Ilabulo di Atas Bara
Ilabulo (Sumber: indonesiakaya.com)
HANIDA berkali-kali menyeka keringat di dahi dan dagunya. Api masih menyala di kompor gas. Air rebusan dalam panci telah mendidih. Ia mengecilkan api, mengangkat daging dan hati yang telah direbus dengan potongan daun jeruk, daun salam, sepenggal jahe, dan sejumput garam.
Sunyi. Tak ada tangis bayi. Hanida tersenyum membayangkan anak bungsunya tertidur di buaian. Sementara anak sulungnya telah ia titipkan di rumah mertuanya yang selalu gembira setiap kali dikunjungi sang cucu. Ia amat membutuhkan saat-saat seperti ini. Saat-saat di mana ia bisa berkonsentrasi tanpa disela tangis anak-anaknya. Ia tersenyum membayangkan akan seperti apa ilabulo yang sedang dibuatnya itu. Ilabulo yang gurih, lembut, dan berminyak.
“Sekarang saatnya membakar tempurung,” gumamnya seusai meniriskan daging dan hati yang telah ia potong kecil-kecil.
Diambilnya beberapa keping tempurung kelapa dari karung di sudut dapur. Lalu ditatanya tempurung-tempurung itu di perapian hingga membentuk deretan gunung. Kemudian tempurung-tempurung itu disulutnya dengan geretan. Kretek, kretek, kretek… tak lama kemudian terdengar bunyi tempurung yang mulai retak dimakan api.
“Pembakaran atau oksidasi adalah sebuah proses yang membutuhkan oksigen dan menghasilkan karbondioksida,” Hanida teringat pelajaran Kimia yang pernah ia terima tatkala duduk di bangku SMA. Ia teringat ruang kelas, guru yang membosankan dan para remaja berseragam putih abu-abu, teman-teman sekolahnya.
SMA itu, ia ingat, adalah tempat ia bertemu Kasim, lelaki yang sekarang menjadi suaminya. Kasim adalah teman sekelasnya, duduk tepat satu meja di belakangnya. Ia dan kasim memiliki kesamaan dalam pelajaran Kimia, mereka sama-sama menganggap pelajaran itu terlalu rumit untuk pikiran-pikiran mereka yang sederhana.
Satu lagi kesamaan mereka saat pelajaran kimia tengah berlangsung, mereka kerap saling tukar potongan-potongan kertas. Kadang potongan kertas itu berisi gambar-gambar dan tulisan-tulisan untuk mengejek Pak Rahmat, sang Guru Kimia; kadang potongan kertas itu berisi kelakar dan anekdot lucu yang dikutip Kasim entah dari mana.
Kebiasaan itu berlanjut di mata pelajaran yang lain, Bahasa Indonesia, Agama, Matematika, Biologi. Saat mereka naik ke kelas dua dan dipertemukan kembali dalam kelas yang sama, kebiasaan itu bahkan terus berlanjut. Hanida mungkin menyadarinya, dari tukar menukar potongan kertas itu, api cinta beroksidasi dalam hatinya. Oksidasi yang melawan teori-teori kimia, sebab kehadirannya dibantu karbondioksida yang berembus dari bibir Kasim.
Hingga suatu hari, ia dan kasim singgah di sebuah ladang seusai jam sekolah. Ia lupa untuk apa mereka ke ladang itu, tapi ia masih ingat betul apa yang terjadi.
“Selaput dara terdiri dari sejumlah lapisan. Seperti bawang. Bayangkan jika lapisan-lapisan itu robek sekaligus,” Hanida teringat kata-kata Ibu Maryam, Guru Biologi, saat mengajar soal reproduksi. Di dangau ladang itu, Hanida pun akhirnya paham maksud Ibu Maryam. Ia pun akhirnya mengerti bagaimana rasanya menjadi bawang. Nyeri. Berlapis-lapis nyeri.
Bawang merah terakhir telah dikulitinya sebelum ia masukkan ke dalam cobek. Dalam cobek batu itu telah menunggu cabai rawit, bawang putih, dan merica. Hanida lalu menumbukkan anak batu, menekan bumbu-bumbu itu perlahan-lahan.
Ia kembali mengelap keringat. Bau asap tempurung melekat di dasternya. Ia memperkirakan hari sudah sore, meski ia tidak yakin benar. Dapur itu kekurangan jendela. Hanya ada tiga lubang kecil yang tersedia di bagian atas tembok sebagai tempat keluar masuk udara. Bagi Hanida, bayangan ilabulo yang hangat, dan suaminya yang lahap telah mengalahkan penat dan pengap.
Bumbu-bumbu yang telah halus kemudian ia tuang ke dalam wajan berisi minyak goreng panas. Sebentar kemudian menyusul potongan-potongan daging dan hati. Ia membolak-balik tumisan. Matanya sempat terpejam saat wangi bumbu bercampur irisan daging dan hati telah mencapai sarah-saraf penciumannya. Hanida kemudian menyiramkan semangkuk adonan kental ke dalam tumisan. Adonan tepung sagu, kaldu, dan santan yang sebelumnya telah ia siapkan. Diaduknya lagi, dan lagi, hingga adonan itu berubah menjadi bubur yang meletup-letup karena tekanan panas.
“Pas!” bisiknya saat setitik adonan yang ia cecap terasa merayap-rayap di lidahnya.
Ia pindahkan adonan itu ke lembar-lembar daun pisang. Sesendok demi sesendok. Dua setengah sendok adonan, lalu dilipatnya daun pisang itu hingga membentuk bungkusan pipih nan lonjong. Di suatu lipatan, ia sematkan dua batang lidi seukuran dua ruas jari. Ilabulo dalam bungkusan hijau muda sudah separuh jadi.
Pakaian pengantin Hanida juga berwarna hijau muda. Itu sekitar tiga setengah tahun lalu. Bagi orang Gorontalo, hijau adalah satu dari empat warna adat1. Hijau adalah warna kesuburan. Ia ingat, tidak banyak tamu yang hadir di pesta pernikahannya, sehingga tidak banyak pula yang membicarakan kehamilannya yang makin kentara saat ia duduk di puade2. Kasim mengenakan warna hijau yang sama. Sebuah mahkota besar berbentuk tanduk tunggal3 terpasang di kepala lelaki yang hari itu resmi menjadi suaminya.
Hanida berhenti sekolah, sementara Kasim tetap melanjutkan pendidikan.
“Sekolah penting buat laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan. Kau tinggal di rumah saja. Jaga kandunganmu. Biar untuk sementara waktu kami yang akan menanggung biaya rumah tangga kalian sampai Kasim selesai sekolah dan dapat pekerjaan,” kata bapak mertua Hanida ketika itu.
Hanida setuju. Lagipula perutnya yang besar memperkecil nyalinya untuk membuat keputusan berbeda.
Tiga bulan kemudian, anak mereka lahir. Seorang bayi perempuan montok mirip bapaknya. Tujuh bulan kemudian, Kasim lulus SMA dan langsung bekerja sebagai tenaga honor di Kantor Walikota. Tidak sulit bagi ayah Kasim yang seorang pejabat tinggi di lingkungan pemerintahan kota itu mencarikan pekerjaan untuk anaknya.
Sesungguhnya, Kasim adalah suami yang baik. Di awal-awal pernikahan mereka, Kasim selalu pulang kantor tepat waktu. Pukul empat sore ia telah tiba di rumah kontrakan mereka yang mungil, membawa kue-kue atau makanan ringan untuk minum teh bertiga di beranda. Hanida selalu merasa cukup dengan gaji suaminya yang kecil. Kasim selalu merasa puas dengan masakan Hanida yang serbakurang.
Namun, tabiat Kasim berubah saat walikota yang sedang berkuasa lengser karena gagal bertarung lagi di pilkada. Walikota yang baru menggeser ayah Kasim dari jabatan strukturalnya. Dalam bahasa birokrasi, ayah Kasim diparkir. Kasim sendiri dipecat dari kantornya. Pemerintah tak lagi menyediakan anggaran untuk membayar tenaga honor, begitu alasan Walikota yang baru. Namun Hanida cukup tahu apa alasan yang sebenarnya. Kasim dan ayahnya dituduh diam-diam jadi tim sukses walikota yang lama saat pilkada. Mereka adalah korban politik, pikir Hanida.
Setelah jadi pengangguran, Kasim tak tahu harus bekerja apa. Ijazah SMA miliknya tak lagi punya harga. Kasim yang tak betah di rumah sering keluar mengunjungi rumah judi di ujung kota itu. Uang judi didapatkannya dari berhutang dan menjual perabotan rumah. Televisi, sofa, kasur sudah terjual. Mungkin sebentar lagi kompor gas pemberian pemerintah di dapur itu pun akan dijualnya.
Hanida mematikan api. Dengan pinggan aluminium, ia pindahkan bungkusan-bungkusan ilabulo, dari atas meja ke sisi perapian. Lalu ia letakkan satu per satu bungkusan itu di atas batang-batang besi, di atas tempurung yang telah berubah jadi bara. Ada penyok yang teraba di dasar pinggan. Bekas amukan Kasim pagi itu. Seperti biasa, pulang dari rumah judi dengan wajah dan baju lusuh. Mulut berbau tajam Pinaraci4.
“Mana sarapanku?!” teriak Kasim sambil membanting piring. Hanida terpaku di sudut dapur, sementara suara tangisan si bungsu yang terkaget mendengar keributan di pagi itu terdengar deras dari kamar. “Mana, Hanida? Mana?!” ulang Kasim lebih keras.
Hanida tak bisa berkata apa-apa. Bibirnya gemetar seperti putus asa. Ia ingat hutang yang menumpuk di warung dan kucuran uang belanja yang terhenti. Bukannya iba melihat wajah Hanida yang pasi dan kurang tidur, Kasim malah mendekati istrinya itu, menjambak rambutnya, menendang pinggulnya, menamparnya dan berkali-kali memukulnya dengan pinggan aluminium yang bundar seperti bulan.
“Istri durhaka!”
Perih sekali, batin Hanida sambil meraba pipi dan memperhatikan bara yang sedang memanggang bungkusan ilabulo. Matanya sebak, tapi sulit menangis. Sudah tak terhitung berapa kali Kasim memperlakukan Hanida sebengis ini.
Ia mengingat-ingat kembali ancaman suaminya sebelum meninggalkan rumah lagi pagi itu.
“Kalau nanti malam tidak ada makanan enak, kubunuh kau. Awas!”
“Sebentar lagi ilabulo ini matang, dan suamiku akan segera pulang,” pikirnya.
Tiba-tiba ia ingat si bungsu. Sejak beberapa jam lalu anak itu tidak kedengaran suaranya. Anak itu lahir saat pernikahan mereka telah mencapai tahun ketiga. Saat baliho, poster, dan spanduk pilkada mulai diturunkan. Seorang anak lelaki yang kurus seperti ibunya. Kasim tak ada di sisi Hanida ketika anak itu lahir. Ia sedang berada di seberang meja judi, meratapi upah terakhir dan kekalahan demi kekalahan yang menderanya.
Hanida berjalan menuju kamar. Satu-satunya kamar di rumah itu. Tempat ia, Kasim, dan dua anak mereka biasa tidur bersama. Buaian itu masih di sana. Buaian berupa kain selimut yang digantungkan pada kaitan di ujung pegas baja. Terlihat menggelendot sebab berisi.
Hanida melongokkan kepalanya ke dalam buaian. Ia tersenyum, lalu menangis haru saat melihat isinya: sebongkah batu lonjong yang panjangnya sehasta.
“Anakku, tidurlah nyenyak. Sebentar lagi papa pulang, lalu kita makan bersama,” bisik perempuan malang itu.
Hanida kembali ke dapur. Mengawasi bara yang menyala-nyala memanggang bungkusan-bungkusan penganan yang amat digemari suaminya. Tak dipedulikannya keranjang sampah di sudut dapur. Keranjang sampah berisi kepala dan organ tubuh lain yang tak terpakai untuk makan malam suaminya.
Gorontalo, Maret 2014
Catatan:
Cerita ini diadaptasi dari salah satu fragmen dalam syair “Kasimu Motoro”, syair berbahasa Gorontalo jenis Tanggomo (syair berisi petuah dan kisah-kisah) gubahan Manuli Askali.
1Warna lainnya adalah kuning emas yang melambangkan kesetiaan; merah yang melambangkan tanggung jawab; dan ungu yang melambangkan kewibawaan.
2Puade: pelaminan.
3Disebut paluwala, mahkota untuk pengantin laki-laki.
4Pinaraci: merek minuman keras lokal.
(Terbit di portal degorontalo.co 23 November 2014)


