Jamil Massa's Blog, page 2

August 7, 2017

Manusia yang Tak Pernah Puas

[image error]

Gustave Doré’s illustration to Dante’s “Inferno.” Plate XXII: Canto VII: The hoarders and wasters.


Terbit pertama kali di Kolom Detikcom 07 Juli 2017


WOLTER Robert van Hoëvell, yang hidup di sekitar abad ke-19, tahu banyak soal manusia dan keluhan-keluhannya. Sebagai seorang pendeta, ia mengerti bagaimana rasa tidak puas menjalari lapis demi lapis hasrat manusia.


Sebagai anggota Partai Liberal Belanda sekaligus penentang kolonialisme, ia juga paham bagaimana wajah ketamakan dalam citra terbesarnya. Pun sebagai prosais, dengan nama pena Jeronymus, ia piawai menyusun alegori tentang itu semua lewat sebuah cerita pendek. Judulnya Japanse SteenhowerPemecah Batu Jepang.


Saya membaca cerpen tersebut dalam versi yang diceritakan kembali oleh Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dalam novel Max Havelaar. Dahulu kala, hiduplah seorang kuli pemecah batu Jepang yang tak bernama. Si pemecah batu adalah seorang pekerja keras, tetapi di suatu titik ia mendadak tak puas. Ia merasa kuli pemecah batu adalah jenis pekerjaan yang rendah. Ia ingin menjadi orang kaya yang bisa hidup santai tanpa kerja keras.


Sesosok Malaikat lantas turun dari surga, memenuhi permintaan si Pemecah Batu. Namun kemudian, menjadi kaya tidak bisa menyelamatkannya dari perasaan tidak puas. Seorang Raja lewat di depan kediamannya, lengkap dengan pengawal berkuda, kereta dan payung emas. Orang kaya yang dahulu pemecah batu itu lalu ingin jadi raja yang lebih berkuasa.


Malaikat yang sama kembali memenuhi keinginannya. Namun, ketika ia melihat payungnya tak benar-benar bisa melindunginya dari sengatan matahari, Si Pemecah Batu kembali mengeluh, kali ini ingin jadi matahari. Setelah jadi matahari, segumpal awan lewat menghalangi sinarnya dan ia mengeluh lagi. Ia ingin jadi awan. Awan menjadi hujan besar, hujan besar jadi banjir yang memporak-porandakan semua benda di muka bumi, kecuali sebongkah batu. Dan secercah awan itu jengkel karena lagi-lagi kekuasaannya ternyata begitu terbatas. Ia kemudian ingin jadi batu.


Ketika ia telah menjadi batu, seorang lelaki kekar datang membawa beliung. Si batu akhirnya sadar, bahwa sesungguhnya seorang pemecah batu adalah sosok yang punya secuil kuasa, setidaknya pada sebongkah batu yang keras dan ngotot. Untuk terakhir kalinya ia meminta, ingin dikembalikan wujudnya menjadi pemecah batu. Permintaan kembali dikabulkan oleh malaikat. Dan pada akhirnya, Si Pemecah Batu Jepang itu pun merasa puas.


Cerita pendek ini terbit pertama kali dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (Jurnal Hindia Belanda), majalah yang didirikan oleh Hoëvell sendiri, terutama untuk menyampaikan gagasan-gagasan dan moralitas politiknya. Boleh jadi, Japanse Steenhower adalah sebuah satire politik tentang ketamakan pejabat-pejabat Belanda dan Hindia Belanda, atau ketamakan imperialisme itu sendiri.


Ketamakan, sebagaimana yang digambarkan lewat tokoh Si Pemecah Batu, selalu berawal dari ketidakpuasan. Dan ketidakpuasan bekerja dalam benak manusia dengan memperlihatkan apa yang tidak ia punya, bukan apa yang ia butuhkan.


Dalam cerita Pemecah Batu Jepang, perjalanan hasrat membentuk suatu jalur tempuh yang sirkuler. Sifat-sifat unggul suatu kondisi akan melampaui kondisi sebelumnya, sehingga rangkaian ketidakpuasan itu akan membawa seseorang ke awal lagi. Untuk memutus lingkaran ini, hal yang perlu dilakukan adalah menyelesaikan urusan dengan diri sendiri.


Tak Selalu Buruk


KETIDAKPUASAN manusia, bagi beberapa orang, tidak selalu buruk. “Discontent is the first necessity of progress,” kata Thomas Alva Edison. Ketidakpuasan adalah hal pertama yang diperlukan untuk sebuah kemajuan. Dan, Alva Edison membuktikan kata-katanya sendiri. Konon, ia akhirnya berhasil menciptakan bola lampu pijar setelah 10.083 kali tak puas pada percobaan demi percobaan yang gagal.


Namun ‘kemajuan’, istilah yang digunakan Edison ini, bukannya tanpa masalah. Adalah ‘kemajuan’, sebagai bagian dari proyek revolusi industri dan modernitas, yang mengubah manusia dari yang sebelumnya mengandalkan pengolahan tanah, menjadi pekerja-pekerja yang berhimpitan dalam ruang-ruang sempit pabrik dan perkantoran.


Kebutuhan-kebutuhan manusia semakin bertambah, begitu pula perasaan tidak puasnya. Proyek-proyek modernitas dan industri menyerbu urat nadi pedesaan, menggerus lahan pertanian dan hutan. Pabrik-pabrik, hutan tanaman industri, pertambangan, pemukiman dan pusat-pusat perbelanjaan memakan ruang dan membuat petani kehilangan mata pencaharian utama.


Kebijakan pemerintah pun dinilai membatasi akses petani untuk memiliki lahan. Dalam sebuah penelitian pada 2014 terungkap bahwa petani Indonesia rata-rata hanya menggarap sawah seluas 0,3 hektar, jauh dari ideal yakni dua hektar. Hal ini diperparah sistem pendidikan kita yang, mengutip Dandhy Dwi Laksono, tidak didesain untuk mendekatkan anak pada potensi maksimalnya beradaptasi dengan konteks sosial dan lingkungan, melainkan untuk menghamba pada kepentingan industri dan birokrasi.


Dalam keadaan yang segenting itu, orang-orang kota pulang ke kampung-kampung halamannya, memamerkan baju baru, oleh-oleh, mobil dan pelbagai parade kemubaziran lainnya. Secara langsung dan tidak langsung mendiktekan lagi definisi kemakmuran, dan merayu pemuda-pemuda desa yang sudah terjepit dan kehabisan lahan itu untuk pindah ke kota, tempat sekelumit kekejaman sistemik menanti mereka yang tak mampu berkompetisi.


Mengolah tanah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang berkaitan dengan penyediaan pangan terlihat melelahkan, kotor, dan tidak menjanjikan kemakmuran. Kampung-kampung semakin kosong, dan akhirnya itu menjadi alasan bagi pemerintah daerah setempat untuk mengalihfungsikan tanah-tanah tak tergarap menjadi pabrik, mal, ruko, dan pemukiman.


Sebaliknya, di kota, sejumlah orang kemudian mempraktikkan urban farming. Yakni, gerakan bertani di kota yang bermula dari tidak puasnya masyarakat kota akan atmosfer lingkungannya yang polutif. Ada pula kecemasan akan ancaman krisis pangan yang oleh LIPI diprediksikan akan menghantam Indonesia pada 2025.


Ruang hidup yang semakin menyempit di kota diakali hingga muat untuk berkebun atau pertanian mandiri. Sistem hidroponik dan bercocok tanam secara vertikal semakin ngetren. Tanamannya mulai dari bumbu-bumbu dapur, buah-buahan, sampai bunga-bunga pengusir nyamuk. Mulai dari yang digelar pada sepetak kecil pekarangan sampai atap gedung.


Di Kanada dan Inggris, urban farming disisipkan sebagai bagian dari perencanaan dan penataan ruang kota. Sementara di Jepang, bercocok tanam dilakukan sampai di lobi-lobi perkantoran. Saya kemudian sedikit berandai-andai, jika saja model pertanian semacam ini dilakukan dengan skala yang lebih luas dan terorganisasikan, mungkin dampaknya akan lebih besar.


Dr. Petrus Natalivan, seorang peneliti ITB mengatakan, konsep urban farming belum cukup untuk menjawab persoalan ketahanan pangan. Ia menyampaikan hasil penelitiannya bahwa pertanian yang dilakukan di perkotaan masih bersifat terbatas, hanya dilakukan oleh komunitas-komunitas tertentu. Juga lahan garapan tidak banyak tersedia, beberapa komunitas menggunakan tanah privat yang dikontrak dalam jangka waktu tertentu.


Andaikan tren berkebun di urban ini dipindahkan ke udik, sehingga orang-orang kota yang ingin bercocok tanam pindah ke desa, sistem ketahanan pangan kita mungkin bisa lebih kuat. Jika awalnya bertani hanya sebagai pengisi waktu luang atau untuk memenuhi kebutuhan pangan harian semata, maka di kampung pertanian bisa menjadi sebuah jalan hidup. Udara bersih, makanan sehat hasil produksi sendiri, dan ritme kehidupan yang relatif tenang; bukankah ini semua adalah impian sebagian besar orang kota?


Mungkin perdebatannya akan panjang, tentang apakah desa memang butuh orang-orang berpendidikan tinggi, yang sadar akan isu ketahanan pangan, lingkungan, agrikultural, serta memahami persoalan-persoalan pascaproduksi untuk mengolah tanahnya. Namun, melihat betapa ganasnya alih fungsi lahan di desa-desa, baik yang dilakukan dengan rayuan halus maupun kekerasan, pertukaran posisi ini bisa menjadi solusi paling putus asa.


Defisit penduduk berikut pertambahan perkebunan beton bisa semakin ditekan. Lalu banyak orang bisa selamat dari kiamat ekosistem dan kelaparan global sebagaimana yang digambarkan dalam film Interstellar. Namun, mengingat manusia lagi-lagi adalah makhluk yang susah sekali terpuaskan, andai-andai saya itu mungkin terlalu muluk.


Desa bagi orang desa, dan kota bagi orang kota adalah batu bagi Si Pemecah Batu Jepang; membosankan, tapi selalu jadi tempat pulang. Orang kota akan kembali ke kota ketika ia tak mampu beradaptasi dengan desa. Orang desa akan kembali ke desa saat ia gagal di kota. Bahkan, orang desa yang jadi mapan di kota sekalipun tetap tergerak hatinya untuk balik ke desa, minimal setahun sekali, dengan berbagai rupa motivasi.


Hanya sedikit yang bisa betah meninggalkan pola hidup lama, lalu puas menjalani gaya hidup mereka yang baru. Orang-orang semacam ini adalah orang-orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri.***


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 07, 2017 17:50

Pesan-Pesan Subliminal dan Penyair Sebagai Medium (Ulasan Dedy Tri Riyadi)

[image error]


Saya bukan bulan

bukan bunga pun

tapi biarkan saya berjalan bersamamu

agar kau tidak sendirian menatap burung-burung,

gunung-gunung, dan awan yang sendirian itu.

Ah, siapa yang sendirian?

Saya punya bayang-bayang.

(Mabuk Bersama Li Bai)

Jamil Massa dalam pengantar pada buku ini menyebut tanggomo dan wungguli,yang merupakan dua dari banyak langgam tradisi lisan di Gorontalo di samping sumber-sumber lain untuk menuliskan puisi-puisi dalam buku berjudul Pemanggil Air ini. Sementara di awal-awal pengantar, Jamil Massa juga menyatakan bahwa ia menyoal aneka macam isu dengan pelbagai hal, termasuk hikayat. Dua hal yang saling berkait ini menunjukkan bahwa yang Jamil Massa lakukan dalam berpuisi adalah berbicara secara tidak langsung pada isu yang dia rasa, lihat, baca, dan sebagainya yang ingin dia ungkap dengan cara menyandingkan, atau menurut istilahnya: meminjam, dengan sesuatu yang ia tahu.

(Simak lebih lengkap ulasan Dedy Tri Riyadi mengenai buku saya Pemanggil Air di sini)
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 07, 2017 17:36

July 18, 2017

Studio dan Galeri

Mata Puisi ಠ Hasan Aspahani


BLOG, dinding Facebook, apapun yang sejenis itu, adalah studio bagi penulis. Jika kau penyair, kau pajang puisimu di sana, bahkan kau menulisnya di sana. Ada sajak yang selesai. Ada sajak yang kelak kau perbaiki lagi. Ada sajak yang kau hapus dan kau lupakan, kau anggap tak pernah ada.



Kawan-kawanmu datang ke studiomu. Ada yang memperhatikan apa yang kau pajang, ada yang datang untuk mengajakmu berbincang soal lain, dan tak peduli pada sajakmu. Ada yang memuji, ada yang tak mengerti.



Tapi studio adalah rumahmu. Kau bebas menulis atau tak menulis apa saja. Di rumahmu tak ada orang lain yang mengatur bagaimana kau harus menata apa yang kau pajang. Tak ada kurasi, tak ada seleksi. Di studiomu kau membuka diri, membiarkan tetamu melihat prosesmu menulis.



Tapi studio bukan galeri. Galeri bukan studio. Di galeri kita harus datang dengan satu konsep yang hendak ditawarkan. Kau memilih karya-karyamu yang mendukung konsep itu. Jika bukan…


Lihat pos aslinya 113 kata lagi


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 18, 2017 21:13

July 13, 2017

Prasangka Kendesoan: dari Oberg sampai Kaesang Pangarep

[image error]

pixabay.com


Ada banyak banyolan rasial dalam buku The Collected Jokes of Slavoj Žižek (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Mati Ketawa Cara Slavoj Žižek oleh penerbit Marjin Kiri). Sebuah buku yang disarikan dan disusun Auden Mortensen dari sejumlah risalah dan ceramah filsuf asal Slovenia, Slavoj Žižek. Salah satu yang saya ingat adalah tentang seorang Yahudi yang bertemu seorang Polandia di sebuah kereta.


Keduanya duduk berhadap-hadapan. Setelah beberapa lama memandangi si Yahudi, si Polandia akhirnya berkata: “Beritahu aku, bagaimana kalian orang Yahudi berhasil mengeruk uang orang-orang sampai ke receh-recehnya dan dengan cara itu menumpuk kekayaan kalian?”


Si Yahudi menjawab: “Oke, akan kuberitahu, tapi tidak gratisan; pertama-tama beri aku uang lima zloty.” Sesudah menerima uang, si Yahudi melanjutkan: “Kau ambil ikan mati; potong kepalanya dan taruh isi perutnya ke dalam segelas air. Lalu sekitar tengah malam, saat bulan purnama, kau harus kubur gelas ini di halaman gereja.”


“Kalau aku lakukan semua itu, aku akan jadi kaya?” potong si Polandia.


“Ini belum semua; tapi kalau kau ingin dengar sisanya, kau harus bayar lima zloty lagi,” jawab si Yahudi.


Si Polandia menyanggupi syarat itu. Namun kemudian si Yahudi bercerita berputar-putar, dan tak lama kemudian memotong ceritanya, lalu meminta uang lima zloty lagi. Begitu seterusnya sampai si Polandia geram. “Bajingan tengik, kau pikir aku tidak tahu maumu? Rahasia itu sama sekali tidak ada, kau cuma mau mengeruk uangku sampai ke receh-recehnya!”


Dan si Yahudi menjawab tenang: “Nah, kau sekarang lihat kan bagaimana kami orang Yahudi…”


Dalam masyarakat yang multikultural, kebudayaan yang majemuk itu diibaratkan seperti mobil-mobil yang melaju di sebuah jalur dua arah. Benturan demi benturan budaya wajar terjadi dan kerap menghasilkan gegar. Culture shock atau gegar budaya.. Kamus Merriam-Webster mencatat, culture shock sebagai sebuah istilah umum populer digunakan sejak tahun 1932, tapi orang yang pertama kali menggunakan istilah ini di lapangan akademik adalah antropolog berdarah Finlandia kelahiran Kanada bernama Kalervo Oberg.


Oberg adalah seorang sojourner atau pengelana budaya. Ia berkelana ke berbagai tempat di dunia dan menulis pengalamannya bersinggungan dengan berbagai budaya. Pada tahun 1960, Oberg menerbitkan sebuah makalah berjudul Cultural Shock: Adjustment to New Cultural Environments yang salah satu poinnya mengenalkan culture shock sebagai perasaan dalam diri seseorang yang ditimbulkan oleh kecemasan akibat orang yang bersangkutan kehilangan semua tanda-tanda familiar berikut hubungan sosial mengikutinya. Tanda-tanda familiar yang dimaksud meliputi ribuan cara seseorang mengorientasikan dirinya dengan situasi sehari-hari.


Dalam tesis Oberg, culture shock lebih merupakan istilah yang menggambarkan bagaimana seseorang dari suatu negara berhasil atau gagal beradaptasi dengan konteks sosial dan lingkungan negara baru yang ia tinggali. Pada tahun-tahun belakangan ini, ketika berbagai masyarakat di dunia semakin multikultural dan kompleks, istilah culture shock bisa juga berlaku untuk interaksi yang dilakukan antarmanusia dalam satu negara. Di Eropa, ketika keran imigrasi dibuka lebar-lebar, perbenturan budaya menjadi semakin sering dan hampir selalu melibatkan prasangka, sebagaimana yang digambarkan Žižek melalui anekdotnya yang saya kutipkan di awal tulisan ini.


Di Indonesia, gegar budaya dan prasangka primordial masih saja dapat dilihat di mana-mana, meski lebih dari 300 kelompok etnik dan 1.340 suku hidup di negeri ini telah hidup bersama selama berabad-abad. Media massa, berikut sistem politik dan ekonomi yang sentralistik, menyederhanakan keanekaragaman ini menjadi peta-peta demografis yang lebih besar; Barat-Timur; Pusat-Daerah; Jakarta-Luar Jakarta; Jawa-Luar Jawa; Maju-Tertinggal. Dalam benak masyarakat, pengkotak-kotakkan ini lebih disederhanakan lagi menjadi Kota dan Desa.


Kata ndeso mungkin telah lama akrab dalam kosakata sehari-hari masyarakat Jawa, tetapi istilah ini baru populer bagi masyarakat luar Jawa setelah Tukul Arwana memakainya secara rutin sejak September 2005, dalam acara hibrida bincang-bincang dan komedi yang dipandunya, Empat Mata.


Jauh sebelum ndeso, telah ada kata kampungan. Banyak yang menganggap kedua kata ini memiliki konotasi sama dengan ketertinggalan serta cara berpikir, perilaku, sikap, dan aksen yang norak. Namun, antara ndeso dengan kampungan, dalam pemahaman saya, memiliki secercah perbedaan. Kampungan adalah sebuah istilah yang kental dengan nada pelecehan, yang dilontarkan oleh orang-orang dalam himpunan, kepada mereka yang berada di luar himpunan. Sebuah cara bagi si ‘aku’ untuk merendahkan yang ‘liyan’.


Sementara ndeso, adalah sebuah pengakuan inferioritas. Ndeso adalah kata yang berakar dari bahasa Jawa sendiri, sebuah identitas yang dipakai Tukul untuk menyebut dirinya sendiri. Ndeso oleh Tukul adalah istilah yang sejajar dengan culture shock yang dipakai Oberg. Ndeso menjadi sebuah representasi dari kegagapan seorang Jawa dari luar Jakarta dalam melakukan negosiasi dan adjustment dengan nilai-nilai Jakarta yang modern dan sarat snobisme.


Tukul misalnya memperlihatkan dengan terang-terangan kesulitannya dalam memakai jas, berbahasa Inggris, dan mengoperasikan laptop. Ia juga menyebut nama-nama semacam Ngatiyem, Ngatini, Paijo, yang identik dengan kejawaan sebagai nama-nama yang ndeso. Tukul, bahkan membawa inferioritasnya merasuk semakin dalam ke wilayah-wilayah yang telah terberi sejak lahir seperti bentuk wajah dan perawakan fisik.


Beberapa orang memuji apa yang dilakukan Tukul tersebut sebagai sebuah kesadaran di tengah masyarakat yang tidak tahu diri. Cara yang asyik untuk melawak dengan menertawakan diri sendiri. Bagi saya sendiri apa yang dilakukan Tukul adalah sebentuk pragmatisme di tengah tuntutan industri televisi yang gemar merayakan kebanalan. Dengan karakter ndeso yang pelan-pelan berubah menjadi merek dagang itu, Tukul membuat dirinya terterima sebagai keunikan dalam dunia hiburan kita yang masih menjadikan cemoohan sebagai materi utamanya.


Saya tidak tahu kapan pastinya kata ndeso menempati posisi yang sejajar dengan kata kampungan yang lumayan ofensif itu. Dari yang semula digunakan untuk mengejek diri sendiri, kata ndeso bergeser penggunaannya untuk meledek orang lain. Maknanya pun menjadi semakin sensitif, bahkan sampai membuat seorang warga Bekasi bernama Muhammad Hidayat melaporkan vlogger yang juga putera presiden Jokowi, Kaesang Pangarep ke polisi gara-gara sebuah video yang diunggahnya ke internet.


Di satu sisi, saya melihat apa yang dilakukan Muhammad Hidayat itu berlebihan. Sebuah kelatahan dalam menanggapi aksi-aksi persekusi yang sedang marak belakangan ini. Namun menyedihkan juga mengingat betapa kata ndeso, berikut masyarakat desa yang diwakilinya menjadi diliputi berbagai macam prasangka. Sebelum Pangarep, kita juga ingat misalnya tentang tersendat-sendatnya pembagian dana desa akibat para pembuat kebijakan begitu sibuk mencurigai kemampuan dan kejujuran masyarakat desa dalam mengelola keuangannya sendiri.


Kita juga ingat ketika beberapa waktu lalu blogger Denny Siregar menyebut para petani Rembang yang menyemen kaki sebagai protes pembangunan pabrik semen di desa mereka sebagai orang-orang lugu yang mudah dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu, seolah masyarakat desa tidak memiliki kemampuan dalam berpikir dan mengorganisasikan diri untuk mengekspresikan pendapat mereka.


Ketika Kaesang Pangarep berkali-kali menyebut ndeso untuk menyebut kenorakan politis dalam vlog-nya, ia mungkin lupa dengan bapaknya sendiri, yang dalam berbagai kampanye menggunakan kendesoan itu sebagai sebuah citra yang mangkus dalam meraup simpati publik. Ndeso, yang oleh pendukung dan tim komunikasi politik Presiden Jokowi lebih dititikberatkan pada karakter sederhana, merakyat, dan tidak neko-neko itu adalah salah satu alasan mengapa sang Presiden begitu dicintai banyak orang.


Mungkin Kaesang perlu mendalami ilmu sosiologi lebih dalam, khususnya sosiologi pedesaan. Kaesang perlu menelaah lagi apakah orang yang suka minta proyek itu cocok dengan penggambaran karakter masyarakat desa menurut Roucek dan Warren? Apakah kegemaran menyebarkan kebencian merupakan salah satu ciri masyarakat desa menurut Paul H. Landis? Apakah budaya saling menjelek-jelekkan, mengadu domba, dan mengafirkan orang lain itu sesuai dengan pandangan hidup orang desa sebagaimana yang dicetuskan Everett Rogers?


Jika nyatanya tidak, mungkin Kaesang dan banyak lagi dari kita harus mulai berhenti menyalahkan orang desa untuk segala perilaku buruk yang tidak mereka lakukan.***


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 13, 2017 01:05

July 10, 2017

Kucing Mati dan Perihal Lain yang Nyaris Terjadi

[image error]


(Cerpen ini tayang pertama kali di situs jakartabeat.net. Temukan tulisan-tulisan bagus lainnya di sana)


NYARIS menabrak kucing dan benar-benar menabrak kucing adalah dua hal berbeda. Yang pertama adalah kejadian biasa. Hampir semua pengendara—bermotor maupun tidak—pernah mengalami. Memang belum ada catatan statistik yang pasti. Namun, kita barangkali bisa bersepakat, nyaris menabrak kucing adalah kasus umum yang kurang menyenangkan. Keumuman dan kekurangmenyenangkannya hanya bisa ditandingi oleh sehelai rambut yang kau temukan menyembul dari sela-sela makananmu.


Sementara, benar-benar menabrak kucing adalah peristiwa yang jarang terjadi, yang bukan hanya kurang menyenangkan, tapi juga sangat menakutkan. Ketakutan itu biasanya akan tertanam di benakmu dalam waktu cukup lama. Bayangkan saja, seekor kucing, makhluk bertubuh lentur susah diatur itu, melesat tiba-tiba di depan mobil atau sepeda motormu. Kau mengerem mendadak, setir terguncang sejenak, roda sedikit terlonjak, dan tahu-tahu, kau menemukan kucing itu telah dalam keadaan tak bergerak. Atau lebih parah lagi, kau mendapatinya sebagai daging lumat di bawah kulit berbulu yang tergencet seperti keset busuk.


Saking menakutkannya, kucing mati adalah properti yang sering digunakan para sineas Jepang dalam film-film horor mereka. Mungkin kau akan lebih ketakutan lagi saat tahu, dalam film-film horor Jepang jarang ditemukan tulisan yang berarti: “Tak ada satu pun binatang yang disakiti dalam pembuatan film ini” di bagian kredit akhir, sebagaimana umumnya film yang melibatkan binatang.



Dikejar rasa takut adalah satu hal. Kehilangan sehelai pakaian, lalu terserang masuk angin gara-gara berkendara dengan dada telanjang adalah hal lain. Di daerahku ada sebuah kepercayaan, seekor kucing yang mati tertabrak harus diperlakukan secara hormat. Kau harus turun dari kendaraanmu, lalu membuka baju yang kau kenakan saat itu untuk membungkus bangkai kucing. Tentu kucing itu harus dikubur, bersama bajumu tadi.


“Apa yang terjadi jika kalau itu dilanggar?” tanya Winda setelah ia memesan kopi gelas ketiga.


“Tergantung,” aku menyeruput kopiku. “Tergantung berapa banyak yang kau lakukan. Atau berapa banyak yang tidak kau lakukan.”


Winda melempar tatapan tak mengerti. Sepasang matanya yang sudah kecil kini terlihat makin mengecil.


“Kau harus melakukan tiga hal: berhenti, membungkus bangkai kucing yang kau tabrak dengan bajumu, lalu menguburkannya.”


“Jadi, akan berbeda hukumannya antara orang yang turun tapi tak menguburkan, dan yang tidak turun sama sekali, begitu?”


“Juga berbeda antara yang mau membungkus sekaligus mengubur bangkai, dengan yang hanya mengubur tanpa membungkus sama sekali.”


“Dan membungkusnya harus dengan baju yang dikenakan saat itu?”


“Harus dengan baju yang dikenakan saat itu.” Winda termangu. Tak lama kemudian kopinya tiba.


***


Ini adalah takhayul turun temurun di daerah kami. Dan sebagaimana umumnya sebuah takhayul, cara terbaik untuk membuktikannya adalah dengan membiarkan orang lain melakukan apa yang dipantangkan, lalu melihat apa yang terjadi. Tentu saja, di antara kami tidak banyak yang punya cukup nyali untuk melakukan hal ini. Kecuali, jika kepepet, atau terlalu sayang pada bajunya.


Tanda tangan artis seperti Arman Maulana bisa jadi satu alasan mengapa seseorang begitu menyayangi sepotong baju. Itulah sebabnya, ketika suatu malam ia menabrak mati seekor kucing, Pendi dengan tegas menolak mengafani bangkai hewan malang itu dengan kaus yang sedang ia kenakan. Kaus bertanda tangan Arman Maulana, yang ia dapatkan kala band GIGI manggung di ibukota kabupaten beberapa bulan sebelumnya.


“Kualat kau, Pendi,” ujar seseorang di antara kami.


Pendi tetap pada pendiriannya. Kucing itu ia biarkan terkubur telanjang. Demi Arman Maulana. Maka, semua orang di kampung kami seolah mendapat jawaban ketika kemudian Pendi mulai mengalami sejumlah kesialan yang bikin bulu kuduk bergidik. Beberapa orang berpendapat, kesialannya dimulai pada 27 April 2014, saat Liverpool, klub asal Inggris yang ia cintai mati-matian itu, dikalahkan Chelsea di kandangnya sendiri pada lanjutan Liga Inggris tahun itu.


Aku sendiri punya pendapat berbeda. Benar kekalahan melawan Chelsea itu menyakitkan sekaligus memalukan. Steven Gerard terpeleset, gawang mereka dibobol dua kali tanpa balas, dan peristiwa itu terjadi di Anfield. Namun, anak-anak Liverpool yang waktu itu dilatih Brendan Rodgers kalah oleh tim yang setara kekuatan dengan mereka; dan kekalahan itu pun belum bisa menggoyahkan mereka di puncak klasemen. Liverpool masih yang berpeluang paling besar untuk juara di musim itu, sekaligus menyamai rekor musuh bebuyutan mereka, Manchester United, dalam hal koleksi trofi liga. Rangkaian kesialan Pendi menurutku baru benar-benar dimulai pada satu pekan setelahnya, saat Livepool melawat ke Selhurst Park, markas Crystal Palace.


Waktu itu kami ramai-ramai menonton pertandingan di sebuah kafe. Menit ketujuh belas, Allen menyundul bola hasil sepakan pojok Gerrard ke arah gawang. Gol untuk Liverpool. Sekitar setengah jam kemudian, Sturridge menggiring bola dari arah kanan ke jantung pertahanan Palace, mengecoh Mariappa sebelum melakukan tembakan terarah menyusur tanah yang tak dapat dicegat kiper Esperoni.


Sorak-sorai Pendi bikin telinga kami makin pekak saat sang pencetak angka terbanyak di Liga saat itu, Luis Suarez, membuat gol dengan kaki kirinya sehingga skor menjadi 3-0. Dalam posisi itu, jelas Pendi adalah yang paling bahagia di antara kami. Liverpool nyaris juara!


Namun, kau tahu, yang disebut nyaris juara tentu berbeda dengan benar-benar juara. Malam itu, Pendi melihat suatu peristiwa yang begitu mengerikan untuknya. Mendadak, Crystal Palace bermain seperti kesetanan. Tidak, mereka bermain seperti kerasukan malaikat. Hanya butuh sebelas menit buat mereka—Delaney satu gol, Gayle dua gol, sehingga total tiga gol bersarang ke gawang Liverpool yang dijaga Mignolet. Kedudukan pun imbang sampai peluit panjang dibunyikan. Gerrard, Suarez, dan Sturridge terlihat terisak di sana, sementara Pendi tak kalah terguguk di depan layar besar yang digelar pengelola kafe.


Selanjutnya, seperti yang mungkin bisa kau ingat, Liverpool digeser Manchester City; dan posisinya tetap seperti itu sampai akhir musim. Semakin panjanglah sejarah kepecundangan mereka di Liga Inggris. Sejak 1991. Dan itu bisa kukatakan sebagai satu-satunya kesialan kelas impor, karena datangnya jauh dari Inggris. Kesialan-kesialan Pendi selanjutnya lebih bersifat lokal, khas kampung kami. Pertama, ayam-ayam peliharaannya mati kena penyakit. Lalu rumahnya berhamburan ke udara dibelasah puting beliung. Kemudian, hanya sekitar sebulan setelah rumah itu selesai direnovasi, giliran motor balapnya terhantam sebuah mobil truk sebelum terperosok ke dalam jurang. Pendi sendiri mengalami lebam di kening kiri, lecet di siku kiri, dan patah tulang di hampir semua bagian tubuh yang tersisa. Ibunya pingsan empat kali saat dikabari soal ini.


“Semua karena ia telah melanggar apa yang telah dipercaya orang-orang tua,” bisik seseorang.


“Betul. Kucing adalah binatang kesayangan nabi,” timpal yang lain.


“Ya. Kucing tidak patut diperlakukan tidak hormat, bahkan secara tak sengaja,” sambung entah siapa.


Lalu, tanpa sepengetahuan Pendi, Bapaknya menggali kembali kuburan kucing di tepi jalan itu, dan menguburkan bangkai tersebut dengan kaus bertanda tangan Arman Maulana.


“Kutukan itu berhenti?” tanya Winda. Hampir habis gelas kopi keempat dan ia tampak masih tertarik memesan lagi.


Aku mengangkat bahu.


“Kok tidak tahu?”


“Ya, harusnya seperti itu. Tapi melihat bagaimana kau kemarin mencampakkannya, aku tidak yakin kutukan itu telah berakhir.”


Winda nyaris tersedak.


***


Aku ingat, guru SMA-ku pernah menjelaskan, orang-orang bijak di zaman lampau memiliki sistem pengetahuan yang unik untuk menjaga kaumnya dari bahaya. Hanya saja, karena pengetahuan purba kerap sukar dijelaskan secara ringkas, maka para leluhur pun menggunakan jalan pintas: Takhayul.


Misalnya, dilarang makan nasi kuning dalam kamar. Jika melanggar, wawalo alias setan rumah bakal mengamuk dan membuatmu sakit berhari-hari. Tidak ada penjelasan mengapa wawalo tak menyukai nasi kuning. Apakah ia tak menyukai nasi, atau ia tak menyukai wana kuning, atau ia hanya membenci kombinasi keduanya, atau ia hanya membenci kombinasi keduanya bila dimakan di dalam kamar. Tidak ada. Tetapi, kata guruku, orang zaman dulu hanya tak ingin nasi kuning berceceran. Manis santannya dapat mengundang semut. Dan tidak ada yang suka dikerjai semut saat sedang asyik tidur.


Ada juga larangan menjual minyak tanah dan jarum di malam hari. Mitosnya, pedagang bersangkutan bisa bangkrut kalau melanggar. Padahal yang sebenarnya, aturan itu dibuat untuk mencegah minyak tumpah tersiram lampu-lampu teplok yang memang sering digunakan orang-orang zaman dulu. Hanya untuk menghindari kebakaran saja. Sementara soal jarum, itu cuma pencegahan biar benda berujung runcing itu tak melukai kaki orang—yang dahulu jarang mengenakan alas kaki.


***


“Tanam jarum-jarum itu di samping rumah. Pokoknya di tempat biasa dia lewat,” kata Pakuni Ramu, mengingatkanku kembali.


“Oke, Pakuni. Terima kasih.” Tangan kananku menganjurkan dua lembar uang seratus ribuan ke hadapan lelaki tua itu, sementara tangan kiriku masih menggenggam seikat jarum yang baru saja ia berikan.


“Sama-sama,” kata Pakuni Ramu, terkekeh senang.


“Tapi, ada satu lagi.”


“Apa?”


“Itu doti-doti…”


“Kenapa itu doti-doti? Tidak mempan?”


“Mempan, Pakuni. Cuma itu… saya taruh di kopi, si Winda so jadi ketagihan kopi sekarang.”


“Ah, efek samping itu. Lama-lama hilang.” Pakuni Ramu kembali terkekeh.


“Oh, baiklah.” Kataku sebelum akhirnya meminta diri.


Di halaman rumah dukun itu, aku tersenyum sendiri, membayangkan Pendi terbungkuk-bungkuk seperti batang korek yang kelamaan terbakar. Teluh yang akan aku tanam di pekarangan rumahnya, akan membuatnya separuh lumpuh.


Enak saja, mentang-mentang pamannya terpilih jadi bupati, ia menyalipku karierku di kantor. Tiba-tiba saja ia menjadi atasanku. Padahal yang lebih dulu jadi PNS itu aku.


Dan di atas segalanya, yang paling membuatku gusar adalah, dengan jabatannya itu dia merenggut perempuan yang aku sukai. Perempuan yang nyaris aku pacari.


“Nyaris pacaran dengan pacaran itu beda, Bro,” ejeknya, sehari setelah ia berhasil mengajak Winda ke bioskop beberapa bulan silam.


“Nyaris lumpuh dengan benar-benar lumpuh itu beda, Bos,” gumamku, dengan rasa geram yang masih menggumpal di dada. *



Gorontalo, Februari 2017



Catatan: 


Doti-doti: guna-guna, pemikat.


So: sudah.




 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 10, 2017 19:12

July 8, 2017

Yang Tak Bisa Membunuh KPK Akan Membuatnya Lebih Kuat

[image error]

Arya Stark (diperankan Maisie Williams) dalam serial Game of Thrones


(Tulisan ini terbit pertama kali di Kolom Detik.com, 19 Juni 2017)


Gadis kecil itu sedang ogah-ogahan berlatih pedang. Seorang kawan, yang juga pengawal ayahnya, baru saja tewas dalam suatu bentrokan melawan keluarga Lannister. Ayahnya sendiri, Eddard Stark, ikut terluka. Keluarga Stark dan Lannister memang sudah tidak akur sejak lama. Dan, gadis kecil itu merisaukan keselamatan ayahnya.


Namun, rusaknya suasana hati seorang murid tidak boleh menjadi alasan guru libur mengajar, begitu pikir Syrio Forel. Guru pedang yang eksentrik itu memaksa Arya Stark, sang cantrik mengangkat pedang-pedangan kayunya. Mereka harus tetap berlatih dalam kondisi apa pun. Syrio menuntut Arya belajar fokus pada pertarungan. Menjaga pikiran tetap dalam keadaan bebas beban saat berhadap-hadapan dengan lawan.


“Jika kau bersama masalahmu ketika pertarungan sedang berlangsung, maka akan ada lebih banyak masalah untukmu,” nasihat Syrio di sela-sela latihan.


Pertarungan pedang adalah sebuah seni bela diri. Sebuah usaha untuk menjaga nyawa tetap dikandung badan. Syrio lantas mengetes, “Kau menyembah dewa yang mana?”


“Dewa-dewa yang lama, dan dewa-dewa yang baru,” jawab Arya.


“Hanya ada satu dewa yang nyata,” tukas Syrio, “Namanya Kematian, dan hanya ada satu hal yang harus kita katakan kepadanya: tidak hari ini.”


Tak Putus Dirundung Malang


Dialog itu muncul dalam musim pertama serial Game of Thrones, drama peplum produksi HBO yang diangkat dari novel berjudul A Song of Ice and Fire karangan novelis Amerika Serikat, George R.R. Martin. Tayang sejak April 2011, serial ini sedang menanti musim ketujuhnya, dan pertikaian antarklan bangsawan di antara dua benua rekaan, Westeros dan Essos, memasuki babak baru.


Para penonton terbelah. Klan Stark yang menjadi tempat Arya menginduk bisa dikatakan memiliki banyak simpatisan. Kemalangan demi kemalangan, yang mengubah Stark dari wangsa paling berkuasa di Utara Westeros menjadi keluarga yang berpesai-pesai seperti kain tua, memancing siapa pun terharu dan memberi dukungan dari depan layar kaca.


Rangkaian tragedi dimulai ketika Eddard Stark dicurangi musuh-musuh politiknya, lalu dituduh jadi pengkhianat negara dan dipancung di alun-alun ibukota. Catelyn Stark, sang istri, disayat lehernya saat menghadiri sebuah pernikahan. Robb Stark, putera sulungnya, tewas ditikam di ulu hati. Talisa Stark, istri Robb, ditikam dalam keadaan hamil muda. Terakhir, Rickon Stark, si bungsu, tewas dipanah dari belakang.


Yang tersisa pun hidup tak kalah malangnya. Jon Snow si anak tiri ditikam bergantian oleh anak buahnya sendiri sebelum dihidupkan kembali oleh sebuah mantra kuno. Sansa Stark, puteri kedua, dua kali dipaksa menikah; pertama dengan lelaki katai yang tak ia cintai, kedua dengan lelaki penyiksa yang juga tak ia cintai.


Bran Stark, anak ketiga, harus berkelana dalam kelumpuhan, kesepian, dan mimpi-mimpi buruknya sendiri. Sementara Arya Stark, puteri keempat, harus mengendap-endap sampai ke kota-kota yang jauh untuk menghindarkan diri dari orang-orang yang ingin mencelakainya.


Meski harus melewati tahun-tahun yang rengsa, kadar ketabahan para Stark tak pernah susut. Perlahan mereka bangkit, memunguti remah-remah dukungan dari klan-klan yang tersebar di wilayah utara, kemudian merebut kembali kastil mereka untuk bersiap dengan perang lain yang telah membayang.


‘Ketabahan’ adalah satu kata kunci mengapa serial ini begitu digandrungi bahkan oleh para pesohor dunia, dari Barack Obama sampai Chris Martin. Kata kunci yang lain adalah ‘kelicikan’ yang lekat dengan keluarga Lannister, serta ‘kharisma’ yang identik dengan keluarga Targaryen.


Dalam satu dan lain bentuk, ketabahan keluarga Stark mengingatkan saya pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Betapa tabah negeri ini hidup dalam guncangan kasus-kasus korupsi berskala besar; naik turun dalam daftar peringkat negara terkorup; dan lembaga pemberantas korupsinya berulangkali dilemahkan.


Korupsi menjadi musuh bersama, tapi cuma dalam bentuk wacana di permukaan. Sementara di kedalaman, berbagai muslihat dan modus operandi direncanakan untuk merayakan rasuah. Fakta-fakta disembunyikan dan dikaburkan, sehingga upaya pemberantasan korupsi berjalan terbentur-bentur seperti seorang penderita rabun ayam.


Setiap kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus besar, baik itu yang melibatkan politisi, pejabat, maupun swasta, selalu saja ada sandiwara aneh yang dipentaskan di Jakarta. Pada 2009, saat bau sangit kasus Century mulai menggoyang kesadaran publik, ditangkaplah Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dua pimpinan KPK waktu itu, dengan sangkaan penyalahgunaan wewenang.


Pada 2015, lagi-lagi dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta seorang penyidik, Novel Baswedan dijerat kasus yang berbeda-beda. Abraham atas kasus pelanggaran Pasal 36 Ayat (1) junto Pasal 66 UU No 30 tahun 2002 terkait pertemuannya dengan petinggi PDIP, dan satu kasus pemalsuan dokumen kependudukan yang terlalu imut serta kurang gawat bila dibandingkan dengan kasus-kasus korupsi yang ditangani Abraham.


Bambang disangka mengarahkan saksi memberi keterangan palsu pada sidang sengketa pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi. Sementara Novel Baswedan dijerat dengan kasus penganiayaan saat menjabat Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bengkulu. Bambang dengan kasus berumur 5 tahun. Novel dengan kasus berumur 11 tahun! Dan, kasus-kasus ini ditangani setelah KPK berupaya mengusut kasus rekening gendut Polri dan Simulator SIM.


Yang terbaru, di awal Mei lalu, atas usul lima fraksi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk Panitia Khusus (Pansus) angket KPK. Ini menyusul pengusutan kasus korupsi KTP Elektronik yang diduga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 2,55 Triliun; meskipun DPR kerap menampik relevansi dua kejadian ini.


Apapun itu, setelah melalui sebuah kajian ilmiah, 132 pakar hukum tata negara, termasuk mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D telah mengeluarkan fatwa bahwa pengajuan hak angket kepada KPK kali ini cacat hukum. Namun, DPR tak menggubris hasil kajian itu. “Enggak ada urusan, jalan terus…” kata ketua Pansus Agun Gunandjar Sudarsa.


Dihujani hook dan jab ganas bertubi-tubi, kelihatannya ajaib melihat KPK tak terkanvaskan sampai hari ini. Namun, itu bukan hal mustahil sebab sejak jauh-jauh hari Friedrich Nietzsche sudah mengatakan: “That which does not kill us, makes us stronger.” Apa yang tidak bisa membunuh kita, akan membuat kita lebih kuat. KPK dapat pula belajar dari keluarga Stark, yang begitu tabah dalam bertahan dan melawan.


Ketabahan yang Terukur


Di antara semua kualitas ketabahan yang ditunjukkan keluarga Stark, ketabahan milik Arya adalah yang paling menarik. Pertama, ia tumbuh besar dalam lingkungan berubah-ubah yang tidak terlindungi. Jauh berbeda misalnya dengan saudarinya Sansa yang meskipun berstatus tawanan, hidup dalam kemewahan dan perlindungan kerajaan. Faktor lingkungan ini yang kemudian mengeraskan tekad dan jiwa Arya, sekaligus memperluas wawasan dan mengasah kemampuannya dalam bertahan hidup.


Kedua, adalah keterukurannya. Secara sederhana, ketabahan Arya Stark adalah ketabahan yang terukur. Ia memiliki daftar prioritas berisi nama orang-orang yang kepada mereka ia hendak membuat perhitungan. Mencentangi satu per satu nama-nama dalam daftar itulah yang ia anggap sebagai tujuan terpenting dalam hidupnya.


Dan sebaliknya, mengingat bagaimana ayah, ibu, dan saudara-saudaranya, Arya Stark mengerti bahwa untuk membalas dendam pertama-tama ia harus menjaga nyawanya sendiri tak enyah dari badan. Dengan modal dendam dan nyawa ia menyusun rumusannya sendiri soal siapa kawan siapa lawan. Kapan harus berbelas dan kapan berkonfrontasi tanpa ampun. Mana keahlian yang berguna dan mana omong kosong yang buang-buang waktu.


Ketika ditolak memasuki House of Black and White, ia menunggu di depan pintu. Gedung itu adalah tempat yang ciamik untuk belajar seni menyamar dan membunuh. Namun, penghuni gedung menolak kedatangan Arya. Maka ia pun menunggu, dalam lapar dan hujan.


Sekilas adegan itu akan mengingatkan kita pada sinetron-sinetron romantis atau melodrama Korea; seseorang akan terus menanti sebelum pintu dibukakan. Namun, Game of Thrones bukan drama semacam itu. Arya tabah menunggu, tapi ketabahannya terukur. Cuma sehari semalam, sebelum ia kemudian meninggalkan tempat itu, dan memutuskan untuk mencari keahlian lain yang lebih menghargai hasrat kesumatnya.


Itulah sikap yang membuat penonton mudah jatuh cinta pada Arya Stark. Dalam pemeringkatan yang dibuat situs ranker.com, Arya Stark menempati posisi nomor 2, hanya kalah dari Daenerys Targaryen.


Namun popularitas, dengan segala biasnya, kita tahu, bukanlah makanan bergizi bagi otot-otot perjuangan, termasuk perjuangan melawan korupsi. Pun nasib tidak ditentukan oleh besar kecilnya dukungan penonton, sebagaimana ditunjukkan dengan sangat menggemaskan oleh George R.R. Martin, yang gemar membunuh setiap tokoh favorit dalam setiap seri bukunya.


Mengingat itu, maka hal yang paling penting untuk dijaga KPK adalah nyawanya sendiri, yang tak lain adalah semangat menyelamatkan bangsa dan negara dari kejahatan korupsi. Lalu identifikasilah siapa kawan siapa lawan, kapan harus berbelas dan kapan berkonfrontasi tanpa ampun, mana keahlian yang berguna dan mana omong kosong yang buang-buang waktu.


Selama KPK tetap bertahan dan melawan, seraya berpegang kuat pada tujuan yang benar, persepsi publik terhadapnya tidak akan pernah rusak. KPK tidak perlu khawatir kekurangan dukungan. Orang-orang akan tetap berdiri, bukan hanya di belakang, tapi di depan dan di sekelilingnya. Mereka akan senantiasa bergandengan tangan menghadapi kaki tangan koruptor yang hendak jadi dewa kematian.


Lalu, kepada para dewa kematian palsu itu, hanya ada satu hal yang harus dikatakan: “Tidak hari ini!”


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 08, 2017 22:00

June 20, 2017

Neruda: Warna Pastel di Tubuh Politik yang Burik

[image error]/1/


Penyair adalah satu jenis manusia yang rentan jadi senewen. Pemicunya banyak, mulai dari kritik yang kejamnya tak tertahankan, pembaca yang seleranya memuakkan, sampai kurangnya bahan, ide, atau material-material bendawi pendukung kerja-kerja kreatif sang penyair. Ia bisa senewen karena tak lagi punya stok kopi, miras, narkoba, kertas bahkan tinta. Situasi yang disebut terakhir pernah menimpa Pablo Neruda, penyair penerima nobel sastra 1971 asal Chili. Saking runyamnya, sampai-sampai peristiwa itu diabadikan dalam sebuah anekdot.


Konon Neruda kehabisan tinta di sebuah negara asing yang ia tak tahu bagaimana cara mengatakan ‘tinta’ dalam bahasa lokalnya. “Ink! Ink!” pekik Neruda kepada pelayan hotel tempat ia menginap. Namun bahasa Inggris sama sekali tak bisa membantu. Pelayan itu tak paham. Neruda lalu meraih botol tintanya yang telah kosong, menunjukkannya di depan si pelayan dan kembali menyeru dalam bahasa yang sama: “This! This!”


Pelayan yang akhirnya mengerti, kemudian menjawab: “Oh, tinta…”


Sang Penyair melongo. Mungkin berpikir, betapa ini sungguh merepotkan dan sedikit konyol. Cairan pekat berlemak untuk dioleskan di atas bahan cetak, yang tanpanya Neruda mati gaya itu ternyata berbagi kata yang sama, baik dalam bahasa ibunya, Bahasa Spanyol, maupun dalam Bahasa Melayu yang digunakan sang pelayan. Bahasa Spanyol untuk ‘tinta’ adalah…‘tinta’ juga.


Walaupun anekdot di atas tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, Neruda memang tercatat sempat bermukim di Batavia sekitar 1930-1931. Di ibukota negeri jajahan bernama Hindia Belanda itu ia bekerja sebagai konsul yang mengawasi pos dagang Chili untuk sejumlah kota pelabuhan di Asia. Ia bahkan menikahi gadis setempat, sesama anggota klub tenis yang juga karyawati Batavischa Afdelinkbank bernama Maria Antonieta Hagenaar pada Desember 1930.


Meski bahtera rumah tangganya bersama Hagenaar karam tak sampai tiga tahun setelah angkat jangkar, tegangan romantik antara sang penyair flamboyan dengan kepulauan tropis tempat mantan istrinya dilahirkan itu tak pernah kendur. Atau kira-kira begitu yang dibayangkan sutradara Pablo Larraín saat mengangkat secuil cerita hidup Neruda ke layar lebar.


Dalam sebuah adegan di film yang dijuduli Neruda tersebut, sang penyair (diperankan Luis Gnecco) yang galau selepas ditetapkan sebagai buronan politik, mendatangi sebuah tempat hiburan. Tiga perempuan bugil yang gemar cekikikan mengitari, mencolek dan memeluknya bergantian. Di bawah pengaruh libido dan tequilla, sang penyair meracau tentang gadis Tionghoa berambut basah dan rumah yang khusus dibangun untuk jadi tempat orang leyeh-leyeh menyedot candu, dua hal yang jamak ditemui di Indonesia pada masa kolonial. Si penyair meneguk minumannya dan entah dirasuki angin apa lalu berkata: “Max Havelaar, gracias.” Terimakasih, Max Havelaar.


Max Havelaar kita tahu adalah judul sekaligus nama tokoh dalam novel yang ditulis Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dan terbit pertama kali pada 1860. Novel berlatar Hindia Belanda di pertengahan abad 19 itu menelanjangi kebobrokan pemerintahan kolonial yang membiarkan feodalisme lokal memeras habis tenaga, merampas alat-alat produksi, dan merenggut martabat para petani di Lebak, Banten dan sekitarnya.


Sebagai penulis puisi cinta, Neruda mungkin tergugah akan kisah cinta tragis Saidjah dan Adinda yang termaktub dalam buku itu. Atau barangkali ia sedang ingin memberikan penghormatan kepada Max Havelaar atas idealismenya. Atau ia hanya hendak mengangkat salut sebagai sesama pemerhati ilmu pengetahuan, kecantikan dan puisi. Atau mungkin ia hanya ingin mengenang hari-hari mudanya di Asia, ketika politik belum mengubah dunianya jadi neraka.


/2/


Latar waktu film Neruda dimulai pada tahun 1948, atau meminjam ungkapan narator, tiga tahun selepas Perang Dunia Kedua, sejarah Chili sedang merenggang dan menganga akibat tarik menarik antara dua blok besar dalam perang dingin. Presiden Gabriel González Videla (Alfredo Castro) yang sedang berkuasa terang-terangan memihak blok barat yang dipimpin Amerika Serikat. Dengan dalih melawan pengaruh Uni Soviet dan Stalinisme, serta berbekal Undang-undang Ley Maldita, ia membubarkan Partai Komunis Chili dan menangkapi para anggota serikat buruh.


Pablo Neruda adalah pejabat teras partai sekaligus inspirator bagi kaum pekerja di negeri itu. Dengan nada iri, Videla menggambarkan di depan para pegawainya bagaimana kharisma Neruda membayang-bayangi kekuasaannya. “Dia hanya perlu menarik secarik kertas dari sakunya, dan sepuluh ribu proletar diam mendengarkan dia membacakan puisi dengan suaranya yang khas itu.”


Tak ada jalan lain, sang oposan harus disingkirkan. Dan Presiden Videla berpikir, jeruji penjara berikut status sebagai kriminal akan meremukkan reputasi Neruda di mata publik. Maka dikeluarkanlah perintah penangkapan untuk Neruda. Seorang investigator polisi bernama Óscar Peluchonneau (Gael García Bernal) lalu memimpin 300 polisi menyisir kota Santiago dan Valpraiso untuk meringkus sang penyair yang diketahui kabur bersama pelukis yang juga istrinya ketika itu, Delia del Carril (Mercedes Morán).


Film ini kemudian berlanjut menjadi aksi petak umpet antara Neruda dan Peluchonneau. Belakangan penonton akan menyadari bahwa narator film ini adalah sang investigator polisi sendiri. Narator merujuk Neruda sebagai ‘kau’ dalam monolognya, sehingga film ini dengan amat kentara merepresentasikan kegemasan seorang pemburu terhadap buruannya. Kegemasan sebuah rezim terhadap pembangkangnya.


Neruda memang membawa aksi kejar-kejaran itu sampai ke tingkatan yang bikin frustrasi. Ia mengejek pengejarnya dengan selalu meninggalkan tanda mata, sebuah novel detektif di setiap tempat yang digerebek Peluchonneau. Sang pengejar, setelah membaca novel tersebut, akan mengalami pikiran-pikiran ganjil seperti depresi dan kegamangan identitas. Hari-hari Peluchonneau diisi dengan mondar-mandir di atas dua jalan pencarian yang saling bertolak belakang; ke luar dan ke dalam, memburu seorang musuh negara, dan mengejar hasrat murninya sebagai seorang investigator muda yang butuh pengakuan.


Sang buronan, sebaliknya, seolah menjadikan perburuan itu semata kesenangan lama. Neruda adalah seorang penggemar cerita detektif, dan dia mempertahankan pelariannya tetap selalu tampak anggun dan kaya metafora. Ia misalnya tetap menciptakan puisi-puisi untuk disebar dan diteriakkan oleh kaum pekerja seantero Chili. Ia tak gentar berkeliaran, hadir dan bersenang-senang di tempat-tempat umum, di tengah-tengah para pemujanya.


Di sebuah kamar bola ia menyamar sebagai seorang perempuan. Di suatu toko souvenir ia berkamuflase di belakang sekotak pigura. Sebagai seorang penjudi ia kerap mempertaruhkan nyawanya sendiri demi hal-hal kecil seperti jalan-jalan sore di emperan Valpraiso, sementara pengejarnya semakin kehilangan rasa percaya diri.


Belakangan, kehadiran Peluchonneau didorong sampai melanggar batas realitas. Peluchonneau hanyalah sebuah fiksi, tak seperti Neruda atau del Carril atau Videla yang nyata. Sang pengejar hanyalah ilustrasi suram yang diciptakan Neruda dari ketakutan-ketakutannya sendiri. Atau seturut ungkapan del Carril: “cuma peran pembantu”.


Peran tersebut mirip dengan tokoh Batavus Droogstoppel dalam novel Max Havelaar. Droogstoppel adalah seorang pragmatis yang dalam satu set cerita digambarkan sebagai pribadi paling menjijikkan, yang pada jiwanya berlumuran segala sifat jahat dan kualitas paling rendah dari seorang manusia. Dan sebagaimana Peluchonneu, ia pun diciptakan sebagai sebenar-benarnya tokoh fiksi, yang cuma jadi perata jalan buat sang tokoh utama tampil ke depan.


/3/


Sejak dirilis di Chili pada Agustus 2016, Neruda mendapatkan sambutan yang beraneka ragam dari para pengamat. Merekam masa-masa di sekitar penetapan Neruda sebagai orang paling dicari pemerintah Videla sampai di akhir usaha pelariannya ke Argentina melalui Pegunungan Andes, film ini disebut-sebut sebagai biopik yang melanggar pakem-pakem biopik, terutama karena penggunaan banyak karakter fiksional, bahkan untuk peran-peran penting seperti tokoh Peluchonneau sendiri. Beberapa karakter yang ada di dunia nyata malah muncul tanpa peran yang menonjol dan seolah hanya diperlukan sebagai simbol. Misalnya karakter Augusto Pinochet, perwira militer yang kelak jadi diktator Chili dan jadi aktor utama kematian Pablo Neruda  itu, cuma dihadirkan dalam satu scene yang nyaris tak berarti.


Pablo  Larraín sepertinya tidak benar-benar bernapsu membuat biopik yang merekam segala peristiwa sejarah secara realis. Baginya benak manusia adalah realitas itu sendiri, sehingga film ini banyak didominasi oleh penggambaran batin tokoh-tokohnya. Neruda adalah penyair yang dikenal, salah satunya, karena puisi-puisinya yang surealis. Mungkin bagi Larraín akan lebih bermakna apabila hidup sang penyair disorot di bawah pencahayaan yang surealis pula.


Simak juga bagaimana Larraín membungkus dialog antartokoh dengan kontinuitas spasial yang cair, bahkan mendekati absurd. Beberapa kali penonton akan menemukan dialog-dialog yang tetap linier dalam ruang-ruang dan posisi-posisi para aktor yang berubah-ubah. Larraín seolah hendak menggambarkan betapa tak menentunya situasi saat itu, baik bagi pihak yang diburu maupun yang memburu.


Dapat juga dimaknai bahwa Larraín hendak mengarahkan fokus penonton pada jejalin konflik antarmanusia. Ruang dan posisi menjadi sekadar derau, dan konflik itu abadi. Konflik yang sepanjang film ditubuhkan dalam dialog-dialog yang kadang kocak, kadang intimidatif, dan kadang penuh kemarahan.


Pada akhirnya film ini menyajikan kepada kita bahwa sosok Neruda bukanlah cuma seorang penyair pastoral; bukanlah penyair dengan diksi a la remaja udik yang kebelet pengen cipokan, sebagaimana yang sering kita temui pada banyak penyair belakangan ini. Neruda adalah juga seorang tokoh politik. Di atas itu, ia adalah tokoh politik sekaligus sastrawan yang punya sikap. Dan dengan pengetahuannya akan bahasa ia menjadi orator penting di salah satu negara yang memiliki alur politik paling berdarah di muka bumi.


Meski kerap dicap cabul dan mengidap hiperseksualitas, Neruda telah memberi warna pastel di tubuh politik yang burik. Dengan eksistensinya, kesadaran yang tertutup politik dapat kembali dibuka. Meskipun, kita tahu, penyair adalah sejenis manusia yang rentan jadi senewen.***


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 20, 2017 20:14

June 11, 2017

Pedro Páramo dan Pintu-Pintu yang Tertutup

[image error]Apa yang sebetulnya terjadi pada diri kita setelah kita mati? Di antara berbagai penjelasan ilmiah dan bermacam-macam pandangan religi di muka bumi ini, Juan Rulfo, penulis berpengaruh Meksiko, sepertinya lebih memilih percaya kalau pada jiwa seseorang yang telah mati akan melekat berbagai macam memori; Memorinya sendiri dan memori-memori asing dari arwah-arwah lain yang memiliki keterkaitan dengan orang itu semasa hidupnya.


Karena itu ketika Juan Preciado, salah satu karakter yang diciptakan Rulfo dalam novelnya yang berjudul “Pedro Páramo”, menyadari dirinya telah mati, pembaca kemudian seolah menemukan banyak narator dalam novel ini. Para narator yang berebutan bicara tanpa memperkenalkan diri. Pembaca harus berpikir keras, siapa yang sedang berkisah di suatu waktu dan tentang apa? Lalu siapa yang menimpali di waktu lain dan juga tentang apa?


Bisa saya katakan, untuk mendapatkan gambaran cerita yang bisa dicerna, novel ini harus dibaca lebih dari satu kali. Dan pada pembacaan kedua saya menyadari kalau tidak ada banyak narator dalam cerita ini. Hanya ada satu, yakni Juan Preciado seorang.


Cerita dibuka dengan kedatangan Juan Preciado di sebuah Desa di Selatan Antah Berantah Meksiko bernama Comala. Sebuah Desa yang terasa membara bagi orang hidup, tapi terasa dingin mencekam bagi arwah-arwah yang ditolak surga dan enggan pergi ke neraka. Tak jauh dari desa itu ada lahan peternakan bernama Media Luna yang dahulu dipimpin seorang patron bernama Pedro Páramo. Sang Patron inilah yang menjadi alasan kedatangan Juan Preciado ke tempat itu. Mendiang ibunya, Dolores Preciado, yang mati dalam sunyi akibat sakit paru-paru berkata kalau Pedro Páramo adalah ayahnya.


Sejak awal, memori Dolores sudah terngiang di benak Juan Preciado. Beberapa kali pula ia merasa semacam selaput dingin yang ganjil menyelimuti tubuhnya. Namun pemuda Juan baru menyadari kalau ia bukan lagi manusia hidup tatkala ia akhirnya mendapati diri telah berada di sebuah kompleks pemakaman, tepat di dalam lubang kubur yang sama dengan Dorotea; perempuan setengah gila yang semasa hidup menjadi semacam penyalur gadis-gadis untuk budak seks Pedro Páramo.


Di kompleks pemakaman itu pendengaran Juan Preciado semakin jelas. Atau bisa dikatakan, kesadaran akan eksistensinya sendiri menjadikannya dapat mendengar memori-memori asing itu lebih jelas. Ia kemudian menjadi juru bicara kisah ini dengan jalan memantulkan sejumlah suara memori yang ia tangkap. Kadang-kadang suara siapa yang sedang bicara tak dijelaskan. Seolah ia menjadi penyambung lidah sesama orang yang mati menderita dan dibungkam. Bunyi nyaring penderitaan itulah yang membuat novel ini terkesan ribut. Dan kebungkaman menahun itulah yang membuat narasi-narasi seolah bersilang sengkarut.


Butuh kesabaran hingga memori-memori yang pada awalnya hadir dalam potongan-potongan acak dapat dirunut sebagai sebuah kronik. Jawaban dari pertanyaan tentang apa yang terjadi pada Pedro Páramo dan mengapa Desa Comala berikut peternakan Media Luna diterlantarkan penduduknya sendiri dapat diuraikan dari kronik tersebut.


Penyebab kejatuhan Pedro Páramo, Desa Comala dan peternakan Media Luna bisa dibaca dengan cara berbeda-beda. Jika perspektif sejarah dan sosio politik yang dipakai, maka patron berikut secuil wilayah di Selatan Antah Berantah Meksiko itu musnah karena revolusi bersenjata yang tak habis-habis. Digeramus sampai ke kutu-kutunya oleh peperangan. Dari Perang Cristeros yang diwarnai pertentangan kaum sekularis dengan kaum agama, sampai pemberontakan laskar-laskar liar yang berambisi memerangi pemerintah dan tuan-tuan tanah.


Jika pijakan moralitas agama dan penghakiman alkitabiah yang digunakan, maka kehancuran itu berawal dari kutukan atas tanah Comala dan sekitarnya. Pedro Páramo; yang kerap memandang remeh institusi gereja, hobi main perempuan, dan gemar mengotori tangan dengan darah orang-orang tidak bersalah, adalah biang dosa di mata otoritas agama setempat. Ini juga menjadi penyebab mengapa banyak hantu berseliweran kala malam di Comala.


Para hantu Comala, semasa hidup mereka, sebagian besar adalah manusia-manusia yang berkalang kemelaratan dan penderitaan. Satu-satunya yang membikin mereka betah menjalani hidup hanyalah harapan; ketika mati mereka dapat terbebas dari belenggu kefanaan lalu masuk surga. Namun konflik telah menciptakan kebencian yang sebegitu akutnya hingga mencemari hati para pemuka agama paling welas asih sekalipun. Padri Rentería yang mewakili gereja menolak menerima pengakuan dosa dan pertobatan orang-orang Comala.


Tertutuplah satu pintu bagi para arwah itu, dan satu-satunya pintu yang terbuka adalah neraka. Maka, sebagaimana yang dirutukkan arwah Dorotea kepada arwah Juan Preciado: “Surga yang sebenarnya adalah di sini.” Dan jadilah Comala pusat hiburan malam bagi para arwah gentayangan.


Pembacaan lainnya boleh ditambahkan lagi, andai pembaca masih kurang puas dengan dua pembacaan di atas. Pembaca boleh memilih penyebab lain kiamat Comala yang lebih bernada tragik romantik. Kita boleh menafsirkan bahwa novel Pedro Páramo berkisah tentang berakhirnya kekuasaan seorang despot karena perasaannya ternyata amat rapuh di hadapan cinta yang tak kesampaian. Bagaimana cintanya yang menggebu-gebu kepada Susana San Juan menyebabkan hidup Pedro Páramo, berikut dinastinya berakhir dengan cara tak enak.


Inilah kiranya salah satu contoh terbaik dari apa yang dinamakan genre realisme magis itu. Realisme dan magisme tidak saling meniadakan, justru saling menguatkan. Magisme tidak sekadar menjadi tempelan dari sebuah narasi yang realis. Sebaliknya, alusi-alusi sejarah dan sosial politik pun tidak menjadi bingkai mati sebuah narasi yang dijejali mitologi magis. Semua model pembacaan bisa dipilih, bisa juga disetujui secara bersamaan. Sebab sejak awal, narasi yang dibangun benar-benar diperhitungkan untuk tak saling berkontradiksi.


Pedro Páramo pertama kali terbit tahun 1955 di Mexico oleh penerbit Fondo de Cultura Económica. Buku yang saya miliki ini adalah terjemahan Indonesia dari versi Bahasa Inggris terbitan Grove Press tahun 1994, yang diterjemahkan Lutfi Mardiansyah dan diterbitkan Penerbit Gambang.


Selain novel Pedro Páramo itu sendiri, hal terbaik lain yang dimiliki buku ini adalah ternyata isinya juga menyertakan enam dari belasan cerita pendek yang pernah ditulis Juan Rulfo sepanjang karier kepengarangannya. Favorit saya adalah cerita pendek berjudul “Macario”, cerita tentang anak dengan gangguan mental yang merasa ajaran agama tak memberinya apa-apa selain kengerian. Agama, perang, cinta, kemelaratan dan kengerian; itu adalah lima kata kunci yang akan kerap kita temukan dalam karya-karya Rulfo.


Satu novel, dan satu kumpulan cerpen berisi 15 cerita, Juan Rulfo memang tidak bisa dikategorikan sebagai penulis produktif. Namun dipandang dari segi kualitas dan signifikansi, terutama terhadap kesusatraan Amerika Latin, Rulfo adalah penulis yang telah mencapai banyak hal. Tak kurang Gabriel García Márquez sendiri mengakui, Pedro Páramo memberinya ilham untuk menulis dan menyelesaikan Cien años de soledad (Seratus Tahun Kesunyian), novel yang membawa Marquez memenangi Nobel Sastra 1982, sekaligus melambungkan genre realisme magis ke atas panggung kesusastraan dunia.


Kabarnya buku terbitan Penerbit Gambang ini tersandung masalah hak penerbitan sehingga tak dapat lagi dicetak ulang oleh penerbit yang sama. Saya berharap masalah itu cepat teratasi. Buku ini terlalu penting untuk diabaikan, terutama oleh pembaca karya sastra bermutu.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on June 11, 2017 21:40

May 14, 2017

Pantai (Cerpen Roberto Bolaño)

[image error]

Source: Pixabay


Aku berhenti memakai heroin dan pulang dan mulai mengikuti terapi metadon yang diselenggarakan oleh klinik rehabilitasi yang melayani rawat jalan dan tidak punya banyak hal lain untuk dikerjakan selain bangun tiap pagi dan nonton TV dan coba tidur malam, tapi aku tak bisa, ada yang bikin aku tak bisa merem dan bobo, dan itulah rutinitasku, sampai suatu hari aku tak tahan lagi dan aku membeli sepasang kolor renang hitam untuk diriku sendiri di sebuah toko di tengah kota dan aku pergi ke pantai, memakai kolor dan membawa handuk dan membawa sebuah majalah, dan aku membentangkan handukku tak jauh dari air dan aku berbaring dan menghabiskan sedikit waktu dengan mencoba memutuskan mau nyebur atau tidak, aku memikirkan banyak alasan buat nyebur juga banyak alasan untuk tidak (anak-anak yang bermain di tepian air, misalnya), sampai akhirnya itu sudah sangat telat dan aku pulang, dan esok paginya aku membeli tabir surya dan pergi ke pantai lagi, dan sekitar jam dua belas aku pergi ke klinik dan mendapatkan dosis metadonku sendiri dan menyapa beberapa wajah akrab, bukan teman, hanya wajah-wajah yang akrab dalam antrian metadon yang terperanjat melihatku pakai kolor, tapi aku bersikap seolah tak ada yang aneh dengan itu, dan kemudian aku balik ke pantai dan kali ini aku nyebur sedikit dan mencoba berenang, meskipun aku tak bisa berenang, itu sudah cukup buatku, dan esoknya aku balik ke pantai pakai tabir surya satu badan dan kemudian tertidur di pasir, dan ketika aku bangun aku merasa telah beristirahat dengan sangat nyaman, dan punggungku tidak gosong atau apa pun, dan kegiatan ini berlangsung sepanjang satu atau dua minggu, aku tak ingat, satu hal yang kuyakini adalah bahwa setiap hari aku semakin berkulit gelap dan meski aku tidak ngobrol dengan siapa pun semakin hari aku merasa semakin lebih baik, atau berbeda, yang sebetulnya bukan dua hal yang sama tapi dalam kasusku kelihatannya begitu, dan suatu hari, satu pasangan tua muncul di pantai, aku ingat jelas itu, kelihatannya mereka telah bersama dalam waktu yang lama, perempuannya gemuk, atau bulat, dan berumur kira-kira 70 tahun, dan yang lelaki kurus, atau lebih kurus dari kurus, tengkorak hidup, mungkin itu sebabnya aku bisa menandainya, sebab biasanya aku jarang menandai orang-orang di pantai, tapi aku menandai mereka, dan itu karena yang lelaki kurus sekali, aku melihatnya dan aku merinding, kimak, malaikat Izrail datang nih, pikirku, tapi ternyata tak ada yang datang, cuma dua bangkotan, yang laki-laki mungkin 75 dan perempuan sekitar 70, atau sebaliknya, yang perempuan kelihatan segar bugar, tapi yang laki-laki tampak seolah dia akan mengembuskan napas terakhir kapan saja atau seolah ini musim panasnya yang terakhir, dan pada awalnya, setelah mengatasi ketakutan pertamaku, sulit bagiku untuk mengalihkan pandangan dari wajah si lelaki tua, dari tengkoraknya yang cuma dibalut selapis selaput, tapi kemudian aku mulai terbiasa diam-diam melihat mereka berdua, sambil berbaring di pasir, dengan muka menunduk, dengan muka tersembunyi di balik lengan, atau dari jalanan papan, duduk di sebuah bangku menghadap laut, dengan tingkah seolah aku membersihkan pasir dari badan, dan aku ingat perempuan tua itu selalu datang ke pantai membawa sebuah payung, yang di bawahnya dia cepat-cepat merunduk, dan dia tidak mengenakan baju renang, meski sesekali aku melihatnya memakai baju renang, dan di bawah payung tersebut perempuan tua itu duduk membaca, bukunya sangat tebal, sementara jerangkong yang adalah suaminya itu leyeh-leyeh di pasir dengan hanya mengenakan baju renang sempit, hampir satu jari, dan minum-minum di bawah matahari dengan suatu kerakusan yang membawaku menuju kenangan jauh tentang para pecandu yang membeku dalam ongkang-ongkang kaki penuh sukacita, tentang para pecandu yang terfokus pada apa yang sedang mereka kerjakan, hanya pada apa yang mereka mampu, dan kemudian kepalaku sakit dan aku meninggalkan pantai, aku menemukan sesuatu untuk kumakan di Paseo Marítimo, sepiring kecil ikan teri, dan segelas bir, dan kemudian aku mengisap rokok dan memandangi pantai melalui jendela bar, dan kemudian kembali ke pantai dan lelaki tua dan perempuan tua masih ada di sana, perempuan tua di bawah payungnya, lelaki tua terpapar sinar matahari, dan kemudian, tiba-tiba, tanpa alasan, aku merasa menangis dan aku nyebur ke air dan berenang dan ketika aku telah jauh dari pantai aku menatap matahari dan rasanya aneh benda itu ada di sana, benda besar yang sangat tidak mirip kita, dan kemudian aku mulai berenang menuju pantai (aku hampir tenggelam dua kali) dan ketika aku telah sampai aku roboh di sebelah handukku dan duduk di situ ngos-ngosan agak lama, tapi tanpa kehilangan pandangan dari pasangan tua itu, dan kemudian aku mungkin tertidur di pasir, dan ketika aku bangun pantai itu mulai sepi, tapi lelaki tua dan perempuan tua itu masih di sana, perempuan tua dengan novelnya di bawah payung, dan lelaki tua berbaring di bawah matahari dengan mata terpejam dan ekspresi aneh pada wajah mirip tengkorak miliknya, seolah ia bisa merasakan setiap detik berlalu dan mencecapnya, meski sinar matahari waktu itu lemah, meski matahari telah condong di belakang gedung-gedung sepanjang pantai, di belakang bebukitan, itu sepertinya tidak membuatnya terganggu, dan kemudian aku menatapnya dan ia menatap matahari, dan kadang punggungku tersengat sedikit, seolah sore itu aku memanggang diriku sendiri, dan aku melihat mereka dan kemudian aku bangkit, menyampirkan handukku di atas bahu seperti sebuah mantel tanpa lengan dan pergi duduk-duduk di salah satu bangku yang ada di Paseo Marítimo, tempat aku berpura-pura membersihkan pasir bohongan dari kakiku, dan dari tempat itu aku mendapatkan sudut pandang berbeda mengenai pasangan tersebut, aku berkata pada diriku sendiri mungkin lelaki tua itu belum akan mati, aku berkata pada diriku sendiri mungkin waktu tidak mengada dengan cara yang aku kira mestinya ada, aku merenungi waktu kala jarak matahari memanjangkan bayang-bayang gedung, dan kemudian aku pulang dan mandi dan mencermati punggungku yang merah, sebidang punggung yang tidak terlihat seperti milikku tapi milik orang lain, seseorang yang mungkin baru akan kukenal bertahun-tahun yang akan datang, dan kemudian aku menyalakan TV dan menonton acara-acara yang tak aku pahami sama sekali, sampai aku tertidur di kursiku, dan keesokan hari kembali pada rutinitas yang sama, pantai, klinik, pantai lagi, sebuah rutinitas yang kadang disela oleh orang-orang baru di pantai, seorang perempuan, misalnya, yang selalu berdiri, yang tak pernah rebahan di pasir, yang mengenakan bawahan bikini dan T-shirt biru, dan yang ketika pergi ke air hanya basah sampai di dengkul, dan yang membaca buku, seperti perempuan tua itu, tapi perempuan ini membaca dengan berdiri, dan kadang jongkok, meski dalam cara yang sangat janggal, dan mengambil sebotol besar Pepsi dan minum, berdiri, tentu, dan kemudian meletakkan botol itu kembali di atas handuk, yang aku tak mengerti untuk apa ia bawa sebab ia sendiri tak pernah rebahan di situ atau pergi berenang, dan kadang, perempuan ini membuatku takut, ia kelihatan terlalu aneh, tapi seringnya aku hanya merasa kasihan kepadanya, dan aku melihat hal lain yang aneh juga, segala hal terjadi di pantai, mungkin karena ini satu-satunya tempat kita semua setengah telanjang, meski tak ada suatu peristiwa penting yang terjadi, sejak aku berjalan sepanjang tepi pantai aku pikir aku melihat bekas pecandu sepertiku, duduk di atas gundukan pasir memangku bayi, dan di waktu lain aku melihat beberapa gadis Rusia, tiga gadis Rusia, yang mungkin adalah pelacur dan yang bicara pada sebuah telepon genggam dan tertawa, ketiganya, tapi yang paling membuatku tertarik adalah pasangan tua itu, sebagian karena aku memiliki perasaan bahwa yang lelaki akan mati kapan saja, dan ketika aku memikirkan ini, atau ketika aku menyadari sedang memikirkan ini, ide gila terlintas di benakku, seperti pikiran bahwa setelah kematian si lelaki tua akan ada tsunami dan kota itu akan luluh lantak oleh gelombang raksasa, atau bumi akan mulai berguncang dan sebuah gempa bumi dahsyat akan menguntal seluruh kota dalam sebuah badai pasir, dan ketika aku berpikir tentang apa yang baru saja aku bayangkan aku menutup kepalaku dengan tangan dan mulai tersedu, dan sementara aku tersedu aku memimpikan (atau mengkhayalkan) bahwa itu terjadi malam hari, katakanlah pukul tiga dini hari, dan aku meninggalkan rumahku dan pergi ke pantai, dan di pantai aku menemukan lelaki tua itu berbaring di atas pasir, dan di langit, dekat bintang-bintang, tapi lebih dekat ke bumi dibanding bintang lain, menyalalah matahari hitam, sebuah matahari sangat besar, sunyi dan hitam, dan aku pergi ke pantai dan berbaring pula, hanya dua orang di pantai yaitu lelaki tua dan aku, dan ketika aku membuka mata lagi aku sadar para pelacur Rusia dan perempuan yang berdiri dan bekas pecandu dengan bayinya menatapku penasaran, mungkin ingin tahu siapa lelaki aneh ini, lelaki dengan kulit melepuh di bahu dan punggung, dan bahkan perempuan tua itu menyorotiku di bawah payungnya, menyela pembacaan bukunya yang tak berkesudahan itu selama beberapa saat, mungkin ingin tahu siapa lelaki muda ini, lelaki dengan airmata sunyi yang menetes turun di wajahnya, seorang lelaki berumur 35 yang tidak memiliki apa pun selain ia yang memulihkan keinginan dan keteguhan hatinya dan ia tahu kalau ia masih akan hidup lebih lama.


Diterjemahkan dari “Beach” versi Bahasa Inggris yang diterjemahkan dari bahasa Spanyol oleh Natasha Wimmer, yang bisa dibaca dibaca di sini.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 14, 2017 19:59

April 9, 2017

Menanti Rasa Sakit

[image error]

Ilustrasi: Pata Areadi (Media Indonesia)


“Bapak balik dulu ke rumah. Ambil perlengkapan ibu, perlengkapan bayi, juga ember untuk menampung ari-ari.”


Aku sedang memikirkan Jakob Nufer serta perbuatan sintingnya beberapa abad silam saat bidan itu menemuiku di ruang tunggu dan menyampaikan arahan di atas. “Rahim ibu tipis, waktunya tidak akan lama lagi,” ia menambahkan.


Aku dan istriku sudah berulang kali mensimulasikan situasi jelang melahirkan, tetapi mengatasi kepanikan bukanlah keahlian yang bisa dipelajari seenteng tata cara menyajikan mi instan. Beberapa hal juga sulit tertebak, misalnya, istriku akan melahirkan di sebuah puskesmas, bukan rumah sakit.


Tidak ada masalah dengan Puskesmas Kampung Baru. Sama sekali tidak ada. Itu adalah sebuah bangunan bersih yang sedap dipandang. Satu ruang bersalin dengan dua ranjang, ruang nifas untuk dua pasien, ruang bidan dengan petugas jaga, dan ruang tunggu yang cukup luas buat para suami mengatasi kegugupan mereka, misalnya dengan mondar mandir, menari perut, senam kayang atau sekadar duduk kalem. Tak ada anak kucing berkeliaran, juga aroma lucu-lucu, selain disinfektan yang menyengat penciuman. Aku masih terbengong-bengong saat bidan itu meyakinkanku, “Insya Allah melahirkan normal. Sekarang, cepatlah pulang. Istri bapak bisa brojol kapan saja.”


***


Tiga jam sebelumnya aku di pasar buah untuk memilih-milih durian. Kota Luwuk sedang menerima berkah musim durian dari Pulau Banggai. Kata seorang ahli alam Inggris, Alfred Russel Wallace, durian adalah raja buah-buahan—bersanding dengan jeruk sebagai ratunya. Kata orang-orang tua, durian tidak baik bagi ibu hamil, tetapi istriku adalah ibu hamil kepala batu. “Belikan aku, satu saja,” rengeknya sore itu.


Ibu penjaja buah tengah mengikat sepuluh durian pesananku kala si Kepala Batu mengirimiku sebuah foto lewat layanan percakapan di telepon pintar. Foto secarik tisu tersepuh bercak merah marun. Kak, sudah keluar darah. Begitu keterangannya.


Dari film Perancis berjudul Indigènes, aku memetik hikmah bahwa pemimpin terbaik adalah yang selalu tampak tenang. Cara paling makbul untuk itu adalah melakukan hal-hal yang mungkin kurang penting namun membuatmu terlihat dapat mengendalikan situasi. Komandan pasukan dalam film tersebut misalnya, merokok agar tampak tenang dengan harapan anak buahnya juga ikut tenang, meski sesungguhnya ia gugup setengah mati di jam-jam menjelang penyerangan besar. Aku sendiri telah berhenti merokok beberapa bulan lalu, maka menjelang Magrib itu, aku hanya mampir ke suatu kedai sari laut terlebih dahulu sebelum membalas pesan istriku: Sebentar lagi, Sayang, pesan makan dulu.


Setiba aku di rumah, istriku sedang selonjoran di ruang tamu, menonton televisi. Ia terlihat girang melihat apa yang aku bawa dari pasar buah. “Sakit?” pertanyaanku dibalasnya dengan gelengan. “Betul-betul belum terasa sakit?” aku berusaha memastikan, dan kembali dibalas gelengan.


Oke, belum ada rasa sakit. Belum ada kontraksi. Belum ada alasan untuk mengejan, dan si bos kecil masih nyaman meringkuk di dalam rahim istriku. Aku hendak menyimpan durian-durian itu di dapur, tapi istriku minta dibelahkan satu. Aku turuti keinginannya. Melihat matanya merem melek mencecap buah yang dahulu digunakan orang-orang Maluku sebagai umpan penangkap musang itu, hatiku lumayan terharu.


Sekitar dua jam kemudian aku dan istriku sepakat memeriksakan kandungannya ke puskesmas paling dekat dari rumah. Kami pun sama-sama sepakat, jika memang sudah waktunya, aku harus segera menelepon kedua mertuaku, dan selekasnya membawa istriku ke rumah sakit. Namun, sebagaimana yang aku ungkapkan di awal cerita ini, kami tidak pernah sempat ke rumah sakit. Tidak ada waktu, istriku bisa brojol kapan saja.


***


Swiss abad 16, Jakob Nufer hanyalah seorang tukang jagal babi. Namun, ketika istrinya yang sedang hamil tua tiba-tiba mengalami pendarahan, ia sadar ia tak boleh menjadi sekadar penjagal babi.


Ketika itu tenaga dan fasilitas medis rumah bersalin belumlah selengkap dan sebanyak sekarang. Nufer tahu, penanganan yang terlambat akan berakibat fatal. Apalagi beberapa hari sebelumnya seorang bidan berkata kepadanya betapa mustahil untuk melahirkan normal karena celah panggul si ibu terlalu kecil. Maka, mengandalkan sebilah gunting baja serta pengalamannya membedah babi, lelaki itu akhirnya membedah istrinya sendiri. Perbuatan nekat, namun anehnya berhasil. Nufer bahkan mengulangi aksinya hingga lima kali. Konon, satu persalinan di antaranya kembar.


“Kenapa sih cerita soal ini?” tanya istriku, cemas sembari berbaring di salah satu ranjang ruang bersalin, menyamping menghadap aku yang duduk menggenggam tangannya. Sudah pukul sepuluh malam, mertuaku yang tinggal di kecamatan yang seratus kilometer jauhnya dari Luwuk belum juga datang. Begitu pula rentetan rasa sakit, pertanda kesiapan si kecil mendobrak pintu masuknya ke dunia.


“Kemarin kan kamu suruh aku cari info soal bedah caesar. Ya, aku dapatnya info ini.” jawabku polos.


“Info tidak berguna.” Istriku tertawa.


“Wah, masih tertawa. Berarti belum,” komentar seorang bidan yang kebetulan lewat.


Agaknya komentar itulah yang mengubah air muka istriku yang ceria jadi kecut. Begitu kesalnya ia sampai-sampai suaminya yang setia dan penuh kasih ini diusirnya dari ruang bersalin. “Nanti saja kembali kalau sudah berasa,” tukasnya.


Dengan enggan aku menurut, duduk di ruang tunggu.


Di ruang itu, bidan jaga sedang mewawancarai seorang pasien lain. Seorang ibu hamil bertubuh mungil. Dari percakapan mereka, aku dengar, pihak puskesmas terpaksa menolaknya, dan merujuknya ke RSUD yang dipisahkan jalan menanjak dan menurun sepanjang lima kilometer dari fasilitas tersebut. Si Ibu Mungil memiliki riwayat keguguran dua kali sebelumnya, sementara peralatan bersalin di Puskesmas Kampung Baru belum bisa dikatakan lengkap untuk persalinan berisiko tinggi.


Ragu, cemas, sedih. Aku tak tahu emosi apa yang sedang menggelayuti paras Si Ibu Mungil. Perlahan ia bangkit dari kursi tamu, tersaruk menuju halaman, tempat seorang lelaki berompi tukang ojek sedang menunggu.


Ini lima abad setelah Jakob Nufer menggunting perut istrinya, batinku.


***


“Rokok?”


Aku tersenyum seraya mengangkat tangan, menolak tawaran seorang bapak yang baru saja datang. Ia mengantarkan istrinya yang hendak melahirkan anak keempat mereka.


“Pantas bapak terlihat tenang sekali. Sudah biasa rupanya,” ujarku. Sepuluh menit jelang tengah malam, kedua mertuaku belum juga tiba, sementara istriku belum memanggilku masuk ke ruang bersalin.


“Sebenarnya gugup juga. Bagaimana pun kita sedang mempertaruhkan dua nyawa,” sahutnya seraya mengembuskan asap rokok ke udara. “Kalau bapak? Anak pertama ya?” ia balik bertanya.


Aku mengiyakan. “Sebenarnya istri rencananya melahirkan di RSUD, tapi ditahan sama bidan di sini. Katanya rahim istri saya tipis.”


Bapak itu mengisap lagi rokoknya. “Susah juga sekarang di RSUD. Bangunannya sedang direhab. Sementara pasien melonjak karena sedang musim demam berdarah. Banyak yang terpaksa tidur di koridor. Saya sendiri tadi dari sana. Rumah saya di Luwuk Utara, lebih dekat ke RSUD. Tapi mau bagaimana? Tidak ada ruangan kosong,” tuturnya.


Dalam hati aku mensyukuri kehamilan istriku yang relatif jauh dari masalah, cukup aman untuk melahirkan di Puskesmas, terbebas dari rebut-rebutan ruangan dengan pasien-pasien lain. Lantas aku teringat Si Ibu Mungil yang harus dirujuk ke RSUD itu. Merenungi kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapinya, rasa syukurku tiba-tiba terasa khas kelas menengah. Individualistis dan kurang peka.


Tak berapa lama suara tangis bayi pecah dari dalam ruang bersalin. Mendengar itu aku dan si bapak serentak mengucap syukur dan saling bersalaman. Aku ucapkan selamat untuknya. Ia doakan persalinan istriku semulus persalinan istrinya.


Tak berapa lama mertuaku tiba. Aku katakan anak mereka belum mengalami kontraksi, meski hampir dipastikan tidak ada masalah pada proses persalinannya nanti. Aku harus menunggu selama hampir setengah jam sampai pasien yang baru melahirkan itu dipindahkan ke ruang nifas, sebelum dapat menemui istriku, memberitahukan kedatangan orangtuanya.


Di dalam ruangan bersalin, alih-alih berbaring, aku mendapati si Kepala Batu berdiri di samping ranjang. Tubuhnya sedikit condong ke depan, bertumpu di atas kasur. Percaya atau tidak, rasanya malam itulah, aku melihat aura istriku terpancar begitu sempurna. Begitu tegar. Begitu cemerlang. Begitu kudus.


“Kau…. cantik sekali, sayang,” ucapku seraya menghujaninya dengan tatapan memuja.


Wajahnya memerah. Bukan merah yang biasa kita temui pada wajah seseorang yang merasa malu atau bungah mendengar gombalan. Wajahnya memerah dengan sepasang alis tertekuk, kulit di antaranya berkerut, dan tegangan pada bibirnya mengingatkanku pada tegangan bibir orang yang sedang menekan amarah, atau menahan buang air besar.


Oke, sudah waktunya memanggil bidan.***


Gorontalo, Maret 2017


Terbit dengan beberapa perubahan di harian Media Indonesia, Minggu, 9 April 2017.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 09, 2017 16:58