Udo Z. Karzi's Blog, page 3
January 7, 2014
Tumi Mit Kota: Sastra, Kegembiraan, dan Penguasa

Bila Hardi mengatakan kosakata terpenggal sebagai metamorfosis bahasa yang membuat cerpen berjudul Tumi Mit Kota Kumpulan Cerita Buntak itu menjadi indah, penulis justru melihatnya secara semantik dalam pemahaman universalisme kesusasteraan daerah (dalam hal ini daerah Lampung).
Dari kumpulan cerita pendek itu, Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti sesungguhnya ingin memantapkan kekuatan bahasa Lampung yang lokalis. Dengan kata lain, melalui cerita pendek itu, Udo ingin berbicara bahasa Lampung itu banyak tebersit bahasa yang sederhana, tetapi bermakna, misalnya, di hlm. 47-51 yang bersubjudul Tebinta Nyak di Matamu.
Dalam cerita berjudul Aisah hlm. 3-7 yang ditulis oleh Elly Darmawanti, juga diproyeksikan suatu bahasa, yang menurut penulis kurang naratif, justru cenderung ingin memaksakan agar kita semua memahami bahasa Lampung, ada semacam kaidah paksaan, walaupun mungkin pula memaksakan ilmu itu justru baik adanya.
Ketika cerita pendek mampu melahirkan bahasa yang pembacanya dituntut memahami, inilah sesungguhnya cerpen karya dua penulis Lampung ini, dapat dilihat pada pemaparan jak penerbit. Di situ dipertegas kekuatan pisau analisis seorang Udo Z. Karzi dan Elly Darmawanti, lebih sebagai cerita bahasa Lampung yang menyambungkan estetika berkesusasteraan.
Kesusasteraan, inilah incaran setiap penulis fiksi, novel, cerpen, dan yang lainnya. Namun, kesusasteraan apa? Ini sesungguhnya yang harus dipertanyakan Bung Hardi Hamzah, hal mana penulis tidak temukan dalam opini Hardi tersebut. Bagi suatu cerita pendek, kesusasteraan tidak lain dan tidak bukan menyangkut kegembiraan pembaca sastra dalam bentuk apa pun. Kegembiraan inilah yang sering diharapkan oleh pembaca atau dalam dimensi sastra, lebih tepatnya keteduhan dan kesenangan.
Rasa dan estetika tersebut di ataslah yang penulis rasakan, betapa kumpulan cerita pendek Tumi Mit Kota mengandung makna yang longgar dan luas bagi kelampungan kita. Pernyataan atau pertanyaannya kemudian, mengapa deskripsi dalam kumpulan cerita pendek itu tidak berbahasa lewat tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, dalam arti ada semangat dialogis yang dihidupkan dalam cerita bahasa daerah.
Kalaupun ingin dinetralisasi minimalnya semangat diaologis dalam buku tersebut, penulis dapat mengerti karena mentransfer fiksi dalam bahasa daerah yang notabene di tempatnya sendiri secara universal tidak digunakan sehingga keterpautan estetika dengan kesusasteraan tidak begitu terasa. Sebab, ketidakmampuan kita memaknai bahasa Lampung secara esensial. Artinya, kosakata bahasa Lampung hanya dapat dirasakan indah bila penulis cerita mampu menghubungkan antara pikiran fiktif dan realitas keseharian dalam rangkaian cerita, apalagi ini cerita pendek.
Penulis, lebih menarik membandingkannya dengan tulisan pendek yang masih relevan, seperti karya-karya cerpen Putu Wijaya. Lewat judul cerpennya yang juga pendek-pendek, bila Putu menangkap sinyal kesusasteraan lebih mendominasi realitas masyarakat ketimbang khayal, inilah yang kemudian bagus ceritanya, tetapi tidak memunculkan estetika sastra. Inilah titik pembeda yang menonjol antara Putu Wijaya dan Udo Z. Karzi serta Elly Darmawanti, tentu saja bila kita setidaknya telah membaca sedikitnya dua kali cerita pendek ini.
Dalam cakupan yang lebih luas, penulis sangat sepakat kepada Bung Hardi Hamzah yang menitikberatkan, kemajuan kesusasteraan, bahkan kebudayaan Lampung harus dimengerti secara baik oleh penguasa. Bila tidak, sebanyak apa pun kesusasteraan Lampung yang kita rindukan bersama akan sia-sia saja. Cobalah pemerintah terkait mulai menyadari, apa yang dikatakan Bang Udin atau Kiay Oedin tentang Lampungku Bumiku, Lampungku Jiwaku.
Apabila banyak di antara seniman sepakat, kepedulian pemerintah sangat minimal dalam konteks apresiasi, tentu cerpen berjudul Tumi Mit Kota ini penulis anggap sebagai penggugah, baik penggugah untuk seniman maupun pencinta Lampung, apalagi bagi para penguasa yang berkompeten di bidangnya. n
Iman Silahi, Alumnus Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Sumber: Lampung Post, Selasa, 7 Januari 2013
December 19, 2013
Tumi Mit Kota dan Seterusnya

Fiksi realitas dimaksudkan untuk menggambarkan sentuhan kesenyawaan antara pembaca dan pengarangnya. Tentu akan lebih menarik lagi apabila sentuhan realitas itu diangkat dari kisah nyata. Begitulah agaknya Zulkarnain Zubairi atau yang lebih akrab dengan Udo Z. Karzi menampilkan cerpen ini ke publik bersama rekannya Elly Dharmawanti berjudul Tumi Mit Kota, Kumpulan Cerita Buntak.
Buku setebal 74 halaman terbitan Pustaka Labrak 2013 ini adalah buku cerita buntak (cerbun) kedua setelah Cerita-cerita jak Bandar Negeri Semuong karya Asarpin Aslami (2009). Selain kembali mengisi khazanah kesusasteraan Lampung, Udo dan rekannya memproyeksikan suatu persenyawaan ketokohan Tuminingsih (Tumi). Dengan bahasa yang naratif lewat realitas eksistensi fiktif-realitas tadi. Ada semacam kesamaan semangat ketika kita membaca buku tebalnya Sutan Takdir Alisyahbana, Grotta Azura, atau trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.
Kendati harap dicatat deskripsi itu tidak terhalusinasi secara sigap, selain karena setingnya yang berbeda, dialog dalam nuansa renungan seorang Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti telah melahirkan diskursus baru bagi horison kelampungan dalam bentuk cerita pendek. Ya, namanya juga cerita pendek. Pendek ceritanya, tetapi sarat dengan hakikat hidup bagi upaya menguatkan semangat kultural edukatif dalam koridor kesusasteraan Lampung khususnya.
Artinya, pola dasar yang dibangun dalam buku berjudul Tumi Mit Kota ini, telah mencoba menggarap kreativitas umum agar setidaknya kita tidak merasa lelah, apalagi cuek terhadap kesusasteraan Lampung. Pada titik ini, kita disadarkan tidak mudah memperkaya nalar dalam kosakata Lampung secara dinamis. Inilah hidup kesenyawaan yang sedapat-dapatnya menggoda batin kita untuk bereaksi keras, siapa mau mengolah kata untuk memaksakan diri merajut sintesis dari daerah yang multibahasa ini.
Itulah kemudian, bila kita tengok satu persatu, merenda narasi tidak semudah yang disangka bila taplak meja kesusasteraannya penuh dengan kronik penggal-penggal bahasa yang sukar dirajut untuk utuh. Mari kita tengok, semisal pada halaman 57—59 yang bertitel Cengkelang. Kekuatan bahasa lebih dirasionalisasikan pada gugusan yang terpencar, meskipun ini mengingatkan kita pada premis yang diintrodusi Karl May lewat Wineteou sekian abad lampau.
Spektrum berikutnya yang patut diaktualisasikan adalah kesadaran untuk Udo Z. Karzi menggelindingkan lompatan bahasa, yang membawa kita secara strategis mampu merefleksikan cerpen ini dengan nuansa, bahwa bahasa Lampung itu tidak mudah. Ketika nalar kita didinamisasi oleh penulisnya pada halaman 61—66 yang bertutur tentang Di Simpang Renglaya. Di Simpang Ranglaya yang berarti di simpang jalan terpaut refleksi dramaturgi yang berani, walaupun nyeleneh. Pun, anehnya nyeleneh itu menjadi term-term tersendiri atas nama perspektif romantisme.
Oleh karena itu, bila premis-premis cerita pendek yang berbahasa Lampung ini diaktualisasikan dan disosialisasikan dalam idiom yang penataan kosakata bahasanya lebih ngepop, personifikasi sosok yang akan ditonjolkan, dus akan memasuki wilayah pemikiran pembaca. Dalam konteks yang lebih luas, Udo Z. Karzi dan Elly Dharmawanti dalam cerpen ini kiranya akan membuka peluang agar jarak antara tokoh personal menjadi bagian dari semangat inpersonal (baca: pembaca buku ini).
Atmosfir apa yang kemudian akan kita gali dari cerpen yang terbilang pendek ini, mungkin sekali atmosfir itu dapat dibaca dari kelonggaran penulisnya untuk memberi peluang agar kita mampu membuka wilayah transformasi positif, bahasa Lampung bila telah masuk di wilayah cerita pendek, dus bisa lebih mudah dipahami, tanpa harus mengernyitkan dahi.
Ini karena cerita pendek yang kata penulisnya adalah kisah nyata, benar-benar mampu memetamorfosiskan antara kosakata dalam diskursus baru kesusasteraan populer, teristimewa bila kita kaitkan dengan betapa sedikitnya cerita pendek berbahasa Lampung yang notabene telah terampas oleh liberilasasi sastra dalam konteks deviasi (penyimpangan) semantik.
Lalu, mau tidak mau, seyogianya kita acungkan dulu jari telunjuk untuk Udo Z. Karzi dkk. yang selalu menggawangi tiang goal kelampungan dengan tidak jenuh-jenuhnya, sesudah itu barulah dua jempol kita acungkan kalau interesant kelampungan ini terus-menerus digaulinya secara lebih baik, melalui kekayaan khazanah kebudayaan secara sustainable.
Teruskan perjuanganmu Udo, sampai kita sebagai orang Lampung mampu tampil dalam bentuknya yang utuh dan diperhitungkan di tingkat nasional, regional dan internasional, meskipun kita selalu dihadapkan oleh problematika hegemoni kekuasaan yang cuek dan hanya menjadikan budaya Lampung sebagai instrumen, yang terasa nyeri di atas prospek yang tidak pernah dipetakan oleh penguasa di daerah ini. n
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Kamis, 19 Desember 2013
July 23, 2013
Menakar 'Lampungisme' Para Cagub

Ironisnya, ketika para guru (yang mengurus sertifikasi) itu komplain, dinas pendidikan kabupaten/ kota di Lampung (yang notabene harusnya memperjuangkan) malah menyarankan supaya guru pengaju sertifikasi bahasa Lampung, mengganti jenis sertifikasi yang mereka ajukan ke mata pelajaran lain. Aneh bin ajaib !
Bukan Cerita Baru
Cerita (kejadian) tentang betapa termarginalkannya guru bahasa Lampung (termasuk budaya dan sejarah Lampung) itu sendiri bukanlah cerita (kejadian) baru. Ia hanyalah cerita (kejadian) lama yang melejit dan terbarukan dalam plot berbeda.
Jika kita mau mengetahui cerita lama, tentang betapa tersisihkannya keberadaan bahasa Lampung, kebudayaan dan sejarah Lampung ini, kita bisa membaca literartur-literatur tentang kelampungan. Misalnya buku Feodalisme Modern (2013) yang ditulis oleh jurnalis dan esais Lampung Udo Z. Karzi. Banyak subbab dalam buku tersebut yang isinya membahas mengenai kebahasaan, kebudayaan dan kesejarahan Lampung secara mengkritisi.
Saya kutipkan beberapa di antaranya, pernyataan pakar sosiolinguistik UI Asim Gunarwan yang mengatakan bahasa Lampung bisa punah 75-100 tahun lagi. Tak kurang kritis, pengamat sastra A. Effendi Sanusi menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. Dikatakan olehnya, sastra lisan Lampung ternacam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka (lihat dalam subbab Unila Sebagai Pusat Kebudayaan).
Menyedihkan sekali! Dan membuat saya, Anda – kita bersama mengelus dada lantaran prihatin. Tapi hendak mengadu kepada siapa? Karena pemerintah daerah yang sekarang ini tidak bisa diandalkan. Pun, institusi atau lembaga yang sebenarnya berkewajiban pun seolah lepas tangan.
Pilkada dan Isu yang Terbuang
Tahun 2014 adalah tahun politik – kata Pak SBY. Tapi bagi kita-kita, ulun Lampung, tahun 2013-lah yang merupakan tahun politik. Pasalnya di tahun ini kita akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Berbagai media massa di Lampung, tiada hari tanpa absen memberitakan sepak terjang dari lima pasang cagub-cawagub yang dipastikan melaju dalam pilkada bulan September nanti.
Mulai dari cagub A yang dikabarkan didukung penuh oleh partai X, Y, Z; cagub partai B yang elektabilitasnya diyakini naik karena baru-baru ini petinggi pusat partainya melakukan kunjungan ke Lampung. Cagub partai C yang sibuk mengkampanyekan pentingnya gotong-royong, nilai-nilai kerakyatan dan sebagainya-dan sebagainya.
Tetapi, entah saya yang terlewat atau memang tidak diberitakan media massa – kenapa di antara lima pasang cagub-cawagub tersebut, tak pernah saya membaca atau mendengar inisiatif mereka dalam hal kebudayaan Lampung dan hal ihwal yang berkonotasi dengannya?
Di sini, muncul pertanyaan yang mempertanyakan seberapa besar “Lampungisme” mereka? Dan di sini pula, ingatan saya melayang kepada Joko Widodo alias Jokowi.
Pak Jokowi memang tidak ada sangkut pautnya dengan pilkada daerah Lampung. Namun dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah, beliau merupakan seorang kepala daerah panutan. Beliau yang asli Solo, sewaktu setahun lalu resmi dipilih dan dilantik menjadi Gubernur Jakarta punya komitmen lebih dari sekadar membenahi Kota DKI Jakarta dan bidang budaya termasuk salah satu dalam komitmennya itu. Paling segar dalam ingatan kita, ketika Jokowi bersikukuh mengembalikan perayaan Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair ke Gambir.
Bukan semata karena Gambir merupakan cikal bakal PRJ atau Jakarta Fair yang sekarang. Lebih penting lagi ialah mengembalikan esensi dari kegiatan tahunan tersebut, yakni sebagai hajatan warga Jakarta yang berlandaskan budaya Betawi. Jokowi juga mati-matian berusaha mempelajari bahasa Betawi untuk berpidato dalam HUT DKI Jakarta di bulan Juni lalu.
Melongok ke belakang, ketika beliau masih menjabat Walikota Solo – saya yakin akan membuat kita semakin berdecak kagum. Dalam majalah Intisari edisi Juni 2009 termuat sebuah artikel mengenai dirinya. Jokowi mengaku menjadi Wali Kota Solo karena terpeleset. Kalaupun ia akhirnya bersedia dicalonkan, itu lantaran keprihatinannya melihat kondisi Kota Surakarta.
Berlandaskan keprihatian inilah, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahannya – dirinya sangat mengedepankan kepentingan masyarakat dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Cara-cara instan ia jauhi. Tak jarang ia mengajak berdialog masyarakat yang akan terkena dampak pembangunan. Dengan begitu, masyarakat merasa dilindungi harkat dam martabatnya sebagai manusia.
Dalam bidang budaya, Jokowi berhasil membawa Surakarta menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang menjadi anggota organisasi kota-kota Warisan Dunia sejak tahun 2006.
Lampungisme Para Cagub
Tiada maksud mengerdilkan apa yang telah dilakukan oleh para pasangan cagub-cawagub di sini. Tetapi, sekali lagi – apakah salah mempertanyakan kepada Anda-anda yang mencalonkan diri dalam pilkada ini – seberapa besar Lampungisme yang Anda miliki? Belajar dari apa yang telah dilakukan Jokowi, seberapa kuat komitmen Anda dalam membangun Bumi Ruwa Jurai ini – khususnya yang berhubungan dengan kebudayaan dan turunannya?
Jika ditinjau dari sisi populer atau tidak populer, isu budaya dalam pilkada memang kalah pamor dibanding isu-isu yang lain seperti bagaimana meraih elektabilitas yang tinggi atau bagaimana supaya bisa meraih hati para pemilih. Terlebih (sebagaimana diberitakan baru-baru ini) jadwal pilkada Lampung yang rencananya digelar pada bulan September nanti, diundur menjadi tahun depan. Jelas pengumuman pengunduran jadwal pilkada ini membuat isu budaya semakin terpinggirkan. Para cagub-cawagub bisa dipastikan akan lebih berkonsentrasi menyusun ulang rencana pilkadanya. Namun percayalah, Lampung takkan melaju tanpa pondasi yang mantap apa bila (isu) budaya diabaikan.
Memperjuangkan keberadaan bahasa Lampung dalam kurikulum pendidikan yang baru, saya rasa bisa menjadi langkah awal dan salah satu indikator untuk menunjukkan kesungguhan sebagai “kepala daerah sejati”. Selanjutnya (mungkin) mewujudkan pendirian Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra untuk mengkaji lebih mendalam, kebudayaan dan hal ihwal kelampungan. Adakah (calon) yang berminat?
Karina Lin, Pengamat sosial budaya, tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 24 Juli 2013
June 24, 2013
Sadar Diri akan (Sejarah) Kelampungan

Parjiono dalam awal paragrafnya menulis demikian; membaca opini Andry Saputra (Lampost, 11/5/2013) berjudul Horison Lampung untuk Kaum Muda, sebelumnya opini Darojat Gustian Syafaat (Lampost, 24/4/2013) yang berjudul Menyegarkan (Kembali) Rumusan Kelampungan dan Hardi Hamzah (Lampost, 5/5/2013) berjudul Obsesi Punahnya Lampung?, tampaknya ketiga penulis tersebut belum secara komprehensif mengulas buku Udo Z. Karzi.
Saya tidak bermaksud membela ketiga penulis sebelumnya itu, tetapi rasanya tidak adil bila ketiga penulis tersebut dinilai tidak komprehensif terkait tulisan-tulisan mereka dalam rangka membahas isi buku Feodalisme Modern karya Udo Z. Karzi (Udo). Saya tidak memiliki buku Udo. Namun, saya pernah dikirimkan draft buku tersebut untuk dimintakan kritik dan saran dan draft tersebut telah saya baca.
Isi buku tersebut memang cespleng, terdiri dari beberapa bagian yang masih terbagi lagi ke dalam bab-bab. Walau di antara bab-bab tersebut menjalin satu kesatuan yang berinti pada kelampungan, saya kira akan menjadi suatu bahasan yang amat sangat panjang apabila hendak dikritisi atau dibahas secara sangat komprehensif.
Jadi, dalam pandangan saya, penelaahan yang telah dilakukan oleh ketiga penulis sebelumnya sudah merupakan penelaahan yang komprehensif. Masing-masing dari ketiga penulis itu punya cara pandang yang berbeda-beda dan justru di situlah letak nilai plus-nya. Karena dengan cara pandang yang berbeda-beda yang jika selanjutnya digabungkan, akan menjadi saling melengkapi.
Saya sendiri dalam tulisan ini meminati hal yang sama dengan Parjiono. Fokus kepada bab Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung dan Dicari: Rektor Bervisi Budaya.
Berharap pada Unila?
“Saya hanya mengherankan bagaimana mungkin Unila menjadi terbaik dan mengglobal tetapi melupakan diri sendiri (identitas diri)? Kebudayaan Lampung! Bukankah sebagai pusat kebudayaan, Unila (kependekan dari Universitas Lampung) mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan keilmuan tentang Lampung dan kelampungan,” demikian tulis Udo dalam sebuah paragraf dalam judul Dicari: Rektor Bervisi Budaya!
Saya sengaja mengutip paragraf ini karena saya memiliki pengalaman dan perasaan yang sama dengan sang penulis buku. Jauh sebelum Udo menuliskan hal ini (Unila sebagai pusat kebudayaan Lampung dan perlunya Unila memiliki Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Sastra atau fakultas filsafat), sebenarnya ide ini telah pernah diajukan. Ini saya ketahui sewaktu saya berbincang-bincang dengan seorang dosen saya yang mengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah Unila sekira empat atau lima tahun lalu.
Kala itu, saya sharing dengannya mengenai pendirian Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra di Unila, sehingga dalam program studi, Ilmu Sejarah terpisah dari FKIP. Ilmu sejarah berdiri sebagai ilmu sejarah murni di Unila. Begitu pun dengan program studi budaya Lampung. Lantas dosen saya yang berlatar belakang bidang keilmuan antropologi ini mengatakan bahwa ide tersebut sudah pernah disampaikan kepada rektor yang dulu (tahun berapa saya lupa, yang jelas bukan di masa Rektor Muhajir Utomo).
Sayangnya pihak rektor tidak menanggapi. Sayangnya lagi, rektor yang sekarang tidak belajar dari pengalaman rektor yang dulu. Kalau demikian, artinya janganlah kita berharap lagi bahwa Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Sastra atau Fakultas Filsafat akan ada di Unila. Terlebih menyematkan label kepada Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung!
Tolak ukurnya sederhana. Sekali penolakan dan sekali pengulangan penolakan telah cukup membuktikan bila Unila sebagai universitas kebanggaan masyarakat Lampung tidak pantas menjadi Pusat Kebudayaan Lampung.
Mencari Alternatif Lain
Kalau demikian, jelaslah bahwa ini perlu dan memerlukan mencari alternatif lain. Sebuah institusi yang dapat dijadikan pijakan sebagai Pusat Kebudayaan Lampung. Dalam buku Feodalisme Modern, Udo menyebutkan beberapa lembaga yang bergelut di bidang kebudayaan Lampung. Seperti MPAL (dulu bernama LMAL), DKL, dan lain-lain.
Namun, lembaga-lembaga tersebut sampai saat ini belum menampakkan usaha nyata. Tak salah bila keberadaan lembaga-lembaga tersebut hanyalah sebagai seremonial dan status belaka. Dalam kaitannya dengan ini, saya memiliki alternatif lain. Menurut saya adalah Museum Lampung dan Badan Kearsipan Daerah Lampung bisa dijadikan alternatif tersebut.
Keberadaan Museum Lampung selama ini memang baru sebatas kolektor dan benda arkeolgi, kesejarahan dan budaya. Peran itu bisa ditingkatkan dan seharusnya lebih mudah karena institusi ini lingkupnya lebih kecil daripada universitas.
Sedangkan badan Kearsipan Daerah pun serupa. Saat ini keberadaan institusi yang satu ini digabung dengan Perpustakaan Daerah Lampung. Saya yakin pasti banyak di antara kita yang tidak mengetahui jika Lampung memiliki Badan Kearsipan Daerah. Maklum memang, karena kiprah instirusi yang satu ini pun sangat minim dan bahkan nihil.
Mengutip http://anri.go.id, disebutkan visi dan misi dari sebuah institusi kearsipan yakni bervisi menjadikan arsip sebagai simpul pemersatu bangsa. Sementara visinya dijabarkan dalam lima poin yang intinya ialah memberdayakan asrsip seoptimal mungkin sebagai tulang punggung manajemen pemerintahan dan pembangunan; sebagai memori kolektif dan jati diri bangsa dalam kerangka NKRI dan untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan.
Seandainya institusi ini aktif, pastilah akan menjadi suatu sumbangsih yang berharga. Karena sumber-sumber sejarah dan budaya kebanyakan ditelusui dari arsip-arsip.
Kesadaran Kedaerahan
Setelah dirunut, nyata sebenarnya Lampung memiliki institusi yang cukup untuk menggali kesejarahan dan kebudayaan mereka. Persoalan paling utama ialah minimnya kesadaran dan peminatan akan hal ini. Saya menduga mengapa kesadaran dan peminatan ini minim lantaran penilaian “tiada” kemanfaatan yang didapat.
Padahal, bila kesejarahan Lampung sungguh-sungguh digali, manfaat yang didapat tak hanya berdampak pada perkembangan budaya dan kekokohan identitas saja, tetapi juga berdampak pada yang lain. Salah satunya (yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh kita) ialah sejarah (keberadaan) etnis lain yang ada di Lampung (ingat, Lampung dijuluki sebagai Indonesia mini). Sehingga pada saat terjadi konflik atau hal-hal lain yang bernuansa etnisitas, melalui penelusuran sejarah (dan budaya) bisa ditemukan solusi yang baik dan Provinsi Lampung pun bisa terus berkembang dengan pondasi yang mantap. n
Karina Lin, alumnus Prodi Sejarah FKIP Unila
Sumber: Lampung Post, Senin, 24 Juni 2013
June 11, 2013
Lampung Pisau Tajam dalam Sarung

Fenomena itu tentu saja menarik. Kehausan terhadap pembangunan Lampung dalam arti yang sebenarnya derapnya semakin kencang, terlebih lagi ekslarasi ini datangnya dari generasi muda. Penulis katakan menarik karena polemik ini hadir di tengah tahun politik, tahun tempat tradisi, kebudayaan, dan masyarakat semata-mata menjadi komoditas politik.
Eksploitasi dan kooptasi telah menjadi normal bagi para elite politik, hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan kita sebgai masyarakat yang peduli terhadap tumbuh kembangnya tradisi dan budaya Lampung, karena dengan eksploitasi dan kooptasi tersebut, runtuhlah nilai-nilai sakral dari para pemuka adat. Sebab itu, wajar bila buku yang berkehendak mengembangkan dan membangun Lampung diramaikan.
Di satu sisi ini menunjukkan fenomena kepedulian, di sisi lain ingin memberi tahu kepada khalayak sekalian bahwa kita sedang berada pada jurang kehancuran yang tidak bertepi. Artinya, kita segera punah di tengah politik lokal, feodalisme, dan di tengah majunya provinsi lain.
Struktural berarti respons birokrat dan fungsional berarti respons para pemikir dan pelaku seni, bagaimana mereka membesarkan Lampung. Dengan adanya buku Udo yang banyak mengundang polemik itu, saya menganggap Udo Z. Karzi telah mengayunkan "pedang emas kesejarahan dan kebudayaan", yang pada gilirannya kelak kibasan pedang emas tersebut dapat menusuk hati nurani kita, sehingga bersikap serius memahami hakikat keberadaan Lampung dengan berbagai kompleksitasnya.
Dengan demikian, apakah kita akan membiarkan kibasan "pedang emas" itu ke sana-ke mari dan menikam hakikat empati kita, lalu kita tidak peduli? Apa yang ditulis di harian ini oleh Darojat Gustian Syafaat, Hardi Hamzah, Andry Saputra, Novan Saliwa, dan Parjiono bukan sekadar teguran halus dan antisipasi, sebagaimana yang singgung di muka tulisan ini, tetapi rekan-rekan sekalian itu mencambuk kita ke arah yang berorientasi, baik bagi kehidupan masyarakat sebagai komunitas yang masih membanggakan nilai-nilai sakral di tengah nilai-nilai profane para elite politik, kampus, dan enterprenure yang masih minim sekali kepeduliannya.
'Pedang Emas'
Bagi saya tentang buku Feodalisme Modern Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan karya Udo Z. Karzi tersebut selain sebagai "pedang emas", ia juga mentransformasikan perbandingan-perbandingan strategi agar kita memahami ke arah mana "pedang emas" itu akan menikam-nikam hakikat ke-Lampungan kita.
Dengan menggunakan catatan kaki yang banyak, Udo Z. Karzi bukan saja mempertegas komparasi sebagai penajam pisau analisisnya, melainkan tampaknya ia akan mengaktualisasikan keberadaan Lampung pada proporsi yang terhormat, meskipun kadang-kadang footnote yang ada sedikit mengganggu narasinya buku ini. Namun, polemik yang berkepanjangan dan memang sepatutnya demikian juga lahir dari banyaknya buku yang dibaca Udo sebagai pembanding dan standar baku untuk menajamkan pisau analisis.
Itulah sebabnya Feodalisme Modern ini dapat ditinjau, diasumsikan, dikaji, dan dianalisis dari sudut pandang berbagai aspek. Yang saya maksud Lampung bagai "pisau tajam dalam sarung" juga antara lain kurangnya apresiasi komunitas tertentu untuk menggunakan pisau itu sebagai alat analisis, misalnya saja dari aspek mitologi kesejarahan, Lampung juga punya dewa-dewa, seperti 'Dewa Duguk', 'Dewa Taon', dan lain-lain yang komposisinya hampir sama dengan mitologi pewayangan atau dewa-dewa dalam Hindu.
Ini tentu saja kita tidak harus mereduksi spirit agamais (Islam) yang juga termuat dalam agem-agem lima pasal yang kita kenal, seperti fiil pesenggiri, nengah nyapur, nemui nyimah, bejuluk beadok, dan sakai sambaian, bahkan bisa ditambah satu lagi ngejuk ngakuk.
Analisis sementara bahwa buku Udo Z. Karzi itu merangsang lahirnya istilah "Lampung bagaikan pisau tajam dalam sarung" hanyalah sedikit dari analisis yang telah dirambah oleh teman-teman sebelumnya. Tentu masih banyak asumsi lain tentang pokok bahasan yang bisa ditinjau dari buku ini karena bagi saya yang terpenting bukan sekadar membaca buku ini, melainkan lebih jauh lagi, apakah kibasan pedang emas yang akan menusuk empati kita telah mampu melahirkan empati baru bagi Lampung secara universal sehingga Lampung tidak sekadar pisau tajam yang dalam sarung.
M. Benyamin E. Djauhar, Pekerja sosial, peminat masalah budaya
Sumber: Lampung Post, Senin, 10 Juni 2013
May 29, 2013
Mengkaji Lampung secara Komprehensif

Mengapa saya katakan belum komprehensif, karena banyak kajian yang menggigit dalam buku itu secara esensial belum terbahas. Misalnya saja pada halaman 22 dan 23, Udo Z. Karzi menulis dengan subjudul Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung. Di situ dituturkan Udo tentang kekhawatirannya terhadap kepunahan bahasa Lampung.
Dengan mengutip pakar sosiolinguistik UI Asim Gunarwan, bahasa Lampung bisa punah 75 atau 100 tahun lagi. Dengan kerisauan itu, Udo juga mengutip beberapa pakar, seperti pengamat sastra Lampung A. Effendi Sanusi dan "Rajo Cetik" Syapril Yamin, yang juga mengeluhkan kesirnaan Lampung.
Dari banyaknya catatan kaki, jelas Udo Z. Karzi ingin meyakinkan kita semua secara komprehensif, bagaimana kita wajib sama-sama berontak untuk membahas Lampung secara komprehensif. Bahkan, tegas-tegas Udo mengatakan kita jangan sebatas cawa-cawa. Ia tidak menampik ada juga yang konkret dengan menekuni tari, musik, sastra, dan juga berbagai bentuk tradisi kelisanan, tetapi secara ironis dan kecewa, Udo mengatakan jangan-jangan orang Lampung itu "cuma pintar ngomong doang".
Dalam khazanah yang lebih serius lagi, ketiga penulis terdahulu juga tidak mengkaji bagaimana Udo dengan banyaknya footnote, Udo mengutip berbagai tapak tilas dengan kritis pada halaman 41 dan 42, yakni apa yang dilakukan oleh Fachrudin dan A. Ichlas Syukuri, maka Udo kemudian menganalisis dengan cermat, dengan mengatakan saya pikir bukti-bukti sejarah seperti itu lebih menarik untuk diteliti lebih lanjut ketimbang berdebat soal yang memang masih debatable.
Dengan kritis, Udo berasumsi -- sepakat dengan A. Ichlas Syukuri --bahwa untuk mencari jejak kebudayaan ulun Lampung, bukan dengan mencari bukti atau menapak tilas semacam ke Kesultanan Kecirebonan. Sebab, masih ujar Udo, kebudayaan Lampung menjadi semakin termarginal dan semakin tidak memiliki makna apa apa.
Pada titik inilah, jiwa pendobrak Udo tidak dikaji oleh tiga penulis sebelumnya (Darojat Gustian Syafaat, Hardi Hamzah, dan Andry Saputra). Bahkan, secara lebih revolusioner pada halaman 115-116, Udo melihat dan mengkaji berdasarkan pengalamannya, melalui bacaan sebuah artikel Abdullah Khusaeri di rubrik buku berjudul Membangun Melayu dengan Buku (Padang Ekspres, 30 November 209). Isinya tentang sebuah pesta, bukan pesta bir atau hura hura, melainkan pesta buku.
Dalam konteks yang sama revolusionernya, Udo juga mengungkap rentang Malam Anugerah Sagang yang digelar Yayasan Sagang di hotel Ibis Pekanbaru. Udo melihat pentingnya acara itu, pun juga menguyah-uyah buku yang mendapat anugerah kalau Udo boleh jadi bersemangat di tengah kekecewaannya, mengingat implisit Udo melihat betapa sepinya masyarakat Lampung kalau sudah bicara buku. Di sini muncul nilai baru dan semangat yang serius dari Udo agar kita mampu membangun Lampung dengan buku.
Butir-butir revolusioner untuk menggugah cakrawala kita dalam upaya menyikapi eksistensi Lampung telah disemai sedemikian rupa oleh Udo. Kehadiran buku yang kaya catatan kaki (baca: sarat bacaan) menjadi titik interaksi signifikan bagi kita yang berkehendak untuk pengembangan budaya Lampung, tentu ini kalau kita mau. Saya tidak ingin mengobok-obok birokrasi yang berkompeten untuk mengantisipasi dinamika yang muncul dalam polemik tentang buku ini meski memang tidak tertolakkan. Dengan kata lain, political will atau good will.
Khazanah kekayaan tradisi, budaya, kesejarahan, bahkan ekonomi, sosial, dan politik Lampung harus digali. Aksentuasi saya lebih berusaha agar inilah atau lebih tepatnya inilah buku jalan pembuka bagi kita semua yang dituntut mempunyai kewajiban moral dan bertanggung jawab, mengingat kelampungan saat ini hanya dikembangkan lewat eksebisi material. Itulah sebabnya kita harus berani bersikap agar Lampung tidak sirna.
Apa kita tidak malu, dalam setiap festival lagu-lagu daerah di tingkat nasional, lagu Lampung jarang sekali dilombakan, ini akibat bangganya kita dengan instrumentalia pop yang menggeser gitar klasik Lampung. Contoh ini adalah suatu bagian kecil saja, bahwa demi mempopkan Lampung, tanpa sadar kita telah melacurkannya di pasaran bebas dan tidak juga komersial alias laku.
Cita-cita dan hasrat besar Udo Z. Karzi hendaknya bukan dianggap sebagai suatu pentas polemik yang berhenti sampai pada kepuasan batin tanpa arti serta menghiasinya hanya dengan ornamen gajah, siger sebagai tempelan tanpa makna.
Walaupun hal ini juga penting, hendaknya kepentingan yang juga penuh arti itu dipenuhi pula oleh saratnya makna. Maka, kita patut menjawab pertanyaan besar: "Sebagai orang Lampung, pemaknaan apa yang tekah kita torehkan secara komprehensif, sehingga Lampungologi benar-benar dapat terwujud?"
Parjiono, peminat masalah sosial budaya tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 Mei 2013
May 15, 2013
Advokat Kebudayaan Lampung

Seorang advokat memiliki kecenderungan berdebat dan mengkritik. Bagi mereka, perdebatan adalah ajang unjuk kebolehan argumentasi, unjuk keilmiahan teori, dan ajang memojokkan lawan yang dianggap berbeda dan tak sepaham. Sementara kritik bagi mereka menjadi semacam keharusan untuk membangun wacana kritis di bidang kebudayaan.
Beberapa ciri di atas tentu saja tidak baku, mungkin juga keliru. Sebab kenyataannya, para advokat kebudayaan sering juga bersikap terbuka, bahkan amat terbuka dalam memandang persoalan. Udo Z. Karzi, misalnya, adalah sosok advokat budaya Lampung yang memiliki kecenderungan itu. Setiap esainya tentang kebudayaan Lampung megandung semangat seorang pengacara, dimana kebudayaan Lampung—dalam arti luas—adalah kliennya, yang ia perjuangkan dengan gigih agar mendapat tempat yang terhormat dan sejejar dengan kebudayaan lain di masyarakat.
Dalam buku terbarunya, Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (Indepth Publishing, April 2013), Udo memperlihatkan dirinya sebagai seorang advokat budaya Lampung yang sering ngotot mempertahankan argumen. Tetapi uniknya, Udo tetap bersedia membuka diri dan memahami pihak yang berseberangan pendapat dengannya.
Bongkar Feodalisme
Melalui esai-esainya, Udo berusaha membongkar sisa-sisa feodalisme lama dalam tradisi lisan Lampung dengan menghadirkan kebudayaan tulis yang dialogis. Ketika kelisanan budaya itu menjelma kelisan baru dalam bentuk pemberian gelar adat (adok) yang syarat politik, atau semacam politisasi budaya oleh para pejabat, Udo menangkapnya sebagai bentuk feodalisme modern. Pemberian gelar tak lain adalah pengukuhan atas kekuasaan, yang mewariskan sistem feodalisme masa lampau.
Pembelaan Udo terhadap budaya Lampung dan kelampungan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, tidak sampai membuat tulisan-tulisannya menjadi apologetik dan eksklusif. Ia menghadirkan Lampung dan kelampungan melalui apa yang disebutnya sebagai “wacana kritis”.
Pada bagian mana Udo mengeksplorasi pendekatan “budaya wacana kritis” dalam mengkaji kebudayaan Lampung dalam Feodalisme Modern, tentu amat sulit mengindentifikasinya. Sebab apa yang ia tulis adalah sebuah esai kebudayaan yang longgar sifatnya, bukan traktat ilmiah dengan argumentasi dan pendekatan yang ketat.
Semangat yang melatari kehadiran esai-esai Udo adalah semangat pengenalan dan pembelaan; serupa tapi tak sama dengan semangat seorang advokat. Namun, ciri-ciri keadvokatan sebagaimana saya sebutkan di muka, tampaknya tertutup oleh semangat kritisisme sejarah yang terlampau membubung dan melambung.
Beberapa esai masih mengandung semangat primordial, tetapi ia kemudian sadar bahwa lingkungan tempatnya berkarya adalah dunia yang sangat plural sehingga mempertahankan hal itu mengandung bahaya dan risiko tersendiri; terutama jika ditarik dalam konteks wacana multikulturalisme.
Dalam menyiasati hal itu, Udo melakukan dua hal yang cukup strategis; ke dalam ia berusaha membela argumennya tentang budaya Lampung dan kelampungan; keluar ia tak segan-segan melakukan kritik dan oto-kritik terhadap lawan bicaranya yang dianggap tak sepaham dan tak sejalan.
Beberapa esai dalam buku ini merupakan tanggapan penulisnya terhadap tulisan orang lain, yang sebelumnya memang pernah dimuat di harian tempatnya bekerja. Dalam buku ini sangat jarang ditemukan esai yang bersifat reflektif, sehingga banyak esai yang terasa tegas tapi tidak terlampau ketat dari segi linguistik. n
Asarpin, esais dan pekerja sosial
Sumber: Lampung Post, Senin, 13 Mei 2013
May 11, 2013
Horizon Lampung untuk Kaum Muda

Dua tulisan yang membahas buku Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan karya Udo Z. Karzi (diterbitkan Indepth Publishing, 2013), membuat saya merenung apakah kita sedang berada di pengujung kekuatan atau kelemahan.
Kalau kita berada pengujung kelemahan, bisa saja kita skeptis, tetapi penulis percaya bahwa sebagai manusia yang visioner, hadirnya buku itu, sesungguhnya kita sedang berada di antara kelemahan dan kekuatan. Di balik kelemahan, pastinya kita mengharapkan muncul kekuatan. Dengan kata lain, ada nilai-nilai hikiki kebudayaan antara siklus kelemahan dan kekuatan.
Kembali ke buku Udo Z. Karzi, buku ini sebenarnya enak dibaca karena diselipkan kata-kata yang rileks sehingga memudahkan kita untuk memahami, apa maunya sang penulis. Namun, sayangnya, ketika kita membaca buku tentang hal-hal yang membahas masalah Lampung, sering kita apriori.
Padahal, seharusnya kita bersemangat dan memaknai kelampungan sebagai suatu terminologi dalam masyarakat yang multietnik di daerah ini. Lebih dari itu, juga sepatutnya sebagai orang Lampung kita tidak bersikap demikian.
Darojat Gustian Syafaat lebih banyak melihat esensi sastra yang kita rindukan bersama sehingga sastra Lampung mampu memainkan perannya dan kegelisahannya lebih banyak terfokus kepada kebudayaan semata. Sedangkan Hardi Hamzah mencoba mengkaji tentang usaha-usaha Udo Z. Karzi untuk membangun horizon baru bagi kelampungan secara komprehensif, dalam artian nilai-nilai praksis.
Saya lebih memandang buku ini sebagai buku yang mentransformasikan gonjang-ganjingnya orang Lampung di tengah ketidakmauan mereka untuk menggali secara serius dan baik apa itu nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat Lampung, misalnya, pada halaman 33-39.
Perdebatan ini seharusnya mengusung pilihan-pilihan konkret, saya lebih melihat nyata-nyata Udo Z. Karzi ingin memandang dan memaknai atau lebih tepatnya meletakkan Lampung dalam lensa realitas, ketimbang lensa hitam di bawah bayang-bayang kekuatan budaya di luar Lampung yang makin menafikan budaya Lampung itu sendiri, sehingga Lampung tidak menjadi mitos-mitos yang secara ironi dilakukan oleh orang Lampung sendiri.
Justru di sinilah menariknya buku ini, meskipun kedua pembahas, Hardi Hamzah dan Darojat Gustian Syafaat, tidak mengerdilkan proses yang diingini Udo Z. Karzi, saya pandang kedua penulis tersebut belum mengkaji ulang bahwa buku ini tidak hanya sekadar untuk menggebrak kebuntuan kaum intelektual Lampung saja, tetapi saya melihatnya bagaimana buku yang renyah ini diperkenalkan, bahkan kalau mungkin diwajibkan bagi remaja SMU untuk membacanya.
Menurut hemat saya, selain persoalan yang dibahas tidak terbatas pada khazanah yang sulit, mengingat bahasanya yang terkadang rileks dan nyeleneh. Lebih dari itu apabila buku ini disosialisasikan kepada remaja, remaja dapat terdorong atau lebih tepatnya, kita tarik untuk membawa mereka agar memahami, bahwa dalam masyarakat Lampung ada persoalan sustansial dan hal ini mereka (remaja) memerlukannya agar terobosan budaya liberal tidak terlalu merampas jati diri mereka.
Kalau generasi muda Lampung atau generasi muda yang berada di Lampung diperkenalkan pada buku ini, lebih jauh lagi mereka akan mengetahui apa itu tradisi lisan Lampung yang terlupakan. Sebagaimana yang tertulis di halaman 71-75.
Lebih jauh lagi, saya melihat bahwa kesunggguhan penulis buku ini tidak hanya berada di atas pola-pola kemauan keras semata, tetapi lebih jauh lagi buku ini memolakan kita untuk menapaki kuatnya historikal, geopolitik, dan struktur demografi yang tidak tertata dalam masyarakat Lampung yang sangat terbuka, bahkan dijuluki Indonesia mini.
Mengapa saya katakan demikian, karena pilihan bahasa buku yang metodologis dan kemudian di ujung penulisannya agak nyeleneh, kiranya Udo Z. Karzi dengan satu kata kunci ingin mengarahkan kita, seriuslah membahas Lampung, tetapi juga rileks dan sebaliknya rilekslah membahas berbagai problematika Lampung, tetapi kita pun wajib serius sehingga nantinya dapat ditemukan dan dirumuskan titik temu keharmonisan.
Dengan bahasa sederhana, Udo Z. Karzi ingin membatasi atau lebih tepatnya menggawangi dan menghimpun serpihan-serpihan yang tercecer dari nilai-nilai kelampungan, tidak hanya sekadar mempetakannya dalam kegiatan sampingan.
Pada akhirnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, setidaknya buku ini telah mampu membuka horizon kita semua bahwa masih banyak yang harus digali dan dikaji pada sektor-sektor Lampung. Yang semestinya kita mengantisipasi kegemasan (gereget)-nya Udo Z. Karzi dalam karya-karya sebelumnya.
Udo Z. Karzi terus-menerus konsisten terhadap kelampungan dalam bentuk puisi, menulis buku, dan menggali potensi kesejarahan Lampung dengan mengangkat keseluruhan dari dimensi yang digemaskan olehnya. Udo telah mencontohkan karya-karyanya, seperti Mak Dawah Mak Debingi, Mamak Kenut, dan lainnya.
Singkat kata, Udo Z. Karzi telah menaruh suatu beranda yang amat penting dan patut diisi serta diduduki dengan karya-karya gemilang oleh anak bangsa lainnya, khususnya kaum muda (remaja).
Andry Saputra, Peminat masalah sosial budaya tinggal di Bandar Lampung
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 11 Mei 2013
May 2, 2013
Obsesi Punahnya Lampung?

Betapa pun, torehan-torehan yang hadir dari bukunya yang berjudul Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (Indepth Publishing, April 2013) menggugah cakrawala kesadaran kita, di mana, apa, dan bagaimana mengidentifikasi Lampung secara metodelogis dan terukur dalam dimensi kesejarahan dan keilmuan.
Ini PR yang ditawarkan Udo yang sangat interest terhadap eksistensi Lampung secara universal. Banyak premis yang diintrodusir dalam buku ini, misalnya saja, pencarian serius terhadap kesejerahan Lampung dalam proporsi yang sebenarnya. Artinya, Udo ingin mengajak kita semua merajut ulang benang kusut ”kelampungan dalam konteks yang lebih luas. Hal ini ditawarkan Udo karena secara ironi “dikerdilkan” sendiri oleh para tokoh Lampung, seperti dengan murahnya kita memberi gelar, sebagaimana yang dipaparkan pada hlm. 57-60.
Bisa saja kita mengernyitkan dahi ketika membaca buku ini. Mengernyitkan dahi, karena kita berperasangka bahwa variabel yang dimunculkan bagai utopis. Tetapi saya memandang kernyitan dahi itu, justru menggugah cakrawala kita semua, bagaimana kita seserius mungkin memaknai centang peranangnya pihak-pihak yang berkompeten dalam menggali berbagai aspek penting yang menyangkut kesusastraan, budaya bahkan lebih dari itu di Propinsi ini.
Apabila kegelisahan Udo Z Karzi, direspon dengan kepala dingin, maka buku setebal 144 halaman ini, memberi pelajaran terbaik bagi kita, inilah buku janin awal bagi usaha membesarkan bayi Lampung di berbagai aspek. Apakah batasan-batasan membesarkan bayi Lampung itu melalui ideologi, politik, sosial, ekonomi dan budaya yang berakar dari sejarah dan atau pencarian nilai-nilai kesejarahan lewat empati para tokoh Lampung, atau setidaknya, sosok yang berkompeten dan punya kewajiban moral bagi tumbuh kembangnya Lampung. Kalau kegelisahan Udo direspon oleh pihak-pihak dimaksud, maka janin yang telah ada dapat dibesarkan oleh suatu kekuatan pemikiran dan perspektif baru agar bayi Lampung itu tumbuh sehat.
Respon terhadap kegelisahan seorang penulis, seyogyanya dicarikan garis batas baru bagi pencarian tak berkesudahan tentang pola dasar Lampung. Dan, saya melihat Udo menginginkan pembesaran itu dari pemetaan kesejarahan secara sistemik melalui epistimologi yang faktual, sehingga Lampung tidak terjebak oleh serpihan semata. Dengan sistematika epistimologi sains sosial dan kesejarahan, Udo optimis, bahwa Lampung tidak lagi sekadar puzle yang terpencar (meminjam istilah Firdaus Agustian alm).
Pekerjaan itu, dus tidak mudah, melalui kegelisahannya Udo mengintrodusir berbagai masalah, semisal pada halaman 28, Udo menuturkan, budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas. Pada titik ini Udo, kiranya menguatkan jati diri kita agar memantapkan keberadaan Lampung dalam konteks kebesaran suatu etnisitas yang mengkristal dan bersinggungan dengan kebudayaan, konsistensi ini diyakini Udo, bila kita melihat banyaknya footnote yang ditawarkan olehnya.
Gugusan yang dibangun lewat Feodalisme Modern, adalah gugusan yang tidak menyederhanakan atmosfer Lampung, tetapi kita semua dituntut memperkaya khazanah agar Lampung tidak punah. Pilihan cemerlang Udo ini, tentu saja lagi lagi menuntut kita memanggul tanggung jawab dalam wilayah yang terkordinatif, yakni melalui penelitian serius dengan metoda yang terencana.
Kalaulah ini dipahami secara baik oleh kita, khususnya ilmuan, dan kesadaran mutlak para birokrat untuk memproyeksikan pemikiran pemikiran Udo dalam buku ini, niscaya dapatlah kita menemukan koridor yang nyata dan konprehensif bagi terwujudnya konfigurasi. Konfigurasi Lampung akan terbentuk selaras dengan kemajuan bangsa bangsa di dunia. Lontaran ini sungguh tidak mengada-ada, mengingat bangsa bangsa besar di dunia, seperti Yunani tumbuh besar karena literasi toh bisa berkompetisi, bersenyawaan, dan mengharmonisasikan diri dengan bangsa Romawi yang nota bene berindikator artefak etnisitas yang didukung geopolitik dan olah pikir.
Demikian pula masyarakat Lampung yang juga kaya dengan literasi (baca: aksara), wellcome terhadap pendatang, mampu menata keharmonisan dengan berbagai etnis, dan adanya prasasti di Lampung Barat serta kepahlawanan Raden Intan, adalah elemen elemen signifikan, yang bukan hanya menjanjikan, tetapi lebih jauh lagi indikator itu merupakan tolok ukur konkret, bahwa Lampung bisa besar di atas kebersamaan kita dalam berbangsa dan bernegara, apabila kita mampu menterjemahkan, menjawab pertanyaan pertanyaan besar dan kegelisahan Udo dalam buku ini.
Lampung Bisa Punah
Tetapi di balik itu semua, Lampung, pun bisa saja punah bila derajat permainan dan atau keseriusan kita hanya berada pada pilar pilar seremoni, infrastruktur kepariwisataan tidak terurus, masyarakat adat hanya menjadi komoditi politik, dan banyak lagi reduksi terhadap nilai nilai kelampungan yang akan membuat kita punah atau hanya menjadi sumbai (tamu) di provinsi kita sendiri.
Maka, apa yang digagas Udo dalam buku Feodalisme Modern Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan ini, lagi-lagi tidak hanya menggugah cakrawala kita melalui variable vatiabel yang disinggung dimuka, tetapi lebih dari itu, Udo, meski sangat berhati-hati pada esensinya ingin meletakkan pondasi bagi usaha menacapkan tiang pancang berdirinya Lampung dengan tatanan yang jelas. Dengan kata lain, buku ini dapat menjadi jembatan berpikir untuk menghilangkan noktah yang kerap diciptakan oleh para birokrat terhadap nilai-nilai keLampungan.
Di atas itu semua, karena pemahaman terhadap suatu kekuatan tidak terletak pada siklus yang term termnya berada pada wilayah serius, secara menggelitik Udo juga mencoba mengajukan kampus, agar menjadi pilar terpenting untuk merenda keberadaan Lampung melalui fakultas ilmyu budaya yang harus ada di Unila.
Kendati sebagai suatu gagasan yang beragam premis dan idiomnya, buku ini dapatlah dikatakan gotro yang kelak diharapkan menjadi embrio, bagi lahirnya bayi sehat yang berwujud dan membawa anasir anasir penting dalam upaya menegakkan keberadaan masyarakat Lampung, utamanya propinsi Lampung. Mengkaji ulang kegelisahan Udo yang selalu concerned dengan kegelisahannya untuk menjadikan Lampung besar.
Secara implisit Udo mengajak kita untuk tidak menjadikan Lampung bukan hanya sebagai mitos, Lampung bukan hanya sekedar serpihan serpihan seremoni yang terbengkalai dalam baskom dikotomi saibatin dan pepadun, tetapi Lampung akan menggeliat di atas kawah candra dimuka ditengah kelebihan bangsa bangsa di dunia atau setidaknya mampu mengharmonisasikan diri, dan menjadi bagian integral dari Propinsi Propinsi lain di di negeri ini. Selamat Do, teruskan perjuangan. Lamon mak ram sapa lagi.
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 Mei 2013Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan
April 28, 2013
Pergulatan Udo Z Karzi untuk Kelampungan

Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan
Udo Z Karzi
Indepth Publishing, Bandar Lampung
I, April 2013
xii + 144 halaman
HARUS diakui bahwa pembicaraan tentang Lampung sebagai etnis (ethnic) yang inhern di dalamnya masyarakat (society), bahasa (language), sastra (literature), kesenian (art), adat-istiadat (customs) , kebiasaan (habit), dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan (culture) Lampung yang mahakompleks; boleh dikatakan sangat minim. Dalam skala nasional, kebudayaan Lampung boleh dibilang selalu luput dari perhatian.
Pertanyaan yang cukup keras adalah benarkah apa yang disebut dengan kebudayaan Lampung itu ada. Bukankah yang muncul di permukaan selama lebih seremoni-seremoni yang cenderung simbolik dan jauh dari esensi dari keberadaan adat (baca: kebudayaan) Lampung itu sendiri? Yang lebih kelihatan dari ulun Lampung adalah klaim-klaim pihak-pihak tertentu atau sebaliknya, acap kali ada tendensi untuk meniadakan kebudayaan Lampung. Dan, yang paling sering adalah pemaknaan sporadis dan “menyesatkan” dari adat Lampung itu sendiri.
Berangkat dari kondisi yang serba memprihatinkan itu, buku Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan ini memiliki relevansi yang signifikan bagi upaya pemartabatan ulun Lampung dan kebudayaannya. Melalui buku ini, Udo menggugat empat hal besar mengenai Lampung dan kelampungan, yaitu kebudayaan Lampung, sastra Lampung, bahasa Lampung, dan literasi Lampung.
Yang paling terbuka, pada sampul penutup buku ini misalnya. Di situ Udo sudah langsung mempersoalkan tentang gampangnya kaum elite (tokoh adat?) Lampung memberikan gelar adat atau adok kepada pejabat dalam di berbagai kesempatan. Di sisi lain ada kesan para pejabat di tingkat lokal, nasional, bahkan pihak asing seperti gemar berburu adok.
Tentang kebudayaan Lampung, Udo membongkar semua hal yang terkesan remeh dan jarang dipersoalkan, menjadi soal yang lebih terbuka untuk dikritisi, mulai dari istilah ulun Lampung sampai feodalisme modern di Lampung. Buku ini membuka “luka-luka budaya” yang mesti diobati oleh seluruh masyarakat Lampung.
Tentang sastra Lampung, Udo yang meraih Hadiah Sastra Rancage 2008 menggambarkan bagaimana potensi sastra (berbahasa) Lampung yang terabaikan. Sastra Lampung tak ubahnya kerakap di atas batu hidup segan mati tak mau. Keberadaan sastra Lampung seperti kehilangan generasi penerus (lost the next generation) sangat menarik untuk diselami lebih dalam. Dengan bahasa yang lincah dan mengalir Udo menunjukkan kepada kita bagaimana sastra tradisional Lampung yang mulai dilupakan sementara sastra modern Lampung berjalan terseok-seok.
Senasib sepenanggungan dengan sastra, bahasa Lampung juga dalam keadaan mengenaskan. Bahasa Lampung semakin terpinggirkan. Jika tidak ada strategi yang tepat dan para pihak masih sibuk menjalankan program-program yang justru makin menjauhkan masyarakat dari bahasa Lampung, bukan tidak mungkin apa yang disampaikan pakar sosiolinguistik UI Asim Gunarwan (1999) bahwa bahasa Lampung bisa punah dalam tiga-empat generasi atau 75-100 tahun akan menemui realitas. Keengganan masyarakat Lampung untuk berbahasa Lampung dalam berbagai situasi dan kondisi menjadi sorotan tajam.
Buku ini mengingatkan pentingnya untuk terus membangun komunikasi lisan dengan bahasa Lampung, baik penutur yang menggunakan dialek api (a) maupun dialek nyo (o). Dan kalau sudah begitu, menurut Udo, lama-kelamaan lahirlah bahasa Lampung yang dipahami oleh semua penutur bahasa Lampung dari subdialek mana pun (hlm. 111). Bahasa Lampung, tulis Udo, penopang utama kebudayaan Lampung. "Bahasa Lampung punah, kiamatlah kebudayaan Lampung" (hlm. 101).
Terakhir soal literasi Lampung, Udo menyoroti minimnya buku yang lahir dari orang Lampung. Apatah lagi buku berbahasa Lampung. Di tengah kelangkaan referensi mengenai Lampung, Udo berupaya menghimpun hal ihwal kelampungan dalam blognya: http://ulunlampung.blogspot.com. Di situs tersebut, Udo merangkai segala hal tentang Lampung dan kelampungan.
Udo juga menekankan pentingnya tradisi baru. Sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage rutin memberikan hadiah Rancage untuk sastra bahasa Sunda, Jawa, Bali, Lampung. Apa artinya? Lampung mau tidak mau harus menerbitkan buku sastra Lampung minimal satu buku satu tahun. Memahami kondisi demikian, Udo menyarankan pemerintah daerah, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Lampung mau menyisihkan waktu, tenaga, serta dana untuk membangun tradisi bahasa dan sastra Lampung: menulis dan menerbitkan sastra Lampung (hlm. 119). Buku bacaan, termasuk kamus bahasa Lampung adalah hal-hal yang memperkuat keberadaan bahasa-sastra-budaya Lampung.
Secara gamblang, Udo memaparkan fenomena yang terjadi tentang Lampung dan kelampungan yang kini hadir di tengah-tengah masyarakat Lampung. Sebagai pemantik, masyarakat - khususnya ulun Lampung- harus mau menerima setiap kritik sebagaimana Udo melakukan otokritik kepada dirinya sendiri (ulun Lampung) untuk kemajuan pesat di Bumi Ruwa Jurai tercinta. Gaya bahasa buku yang ditulis secara populer pun menambah kajian budaya - yang terkesan berat - semakin menarik untuk diikuti. Bahasa atau pun tuturan Udo yang tanpa tedeng aling-aling menyoroti persoalan Lampung dan kelampungan benar-benar menohok sesiapa saja tanpa terkecuali.
Sebagai buku bernuansa budaya Lampung, buku Udo menambah khazanah kepustakaan Lampung semakin kaya dan beragam. Di tangan Udo, persoalan budaya yang berat-berat itu, terasa mudah. Hampir tak ada cela yang bisa dilihat dari buku redaktur opini dan budaya Lampung Post ini. Hanya tabik yang setinggi-tingginya bisa diberikan kepada Udo yang sudah memberikan karya dan pemikrannya untuk kemajuan Lampung ke depannya. Udo sudah bercerita kepada kita, lalu bagaimana dengan kita?
Buyung Ridwan, penikmat buku tinggal di Panjang, Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 April 2013