni di Lampung. Buku ini belum kubaca seluruhnya. Masih nunggu giliran memakai waktu yang kupunya. Sementara kusurukkan saja di ranselku, jika ada jeda aku bisa membacanya pelan-pelan di manapun aku berada, bercampur dengan dua buku yang sedang kubaca juga pelan-pelan Pagi Lalu Cinta-nya Isbedy Stiawan dan Harakah Haru-nya Iswadi Pratama, serta sebuah manuskrip buku puisiku yang sedang kuedit.

Dan walau aku tidak jadi ikut hadir dalam acara pengukuhan (maafkanlah, aku mah gini orangnya, tak sabaran.) aku mengucapkan: Proficiat, pengurus DKL yang baru. Selamat bekerja. Seni dan seniman tak selalu butuh rumah karena udara dan mataharilah sumber utama inspirasi karya. Jadi mungkin akan bisa dihitung siapa yang akan bertandang atau diundang ke rumah. Tapi para pengurus rumah, semestinya tak melulu di dalam rumah, tapi membuka pintu jendela membersihkannya setiap pagi, merapikannya setiap kali hingga pantas disebut sebagai rumah, termasuk dengan taman dan halaman yang indah. Dan jalan-jalan di luar rumah, sekitar rumah atau sedikit jauh dari rumah akan baik juga untuk kesehatan. Jadi, lakukanlah kerja-kerja yang diperlukan itu. Sekali lagi, proficiat. Selamat.


diambil dari yulinugrahani.blogspot.com, 21 Agustus 2015
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 21, 2015 01:30 Tags: rumah-berwarna-kunyit, yuli-nugrahani

February 15, 2015

Demi Harga Diri dan Kejayaan Bangsa

Oleh Udo Z. Karzi


The Rise of Majapahit by Setyo Wardoyo Data buku:
The Rise of Majapahit
Setyo Wardoyo
Grasindo, Jakarta, 2014
xxvi + 399 hlm.

KERAJAAN Majapahit (1293—1500) yang mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya menguasai wilayah yang luas di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk (1350—1389) dengan Mahapatih Gajah Mada; rupanya tak henti-hentinya melahirkan inspirasi. Tak kecuali bagi para penulis prosa.

Begitulah, novel (sejarah) berlatar Majapahit terus mengalir. Sebut saja Tusuk Sanggul Pudak Wangi (Pandir Kelana), Samita: Sepak Terjang Hui Sing Murid Ceng Ho (Tasaro), dan Kemelut di Majapahit (Kho Ping Hoo). Lalu, Pelangi di Atas Gelagahwangi (S Tidjab), Senopati Pamungkas (Arswendo Atmowiloto), Gajah Mada 1-5 (Langit Kresna Hariadi), Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit (Hermawan Aksan), Sabda Palon: Ketika Majapahit Sirna dan Islam Menaklukkan Nusantara (Damar Shashangka), Kerajaan Majapahit (Junus Satrio), Brawijaya Moksa (Wawan Susetya), Banarawa (Siwi Sang), dan banyak lagi.

Namun, Setyo Wardoyo punya alasan tersendiri ketika melahirkan novel sejarah berjudul The Rise Majapahit. Semula novel ini berupa screen play layar lebar yang ditulisnya karena dorongan hati setelah Timor Timur dan Sipadan-Ligitan gagal dipertahankan anak-cucu Hayam Wuruk dan Gajah Mada di negeri “jutaan ayam mati di lumbung padi” ini. "Ironis dan memalukan! Terutama bagi yang mempunyai harga diri dan nasionalisme tinggi, entah bagi yang hanya mementingkan perutnya sendiri. Setelah ini wilayah—atau kekayaan alam—mana lagi yang akan dicaplok negara lain dan kita hanya gigit jari, tak mampu melakukan apa-apa untuk mempertahankannya? Betapa lemahnya kita!" tulis Setyo Wardoyo dalam pengantarnya (hlm. xii).

Novel ini dibuka dengan peristiwa heroik yang kita sangat kita ingat dalam sejarah negeri ini. Alih-alih menyatakan tunduk kepada penguasa Mongolia, Kubilai Khan, yang terjadi adalah kemarahan yang luar biasa dari Sri Kertanegara karena tersentuh harga diri sebagai putra Singosari. Utusan Kubilai Khan harus pulang ke Mongolia dengan telinga terpotong, pasukannya habis ditumpas prajurit Singosari, dan penuh rasa malu. Peristiwa itu terjadi pada 1289 Masehi.

Namun, kemudian Sri Kertanegara gugur akibat pengkhianatan Jayakatwang dari Gelang-Gelang yang sebenarnya masih merupakan besannya. Sebab, anak Jayakatwang, Ardaraja menjadi menantu Kertanegara. Setelah Singosari diluluhlantakkan, keluarga dan kerabat istana tewas atau menjadi pelarian; Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kediri yang sudah redup.

Salah satu keturunan penguasa Singosari, Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singosari pertama dan anak dari Dyah Lembu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah menantu Kertanegara yang masih terhitung keponakan.

Pada waktu Jayakatwang menyerang Singosari, Raden Wijaya diperintahkan untuk mengamankan ibu kota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singosari menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal 12 orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini.

Berkat bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima Raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Tarik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara Sungai Brantas. Berkat bantuan Arya Wiraraja, ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit.

Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Arya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan.

Pada 1293, Jawa kedatangan pasukan dari Mongolia yang diutus Kubilai Khan untuk menghukum Singosari atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada 1289. Dengan memanfaatkan pasukan Mongolia, Raden Wijaya berhasil memukul Kediri dan Jayakatwang pun ditahan pasukan Mongolia. Lalu, ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Mongolia yang masih tersisa yang tidak menyadari Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan Kerajaan Mongolia ini dapat dibinasakan pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban.

Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Kediri dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada 1215, Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.

Sebuah novel sejarah yang sangat menarik dan menemukan konteksnya ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo gencar-gencarnya mengampanyekan visi maritim dan upaya mengembalikan kejayaan bangsa. Jokowi sadar Indonesia adalah negara laut dan sebagian ekonomi juga tergantung ke laut. Maka pembangunan sektor kelautan menjadi penting dan harus diprioritaskan. Selain itu juga penguatan alat keamanan di laut dengan peningkatan anggaran TNI AL, penggunaan teknologi pengawas pantai dan laut (seperti drone) agar kekayaan alam bisa terjaga dan tidak dicuri oleh orang asing sebagaimana kata-kata Jokowi: “Kita akan membangun kekuatan maritim yang kuat.”

Benar! Dua kerajaan besar di Nusantara—Sriwijaya dan Majapahit—berjaya dengan kekuatan maritim. Dan, novel yang mengambil setting masa akhir Kerajaan Singosari dan merintis sebuah kerajaan besar yang berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara bernama Majapahit ini, bisa menjadi pelajaran penting tentang arti harga diri dan nasionalisme. Ya, sebagai bangsa besar kita memang harus memiliki harga diri, menolak untuk terus-menerus berada dalam subordinat negara mana pun, dan membangun negeri dengan kekuatan sendiri. n

Udo Z. Karzi
Penyuka dan pembaca sastra dan sejarah

dimuat di Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2015
2 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 15, 2015 02:18 Tags: majapahit, novel-sejarah, setyo-wardoyo

December 27, 2014

Bikin Acara Nulis Jadi Menyenangkan

Oleh Tita Tjindarbumi

Menulis Asyik Ocehan Tukang Tulis Ihwal Literasi dan Proses Kreatif dengan Sedikit Tips by Udo Z. Karzi Data buku:
Menulis Asyik: Ocehan Tukang Tulis Ihwal Literasi dan Proses Kreatif Dengan Sedikit Tips
Udo Z. Karzi
Sai Wawai Publishing, Metro
vii + 104 hlm.

MEMBACA buku Udo si tukang tulis, saya jadi ingat pada seorang perempuan dari negeri yang sama... Negeri Ruwa Jurai... Perempuan yang suka nulis... ya nulis apa saja yang harus dikeluarkan dari kepalanya, biar enggak bikin otak buntu karena kesumbat berbagai hal. Tuang... tumpahkan... buang dari benak dengan menulis...

***

Menulis bagi sebagian besar orang adalah katarsis. Setiap orang dapat melepaskan segala seuatu yang menumpuk di benak dan juga di dada. Bagi sebagian besar penulis, menulis membuat perasaan menjadi lega karena semua unek-unek bisa ditumpahkan dalam tulisan. Tentu selain merasa lega, penulisnya akan merasa mendapatkan kepuasan tersendiri manakala tulisannya dibaca oleh banyak orang sekaligus menjadi inspirasi bagi pembacanya.

Demikian juga dengan Udo Z. Karzi. Membaca buku Udo Z. Karzi yang berjudul Menulis Asyik: Ocehan Tukang Tulis Ihwal Literasi dan Proses Kreatif Dengan Sedikit Tips. Membaca judul buku yang lumayan panjang tersebut (meski sebetulnya bisa dipersingkat menjadi Menulis Asyik, Ocehan Tukang Tulis soal Literasi, Proses Kreatif, dan Tips, sudah terbayang apa isi buku tersebut.

Dalam bab yang diberi judul Tukang Tulis, Udo menulis proses kreatif sampai ia menjadi tukang tulis yang dimulai dari tukang baca. Di dalam “tukang tulis” Udo mengungkapkan bahwa kerinduannya pada tanah Sang Bumi Ruwa Jurai saat berada di kota lain, membuatnya semakin banyak menulis tentang tanah kelahirannya. Jarak yang jauh, keluarga yang nun jauh di sana, membuat Udo banyak menulis. Ia menulis apa saja dan tidak peduli apakah ada yang membaca atau tidak.

Dan Udo, seperti yang diakuinya, suka melipir, lebih tepatnya suka cerita ngalor-ngidul, keluar dari tema, meloncat dari pokok bahasan. Meski kemudian Udo sadar dan kembali ke pokok bahasan. Lalu lompat lagi cerita hal-hal yang kadang enggak nyambung ama pokok bahasan. Ya, bukan dosa sih, toh yang dibahas bukan soal ketahanan negara. Proses kreatif Udo ya seperti itu. Asyik-asyik aja. Sesuai judul bukunya, Menulis Asyik.

Memang asyik, karena Udo juga membahas soal meniru gaya penulis beken yang ceritanya Udo baca dan menghafal nama penulisnya. Meski meniru, Udo enggak mau dibilang plagiat. Beda ya? Udo juga bercerita soal sembunyi-sembunyi (nyumput-nyumput itu bahasa di Lampung ya?). Jadi ingat masa kecil di Lampung. Kalo Udo nyumput-nyumput kirim tulisan ke media, saya dulu nyumput-nyumput baca buku apa aja yang ada di indekos buku alm. papa saya.

Buku Udo ini bikin senang (membacanya) sebab Udo juga membeberkan soal honor. Bagi banyak (hampir semua) penulis honor selalu menjadi hal yang penting. Hal yang membanggakan, yang ditunggu. Ketika tulisan kita di-publish, maka akan ada (banyak) yang membaca tulisan kita. Yang menerima pesan dalam tulisan kita. Seperti yang ditulis Udo dalam buku tersebut (hlm. 5): “Dengan menulis saya terus belajar, belajar banyak hal tentang hidup dan kehidupan. Sebab, untuk menulis saya harus membaca, ngobrol, nonton tv, dan....”

Di bab-bab berikutnya, Udo menulis tentang banyak hal yang juga sebagai bagian dari pengalaman dan perjalanannya di dalam dunia literasi. Mengedepankan bagaimana pentingnya bisa menulis untuk menunjang berbagai aktivitas dalam profesi apa pun. Udo juga memotivasi pemuda, mahasiswa untuk belajar menulis dan menulis bagus untuk kepentingan dunia pendidikan.

***

Bagaimana Udo menjelaskan bahwa menulis itu seni? Menurut Udo, menulis itu hobi. Tentu hobi erat hubungannya dengan kesenangan. Jika seseorang tidak menyukainya, ia tidak akan bisa mendapatkan kesenangan dari menulis. Oh, no...

Dalam pikiran saya, menulis itu bukan hobi, melainkan sesuatu yang bisa dipelajari. Sesuatu yang jika dikerjakan terus-menerus akan membuat seseorang menjadi mahir. Menjadi terampil. Menulis itu lebih tepatnya keterampilan. Yang tidak hobi menulis pun bisa belajar menulis. Bisa menjadi senang menulis. Dan, disarankan semua orang bisa menulis. Meski hanya dalam bentuk tulisan yang sederhana.

Tulisan Udo selanjutnya dalam buku ini dapat membantu mereka yang ingin belajar dan bisa menulis. Dan, bagi yang belum punya buku ini, sangat disayangkan jika tidak segera memburunya lalu membacanya sampai tuntas. n

Tita Tjindarbumi
Pengarang asal Lampung, kini mukim di Surabaya

dimuat di Lampung Post, Minggu, 28 Desember 2014
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 27, 2014 01:03 Tags: literasi, menulis, proses-kreatif, tips

October 20, 2014

Segabung Kisah dari Kampung Halaman

Oleh Christian Heru Cahyo Saputro

Tumi Mit Kota by Udo Z. Karzi Judul buku: Tumi Mit Kota, Kumpulan Cerita Buntak
Penulis: Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti
Penerbit: Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Cetakan Pertama: I, November 2013
Tebal: v + 74 hlm.

SASTRA Lampung nasibnya tidak seberuntung sastra Jawa, Sunda, dan Bali yang sudah lama memiliki sastra modern (teks). Yang lebih memprihatinkannya lagi, meski sejak era reformasi terjadi euphoria di bidang pers yang melahirkan banyaknya media yang terbit di bumi Lampung tak satu pun media cetak yang menyediakan kapling untuk karya sastra berbahasa Lampung. Sedangkan untuk media online berbahasa Lampung hanya ada majalah Nyuara yang digawangi Udo Z. Karzi dkk.

Dari dulu hingga kini Lampung juga tak memiliki media khusus berbahasa Lampung seperti; di daerah lainnya, misalnya, Jawa Tengah dan Jawa Timur ada Penyebar Semangat, Joyoboyo, Djoko Lodang, Jemparing, Mbangun Tuwuh, dan ada beberapa bulletin lainnya. Sementara itu di Jawa Barat ada Cupu Manik, Mangle, dan Ujung Galuh.

Sementara itu, tradisi sastra lisan, di Lampung yang merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakatnya, nasibnya juga tak kalah mengenaskan seperti penaka kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau.

Pasalnya, bahasa Lampung sebagai bahasa pengantarnya mulai ditinggalkan oleh penuturnya (baca: penduduk Lampung asli). Ulun (orang) Lampung liyom (malu) menggunakan bahasa ibu mereka, larut dengan bahasa yang dibawa penduduk pendatang (transmigran) atau mereka lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.

Itulah persoalan-persoalan klasik yang mendera dan mengakibatkan sulit bertumbuhkembangnya sastra Lampung, baik lisan maupun tulis.

Sastra modern berbahasa Lampung sendiri baru bisa ditandai dengan kehadiran kumpulan sajak dwibahasa Lampung- Indonesia, Momentum (2002) dan Mak Dawah Mak Dibingi (2007), keduanya karya Udo Z. Karzi.

Sajak-sajak Udo Z Karzi yang terdapat dalam antologi Momentum dan Mak Dawah Mak Dibingi tidak lagi patuh pada konvensi lama dalam tradisi perpuisian berbahasa Lampung, baik struktur maupun dalam tema. Melalui karyanya, Mak Dawah Mak Dibingi Udo Z Karzi juga berhasil membukukan prestasi dengan mengunduh Hadiah Sastra Rancage 2008.

Dalam kondisi itulah, kehadiran buku kumpulan cerita buntak (cerbun) alias kumpulan cerita pendek (cerpen) berbahasa Lampung bertajuk Tumi Mit Kota karya Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti ini menjadi penting dan berarti.

Terbitnya buku ini bak oase di padang tandus di tengah gempuran globalisasi yang menderas tanpa henti, kekuatan lokal menjadi penting sebagai penanda, karakteristik sekaligus jatidiri. Di tengah langka dan keringnya karya buku sastra berbahasa Lampung ini patut di sambut dengan gembira.dan diapresiasi.

Buku setebal 79 halaman yang diterbitkan Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung ini berisi 13 cerbun. Tajuk buku Tumi Mit Kota ini sendiri diambil dari salah satu judul cerbun karya Udo Z. Karzi yang mempunyai nama asli Zulkarnain Zubairi. Dalam kumpulan ini Udo Z. Karzi yang kesehariannya menggawangi (redaktur) Opini dan Budaya Harian Umum Lampung Post ini menyumbang tujuh cerbun berjudul Tumi Mit Kota, Tebinta Nyak di Matamu, Aing, Cengkelang, Di Simpang Renglaya, Longan, dan Lawok Sai Rani Sai.

Sedangkan Elly Dharmawanti yang kesehariannya fasilitator pemberdayaan di Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan ini menyumbangkan enam cerbun bertajuk Aisah, Pubalang, Angangon, Kumbang Bi Kumbang Kenangan, Muli Tuha, Bebai rek Lawok, dan Pancoran Pitu.

Kisah-kisah dalam kumpulan cerbun Tumi Mit Kota ini mengusung beragam tema dari yang sangat lokal hingga yang kontemporer yang dikemas dalam memori budaya dan setting daerah Lampung, berupa kawasan kampung, laut, gunung, dan objek wisata. Tema kontemporer ini bisa dilihat dalam karya bertajuk Tumi Mit Kota karya Udo Z. Karzi. (hlm. 39).

Tema urbanisasi yang berdampak terjadinya pergeseran sosial dan budaya juga menjadi persoalan masyarakat lampung. Kisah cerbun ini juga mengangkat persoalan inkulturasi dalam diri Tumi -- Tuminingsih -- gadis berkultur Jawa tetapi sudah sangat Lampung. Sedangkan tokoh Tumi yang dibesut Udo juga untuk mengingatkan masyarakat Lampung kalau menurut jejak sejarah nenek moyang ulun (orang) Lampung adalah Buay Tumi atau Suku Tumi yang berasal dari kawasan Bukit Pesagi, Sekala Brak, Lampung Barat, menjadi bidikan Udo Z. Karzi.

Sedangkan tema yang sangat lokal bisa disimak dari karya Elly Dharmawanti bertajuk Pubabang. Cerbun ini mengisahkan permainan yang biasanya dimainkan oleh kakek (orangtua) dan cucunya menjelang tidur

Coba simak lirik syair permainan ini yang sekaligus dijadikan pembuka Cerbun ini : //Cuit pelangkit pelandung sanak pundit/ Dipa pai tupai jeno mit nanjak bubu jurak/ awas keti sanak ano kayu aga rungkak/Lung kiri ilung kanan.// (hlm. 9)

Kehadiran buku yang berisi kisah-kisah yang mengingatkan ini, diharapkan setidaknya bisa memotivasi para sastrawan Lampung untuk menghasilkan karya-karya sastra berbahasa Lampung. Hal ini tentunya juga menjadi tanggung jawab para pemangku kepentingan, jika tak ingin kehidupan sastra Lampung punah dan terus bertumbuhkembang dan eksis.

Akhirnya, terpulang kepada karya sastra itu sendiri, sejauh mana karya yang dituliskan maupun didedahkan masih tetap berharga bertumbuhkembang dan lestari Ada ujaran Lampung yang arif yang diharapkan bisa menyulut semangat sastrawan untuk terus maju berkarya. Mak ram, siapa lagi, mak ganta kapan lagi. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Tabik!

Christian Heru Cahyo Saputro
Editor di Sekelek Institut Publishing House dan Inisiator Taman Bacaan Masyarakat dan Rumah Pengetahuan “Ganesha” Bandar Lampung

• Dimuat di Majalah Esensi Edisi ... 2014 yang diterbitkan Pusat Bahasa Jakarta
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 20, 2014 23:31 Tags: christian-heru-cahyo-saputro, resensi, tumi-mit-kota

September 27, 2014

Sastra Lisan Lampung sebagai Kearifan Lokal*

Oleh Udo Z. Karzi**


Pepatah Petitih Lampung by Iwan Nurdaya-Djafar SASTRA juga disebut seni berbahasa dengan posisi yang sama dengan bentuk kesenian lainnya. Sastra tidak hanya dianggap sebagai alat penghibur, tetapi juga sebagai bentuk pengekpresian perasaan pengarangnya dengan menggunakan seni kebahasaan yang indah. Sastra dipertimbangkan sebagai karya seni karena pada pembangunan karya sastra para pengarangnya tidak memilih kata-kata secara acak tanpa memperhatikan nilai-nilai keindahan yang menjadi bagian wajib pada karya sastra. Seperti puisi, seorang penyair harus memperhatikan rima dan nada dari puisi yang dibangunnya dengan memilih kosakata yang tepat, sehingga karya sastra tersebut dapat menyampaikan apa yang menjadi tujuan pengarang tanpa harus mengurangi nilai bahasa.

Dalam khazanah sastra lama, berkembang sastra lisan yang karena kelisanannya jarang diketahui siapa pengarangnya atau pengarangnya yang tidak mau mengaku telah menciptakan karya sastra (?)

***

Meskipun tulisan ini jauh dari ilmiah, tetapi saya perlu menyampaikan beberapa istilah yang saya pakai dalam tulisan ini.

Sastra Lampung merujuk pada sastra yang ditulis dengan menggunakan bahasa Lampung. Sebab, sastra adalah seni berbahasa. Sastra Lampung berbahan baku bahasa Lampung. Karena itu tidak saya tulis dengan "sastra berbahasa Lampung". Dengan begitu, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung dalam kerja kesesusastraan (proses kreatif)-nya.

Turunan dari (sebagai bagian dari/salah satu jenis) sastra Lampung adalah puisi/sajak Lampung. Puisi Lampung jelas ditulis dengan bahasa Lampung, sehingga tidak harus dipanjangkan "puisi berbahasa Lampung" atau "sajak berbahasa Lampung". Dan karena itu, penyair Lampung adalah penulis puisi yang menuliskan syair (sajak/puisi) dalam bahasa Lampung.

Batasan ini saya pakai hanya dalam tulisan ini.

***

Sekarang saya hanya mau bercerita bagaimana saya bersentuhan dengan sastra Lampung atau lebih spesifiknya puisi Lampung sejak masih lahir. Orang Lampung harusnya bisa bersyukur karena memiliki nenek moyang yang sangat kreatif. Mereka mewariskan suku Lampung dengan sistem budaya, bahasa, sastra, dan aksara.

Sebuah warisan yang tidak ternilai harganya sebenarnya. Tapi, kebanyakan kita orang Lampung atau setidaknya yang mengaku Lampung (soalnya banyak juga yang malu menyatakan diri Lampung) tidak menyadari ini.

Tapi, saya beruntung (atau malah sebuah 'kesialan') lahir di Liwa, sebuah tempat yang -- kata istri saya sendiri -- terlalu jauh dari Bandar Lampung. Dulu, seingat saya saya, hampir tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lain dalam kehidupan sehari-hari, kecuali di ruang kelas sekolah.

Saya mendengar semua orang berbicara dalam bahasa Lampung, meski ada sedikit saja yang menggunakan bahasa Indonesia. Petani, pedagang, pegawai negeri, polisi, tentara, apa pun profesi mereka, tetap berbahasa Lampung. Di pasar, di kantor, di sekolah, di ladang, di terminal, di mana saja yang terdengar bahasa Lampung.

Dalam setiap ucapan orang-orang itu -- sungguh baru saya sadari beberapa tahun kemudian -- saya menemukan puisi. Puisi Lampung!

Jangankan di upacara-upacara adat yang menuntut kemampuan berbahasa Lampung yang mumpuni; dalam percakapan sehari-hari pun sesungguhnya orang Lampung seperti tengah berpuisi (baca: bersastra).

***

Dalam posisilah inilah buku Pepatah Petitih Lampung yang disusun Iwan Nurdaya-Djafar (diterbitkan Dewan Kesenian Lampung, November 2013) memiliki makna bagi perkembangan dan pengembangan sastra Lampung ke depan. Buku setebal 105 halaman ini memuat pepatah (sesikun), kata kiasan, kata majemuk (ungkapan), dan teka-teki (seganing).

Dengan kata lain, buku ini mendokumentasikan sebagian dari jenis-jenis sastra lisan Lampung yang berkembang di tengah masyarakat Lampung. Inilah kekayaan bahasa dan sastra Lampung yang tidak akan habis digali. A. Effendi Sanusi mengatakan, sastra lisan Lampung adalah sastra berbahasa Lampung yang hidup secara lisan, yang tersebar dalam bentuk tidak tertulis (kini sudah diinventarisasi dan sudah banyak yang ditulis). Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung dan bersifat anonim. Sastra itu banyak tersebar di masyarakat, merupakan bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung dan juga merupakan bagian dari kebudayaan nasional.

Effendi membedakan sastra lisan Lampung dalam lima jenis: (1) peribahasa, (2) teka-teki, (3) mantra, (4) puisi (5) cerita rakyat.

Masih menurut Effendi, secara umum, sastra lisan dalam kehidupan etnik Lampung memiliki beberapa fungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung; penyampai gagasan-gagasan yang mendukung pembangunan manusia seutuhnya; pendorong untuk memahami, mencintai, dan membina kehidupan dengan baik; pemupuk persatuan dan saling pengertian antarsesama; penunjang pengembangan bahasa dan kebudayaan Lampung; dan penunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia

Sejak dahulu, sastra lisan Lampung berkembang secara oral dalam berbagai situasi dan kegiatan, mulai dari saat bersantai dan mengobrol ringan; saat mengerjakan kerajinan tangan, seperti menenun tapis, menyulam, atau membuat anyam-anyaman; saat beramai-ramai bekerja di kebun atau di sawah, seperti ketika membuka ladang atau menanam/menuai padi; saat upacara penyambutan tamu secara adat; saat upacara pemberian jejuluk (jejuluk adalah gelar sebelum menikah, diberikan bersamaan dengan pemberian nama) atau pemberian adek/adok (gelar adat); saat berlangsungnya acara muda-mudi; saat berlangsungnya acara cangget atau nyambai hingga saat berlangsungnya acara bebekas ’penglepasan mempelai’.

***

Mengutip prawacana dalam buku ini, ulun Lampung suka menggunakan kata sindiran, ungkapan, kata-kata bersayap, pepatah atau peribahasa dengan ungkapan kata-kata nan indah lagi bernas serta mengandung arti yang mendalam (hlm. vii). Kalau melihat itu, sesungguhnya kata-kata indah (sastra lisan) itu menyimpan apa yang disebut dengan pengetahuan lokal atau kearifan lokal.

Pengetahuan lokal (kearifan lokal) merupakan hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Sehingga, kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan system kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan dan karya-karya sastra.

Sastra lisan merupakan fakta mental yang menggambarkan mimpi-mimpi, cita-cita, aspirasi, keinginan, harapan, keluh-kesah, dan sebagainya yang kesemuanya merupakan sistem pengetahuan masyarakat. Masyarakat pemiliknya mentransmisikan sastra lis an dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, agar kandungan sastra lisan itu terinternalisasikan sebagai pedoman bagi hidup mereka dalam menyikapi tantangan kehidupan.

Namun, praktik pembangunan tidak berkelanjutan dan tidak berwawasan budaya yang selama ini banyak diterapkan, menjadi ancaman serius bagi kelangsungan sastra lisan dan kearifan lokal di Indonesia, tak terkecuali Lampung. Akibat paling parah yang bisa terjadi, bangsa Indonesia bisa kehilangan identitas budayanya.


* Catatan untuk Diskusi dan Peluncuran Buku Petatah-Petitih Lampung karya Iwan Nurdaya-Djafar dan Novel Lelaki dari Timur, Man from the East karya Mohsen Al-Guindy, diterjemahkan Iwan Nurdaya-Djafar yang diselengggarakan Dewan Kesenian Lampung Timur di STKIP PGRI Tanjungkarang, Sabtu, 27 September 2014.

** Udo Z. Karzi, tukang tulis
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 27, 2014 05:11

June 10, 2014

Aku, Bongkot, dan Perempuan-perempuan

: Membaca ‘Dunia yang Tidak Pernah Menjadi Tua’ Syaiful Irba Tanpaka1)

Oleh Udo Z Karzi


Dunia yang Tidak Pernah Menjadi Tua by Syaiful Irba Tanpaka ALHAMDULILLAH, meski “terpaksa”, ke-13 cerpen Syaiful Irba Tanpa yang tergabung dalam Dunia yang Tidak Pernah Menjadi Tua (diterbitkan Siger Publisher, Desember 2013) rampung saya baca dalam waktu sehari semalam. Walaupun sebagian cerpen Syaiful Irba pernah saya baca karena pernah dimuat di media massa dan dijadikan naskah untuk lomba baca cerpen, saya memang merasa perlu membaca ulang secara berurut cerpen-cerpen yang dibukukan. Dan, sesungguhnya itulah alasan yang paling utama kenapa seorang cerpenis atau penyair mengumpulkan dan membukukan karya-karyanya.2)

Begitulah, saya tetap merasa perlu menuliskan catatan pendek ini, meskipun saya sempat bilang ke panitia peluncuran buku cerpen ini bahwa saya tak bisa bikin makalah. Tapi mohon dipersori kalau tulisan ini agak kacau beliau.

***

Sebelum masuk ke buku, biar kelihatan ilmiah dikit, saya kepengen mengutip Jacob Sumardjo: Sesuatu menjadi jelas dan kuat kalau jelas pula tujuannya. Harus ada yang akan dikatakan. Dan jangan menulis sambil mencari apa yang akan dikatakan. Pegangan pokok dalam menulis adalah: apa yang hendak saya kemukakan dengan cerpen ini? Cerpen saya ini ingin membuktikan apa? Kalau tujuan sudah jelas maka semua pikiran dan imajinasi selama menulis bisa diarahkan ke sana. Tujuan adalah pegangan untuk mengembangkan imajinasi dan tanggapan kehidupan. Selama penulis belum yakin benar akan apa yang hendak digarapnya, selama itu pula ia menulis tanpa pegangan yang berarti ngawur tak menentu.3)

Ah, saya tak hendak menilai satu per satu ke-13 cerpen. Dengan kutipan itu, saya cuma kepengen berkata, meskipun tidak dirumuskan seperti ketika menulis makalah ilmiah, menulis cerpen tetap punya tujuan.

Bagaimana pun, cerpen (sastra) adalah refleksi dari kehidupan nyata. Jadi, baca sastra itu wajib hukumnya kalau mau menjadi orang baik, orang yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan dengan bijak, dan tak mau terpeleset ke dalam lembah dosa. (Widih, apa kita masih peduli dengan dosa pahala segala ya?)

Pokoknya, bacalah cerpen dan karya sastra lain, pasti berfaedah.

***

Sekarang kita coba baca buku ini. Saya tertarik dengan tokoh-tokoh dari cerpen-cerpen Syaiful. Kecuali cerpen “Sandal Jepit” dan “Warahan Negeri Awan”, Syaiful menggunakan “aku” (bisa laki-laki, bisa perempuan) dan nama Bongkot sebagai tokoh utama cerpen.

Maka demikianlah, aku bertemu Edelwis yang cantik dan ramah yang kemudian menjelma kupu-kupu (cerpen “Edelwis”), aku bersua kembali Bongkot, teman sepermainan di kampung yang kemudian rela menjual hati nurani demi mengejar harta dan kuasa (”Bongkot”), aku (perempuan) bercerita tentang Wie, gadis jelita bermata embun (”Embun di Mata Wie”), aku berselingkuh dengan Kinan, gadis kecil yang aleman (”Tubuh Kinan”).

Ada juga aku si gadis penyanyi yang trauma menjalin kasih dengan pria (”Nuri yang Terbang”), saya yang suka menulis surat sampai-sampai menular sekampung, tetapi kemudian tradisi menulis ini makin hilang berganti dengan budaya lisan (”Surat”). Betapa ajaibnya saya yang jatuh cinta dengan Helma hanya dengan melihat foto yang dimuat di ruang remaja Fans Club, tetapi kemudian tiba-tiba secara kebetulan bertemu si cewek yang sama-sama mau pulang ke kota dari kampung paman (”Helma”). Dan, aku di cerpen pamungkas buku ini, Dunia yang tidak Pernah Menjadi Tua adalah aku, lelaki muda 20 tahun yang karena diajak Wit, bertemu perempuan muda yang juga berusia 20 tahun. Demikianlah, meskipun usia aku terus bertambah 40 tahun, dan 60 tahun tetap bersua dengan perempuan 20 tahun. Di negeri kayangan, dunia yang tak pernah tua itu.

Akan halnya Bongkot, kita bertemu Bongkot sebagai penjual hati nurani dalam cerpen “Bongkot”, sebagai don juan yang suka bersenang-senang tetapi tetap romantis dalam Malam Biru Keemasan; sebagai koruptor — boleh juga maling, bromocorah, atau apa pun yang menghalalkan segala cara — yang kemudian yang mencoba menyambut malam baru dengan penuh kegembiraan, tetapi kemudian berubah menjadi kelinci yang diburu-buru warga tepat pada malam pergantian tahun (”Ritus Buka Tahun”). Terakhir, dalam cerpen “Rampok”, Bongkot yang tak berdaya saat rumahnya dimasuki rampok, kemudian merampok dirinya, dan kemudian: (Sejak malam itu, keesokan harinya Bongkot pergi ke kantor dengan membawa rampok dalam dirinya. Ia siap merampok milik siapa saja).4)

Dua cerpen lain, “Sendal” Jepit dengan tokoh Sangkot dan “Warahan Negeri Awan” dengan tokoh Sang Pewarah yang berkisah tentang asal-muasal Negeri Awan yang tak lagi berada di bumi, tetapi di langit tinggi.

Yang menarik kita diskusikan, dengan memperhatikan sosok perempuan dalam cerpen-cerpen di buku ini, di manakah letak perempuan ini di hati Syaiful Irba Tanpaka? Bagaimanakah posisi perempuan ketika berhadapan atau dihadapkan dengan laki-laki?

***

Hanya sedikit yang mengganggu adalah kekeliruan kecil seperti “sembilan tahun yang lalu” yang ditulis “9 tahun yang lalu”, “enam jam” tertulis 6 jam; yang tidak esensial (?) Lalu, soal halaman di daftar isi yang tidak sama dengan halaman yang sebenarnya. Di Daftar Isi Bongkot hlm. 19, yang benar di hlm. 11; Embun di Mata Wie - 35, yang betul hlm. 27; dst. Satu lagi, biodata dan klu di cover belakang susah dibaca.

Selebihnya, pokoknya seru. Baca cerpen-cerpen Syaiful Irba Tanpaka asyik. n

Bandar Lampung, Jumat, 6 Juni 2014 pukul 18.07

Catatan:

1) Disampaikan dalam Peluncuran dan Diskusi Buku Kumpulan Cerpen Dunia yang Tidak Pernah Menjadi Tua karya Syaiful Irba Tanpaka di Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung, Jumat malam, 6 Juni 2014.

2) Udo Z. Karzi, “Membangun Lampung dengan Buku” dalam Udo Z. Karzi. 2013. Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan. Bandar Lampung: Indepth Publishing.

3) Jacob Sumardjo, “Tujuan Menulis Cerita Pendek” dalam Jacob Sumardjo. 1997. Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

4) Cerpen “Rampok” dalam Syaiful Irba Tanpaka. 2013. Dunia yang Tak Pernah Menjadi Tua. Bandar Lampung: Siger Publisher.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 10, 2014 02:34 Tags: cerpen, syaiful-irba-tanpaka

April 14, 2014

Melihat Sejarah Lampung dari Satu Sisi

Oleh Udo Z. Karzi

Dengan gaya tuturan langsung, akan sangat terlihat bagaimana kekhasan Sjachroedin berbicara: apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, dan terkadang meledak-ledak. Cukup memadai untuk memahami karakter Oedin, terutama selama memimpin Lampung.

Merampungkan Tugas Sejarah Memoar Komjen Pol (Purn) Drs H Sjachroedin ZP, SH. Satu Dekade Memimpin Pembangunan Provinsi Lampung (2004-2014) by Zulfikar Fuad Data buku:
Merampungkan Tugas Sejarah: Memoar Sjachroedin ZP (2004- 2014)
Zulfikar Fuad
Alifes Inc.-by PT Media Kisah Hidup, Jakarta
I, Januari 2014
xvi + 292 hlm.

MEMBACA, mendengar, dan menyaksikan sendiri sepak terjang seorang Sjachroedin selama satu dasawarsa memimpin Lampung memang terasa menggetarkan. Ya, memang butuh orang yang luar biasa dalam memimpin provinsi ujung pulau ini. Wajar jika ada ujaran yang menyebutkan, "Kalau bukan Bang Oedin..." Sungguh tak terbayang bagaimana jadinya Lampung.

Menjelang habisnya masa jabatannya, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. memberikan kenangan indah bagi masyarakat berupa sebuah memoar: Merampungkan Tugas Sejarah, Memoar Komjen Pol. (Purn.) Drs. H. Sjachroedin Z.P., S.H. Satu Dekade Memimpin Pembangunan Lampung (2004-2014).

Memoar ini ditulis Zulfikar Fuad, seorang penulis kisah hidup yang berpengalaman menulis biografi berbagai tokoh, seperti Susilo Bambang Yudhoyono, B.J. Habibie, Andi Achmad Sampurnajaya, dan Abdurrachman Sarbini.

Ini memang bukan buku pertama tentang Sjachroedin. Sebelumnya, Demimu Lampungku, Padamu Bhaktiku, Untukmu Indonesiaku yang ditulis Harun Muda Indrajaya dkk. dan Inspirator Tanpa Kultus (2013) karya Hesma Eryani. Boleh dibilang ini buku ketiga mengenai Sjachroedin.

Namun, berbeda dengan dua buku sebelumnya yang menggunakan pendekatan biografis dengan sudut pandang orang ketiga (dia, Sjachroedin), Merampungkan Tugas Sejarah ditulis dengan pendekatan memoar dengan sudut pandang orang pertama (saya).

Dengan gaya tuturan langsung, akan sangat terlihat bagaimana kekhasan Sjachroedin berbicara: apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, dan terkadang meledak-ledak. Sebenarnya sangat menarik mengkaji lebih dalam pidato-pidato Sjachroedin. Tapi, buku ini cukup memadai untuk memahami karakter Sjachroedin, terutama selama memimpin Lampung.

Di antara berbagai peristiwa sepanjang tahun 2004—2014, satu peristiwa yang sangat simbolis dan sangat bisa menjadi multitafsir dalam kehidupan Sjachroedin adalah manakala patung Gubernur kedua Lampung Zainal Abidin Pagaralam, di Kalianda, Lampung Selatan, digugat dan kemudian dirobohkan massa, 30 April 2012. Kita bisa baca reaksi Oedin di bawah judul bab Ketika Patung Ayah Saya Dirobohkan: "Terkait tudingan orang-orang itu, saya katakan mereka salah besar. Tidak ada pemborosan uang rakyat hanya karena pembangunan patung Zainal Abidin Pagaralam. Dan tidak ada kaitannya dengan feodalisme. Pembangunan patung Zainal Abidin Pagaralam adalah prakarsa masyarakat atas pertimbangan peran ayah saya yang cukup besar..." (hlm. 227)

Pembaca boleh membayangkan ekspresi dan bahasa tubuh Oedin saat mengemukakan kalimat-kalimat itu. Zulfikar Fuad, tahu benar Sjachroedin seorang pembicara yang sangat jujur, terbuka, dan ekspresif, sehingga ia pun memilih bentuk memoar untuk mendeskripsikan pola pikir Sjachroedin.

Pemenang Berbagai Kemelut

Setelah membaca sambutan Ketua MPR RI, Sidarto Danusubroto dan prolog dari Sjachroedin, memoar ini dibuka dengan bab Panggilan Tanah Kelahiran sampai tiga bab awal, sebelum masuk ke terpilih menjadi Gubernur Lampung dalam Pemilihan Gubernur Lampung ulang oleh DPRD Lampung pada 24 Mei 2004 (bab 4).

Sejak awal Reformasi, Provinsi Lampung memang menjadi wilayah yang luar biasa menarik dalam dinamika perpolitikan. Diboikot DPRD Lampung, sempat ada Gubernur Lampung semester pendek, Syamsurya Ryacudu, yang sebelumnya wakilnya, Sjachroedin akhirnya selalu tampil sebagai pemenang berbagai kemelut politik.

Sulit betapa sulit memahami mau ke mana Pak Gub Sjachroedin pada awal-awal pemerintahannya. Ini jawabannya: "Keyakinan itu dibangun di atas visi masa depan yang tergambar di benak saya. Ekonomi Lampung akan maju pesat, dan anak cucu kita akan hidup dengan kesejahteraan yang jauh lebih baik. Mereka menikmati beragam fasilitas modern yang tersedia, mulai jalan tol, bandara internasional, terminal agrobisnis, kota baru, taman rekreasi, dan sebagainya. Fasilitas yang membuat anak cucu kita hidup terasa penuh: sejahtera, bahagia, produktif, dan bermakna." (hlm. 43)

Sungguh sebuah ungkapan yang terasa mengharukan di balik gaya blak-blakan Sang Gubernur. Ya, memang dengan pandangan ini berdirilah dengan megah Menara Siger menandai gerbang Sumatera di Bakauheni, Lampung Selatan. Tidak berhenti sampai di situ ide-ide besar program pembangunan pun seperti peningkatan status internasional Bandara Radin Inten II dan menjadikan bandara ini embarkasi haji. Lalu, yang juga sudah mewujud adalah terminal agrobisnis di Lampung Selatan, rumah sakit keliling, dan Institut Teknologi Sumatera (Itera). Dua lagi insya Allah bisa terealisasi, yaitu kota baru dan Jembatan Selat Sunda.

Tiga puluh bab buku ini terasa asyik dibaca karena semua berasal dari ucapan langsung Sjachroedin mengenai apa yang dia pikirkan dan apa yang dia rasakan. Memoar ini dilengkapi pula dengan pesan, kesan, dan kenangan warga Lampung berikut album kenangan.

Juni tahun ini, masa jabatan Gubernur Lampung yang diamanahkan kepada Sjachroedin akan berakhir. Dan, Lampung akan sulit menemukan sosok pemimpin seperti Sjachroedin.

Ia pun berpesan kepada para pemuda, calon pemimpin masa depan: "... hendaklah kalian tidak pernah takut berbuat, karena satu-satunya yang paling buruk di dunia ini adalah tidak berbuat apa-apa untuk daerahnya dan bangsanya." (hlm. 245). Lalu, Sjacroedin berujar, "Saatnya saya istirahat." (hlm. 249). Tapi, agaknya setelah ini dinamika ekonomi-politik Bumi Ruwa Jurai tak akan membiarkan Sjachroedin berdiam diri. Sebagai seorang yang dinamis, bisa jadi Sjachroedin akan selalu bergerak. Soalnya Lampung tetap membutuhkan pemikirannnya.

Begitulah sejarah Lampung (2004—2014) dari satu sisi melalui penuturan Sjachroedin Z.P. Ya, tentu saja memoar ini harus dikonfirmasikan dengan apa fakta dan data Lampung hari ini.

Kita pun berharap selepas Sjachroedin, Tanoh Lada masih akan mengukir sejarah-sejarah baru. n

Udo Z. Karzi, pembaca buku

dimuat di Lampung Post, Minggu, 6 April 2014
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 14, 2014 05:23 Tags: biografi, sjachroedin-zp