Jamil Massa's Blog, page 4

January 4, 2017

Secangkir Teh yang Asoy (Esai George Orwell)

[image error]


Jika Anda mencari bagian ‘teh’ di buku panduan memasak terdekat yang bisa Anda temukan, mungkin bagian tersebut tidak akan disebut; atau kebanyakan dari Anda akan menemukan beberapa deret instruksi yang tidak memberikan arahan bagi sejumlah poin yang justru paling penting.


Ini aneh, bukan hanya karena teh merupakan salah satu penanda peradaban di negeri ini (Inggris), sebagaimana juga di Eire (Kepulauan Irlandia), Australia, dan Selandia Baru, namun juga karena tata laksana pembuatannya tak lepas dari berbagai perdebatan yang keras.


Ketika saya melihat resep saya sendiri tentang bagaimana membuat secangkir teh yang sempurna, saya menemukan tak kurang dari sebelas poin menarik. Kemungkinan dua di antaranya sudah menjadi kesepakatan umum, namun setidaknya empat lainnya amat kontroversial. Berikut sebelas aturan saya dalam menyeduh teh, yang setiap tahapannya saya anggap sebagai emas:



Pertama-tama, gunakanlah teh India atau Srilanka. Teh Cina memang memiliki keutamaan yang tak bisa dipandang remeh di masa kini—ekonomis, dan bisa diminum tanpa susu—tapi tak banyak kegairahan di dalamnya. Seseorang tak akan mendapatkan perasaan yang lebih bijak, lebih berani atau lebih optimistik selepas menyesap teh Cina. Siapa pun yang menggunakan frasa nyaman ‘secangkir teh yang baik’ selalu berarti teh India.


Kedua, teh harus dibuat dalam jumlah kecil—yaitu, dalam teko. Teh yang melebihi satu pasu selalu akan kehilangan rasa, sementara teh tentara, yang diseduh dalam ketel, akan terasa berminyak dan berkapur. Teko yang digunakan sebaiknya buatan cina atau dari bahan tanah liat. Teko perak atau pabrikan britania menghasilkan teh bermutu rendah dan teko enamel bahkan lebih buruk lagi; meski cukup aneh teko timah (sekarang barang langka) tidak terlalu buruk.


Ketiga, teko harus dihangatkan sebelum digunakan. Akan lebih baik bila ini dilakukan dengan meletakkannya di papan besi dekat tungku ketimbang dibilas dengan air panas sebagaimana yang biasanya banyak orang lakukan.


Keempat, teh haruslah kuat. Untuk satu teko berukuran satu quart, jika Anda ingin mengisinya hingga hampir penuh, enam sendok teh yang menggunduk kira-kira sudah tepat. Di zaman penjatahan, hal ini bukanlah ide yang bisa terlaksana setiap hari dalam seminggu, tetapi saya tegaskan bahwa satu cangkir teh yang kuat lebih baik daripada dua puluh cangkir teh yang lemah. Semua pecinta teh sejati bukan hanya menyukai teh mereka terasa kuat, namun juga menginginkan itu semakin bertambah kuat seiring bertambahnya usia si peminum—sebuah kenyataan yang disadari dalam masalah penambahan jatah untuk pensiunan lanjut usia.


Kelima, teh haruslah diisikan langsung ke dalam teko. Tak boleh ada saringan, kantung kasa atau peralatan lain yang mengurung serpihan teh. Di beberapa daerah teko dilengkapi dengan keranjang kecil yang menjuntai di bawah cerat untuk menampung serpihan teh yang bertebaran, suatu hal yang sesungguhnya berbahaya. Sebetulnya Anda dapat menelan daun teh dalam jumlah besar tanpa efek samping, dan jika tidak dilepaskan dalam teko, teh tidak akan tercampur dengan benar.


Keenam, seseorang harus mengangkat teko ke ketel dan bukan sebaliknya. Air harus benar-benar mendidih saat terjadinya benturan, artinya ketel harus dijaga tetap tersentuh nyala api saat menuangkan air. Beberapa orang menambahkan, menyeduh teh haruslah hanya menggunakan air yang baru saja mendidih, namun saya tak pernah merasa hal tersebut bisa membuat perbedaan.


Ketujuh, setelah menyeduh seseorang haruslah mengaduk teh tersebut, atau untuk hasil lebih bagus, goyanglah teko teh tersebut dengan baik, setelah itu biarkan serpihan tersebut mengendap.


Kedelapan, seseorang harus minum dari sebuah cangkir sarapan yang baik—yaitu, cangkir tipe silinder, bukan cangkir datar, atau yang dangkal. Cangkir sarapan menampung lebih banyak, dan dengan cangkir jenis lain, teh Anda akan selalu menjadi separuh dingin sebelum anda menyesapnya.


Kesembilan, seseorang harus menuang krim terpisah dari susu sebelum menggunakannya untuk tehnya. Susu yang terlalu kental akan memberi teh rasa yang enek.


Kesepuluh, seseorang harus menuang teh ke cangkir lebih dulu. Ini adalah poin yang paling kontroversial dari semuanya; sesungguhnya setiap keluarga di Britania Raya mungkin memiliki dua aliran pemikiran atas perihal ini. Aliran susu-lebih-dulu dapat memberikan argumen yang cukup kuat, namun saya berkeras bahwa argumen saya sendiri tak perlu lagi dipertanyakan. Yaitu, dengan menuangkan teh lebih dahulu dan mengaduknya dalam sekali tuangan, peracik dapat mengatur takaran susu, dan sebaliknya, orang bersangkutan akan cenderung menaruh terlalu banyak susu jika melakukan cara yang sebaliknya.


Terakhir, teh—kecuali jika Anda hendak meminumnya dengan gaya rusia—harus diminum tanpa gula. Saya sadari benar kalau saya adalah minoritas dalam perkara ini. Namun tetap saja, bagaimana Anda menyebut diri sebagai pencinta teh sejati jika Anda merusak rasa teh Anda sendiri dengan memasukkan gula di dalamnya? Akan menjadi sama masuk akalnya alasan ini jika Anda mengganti gula dengan lada atau garam. Teh tercipta sebagai kepahitan, sebagaimana bir tercipta juga sebagai kepahitan. Jika Anda mempermanisnya, maka Anda tak lagi mencicipi secangkir teh, Anda mencicipi gula belaka; Anda bisa membuat minuman yang sama persis dengan melarutkan gula dalam air tawar yang panas.

Sejumlah orang akan menanggapi dengan jawaban bahwa mereka tidak menyukai teh itu sendiri, bahwa mereka hanya meminumnya untuk mendapatkan kehangatan dan kegairahan, dan mereka membutuhkan gula untuk mengusir rasanya. Kepada orang-orang salah arah tersebut saya hendak menyatakan: cobalah minum teh tanpa gula selama, katakanlah, dua minggu dan kemungkinan besar Anda tak akan lagi mau merusak teh dengan memberinya pemanis.


Poin-poin di atas tak hanya kontroversial sehubungan dengan tata cara minum teh, namun juga cukup untuk memperlihatkan betapa subtil seluruh bisnis ini jadinya. Ada pula etiket sosial yang secara misterius melingkupi teko teh itu sendiri (mengapa minum dari lapik bisa dianggap sebagai perilaku tidak sopan, umpamanya) dan banyak yang mungkin bisa dituliskan mengenai kegunaan lain daun teh, misalnya untuk membaca peruntungan, meramalkan kedatangan tamu, pakan kelinci, mengobati luka bakar dan untuk membersihkan karpet. Penting untuk memperhatikan sejumlah detail seperti menghangatkan teko atau menggunakan air yang benar-benar mendidih, sama pentingnya dengan memastikan segenggam jatah teh Anda menjadi dua puluh kali lebih baik, secangkir teh yang kuat dari dua ons teh yang bisa anda dapatkan dapat tersaji selayaknya.


(Diambil dari The Collected Essays, Journalism and Letters of George Orwell, Volume 3, 1943-45, Penguin ISBN, 0-14-00-3153-7)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 04, 2017 17:06

Secangkir Teh yang Asoy (George Orwell)

[image error]


Jika Anda mencari bagian ‘teh’ di buku panduan memasak terdekat yang bisa Anda temukan, mungkin bagian tersebut tidak akan disebut; atau kebanyakan dari Anda akan menemukan beberapa deret instruksi yang tidak memberikan arahan bagi sejumlah poin yang justru paling penting.


Ini aneh, bukan hanya karena teh merupakan salah satu penanda peradaban di negeri ini (Inggris), sebagaimana juga di Eire (Kepulauan Irlandia), Australia, dan Selandia Baru, namun juga karena tata laksana pembuatannya tak lepas dari berbagai perdebatan yang keras.


Ketika saya melihat resep saya sendiri tentang bagaimana membuat secangkir teh yang sempurna, saya menemukan tak kurang dari sebelas poin menarik. Kemungkinan dua di antaranya sudah menjadi kesepakatan umum, namun setidaknya empat lainnya amat kontroversial. Berikut sebelas aturan saya dalam menyeduh teh, yang setiap tahapannya saya anggap sebagai emas:



Pertama-tama, gunakanlah teh India atau Srilanka. Teh Cina memang memiliki keutamaan yang tak bisa dipandang remeh di masa kini—ekonomis, dan bisa diminum tanpa susu—tapi tak banyak kegairahan di dalamnya. Seseorang tak akan mendapatkan perasaan yang lebih bijak, lebih berani atau lebih optimistik selepas menyesap teh Cina. Siapa pun yang menggunakan frasa nyaman ‘secangkir teh yang baik’ selalu berarti teh India.


Kedua, teh harus dibuat dalam jumlah kecil—yaitu, dalam teko. Teh yang melebihi satu pasu selalu akan kehilangan rasa, sementara teh tentara, yang diseduh dalam ketel, akan terasa berminyak dan berkapur. Teko yang digunakan sebaiknya buatan cina atau dari bahan tanah liat. Teko perak atau pabrikan britania menghasilkan teh bermutu rendah dan teko enamel bahkan lebih buruk lagi; meski cukup aneh teko timah (sekarang barang langka) tidak terlalu buruk.


Ketiga, teko harus dihangatkan sebelum digunakan. Akan lebih baik bila ini dilakukan dengan meletakkannya di papan besi dekat tungku ketimbang dibilas dengan air panas sebagaimana yang biasanya banyak orang lakukan.


Keempat, teh haruslah kuat. Untuk satu teko berukuran satu quart, jika Anda ingin mengisinya hingga hampir penuh, enam sendok teh yang menggunduk kira-kira sudah tepat. Di zaman penjatahan, hal ini bukanlah ide yang bisa terlaksana setiap hari dalam seminggu, tetapi saya tegaskan bahwa satu cangkir teh yang kuat lebih baik daripada dua puluh cangkir teh yang lemah. Semua pecinta teh sejati bukan hanya menyukai teh mereka terasa kuat, namun juga menginginkan itu semakin bertambah kuat seiring bertambahnya usia si peminum—sebuah kenyataan yang disadari dalam masalah penambahan jatah untuk pensiunan lanjut usia.


Kelima, teh haruslah diisikan langsung ke dalam teko. Tak boleh ada saringan, kantung kasa atau peralatan lain yang mengurung serpihan teh. Di beberapa daerah teko dilengkapi dengan keranjang kecil yang menjuntai di bawah cerat untuk menampung serpihan teh yang bertebaran, suatu hal yang sesungguhnya berbahaya. Sebetulnya Anda dapat menelan daun teh dalam jumlah besar tanpa efek samping, dan jika tidak dilepaskan dalam teko, teh tidak akan tercampur dengan benar.


Keenam, seseorang harus mengangkat teko ke ketel dan bukan sebaliknya. Air harus benar-benar mendidih saat terjadinya benturan, artinya ketel harus dijaga tetap tersentuh nyala api saat menuangkan air. Beberapa orang menambahkan, menyeduh teh haruslah hanya menggunakan air yang baru saja mendidih, namun saya tak pernah merasa hal tersebut bisa membuat perbedaan.


Ketujuh, setelah menyeduh seseorang haruslah mengaduk teh tersebut, atau untuk hasil lebih bagus, goyanglah teko teh tersebut dengan baik, setelah itu biarkan serpihan tersebut mengendap.


Kedelapan, seseorang harus minum dari sebuah cangkir sarapan yang baik—yaitu, cangkir tipe silinder, bukan cangkir datar, atau yang dangkal. Cangkir sarapan menampung lebih banyak, dan dengan cangkir jenis lain, teh Anda akan selalu menjadi separuh dingin sebelum anda menyesapnya.


Kesembilan, seseorang harus menuang krim terpisah dari susu sebelum menggunakannya untuk tehnya. Susu yang terlalu kental akan memberi teh rasa yang enek.


Kesepuluh, seseorang harus menuang teh ke cangkir lebih dulu. Ini adalah poin yang paling kontroversial dari semuanya; sesungguhnya setiap keluarga di Britania Raya mungkin memiliki dua aliran pemikiran atas perihal ini. Aliran susu-lebih-dulu dapat memberikan argumen yang cukup kuat, namun saya berkeras bahwa argumen saya sendiri tak perlu lagi dipertanyakan. Yaitu, dengan menuangkan teh lebih dahulu dan mengaduknya dalam sekali tuangan, peracik dapat mengatur takaran susu, dan sebaliknya, orang bersangkutan akan cenderung menaruh terlalu banyak susu jika melakukan cara yang sebaliknya.


Terakhir, teh—kecuali jika Anda hendak meminumnya dengan gaya rusia—harus diminum tanpa gula. Saya sadari benar kalau saya adalah minoritas dalam perkara ini. Namun tetap saja, bagaimana Anda menyebut diri sebagai pencinta teh sejati jika Anda merusak rasa teh Anda sendiri dengan memasukkan gula di dalamnya? Akan menjadi sama masuk akalnya alasan ini jika Anda mengganti gula dengan lada atau garam. Teh tercipta sebagai kepahitan, sebagaimana bir tercipta juga sebagai kepahitan. Jika Anda mempermanisnya, maka Anda tak lagi mencicipi secangkir teh, Anda mencicipi gula belaka; Anda bisa membuat minuman yang sama persis dengan melarutkan gula dalam air tawar yang panas.

Sejumlah orang akan menanggapi dengan jawaban bahwa mereka tidak menyukai teh itu sendiri, bahwa mereka hanya meminumnya untuk mendapatkan kehangatan dan kegairahan, dan mereka membutuhkan gula untuk mengusir rasanya. Kepada orang-orang salah arah tersebut saya hendak menyatakan: cobalah minum teh tanpa gula selama, katakanlah, dua minggu dan kemungkinan besar Anda tak akan lagi mau merusak teh dengan memberinya pemanis.


Poin-poin di atas tak hanya kontroversial sehubungan dengan tata cara minum teh, namun juga cukup untuk memperlihatkan betapa subtil seluruh bisnis ini jadinya. Ada pula etiket sosial yang secara misterius melingkupi teko teh itu sendiri (mengapa minum dari lapik bisa dianggap sebagai perilaku tidak sopan, umpamanya) dan banyak yang mungkin bisa dituliskan mengenai kegunaan lain daun teh, misalnya untuk membaca peruntungan, meramalkan kedatangan tamu, pakan kelinci, mengobati luka bakar dan untuk membersihkan karpet. Penting untuk memperhatikan sejumlah detail seperti menghangatkan teko atau menggunakan air yang benar-benar mendidih, sama pentingnya dengan memastikan segenggam jatah teh Anda menjadi dua puluh kali lebih baik, secangkir teh yang kuat dari dua ons teh yang bisa anda dapatkan dapat tersaji selayaknya.


(Diambil dari The Collected Essays, Journalism and Letters of George Orwell, Volume 3, 1943-45, Penguin ISBN, 0-14-00-3153-7)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 04, 2017 17:06

January 3, 2017

Ilabulo di Atas Bara

[image error]

Ilabulo (Sumber: indonesiakaya.com)


HANIDA berkali-kali menyeka keringat di dahi dan dagunya. Api masih menyala di kompor gas. Air rebusan dalam panci telah mendidih. Ia mengecilkan api, mengangkat daging dan hati yang telah direbus dengan potongan daun jeruk, daun salam, sepenggal jahe, dan sejumput garam.


Sunyi. Tak ada tangis bayi. Hanida tersenyum membayangkan anak bungsunya tertidur di buaian. Sementara anak sulungnya telah ia titipkan di rumah mertuanya yang selalu gembira setiap kali dikunjungi sang cucu. Ia amat membutuhkan saat-saat seperti ini. Saat-saat di mana ia bisa berkonsentrasi tanpa disela tangis anak-anaknya. Ia tersenyum membayangkan akan seperti apa ilabulo yang sedang dibuatnya itu. Ilabulo yang gurih, lembut, dan berminyak.


“Sekarang saatnya membakar tempurung,” gumamnya seusai meniriskan daging dan hati yang telah ia potong kecil-kecil.


Diambilnya beberapa keping tempurung kelapa dari karung di sudut dapur. Lalu ditatanya tempurung-tempurung itu di perapian hingga membentuk deretan gunung. Kemudian tempurung-tempurung itu disulutnya dengan geretan. Kretek, kretek, kretek… tak lama kemudian terdengar bunyi tempurung yang mulai retak dimakan api.


“Pembakaran atau oksidasi adalah sebuah proses yang membutuhkan oksigen dan menghasilkan karbondioksida,” Hanida teringat pelajaran Kimia yang pernah ia terima tatkala duduk di bangku SMA. Ia teringat ruang kelas, guru yang membosankan dan para remaja berseragam putih abu-abu, teman-teman sekolahnya.


SMA itu, ia ingat, adalah tempat ia bertemu Kasim, lelaki yang sekarang menjadi suaminya. Kasim adalah teman sekelasnya, duduk tepat satu meja di belakangnya. Ia dan kasim memiliki kesamaan dalam pelajaran Kimia, mereka sama-sama menganggap pelajaran itu terlalu rumit untuk pikiran-pikiran mereka yang sederhana.


Satu lagi kesamaan mereka saat pelajaran kimia tengah berlangsung, mereka kerap saling tukar potongan-potongan kertas. Kadang potongan kertas itu berisi gambar-gambar dan tulisan-tulisan untuk mengejek Pak Rahmat, sang Guru Kimia; kadang potongan kertas itu berisi kelakar dan anekdot lucu yang dikutip Kasim entah dari mana.


Kebiasaan itu berlanjut di mata pelajaran yang lain, Bahasa Indonesia, Agama, Matematika, Biologi. Saat mereka naik ke kelas dua dan dipertemukan kembali dalam kelas yang sama, kebiasaan itu bahkan terus berlanjut. Hanida mungkin menyadarinya, dari tukar menukar potongan kertas itu, api cinta beroksidasi dalam hatinya. Oksidasi yang melawan teori-teori kimia, sebab kehadirannya dibantu karbondioksida yang berembus dari bibir Kasim.


Hingga suatu hari, ia dan kasim singgah di sebuah ladang seusai jam sekolah. Ia lupa untuk apa mereka ke ladang itu, tapi ia masih ingat betul apa yang terjadi.


“Selaput dara terdiri dari sejumlah lapisan. Seperti bawang. Bayangkan jika lapisan-lapisan itu robek sekaligus,” Hanida teringat kata-kata Ibu Maryam, Guru Biologi, saat mengajar soal reproduksi. Di dangau ladang itu, Hanida pun akhirnya paham maksud Ibu Maryam. Ia pun akhirnya mengerti bagaimana rasanya menjadi bawang. Nyeri. Berlapis-lapis nyeri.


Bawang merah terakhir telah dikulitinya sebelum ia masukkan ke dalam cobek. Dalam cobek batu itu telah menunggu cabai rawit, bawang putih, dan merica. Hanida lalu menumbukkan anak batu, menekan bumbu-bumbu itu perlahan-lahan.


Ia kembali mengelap keringat. Bau asap tempurung melekat di dasternya. Ia memperkirakan hari sudah sore, meski ia tidak yakin benar. Dapur itu kekurangan jendela. Hanya ada tiga lubang kecil yang tersedia di bagian atas tembok sebagai tempat keluar masuk udara. Bagi Hanida, bayangan ilabulo yang hangat, dan suaminya yang lahap telah mengalahkan penat dan pengap.


Bumbu-bumbu yang telah halus kemudian ia tuang ke dalam wajan berisi minyak goreng panas. Sebentar kemudian menyusul potongan-potongan daging dan hati. Ia membolak-balik tumisan. Matanya sempat terpejam saat wangi bumbu bercampur irisan daging dan hati telah mencapai sarah-saraf penciumannya. Hanida kemudian menyiramkan semangkuk adonan kental ke dalam tumisan. Adonan tepung sagu, kaldu, dan santan yang sebelumnya telah ia siapkan. Diaduknya lagi, dan lagi, hingga adonan itu berubah menjadi bubur yang meletup-letup karena tekanan panas.


“Pas!” bisiknya saat setitik adonan yang ia cecap terasa merayap-rayap di lidahnya.


Ia pindahkan adonan itu ke lembar-lembar daun pisang. Sesendok demi sesendok. Dua setengah sendok adonan, lalu dilipatnya daun pisang itu hingga membentuk bungkusan pipih nan lonjong. Di suatu lipatan, ia sematkan dua batang lidi seukuran dua ruas jari. Ilabulo dalam bungkusan hijau muda sudah separuh jadi.


Pakaian pengantin Hanida juga berwarna hijau muda. Itu sekitar tiga setengah tahun lalu. Bagi orang Gorontalo, hijau adalah satu dari empat warna adat1. Hijau adalah warna kesuburan. Ia ingat, tidak banyak tamu yang hadir di pesta pernikahannya, sehingga tidak banyak pula yang membicarakan kehamilannya yang makin kentara saat ia duduk di puade2. Kasim mengenakan warna hijau yang sama. Sebuah mahkota besar berbentuk tanduk tunggal3 terpasang di kepala lelaki yang hari itu resmi menjadi suaminya.


Hanida berhenti sekolah, sementara Kasim tetap melanjutkan pendidikan.


“Sekolah penting buat laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan. Kau tinggal di rumah saja. Jaga kandunganmu. Biar untuk sementara waktu kami yang akan menanggung biaya rumah tangga kalian sampai Kasim selesai sekolah dan dapat pekerjaan,” kata bapak mertua Hanida ketika itu.


Hanida setuju. Lagipula perutnya yang besar memperkecil nyalinya untuk membuat keputusan berbeda.


Tiga bulan kemudian, anak mereka lahir. Seorang bayi perempuan montok mirip bapaknya. Tujuh bulan kemudian, Kasim lulus SMA dan langsung bekerja sebagai tenaga honor di Kantor Walikota. Tidak sulit bagi ayah Kasim yang seorang pejabat tinggi di lingkungan pemerintahan kota itu mencarikan pekerjaan untuk anaknya.


Sesungguhnya, Kasim adalah suami yang baik. Di awal-awal pernikahan mereka, Kasim selalu pulang kantor tepat waktu. Pukul empat sore ia telah tiba di rumah kontrakan mereka yang mungil, membawa kue-kue atau makanan ringan untuk minum teh bertiga di beranda. Hanida selalu merasa cukup dengan gaji suaminya yang kecil. Kasim selalu merasa puas dengan masakan Hanida yang serbakurang.


Namun, tabiat Kasim berubah saat walikota yang sedang berkuasa lengser karena gagal bertarung lagi di pilkada. Walikota yang baru menggeser ayah Kasim dari jabatan strukturalnya. Dalam bahasa birokrasi, ayah Kasim diparkir. Kasim sendiri dipecat dari kantornya. Pemerintah tak lagi menyediakan anggaran untuk membayar tenaga honor, begitu alasan Walikota yang baru. Namun Hanida cukup tahu apa alasan yang sebenarnya. Kasim dan ayahnya dituduh diam-diam jadi tim sukses walikota yang lama saat pilkada. Mereka adalah korban politik, pikir Hanida.


Setelah jadi pengangguran, Kasim tak tahu harus bekerja apa. Ijazah SMA miliknya tak lagi punya harga. Kasim yang tak betah di rumah sering keluar mengunjungi rumah judi di ujung kota itu. Uang judi didapatkannya dari berhutang dan menjual perabotan rumah. Televisi, sofa, kasur sudah terjual. Mungkin sebentar lagi kompor gas pemberian pemerintah di dapur itu pun akan dijualnya.


Hanida mematikan api. Dengan pinggan aluminium, ia pindahkan bungkusan-bungkusan ilabulo, dari atas meja ke sisi perapian. Lalu ia letakkan satu per satu bungkusan itu di atas batang-batang besi, di atas tempurung yang telah berubah jadi bara. Ada penyok yang teraba di dasar pinggan. Bekas amukan Kasim pagi itu. Seperti biasa, pulang dari rumah judi dengan wajah dan baju lusuh. Mulut berbau tajam Pinaraci4.


“Mana sarapanku?!” teriak Kasim sambil membanting piring. Hanida terpaku di sudut dapur, sementara suara tangisan si bungsu yang terkaget mendengar keributan di pagi itu terdengar deras dari kamar. “Mana, Hanida? Mana?!” ulang Kasim lebih keras.


Hanida tak bisa berkata apa-apa. Bibirnya gemetar seperti putus asa. Ia ingat hutang yang menumpuk di warung dan kucuran uang belanja yang terhenti. Bukannya iba melihat wajah Hanida yang pasi dan kurang tidur, Kasim malah mendekati istrinya itu, menjambak rambutnya, menendang pinggulnya, menamparnya dan berkali-kali memukulnya dengan pinggan aluminium yang bundar seperti bulan.


“Istri durhaka!”


Perih sekali, batin Hanida sambil meraba pipi dan memperhatikan bara yang sedang memanggang bungkusan ilabulo. Matanya sebak, tapi sulit menangis. Sudah tak terhitung berapa kali Kasim memperlakukan Hanida sebengis ini.


Ia mengingat-ingat kembali ancaman suaminya sebelum meninggalkan rumah lagi pagi itu.


“Kalau nanti malam tidak ada makanan enak, kubunuh kau. Awas!”


“Sebentar lagi ilabulo ini matang, dan suamiku akan segera pulang,” pikirnya.


Tiba-tiba ia ingat si bungsu. Sejak beberapa jam lalu anak itu tidak kedengaran suaranya. Anak itu lahir saat pernikahan mereka telah mencapai tahun ketiga. Saat baliho, poster, dan spanduk pilkada mulai diturunkan. Seorang anak lelaki yang kurus seperti ibunya. Kasim tak ada di sisi Hanida ketika anak itu lahir. Ia sedang berada di seberang meja judi, meratapi upah terakhir dan kekalahan demi kekalahan yang menderanya.


Hanida berjalan menuju kamar. Satu-satunya kamar di rumah itu. Tempat ia, Kasim, dan dua anak mereka biasa tidur bersama. Buaian itu masih di sana. Buaian berupa kain selimut yang digantungkan pada kaitan di ujung pegas baja. Terlihat menggelendot sebab berisi.

Hanida melongokkan kepalanya ke dalam buaian. Ia tersenyum, lalu menangis haru saat melihat isinya: sebongkah batu lonjong yang panjangnya sehasta.


“Anakku, tidurlah nyenyak. Sebentar lagi papa pulang, lalu kita makan bersama,” bisik perempuan malang itu.


Hanida kembali ke dapur. Mengawasi bara yang menyala-nyala memanggang bungkusan-bungkusan penganan yang amat digemari suaminya. Tak dipedulikannya keranjang sampah di sudut dapur. Keranjang sampah berisi kepala dan organ tubuh lain yang tak terpakai untuk makan malam suaminya.


Gorontalo, Maret 2014


Catatan:


Cerita ini diadaptasi dari salah satu fragmen dalam syair “Kasimu Motoro”, syair berbahasa Gorontalo jenis Tanggomo (syair berisi petuah dan kisah-kisah) gubahan Manuli Askali.


1Warna lainnya adalah kuning emas yang melambangkan kesetiaan; merah yang melambangkan tanggung jawab; dan ungu yang melambangkan kewibawaan.


2Puade: pelaminan.


3Disebut paluwala, mahkota untuk pengantin laki-laki.


4Pinaraci: merek minuman keras lokal.


(Terbit di portal degorontalo.co 23 November 2014)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2017 23:21

Tentang Rasa Takut dan Tamasya di Kamar 101

[image error]


Saya ingin mengajak Anda, para pembaca, tamasya sejenak ke sebuah ruangan. Sebutlah bilik persegi yang cukup lapang, namun dingin dan kelam. Dinding-dindingnya terbuat dari baja, tanpa jendela dan kedap suara. Anda duduk di satu kursi yang nyaris tersandar pada sebidang dinding. Sebuah meja teronggok kurang lebih lima meter jauhnya di hadapan Anda.


Seseorang kemudian masuk melalui satu-satunya pintu di ruangan itu. Ia meletakkan sebuah bungkusan di atas meja. Ketika Anda bertanya, apa isi bungkusan tersebut? Ia menjawab: isinya adalah ketakutan terbesar Anda.


Adegan di atas saya cuplik dari salah satu bagian dalam novel bergenre distopia futuristik berjudul 1984 karya pengarang Inggris, George Orwell (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Landung Simatupang). Kamar 101, begitulah ruangan itu disebut, adalah sebuah tempat penyiksaan bagi para penjahat pikiran: golongan pelaku kriminal yang dianggap paling berbahaya di Negara Oceania.


Orwell yang menulis novel ini tahun 1949, meramalkan dunia di masa depan akan terpecah dalam tiga Adinegara (negara besar gabungan sejumlah negara yang lebih kecil): Oceania, Eurasia dan Eastasia. Ketiganya terlibat dalam perang yang telah berlangsung bertahun-tahun. Melalui Kementerian Kebenaran, Oceania setiap waktu memproduksi propaganda berisi dusta dan menyebarkannya agar masyarakat yang hidup jauh dari front-front pertempuran bisa menyokong peperangan dengan sepenuh hati. “Kebenaran” didesain sesuai versi partai penguasa yang dipimpin oleh seorang patron tunggal bernama Bung Besar.


Winston Smith adalah lelaki menjelang paruh baya yang bekerja sebagai pegawai rendahan di kementerian tersebut. Selama tujuh tahun ia menyimpan pergolakan nurani. Suatu kali ia bergabung dengan sebuah gerakan bawah tanah yang berencana menggulingkan oligarki. Namun sebelum sempat membuat tindakan nyata, polisi rahasia negeri tersebut lebih dulu menangkapnya. Smith ditangkap karena berpikir.


Smith disiksa dengan berbagai jenis metode dan alat. Wajahnya bengkak, geliginya rompal dan kepalanya nyaris botak. Di sela-sela siksaan yang brutal, anggota inti partai memberinya ceramah panjang lebar perihal realitas, prinsip-prinsip partai, dan bahaya pikiran bebas. Smith dicuci otaknya, diremukkan kehormatannya, dan dicerabut rasa kemanusiaannya. Namun dalam berbulan-bulan penyiksaan ada satu hal yang tak dapat dihapus dalam jiwanya: rasa cinta dan rindunya kepada kekasih.


Rasa cinta kepada selain Partai, rasa sayang kepada selain Bung Besar, adalah sebuah subversi. Sebuah kejahatan tingkat tinggi. Perasaan-perasaan semacam itu hanya bisa diuapkan melalui penyiksaan di kamar 101. Sebagai pesakitan, Smith dihadapkan pada ketakutan terbesarnya: tikus.


Asumsi yang dibangun oleh kamar 101 adalah: “Saat seseorang menghadapi ketakutan, tidak ada hal lain yang terpikirkan selain diri sendiri.” Saya teringat pada kondisi Bank Darah di kota saya, Gorontalo, yang hampir setiap hari kekurangan stok karena banyak orang sehat terlampau takut melihat jarum transfusi. Saya teringat orang-orang yang korupsi karena terlalu takut jatuh miskin. Takut terkucilkan dari pergaulan sosial yang penuh gengsi.


Profesor Psikologi asal Jerman, Franz Ruppert, pernah menjelaskan:Akar dari rasa takut adalah Die Störung menschlicher Beziehungen, rusaknya hubungan antar manusia.” Rasa takut yang hebat terhadap tikus seperti yang dialami Smith berakar dari rusaknya hubungan ia dengan manusia lain. Smith adalah manusia yang tercerabut dari komunitasnya. Ia tak memiliki apa yang bisa dikatakan sebagai kawan, apalagi sahabat. Dua ekor tikus besar dalam sangkar yang hampir saja menggegoroti wajahnya hanyalah pencetus dari ketakutan yang sejak bertahun-tahun dipelihara oleh rasa hampa.


David H. Barlow dan V. Mark Durand memandang rasa takut dari sudut pandang yang lebih optimis. Rasa takut, menurut mereka, adalah emosi yang dapat memberikan motivasi yang kuat bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Pendapat ini didasari kenyataan bahwa perkakas-perkakas tercanggih sepanjang peradaban manusia justru diciptakan pada masa perang. Pada masa-masa penuh ketakutan.


Filsuf Perancis, Maurice Halbwach, menganggap ingatan manusia adalah ingatan fragmentaris, kepingan kecil di antara cermin besar yang disebut ingatan kolektif. Karenanya, tindakan mengingat adalah sebuah tindakan sosial, tindakan yang dilakukan bersama dan dapat terarahkan. Pertanyaannya kemudian, ke arah mana sebuah ingatan kolektif berisi ketakukan bisa melakukan perubahan?


Ingatan kolektif kita yang dicekam ketakutan akan masa-masa kelam Orde Baru pernah berhasil mencegah seorang mantan jenderal pelanggar HAM menduduki tampuk pimpinan negeri ini. Semestinya ingatan dan rasa takut yang sama bisa menghukum para penjahat HAM yang lain, yang tak kalah bengisnya.


***


Saya perlu mengingatkan, tamasya kita belum berakhir. Anda masih duduk di sebuah ruangan tanpa jendela. Kedap suara. Nyaris tak berdaya menghadapi sesuatu yang paling Anda takutkan. Apakah Anda akan membiarkan rasa takut itu menggerogoti rasa kemanusiaan Anda, ataukah Anda menjadikannya sebuah kekuatan untuk perubahan positif?


Mungkin ucapan Chypher Raige dalam film After Earth berikut bisa sedikit membantu: “Danger is real. Fear is a choice”.


*Tulisan ini pernah dimuat di Kolom Literasi Koran Tempo Makassar, Kamis (02/10/14)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2017 21:52

Kalumba

[image error]

Sumber: wirelady.com


PENGERAS suara di masjid kampung sudah dimatikan. Salat Isya telah berakhir. Aku bergegas mendekati sebatang pohon mangga kerdil di halaman rumah kosong di bagian Utara kampung kami. Aku celingak-celinguk sebentar, mengawasi keadaan sekitar, sebelum meletakkan ember bekas kaleng cat yang aku bawa. Ember berisi ampas kelapa. Di kampung kami, pada jam-jam seperti ini, yang aku cemaskan bukan makhluk berbentuk manusia.


Ember cat itu kemudian aku balikkan hingga ampas kelapa yang ada di dalamnya tumpah, tersebar tidak beraturan di bagian bawah batang pohon mangga. Menutupi tonjolan akar-akar pohon yang terlihat kurus dicekik kegersangan tanah.


Tak sampai dua menit pekerjaan itu selesai. Aku lalu kembali ke rumah kosong di mana seorang lelaki sudah menungguku. Ia masih dengan posisi sama seperti sebelum aku meninggalkannya, duduk selonjoran di lantai kamar dekat jendela sambil menyeruput segelas kopi instan dan menyandang sepucuk senapan angin.


“Sudah?” ia bertanya setelah meletakkan cangkir kopi. Aku mengangguk, lalu mengambil tempat tak jauh darinya untuk duduk.


Rumah itu masih terlihat baik meski telah tiga bulan tak berpenghuni. Di beberapa sudut dinding terlihat jaring laba-laba. Lantainya berdebu tebal, sehingga mengundang geli di kaki telanjang. Ruangan yang kami tempati adalah bilik persegi di sudut kiri depan rumah tersebut. Agaknya bilik itu adalah kamar tamu. Api kecil di pucuk sebatang lilin menyumbang sedikit cahaya. Ditambah sinar bulan sabit yang menerobos lewat lubang bekas kaca jendela. Melalui lubang yang sama, kami leluasa mengamati pohon mangga kerdil di halaman. Pohon mangga yang sudah diberi umpan.


“Siapa tadi namamu?” Lelaki itu bertanya kepadaku.


“Ismail,” jawabku.


“Baik, Ismail. Sekarang jelaskan lagi hewan apa yang sedang kita incar ini.”


“Tepatnya bukan hewan,” aku mengoreksi, “tapi jin yang mengambil bentuk sebagai kambing. Orang Gorontalo menyebutnya kalumba.”


Aku menggeser sedikit posisi duduk hingga lebih dekat kepadanya agar suaraku yang berupa bisikan bisa lebih jelas di telinganya.


“Berbeda dengan kambing kebanyakan, makhluk ini bertubuh lebih besar dan selalu berwarna putih. Kebanyakan orang yang pernah melihatnya bilang, makhluk ini suka berjalan mundur, atau bisa jadi itu satu-satunya cara ia berjalan. Kalumba hanya bisa melihat benda yang berada di belakangnya. Ia akan menekukkan kepalanya dan melihat benda, atau mangsanya, dengan mata yang merah lewat sela-sela di antara empat kakinya. Kalau kau sudah dilihatnya, kau takkan selamat. Cukup dengan terkena pancaran mata merah itu, kau akan mengalami sakit keras dan mati beberapa hari kemudian.”


Kamar itu kembali hening. Lelaki itu seolah tercenung. Mungkin memikirkan kata ‘mati’ yang barusan aku ucapkan.


“Menarik,” ujarnya beberapa saat kemudian, “tapi sepertinya kambing jadi-jadian yang kau maksud ini tidak akan bisa berkutik di ujung senapanku.” Di antara redup cahaya, aku bisa melihat ia mengacungkan senapan anginnya yang berlaras panjang dan berpopor cokelat tua. Sejenak aku teringat beberapa tokoh dalam film-film gangster Amerika.


“Lalu parutan kelapa itu?” Ia kembali bertanya.


“Umpan. Kalumba suka makan ampas kelapa.”


Lelaki itu menengok sebentar ke luar jendela. Mengawasi pohon mangga dan semak-semak di sekitarnya. Sepi, tak ia temukan apa pun di luar sana. Dari pohon mangga itu, sepi seperti menular ke segala penjuru kampung. Denyut nadi kampung kami seolah berhenti setiap selepas Isya. Saat pengeras suara mesjid dimatikan.


***


LELAKI itu muncul begitu saja di kampung kami dan memperkenalkan dirinya sebagai Pemburu. Penduduk kampung, termasuk aku, akhirnya cukup memanggilnya dengan sebutan itu.


“Sebenarnya berburu bukanlah pekerjaanku. Aku melakukannya hanya untuk bersenang-senang. Memang, sejauh ini aku baru berhasil membunuh seekor anak kucing, tapi aku yakin, suatu hari nanti aku akan jadi pemburu paling hebat di negeri ini.”


“Seekor anak kucing?”


“Benar. Kucing bodoh itu berjarak 20 meter dariku. Kutembak dengan senapan angin ini. Duabelas kali pompaan dan dor! Cukup satu peluru. Kucing itu kejang sebentar lalu mati. One shot, one kill!”


Si pemburu berhenti sejenak. Menyeruput kopi, kemudian mengelus-elus senapan angin di tangannya. “Herannya, ketika kabar tentang hasil kegiatan berburuku itu aku sebar di media sosial, malah banyak orang yang marah. Banyak yang protes. Sok jadi pembela hak binatang. Pejuang lingkungan. Puih!”


Di ruangan itu segalanya serba samar, tapi aku tak perlu melihat wajahnya untuk tahu kalau ia sedang kesal pada sesuatu yang tak begitu aku pahami.


“Kali ini, tidak akan ada yang marah kalau aku membunuh hewan ini. Aku akan menyebarkannya di internet. Jika ada yang protes, aku akan menyalahkan kalian. Karena kalianlah yang menyuruhku,” kata si Pemburu.


“Lebih tepatnya kau datang sendiri tanpa kami suruh,” Aku ingin mengucapkan kalimat itu, tapi aku batalkan. Malam ini akan sangat panjang, dan aku tak mau menghabiskannya dengan berdebat melawan si Pemburu sepanjang waktu.


Ia memang datang sendiri tanpa diminta penduduk kampung. Dua jam sebelum matahari terbenam ia telah muncul dari ujung kampung dengan jip merah terbuka yang dikendarainya sendiri. Kaus hitam, celana jeans, topi rimba dan senapan angin tak pernah lepas dari pundaknya. Ia mengaku datang setelah membaca berita di koran, tentang makhluk aneh yang sudah hampir setahun menyatroni kampung kami.


Kedatangannya membuat warga kampung setidaknya terpecah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah orang-orang skeptis. Orang-orang yang ragu, bukan karena tak percaya kemampuan si pemburu, tapi tak percaya makhluk halus seperti kalumba bisa ditembus benda keras seperti peluru. Marjon, ketua karang taruna, dan Haji Saleh, salah seorang tetua kampung, termasuk dalam kelompok ini.


Kelompok kedua adalah orang-orang yang berharap si pemburu benar-benar bisa membunuh kalumba dan mengatasi persoalan mereka. Sementara kelompok ketiga adalah orang-orang yang sebenarnya ragu-ragu, tapi berpikir apa salahnya cara ini dicoba. Aku adalah bagian dari kelompok ketiga. Dengan sedikit imbalan, aku bersedia menerima ajakan si Pemburu untuk begadang menunggu kedatangan kalumba.


Menjadi pemandu pemburu gila yang ingin membunuh kalumba, kawan-kawanku menganggap aku telah kehilangan akal sehat. Mereka sempat membujukku untuk membatalkan perjanjian dengan si pemburu. Aku tahu, mereka hanya khawatir kepadaku. Dan di kampung ini, hanya mereka yang khawatir kepadaku.


Aku tak lagi punya ayah dan ibu yang bisa mengkhawatirkanku. Mereka meninggal terserang wabah beberapa bulan lalu. Wabah berupa diare dan panas tinggi yang melumpuhkan saraf. Hampir setahun lamanya kampung kami diserang wabah itu. Selain ayah dan ibuku, wabah itu telah merenggut hidup sekitar dua lusin orang, sebagian besar anak-anak.


Kemudian, aku lupa kapan tepatnya, suatu kali seorang warga mengaku melihat sosok seperti kambing putih berkeliaran di tengah malam, di bagian utara kampung yang berbatasan dengan hutan. Tepatnya di sekitar pohon mangga di halaman rumah Baba Idi.


Si empunya rumah adalah seorang lelaki paruh baya yang hidup berdua saja dengan istrinya. Sejauh yang aku ketahui dari orang-orang kampung, pasangan itu bukanlah penduduk asli. Mereka adalah pendatang dari luar provinsi. Memiliki enam anak dan sembilan cucu yang entah ada di mana.


Baba Idi berumur 62 tahun, sementara istrinya 57 tahun. Umur pasangan itu aku ketahui dari koran. Suatu kali, Baba Idi dan istrinya diseret warga ke balai desa untuk disidang. Di tempat itu, hadir tetua kampung, Kepala Desa, Babinsa, Camat, Wakapolres, dan petugas dari Kabupaten. Juga banyak wartawan.


“Saya sudah sepuluh tahun tinggal di kampung ini, untuk apa saya pergi?” kata Baba Idi di hadapan warga yang memintanya pergi dari kampung kami. Aku ingat benar wajah orang tua itu. Ia sama sekali tak memperlihatkan kesan takut atau pun sedih.


“Mengaku saja, Baba. Kami tahu Baba dan istri adalah dukun santet. Kami lihat sendiri Baba piara kalumba!” ujar Marjon berapi-api.


“Itu bohong! Saya tidak melakukan perbuatan yang kalian tuduhkan,” kata Baba Idi tak kalah sengit meski dengan suara sedikit bergetar. Sementara istrinya tak henti-henti terisak di sampingnya.


“Pokoknya kami tidak mau tahu, orang ini dan istrinya harus pergi dari kampung kami,” kata warga yang lain kepada para pejabat yang ketika itu tak banyak berbuat apa-apa.


Hampir saja hari itu Baba Idi remuk dikeroyok orang-orang kampung yang marah sekaligus gelisah. Pasangan suami-istri yang terkucil itu kemudian dievakuasi beberapa aparat Polres, dan entah bagaimana kabar mereka sekarang.


Sepeninggal Baba Idi, wabah tidak berhenti, malah makin menjadi. Dan orang-orang masih sering mengaku melihat kalumba di malam hari. Di pohon mangga yang sama. Di halaman rumah yang sama. Tetua kampung percaya, Baba Idi meninggalkan kalumba itu untuk membalas dendam kepada warga yang telah mengusirnya.


Puluhan orang pintar sudah didatangkan warga untuk mengusir makhluk itu, namun tak ada yang berhasil. Salah seorang di antara mereka berkata, makhluk itu terlalu kuat. “Jenis jin yang bertahun-tahun sudah makan darah.”


Hingga akhirnya, sore tadi, seorang lelaki yang mengaku pemburu mendatangi kampung kami. Sesumbar ingin mengenyahkan momok bernama kalumba itu.


***


PEMBURU itu menengok arlojinya. Aku tak tahu sekarang sudah pukul berapa. Hawa begitu gerah, tapi Pemburu itu seolah tak merasakan apa-apa. Kampung kami berada di kaki bukit, dekat hutan yang sudah gersang karena dibabat cukong-cukong kota. Saat siang hari, hawa panas bisa bertambah tiga kali. Ketika musim kemarau tiba, aliran sungai jadi kering kerontang. Untuk minum dan memasak, kami hanya bisa mengandalkan pasokan air dari sungai yang mengalir di bagian lain kabupaten kami. Sungai yang mulai kekuning-kuningan karena tercemar merkuri. Limbah tambang emas. Aku tahu karena aku membacanya di koran.


Tiba-tiba si pemburu terlihat beranjak dari tempatnya dan bersijingkat mendekati jendela. Ia lalu mengambil senapan angin yang tersampir di pundaknya tanpa suara. Aku ikut-ikutan mengintip lewat jendela. Dan benar saja, ada sesuatu tampak bergerak-gerak di semak-semak. Sekitar dua meter dari pohon mangga. Sosok itu berjalan mendekati pohon yang sedang tak berbuah itu. Cahaya bulan memberiku sedikit gambaran, sosok itu pendek dan berjalan dengan empat kaki. “Kalumba!” sorakku dalam hati walau aku tak bisa memastikan apakah sosok itu berjalan mundur atau sebaliknya.


Si Pemburu sudah dalam posisi membidik. Aku menahan napas. Beberapa jenak kemudian, Dor! Suara tembakan membahana. Merobek sunyi kampung di kaki bukit ini.


Si Pemburu diam sejenak. Buruannya roboh dan menggelepar. “Ayo,” ajaknya beberapa saat kemudian. Kami keluar rumah dan bergegas mendekati sosok yang mungkin telah jadi bangkai. Tahu-tahu warga pun telah datang berkerumun. Agaknya mereka terkejut mendengar letusan peluru di malam buta.


Berkas-berkas cahaya bulat dari senter-senter warga berebutan mencari tempat di tubuh sosok yang tak lagi bergerak itu.


“Kalian lihat, kan, sekarang? Kalian percaya, kan, sekarang?” kata si pemburu dengan dada membusung sambil mengarahkan senter ke kerumunan warga dan ke arah bangkai berganti-gantian.


“Itu bukan Kalumba, tapi kambing gunung,” sela seseorang di antara kerumunan warga.


“Heh, apa maksudmu? Kalian lihat sendiri, aku telah membunuh hewan yang kalian takutkan,” jawab si Pemburu.


“Iya, ini kambing gunung,” orang yang tadi bersuara itu ternyata Marjon. Ia mendekati si Pemburu, merenggut senter dari tangannya, lalu mengarahkannya ke bagian kepala bangkai itu. Terlihat kepala bertanduk itu menganga. Rahangnya hancur dan darahnya mengucur.


“Dulu banyak kambing gunung hidup liar di hutan. Di utara kampung kami,” kata Marjon lagi. “Itu dulu. Kami pikir sudah punah. Mungkin ini adalah sisa-sisanya.”


“Tapi hewan ini, kan, yang kalian maksudkan. Hewan ini yang mendatangkan bala buat kalian, bukan?” tukas si Pemburu seperti sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tapi semua diam. Tak ada yang berani menjawab. Tak ada yang berani memastikan.


“Bagaimana pun, kalumba tidak mungkin bisa mati diterjang peluru,” kata seorang warga yang lain. Dari suaranya yang berat dan takzim agaknya kali ini Haji Saleh yang bicara.


Si pemburu terpaku. Seperti terkesima, ia menatap Haji Saleh lekat-lekat.


“Sebaiknya kau pergi dari kampung ini. Kau dan senapanmu hanya datang untuk mengganggu ketenangan kami.”


Si Pemburu sepertinya sudah tak bersemangat meyakinkan warga. Ia menyandang kembali senapan anginnya. Lelaki itu kemudian mengeluarkan sebuah kotak persegi yang sedikit tipis. Dari salah satu sudut papan itu keluar cahaya dan… jepret! si Pemburu rupanya sedang memotret. Pemburu itu memotret lagi beberapa kali. Entah apa yang ia rayakan, tapi di bibirnya aku seperti melihat segaris senyum kemenangan.


“Baiklah,” ujarnya sejurus kemudian. “Aku akan pergi dari kampung sialan ini. Tapi ingat, sehari atau dua hari yang akan datang kalian akan menyesali kelakuan kalian sendiri.”


Si Pemburu kemudian berjalan ke arah mobil jipnya. Tak lama kemudian terdengar jip distater dan pergi. Warga membubarkan diri setelah jip itu menghilang di ujung kampung.


Pagi-pagi sekali, bangkai kambing gunung itu masih tergeletak di bawah pohon mangga kerdil di halaman bekas rumah Baba Idi. Kambing itu ternyata berwarna abu-abu, bukan putih seperti terkaan kami semalam. Kami kemudian menguburkan kambing gunung itu tak jauh dari pohon mangga.


Sehari, dua hari bahkan berbulan-bulan kemudian, tak ada lagi laporan tentang kalumba di kampung kami. Wabah penyakit masih kerap menyerang warga. Kampung di kaki bukit ini bertambah sunyi. Kami jarang berkumpul atau mengobrol, bahkan enggan bertegur sapa. Kami lebih sering berdiam diri, seakan-akan ada sesuatu yang kami sesali.


Gorontalo, Maret 2014


(Terbit di degorontalo.co 11 Oktober 2014)


.


[image error]
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2017 18:42

Menjelang Badai Pasir

[image error]

Ilustrasi Koran Tempo oleh Munzir Fadly


MELIHAT tamu asing itu makan dengan lahap, mau tak mau aku harus mengakui kebenaran kata-kata Sang Bapa: Ketenteraman hati dimulai dengan memberi makan orang lapar. Ini sungguh bukan tabiatku. Bukan kebiasaanku membiarkan orang asing masuk ke rumahku yang mungil ini, lalu menyuguhinya persediaan makanan terbaik yang aku punya.



Aku hanya mengikuti anjuran Sang Bapa untuk tidak menolak tamu. Menurut lelaki tua itu, seorang tamu seringkali akan memberikan berkah yang tidak pernah diduga-duga. Berkah yang bisa berbentuk harta benda, atau kabar gembira, atau setidaknya doa. Menjamu tamu, terutama yang sedang melakukan perjalanan jauh, juga adalah perkara yang bisa menyenangkan Tuhan. Sebuah cara untuk menunjukkan bahwa kita adalah hamba-Nya yang baik.


Tamu asing itu mengetuk pintu rumahku sore tadi. Tampak jelas ia adalah pengembara, meski aku tak begitu mengerti ia dari mana dan mau ke mana. Ia hanya mengatakan perutnya belum terisi selama seharian, dan cukup itu saja yang perlu kuketahui untuk mempersilakan lelaki muda itu masuk.


Demi Sang Bapa, ini adalah pertama kalinya aku membuka pintu rumahku kepada orang asing. Dan untuk pertama kalinya pula aku mengenyahkan dari pikiranku apa yang selama ini kusebut sebagai rasa iba yang sia-sia.



Benar aku saudagar, tapi bukan dari jenis yang makmur atau kaya raya. Setiap pekan aku mengunjungi para perajin di lereng-lereng gunung untuk membeli tembikar dan pelbagai barang kerajinan yang kemudian aku jual kembali di kota ini. Dahulu, berdagang patung kayu atau patung batu dapat memberi untung besar. Namun tidak saat ini.


“Tambah lagi?” Aku bertanya kepada orang asing itu. Ia duduk melantai di ruang tamu. Aku pun duduk dengan cara yang sama dalam posisi berhadap-hadapan dengannya. Aku bisa melihat matanya lebih riang dibanding ketika ia berdiri di depan pintu rumahku beberapa saat sebelumnya. Aku taksir umurnya hanya dua atau tiga tahun lebih banyak ketimbang separuh umurku.


“Sebenarnya sudah cukup. Tapi jika Tuan tak keberatan, saya butuh sesuatu untuk menyegarkan kerongkongan,” ujarnya sambil mengelap tangan pada jubahnya yang berbahan kasar.


Aku baru sadar kalau di meja makan hanya ada sekerat roti dan sepiring buah-buahan kering. “Apakah air bisa melegakan Anda?” tanyaku.


Lelaki asing itu menjawabku dengan anggukan. Mulutnya masih sibuk mengunyah makanan.


Aku pun memanggil Alama yang segera datang tergopoh-gopoh dari dapur. “Bawakan sebejana air untuk Tuan ini.”


Perintahku dibalas Alama dengan membalik badan untuk bergegas menuju tempat ia datang.


Perempuan enam belas tahun itu begitu sigap dan tak banyak omong. Sebelum ia menghilang di dapur aku membalikkan pandangan sehingga wajahku kembali berhadap-hadapan dengan wajah sang tamu. Aku mendapati lelaki itu sedang terpaku melihat bagian belakang tubuh Alama.


Aku berdehem pelan untuk menarik kesadarannya kembali.


“Ah, maaf, Tuan,” ucapnya meski aku tak menangkap sedikit pun rasa malu dari wajah dan suaranya.


“Tidak apa. Sayalah yang seharusnya minta maaf karena lupa menyajikan minuman untuk menutup makan siang Anda.”


Lelaki asing itu tersenyum, mengelus dada, lalu bersendawa. Ia mengucapkan syukur, kemudian menatap diriku dengan takzim. “Entah bagaimana saya membalas kebaikan Tuan,” ungkapnya kemudian. “Saya hanya bisa berdoa semoga Tuan dan putri—atau barangkali cucu—Tuan yang tadi, diberi limpahan rezeki oleh dewa-dewa.”


Brengsek, kataku dalam hati. Bagaimana dia bisa begitu meleset? Memangnya aku tak layak menikahi perempuan seumuran Alama?


“Anda salah sangka,” aku menanggapinya. “Perempuan tadi itu adalah istri saya.”


Ia memperlihatkan wajah terkejut yang entah mengapa terasa olehku terlalu berlebihan.


***


ALAMA datang sejurus kemudian membawa nampan berisi sebejana air dan dua buah cawan. Kesunyian canggung terjalin antara diriku dan tamuku.


Aku cepat-cepat menyuruh Alama kembali ke dapur selepas ia menaruh cawan-cawan di atas meja. Dan, lagi-lagi, lelaki asing itu menatapnya dengan tatapan yang melecehkan.


Aku kembali berdehem.


“Ah, maafkan saya, Tuan. Maafkan. Saya tak bermaksud menyinggung perasaan Anda,” ucapnya setengah tertawa sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.


Aku berusaha menahan diri sembari mengingat-ingat sebuah ucapan Sang Bapa: Bertemanlah dengan musuhmu. Sayangilah orang-orang yang menyakitimu. Kalimat ini membuat aku ingat akan cerita tentang perlakuan kejam yang dialami Sang Bapa di masa muda. Karena pikirannya yang tajam, ia dicemooh orang-orang, ditangkap, dikeroyok, dan dibakar hidup-hidup. Tuhan yang Maha Pengasih menolongnya dengan cara memerintahkan api agar menjadi dingin. Namun, tetap hidup dengan tubuh yang utuh malah menggiringnya menuju siksaan batin yang lebih perih: dikutuk oleh Ayah sendiri dan diusir dari negeri.


“Saya benar-benar telah menyinggung perasaan Anda? Ah, maafkan saya. Kali ini saya sungguh-sungguh minta maaf,” ucap tamuku setelah tawanya berhenti. Kemudian secara perlahan ia menuang air dari bejana ke cawan tanpa menunggu perkenanku.


“Tidak apa,” jawabku dengan usaha untuk tersenyum. “Saya menebak Anda berasal dari tempat di mana anak-anak diajari untuk bicara terus terang. Benar, bukan?”


“Ah, Anda benar sekali.” Ia meneguk minumannya lalu mengusap sisa-sisa air yang menetes di bibir dan janggutnya. “Tapi kali ini kebiasaan bicara terus terang malah bisa membuat saya nyaris celaka sendiri agaknya.”


Aku mengangguk. Memang seperti itulah aturannya, batinku. Seorang pengembara seharusnya lebih berhati-hati menjaga mulut. Pengembara sejati adalah seorang yang membuka telinganya lebar-lebar dan menutup mulutnya rapat-rapat. Kecuali, saat menanyakan arah.


“Anda pasti belum lama jadi pengembara,” tebakku kemudian.


Tamuku tersipu. Ia seolah malu karena aku telah mengetahui sesuatu yang sedang ia sembunyikan. “Begitulah, Tuan,” akunya. “Belum sampai tiga bulan saya meninggalkan kampung halaman di barat sana, sekitar seratus parsa dari sini. Saya sendiri sebenarnya adalah petani. Awalnya kepergian saya adalah untuk suatu urusan. Akan tetapi, kemudian saya putuskan untuk mengembara beberapa lama sampai saya benar-benar pergi ke tempat yang saya tuju.”


“Apakah tempat yang Tuan tuju tersebut adalah kubus batu di kota ini?”


“Tidak, tidak. Ah, mengapa Tuan berpikir demikian? Apakah saya terlihat seperti orang yang percaya agama baru itu?”


Memangnya seperti apa ciri-ciri penganut agama baru, batinku. “Tidak, saya hanya menebak sembarangan. Tidak ada hubungan dengan penampilan Anda.”


Aku bersedekap. Untuk sesaat aku merasa telah kehabisan sesuatu untuk dibicarakan atau ditanyakan. Tiba-tiba aku ingat aku belum tahu nama lelaki tersebut. Lalu aku ingat akan perkataan orang-orang gurun yang memperkirakan datangnya badai malam itu. Aku baru akan membicarakan dua hal tersebut kepada tamuku sebelum ia tiba-tiba menanyakan sesuatu.


“Tuan sendiri sepertinya telah paham benar dengan dunia pengembaraan. Apakah Tuan dulunya adalah seorang pengembara?”


Agak terkejut juga aku mendengar pertanyaan yang sungguh tiba-tiba itu. Namun pertanyaannya tak ayal membuatku tersenyum simpul. Aku terkenang akan 30 tahun masa pengembaraanku. Ketika itu, encok dan badai pasir bukan menjadi hal yang paling aku khawatirkan.


“Saya dilahirkan sebagai anak petani, seperti Anda,” tuturku. “Namun di usia 25 tahun saya menyadari saya sama sekali tak cocok menjadi penarik tenggala. Jiwa saya adalah jiwa pengelana. Di desa, hidup bertetangga dengan banyak kerabat membuat saya kesulitan menyimpan barang-barang dan bahan-bahan makanan. Selalu saja ada yang harus disedekahi, dan saya selalu bekerja terlalu keras. Maka saya pun meninggalkan kampung. Menjauh dari para kerabat yang suka menghisap darah saudaranya sendiri itu. Sayang sekali, saya juga harus meninggalkan istri dan anak saya yang belum berumur lima tahun. Saya sebetulnya ingin sekali menjemput mereka dan mengajak mereka tinggal dengan saya di kota ini, namun tak pernah sempat.”


Aku memperhatikan sejenak raut wajah lelaki itu yang tampak sangat berminat mendengar kisahku. Kemudian aku melanjutkan. “Saya ikut dari satu karavan ke karavan lain. Berkeliling ke negeri-negeri jauh sambil berdagang apa saja. Saya paling suka berdagang patung-patung. Dulu, patung-patung itu begitu cepat laku, meski saya sendiri tak begitu percaya Tuhan.”


Kami berdua sama-sama tertawa.


“Lalu,” lanjutku, “di tengah perjalanan menuju suatu negeri di timur, di dekat sepasang bukit, seseorang dalam karavanku mendengar suara tawa bayi. Kami pun bergegas mendekati sumber suara tersebut. Tepat di antara dua bukit itu kami menemukan sebuah kemah dari kulit kibas. Di sisi kemah itu ada mata air yang baru digali. Dan di dalamnya ada seorang perempuan habsyi dan seorang bayi laki-laki.”


Lelaki asing itu mengangguk-angguk. “Saya pernah mendengar cerita ini.” Dia merenung sebentar sampai akhirnya menyimpulkan sesuatu. “Jadi, Tuan adalah satu dari beberapa pendiri kota suci ini?”


“Awalnya belum dianggap suci, sampai seorang lelaki dari sungai Eufrat membangun pusat peziarahan di tengah kota. Dia adalah suami perempuan habsyi itu. Aku memanggilnya Bapa, meski ia tidak terlihat lebih tua dariku. Ia mengajariku bahwa Tuhan ada, walaupun jumlahnya hanya satu.”


“Tidak masuk akal.”


***


AKU terkesima. Betapa tidak beradabnya lelaki ini. Mulutnya benar-benar bisa mencelakai dirinya sendiri. Ingin benar aku berdiri, menghajar manusia kurang ajar ini dan menyuruhnya pergi dari rumahku. Tapi, lagi-lagi, bayang-bayang Sang Bapa yang begitu berkharisma mencegahku membalas kekasaran dengan kekasaran.


“Mengapa kamu tak percaya Tuhan?”


“Bukan. Maksud saya, tak masuk akal kalau Tuhan hanya satu. Bagaimana mungkin hanya ada satu Tuhan untuk mengatur dunia dengan jutaan masalahnya ini?”


Aku rasakan urat-uratku yang barusan tegang mulai mengendur. Aku mulai kembali sadar bahwa aku sedang berhadapan dengan orang asing. Orang yang belum sempat aku ketahui betul latar belakangnya. Di negeri-negeri yang jauh orang-orang masih menyembah patung-patung, batu-batu, pohon-pohon, dan matahari. Dalam hati aku mensyukuri anugerah kesabaran yang diberikan Tuhan kepadaku. Juga anugerah pengetahuan dan keimanan yang kukuh ini.


“Ya, memang itu satu hal yang sering saya dengar diperdebatkan orang dengan Sang Bapa. Namun, kata Sang Bapa, jika Tuhan benar-benar Tuhan, jika Dia benar-benar Mahakuasa, tentu dunia ini begitu kecil dan gampang diurus.”


Ia diam seraya tersenyum kecil, seolah menyetujui kata-kataku.


“Lagi pula, coba pikir, bagaimana bisa orang menyembah sesuatu yang lemah, yang tak mampu, dan saling membinasakan? Sesuatu yang dapat tenggelam seperti bintang, dapat redup seperti bulan, dapat dihancurkan seperti patung-patung? Saya sendiri akhirnya berhenti berdagang patung, dan tak lagi mengembara. Saya menikahi Alama dan hidup tenang di kota ini. Banyak peziarah yang membeli cendera mata sebelum kembali ke tempat asal masing-masing. Itu sudah cukup untuk menghidupi saya dan istri saya.”


Lelaki itu meneguk secawan air lagi sebelum akhirnya berkata pelan, “Dia menyuruh kalian meninggalkan kepercayaan leluhur.”


“Kepercayaan yang keliru,” ujarku mantap.


“Ya, lantas dengan kepercayaan baru itu ia menyuruh Anda mencampakkan patung-patung, lalu ia sendiri membangun kubus besar untuk didatangi sepanjang tahun. Apakah naluri pedagangmu sedang tidur sehingga tidak menyadari tipuan yang begitu licin ini?”


“Dia bukan pedagang, Anak Muda….”


“Tampaknya iya menurutku. Paling cerdik yang di antara semua yang aku ketahui,” lelaki itu mencondongkan tubuhnya, menatap inti mataku lekat-lekat. “Dengan membawa nama Tuhan dia menyingkirkan para pedagang patung. Menyingkirkan para pesaing yang bisa saja merintangi jalan rezekinya. Dia menciptakan satu Tuhan untuk memonopoli berkah. Mungkin ia bersedia memberi kalian sedikit keuntungan. Yah, sedikit recehan.”


“Ah, Anda bilang begitu karena kau tidak kenal betul siapa Sang Bapa.”


“Memangnya Anda kenal betul siapa dia?”


Aku menarik napas dalam seolah apa yang bakal aku katakan merupakan sebuah pengakuan yang akan membuat dunia bertambah berat. “Saya yakin, Sang Bapa adalah sebenar-benar orang suci utusan Tuhan. Ia adalah nabi. Tuhan sendiri yang memberikan mukjizat kepadanya. Ketika Tuhan memerintahkan ia menyembelih….”


Belum selesai aku bercerita, tiba-tiba pecahlah suara tawa lelaki itu. Aku menatapnya tajam, sementara ia menahan perutnya yang terguncang-guncang. “Aku sudah pernah mendengarnya. Itu cerita paling konyol yang pernah aku dengar,” ujarnya sambil tergelak lebih keras.


Aku rasakan pipiku bertambah panas dan urat-urat leherku kembali tegang. Ia sudah keterlaluan. Sangat keterlaluan. “Cukup! Dari tadi kau menghinaku, aku bisa terima. Lalu kau menghina istriku, aku pun masih bisa terima. Tapi kali ini kau menghina orang yang aku hormati.”


Aku mendengus sambil membereskan bejana dan cawan bekas minum tamu tak tahu diuntung itu. “Asal kau tahu, jika saja aku bukan penganut ajaran Sang Bapa, mungkin saat ini kau telah mati kelaparan di luar sana.”


“Ya, aku yakin itu,” ia menimpali sambil memperbaiki kerut jubahnya. “Aku harus berterima kasih kepadanya. Ajarannya tentang sikap murah hati dan menolong sesama itu mulia dan baik sekali. Tapi, perbuatannya meninggalkan istrinya di padang gurun hanya untuk diserahkan kepada Tuhan… bagaimana ya? Sepertinya terlalu kejam dan tidak bertanggung jawab. Aku tidak bisa menghormati orang semacam itu.”


Lelaki asing itu kemudian berdiri.


“Sekali lagi aku berterima kasih atas jamuanmu yang baik ini. Kau boleh berbangga dan berbahagia menjadi penganut ajaran baru itu. Kau akhirnya mempercayai Tuhan, meninggalkan sifat kikir, menjamu orang asing yang butuh bantuan. Sungguh mulia.”


Aku diam merasakan ejekan dalam kalimatnya.


“Lalu kau mengambil istri lebih dari satu, seperti dia. Mengabaikan istri yang lama, seperti dia. Mungkin kau juga berminat pura-pura menyembelih aku untuk kau tukar dengan seekor kibas?”


“Aku tak mengerti,” ucapku sedikit tergagap.


Lelaki itu tersenyum, lalu mendekatiku dan menepuk pundakku. “Aku akan bilang pada Ibu untuk tak lagi menunggumu,” ujarnya sebelum keluar tanpa menutup pintu. Agak gelap di luar tapi aku bisa melihat ia meneruskan perjalanan ke arah barat.


Dalam bingung, aku menutup pintu. Pikiranku yang sudah uzur ini butuh waktu cukup lama untuk mencerna segalanya. Dan ketika aku telah berhasil menyimpulkan sesuatu, gemuruh hebat terdengar di luar. Badai pasir telah datang.


Gorontalo, Oktober 2016


Parsa, ukuran perkiraan jarak dalam tradisi orang Ibrani; sekitar 4 kilometer.


(Terbit di Koran Tempo, 12-13 November 2016)



[image error] [image error]
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 03, 2017 16:35