Jamil Massa's Blog, page 3
April 5, 2017
Menguji Fenomena Gaib (Esai Woody Allen)
[image error]TAK perlu disangsikan lagi kalau dunia gaib itu betul-betul ada. Masalahnya adalah, seberapa jauh dia dari pusat kota, dan sampai selarut apa dia buka? Kejadian-kejadian tak terjelaskan terjadi terus menerus. Seseorang melihat hantu. Orang lain mendengar suara. Orang ketiga akan terbangun dan mendapati dirinya berjalan ke pacuan kuda Preakness. Berapa banyak dari kita yang tak sekali dua merasakan selapis telapak tangan sedingin es menempel di kuduk ketika sedang sendirian di rumah? (bukan saya, syukurlah, tapi ada yang pernah) Apa yang ada di belakang pengalaman-pengalaman tersebut? Atau di depan mereka, sebenarnya? Apakah benar bahwa sejumlah orang dapat meramalkan masa depan dengan jalan berbincang dengan hantu? Dan setelah mati apakah masih mungkin untuk mandi?
Untungnya, pertanyaan-pertanyaan mengenai fenomena gaib tersebut telah dijawab dalam sebuah buku yang akan segera diterbitkan, berjudul: Boo!, oleh Dr. Osgood Mulford Twelge, parapsikologis terkemuka sekaligus Guru Besar bidang ektoplasma di Universitas Columbia. Dr. Twelge telah menghimpun catatan sejarah luar biasa atas berbagai insiden supranatural yang melambari segenap ruang lingkup fenomena gaib, dari transfer pikiran hingga pengalaman aneh dua saudara yang berada di dua bagian bumi yang berbeda, yang ketika salah satunya mandi yang lainnya mendadak bersih tubuhnya. Apa yang dipaparkan berikut selain contoh-contoh kasus Dr. Twelge yang paling berhasil, juga adalah komentarnya sendiri.
Penampakan
PADA 16 Maret 1882, Tuan J.C Dubbs terbangun tengah malam dan melihat adiknya Amos, yang telah meninggal 14 tahun sebelumnya, duduk di atas kaki ranjangnya sambil mengocok-kocok burung sendiri. Dubbs bertanya adiknya sedang apa di situ, dan adiknya menjawab: jangan cemas, dia telah mati dan akan berada di kota itu cuma untuk seminggu. Dubbs bertanya kepada adiknya bagaimana rasanya berada di “dunia lain” dan adiknya menjawab tempat itu tak seperti Cleveland. Dia bilang kepulangannya adalah untuk mengantarkan pesan kepada Dubbs, bahwa kombinasi setelan biru tua dan kaos kaki Argyle adalah sebuah kesalahan besar.
Di saat yang sama, pelayan perempuan Dubbs masuk dan melihatnya berbicara kepada “kabut putih tak berbentuk” yang mengingatkan si pelayan pada Amos Dubbs, tapi dengan penampilan yang sedikit lebih baik. Akhirnya, hantu tersebut meminta Dubbs menyanyikan bersamanya sebuah aria dari drama Faust, yang kemudian, oleh dua bersaudara itu, dinyanyikan dengan penuh semangat. Saat fajar merekah, sang hantu berjalan menembus tembok, dan Dubbs, yang mencoba mengikuti, mematahkan hidungnya sendiri.
Kejadian tadi kelihatannya adalah kasus klasik mengenai fenomena penampakan hantu, dan bila Dubbs bisa dipercaya, hantu tersebut kembali lagi dan membuat Tuan Dubbs bangkit dari kursinya dan melayang di atas meja makan selama 12 menit sebelum jatuh kembali dalam secercah gravitasi. Menarik mencatat bahwa roh memiliki kecenderungan berbuat usil, yang menurut A.F Childe, seorang mistikus Britania, dihubungkan dengan gejala perasaan rendah diri bahwa mereka telah dilupakan setelah meninggal. “Penampakan” lebih sering diasosiasikan dengan individu-individu yang mengalami kematian tak wajar. Amos Dubbs, misalnya, meninggal dalam keadaan misterius tatkala seorang petani secara tidak sengaja menanamnya bersama beberapa pucuk lobak.
Kepergian Jiwa
TUAN Albert Sykes melaporkan pengalamannya sebagai berikut: “aku sedang kongkow sembari makan biskuit dengan beberapa kawan ketika aku merasa jiwaku meninggalkan tubuh dan pergi menelepon. Untuk suatu alasan, ia menelepon perusahaan serat kaca Moscowitz. Jiwaku kemudian kembali ke tubuhku dan duduk-duduk seperti biasa selama sekitar 20 menit, agar tiada yang menyadari sandiwara itu. Ketika tema perbincangan beralih ke soal-soal investasi reksadana, jiwaku pergi lagi dan berkelana di kota. Aku yakin ia mengunjungi Patung Liberty dan menonton pertunjukan di Radio City Music Hall. Setelah itu, ia pergi ke restoran steak Benny’s dan menghabiskan makanan seharga 68 dollar. Jiwaku kemudian memutuskan pulang ke tubuhku, tapi saat itu mustahil menemukan taksi. Akhirnya, ia berjalan kaki sepanjang Fifth Avenue dan menyatu kembali denganku tepat di waktu siaran berita tengah malam. Aku bisa bilang begitu karena di saat itulah aku merasa sensasi dingin yang tiba-tiba, dan sebuah suara berkata, ‘aku kembali. Kau mau aku ambilkan kismis itu?’
“Semenjak itu, fenomena tersebut kembali terjadi padaku beberapa kali. Suatu kali, jiwaku pergi ke Miami untuk menghabiskan akhir pekan, dan suatu ketika ia tertangkap mencoba meninggalkan Toko Macy tanpa membayar sebuah dasi. Di kali keempat, tubuhkulah yang sesungguhnya meninggalkan Jiwaku, meskipun dia cuma pergi ke tukang pijat dan segera kembali.”
Fenomena perginya jiwa sangat umum terjadi sekitar tahun 1910, ketika banyak “jiwa” dilaporkan berkeliaran tak jelas juntrungannya di sekitar India mencari Konsulat Amerika. Fenomena tersebut cukup mirip dengan transubtansi, sebuah proses tatkala seseorang secara tiba-tiba terdematerialisasi dan rematerialisasi ke suatu tempat lain di dunia. Sebenarnya bukan cara buruk untuk pelesiran, apalagi karena biasanya butuh setengah jam menunggu bagasi di bandara. Kasus transubtansi paling garib menimpa Sir Arthur Nurney, menghilang seiring bunyi letupan yang lumayan ketika ia sedang mandi, dan secara mendadak muncul kembali di tengah sebuah string section dari Vienna Symphony Orchestra. Ia menempati posisi violinist utama selama 27 tahun, tetapi ia hanya memainkan “Three Blind Mice,” dan menghilang secara tiba-tiba suatu hari selama pertunjukan Mozart Jumpiter Symphony, dan berpindah ke atas ranjang bersama Winston Churchill.
Nujum
TUAN Fenton Allentuck menggambarkan mimpi prekonigsinya sebagai berikut: “Saya tidur di tengah malam dan bermimpi bermain whist (sejenis permainan kartu –Penerj.) melawan sepiring kucai. Tiba-tiba mimpi berganti, dan saya melihat kakek saya nyaris terlindas truk di tengah jalan, tempat ia berdansa waltz dengan sebuah manekin. Saya hendak berteriak, tetapi saat saya membuka mulut, suara yang keluar hanyalah bunyi genta, dan kakek saya pun terlindas truk.
“Saya terbangun bersimbah keringat dan bergegas ke rumah kakek dan bertanya apakah ia punya rencana berdansa waltz dengan manekin? Tentu saja dia bilang tidak, tetapi dia pernah terpikir untuk menyamar jadi penggembala buat mengelabui musuh-musuhnya. Dengan perasaan lega saya berjalan pulang, tetapi kemudian saya diberitahu kalau lelaki tua itu terpeleset roti isi salad ayam sebelum jatuh dari atas Gedung Chrysler.”
Mimpi nubuat terlalu lazim diabaikan sebagai kebetulan murni. Seseorang bermimpi tentang kematian kerabatnya, dan itu terjadi. Tidak semua orang semujur itu. J. Martinez, dari Kennbunkport, Maine, bermimpi memenangkan lotere Irish Sweeptakes. Ketika terbangun, ranjangnya mengambang di lautan.
Kerasukan
SIR Hugh Swiggles, seorang skeptis, melaporkan sebuah pengalamannya dalam sebuah ritual pemanggilan roh:
Kami berada di rumah Madame Reynaud, seorang cenayang terkemuka, tempat kami semua diperintahkan untuk duduk mengelilingi meja seraya berpegangan tangan. Tuan Weeks tak henti-hentinya terkikik, dan Madame Reynaud menggampar kepalanya dengan sebuah kotak Ouija. Lampu dimatikan, dan Madame Reynaud berusaha menjalin kontak dengan suami Ny. Marple, yang telah mangkat pada sebuah opera akibat janggutnya dilalap api. Berikut ini adalah transkrip utuhnya:
NY. MARPLE: Apa yang Anda lihat?
CENAYANG: Saya melihat seorang lelaki dengan mata biru dan topi kincir.
NY. MARPLE: Itu suami saya!
CENAYANG: Namanya adalah…Robert. Bukan…Richard…
NY. MARPLE: Quincy.
CENAYANG: Quincy! Ya, itu dia!
NY. MARPLE: Apa lagi tentangnya?
CENAYANG: Ia botak tapi kerap menaruh beberapa helai daun di atas kepalanya agar tak ada yang tahu kalau dia botak.
NY. MARPLE: Ya! Tepat sekali!
CENAYANG: Untuk sejumlah alasan, ia membawa sebuah benda…sepotong paha babi.
NY. MARPLE: Hadiah ulangtahun perkawinanku untuknya! Bisakah Anda membuatnya bicara?
CENAYANG: Bicaralah, wahai arwah! Bicaralah!
QUINCY: Claire, ini Quincy.
NY. MARPLE: Oh, Quincy! Quincy!
QUINCY: Berapa lama kau taruh ayam di dalam oven kalau kau mau memanggangnya?
NY. MARPLE: Suara itu! Itu dia!
CENAYANG: Semuanya konsentrasi.
NY. MARPLE: Quincy, apakah mereka memperlakukanmu dengan baik?
QUINCY: Tidak buruk, kecuali butuh empat hari baru boleh membersihkan diri.
NY. MARPLE: Quincy, apakah kau rindu padaku?
QUINCY: Ya? Oh, emmm, tentu. Tentu saja, sayang. Aku harus pergi…
CENAYANG: Saya kehilangannya. Dia lenyap.
Saya rasa upacara pemanggilan arwah ini dapat lulus uji kebenaran yang ketat, dengan pengecualian kecil sebuah fonograf yang ditemukan di balik gaun Madame Reynaud.
Tak ada keraguan lagi peristiwa yang terekam dalam proses pemanggilan arwah itu asli. Siapa yang tak ingat peristiwa terkenal di kediaman Sybil Seretsky, tatkala ikan masnya bernyanyi “I Got Rhythm”—sebuah lagu yang disukai keponakannya yang baru saja berpulang? Namun percobaan kontak dengan orang mati mencapai tingkat kesulitan tertinggi sejak kebanyakan orang mati enggan buka suara, dan mereka yang mau tampaknya mesti mendesah-desah dulu sebelum sampai pada apa yang ingin diutarakan. Penulis sebenarnya pernah melihat meja yang melayang-layang, dan Dr. Joshua Fleagle dari Harvard, mengikuti suatu ritual pemanggilan arwah, yang bukan hanya memperlihatkan meja yang melayang, tetapi juga meja yang pamitan terus naik tangga untuk pergi tidur.
Kewaskitaan
SATU di antara sejumlah kasus paling mencengangkan dalam kewaskitaan adalah cenayang Yunani ternama, Achille Londos. Londos menyadari ia memiliki “Kekuatan aneh” pada umur sepuluh tahun, ketika ia tak bisa tidur dan, dengan berkonsentrasi, membuat gigi palsu ayahnya meloncat keluar dari mulut lelaki itu. Setelah suami dari seorang tetangganya menghilang selama tiga minggu, Londos menyuruh mereka mencari di dalam tungku, tempat lelaki tersebut akhirnya ditemukan sedang merajut. Londos bisa membayangkan wajah seseorang dan mencetak imaji itu dalam sebuah rol film Kodak biasa, meski ia tak bisa membuat siapa pun tersenyum.
Pada 1964, ia diminta membantu polisi menangkap Pencekik Dusseldorf, seorang penjahat keji yang selalu meninggalkan kue Alaska panggang di dada para korbannya. Hanya dengan mengendus sapu tangan, Londos mengarahkan polisi ke Siegfried Lenz, tukang suruh di sebuah sekolah khusus untuk orang Turki tuna rungu, yang kemudian mengaku dia adalah si pencekik dan memohon untuk mendapatkan sapu tangannya kembali.
Londos hanyalah satu dari banyak orang yang memiliki kekuatan batin. C.N. Jerome, cenayang dari Newport, Rhode Island, mengklaim bisa menerka kartu apa pun yang dipikirkan seekor tupai.
Ramalan
AKHIRNYA, kita sampai pada Aristonidis, pangeran abad 16 yang ramalannya terus menerus mempesonakan sekaligus membuat bingung bahkan mereka yang paling skeptis sekalipun. Contoh tipikalnya:
“Dua negara akan berperang, tapi hanya satu yang bakal menang.”
(Para ahli merasa ini mungkin mengacu pada perang Russia-Jepang pada 1904-1905, sebuah prestasi mencengangkan dalam dunia peramalan dengan mempertimbangkan fakta bahwa ramalan itu dibuat pada 1540)
“Seorang lelaki di Istambul akan memperbaiki topinya dan itu akan berantakan.”
(Pada 1860, Abu Hamid, seorang prajurit Ottoman, mengirim pecinya untuk dibersihkan, dan benda itu kembali dengan banyak noda.)
“Aku melihat seorang besar, yang suatu hari nanti menemukan bagi umat manusia sejenis pakaian untuk dikenakan di luar celananya sebagai pelindung saat memasak. Dan itu akan disebut sebuah ‘abron’ atau ‘aprone’.”
(Maksudnya tentu saja apron.)
“Seorang pemimpin akan lahir di Prancis. Ia akan sangat pendek dan akan mengakibatkan bencana besar.”
(Ini adalah sebuah rujukan bagi Napoleon atau tentang Marcel Lumet, seorang cebol di abad 18 yang menganjurkan sebuah rencana untuk mengutil saus béarnaise dari Voltaire)
“Di dunia baru, akan tempat bernama California, dan seorang pria bernama Joseph Cotten akan menjadi terkenal.”
(Tak butuh penjelasan)***
Disalin dan diterjemahkan dari artikel berjudul Examining Physic Phenomena, satu dari beberapa artikel yang termuat dalam buku The Complete Prose of Woody Allen: Without Feathers, Getting Even, Side Effects (Wings Books, 1991).
April 4, 2017
Di Antara Dua Camus
[image error]1.
Memento Mori
Saya duduk di kursi paling depan. Dalam pesawat kecil jenis ATR hal itu berarti saya duduk di kursi dekat jendela darurat. Pesawat berguncang cukup kuat ketika hendak mendarat, garis penanda tepi landasan mendadak terlihat miring, dan akhirnya, setelah berusaha keras, pesawat gagal menyejajarkan diri dengan aras pendaratan yang benar. Ia terangkat kembali.
Saya melirik pramugari yang duduk di kursi geser yang tepat membelakangi kokpit, mengirim pertanyaan serta sinyal kepanikan yang agaknya diekspresikan dengan baik oleh wajah saya. Ia tersenyum seraya menjawab singkat: “Angin.”
Pesawat kembali berada tinggi di udara. Landasan terlihat menjauh. Saya berusaha menenangkan diri sambil membuka kembali bagian buku yang tadi saya tandai. Novel Albert Camus berjudul L’Etranger atau yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai: Orang Asing. Saya berada di bagian akhir buku itu, saat Tuan Mersault yang sebentar lagi dihukum mati berdebat dengan seorang pendeta mengenai pertobatan, keyakinan, dan kematian.
Astaga, kematian!
2.
Pemanggul Pintu
Sebetulnya saya telah merencanakan untuk menulis sesuatu malam ini. Sebuah resensi mungkin, atau meneruskan cerpen yang sudah cukup lama menyandang predikat ‘calon’. Tapi persekongkolan antara rindu dan sakit kepala menahan saya di tempat tidur. Sementara saya, tak seperti Truman Capote, tak terbiasa menulis dengan berbaring di tempat tidur.
Rindu saya tentu untuk anak dan istri yang sedang di tempat jauh. Sedangkan sakit kepala…tak perlu saya jelaskan di sini apa atau siapa yang menyebabkannya.
Batal menulis, saya kemudian memutuskan membaca sebuah buku, tapi itu pun selalu disela bunyi notifikasi Facebook. Yang terjadi akhirnya saya membaca terus bagian yang sama, berulang-ulang, entah berapa kali.
Jadi, saya membaca di bagian ketika sejumlah orang di suatu kedai membicarakan penyakit TBC, gejala, dampak, dan penanganannya. Tapi kemudian, karena disela notifikasi tadi, saya lupa mengapa orang-orang itu membicarakan TBC. Saya mundur satu halaman ke belakang, dan, seperti orang idiot keras kepala, terus membaca tanpa melompati bagian di antara halaman itu dan halaman saya terhenti tadi, sampai kemudian disela notifikasi, dan lagi-lagi saya lupa mengapa saya bisa berada di halaman itu. Saya balik lagi satu halaman, dan begitulah sepanjang sejam saya membaca.
Untungnya, bagian yang saya ulang-ulang itu menarik juga sebetulnya–mungkin itu sebenarnya alasan mengapa saya bolak balik seperti seorang sanguin yang sedang stres. Bagian itu tentang kebiasaan penjaga kedai menuliskan jumlah total harga makanan yang dimakan pelanggannya di belakang pintu dapur. Mengapa dia melakukan itu? Entahlah, mungkin waktu itu nota pembelian belum ditemukan. Ketika si pemilik kedai berselisih paham dengan pelanggannya mengenai harga makanan, ia akan melepas pintu itu dari engselnya dan memikulnya ke tempat pelanggan tukang protes itu berada.
Ini novelnya Albert Camus. Bukan yang berjudul Orang Asing karena itu sudah saya tamatkan kemarin. Novel ini judulnya Mati Bahagia (La mort heureuse), tapi beberapa tokoh punya nama yang mirip dengan novel yang judulnya saya sebut lebih dulu. Protagonis itu bernama Mersault, temannya juga bernama Emmanuel, dan pemilik kedai itu pun bernama Celeste.
Membayangkan Celeste memanggul pintu bagi saya adalah suatu pemandangan yang lucu. Saya merasa Camus sedang mengejek sesuatu, tapi saya tak berhasil menerka apa itu. Namun saya tergoda membayangkan pintu dapur itu sebagai perlambang dari suatu hal yang berat, misalnya: pandanganmu tentang dirimu sendiri dan orang-orang di sekitarmu.
Kau adalah pemilik kedai, sementara orang lain cuma singgah makan. Kau telah berhitung dan menuliskan perhitunganmu sebagai sebuah aturan tak terbantahkan, tapi kau melakukan itu di tempat yang mungkin hanya kau saja yang bisa melihatnya.
Ketika si pendatang ini mendebatmu, kau melepaskan catatan itu dari tempatnya, lalu terbungkuk-bungkuk, berusaha keras menunjukkan ada yang salah dalam pikiran si pendatang ini. Kau ingin membuktikan bahwa kaulah pemilik tempat itu dan dia harus tahu diri.
Itu memang lucu. Juga melelahkan.
April 2017
Babi Paling Seksi
[image error]
TELAPAK tangan perempuan itu, yang tak sampai semenit lalu masih berada di punggungnya, kini telah berpindah di dadanya. Dalam satu gerakan, perempuan itu mengelus, memijat, dan membuat puntiran lembut yang memicu seismik kecil di tubuh Saldi. Perempuan itu terus mendekapnya, menekankan dadanya di punggung Saldi, dan mengecup kuduk lelaki enam puluh tahunan itu.
“Hentikanlah, geli,” pinta Saldi
“Tidak akan sebelum kau penuhi keinginanku,” desis sang perempuan.
“Yang mana?” Saldi berpikir sejenak. “Kursus mengemudi pesawat?”
“He-eh.”
Perempuan itu makin bersemangat menggelitik Saldi. Dan yang digelitik berjoget patah-patah seperti robot rusak.
“Terus, kalau sudah bisa bawa pesawat, mau apa? Meninggalkanku?”
Saldi dapat mendengar perempuan itu terkikik halus di belakang telinganya. “Tentu saja tidak, bodoh. Kau harus ikut bersamaku.”
“Tapi kau tahu aku takut terbang.”
“Untuk menuju hidup yang lebih baik, aku butuh cintaku, di sini.” Perempuan itu mengetatkan dekapan tepat pada kata ‘di sini’.
“Kau mengutip The Beatles?”
“Secara teknis, Paul McCartney.” Perempuan itu kemudian mulai bernyanyi. “Here, making each day of the year…”
Saldi ikut menyanyikan bagian selanjutnya dari lagu berjudul Here, There and Everywhere itu seraya mengayunkan tubuhnya perlahan ke kiri dan ke kanan, serupa genta gereja yang baru saja dibunyikan, “Changing my life with the wave of her hand. Nobody can deny that there’s something there…”
Ujung jambul rambut palsu Saldi yang berkilat-kilat menuding plafon kamar apartemen sedikit berayun seiring gerakan berbalik pemiliknya yang mengejutkan. Kebanyakan orang yang mengamati pasangan itu awalnya mungkin akan mengira, mereka hanyalah ayah dan anak yang sedang berdansa. Namun, ketika sang lelaki menyodorkan bibirnya, yang kemudian disambar dan dilumat dengan buas oleh sang perempuan, para pengamat tersebut barangkali akan muntah-muntah seraya mengutuki Hidup yang begitu tak adil dalam membagi kesenangan antara satu dan lain manusia. Seorang lelaki kaya dapat memiliki pasangan yang umurnya jauh lebih muda. Sementara, kebanyakan perempuan cantik hanya menyukai mereka yang berkantong bengkak.
Untungnya, di kamar itu tak ada jeluak dan cerca. Tak ada siapa pun selain Saldi dan kekasih gelapnya.
“Misalnya,” perempuan itu kembali berbisik. “Ini misalnya, ya, kita sedang naik pesawat berdua saja dan pesawat itu jatuh jauh dari peradaban, juga jauh dari sumber makanan, dan aku ditakdirkan mati lebih dulu, apakah kau akan memakan jasadku?”
“Tentu saja tidak,” jawab Saldi mantap. “Aku lebih memilih mati kelaparan, menyusulmu.”
Perempuan itu tersenyum. Mereka masih berdansa tanpa musik saat perempuan itu kemudian berkata: “Kalau aku, tidak akan keberatan memakanmu.”
Saldi terbelalak.
“Seminggu belakangan ini aku lihat kau rutin berenang.” Jemari perempuan itu naik turun, menelusuri rangkaian bebukit mini, yang tersebar merata, meski agak kendur, di lengan dan bahu Saldi. “Kata Huang Demin, mereka yang rutin terjun ke air setiap pagi, memiliki daging yang tiga kali lebih sehat dan tiga kali lebih gurih dibanding mereka yang pendiam dan terbiasa mengurung diri.”
“Di mana Huang Demin ini belajar fisiologi?”
“Bukan fisiolog. Dia peternak di sebuah desa bernama Guangshan di Cina sana. Setiap pagi…”
“Peternak katamu?”
Perempuan itu mengangguk. “Setiap pagi, dia menggiring ternaknya naik ke atas papan loncat di pinggir sungai. Lalu babi-babi itu terjun ke air seperti atlet olimpi…”
“Babi katamu?”
***
DENGAN gaya persis Tony Manero dalam adegan pembuka film Saturday Night Fever, Rizi memasuki rumah mungil yang tiga tahun belakangan ini dikontrak Sinar Celebes sebagai kantor redaksi mereka. Persis Tony Manero dalam empat hal: jaket kulitnya, sepatu kulitnya, lenggang langkahnya, dan rambut terurus yang disisir belakang. Bedanya, jika Tony yang dalam film diperankan oleh John Travolta membawa sekaleng cat di tangan kanan, Rizi menenteng dua kantong plastik merah berisi nasi kotak di kedua tangannya. Delapan di kiri dan delapan di kanan.
Di atas meja salah seorang pegawai perempuan ia meletakkan kedua bungkusan, mengeluarkan satu kotak untuk pemilik meja, mengerling kepada orang yang sama, lalu berseru kepada seisi ruangan: “Makan-makan!”
Saat itu menjelang makan malam, para pegawai dan wartawan harian pagi bertiras kecil itu tampak sedang sangat kelaparan. Seperti kawanan dubuk, mereka mengerubuti dua kantong plastik yang dibawa Rizi.
“Ada apa ini ribut-ribut?” sergah Wahid di depan pintu ruangannya. Tatapan tegang dan kedut kumis beruban milik redaktur senior yang dikenal gampang naik darah itu boleh saja menurunkan jumlah desibel dalam ruangan, tapi tak mampu meredam nafsu makan yang meluap-luap. Para dubuk hanya berhenti bersuara, sementara tangan mereka tetap menggapai dan menyikut tak keruan. Rizi mengambil satu kotak paling besar, mengantarkannya kepada sang redaktur yang masih berdiri di depan pintu.
“Apa ini?” tanya Wahid.
“Makan malam,” jawab Rizi, nyengir.
“Perayaan apa?”
“Bukan apa-apa. Saya tahu bos sedang lapar.”
Wahid melunak, meski ekspresinya masih mengandung syak wasangka. “Jangan-jangan, hari ini kamu tidak liputan ya?”
“Saya liputan kok. Saya punya berita, tapi… ah, duduk dululah, Bos. Saya akan cerita sambil bos makan.”
Wahid menyerah. Ia duduk kembali di kursi kerjanya dan membiarkan Rizi bercokol di kursi lain di depan meja. Wahid membuka kotak dan menemukan bukti sahih atas pemborosan dan timpangnya persebaran pangan di muka bumi: Segunduk nasi putih, sebutir telur rebus, sepotong ayam bakar, sepotong perkedel kentang, sepotong tempe goreng, segumpal sayur daun singkong, dua iris timun, sekeping semangka, sekantung plastik kecil kerupuk, sekantung plastik kecil gulai nangka, sekantung plastik kecil sambal, dan—tampil cemerlang sebagai bintang—empat potong daging rendang berlumur lemak.
Cukup? Belum. Rizi mengeluarkan dari sakunya tiga bungkus Djarum Merah, rokok kesukaan Wahid, dan meletakkan mereka di atas meja.
“Kau ini makin mencurigakan saja. Ceritakan apa yang terjadi sebenarnya.” Nada suara Wahid meninggi, tapi itu lebih disebabkan rasa senang ketimbang gusar.
Rizi tertawa kecil lalu berkata: “Bos tahu kan, jembatan besar di dekat perbatasan kabupaten sana, yang kalau kita lewati ada jalan bercabang, yang ke kanan beraspal, yang ke kiri tidak? Bos tahu kan, di antara percabangan itu ada apa?”
“Kandang babi,” jawab Wahid, sebelum ia mulai komat kamit mengucapkan doa makan.
“Betul. Nah, tadi sore, saya bertemu seorang perempuan. Umurnya dua puluhan. Agaknya perawat atau bidan jika dilihat dari seragamnya. Perempuan itu baru saja mengalami kecelakaan, kira-kira 10 meter dari lokasi peternakan. Sepeda motornya terpelanting di bahu jalan. Lengan kanannya lecet, juga sisi kanan keningnya. Barang-barangnya berserakan di mana-mana.”
“Lalu?”
“Saya tolong dulu orangnya. Saya papah ke kios dekat situ. Saya belikan air minum dan tisu untuk membersihkan luka. Setelah dia agak tenang baru saya bertanya: ‘Tadi kenapa? Diserempet?’ Perempuan itu menggeleng, lalu menunjuk ke arah kandang babi.”
“Maksudnya?”
“Nah, itu yang jadi pertanyaan saya, ‘Maksudnya?’ Perempuan itu bercerita: ‘Tadi saya bawa motor dari arah jembatan. Dari jauh sudah tercium bau busuk kandang babi. Saya tidak tahan. Saya tutup hidung dengan tangan kiri. Padahal saya belum terlalu pandai membawa motor, apalagi dengan satu tangan. Hilang keseimbangan, saya pun jatuh.’ Nah, dari cerita perempuan itu terbayanglah di kepala saya sebuah judul berita: Bau Busuk Kandang Babi Picu Lakalantas, Satu Orang Luka Parah.”
Wahid ingin mengatakan sesuatu, namun mulutnya penuh makanan.
“Sebagai wartawan yang baik, saya tentu harus melakukan konfirmasi. Saya datangi pemilik kandang dan bilang: ‘Koh, kandang babi Koh ini busuknya minta ampun. Di depan ada yang kecelakaan gara-gara tidak tahan dengan bau busuk kandang babi ini. Koh harus tanggung jawab. Saya ini wartawan Sinar Celebes. Saya beritakan soal ini, kandang babi Koh bakal ditutup pemerintah.’”
“Sialan!” Wahid memukul meja. “Kau wartawan atau preman? Itu namanya bukan konfirmasi, bahlul, tapi pemalakan.”
“Sabar, Bos. Maksud saya supaya si Koh mau bertanggungjawab mengganti kerusakan yang dialami si perawat.”
“Ah, alasan. Terus dia ngasih?”
Rizi mengangguk. “Tapi, ketika saya kembali ke TKP, si perawat sudah tidak ada di sana. Jadi, saya pikir, daripada uang itu saya kembalikan, lebih baik saya beli nasi padang saja. Bos dan teman-teman pasti belum makan.”
“Bedebah! Jadi, ini uang babi?!” Wahid mendelik, menghentikan makannya.
“I…Iya, bos.”
Wahid terbungkam sesaat. Ada sedikit makanan di rongga mulutnya. Tak lama ia lanjut mengunyah, dengan ritme yang tidak berubah.
“Terus kenapa masih di sini?” tanya Wahid kemudian. “Kau kan punya berita untuk ditulis.”
“Yang mana bos?”
“Yang mana lagi? Karena bau babi seorang perempuan kecelakaan, atau apalah judul beritamu tadi.”
“Tapi kan sudah ada…”
“Enyah!”
Bentakan Wahid membuat Rizi terlonjak dari tempat duduknya. Segera ia keluar dari ruangan sang redaktur, tergopoh-gopoh menuju salah satu komputer yang sedang nganggur. Berulang kali ia memaki dalam hati, untuk dua alasan. Pertama, ia merasa bersalah kepada si pemilik kandang babi atas uang ganti rugi, yang lebih dari separuhnya masih terlipat dalam dompetnya. Kedua, dia baru ingat kalau dia lupa menanyakan nama perempuan yang mengalami kecelakaan itu.
Sejam kemudian Rizi menyelesaikan beritanya, dengan nama dan kejadian yang dikarang sekenanya. Ia cetak hasil ketikannya dan mendatangi si redaktur yang sedang merokok di kursi. Wahid bahkan tidak melirik kertas di tangan Rizi.
“Telat. Halaman hukum dan kriminal sudah penuh. Setengah jam lalu ada berita masuk dari Jakarta. Mayat seorang perempuan asal daerah kita ditemukan terpotong-potong dalam boks Tupperware di tepi jalan tol. Tersangkanya seorang pengusaha.”
Rizi Melongo.
“Pembunuh itu tertangkap kamera CCTV sedang mendorong troli yang memuat bungkusan hitam. Dia bahkan masih sempat ngobrol dengan penyewa lain di dalam lift.”
Rizi masih melongo.
“Pengakuannya sih, tidak tahan diejek terus. Ketek bau, burung kecil, botak tua tak tahu diri. Terakhir, korban menyamakannya dengan babi.”
Rizi masih melongo, dan Wahid malah tertawa.
“Lucu ya, berita babimu tiarap lantaran berita babi dari Jakarta. Babi yang lebih seksi,” ujarnya tanpa rasa berdosa.***
Gorontalo, 2016
[image error]
Bagaimana Cara Pelesiran dengan Seekor Salmon (Esai Umberto Eco)
[image error]MENURUT sejumlah suratkabar, ada dua masalah penting yang melanda dunia modern: invasi komputer, dan kegelisahan berkepanjangan di dunia ketiga. Suratkabar-suratkabar tersebut benar, dan aku tahu itu.
Perjalananku baru-baru ini begitu singkat; sehari di Stockholm dan tiga hari di London. Di Stockholm, memanfaatkan jam bebas, aku membeli salmon asap, satu ekor besar, dengan harga sangat murah. Salmon itu terbungkus plastik, namun aku sudah diberitahu bahwa saat sedang pelesir, sebaiknya aku tetap membiarkan salmon itu dalam keadaan beku. Coba saja.
Asyiknya, di London, penerbitku telah memesankan untukku sebuah hotel mewah, kamar beserta minibar. Namun saat memasuki hotel, aku mendapatkan kesan seolah sedang memasuki kedutaan asing di Peking sepanjang pemberontakan Boxer.
Seluruh keluarga berkemah di lobi; para pelancong terbungkus selimut tidur di antara koper mereka. Aku bertanya pada petugas hotel, kebanyakan mereka orang India, kecuali sebagian kecil orang Malaya, dan aku diberitahu, baru kemarin, di hotel megah ini, sebuah sistem komputerisasi telah terpasang dan, sebelum semua keruwetan teratasi, sistem tersebut mengalami mogok selama dua jam. Tak tersedia satu pun cara untuk menyatakan mana kamar yang sedang terisi dan mana yang kosong. Aku harus menunggu.
Menjelang malam computer berhasil dipulihkan, dan aku bisa memasuki kamarku. Khawatir akan salmonku, aku mengeluarkannya dari koper dan mencari minibar.
Aturannya, di hotel yang normal, minibar adalah mesin pendingin berisi dua bir, beberapa botol kecil minuman keras, beberapa kaleng jus buah dan dua kotak kacang. Di hotelku, lemari pendinginnya berukuran keluarga dan berisi 15 botol wiski, gin, Drambuie, Courvoisier, delapan Perries ukuran besar, dua Vitelloise, dan dua Evian, tiga setengah sampanye, berkaleng-kaleng Guiness dengan bebagai varian, bir putih, bir Belanda, bir Jerman, beberapa botol anggur putih baik Perancis maupun Italia, dan di samping kacang, juga ada krakers koktil, kacang almon, coklat dan tablet Alka-Seltzer. Tak ada ruang tersisa untuk salmon. Aku menarik pintu laci lemari rias dan memindahkan barang-barang dari lemari pendingin ke dalamnya, dan kemudian menyimpan salmon di lemari pendingin tersebut. Di hari berikut, ketika aku kembali ke kamar pada pukul empat sore, salmon itu telah berada di atas meja, dan bar kembali dijejali hingga nyaris penuh oleh barang-barang seorang ahli kuliner. Aku membuka laci hanya untuk menemukan semua benda yang aku sembunyikan di dalamnya kemarin masih tetap berada di sana. Aku menelepon resepsionis dan memberi tahu mereka bahwa jika petugas kamar menemukan bar dalam keadaan kosong itu bukan berarti aku telah mengonsumsi semua isinya, melainkan karena salmon. Mereka menjawab bahwa informasi tersebut harus dimasukkan ke komputer utama, namun karena kebanyakan petugas hotel tidak berbahasa Inggris, instruksi verbal tidak bisa diterima. Semua perintah harus diberikan dalam bahasa BASIC.
Aku menarik dua laci lain dan memindahkan ke dalamnya muatan yang baru diisikan dalam bar, tempat yang kemudian kembali aku letakkan salmonku. Pukul empat sore di hari berikutnya, Salmon itu kembali ke meja, dan ikan itu telah menguarkan aroma mencurigakan.
Bar telah dijejali botol-botol ukuran sedang dan kecil, dan empat laci lemari rias tampak bagai ruang belakang sebuah kedai minum di puncak masa pelarangan minuman keras. Aku kembali menelepon resepsionis dan mereka berkata ada tambahan masalah pada komputer. Aku membunyikan bel untuk layanan kamar dan mencoba menjelaskan situasiku kepada seorang pria muda dengan rambut tergelung; dia bicara dengan logat yang, seorang rekan antrolopogis jelaskan kemudian, digunakan hanya di Kafiristan di sekitar masa ketika Alexander Agung meminang Roxana.
Pada pagi selanjutnya aku turun menandatangani tagihan. Sungguh tagihan yang luar biasa. Dalam tagihan tersebut terlihat bahwa aku, dalam dua setengah hari, telah mengonsumsi beberapa hektoliter (seratus liter) Veuve Clicquot, sepuluh liter aneka ragam wiski, termasuk beberapa malt tunggal yang sangat langka, delapan liter gin, dua puluh lima liter air mineral (Perrier dan Evian ditambah beberapa botol San Pellegrino), jumlah jus buah yang cukup untuk mencegah gusi berdarah pada semua anak di pusat perawatan UNICEF, kacang almond, kacang kenari dan kacang tanah yang cukup untuk memancing muntah petugas yang mengotopsi para karakter dari film La grande bouffe. Aku coba menjelaskan, namun sang kerani dengan senyum bak pengunyah sirih, meyakinkanku bahwa inilah yang dikatakan komputer. Aku minta seorang advokat, dan mereka membawakanku avokad.
Sekarang penerbitku yang gregetan dan mengira diriku adalah seorang tukang numpang makan yang parah. Salmonnya tak bisa dimakan. Dan anakku berkeras agar aku berhenti mabuk-mabukan.***
Tulisan ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris di majalah The Paris Review pada musim panas tahun 1994. Diterbitkan kembali secara daring tiga hari selepas mangkatnya Umberto Eco. Versi bahasa Inggris tulisan ini dapat disimak di sini.
April 3, 2017
Itikad Baik (Cerpen Jarek Westermark)
[image error]KERONGKONGAN Grub terasa kering seperti neraka. Ia mengerjap. Ketika itu tidak membantu, ia guncangkan kepalanya ke belakang dan ke depan. Akhirnya, ia berhasil mengatasi keanehan ini, kantuk yang mencekik. Sedikit demi sedikit ia mulai menyusun rincian tertentu dari sengkarut yang berkelindan di sekitarnya. Ia sudah mendengar jeritan, ratapan, dan gemertak geligi. Ruang tempat ia berada begitu sempit, sehingga seseorang dapat terus menerus bersenggolan dengannya. Orang-orang bergerombol di semua tempat. Ia memberengut. Dalam kehidupannya, ia tak mampu mengingat bagaimana ceritanya ia bisa berakhir di tempat itu.
“Sial…” gumamnya, spontan. Ruangan, lebih tepatnya lorong, itu dibanjiri kilau lampu neon yang tergantung di langit-langit. Bentuknya perlahan makin stabil dalam penginderaannya.
“Tuan Marvin Grundle?” bertanya seorang perempuan paruh baya, dengan busana modis, muncul entah dari mana, memandang Grub dengan tatapan yang diperjelas oleh suatu kacamata tebal. Ia menggenggam sebuah map abu-abu.
“Apa?”
“Tuan Marvin Grundle? Itu nama Anda kan?”
“Benar.” Ia berdeham dan meludah. Satu-satunya orang yang memanggilnya dengan nama depan hanyalah petugas masa percobaannya. “Panggil saja Grub.”
“Maaf?” perempuan itu mengernyit. Kerumunan di lorong itu berdesir serupa lautan berombak yang terbuat keluhan dan permohonan. Grub mungkin membayangkan perempuan itu sebagai oase ketenangan, jika saja itu ada dalam perbendaharaan katanya.
“Lupakan,” ujarnya ketus, kesal karena ia telah berbicara sama sekali.
“Mari ikut saya.” Perempuan itu membuka pintu di bagian kiri gedung. Pintu yang sebelumnya tidak disadari Grub. Ia menatap perempuan itu dengan pandangan ragu campur penasaran apa yang harus dilakukan. Sejumlah ratapan di sekitar mereka mengesankan sebuah suasana rumah sakit. Namun bisa saja tempat itu adalah kantor pemerintah, mungkin seharusnya ia minggat saja dari situ…tapi bagaimana jika itu rumah sakit? Grub sekali lagi mengambil satu langkah bimbang, lalu satu langkah lagi. Meski kepalanya pening, ia masih mampu berjalan menuju ambang pintu. Perempuan itu membanting pintu, menutupnya hingga riuh suara dari lorong serupa terpotong oleh ketajaman sebilah pisau. Grub menyapukan pandangan di sekitar ruangan. Cahaya dari lampu yang terpasang di langit-langit terpantul pada tembok kuning menyolok. Tak ada jendela. Poster-poster tergantung di mana-mana dengan gambar Grand Canyon dan sebuah hutan alami sempurna yang hanya menambah kesan claustrophobic segenap ruangan itu. Perempuan yang memandunya duduk di sebuah meja kayu yang dipenuhi kertas-kertas. Ia menyingkirkan kertas-kertas itu untuk memberi ruang lega bagi mapnya.
“Silakan duduk,” ujarnya, menunjuk sebuah kursi di tengah ruangan. Grub duduk dengan patuh, sebab ia kesulitan untuk tetap berpijak pada kakinya. Ia menggaruk kepala cepaknya.
“Apa yang terjadi?” erangnya.
“Saya yakin Anda ingin tahu apa yang telah terjadi.” Perempuan itu membuka map. “Dalam kasus tertentu…Ya, saya paham kalau keadaan mungkin tidak jelas. Sebaiknya bicarakan masalah dasarnya lebih dulu. Anda benar-benar tak ingat, Tuan Grundle? Kemarin sore…” ujarnya, memelan.
“Saya minum-minum?” ujar Grub sesaat, mengambil sedikit waktu untuk mengingat.
“Tepat!” kata perempuan itu, tersenyum. “Anda minum-minum di apartemen teman dekat Anda, sampai ia berusaha melempar Anda keluar.”
“Lonte sialan.”
“Lalu,” lanjutnya, matanya menyusuri halaman-halaman dalam map dari balik kacamatanya, “Anda memukuli anaknya dan lari ke jalanan bersama teman-teman Anda.”
“Cuaca dingin ketika itu.” Secercah ingatan perlahan kembali ke pikiran Grub.
“Lalu…”
“Saya masuk sebuah mobil?” Grub mendengar raung mesin. Tiba-tiba ia merasa tidak nyaman.
“Di atas jok pengemudi. Dengan kandungan alkohol dalam darah mendekati 0.30. Anda menstater mobil. Dan…?”
“Saya mengemudi pulang?” tanya Grub.
“Tidak,” perempuan itu menjawab singkat. “Anda mengemudi melewati pusat kota dengan kecepatan 90 kilometer per jam, ingat? Setelah melanggar lampu merah, Anda melaju ke tengah sebuah simpang enam. Anda berbelok terlalu tajam, roda kehilangan cengkeraman…”
“Mobilnya terguling…” Grub dapat mendengar decitan, geritan, dan jeritan.
“Ya, tapi tidak sampai mobil Anda mencapai trotoar. Anda melemparkannya sepanjang lebih dari 30 meter dan menabrak empat mahasiswa yang sedang menunggu bus malam.”
Grub mendadak merasa mual. Jadi selama ini ia berada di gedung pemerintah? Atau jangan-jangan semacam pengadilan?
“Semuanya telah dilarikan ke Rumah Sakit dan dua di antaranya sedang dalam kondisi kritis. Para dokter mengaku peluang mereka tidak besar…meskipun tentunya itu bukan urusan Anda,” perempuan itu berkata seraya tersenyum.
“Tapi…” Grub gugup. Apabila ia dalam keadaan mabuk telah menabrak lari seseorang, itu masalah besar. Masalah yang bisa berubah menjadi kekacauan besar.
“Jangan khawatir,” perempuan itu menambahkan, riang. “Keadilan telah ditegakkan. Teman-teman Anda juga telah terluka parah, sedangkan Anda sendiri…”
Sunyi sejenak.
“Ya?” Grub tersedak.
“Ya…” perempuan itu mendesah, “Anda mati di tempat. Biar saya luruskan, apakah Anda tidak menyadari semua ini?”
“Sebentar, apa-apaan ini?!”
“Setelah kematian Anda, sesuai butir-butir dalam kontrak, Anda harus dipindahkan ke institusi kami. Seseorang akan datang segera untuk memberi Anda segala rincian tugas pertama Anda. Jika ada pertanyaan…”
“Neraka apa ini, di kantor apa aku berada, kontrak apa?!”
“Neraka,” ulang perempuan itu, tersenyum hangat. “Anda boleh menyebutnya demikian. Sebagaimana yang kontrak…”
Ia membolak balik dengan sangkil berkas-berkas yang terkumpul dalam map. Lalu selang sesaat, semakin lambat. Ia Mengerutkan kening. Sementara, Grub merasa tidak bisa lagi mengendalikan diri dan tersapu oleh gelombang kejadian demi kejadian. Tiba-tiba menyadari kematian sendiri sungguh tidak membantu. Ia berusaha mengarungi pikirannya sendiri, namun tak mampu mengingat di sisi mana segalanya harus dimulai.
“Saya khawatir ada sedikit…kendala,” perempuan itu akhirnya berkata.
“Apa itu?”
“Saya tak bisa menemukan surat kontrak tersebut!” Ia memperlihatkan ekspresi hampa. “Tentang penjualan jiwa Anda.”
Menatap perempuan itu, mata Grub melebar.
“Aku menjual jiwaku?!”
“Saya memiliki pernyataan pemindahtanganan kepemilikan, yang tidak mungkin ada di sini tanpa kontrak tersebut, tapi kontrak itu sendiri…tidak kelihatan.” Ia membolak balik isi map itu sekali lagi.
“Aku tidak pernah meneken kontrak keparat mana pun!”
“Tuan, tolong tetap tenang, Anda mesti tenang.”
“Tapi kontrak itu tidak ada di sana!” Grub menemukan peluang menyelamatkan diri. Perempuan itu menatapnya. Selepas menimbang sesaat, ia meraih telepon pada meja di depannya dan mengangkat gagangnya.
“Biasanya saya tidak akan peduli pada surat kontrak yang hilang, pernyataan pindah kepemilikan secara keseluruhan sudah cukup dengan sendirinya. Namun Anda terlihat sangat suram,” ia tersenyum. “Saya akan membuat pengecualian.”
“Dengan kuku jari yang panjang dan terawat, ia menekan satu tombol pada gagang telepon. Grub dapat mendengar suara teredam seorang lelaki. Perempuan itu bercericit:
“Tuan Speight, apakah Anda tak keberatan datang ke ruangan saya sebentar? Terima kasih.” Ia menutup telepon. “Kita akan menyelesaikan ini sekarang juga!”
Selepas beberapa menit kebisuan yang kikuk, seorang lelaki tinggi, gemuk, sedikit botak, memasuki ruangan, mengenakan jaket tak berkancing dan baju berkerah.
“Panas seperti neraka ya hari ini!” ia berseru dalam suara bariton yang gemuruh. Ia menjabat tangan Grub dan duduk di meja. “Ada masalah apa, Nona Chrissy?”
“Ada sesuatu yang hilang dalam dokumen Tuan ini!” perempuan itu mencericit lagi. “Kontraknya tidak ada.”
“Tapi pemindahan…” kertas-kertas bergemerisik. “Di sini? Aneh.”
“Kami khawatir telah terjadi semacam kesimpangsiuran, Tuan Speight!”
“Tidak masuk akal!” ujar Speight. “Saya akan memeriksa arsip. Mungkin ada yang salah taruh.” Ia pergi.
“Jangan khawatir, Tuan Grundle!” kata Miss Chrissy dalam nada menenangkan. “Kami akan membereskannya dalam sekejap.”
Grub berdiri dan mulai mengitari ruangan. Ia yakin tidak pernah menjual jiwanya, tetapi ia tak tahu apakah ingatannya bisa dipercaya. Toh, ia bahkan tidak ingat kalau ia telah mati, baru sekarang. Meski berusaha sebaik mungkin, ia telah kehilangan ketenangan diri.
“Tolong duduklah..” ujar Nona Chrissy. Itu sudah keterlaluan. Grub sudah tak tahan. Ia menegangkan segenap ototnya dan melancarkan serangan. Ia sekitar seperempat atau setengah meter dari meja, tapi tubuhnya, yang telah terasah dalam gelegak ratusan adu jotos, menghantam penghalang tak kasatmata. Ia terpental seperti sebuah bola dan jatuh di atas lantai.
“Sangat mengesankan!” puji Nona Chrissy bersemangat. “Walau percuma.”
“Taek!” sergah Grub.
“Anda memiliki batasan tertentu di tempat ini, Tuan Grundle. Namun tolong jangan khawatir, Anda akan segera menerima instruksi yang sepadan dengan kapasitas Anda dan setelah itu Anda baru boleh gila-gilaan.”
“Instruksi?” Tanya Grub, enggan bersepakat dengan kenyataan bahwa ia tak mampu mengalahkan omong kosong yang keluar dari mulut cewek itu.
“Jiwa-jiwa yang, boleh dikatakan, telah kami dapatkan ketika mereka masih hidup, digunakan untuk berbagai tujuan setelah mereka mati. Siapa tahu, mungkin Anda bakal menjadi seorang penggoda! Hmm, mungkin tidak. Barangkali seorang pendera!”
“Apa?”
“Saya rasa ucapan selamat tinggal menunggu waktu, Tuan Grundle!” teriak Tuan Speight dari arah pintu. Di bawah kepitan tangannya ada lagi sebuah map berkas, diikat benang kelabu. “Anda punya dokumen dalam skala mengesankan! Kegiatan pengetikannya adalah masalah sebenarnya. Berkas-berkas lama telah dinomori dan disimpan dalam arsip! Tapi sekarang kami mendapatkan set lengkapnya!” Tuan Speight duduk di meja dan melepas benang kelabu itu. Sejumlah dokumen yang ia bawa tampak masih baru; lainnya terlihat seolah telah tersimpan di sana bertahun-tahun. Surat kekuningan telah ditandai dengan catatan tangan. Ada pula banyak guntingan kertas di antara lembaran-lebaran ukuran penuh. Dengan teliti Tuan Speight menyebarkan mereka pada tempat yang tersedia.
“Mau teh? Atau kopi?” tawar Nona Chrissy.
“Tidak terima kasih, saya baru makan siang,” jawab Tuan Speight, tersenyum.
“Aku tidak menjual jiwaku!” Grub mengamuk. “Demi kasih Tuhan!”
“Sudah sedikit terlambat untuk itu,” kata Tuan Speight, melirik Grub dari bawah alisnya yang tebal.
Setetes keringat tergelincir di punggung Grub. Ia menatap lekat jarak antara ia dan pintu. Mungkinkah ia mampu meraih kenop pintu sebelum mereka sadar apa yang terjadi? Setelah itu apa? Sementara, ungkapan gembira Tuan Speight barusan telah meninggalkan lelaki itu. Ia dengan gugup membolak-balik berkas.
“Duh, tidak ada kontrak semacam itu di sini,” ia akhirnya mengumumkan dalam nada sebal. “Tapi tidak ada kemungkinan lain, Tuan Grundle, Anda seharusnya telah menjual jiwa Anda. Mari telusuri riwayat hidup Anda,” ia memutuskan. Ia meletakkan jarinya ke secarik halaman dan perlahan mulai menggesernya ke bawah. “Ah! Ini dia, terang seterang siang! 7 Maret 1986: di umur delapan tahun Anda secara mental telah mengungkapkan keinginan menjual jiwa sehingga tak ada seorang pun yang tahu kalau Anda baru saja mencuri dari teman sekelas Anda.”
“Aku masih delapan tahun, pukimak!” lolong Grub.
“Anda sudah memperlihatkan kematangan luar bisa tapi…”
“Dan aku jelas-jelas tak meneken apa pun!”
“Tentu saja tidak,” kata Tuan Speight memberengut. “Lanjut… 5 Januari 1990: Anda secara verbal mengungkapkan keinginan menjual jiwa untuk ditukarkan dengan kematian orang dekat ibu Anda…”
“Keparat itu,” tukas Grub, menyebut kembali pria yang ia benci. Suatu malam, mendengarkan tawanya dan ringkik ibunya, ia mungkin saja telah merapalkan beberapa kata.
“Masalah telah terjelaskan,” kata Tuan Speight senang, setelah melihat ekspresi Grub.
“Tidak,” geram Grub. Sepanjang hidupnya ia telah khatam keluar masuk berbagai prosedur investigatif. Saatnya menggunakan kemampuan itu. “Tidak, bangsat. Aku semestinya meneken sesuatu di atas kertas. Bukan yang beginian.”
“Tak seorang pun yang datang kepada Anda?”
“Tidak ada.”
“Baiklah kalau begitu…” Jemari Tuan Speight menelusuri sebuah halaman. “7 Juli 1996: Anda bermohon kepada institusi kami agar Joanna Fairchild, saat itu 13 tahun, tak mengenali wajah Anda. Anda bersama kawan-kawan Anda telah memperkosanya.”
“Sialan, cuma ngobrol doang.”
“17 November, 2001: Anda siap menjual jiwa untuk ditukar dengan pembebasan lebih cepat dari penjara, tempat Anda menjalani hukuman untuk kasus pembunuhan… meskipun tentunya kami tahu itu tidak sengaja…Anda dibebaskan.”
“Ya, untuk sejumlah alasan teknis, pukimak! Tanpa bantuan siapa pun!”
“Benar,” ujar petugas itu dengan muka masam. “Lanjut…”
Menit-menit berlalu seiring Tuan Speight membuka-buka berkas-berkas tersebut. Sementara, sekelompok perempuan dalam jumlah banyak berkumpul di sekeliling meja. Mereka sebetulnya cuma ingin mengambil pena, atau sebuah dokumen dan kemudian menyadari betapa tidak biasanya masalah Grub itu lalu tidak beranjak untuk melihat bagaimana masalah itu akan berakhir.
“Baiklah,” kata Tuan Speight, lelah. “4 September 2009, Anda telah siap menjual jiwa Anda agara ibu Anda mati!” bisikan-bisikan takjub terdengar di seluruh ruangan.
“Agar dia mewariskanku rumahnya. Tapi dia tetap hidup.”
“Itu saja?”
“Ya, sial!”
“Kau tidak mengingat hal lain lagi?”
“Tidak!” sekarang mereka memberikannya penonton, Grub merasa lebih percaya diri. Para karyawati yang berkumpul semuanya tersenyum.
“Baiklah,” kata Tuan Speight, memutuskan menutup map. “Saya tak tahu mengapa dokumen tersebut hilang, atau mengapa Anda tidak ingat telah menyepakati perjanjian lisan, untuk mengatakan tak ada yang tertulis…”
“Jadi saya bisa pergi?” Tanya Grub, berusaha keras terdengar sopan.
“Kelihatannya keberadaan Anda di sini adalah kesalahan, bukan?”
“Yeah.”
“Meskipun begitu…ada satu hal yang harus kami sampaikan,” ujar Tuan Speight kesal. “Untuk memastikan, Anda paham. Nona Chrissy, telepon Petugas Hukum, tolong, minta mereka mengirim seseorang…saya rasa sebaiknya kita membawa masuk Repulisivich.
Grub menyadari kalimat terakhir Tuan Speight memicu reaksi yang sangat kuat di antara para perempuan di sekitarnya. Sebuah kesunyian menegangkan mencengkeram ruangan itu. Tak lama kemudian, pintu berderak membuka dan seorang lelaki pucat dengan jas polos menyelinap masuk.
“Halo, bolehkah nona-nona ini meninggalkan ruangan, terimakasih,” ia berkata dalam satu helaan napas. Para karyawati yang berkerumun berjalan pasrah menuju pintu. Pengacara membiarkan mereka lewat dan mendekati meja.
“Salam, salam, sebuah kebahagiaan bertemu Anda, teman!” seru Tuan Speight. “kesulitan kami adalah jumlah dokumen yang sangat besar menyulitkan klien kami ini, tetapi kami tak bisa menemukan surat kontrak penjualan, meskipun pernyatannya ada di sini dan…”
“Saya paham, Tuan Speight,” Pengacara itu berkata dingin. “Terimakasih bantuannya. Harap tinggalkan saya sendiri bersama Tuan…Grundle.”
Tanpa kata, Tuan Speight dan Nona Chrissy meninggalkan ruangan. Grub menelan ludah.
“Tuan Grundle,” pengacara itu berkata dari belakang meja, saat mereka tinggal berdua. “Nama saya Robert Repulsivich, dan saya memahami kesulitan Anda. Saya memohonkan sedikit saja kesabaran Anda.” Dengan cepat dan tepat ia menelusuri berkas Grub yang banyak.
“Baiklah.” Sekali lagi Grub merasa tak enak. Ia menunggu. Pengacara itu secara metodik mempelajari dokumen tersebut, beberapa kali menulis sesuatu pada buku catatannya. Ia membuat dua kali panggilan telepon dalam bahasa yang tak dimengerti Grub.
“Ya, saya paham,” ia berkata akhirnya.
“Apakah kontrak si—” Grub berdeham. “Apakah kontrak itu ada?”
“Tidak, tidak ada kontrak penjualan yang dibuat untuk jiwa Anda,” kata pengacara itu, kalem. “Namun, mengingat bukti akuisisinya ada di sini, tak perlu lagi dipertanyakan apakah Anda masihlah pemiliknya. Jiwa Anda milik kami. Tentu, Tuan Grundle, Anda memiliki hak untuk terkejut,” pengacara itu menatap Grub dengan pandangan merendahkan. “Tak lama lagi, saya akan memanggil Nona Chrissy, yang akan melengkapi semua formalitas.”
“Sialan, kok bisa?” Kepala Grub mulai berputar.
“Saya bisa memberi penjelasan.”
“Ya sudah! Jelaskan!” sekali lagi ia merasa kerongkongannya sekering neraka.
“Sebetulnya Anda tidak memindahtangankan jiwa Anda dengan suatu perjanjian jual beli. Namun, sebagaimana yang Anda lihat, kami telah mengumpulkan segala informasi tentang Anda…23 tahun. Itu tepat ketika Anda pada awalnya (dan dalam kesadaran penuh atas tindakan Anda sendiri) meminta pertolongan kami, yang dengan demikian menarik perhatian kami. Kami pun mempertimbangkan tanggal 7 Mei 1986 titik ketika jiwa Anda telah dipindahtangankan ke kami, dan kami menerimanya dalam itikad baik. Tentunya, dalam bentuk donasi, itu bukanlah pemindahtanganan yang mengikat, dan karena itulah, Tuan Grundle, Anda bisa meminta pengembalian subjek (donasi tersebut) dan menyatakan kepemilikannya kembali (yang dalam hal ini menjadi jiwa Anda kembali) kapan pun dalam setiap cara yang formal maupun informal.”
“Artinya?” tatapan Grub mulai terasa perih dan ia mulai mengusapnya. “Di gereja…”
“Dalam pengakuan dosa, misalnya. Atau,” Pengacara itu mendesah, “dengan melakukan perbuatan baik. Daftar kemungkinannya sayangnya, atau untungnya, panjang. Dengan satu dan lain cara, Anda tidak melakukan perbuatan itu, Tuan Grundle. Aktivitas Anda selama bertahun-tahun, sebagaimana yang telah kami pantau secara hati-hati, tidak memberikan bukti apa pun yang memperlihatkan Anda ingin meminta jiwa Anda kembali. Dalam situasi tersebut, kelanjutan itikad baik institusi ini tidak bergantung pada diskusi, sebagaimana yang bisa dikonfirmasi oleh setiap majelis banding yang hendak Anda tuju. Kami memiliki corpus, yang terkatakan. Animus saya tidak harus menyebutkan.” Ia tersenyum hambar. “Karena itu, kami bisa memastikan status kepemilikan. Tinggal pertanyaannya adalah kapan. Sebagaimana yang terjadi, merujuk Pasal 845 Kitab Undang-undang Hukum Pasca Perdata, tenggat 20 tahun berakhir tanggal 7 Maret 2006.”
“Tenggat?!” Dunia perlahan pudar sebelum Grub mengerlingkan mata. Ia yakin wajah sang pengacara makin mendekat, membesar, meregang ke segala arah. Sementara tubuhnya sendiri menyusut, dan tak butuh waktu lama hingga ia tak lagi lebih besar dari sebuah cangkir kosong.
“Tepat, tenggat waktu.” Suara itu datang dari segenap penjuru dalam satu waktu. “Tuan Grundle…kami memiliki jiwa Anda sejak tiga tahun lalu…tak disangkal lagi.”***
Jarek Westermark adalah pengarang Polandia, lulusan hukum dan bekerja sebagai penerjemah. Debutnya adalah pada 2016 dengan sebuah kumpulan cerpen bertajuk Stories I’ve Written. Ia juga menulis puisi, tampil dalam sejumlah pentas poetry slam, juga bernyanyi dan memainkan harmonika dalam sebuah band bernama Królduch.
Cerita pendek ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris terjemahan Sean Gasper Bye yang selengkapnya dapat disimak di sini.
March 21, 2017
Tujuh Cara Bersembunyi di Belakang Anjing (Cerpen Yordanka Beleva)
Ilustrasi: Lyn Hamer Cook (https://fineartamerica.com)
Perempuan berumur lebih panjang ketimbang lelaki. Perempuan yang memiliki anjing berumur lebih panjang ketimbang yang tidak. Perempuan yang memiliki anjing memiliki cinta. Anjing adalah cinta. Klub Nasional Perempuan Pemilik Anjing. Kalimat-kalimat tersebut adalah kutipan dari beberapa kuisionerku, di bagian tentang motif, dengan pertanyaan pertama adalah “Mengapa Anda memelihara anjing?”
Aku salin, menggarisbawahi respon tentang minat, dan menuliskan kembali bagian kuisioner. Aku baru-baru ini mulai mengikuti kelas psikologi dan tugas penelitian pertamaku bertajuk: “Lelaki di Belakang Anjing.”
Liliana, 36, Ibu Rumah Tangga
Di usia ini saya masih belum memiliki siapa pun dan apa pun. Saya kerap merasa dengki tanpa alasan. Saya benci anak-anak, kucing, dan apa pun yang tatapannya mampu melunakkan hati manusia. Kadang pikiran bahwa saya kurang menerima perhatian dibanding kucing rumahan paling jelek sekalipun membuat saya menangis. Namun menjadi diri sendiri saat menangis rasanya lebih baik bahkan jika dibandingkan dengan menjadi kucing rumahan paling cantik. Jika perempuan berumur seperti saya sudah mulai membandingkan dirinya dengan kucing, maka itu berarti sudah waktunya bagi saya memelihara anjing. Saya memiliki anjing sebagai sekutu melawan kucing. Ya benar, saya tidak hanya melakukan ini dengan alasan yang jelas-jelas untuk menghindari kesendirian. Saya mememelihara seekor anjing jelek bersama saya, bersama kejelekan saya. Anjing itu setia kepada saya dengan cara saya memperlakukannya dan saya pun setia kepadanya, sebab ia tidak cantik. Anjing itu juga memahami saya—ia mengejar anak-anak, kucing-kucing, dan apa pun yang tatapannya mampu melunakkan hati manusia. Saya yakin suatu hari nanti saya akan terbiasa dengannya dan akan melihatnya sebagai anjing paling cantik di muka bumi ini.
Mungkin hal yang sama juga berlaku kepada saya—seseorang hanya harus terbiasa dengan penampilan saya. Suatu hari, ketika kami mengejar kucing bersama, saya berpikir tentang semua kelakar mengenai orang berambut cokelat yang dibuat oleh orang-orang berambut pirang. Hal yang sama juga berlaku untuk saya dan kucing-kucing—saya mengejar mereka, tetapi sebetulnya saya sangat ingin menjadi kucing rumahan yang selalu dibelai seseorang.
Darina, 23, Pengusaha
Anjing tersebut saya terima sebagai hadiah. Semua anjing saya adalah hadiah. Saya tidak pernah risau akan kepercayaan yang mengatakan kalau hubunganmu bisa bubar jika kau menerima anjing sebagai hadiah. Kalau pun itu benar saya merasa tidak masalah sebab anjing-anjing tersebut dikemas dalam mobil—setiap kali menerima mobil sebagai hadiah, pasti ada anjing yang disertakan di dalamnya. Menerima hadiah semacam ini membuat saya bisa menghadapi hal-hal tak terelakkan dan kata putus dengan lebih mudah.
Mula-mula saya dapat anjing kecil, mobil pertama saya pun kecil. Saya tak tahu jenis keturunan anjing itu, begitu pula merek mobilnya; pokoknya keduanya kecil mungil. Anjing kedua saya lebih besar dan lebih mahal dan begitu juga mobilnya. Saya ingin menjadi bagian dari perkumpulan elit Anda, sebab semua teman perempuan saya adalah anggotanya. Saya punya anjing paling besar di Sofia yang betul-betul serasi dengan mobil SUV saya—mobil paling mahal di Bulgaria. Tentunya tak masalah bagi saya untuk menyumbang selama saya bisa menjadi manajer sejumlah kegiatan atau dengan menjadi presiden kehormatan klub, toh saya memiliki anjing terbesar di Sofia dan ukuran selalu merupakan hal penting. Perempuan sejati harus selalu memiliki mobil besar, anjing besar, dan pengusaha sukses di sisinya. Baik pacar saya sekarang maupun anjing saya sungguh luar biasa dalam hal ukuran, mereka sangat cocok satu sama lain, si anjing dapat merespon tiga perintah dasar sedangkan pacar saya merespon perintah paling penting—“Berikan saya itu!” Saya bahagia dan itulah yang utama ketika kita memelihara anjing kan?
Stanislava, 32, Ibu Tiga Anak
Kami punya dua anjing di apartemen tempat kami tinggal dan dua lagi di rumah orangtua saya di desa. Seekor anjing tidak seharusnya hidup sendirian di antara manusia, meski orang-orang menghujaninya dengan cinta. Jika situasi saya memungkinkan, saya akan memungut semua anjing jalanan dan merawat mereka seperti anak saya sendiri—saya akan membagi rata segalanya di antara mereka. Saya bermimpi menjalankan sebuah tempat perlindungan hewan. Saya rasa anak-anak saya akan menjadi seperti saya, boneka hewan mereka hampir semuanya berbentuk anak anjing. Kami mencintai anjing-anjing kami, mereka adalah kerabat, anak-anak kami. Saya kerap mendapatkan mimpi ini: saya tinggal di sebuah gedung tinggi penuh anjing dan kebanyakan di antara mereka sakit dan sedih, saya merawat mereka dan saya adalah Bunda Teresa dalam dunia peranjingan.
Milena, 48, Pekerja Sosial
Saya tidak butuh anjing, tapi siapa yang nanya? Suami saya memungut anjing itu, saya yang merawatnya, saya ajak jalan-jalan sebelum dan sepulang kerja, saya beri makan, saya bersihkan setelah itu. Rasanya seperti mendapatkan lelaki lain dalam rumah. Anjing itu membantu saya bicara pada orang-orang, membuat saya lebih manusiawi atau begitulah cerocos suami saya. Suami saya menyukai anjing itu apa adanya—saya mengerjakan pekerjaannya. Atau anjing itu yang mengerjakan.
Hristina, 20, Mahasiswi
Saya tidak pernah menyangka akan memiliki anjing. Teman saya meninggalkan anjingnya dengan saya dan setelah itu saya tak pernah melihat teman saya itu lagi. Anjing itu menjadi milik saya. Perasaan memiliki anjing sungguh menakjubkan. Saya senang memeluknya. Rasanya seperti memiliki boneka anjing yang hidup, yang sungguhan. Di malam hari ia tidur di kaki saya. Ia gelisah ketika saya gelisah. Ia menjilati air mata saya ketika saya menangis. Ia mencari saya ketika saya pergi. Saya berharap bertemu pria yang seperti anjing saya. Pria yang akan setia, seperti anjing saya. Saya mencari seseorang untuk menjadi anjing saya.
Asena, 68, Janda
Saya memelihara anjing sebagai teman bicara. Sejak suami saya meninggal saya tak memiliki seorang pun untuk diajak bicara, tak seorang pun untuk mengatakan bahkan hanya satu kata. Memiliki anjing sungguh lebih baik dibanding memiliki lelaki.
Edokiya, 45, Pengangguran
Awalnya, hubungan saya dengan para lelaki mirip dengan diet makanan terpisah—hadir dalam jumlah terbatas, tapi bisa dikombinasikan dengan cara tepat. Kemudian mereka mulai terlihat seperti kotak sampah untuk daur ulang. Saya butuh anjing untuk membantu mengenali mereka—bagaimana tipe satu sama lain. Anjing tahu mana yang baik dimakan dan mana yang tidak. Anjing ini adalah satu-satunya yang saya miliki dari seorang lelaki dari sepuluh tahun lalu. Saya menginginkan anak, ia memberi saya anjing.
*
Aku meninggalkan Klub Nasional Perempuan Pemilik Anjing. Aku telah mendapatkan apa yang aku butuhkan, yaitu data yang terkumpul untuk tugas penelitianku. Aku telah memilih motif-motif yang lebih menarik dalam hal kepemilikan anjing dan telah meringkasnya. Besok aku akan menambahkan sudut pandang kaum lelaki, pagi nanti aku akan berada di taman sekaligus mewawancarai pemilik anjing tuna wisma, dua pelatih anjing, dan akhirnya seseorang dari kantor walikota. Aku tak bisa mengabaikan anak-anak, aku butuh pendapat dari sejumlah anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Aku ingin mengerjakan tugas penelitian ini sebaik-baiknya. Tidak mudah dengan segala hubungan antara anjing dengan jenis kelamin, anjing dengan watak, anjing dengan bahasa, anjing dengan orang dewasa, anjing dengan agama. Para psikolog ini!
Aku tak tahu apakah perempuan berumur lebih panjang dari lelaki. Aku tak tahu apakah perempuan yang memiliki anjing berumur lebih panjang dari yang tidak. Yang aku tahu adalah pagi menjadi lebih panjang dan dimulai lebih dini ketika kau memiliki anjing. Anjing membuat harimu lebih lama. Apakah hari yang lebih lama membuat umurmu lebih panjang dan apakah perempuan berumur lebih panjang dibanding lelaki? Aku sama sekali tak tahu. Yang aku tahu adalah cinta, sejatinya, adalah seekor anjing. Aku memiliki seekor dachshund dan itulah cinta.
Cinta adalah seekor dachshund: bertambah panjang sering waktu berlalu tapi tak pernah bertambah tinggi—tak pernah.
Yordanka Beleva adalah suatu suara baru yang paling menarik dalam dunia prosa Bulgaria—meskipun ia memulai karir sastranya pada akhir tahun 1997 sebagai penyair, menyapu bersih penghargaan semua kontes sastra nasional utama dan menerbitkan dua jilid buku puisi. Kumpulan cerita pendeknya yang terbaru, The Sea Level of Love, menegaskan bahwa dia bisa sukses melompat genre, memindahkan yang terbaik dari bakat puitiknya untuk mendongeng. Ceritanya terfragmentasi, ramping, dan luas, meninggalkan jauh lebih banyak yang tak terkatakan daripada yang terkatakan. Sebagai penyair dan kritikus sastra, Silvia Choleva berpendapat mengenai Beleva: “Masing-masing dari ceritanya mengandung novel dalam dirinya sendiri.” Banyak ceritanya fokus pada karakter perempuan, ditulis kuat dengan hanya beberapa hentakan—perempuan dari masa lalu sosialis Bulgaria, nenek dan cucu , serta perempuan modern yang bergulat dengan cinta, seks dan identitas.
Versi bahasa Inggris dari cerita ini, ditulis Ivan Kolarov, dapat disimak di sini.
March 19, 2017
Di Bawah Bayang Sang Perancap Agung (Cerpen Alex Popov)
[image error](Cerita: Alek Popov (Bulgaria). Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Christopher Buxton di situs http://www.wordswithoutborders.org. Versi bahasa Inggris, dilengkapi penjelasan cerita dan latar belakang penulis serta penerjemahnya, dapat disimak di sini)
LIMA menit kemudian mendadak Botev mendapatkan kembali penglihatannya—sama mendadaknya dengan ketika ia kehilangannya. Ia tampak ketakutan, seolah ia baru saja ditarik dari sebuah sumur dalam penuh kalajengking dan ular.
Tak seorang pun dalam skuadron yang secara khusus pernah ikut dalam suatu pelatihan medis. Pernah beberapa waktu yang lalu, Extra Nina mengikuti kursus kebidanan. Si Tuli Tanko (Vitan Churov dari sebuah kampung bernama Churov Spring) lulus dari kursus keperawatan dalam bidang pengobatan hewan dan karenanya dialah yang dipercayakan mengelola kotak P3K. Mereka menyebutnya “Tuli” karena ia tak bisa mendengar apa pun melalui telinga kanannya. Ia pernah sukses membersihkan luka Lozan dan membebatnya, tapi dalam situasi Botev ini ia cuma bisa mengangkat bahu. Pemeriksaan pada mata Botev tidak membuahkan hasil—baik Si Tuli Tanko maupun Extra Nina tidak menemukan sesuatu yang janggal atau pun mengkhawatirkan.
“Kamu makan sesuatu dari tanah? Minum sesuatu? Kamu habis jatuh jumpalitan?” mereka mencecarnya seperti dokter betulan. “Pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya? Di keluargamu ada nggak yang buta?”
“Ngg, ngg, nggaaakk!” lenguh Botev.
Hanya untuk memastikan, mereka mencari kunci misteri itu dalam tas punggung Botev. Selain aneka rongsokan lelaki dewasa dan sigaret dalam jumlah banyak, apa yang jatuh dari dasar benda itu adalah secarik lap berwarna putih motif totol-totol dengan pinggiran berenda. Sebetulnya, pernah berwarna putih, benda itu telah mendapatkan semburat kekuningan—Extra Nina mengangkat benda itu dengan dua jari dan memeriksanya dalam ketidakpahaman. Lalu ia mengedarkan pandangan kepada kelompok partisan di sekelilingnya. “Apa ini…kamerad?”
Para pria mengangkat bahu, terlihat tidak ingin menggubris.
“Celana dalamku!” jerit Gabriella.
“Celana dalammu?! Kenapa kau kasih dia?”
“Yang benar saja! Bisa-bisanya kau berpikir begitu?” ia meringis. “Suatu pagi benda itu raib di udara yang tipis. Aku pikir beberapa gagak telah mencurinya…”
“Gagak!” dengus Medved.
Gabriella mencampakkan celana dalam itu ke dalam api unggun dengan gelagat jijik campur menyesal. Tak jelas apa pastinya hubungan antara celana dalam itu dengan kebutaan tiba-tiba Botev, namun semua orang merasakan ada sesuatu—sesuatu yang kurang wajar.
“Dzi mana khau dapat vanyak zhekali rokok?” Komandan bertanya dengan suara berat.
Botev tertunduk.
“Ngaku! Ngaku!” suruh Tikhon gemas. “Kamu beli rokok dengan celana dalam curian kan!”
“Apa?!”
“Dia menghargai dua batang rokok untuk lap setan itu, Tovarisht Kombrig! Sepuluh menit untuk dua batang rokok. Dasar kapitalis! Tuhan menghukumnya!”
“Tikhon!” hardik Nina.
“Maksudku… Alam,” bekas biarawan itu buru-buru meralat ucapannya. “Hukum alam menghukumnya.”
“Aku tak minta rokok. Mereka yang nawari kok,” rengek Botev, yang akhirnya telah sadar sepenuhnya dari pingsan. “Aku tidak mau kelihatan tak setiakawan. Aku malah memberikannya cuma-cuma. Bukan begitu? Ayo Maxim katakan pada mereka.”
“Aku, semacam itu…” anak muda itu tergagap, ragu.
“Teruz kenapha venda-venda ini phenting bhuatmu” tuntut komandan tegas.
“Tidak penting juga.”
“Kenapa? Supaya mereka bisa ngeloco, itulah kenapa, ha-ha-ha!” Tikhon menjelaskan. “Sudahlah, berhentilah bersikap lugu. Akui saja!”
“Memangnya kau tidak ngeloco?” cibir Svilen.
“Aku juga ngeloco sih,” Tikhon mengelus janggutnya, “Tapi tidak banyak. Lebih dari lima kali mereka ngeloco, Tovarisht Kombrig! Malam dan siang. Aku sudah tahu kalau sesuatu yang buruk akan terjadi…di kampung kami ada seorang buta. Kami memanggilnya Goblin. Bukan hanya karena ia buta, tapi juga karena ia dungu. Nenek menasehatiku jika aku ngeloco aku bisa saja berakhir seperti dia. Jika aku melihat tanganmu di bawah selimut. Tapi peduli amat…duh, berapa banyak ya pecut jelatang berduri yang telah dirasakan tangan ini?”
Ia menekuk empat jari gemuknya sembari menggeleng sedih.
“Aku juga, mereka menghajar tanganku dengan pecut jelatang,” ratap Kochan.
“Tidak cuma bikin buta,” imbuh Digger. “Di kampung kami ada yang namanya Manol, lima belas tahun terbaring lumpuh. Ibuku bilang: ngelocolah kalau pengen seperti Paman Manol, ngeloco saja, tapi jangan harap ibu mau mencebok pantat jorokmu setelah itu…”
“Nah, ada yang bilang kau bisa kena sawan lantaran itu,” kata Lozan. “suatu penyakit, epilepsi kalau kau pernah dengar…”
“Jika seorang anak ngeloco di rumah pada hari Santo Igantius,” berbisiklah Metodii tua, menggali dari kearifan lokal yang berabad-abad usianya, “tahun itu pohon-pohon tak akan berbuah. Benih anak lelaki akan tumpah ruah tapi tak ada yang menampungnya. Ayam-ayam betina akan berkurang telurnya, dan sapi-sapi tidak akan menghasilkan anak.”
Sebuah kesunyian yang menyiksa mendadak jatuh. Dalam kenangan setiap orang mengintailah pengasuh-pengasuh dengan muka berbulu, menggenggam pecut jelatang berduri di satu tangan dan cambuk ranting di tangan lain. Dan kini si bungkuk pemberang itu mengangkat dirinya keluar dari sudut terlupakan, melangkah keluar dengan berani dan siap berperang, sebagaimana cara yang diketahui orang-orang tua, memburu setiap setan dalam diri. Dengan wajah berminyak dan mata pucat mendelik, mereka semburkan peringatan keras dan dan nubuat berat mengenai kebinasaan di masa datang, kutukan-kutukan keluarga, dan kematian yang menyakitkan.
Celana dalam itu terbakar dalam jilatan api yang lemah.
“Sudah berapa lama kelakuan memalukan ini berlangsung? tanya Extra Nina.
Botev menuding para gadis: “Sejak kedua perempuan itu muncul…”
“Apa?” Gabriella dan Monika terbelalak kaget.
“Kau pembohong bangsat!” teriak Bushy. “Aku telah melihatmu ngeloco jauh sebelum itu! Di Triavo waktu kau sedang dalam tugas jaga…kau menularkannya kepada yang lain.”
“Hmm, kamu gak bermaksud bilang kamu kena kudis kan?” sela Gabriella. “Sebetulnya ngeloco ini apaan sih? Kami gak pernah bawa penyakit kudis ke unit ini, kami belum pernah sakit kudis. Kami pernah kena cacar, itu juga gatalnya gak enak sih, tapi udah lama.”
Mendadak, semua orang jadi tak tahan untuk tidak tertawa cekikikan. Bahkan sesuatu seperti seulas senyum tergaris melintang di paras Medved. Extra Nina tersipu dan gadis-gadis tampak kebingungan.
“Adakah yang bisa menjelaskan apa arti dan makna kata: ngeloco?!” mata Monika berkilat geram.
Extra Nina yang tersipu menyeret mereka ke satu sisi. Dia bukanlah ahli dalam topik tersebut, meskipun pernah kursus kebidanan, dan karena itulah penjelasannya terdengar sedikit ganjil. Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya si kembar benar-benar paham tentang apa percekcokan barusan.
“Oh, itu!” seru Monika.
“Kami sudah baca banyak soal masturbasi,” ujar Gabriella, “dalam salah satu majalah ibuku ada sebuah artikel yang ditulis seseorang bernama Shtekel, seorang akademisi Austria. Ia bersikukuh kalau masturbasi adalah benar-benar aktivitas manusia normal.”
“Ya, benar-benar normal,” tegas saudarinya, berbalik menghadapi para lelaki, lalu berseru: “Tak ada yang harus membuat kalian malu, kamerad. Kalian tidak akan buta lantaran ini, kalian tidak akan tuli, kalian tidak akan kena sawan. Selama berabad-abad merancap dilaknat oleh kekuatan reaksioner sehingga terbenam dalam benak masyarakat luas. Di zaman ini, ilmu pengetahuan telah menolak habis-habisan dusta kotor ini dan bahkan menganggap dusta tersebut membawa kerusakan fatal pada jiwa manusia. Panjang umur masturbasi! Runtuhlah tirani paham lama!”
Tak seorang pun berani memekikkan kembali slogan baru itu, walau menarik betul kedengarannya. Para lelaki merendahkan pandangan seolah takut oleh semacam jebakan. Atau lelucon. Para nenek tidak menyerah begitu saja…Medved sadar bahwa pandangan mereka sekarang tertuju kepadanya. Hanya soal waktu dan dia telah menebak pertanyaan apa yang bakal muncul.
“Bagaimana mereka membahas isu masturbasi ini di Uni Soviet, Tovarisht Kombrig?” Screw bertanya malu-malu.
Medved menarik ujung tuniknya, batuk, lalu berkata: “Zoal mazdurbazi tidak dibahaz dalam agenda harian di Uni Zoviet. Orang Zoviet memiliki lebih banyak dugaz mendezak untuk dikerjakan. Mereka tidak membiarkan diri membuang enerzi untuk hal yang zia-zia. Aku zarankan kepada kalian untuk menghemat kekuatan. Kita tidak dapat bergantung pada zuplai reguler. Zetiap kalori berharga untuk tujuan perjuangan kita.”
Extra Nina menunggu kata-kata tersebut tertancap ke dalam benak para pejuang sejenak sebelum kemudian berseru: “Jika rakyat Uni Soviet bisa, kita juga bisa!”
“Bawel amat sih?” gumam Lenin.
“Kamerad!” Screw melompat, suaranya tergetar oleh emosi. “Sebagai Sekretaris Organisasi Pemuda, atas nama semua anggota kita yang bertanggungjawab, aku bersumpah dengan janji yang sungguh-sungguh bahwa kita akan menghentikan perilaku ini.”
“Kami bersumpah, kami bersumpah…” serentak sejumlah suara tak jelas.
Medved menggaruk kepalanya dengan sedikit sangsi. Botev mengendap-endap menuju api unggun sembari menatap ke bawah. Berjalan menyelisihi Botev, komandan menghentikannya dengan sorot tak berkedip yang membuat siapa pun gentar. “Tidak baik begitu, kamerad.”
“Saya tidak mencuri. Cuma minjam,” lelaki tidak beruntung itu tersedu. “Aku hendak mengembalikan itu ke mereka kalau sempat.”
“Hari ini zitu nyolong celana dalam, bezok mungkin roti zeorang kamerad. Agar zitu paham, kali berikutnya zitu biza zaja za tembak mati.”
*
PADA sore hari, suhu jatuh drastis. Para partisan merapatkan setiap baju terusan, sweater, rompi, dan celana wol lapis yang mereka punya, meringkuk di bawah selimut, dan berjubel dengan satu sama lain. Api unggun perlahan padam. Tinggal lampu parafin di tenda Komandan Jenderal yang masih menyala. Di depan penutup tenda, Stoicho tugur dengan bayonet tertancap di tanah. Medved telah memanggil semua pejabat skuadron. Dari waktu ke waktu denting tombol mesin ketik melayang ke udara. Jelas bagi semua orang sebuah pertanyaan maha penting sedang didiskusikan, dimulai dengan keputusan strategis yang mungkin akan segera mengubah takdir mereka.
Kedua gadis mengusap hidung mereka bersamaan untuk menghangatkan diri.
“Tahu nggak,” Gabriella berbisik, “apa pun yang yang Shtekel celotehkan, hal itu tidak terdengar setiakawan menurutku…”
Monika diam beberapa saat dan kemudian balik berbisik: “Aku curiga, jangan-jangan, justru kitalah yang telah memancing mereka dalam suatu cara untuk bersikap begitu.”
“Memancing gimana?”
“Mana kutahu… Mungkin kita tanpa sadar menginginkan mereka menyukai kita. Kita memperlihatkan suatu kegenitan perempuan atau kelemahan lain, yang membangkitkan gairah tertentu, yang tidak pantas bagi perjuangan?”
Dia behenti sejenak.
“Biarkan mereka melihat kita telanjang!”
“Tapi jangan sengaja!”
“Ya, jangan disengaja.”
Ada beberapa menit kesunyian setelah itu. Kehangatan lembut bergerak di antara hidung mereka.
“Kalau kita mati terhormat di tengah pertempuran, mereka akan mengerti bahwa kita bukan orang semacam itu…”erang Gabriella. “Meskipun terlambat.”
Dan dengan pikiran itu mereka mulai menangis serempak.
Tak sampai sepelemparan batu dari mereka, orang-orang kampung mendengkur, berguling satu sama lain seperti sebaris labu. Botev menggigil sendiri di bawah selembar selimut, dijauhi semua orang seolah ia sedang membawa bibit penyakit menular. Bushy memiliki selubungnya sendiri, dilapisi kulit domba, di mana ia membalut dirinya kuat-kuat serupa sebuah kepompong. Tikhon menempeli Digger dan Paman Metodii sebab ia demam. Demi kesetiakawanan mereka membiarkannya masuk, dan sebagai ungkapan terimakasih ia mengentuti mereka di bawah kain kanvas itu. Bagi Paman Metodii, yang telah berenang menuju realitas yang lain sementara waktu, aroma tersebut tak membuatnya terkesan sama sekali. Tapi Digger bahkan tak mampu berpikir untuk menutupi kepalanya. Telinganya membeku di dalam topi tipisnya. Selain soal ini, ia kesal mengetahui bahwa Lenin dan bukan dirinya yang diundang rapat. Telinganya menangkap sayup percakapan para pemuda yang berbaring di semak-semak.
“Jadi begitu saja?” Lozan bersuara. “Mereka membohongi kita seperti orang kampung dungu.”
“Dan bukan cuma kamu,” Nail menambahkan dengan muram: “Bapakmu dan kakekmu… balik ke generasi kesembilan dan seterusnya, mereka juga sudah dikadali.”
“Kelihatannya ini bukan satu-satunya kebohongan yang telah mereka sebar!” dengus Dicho.
“Kau harus selalu bertanya siapa yang paling diuntungkan dari pelayanan ini,” tuding Screw.
“Kelas penghisap!” bisik-bisik berhembus.
“Mereka punya istri-istri paling cantik, punya gundik, bukan cuma satu untuk seorang. Mereka mengambil semua jenis kenikmatan…” lanjut Screw geram. “Dan bagaimana dengan rakyat jelata? Dua tangan kosong. Dan itu bikin mereka jijik.”
“Ya, masturbasi adalah aktivitas proletar,” dukung Nail.
“Tapi persoalan celana dalam ini, ada sesuatu hal yang rasanya tidak mencerminkan kesetiakawanan…” sahut Lozan. “Kita telah melecehkan para kamerad perempuan kita. Apa yang akan mereka pikir tentang kita? Sekelompok mutan!”
“Mereka bilang kita bisa kok.”
“Yah, mungkin kita bisa tapi itu tidak setia kawan,” cetus Dicho. “Di Uni Soviet mereka tidak bersikap seperti ini. Mereka gadis-gadis pemberani dan layak mendapatkan rasa hormat. Kita harus cari cara untuk memperbaiki citra buruk ini.”
“Kita akan memperbaikinya,” ujar Svilen pelan.
“Bagaimana?”
“Saat kita mati.”
“Ayo doooongggg, locoin, terus tidur, ya kawan!” Digger tak tahan lagi.
“Ogah!” sebuah suara menyahut balik. “Kita sudah bersumpah.”***
*Tovarisht Kombrig: Salah satu tanda pangkat dalam dinas ketentaraan Uni Soviet.
**Kata “Rub Off” saya terjemahkan di sini sebagai “ngeloco” buat menghormati begawan filsafat tubuh cum prosais Gunawan Tri Atmodjo.
[image error]
January 15, 2017
Perajut Jala dan Bayang-bayang
Foto: Riden Baruadi
Aku adalah bayang-bayang yang menemanimu di beranda. Setiap pagi hingga senja. Bayang-bayang yang menemanimu memperbaiki jala milik para tetangga. Mungkin waktu adalah sehelai selaput tipis, sehingga merajut jala bukan lagi pekerjaan yang sanggup mereka lakukan sendiri. Atau mungkin mereka hanya kasihan melihatmu yang selalu membutuhkan pekerjaan demi menghidupi diri sendiri, seorang anak perempuan yang juga telah menjanda, dan dua orang cucu yang sedang beranjak remaja.
Jika ada yang paling aku cintai pada dirimu, itu adalah kedua matamu. Mata yang masih kuat dan tajam. Mata yang masih sanggup menemukan ujung kayu perajut jala. Mata yang henti-henti mencari apa yang hendak disembunyikan di balik kebungkaman dan kata-kata.
Sepasang mata itu hanyalah dua di antara beberapa hal yang belum terjamah usia renta. Aku yakin kau pun membanggakan tulang punggung dan panggulmu yang masih tahan menanggung beban tubuhmu sendiri saat kau berlama-lama duduk menghadap laut, mengendus aroma garam, merasai semilir angin, merajut, dan kadang-kadang meraba maut.
Aku juga mengagumi sepuluh jemarimu, yang tetap lincah dan liat menangani lintuh benang-benang jala. Meski beberapa kali rematik, asam urat dan berbagai jenis nyeri yang tak kau kenali membelasah segenap tulang dan sendi. Sepuluh jemari itu juga masih memiliki kemampuan berhitung seperti dulu. Memperhitungkan kalisuwa, lowanga, dan berbagai jenis penanggalan nasib yang telah berpuluh tahun kau pelajari. Sungguh sayang, hampir sepuluh tahun silam seorang lelaki menafikan perhitungan itu.
“Jangan dulu pergi hari ini,” pintamu kepadanya ketika itu. “Sesuai perhitunganku, hari ini bukanlah hari yang baik untuk melaut.”
Lelaki itu sesungguhnya memercayaimu, sebab di dunia ini kepada siapa lagi ia bisa percaya? Namun utang telah menggunung: Kepada tengkulak; kepada koperasi; kepada pemilik perahu; kepada pemasok solar; kepada warung kelontong tempat ia menunggak pembayaran rokok, kopi, beras, mi instan, ikan kering, bawang, rica dan tomat.
“Empat bulan musim angin buruk telah reda, jika tak melaut sekarang lalu kapan lagi?” sahut lelaki itu. Namun kau hanya bisa meminta ia percaya.
Sungguh, ia sangat memercayaimu, namun rasa percaya itu tak kuasa melawan cintanya kepada laut—dan terutama cintanya kepadamu dan kepada keluarga. Keesokan harinya, pagi-pagi benar ia telah mempersiapkan segala perlengkapan melaut. Melipat jala, mengecek ketinting, mengecup keningmu yang belum juga terjaga.
Kecupan itu malah benar-benar membuatmu terjaga dan kau kemudian memberinya suatu tatapan berisi tanda tanya. Lelaki itu tak mengatakan apa pun. Ia tetap pergi selepas meneguk secangkir teh yang buru-buru kau seduhkan untuknya. Di ambang pintu kau menatap punggungnya seraya tak habis-habis bertanya dalam hati, untuk apa kecupan itu? Sesuatu yang tak pernah ia lakukan setelah berpuluh tahun kalian bersama.
Musim angin buruk benar-benar telah reda. Ia masih menganggap tak ada suatu hal berbahaya yang menantinya di balik cakrawala. Di suatu titik di lautan, tempat terumbu karang mekar dan menyebar, ia melempar jala.
Sungguh bahagia hatinya melihat ikan-ikan kecil tapi gemuk itu menggelepar di lambung perahu setelah lama ia tak melaut. Perasaan yang rasanya sebanding dengan perasaan yang muncul saat melihat kau tertawa bahagia.
Matahari beringsut makin dekat ke pusat langit. Lelaki itu lalu mengarahkan perahu ke balik pulau, untuk mencoba mencari peluang baru. Terus dan terus, hingga tiba-tiba ia bertemu perahu yang lebih besar dari perahunya, yang berisi tiga lelaki dan setumpuk benda-benda bulat panjang berwarna putih. Ia tahu siapa mereka: para pencipta ledakan.
Darahnya menggelegak. Inilah mereka yang selalu diburu polisi air dan orang-orang kampung, pikirnya. Para pencuri yang tak ragu mengoyak alam, merusak terumbu, membunuh ikan-ikan kecil yang belum waktunya diambil, dan mencurangi nelayan-nelayan jujur seperti dirinya. Ia mendekati seraya meneriaki mereka agar pergi dari tempat itu. Namun, orang-orang dengan peledak itu malah tertawa, dan balas menghardiknya.
Perahunya makin mendekati perahu mereka. Amarahnya makin meluap dan hendak menerjang mereka. Orang-orang dengan peledak itu semakin garang pula memekikkan ancaman demi ancaman. Ia sungguh tak memperhatikan benar apa yang terjadi kemudian. Seorang di antara para pencipta ledakan melemparinya dengan salah satu benda bulat panjang berwarna putih dari tumpukan itu.
Ia sempat melihat lebih jelas benda tersebut. Sebuah botol bekas minuman ringan yang telah diisi serbuk kelabu. Seutas tali tipis dengan ujung yang sedang terbakar menjuntai keluar dari mulut botol. Benda itu jatuh tepat di atas ikan-ikan yang baru saja ia tangkap. Tali tipis itu semakin pendek, dan ia terlambat meloncat dari perahu.
Esok harinya para penduduk kampung menemukan sebujur jasad yang telah koyak dan tak berbentuk. Kau meratap, meraung dan menyesali mengapa aku—lelaki itu—tak mendengarkan laranganmu. Kau menangisi tubuhku. Tubuh yang tak dapat lagi memberimu secuil kecupan.
Kau tentu tak tahu, tubuh yang kau tangisi itu hanyalah tubuh kerasku. Sementara tubuh halusku telah bersumpah setia menunggu di sisimu. Menemanimu merajut jala di beranda, setiap pagi hingga senja—sebagai sebuah bayang-bayang.***
Kalisuwa: primbon Gorontalo berdasarkan hari.
Lowanga: primbon Gorontalo berdasarkan jam.
*Fragmen ini adalah tafsir penulis atas sebuah foto karya fotografer Gorontalo Riden Baruadi, merupakan bagian kedua dari tulisan berjudul: Jembatan, Udara, dan Bayang-bayang. Termaktub dalam Katalog Pameran Foto Tunggal Riden Baruadi yang bertajuk Beyond Nature yang dihelat November 2016 silam di Gorontalo.
[image error]
January 11, 2017
Kawan Karib Udara
[image error]
Tak kurang dari tiga puluh bulan lalu, kau adalah makhluk mungil ringkih dengan jari-jari sayap yang belum sempurna. Pemangsa kecil dengan pikiran yang terlampau semenjana. Berbagai ide, aturan dan keharusan didesakkan di dalam kepalamu, disurukkan di balik bulu-bulumu yang sebagian berwarna awan, dan sebagian berawarna tembaga.
“Kita adalah bangsa penerbang paling perkasa, penguasa angkasa raya,” begitulah suatu kali indukmu berbisik. Tak tepat betul disebut bisik, melainkan lebih dari itu, seperti berseru. Suatu peringatan yang tak boleh disanggah. Sebuah dogma yang harus kau camkan sungguh-sungguh.
Engkau adalah telur terakhir yang menetas di suatu pagi, tak kurang dari tiga puluh bulan lalu. Di dalam sarang yang terbuatdari jalinan rumput kering.Sarang itu telah riuh oleh celoteh saudara-saudarimu: tiga kantong bulu yang terlontar dari cangkang-cangkang telur yang retak dan robek lebih dulu. Telurmu sendiri bergeming. Sejenak kau dilupakan, sedikit lagi kau direlakan.
Namun, dunia di balik telur berkata, “kau harus keluar, takdirmu mesti digenapkan.” Maka bersama sisa albumin dan lendir hijau keruh, kau mematuk, meronta dan berkeciap meminta perhatian semesta.
“Anggota pemungkas telah tiba dengan selamat,” sambut indukmu pada akhirnya, dengan kasihnya yang hangat dan suaranya yang kuat. Dunia ternyata begitu terang dan udara adalah sesuatu yang menyenangkan, begitu pikirmu.
Kau dansaudara-saudarimu kemudian melewati empat puluh hari masa persiapan. Mencecap kasih sang induk yang menetes-netes dari paruhnya. Bubur lembut dan kaya gizi yang ia bawa pulang entah dari mana. Sejak pagi ia pergi, siang hari ia kembali, kemudian pergi lagi dan kembali menjelang malam. Begitu seterusnya agar kalian tak kelaparan. Otot-otot kalian mendapatkan daya dan tulang-tulang kalian diberi kepejalan.
Kau terus tumbuh dan menguat, untuk kemudian perlahan berusaha mengetahui dan menemukan titik lemah udara.Bukan untuk saling mengalahkan, tetapi untuk menjadi teman yang saling menyokong dan menghidupkan. Kau dan udara adalah satu substansi dalam dua materi. Adalah sejoli yang harus terus menerus saling isi.
Tertatih, tersaruk, terengah-engah, namun akhirnya kau dapat mengepakkan sayap dengan bertenaga. Sebuah kesempurnaan pada percobaan entah keberapa. Kau telah mampu terbang selang delapan pekan mencoba. Menyisir angkasa, menggarit air dan lumpur, merenggut ikan, kepiting, kerang, katak, pengerat, reptil, dan bahkan serangga. Di atas rawa, sawah, dan telaga.
Hidup adalah sebuah rotasi, sebuah perulangan tiada henti. Begitu pula hidupmu. Di tepi danau yang semakin dangkal dan dipenuhi eceng gondok itu kau menemukan cintamu: seekor pejantan berbulu mengkilap. Lalu tak lama, tubuhmu terasa penuh. Dan kau membuat sarang untuk menampung butir-butir kehidupan yang kemudian melepaskan diri darimu itu.
Telur-telur itu menetas, dan kau melakukan kembali apa yang dilakukan indukmu dahulu. Pergi pagi untuk berburu, pulang sejenak menyuapi anak, lalu kembali berburu.
Entah ini perburuan yang keberapa. Namun matamu selalu tajam, pandanganmu selalu awas. Kau meliuk, berkelit, berputar.“Kita adalah bangsa penerbang paling perkasa, penguasa angkasa raya,” bisikmu berulang-ulang. Bukan berbisik tepatnya, melainkan berseru.
Kau ucapkan itu berulang kali, kepada dirimu sendiri, sementara seekor unggas kecil tak berkutik dalam cengkeramanmu. Kau gembira sejenak membayangkan lengking keciap lapar anak-anakmu yang tak pernah gagal membuat hati bergetar dan terharu. Hanya sejenak, sebelum sebutir timah melesat, berputar dan meremukkan kepalamu.***
*Fragmen ini adalah tafsir penulis atas sebuah foto karya fotografer Gorontalo Riden Baruadi, merupakan bagian kedua dari tulisan berjudul: Jembatan, Udara, dan Bayang-bayang. Termaktub dalam Katalog Pameran Foto Tunggal Riden Baruadi yang bertajuk Beyond Nature yang dihelat November 2016 silam di Gorontalo.
January 6, 2017
Jembatan Gantung: Kisah yang Terpancung
Jembatan Suwawa – Riden Baruadi
Dahulu, ketika buaya-buaya adalah alasan para penyeberang berkali-kali menyebut nama Tuhan, ia adalah lelaki yang bahagia. Orang-orang selalu singgah, sekadar mengaso atau menginap atau menidurkan kecemasan dalam diri, yang dibangkitkan rahasia sungai dan rupa-rupa makhluk pengintai. Satu atau dua malam; satu atau dua cangkir kopi; satu atau dua bungkus mi instan; selalu ada yang dihabiskan, selalu ada yang diceritakan. Dan ia adalah lelaki yang tak pernah merasa kesepian—dahulu, sebelum jembatan gantung itu dipancangkan.
Seorang perempuan setia senantiasa menjaga jiwanya, memenuhi segala kebutuhan dan hasrat seorang pecinta yang masih bergelora dalam tubuh tuanya. Mereka sepasang kekasih yang selalu merasa kecukupan di bantaran sungai, di dalam gubuk dengan dua bilik dan jendela yang menguarkan aroma cengkih dan tembakau. Rimbun hutan, sunyi semak, dan desau daun dari puncak Tilongkabila adalah penghibur saat satu di antara mereka tak lagi mampu mengingat sebuah lagu. Tak lagi sanggup menyanyikan apa-apa.
Setiap pagi, yang dibutuhkan lelaki itu hanyalah isyarat purba yang merambat dari pelipis sungai sebelum mengetuk ujung-ujung rakitnya. Jika isyarat itu telah tertangkap oleh batinnya, tahulah ia, akan ada tamu yang datang. Seorang atau sekelompok penyeberang.
Ia lalu akan melinting tembakau, menyulutnya, sebelum merapikan gubuk. Ia akan mengeluarkan tikar, kasur, bantal, kursi-kursi rotan dan membiarkan panas matahari menjerang tungau, kutu busuk dan berbagai makhluk renik yang membangun kota mikroskopik di sela-sela urat dan serat perabotan-perabotan terbaiknya itu. Bukan sebuah pekerjaan yang menghasilkan keringat, bukan pula kegiatan yang menjadikan pundak dan ruas lengannya buntalan tegang, padat dan kukuh, namun itu membuatnya merasa bermanfaat. Membuatnya merasa utuh.
Sementara perempuan yang ia kasihi akan menyalakan tungku, menjerang air, merebus jagung, ubi jalar, dan ubi kayu. Menumbuk kopi dan mengulek dabu-dabu. Para penyeberang, orang-orang yang nanti menggunakan jasanya, tentu akan tiba dengan lambung lapar dan punggung yang linu.
Air hangat akan melancarkan peredaran darah, dan sebuah perjalanan tak boleh terlalu lama berhenti di tempat singgah. Tapi beberapa percakapan—tentang hutan yang dekat, kota yang jauh, lubang-lubang di bumi, dan politik yang bisa dibeli—akan melepaskan diri dari jaring-jaring kusut bernama pikiran manusia.
Itu dahulu, sebelum jembatan itu didirikan. Sebelum cinta seorang kekasih dihentikan kematian. Ia kini sendiri. Rakit dan rasa sakitnya teronggok dan membusuk di tepi. Sementara orang-orang yang lewat tak lagi singgah. Tak meninggalkan apa-apa selain raungan mesin, asap knalpot dan salam yang memuat basa basi.***
*Dabu-dabu: sambal khas Gorontalo dan sekitarnya. Dibuat dari cabai, bawang merah, dan tomat yang kadang diulek, kadang diiris tipis-tipis, tanpa dimasak. Hanya ditambahi garam dan minyak bekas menggoreng ikan.
*Fragmen ini adalah tafsir penulis atas sebuah foto karya fotografer Gorontalo Riden Baruadi, merupakan bagian pertama dari tulisan berjudul: Jembatan, Udara, dan Bayang-bayang. Termaktub dalam Katalog Pameran Foto Tunggal Riden Baruadi yang bertajuk Beyond Nature yang dihelat November 2016 silam di Gorontalo.




