Udo Z. Karzi's Blog, page 5
September 27, 2012
Mamak Kenut: Pubalahan dan Taturik Menukik
Oleh Asarpin
MAMAK Kenut, sebuah nama dalam khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung, yang kembali dipopulerkan Udo Z. Karzi lewat serangkaian kolomnya di rubrik Nuansa Lampung Post, kini telah dibukukan dengan judul Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012).
Apa boleh buat, Mamak Kenut pun menjelma seorang tokoh yang begitu melekat dengan si penulisnya. Sampai-sampai beberapa teman pembaca mengindentikkan Mamak Kenut dengan sosok Udo Karzi sendiri.
Mamak Kenut adalah tokoh yang usil, cerewet, dan nakal. Sentilan-sentilan, olok-oloknya, dan celotehnya yang sarkas terasa menyegarkan untuk sebuah kolom pendek dengan ruang yang amat terbatas. Antara nama yang kampungan dengan cita-rasa yang sekolahan dalam diri Mamak Kenut tampaknya berbaur.
Sosok Mamak Kenut tak mudah ditafsirkan karena posisi dan wataknya seringkali sulit ditangkap, walaupun kelampungan dan kekampungan dari nama itu amat kentara. Mamak Kenut memang bukan tokoh tunggal dalam kolom-kolom Udo, tetapi posisinya yang sentral tak bisa dimungkiri.
Posisi ini serupa tapi tak sama dengan Mister Rigen dalam kolom-kolom Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat tahun 1980-an atau Markisot dalam kolom-kolom Emha Ainun Nadjib. Walaupun Udo mencoba menghadirkan tokoh-tokohnya dengan posisi yang nyaris tetap dan selalu memiliki pasangan perwatakan, hemat saya Mamak Kenut adalah sebuah pokok dan tokoh sekaligus.
***
Mamak Kenut bisa jadi agak membosankan jika didekati secara tematik. Sebab, apa yang dihadirkan Udo di situ sudah pula dimamah-biak oleh media massa. Namun, yang menarik—dan menjadi daya tarik Mamak Kenut—adalah bagaimana persoalan-persoalan politik itu tercermin lewat penggunaan bahasa Udo yang khas.
Harus diakui, sebagian besar kolom dalam Mamak Kenut menggunakan bahasa campuran Lampung dan Indonesia. Bahkan, di sana-sini muncul pula bahasa Inggris. Pencampuran atau pembauran bahasa dalam Mamak Kenut bukan sekadar strategi kosong, memang barangkali diniatkan dengan sengaja agar tulisan terasa komunikatif dan lucu. Lewat bahasa Lampung Udo tampaknya sengaja mengomentari dunia Indonesia, dan lewat bahasa Indonesia ia tampak menemukan kerinduan akan bahasa kedua orang tuanya.
Apakah ini dapat disebut sebagai strategi melokalisasi bahasa Indonesia? Dengan kata lain, sebuah cara yang sengaja untuk me-Lampung-kan bahasa Indonesia sebagaimana banyak kolumnis-kolumnis Jawa yang sengaja tampaknya ingin men-Jawa-kan bahasa Indonesia? Bisa jadi karena ini kolom-kolom yang dihadirkan dengan bahasa orang kebanyakan dengan maksud menghibur.
Kalaulah Udo lebih total bereksprerimen dengan nakal, kolom-kolomnya lebih berpeluang untuk menampilkan hakikat dari falsafah wat-wat gawoh yang dipopulerkan Lampung Post. Kolom-kolom Udo hemat saya adalah jelmaan dari wat-wat gawoh yang berhasil dan mendalam.
Udo diam-diam memiliki ketangkasan berbahasa khas orang Lampung yang pandai nurik, pacak menghadirkan pubalahan. Udo kaya dengan pubalahan yang khas dan menukik, yang mengingatkan saya kepada beberapa kolom mendiang Mahbub Djunaidi, terutama dalam buku Kolom Demi Kolom.
Judul-judul seperti Politisi Olahraga, Biasa Saja, Bablas, Musyawarah-Mufakat, Orang Bersih, Kapasitas, Iqra, Sementara Itu, Satu Miliar adalah kolom-kolom tangguh yang berkelas. Bahasanya kadang langsung menukik. Kolom-kolom Udo terasa lebih kuat justru ketika ia bicara hal-hal yang tidak terkait langsung dengan isu aktual. Campuran bahasa Lampung dan bahasa Indonesia sengaja dipakai dengan maksud untuk mempertegas identitas atau mungkin menunjukkan sebuah peralihan budaya.
Udo berusaha menghadirkan kembali bahasa percakapan sehari-hari yang tidak birokratis. Udo bolak-balik menggunakan bahasa Indonesia bergaya Lampung dengan bahasa Lampung bergaya Indonesia. Dalam campuran linguistik ini, lalu lintas bahasa tampaknya berjalan sangat komunikatif. Inilah bahasa keakraban, bahasa kehidupan sehari-hari orang Lampung kini, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Melalui bahasa campuran, pembaca merasa lebih akrab dan tersentuh.
Dari segi linguistik, Udo saya kira telah memiliki bahasa pengucapan khas, yang bukan sekadar pengagum para pendahulunya, yang memiliki keberanian berucap yang konyol tapi penuh kejujuran sekaligus bijak. Orang yang telah memiliki bahasa dengan gayanya sendiri adalah orang yang tak mudah tergoda oleh rayuan tulisan orang lain yang bagus. Kalaupun sesekali ia menelikung, ciri khas dan karakternya akan dengan mudah dikenali oleh pembaca setianya.
Saya cemburu dengan orang yang telah memiliki bahasa pengucapan khusus, dalam arti telah memiliki gaya dan ciri khasnya sendiri. Soal model dan genre yang dipakai, itu urusan nomor sekian. Yang terpenting saya telah menemukan sesuatu yang menyegarkan tatkala membacanya.
Tak banyak orang yang menyukai "kolom-kolom yang tidak serius" tapi menghadirkan urusan yang begitu serius. Ketika masih mahasiswa, saya sama sekali tak menyukai kolom-kolom Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib, Abdurrahman Wahid, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, Zaim Saidi, dan Farid Gaban. Tapi belakangan saya "tergila-gila" dengan tulisan mereka lantaran itulah menurut saya hakikat dari sebuah tulisan esai yang sejati.
Udo selalu konsisten dengan gayanya yang ke-Lampung-Lampung-an. Saya kira ini modal awal bagi seorang penulis yang bersungguh-sungguh dan percaya diri. Dan Udo, adalah satu dari seribu orang Lampung yang mampu menyampaikan pubalahan dan taturik yang menukik dalam bentuk tulisan pendek. Orang yang pacak menyampaikan warahan atau pubalahan serta taturik secara lisan belum tentu tetap pacak ketika disampaikan dalam bentuk tulisan. Dan Udo telah melakukan itu, dan hasilnya adalah ratusan kolom yang layak untuk dijadikan bahan skripsi para calon sarjana di bidang humaniora.
Pilihan kata yang menerabas kaidah resmi dan dengan ringan mencomot kosakata daerah Lampung demi sebuah kisah yang hidup, sungguh amat terpuji. Pilihan kata ada yang begitu lucu. Ambil contoh misalnya kata "pelitisi". Kata ini tentu pelesetan dari politisi. Selain logatnya agak kelampungan, kata ini mengandung maksud ledekan atau sindiran. Udo memilki semangat bertutur secara lisan yang kadang unik, tetapi terkadang begitu polos, seperti “Gua Gegol Nanti”. Gerundel-gerundel dan pisuh-misuh-nya amat berbahaya dan bisa menimbulkan perkara yang panjang.
Barangkali dapat dimaklumi jika anak-anak muda kurang berselera dengan gaya Mamak Kenut, apalagi anak muda yang tak mengerti bahasa Lampung. Tapi jangan coba-coba meremehkan pembaca tua, apalagi dengan santai Anda yang berusaha membacakannya kepada kakek Anda, apalagi dia orang Lampung, spontan rawut wajahnya ceria dan terkadang tertawa terbahak-bahak (mungkin) tidak karena ceritanya lucu, tetapi pilihan nama tokoh-tokohnya begitu menyentuh perasaan kelampungan. n
Asarpin, Esais, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 September 2012
Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh

Apa boleh buat, Mamak Kenut pun menjelma seorang tokoh yang begitu melekat dengan si penulisnya. Sampai-sampai beberapa teman pembaca mengindentikkan Mamak Kenut dengan sosok Udo Karzi sendiri.
Mamak Kenut adalah tokoh yang usil, cerewet, dan nakal. Sentilan-sentilan, olok-oloknya, dan celotehnya yang sarkas terasa menyegarkan untuk sebuah kolom pendek dengan ruang yang amat terbatas. Antara nama yang kampungan dengan cita-rasa yang sekolahan dalam diri Mamak Kenut tampaknya berbaur.
Sosok Mamak Kenut tak mudah ditafsirkan karena posisi dan wataknya seringkali sulit ditangkap, walaupun kelampungan dan kekampungan dari nama itu amat kentara. Mamak Kenut memang bukan tokoh tunggal dalam kolom-kolom Udo, tetapi posisinya yang sentral tak bisa dimungkiri.
Posisi ini serupa tapi tak sama dengan Mister Rigen dalam kolom-kolom Umar Kayam di Kedaulatan Rakyat tahun 1980-an atau Markisot dalam kolom-kolom Emha Ainun Nadjib. Walaupun Udo mencoba menghadirkan tokoh-tokohnya dengan posisi yang nyaris tetap dan selalu memiliki pasangan perwatakan, hemat saya Mamak Kenut adalah sebuah pokok dan tokoh sekaligus.
***
Mamak Kenut bisa jadi agak membosankan jika didekati secara tematik. Sebab, apa yang dihadirkan Udo di situ sudah pula dimamah-biak oleh media massa. Namun, yang menarik—dan menjadi daya tarik Mamak Kenut—adalah bagaimana persoalan-persoalan politik itu tercermin lewat penggunaan bahasa Udo yang khas.
Harus diakui, sebagian besar kolom dalam Mamak Kenut menggunakan bahasa campuran Lampung dan Indonesia. Bahkan, di sana-sini muncul pula bahasa Inggris. Pencampuran atau pembauran bahasa dalam Mamak Kenut bukan sekadar strategi kosong, memang barangkali diniatkan dengan sengaja agar tulisan terasa komunikatif dan lucu. Lewat bahasa Lampung Udo tampaknya sengaja mengomentari dunia Indonesia, dan lewat bahasa Indonesia ia tampak menemukan kerinduan akan bahasa kedua orang tuanya.
Apakah ini dapat disebut sebagai strategi melokalisasi bahasa Indonesia? Dengan kata lain, sebuah cara yang sengaja untuk me-Lampung-kan bahasa Indonesia sebagaimana banyak kolumnis-kolumnis Jawa yang sengaja tampaknya ingin men-Jawa-kan bahasa Indonesia? Bisa jadi karena ini kolom-kolom yang dihadirkan dengan bahasa orang kebanyakan dengan maksud menghibur.
Kalaulah Udo lebih total bereksprerimen dengan nakal, kolom-kolomnya lebih berpeluang untuk menampilkan hakikat dari falsafah wat-wat gawoh yang dipopulerkan Lampung Post. Kolom-kolom Udo hemat saya adalah jelmaan dari wat-wat gawoh yang berhasil dan mendalam.
Udo diam-diam memiliki ketangkasan berbahasa khas orang Lampung yang pandai nurik, pacak menghadirkan pubalahan. Udo kaya dengan pubalahan yang khas dan menukik, yang mengingatkan saya kepada beberapa kolom mendiang Mahbub Djunaidi, terutama dalam buku Kolom Demi Kolom.
Judul-judul seperti Politisi Olahraga, Biasa Saja, Bablas, Musyawarah-Mufakat, Orang Bersih, Kapasitas, Iqra, Sementara Itu, Satu Miliar adalah kolom-kolom tangguh yang berkelas. Bahasanya kadang langsung menukik. Kolom-kolom Udo terasa lebih kuat justru ketika ia bicara hal-hal yang tidak terkait langsung dengan isu aktual. Campuran bahasa Lampung dan bahasa Indonesia sengaja dipakai dengan maksud untuk mempertegas identitas atau mungkin menunjukkan sebuah peralihan budaya.
Udo berusaha menghadirkan kembali bahasa percakapan sehari-hari yang tidak birokratis. Udo bolak-balik menggunakan bahasa Indonesia bergaya Lampung dengan bahasa Lampung bergaya Indonesia. Dalam campuran linguistik ini, lalu lintas bahasa tampaknya berjalan sangat komunikatif. Inilah bahasa keakraban, bahasa kehidupan sehari-hari orang Lampung kini, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Melalui bahasa campuran, pembaca merasa lebih akrab dan tersentuh.
Dari segi linguistik, Udo saya kira telah memiliki bahasa pengucapan khas, yang bukan sekadar pengagum para pendahulunya, yang memiliki keberanian berucap yang konyol tapi penuh kejujuran sekaligus bijak. Orang yang telah memiliki bahasa dengan gayanya sendiri adalah orang yang tak mudah tergoda oleh rayuan tulisan orang lain yang bagus. Kalaupun sesekali ia menelikung, ciri khas dan karakternya akan dengan mudah dikenali oleh pembaca setianya.
Saya cemburu dengan orang yang telah memiliki bahasa pengucapan khusus, dalam arti telah memiliki gaya dan ciri khasnya sendiri. Soal model dan genre yang dipakai, itu urusan nomor sekian. Yang terpenting saya telah menemukan sesuatu yang menyegarkan tatkala membacanya.
Tak banyak orang yang menyukai "kolom-kolom yang tidak serius" tapi menghadirkan urusan yang begitu serius. Ketika masih mahasiswa, saya sama sekali tak menyukai kolom-kolom Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib, Abdurrahman Wahid, Mohamad Sobary, M.A.W. Brouwer, Zaim Saidi, dan Farid Gaban. Tapi belakangan saya "tergila-gila" dengan tulisan mereka lantaran itulah menurut saya hakikat dari sebuah tulisan esai yang sejati.
Udo selalu konsisten dengan gayanya yang ke-Lampung-Lampung-an. Saya kira ini modal awal bagi seorang penulis yang bersungguh-sungguh dan percaya diri. Dan Udo, adalah satu dari seribu orang Lampung yang mampu menyampaikan pubalahan dan taturik yang menukik dalam bentuk tulisan pendek. Orang yang pacak menyampaikan warahan atau pubalahan serta taturik secara lisan belum tentu tetap pacak ketika disampaikan dalam bentuk tulisan. Dan Udo telah melakukan itu, dan hasilnya adalah ratusan kolom yang layak untuk dijadikan bahan skripsi para calon sarjana di bidang humaniora.
Pilihan kata yang menerabas kaidah resmi dan dengan ringan mencomot kosakata daerah Lampung demi sebuah kisah yang hidup, sungguh amat terpuji. Pilihan kata ada yang begitu lucu. Ambil contoh misalnya kata "pelitisi". Kata ini tentu pelesetan dari politisi. Selain logatnya agak kelampungan, kata ini mengandung maksud ledekan atau sindiran. Udo memilki semangat bertutur secara lisan yang kadang unik, tetapi terkadang begitu polos, seperti “Gua Gegol Nanti”. Gerundel-gerundel dan pisuh-misuh-nya amat berbahaya dan bisa menimbulkan perkara yang panjang.
Barangkali dapat dimaklumi jika anak-anak muda kurang berselera dengan gaya Mamak Kenut, apalagi anak muda yang tak mengerti bahasa Lampung. Tapi jangan coba-coba meremehkan pembaca tua, apalagi dengan santai Anda yang berusaha membacakannya kepada kakek Anda, apalagi dia orang Lampung, spontan rawut wajahnya ceria dan terkadang tertawa terbahak-bahak (mungkin) tidak karena ceritanya lucu, tetapi pilihan nama tokoh-tokohnya begitu menyentuh perasaan kelampungan. n
Asarpin, Esais, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 September 2012
Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh
Published on September 27, 2012 01:14
•
Tags:
asarpin, mamak-kenut
September 26, 2012
Menetaskan Telur di Ujung Tanduk
Oleh Hardi Hamzah
TRANSFORMASI sosial bagi seorang Udo Z. Karzi, tampaknya bukanlah sekadar fenomenal, melainkan ia lebih banyak memandangnya sebagai ruas kehidupan yang mengasyikkan.
Ini terlihat dalam kumpulan kolom (nuansa)-nya yang terbilang banyak dalam bukunya Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh (diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012). Dalam buku ini, Udo mengintrodusasi fenomena perubahan menjadi fenomenal dalam lakon para tokoh khas daerah Lampung Mamak Kenut dan konco-konconya. Dari sinilah kemudian mengalir nafas sosiopolitik yang ditekuk-tekuk oleh kesejarahan zaman kebebasan era reformasi.
Bahasanya yang tumpah dari baskom lakon dinamisasi sosial, politik, budaya, dan seabrek lagi kencan-kencan interaktif, mengingatkan saya dengan rubrik secangkir kopi yang diasuh Emha Ainun Nadjib dalam surat kabar Masa Kini Yogyakarta (1988), dan atau sketsa-sketsa lainnya yang telah dipaparkan Djadjat Sudradjat dalam pengantar buku ini.
Promosi Lampung
Udo Z. Karzi alias Zulkarnain Zubairi seakan memayungi budaya Lampung lewat para tokoh-tokoh yang ditawarkannya. Udo yang memenangkan hadiah Sastra Rancage 2008 lewat buku puisinya Mak Dawah Mak Debingi (2007), sungguh concerned dengan budaya Lampung, meskipun budaya Lampung terus-menerus tercabik-cabik oleh zamannya.
Oleh karena itu, buku setebal 226 halaman ini memberikan kontribusi untuk melestarikan budaya Lampung (meskipun Udo hanya melalui nama-nama tokoh ansich), yang pada gilirannya menjadi amat penting.
Pada titik inilah, kita merasakn betapa gigihnya Udo Z. Karzi memperjuangkan budaya Lampung melalui kesusastraan dan esai-esai. Ini setidaknya bila kita rasakan makin "gombalnya" orang Lampung sendiri yang kerap menjadikan tradisi dan budayanya secara temporer, bahkan mengaduk-aduknya dalam kiasan yang centang-perenang di TVRI dan merampoknya lewat lakon seremoni para birokrat.
Itulah sebabnya, budaya Lampung, kini bak telur di ujung tanduk yang siap diremas siapa saja dengan alasan idiom "Lampung itu Indonesia Mini", "Orang Lampung Sangat Terbuka" dan seterus dan seterusnya, yang tanpa terasa idiom ini justru menggeser setting sosial budaya Lampung kehilangan pakemnya.
Dus, Udo Z. Karzi jauh dari ingin meremas telur yang telah di ujung tanduk itu, tetapi ia berusaha menetaskannya agar beranak-pinak dan besar serta memberikan benefit tersendiri. Apalagi bila buku yang meskipun hanya kumpulan nuansa ini diterjemahkan dalam bahasa Lampung, barangkali saja telur yang telah di ujung tanduk itu benar-benar bisa menetas dan menjadi "anak ayam" kebudayaan Lampung yang makin mahal harganya.
Kumpulan tulisan yang terasa basah ini, menjual suatu strategi sendiri bagi jalan pintas untuk mempromosikan Lampung tidak dengan seremoni. Menguatnya celotehan para lakonnya menghidupkan api tradisi Lampung dalam dimensi kebudayaan.
Ya, Tampaknya Udo merasakan betul, bahwa kebudayaan Lampung, apa pun juga alasannya makin "dikeringkan" oleh birokrat. Bahkan, diperalat menjadi komoditi politik, sementara Udo Z. Karzi terus menerus mentransformasikannya, meskipun sekecil apa pun premis-premis yang disajikannya.
Di sini mengingatkan kita pada Trotzky yang memperpanjang napas Rusia melalui polemik kesusasteraan Rusia, yang kemudian dikalkulasikan ulang oleh St. Takdir Alisjahbana dan Syahrir dalam polemik kebudyaan pada paruhan kedua tahun 30-an.
Telur Kebudayaan
Kendati namanya juga celoteh Udo Z. Karzi, harus diakui bahwa kehendaknya untuk menyelamatkan budaya Lampung yang telah diujung tanduk itu sedemikian dinamis. Biarlah "telur kebudayaan" bergelayut, singkirkan tanduknya dan eramkan telurnya dalam sosok-sosok yang sangat ngelampung.
Yang pada gilirannya kita dapat menimang-nimang kebudayaan Lampung sesuai dengan pakemnya. Karena bisa saja para penguasa di daerah ini memecahkan telur kebudayaan itu, atau mengambil atau menggeser tanduk sampai telur kebudayaan pecah dalam genggaman antara pepadun dan saibatin.
Kalaulah ini terjadi dan hal ini sangat mungkin, buku ini dapat menjadi fundamen atau kandang bagi ayam yang kemudian dapat menemukan induknya tersendiri. Bahwa, Lampung tidak hanya berada pada dikotomi pepadun dan saibatin, tetapi Lampung juga punya tokoh-tokoh jenaka yang patut diperkenalkan.
Di sini, Udo mengkajinya dengan jernih melalui buku ini sehingga lagi-lagi kita berharap agar "telur kebudayaan" yang telah di ujung tanduk itu benar-benar menetaskan kesadaran sublimatif, semisal kita tidak lagi malu berbahasa Lampung, muatan lokal (mulok) di sekolah tidak hanya mengenalkan aksara, dan last but not least para birokrat "tidak merampok kesenian dan budaya Lampung" semena-mena.
Selamat Do, teruskan pergulatanmu untuk menembus rusuk terdalam menyadarkan kita semua, bahwa Lampung kalau ingin besar tidak hanya lewat kosmopolitan, tetapi lewat sebongkah harapan yang diwujudkan lewat karya-karya.
Hardi Hamzah, Peneliti Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Rabu, 18 Juli 2012

Ini terlihat dalam kumpulan kolom (nuansa)-nya yang terbilang banyak dalam bukunya Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh (diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, Juni 2012). Dalam buku ini, Udo mengintrodusasi fenomena perubahan menjadi fenomenal dalam lakon para tokoh khas daerah Lampung Mamak Kenut dan konco-konconya. Dari sinilah kemudian mengalir nafas sosiopolitik yang ditekuk-tekuk oleh kesejarahan zaman kebebasan era reformasi.
Bahasanya yang tumpah dari baskom lakon dinamisasi sosial, politik, budaya, dan seabrek lagi kencan-kencan interaktif, mengingatkan saya dengan rubrik secangkir kopi yang diasuh Emha Ainun Nadjib dalam surat kabar Masa Kini Yogyakarta (1988), dan atau sketsa-sketsa lainnya yang telah dipaparkan Djadjat Sudradjat dalam pengantar buku ini.
Promosi Lampung
Udo Z. Karzi alias Zulkarnain Zubairi seakan memayungi budaya Lampung lewat para tokoh-tokoh yang ditawarkannya. Udo yang memenangkan hadiah Sastra Rancage 2008 lewat buku puisinya Mak Dawah Mak Debingi (2007), sungguh concerned dengan budaya Lampung, meskipun budaya Lampung terus-menerus tercabik-cabik oleh zamannya.
Oleh karena itu, buku setebal 226 halaman ini memberikan kontribusi untuk melestarikan budaya Lampung (meskipun Udo hanya melalui nama-nama tokoh ansich), yang pada gilirannya menjadi amat penting.
Pada titik inilah, kita merasakn betapa gigihnya Udo Z. Karzi memperjuangkan budaya Lampung melalui kesusastraan dan esai-esai. Ini setidaknya bila kita rasakan makin "gombalnya" orang Lampung sendiri yang kerap menjadikan tradisi dan budayanya secara temporer, bahkan mengaduk-aduknya dalam kiasan yang centang-perenang di TVRI dan merampoknya lewat lakon seremoni para birokrat.
Itulah sebabnya, budaya Lampung, kini bak telur di ujung tanduk yang siap diremas siapa saja dengan alasan idiom "Lampung itu Indonesia Mini", "Orang Lampung Sangat Terbuka" dan seterus dan seterusnya, yang tanpa terasa idiom ini justru menggeser setting sosial budaya Lampung kehilangan pakemnya.
Dus, Udo Z. Karzi jauh dari ingin meremas telur yang telah di ujung tanduk itu, tetapi ia berusaha menetaskannya agar beranak-pinak dan besar serta memberikan benefit tersendiri. Apalagi bila buku yang meskipun hanya kumpulan nuansa ini diterjemahkan dalam bahasa Lampung, barangkali saja telur yang telah di ujung tanduk itu benar-benar bisa menetas dan menjadi "anak ayam" kebudayaan Lampung yang makin mahal harganya.
Kumpulan tulisan yang terasa basah ini, menjual suatu strategi sendiri bagi jalan pintas untuk mempromosikan Lampung tidak dengan seremoni. Menguatnya celotehan para lakonnya menghidupkan api tradisi Lampung dalam dimensi kebudayaan.
Ya, Tampaknya Udo merasakan betul, bahwa kebudayaan Lampung, apa pun juga alasannya makin "dikeringkan" oleh birokrat. Bahkan, diperalat menjadi komoditi politik, sementara Udo Z. Karzi terus menerus mentransformasikannya, meskipun sekecil apa pun premis-premis yang disajikannya.
Di sini mengingatkan kita pada Trotzky yang memperpanjang napas Rusia melalui polemik kesusasteraan Rusia, yang kemudian dikalkulasikan ulang oleh St. Takdir Alisjahbana dan Syahrir dalam polemik kebudyaan pada paruhan kedua tahun 30-an.
Telur Kebudayaan
Kendati namanya juga celoteh Udo Z. Karzi, harus diakui bahwa kehendaknya untuk menyelamatkan budaya Lampung yang telah diujung tanduk itu sedemikian dinamis. Biarlah "telur kebudayaan" bergelayut, singkirkan tanduknya dan eramkan telurnya dalam sosok-sosok yang sangat ngelampung.
Yang pada gilirannya kita dapat menimang-nimang kebudayaan Lampung sesuai dengan pakemnya. Karena bisa saja para penguasa di daerah ini memecahkan telur kebudayaan itu, atau mengambil atau menggeser tanduk sampai telur kebudayaan pecah dalam genggaman antara pepadun dan saibatin.
Kalaulah ini terjadi dan hal ini sangat mungkin, buku ini dapat menjadi fundamen atau kandang bagi ayam yang kemudian dapat menemukan induknya tersendiri. Bahwa, Lampung tidak hanya berada pada dikotomi pepadun dan saibatin, tetapi Lampung juga punya tokoh-tokoh jenaka yang patut diperkenalkan.
Di sini, Udo mengkajinya dengan jernih melalui buku ini sehingga lagi-lagi kita berharap agar "telur kebudayaan" yang telah di ujung tanduk itu benar-benar menetaskan kesadaran sublimatif, semisal kita tidak lagi malu berbahasa Lampung, muatan lokal (mulok) di sekolah tidak hanya mengenalkan aksara, dan last but not least para birokrat "tidak merampok kesenian dan budaya Lampung" semena-mena.
Selamat Do, teruskan pergulatanmu untuk menembus rusuk terdalam menyadarkan kita semua, bahwa Lampung kalau ingin besar tidak hanya lewat kosmopolitan, tetapi lewat sebongkah harapan yang diwujudkan lewat karya-karya.
Hardi Hamzah, Peneliti Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Rabu, 18 Juli 2012
Published on September 26, 2012 03:25
•
Tags:
mamak-kenut
Menghidupkan Kembali Mamak Kenut
Oleh Anastasia Gustiarini
SUATU malam, terjadi perbincangan seru antara Udo Z. Karzi dan beberapa orang tentang tradisi belangir yang baru saja digelar Pemprov Lampung dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).
Pembicaraan lebih didominasi Udo. Dia langsung mengkritik acara mandi bersama di Kali Akar, Telukbetung Utara, Bandar Lampung, ini. Ia menilai belangir yang digelar "dengan sponsor" itu sudah menyimpang dari esensi tradisi menyucikan diri menjelang Ramadan.
Dia pun mempertanyakan mengapa belangiran dicampur antara perempuan dan laki-laki, padahal bukan muhrim? Orang Lampung dahulu, mandi di kali, memisahkan diri antara perempuan dan laki-laki. Ada tempat sendiri-sendiri.
"Masak perempuan dimandikan laki-laki yang bukan muhrimnya, tradisi apa itu? Bulan puasa yang seharusnya menyucikan rohani justru diisi dengan acara yang jauh dari ajaran Islam yang memang lekat dengan orang Lampung," katanya.
Ocehan dan sindiran khas Udo mengalir begitu saja. Orang sekitarnya pun hanya mendengar. Barangkali jika sindiran tentang belangiran ditulis, sudah bisa menjadi satu esai untuk mengisi kolom di Lampung Post, tempatnya bekerja.
Udo Z. Karzi atau Zulkarnain Zubairi, memang menjadi salah satu jurnalis yang produktif menulis kolom. Dan, baru-baru ini pun dia melahirkan buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh yang berisi 101 kolom yang dimuat di Nuansa Lampung Post 2002—2004. Buku yang yang diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, ini diluncurkan di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Sabtu, 14 Juli lalu.
Lewat tokoh-tokoh dalam tulisannya, Udo menyampaikan kritik atas berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Lewat karakter Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, Udien, Radin Mak Iwoh, dan Paman Takur; sentilan, candaan, sindiran, hingga kritik yang sangat pedas dan menohok mengalir deras.
Apa yang disampaikan secara lisan oleh Udo, hampir sama dengan apa yang dia sampaikan melalui tulisan kolomnya. Begitulah gaya udo menyampaikan kegelisahan dan kekhawatirannya. Lisan dan tulisannya begitu padat dan hidup.
Seperti apa yang disampaikan Djadjat Sudradjat, membaca Mamak Kenut terasa kental jejak tradisi lisan (orality tradition). Dialog yang ringan dengan bahasa sehari-hari, kebiasaan celoteh yang memang hidup di bumi Sumatera khususnya dan nusantara umumnya.
Kolom Udo yang berisi dialog—terkadang monolog dan senandika—di antara Mamak Kenut dan beberapa rekannya yang lain memang kental dengan tradisi lisan Lampung. Obrolan ringan dan santai tentang permasalahan sosial-politik. "Udo ingin menghidupkan kembali tradisi lisan Lampung, warahan, yang sudah mulai dilupakan. Udo berupaya untuk menyelamatkan spirit warahan dalam kehidupan saat ini," tulis Djadjat dalam pengantarnya di buku ini.
Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Lampung sering diselipkan dalam beberapa dialog guna menunjukkan kekhasan obrolan ringan-ringan kelas bawah orang Lampung. Misalnya, induh mak pandai (entah tidak tahu), api maksudni (apa maksudnya). Sisipan ini untuk menguatkan karakter tokoh yang berdialog dan mengentalkan Lampung-nya.
Tokoh yang dipinjam Udo, Mamak Kenut, pun sebenarnya karakter yang sudah lama dikenal masyarakat Lampung. Tokoh ini seperti Kabayan di Jawa Barat atau Abu Nawas dalam kisah Seribu Satu Malam. Dia ingin menghidupkan kembali tokoh fiktif dari khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung.
Fachrudin M. Dani dalam blognya menulis, "Alhamdulillah Mamak Kenut telah diperkenalkan kembali oleh Udo Z. Karzi. Upaya ini sekaligus memopulerkan kembali tokoh khayalan ini."
Djadjat menyebut Udo sebagai generasi yang berkehendak menyelamatkan yang lokal untuk bisa bersanding dengan yang mondial. Karena memang ia punya hak.
Kolom Udo memang selalu kontekstual dengan kondisi pada saat tulisan itu dibuat. Peristiwa seputar pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, kasus korupsi, kondisi sosial politik di Lampung dan terkadang juga nasional menjadi bahan celoteh yang asyik di tangannya.
Kesan to the point, sangat kental dalam tulisan penyair yang pernah mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2008 ini. Kata-katanya langsung menohok dan tanpa basa-basi. Seperti, "Tapi kok siger? Siger itu bagaimana pun lambang feminisme. Tidak maskulin. Apa enggak ada yang netral yang bisa mewakili kita semua tanpa membedakan pria dan wanita?" (hlm. 187)
Atau, "Gaji anggota DPRD yang berjumlah 45 orang dinaikkan, sementara ratusan orang yang yang biasa hidup mandiri tanpa meminta jatah PAD dan DAU, PKL dan tukang becak harus ditertibkan." (hlm. 23)
Menurut budayawan Iwan Nurdaya-Djafar, kolom Udo bertolak dari semangat menyindir. Sebagai sindiran, dia tidak menggunakan perumpamaan, tetapi langsung menembak ke pokok masalah.
Seniman Iswadi Pratama menilai buku Udo merupakan bacaan ringan tapi memiliki daya usik. Maksudnya, buku ini mengusik pemikiran masyarakat untuk terus merefleksikan peristiwa di sekitar yang mengusik nurani serta akal sehat. Buku Mamak Kenut ini sebagai oasis yang dapat menyegarkan di tengah-tengah dinamika kehidupan sehari-hari. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu referensi bacaan masyarakat luas.
Iswadi menilai tulisan Udo mencoba menghidupkan kembali tradisi lisan Lampung yang selama ini kurang mendapat tempat. Budaya lisan yang berkata sesukanya dan apa adanya ini sudah mulai ditinggalkan dan sudah jarang ditemukan di Lampung. Padahal tradisi lisan ketika diangkat dalam sebuah pentas teater banyak mendapat apresiasi.
Kita patut berbangga masih ada beberapa orang yang masih mau berkarya dengan mengangkat khazanah lokal supaya kembali dikenal dan diperbincangkan. Mengenal tradisi sangat penting supaya tahu di mana kita berasal dan apa yang hendak kita lakukan.
Sedikit banyak karakter orang Lampung terekam dalam tingkah polah dan ucapan Mamak Kenut dkk. lewat pena Udo Z. Karzi. Maka, kenalilah Mamak Kenut biar tidak cenat-cenut. n
Anastasia Gustiarini, pembaca buku, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2012

Pembicaraan lebih didominasi Udo. Dia langsung mengkritik acara mandi bersama di Kali Akar, Telukbetung Utara, Bandar Lampung, ini. Ia menilai belangir yang digelar "dengan sponsor" itu sudah menyimpang dari esensi tradisi menyucikan diri menjelang Ramadan.
Dia pun mempertanyakan mengapa belangiran dicampur antara perempuan dan laki-laki, padahal bukan muhrim? Orang Lampung dahulu, mandi di kali, memisahkan diri antara perempuan dan laki-laki. Ada tempat sendiri-sendiri.
"Masak perempuan dimandikan laki-laki yang bukan muhrimnya, tradisi apa itu? Bulan puasa yang seharusnya menyucikan rohani justru diisi dengan acara yang jauh dari ajaran Islam yang memang lekat dengan orang Lampung," katanya.
Ocehan dan sindiran khas Udo mengalir begitu saja. Orang sekitarnya pun hanya mendengar. Barangkali jika sindiran tentang belangiran ditulis, sudah bisa menjadi satu esai untuk mengisi kolom di Lampung Post, tempatnya bekerja.
Udo Z. Karzi atau Zulkarnain Zubairi, memang menjadi salah satu jurnalis yang produktif menulis kolom. Dan, baru-baru ini pun dia melahirkan buku Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh yang berisi 101 kolom yang dimuat di Nuansa Lampung Post 2002—2004. Buku yang yang diterbitkan Indepth Publishing, Bandar Lampung, ini diluncurkan di Toko Buku Fajar Agung, Bandar Lampung, Sabtu, 14 Juli lalu.
Lewat tokoh-tokoh dalam tulisannya, Udo menyampaikan kritik atas berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Lewat karakter Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, Udien, Radin Mak Iwoh, dan Paman Takur; sentilan, candaan, sindiran, hingga kritik yang sangat pedas dan menohok mengalir deras.
Apa yang disampaikan secara lisan oleh Udo, hampir sama dengan apa yang dia sampaikan melalui tulisan kolomnya. Begitulah gaya udo menyampaikan kegelisahan dan kekhawatirannya. Lisan dan tulisannya begitu padat dan hidup.
Seperti apa yang disampaikan Djadjat Sudradjat, membaca Mamak Kenut terasa kental jejak tradisi lisan (orality tradition). Dialog yang ringan dengan bahasa sehari-hari, kebiasaan celoteh yang memang hidup di bumi Sumatera khususnya dan nusantara umumnya.
Kolom Udo yang berisi dialog—terkadang monolog dan senandika—di antara Mamak Kenut dan beberapa rekannya yang lain memang kental dengan tradisi lisan Lampung. Obrolan ringan dan santai tentang permasalahan sosial-politik. "Udo ingin menghidupkan kembali tradisi lisan Lampung, warahan, yang sudah mulai dilupakan. Udo berupaya untuk menyelamatkan spirit warahan dalam kehidupan saat ini," tulis Djadjat dalam pengantarnya di buku ini.
Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Lampung sering diselipkan dalam beberapa dialog guna menunjukkan kekhasan obrolan ringan-ringan kelas bawah orang Lampung. Misalnya, induh mak pandai (entah tidak tahu), api maksudni (apa maksudnya). Sisipan ini untuk menguatkan karakter tokoh yang berdialog dan mengentalkan Lampung-nya.
Tokoh yang dipinjam Udo, Mamak Kenut, pun sebenarnya karakter yang sudah lama dikenal masyarakat Lampung. Tokoh ini seperti Kabayan di Jawa Barat atau Abu Nawas dalam kisah Seribu Satu Malam. Dia ingin menghidupkan kembali tokoh fiktif dari khazanah budaya atau tradisi lisan Lampung.
Fachrudin M. Dani dalam blognya menulis, "Alhamdulillah Mamak Kenut telah diperkenalkan kembali oleh Udo Z. Karzi. Upaya ini sekaligus memopulerkan kembali tokoh khayalan ini."
Djadjat menyebut Udo sebagai generasi yang berkehendak menyelamatkan yang lokal untuk bisa bersanding dengan yang mondial. Karena memang ia punya hak.
Kolom Udo memang selalu kontekstual dengan kondisi pada saat tulisan itu dibuat. Peristiwa seputar pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, kasus korupsi, kondisi sosial politik di Lampung dan terkadang juga nasional menjadi bahan celoteh yang asyik di tangannya.
Kesan to the point, sangat kental dalam tulisan penyair yang pernah mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2008 ini. Kata-katanya langsung menohok dan tanpa basa-basi. Seperti, "Tapi kok siger? Siger itu bagaimana pun lambang feminisme. Tidak maskulin. Apa enggak ada yang netral yang bisa mewakili kita semua tanpa membedakan pria dan wanita?" (hlm. 187)
Atau, "Gaji anggota DPRD yang berjumlah 45 orang dinaikkan, sementara ratusan orang yang yang biasa hidup mandiri tanpa meminta jatah PAD dan DAU, PKL dan tukang becak harus ditertibkan." (hlm. 23)
Menurut budayawan Iwan Nurdaya-Djafar, kolom Udo bertolak dari semangat menyindir. Sebagai sindiran, dia tidak menggunakan perumpamaan, tetapi langsung menembak ke pokok masalah.
Seniman Iswadi Pratama menilai buku Udo merupakan bacaan ringan tapi memiliki daya usik. Maksudnya, buku ini mengusik pemikiran masyarakat untuk terus merefleksikan peristiwa di sekitar yang mengusik nurani serta akal sehat. Buku Mamak Kenut ini sebagai oasis yang dapat menyegarkan di tengah-tengah dinamika kehidupan sehari-hari. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu referensi bacaan masyarakat luas.
Iswadi menilai tulisan Udo mencoba menghidupkan kembali tradisi lisan Lampung yang selama ini kurang mendapat tempat. Budaya lisan yang berkata sesukanya dan apa adanya ini sudah mulai ditinggalkan dan sudah jarang ditemukan di Lampung. Padahal tradisi lisan ketika diangkat dalam sebuah pentas teater banyak mendapat apresiasi.
Kita patut berbangga masih ada beberapa orang yang masih mau berkarya dengan mengangkat khazanah lokal supaya kembali dikenal dan diperbincangkan. Mengenal tradisi sangat penting supaya tahu di mana kita berasal dan apa yang hendak kita lakukan.
Sedikit banyak karakter orang Lampung terekam dalam tingkah polah dan ucapan Mamak Kenut dkk. lewat pena Udo Z. Karzi. Maka, kenalilah Mamak Kenut biar tidak cenat-cenut. n
Anastasia Gustiarini, pembaca buku, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Juli 2012
Published on September 26, 2012 03:14
•
Tags:
mamak-kenut
July 22, 2012
Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh

Penulis: Udo Z. Karzi
Penerbit: Indepth Publishing, Bandar Lampung
Cetakan: I, Juni 2012
Tebal: xxii + 226 hlm
ISBN: 978-602-18479-0-9
Harga: Rp50.000
Mamak Kenut tengah merenung-renung tentang politik akomodasi. Apa ya kira-kira yang hendak dilakukan dalam waktu dekat?
Tiba-tiba, Mat Puhit datang mengeluh, "Payah. Aku kan diminta partisipasi. Aku pikir mau dikasih uang sakunya. Eh, panitia malah minta bantuan akomodasi. Gimana?"
O.... jadi akomodasi itu duit ya? Kalau kita, semisal rakyat miskin kelaparan itu berarti tidak akomodatif. Kalau kita, seumpama anak indekos belum menerima kiriman, itu berarti tidak akomodatif. Kalau kita, semacam peminta-minta tidak mendapat bagian, itu berarti tidak akomodatif. Kalau kita, ibarat perampok belum berhasil menguras kekayaan orang, itu berarti tidak akomodatif.
"Akomodatif sedikitlah," kata Udien yang tiba-tiba nongol minta ditraktir ngopi.
Setelah kopi diminum, "Nah, itu baru akomodatif."
Udo Z. Karzi, wartawan-penyair, penerima Hadiah Sastra Rancage 2008. Seorang generasi kini yang berkehendak “menyelamatkan” yang lokal untuk bisa bersanding dengan yang mondial. Udo memilih sebuah prosa yang hidup. Ia tidak memilih model kolom yang berat penuh refleksi, kontemplasi dengan referensi buku-buku. Bahasa Udo ringan, mengalir, lincah. Mengingatkan kita pada kolom Mahbub Djunaidi yang segar. (Djadjat Sudradjat, Wakil Pemimpin Umum Lampung Post)
Mamak Kenut, adalah sebuah cara pandang khas orang-orang yang berada di bawah pusaran persoalan sosial politik dan (juga) kemanusiaan yang berlangsung di daerah ini. Ia (Mamak Kenut) berbicara dengan cara yang lugas, langsung, dan sering naïf terhadap apa saja yang dirasa telah atau “akan’ merusak nilai-nilai . Ini adalah semacam refleksi khas masyarakat bawah, sebuah humor yang pahit, sebuah cara bertahan yang harus dipertahankan. (Iswadi Pratama, seniman)
Mamak Kenut adalah jelmaan King of Rumpi yang gampang tergoda nafsu untuk mencereweti urusan politik, olahraga, dangdut, hingga korupsi lewat gaya slebor kampung Negarabatin. Sesungguhnya Mamak Kenut “dipintarkan” oleh kenyataan yang bodoh dan “dicerdaskan” oleh kondisi yang bebal. Mamak Kenut adalah miniatur manusia bangsa ini yang dihujani kenyataan abnormal, sehingga nalar kian berdaya, tetapi tak becus membereskan apa pun selain menggerutu. (Binhad Nurrohmat, penyair)
Saya kagum pada kemampuan Udo Z. Karzi menulis. Dalam kurun waktu tiga tahun (2002-2004), setidaknya ia telah menulis 101 tulisan untuk kolom Nuansa Lampung Post. Rinciannya, 34 judul tahun 2002, 33 judul tahun 2003, dan 34 judul tahun 2004. Tulisannya, komprehensif dan teliti. Maka, saya dengan ini memberinya predikat "kritikus yang cermat". (K.H. M. Arief Mahya, intelektual muslim)
Di era keterbukaan dan reformasi yang sudah berlangsung 14 tahun ini, semua orang bebas berekspresi, berserikat, menyampaikan pendapat, bebas menulis, dan bebas berkumpul. Namun, dengan kebebasan kemudian tidak secara otomatis akan mewujudkan demokrasi yang beradaban dan membuahkan perbaikan negeri ini ke arah yang lebih baik. Bahkan, yang terjadi selama enam tahun terakhir ini adalah kehidupan demokrasi yang bermasalah.
Buku yang ada di tangan Anda sekarang adalah pencerminan realitas kehidupan demokrasi di negeri ini. Untuk mempersubur kualitas kehidupan demokrasi, karya semacam ini layak untuk dibaca semua oleh kalangan sebagai bagian dari pertanggungjawaban masyarakat atas problem yang dihadapi bangsa ini. (Syarief Makhya, pengamay politik Universitas Lampung Universitas Lampung)
Apa yang ditawarkan Mamak Kenut adalah humor kiranya. Namun, di balik lelucon ini ada masalah (baca: kebodohan) yang serius, yang bisa pembaca tertawa miris. Buku ini pantas dibaca orang-orang yang berselera tinggi. (Imelda, Pusat Penelitian Kamasyarakatan dan Kebudayaan LIPI)
Published on July 22, 2012 23:21
•
Tags:
mamak-kenut