Kawan Karib Udara
[image error]
Tak kurang dari tiga puluh bulan lalu, kau adalah makhluk mungil ringkih dengan jari-jari sayap yang belum sempurna. Pemangsa kecil dengan pikiran yang terlampau semenjana. Berbagai ide, aturan dan keharusan didesakkan di dalam kepalamu, disurukkan di balik bulu-bulumu yang sebagian berwarna awan, dan sebagian berawarna tembaga.
“Kita adalah bangsa penerbang paling perkasa, penguasa angkasa raya,” begitulah suatu kali indukmu berbisik. Tak tepat betul disebut bisik, melainkan lebih dari itu, seperti berseru. Suatu peringatan yang tak boleh disanggah. Sebuah dogma yang harus kau camkan sungguh-sungguh.
Engkau adalah telur terakhir yang menetas di suatu pagi, tak kurang dari tiga puluh bulan lalu. Di dalam sarang yang terbuatdari jalinan rumput kering.Sarang itu telah riuh oleh celoteh saudara-saudarimu: tiga kantong bulu yang terlontar dari cangkang-cangkang telur yang retak dan robek lebih dulu. Telurmu sendiri bergeming. Sejenak kau dilupakan, sedikit lagi kau direlakan.
Namun, dunia di balik telur berkata, “kau harus keluar, takdirmu mesti digenapkan.” Maka bersama sisa albumin dan lendir hijau keruh, kau mematuk, meronta dan berkeciap meminta perhatian semesta.
“Anggota pemungkas telah tiba dengan selamat,” sambut indukmu pada akhirnya, dengan kasihnya yang hangat dan suaranya yang kuat. Dunia ternyata begitu terang dan udara adalah sesuatu yang menyenangkan, begitu pikirmu.
Kau dansaudara-saudarimu kemudian melewati empat puluh hari masa persiapan. Mencecap kasih sang induk yang menetes-netes dari paruhnya. Bubur lembut dan kaya gizi yang ia bawa pulang entah dari mana. Sejak pagi ia pergi, siang hari ia kembali, kemudian pergi lagi dan kembali menjelang malam. Begitu seterusnya agar kalian tak kelaparan. Otot-otot kalian mendapatkan daya dan tulang-tulang kalian diberi kepejalan.
Kau terus tumbuh dan menguat, untuk kemudian perlahan berusaha mengetahui dan menemukan titik lemah udara.Bukan untuk saling mengalahkan, tetapi untuk menjadi teman yang saling menyokong dan menghidupkan. Kau dan udara adalah satu substansi dalam dua materi. Adalah sejoli yang harus terus menerus saling isi.
Tertatih, tersaruk, terengah-engah, namun akhirnya kau dapat mengepakkan sayap dengan bertenaga. Sebuah kesempurnaan pada percobaan entah keberapa. Kau telah mampu terbang selang delapan pekan mencoba. Menyisir angkasa, menggarit air dan lumpur, merenggut ikan, kepiting, kerang, katak, pengerat, reptil, dan bahkan serangga. Di atas rawa, sawah, dan telaga.
Hidup adalah sebuah rotasi, sebuah perulangan tiada henti. Begitu pula hidupmu. Di tepi danau yang semakin dangkal dan dipenuhi eceng gondok itu kau menemukan cintamu: seekor pejantan berbulu mengkilap. Lalu tak lama, tubuhmu terasa penuh. Dan kau membuat sarang untuk menampung butir-butir kehidupan yang kemudian melepaskan diri darimu itu.
Telur-telur itu menetas, dan kau melakukan kembali apa yang dilakukan indukmu dahulu. Pergi pagi untuk berburu, pulang sejenak menyuapi anak, lalu kembali berburu.
Entah ini perburuan yang keberapa. Namun matamu selalu tajam, pandanganmu selalu awas. Kau meliuk, berkelit, berputar.“Kita adalah bangsa penerbang paling perkasa, penguasa angkasa raya,” bisikmu berulang-ulang. Bukan berbisik tepatnya, melainkan berseru.
Kau ucapkan itu berulang kali, kepada dirimu sendiri, sementara seekor unggas kecil tak berkutik dalam cengkeramanmu. Kau gembira sejenak membayangkan lengking keciap lapar anak-anakmu yang tak pernah gagal membuat hati bergetar dan terharu. Hanya sejenak, sebelum sebutir timah melesat, berputar dan meremukkan kepalamu.***
*Fragmen ini adalah tafsir penulis atas sebuah foto karya fotografer Gorontalo Riden Baruadi, merupakan bagian kedua dari tulisan berjudul: Jembatan, Udara, dan Bayang-bayang. Termaktub dalam Katalog Pameran Foto Tunggal Riden Baruadi yang bertajuk Beyond Nature yang dihelat November 2016 silam di Gorontalo.


