Jembatan Gantung: Kisah yang Terpancung

[image error]

Jembatan Suwawa – Riden Baruadi


Dahulu, ketika buaya-buaya adalah alasan para penyeberang berkali-kali menyebut nama Tuhan, ia adalah lelaki yang bahagia. Orang-orang selalu singgah, sekadar mengaso atau menginap atau menidurkan kecemasan dalam diri, yang dibangkitkan rahasia sungai dan rupa-rupa makhluk pengintai. Satu atau dua malam; satu atau dua cangkir kopi; satu atau dua bungkus mi instan; selalu ada yang dihabiskan, selalu ada yang diceritakan. Dan ia adalah lelaki yang tak pernah merasa kesepian—dahulu, sebelum jembatan gantung itu dipancangkan.


Seorang perempuan setia senantiasa menjaga jiwanya, memenuhi segala kebutuhan dan hasrat seorang pecinta yang masih bergelora dalam tubuh tuanya. Mereka sepasang kekasih yang selalu merasa kecukupan di bantaran sungai, di dalam gubuk dengan dua bilik dan jendela yang menguarkan aroma cengkih dan tembakau. Rimbun hutan, sunyi semak, dan desau daun dari puncak Tilongkabila adalah penghibur saat satu di antara mereka tak lagi mampu mengingat sebuah lagu. Tak lagi sanggup menyanyikan apa-apa.


Setiap pagi, yang dibutuhkan lelaki itu hanyalah isyarat purba yang merambat dari pelipis sungai sebelum mengetuk ujung-ujung rakitnya. Jika isyarat itu telah tertangkap oleh batinnya, tahulah ia, akan ada tamu yang datang. Seorang atau sekelompok penyeberang.


Ia lalu akan melinting tembakau, menyulutnya, sebelum merapikan gubuk. Ia akan mengeluarkan tikar, kasur, bantal, kursi-kursi rotan dan membiarkan panas matahari menjerang tungau, kutu busuk dan berbagai makhluk renik yang membangun kota mikroskopik di sela-sela urat dan serat perabotan-perabotan terbaiknya itu. Bukan sebuah pekerjaan yang menghasilkan keringat, bukan pula kegiatan yang menjadikan pundak dan ruas lengannya buntalan tegang, padat dan kukuh, namun itu membuatnya merasa bermanfaat. Membuatnya merasa utuh.


Sementara perempuan yang ia kasihi akan menyalakan tungku, menjerang air, merebus jagung, ubi jalar, dan ubi kayu. Menumbuk kopi dan mengulek dabu-dabu. Para penyeberang, orang-orang yang nanti menggunakan jasanya, tentu akan tiba dengan lambung lapar dan punggung yang linu.


Air hangat akan melancarkan peredaran darah, dan sebuah perjalanan tak boleh terlalu lama berhenti di tempat singgah. Tapi beberapa percakapan—tentang hutan yang dekat, kota yang jauh, lubang-lubang di bumi, dan politik yang bisa dibeli—akan melepaskan diri dari jaring-jaring kusut bernama pikiran manusia.


Itu dahulu, sebelum jembatan itu didirikan. Sebelum cinta seorang kekasih dihentikan kematian. Ia kini sendiri. Rakit dan rasa sakitnya teronggok dan membusuk di tepi. Sementara orang-orang yang lewat tak lagi singgah. Tak meninggalkan apa-apa selain raungan mesin, asap knalpot dan salam yang memuat basa basi.***


*Dabu-dabu: sambal khas Gorontalo dan sekitarnya. Dibuat dari cabai, bawang merah, dan tomat  yang kadang diulek, kadang diiris tipis-tipis, tanpa dimasak. Hanya ditambahi garam dan minyak bekas menggoreng ikan.


*Fragmen ini adalah tafsir penulis atas sebuah foto karya fotografer Gorontalo Riden Baruadi, merupakan bagian pertama dari tulisan berjudul: Jembatan, Udara, dan Bayang-bayang. Termaktub dalam Katalog Pameran Foto Tunggal Riden Baruadi yang bertajuk Beyond Nature yang dihelat November 2016 silam di Gorontalo.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 06, 2017 04:58
No comments have been added yet.