Pretty Angelia's Blog, page 12
May 19, 2015
Jatuh Bangun Cinta Yumisa (Based On True Story): Bab 4 Anniversary Mereka dan Ulang Tahunku
“Haa, malasnya!” aku menguap seraya merenggangkan otot-otot tubuhku. Hari ini adalah hari pertama masuk setelah dua minggu lamanya liburan Natal dan Tahun Baru. Suasana liburan masih saja menggerayangi otakku, sebenarnya aku masih betah di rumah. Namun aku cukup senang karena hari ini sudah memasuki bulan Januari, bulan favoritku sepanjang masa. Karena aku lahir di bulan ini.Aku berharap akan ada yang spesial di hari ulang tahunku nanti, meski tidak ada pesta perayaan seperti waktuku kecil dulu, setidaknya aku bisa berkumpul bersama orang-orang terdekatku.Aku padahal tadi telat masuk ke kelas, namun sepertinya tutor juga masih dalam suasana libur karena itu beliau telat datang. Untungnya di kelas ini masing-masing murid disediakan komputer karena memang kita kebanyakan praktek. Jadi, aku pun bisa menunggu tutor datang sembari online.Tapi hari ini aku membawa laptop, ada banyak yang ingin aku download. Karena itu aku meminjam kabel internet kelas yang akhirnya kupasang di laptopku. “Lo mau ngopy lagu-lagu Laruku? Ke si Yumi aja, dia lengkap, tuh!”Aku melirik sejenak ke suara cempreng milik Ranu itu. Ia ternyata sedang mengobrol denganmu. Sesaat aku jadi penasaran dan mulai curi-curi pandang. Hatiku berdebar. Apakah kamu akan menghampiriku? Mataku bolak-balik melirik kamu dan laptop.“Lo kenapa malu-malu gitu? Santai aja, Jay, si Yumi nggak akan marah kalau dimintain copy lagu. Lain cerita kalau lo copy-paste tugas dia, baru deh lo bakal di timpuk pake buku!” Ranu terbahak-bahak. Suaranya yang khas Sumatera memang sangat nyaring. Kalau aku sedang tidak nervous begini pasti sudah kutimpuk dia dengan buku.Tapi wajahku malah menoleh penuh padamu. Kulihat kamu yang hanya tersenyum tipis membalas ocehan Ranu. Aku bisa melihat kamu agak sedikit menunduk. Aku tidak salah lihat, kan? Namun seketika itu juga jantungku seperti habis dibawa lari. Astaghfirullah, gantengnya dirimu! Baru kulihat ekspresi kamu yang malu-malu seperti itu. Aku pun mencoba mengalihkan pikiranku pada laptopku. Tapi kemudian aku berpikir, mengapa kamu bisa malu begitu? Jangan-jangan … jangan-jangan! Ya, Allah, apa aku masih punya harapan? Aku malah memanjatkan doa yang demi kepentingan diriku sendiri, semoga kamu putus dengan pacarmu! Itu bakal jadi hadiah terindah diulang tahunku nanti! Tunggu—kalau kamu putus memangnya aku punya kesempatan? Mengingat aku tidak akan mau pacaran sebelum menikah kelak. Apa kamu nantinya akan mengerti prinsipku, Jay? Apakah kamu bisa menahan diri hingga waktunya tiba? Tapi melihat penampilan pacarmu, aku tahu sebenarnya aku jauh dari tipe perempuan yang kamu suka...“Mi, aku boleh pinjam laptopmu? Mau online sebentar.”Kupandangi wajahmu yang memahatkan senyuman indah itu. Aih, bagaimana aku akan bilang tidak? Tidak ada semenit aku langsung beranjak dari tempat dudukku dan menghampiri Fitri yang sedang mengerjakan tugas di ruangan serba guna itu.“Ngapain kamu ke sini? Bagusan tempat di sana tuh!” “Ssst!” Kakiku menghentak berkali-kali karena terlampau panik. Fitri ini suaranya memang nyaring sekali. Aku melirikmu sebentar, untungnya matamu tetap terfokus ke layar laptopku. “Sayang kali lah, Mi. Kamu menyia-nyiakan kesempatan.”“Ih, nggak, ah. Masak aku ngeliat-liat dia lagi komenan Friendster sama ceweknya! Malas kali!” suaraku kupaksakan berlogat Medan seperti Fitri. Lagi pula aku memang tidak terbiasa berdua-duaan dengan cowok meski di tempat ramai sekalipun.“Payah kali kamu ini!”Aku menggeser kursi yang berdiri di samping Fitri. “Nggak enak ya, Fit, kita suka sama cowok yang udah punya cewek. Untung ceweknya nggak sekolah juga di sini.”“Tambahan, dan kita sama-sama kenal cewek gebetan kita dari Friendster!”Aku tertawa miris. “Benar juga kamu. Kok bisa gitu ya? Cewek-cewek mereka kepo banget deh.”“Ya, wajarlah, Mi. Si Angga kan LDR-an, jadi ceweknya kayak jadiin aku pengawasnya gitu di sini, kali-kali dia main di belakang.”“Kalau Atmajaya sih nggak LDR, ceweknya juga kan tinggal di Bandung.” Aku memperhatikan gradasi warna yang sedang dibuat sahabatku itu. “Kayaknya nanti kamu begadang lagi.”“Iya nih. Kamu tidur di kamarku aja lagi.”Aku mengangguk. “Beres, tapi aku nggak bisa nemenin begadang ya, Fit.”Fitri pura-pura mendengus kesal. “Sudah biasa.”Aku cengengesan saja melihatnya. Kemudian kamu memanggilku dan mengatakan akan pulang. Aku pun menghampirimu dan lalu melihat punggungmu menjauh dari jarak pandanganku. Sebenarnya aku masih ingin kamu berada di sini, tapi apa hakku berbuat begitu? Aku lantas kembali mengotak-atik laptopku.Karena pikiranku yang sedang kacau sebab kamu tidak lagi di sini, aku malah membuka setting-an Mozilla. Kubuka bagian security dan menyadari jika aku mengatur Mozilla itu merekam semua password dari akun-akun sosial media yang dibuka di laptopku. Aku memang jahil, tapi aku tidak pernah membuka akun-akun itu dan mengganti password mereka kok. Hal ini kulakukan untuk mengingat password-ku sendiri.Aku melihat daftar password itu dengan saksama. Tercantum alamat Friendster-mu di sana, mataku langsung beralih ke passwordsosial mediamu itu. Aku bergidik. Kukucek mataku berkali-kali. Aku tidak salah lihat, kan? Password-mu … password-mu! Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat!Ddd2453-19januari19 Januari….19 Januari?!Itu kan tanggal ulang tahunku! Aku memutar kencang kursi yang kududuki karena kebetulan memang bisa berputar di tempat. Aku tidak menyangka ini! Sekarang aku ibarat sedang berada di Sidratul Muntaha, indahnya! Jadi, kamu memendam perasaan padaku, Jay? Dasar! Kalau memang benar demikian kenapa masih berpacaran dengan Salma? Sebentar—bagaimana bisa kamu mengetahui tanggal ulang tahunku? Pasti kamu mencari tahu, kan? Aku mengatup wajah dengan kedua tanganku. Ah, aku sudah tidak sabar menanti hari ulang tahunku. Aku pun menebak-nebak, apa kamu bakal memberikan kado padaku, Jay? Semoga … semoga saja! Dengan senang hati aku akan menerimanya! Mana mungkin aku menolak rezeki isitimewa seperti itu?“Kenapa si Yumi? Macam kesambet setan dia muter-muter melulu daritadi. Mi! Nanti kamu pusing lho!”Aku tidak mempedulikan omelan Fitri. Saat ini hatiku sedang menguasai akal sehatku...Bandung, 19 Januari 2009Kesal! Hari ini aku dicueki oleh semua teman dekatku! Dari Caca, Noelan, Fitri…. Aku tahu mereka sedang jahil. Entah kejutan apa yang akan mereka berikan padaku. Tapi aku sedang malas melawan kecuekan mereka.Aku memperhatikan jam kelas. Ada yang lebih menghantui otakku sekarang. Satu jam lagi kelas akan berakhir. Namun batang hidungmu tidak pernah muncul di kelas. Ada apa gerangan? Apa ini bagian dari kejutan yang akan kamu berikan padaku?Entah berapa kali aku mendesah hari ini. Bete maksimal! 30 menit kemudian tutor mempercepat waktu pulang kelas, aku pun memanfaatkannya untuk membuka Friendsterku. Aku enggan pulang meski sore sudah menjelang. Tapi sebenarnya aku masih berharap kamu muncul di daun pintu dengan sebuah kue tar kecil atau dengan komik Naruto terbaru yang dibalut kertas kado yang lucu.Di saat itu aku jadi penasaran. Aku pun membuka akun Friendstermu. Sekadar ingin tahu sedang apa kamu sekarang. Siapa tahu kamu memberitahukannya di Shotout. Namun apa yang aku temukan malah bagai petir di siang bolong.Aku salah lihat, kan? Semua ini tidak benar, kan? Jadi kemarin—kemarin aku—Aku menggigit bibirku sendiri. Menyesali sikap kegeeranku yang memang keterlaluan. Kupanjatkan istighfar berkali-kali di hatiku. Benar juga. Mana mungkin ia menyukaiku? Komentar dari Salma membuat jelas semuanya. Dan mengembalikanku pada kewarasanku.Comment’s from Salma:Dear, Jay.Happy anniversary ya, 19 Januari 2008-19Januari 2009. Setahun kita sudah bersama. Makasih kejutannya hari ini, kamu sampai bela-belain datang ke rumah padahal kamu ada kelas. Aku senang banget! Love you even more, Jay. Semoga kita langgeng sampai tua. HeheAku tepekur di tempat dudukku sendiri. Entah berapa lama aku menenggelamkan kepalaku di atas meja, hingga aku menyadari satpam memintaku keluar karena kelas akan dikunci. Bahkan Noelan dan Caca tidak mengajakku pulang bersama. Benar-benar menjengkelkan! Hari ulang tahun yang kukira akan istimewa, malah membuatku berduka.Masa bodoh! Aku ingin pulang ke kosan saja! Sampai di kosan, kamar Fitri ramai dengan kehadiran Kurnia dan Melati. Saat ini sikap Fitri pun biasa saja, tidak secuek tadi, tapi aku kesal juga karena ia belum mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Aku berharap teman-temanku ini dapat mengobati kegalauanku yang tak keruan.“Yumi! Kita hari ini numpang nginap di sini lho!”Aku hanya tersenyum saja saat Melati mengatakan itu. Untung saja kamar Fitri luas, tidak apa-apalah ramai, aku memang butuh teman. Meski aku tidak ingin ada yang tahu aku sedang suram karena hari ulang tahunku ternyata sama dengan hari jadian kamu dengan Salma, Jay. Kebetulan seperti apakah ini? Benar-benar di luar dugannku!Aku pun menaruh tas di pinggir daun pintu dan melepaskan tali sepatuku yang mengait. Sebenarnya aku mendengar ribut-ribut di dalam kamar, tapi galauku bahkan memukul mundur konsentrasiku. Aku sedang mengumpulkan tenaga biar mereka tidak menemukan kegelisahanku dan memaksaku untuk bercerita, aku ingin pendam saja ketidakberuntunganku ini.“Mi, ke sini cepetan. Ada kue gratis lho!”Mendengar kata gratis aku langsung menoleh pada Fitri, Melati, dan Kurnia yang ternyata sedang berkumpul di tengah ruangan kamar.“Tada! Selamat ulang tahun yang ke 19!” teriak Fitri.“Ciee, yang ulang tahun. Say cheese dong!” Kurnia mengarahkan kamera digitalnya padaku.Aku menutup mata sejenak karena cahaya blitznya yang menyilaukan.Kemudian mereka terpingkal-pingkal. “Yahaaa, matanya ketutup begini.”“Dasar kalian!” aku jadi ikut tertawa karenanya.“Sini-sini, tiup dulu lilinnya!”Aku pun ikut bergabung dengan mereka. Mereka bernyanyi lagu ulang tahun dan sebelum kutiup api di lilin yang berdiri di atas kue itu, mereka memintaku berdoa dalam hati. Aku pun mengabulkan permintaan mereka. Setelah lilinnya padam, kulahap cheese cake itu sendirian. Memang ukurannya kecil, tapi aku sangat kelaparan. “Ini hadiah dariku, Mi. Buka dong!” Fitri tampak tidak sabaran, padahal aku yang ulang tahun dan dia si pemberi kado.Aku pun membuka kado darinya dan menggenggam boneka itu. Boneka anjing berwarna merah jambu yang sangat lucu, aku tertawa melihatnya.“Sori, Mi, nggak ada boneka Pakkun. Aku cuma nemu yang itu.”“Makasih ya, Fit. Makasih juga buat kuenya, Nia, Lati. I’m happy!” Kurentang tanganku ke udara. Rasanya beban di pundakku sudah lepas. Namun kemudian ponselku berdering. Ada telepon dari Noelan. “Ya, Lan?”“Kamu bisa ke kosan Caca nggak, Mi? Dia kambuh lagi nih. Aku sama Caca aja di sini, kosannya lagi kosong,” ujar Noelan di seberang.Aku bergidik. Dengan wajah panik aku mengatakan pada Fitri dan kawan-kawan bahwa sekarang juga aku akan ke kosan Caca yang ada di belakang Monumen Perjuangan, Dipatiukur. Mumpung kosannya juga tidak jauh dari kosanku. Fitri, Kurnia, dan Melati pun mau ikut. Aku setuju saja, lebih banyak orang bakal lebih baik.Sampai di kamar Caca, aku melihatnya sedang berbaring dengan selimut yang menutupi seluruh badannya kecuali kepala. Dari badannya yang tergegar aku tahu ia sedang menggigil.Aku jadi semakin khawatir. “Nggak kita bawa ke rumah sakit aja, Lan? Menggigil gini dia.”“Cacanya nggak mau, Mi. Nggak punya uang soalnya.”Sayangnya di pertengahan bulan begini aku juga sedang bokek. Aku kemudian mengusap dahi Caca. Ia kemudian mengubah posisinya jadi menyamping. “Udah makan belum, Ca? Aku beliin makan ya?” Caca geleng kepala. Ia kemudian memegang dahinya sendiri.“Kamu ada obat? Kepalanya sakit ya?” Aku lalu menuju mejanya dan mencari obat di sini. Syukurlah kutemukan obat sakit kepala yang biasa ia simpan. Kuambil segelas air putih. Niatku ingin meminumkannya pada Caca. “Duduk sebentar yuk. Minum dulu obatnya.”“Nggak mau,” Caca memberontak dia lalu malah terbahak-bahak.“Dih? Aku dijahilin yah?” aku langsung bisa menebak maksud dari tawa Caca itu.Fitri, Noelan, Kurnia dan Melati pun ikut-ikutan tertawa. Aku mengelus dada. Hari ini aku dikerjai dua kali. Bahkan Rina, teman kosan Caca juga ikut nimbrung dengan membawakan kue berbentuk persegi panjang dengan lilin-lilin kecil di atasnya. Mereka lantas melakukan hal yang sama saat di kosan Fitri tadi. Menyanyikan lagu ulang tahun, memintaku berdoa, dan meniup lilin.“Nih hadiah untuk, Yumi. Susah banget nyarinya. Untung ketemu!” Caca dan Noelan menyodorkan kadonya padaku.Aku pun membukanya tak sabaran. Wajahku cerah ketika melihat apa isinya. “Kyaaa! Boneka Kakashi!” teriakku sembari menimang-nimang boneka itu.Ternyata hari yang kusangka suram ini seketika berubah jadi bahagia. Meski tidak ada kamu yang mengucapkan ulang tahun, meskipun hari ulang tahunku berbarengan dengan perayaan jadianmu dengan Salma, aku sangat bersyukur masih ada orang-orang yang peduli padaku. Walaupun sebenarnya aku akan lebih senang jika kamu juga peduli padaku, Jay.
Published on May 19, 2015 05:41
May 16, 2015
Jatuh Bangun Cinta Yumisa (Based On True Story): Bab 3 Ternyata Sudah Ada yang Punya
Hari ini rasanya aku ingin melompat setinggi-tingginya karena komputer di tempat kursusku kembali memiliki koneksi internet. Aku pun rusuh membuka jendela internet dan mengetik alamat Friendster. Dari sana aku login dan mulai mengetikkan akun Friendster-mu. Padahal namamu ada di urutan ke 14 di kertas itu.Aku bersyukur ketika menemukan profil Friendstermu tidak dikunci, itu berarti aku dengan leluasa bisa melihat isinya. Namun hatiku yang tadinya ibarat langit siang, seketika berubah menjadi langit malam ketika menemukan sebuah komentar.Comment From Salma:Jay, I miss you so. Makasih ya buat kalung L nya. Lihat foto aku deh. Udah aku pake lho.Tubuhku pun lunglai di kursi. Ternyata tebakan Noelan tidak salah, tidak mungkin Atmajaya tidak memiliki pacar. Walau hatiku tengah tergores, aku malah nekat membuka profil cewekmu. Manisnya. Aku jadi iri. Kulihat kalung simbol L karakter utama dalam Death Note yang menggantung di lehernya. Sepertinya ceweknya itu juga menyukai manga dan anime dari Jepang.Pupus sudah harapanku. Eh—tunggu dulu. Kalau kamu tidak punya pacar pun memangnya aku punya kesempatan? Aku baru sadari itu. Aku benar-benar bingung. Jika kamu menyukaiku juga aku pasti sangat senang. Lalu bagaimanakah nantinya? Hmm, lagi-lagi aku berpikir terlalu jauh. Aku tidak akan pernah merusak prinsipku yang tidak ingin berpacaran sebelum menikah. Sayangnya aku termasuk orang yang keras kepala. Karena setelah mengetahui kamu memiliki pacar pun aku tidak pernah menyerah. Aku biarkan kamu membayangi pikiranku selalu. Toh janur kuning belum terbentang di depan rumahmu.Aku pun mulai meng-add teman-temanku yang lain. Saat itu aku menyadari jika kamu sudah menerima pertemananku di Friendster. Aku ingin menoleh ke belakang, sepertinya kamu sedang online juga. Tapi aku mengurungkan niatku itu daripada aku kembali memanen malu. Aku pun langsung mengirimkan komentar di akunmu itu, biar bisa modus sekalian.Comment from Yumi;Hai, Jay. Makasih udah di-accept hehe.Sepuluh detik kemudian….Comment from Atmajaya:Sama2Mataku jadi sayu. Benar-benar percakapan yang singkat dan garing. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kubicarakan denganmu di kolom komentar itu. Aku lantas melirik jam. Waktu istirahat akan berakhir sepuluh menit lagi. Ketika kembali memandangi layar komputer rupanya ada yang meng-add Friendsterku. Aku pun melihat namanya dan nyaris terjungkal.Cewekmu ternyata meng-add Friendsterku!Bagaimana ini? Jangan-jangan ia tahu aku menyukaimu. Masak bisa tahu hanya dengan membaca komentar? Tapi kan insting cewek memang kuat. Aku mulai berpikir dua kali apakah aku harus menerima pertemanan itu atau tidak. Namun jika aku mendiamkannya bisa-bisa perasaanku ini malah terbongkar. Akhirnya aku pun menerimanya. Dan kita malah mengobrol melalui komentar Friendster itu.Situasi apa ini? Sungguh aneh bin ajaib!..Hari itu aku sedikit terlambat datang ke tempat kursus. Ketika sampai di daun pintu ruangan kelas aku terdiam sejenak melihat ke dalam. Ini kedua kalinya kamu duduk di belakang kursi yang biasa aku duduki. Aku pun memutar otak, tiba-tiba jantungku berpacu dan membuat tubuhku gerah seketika.Apa yang harus kulakukan? Kegugupan ini rasanya nyaris membuatku semaput. Tapi jika aku memilih kursi lain aku takut kamu mengira aku menjauhimu. Langkah kakiku pun jadi terasa dijejali besi dan aku memutuskan duduk di tempat biasa.“Lagi baca apa?” sapaku padamu.Kamu tersenyum menatapku. “Slam Dunk.”Ah, aku tahu tentang manga itu! “Wah, aku suka banget sama animenya. Seru dan bikin sakit perut. Aku nggak pernah berhenti ketawa nontonnya. Sayangnya episode terakhir animenya kayak ngegantung gitu ya?”“Kalau mau tahu ending-nya baca aja komiknya. Ini aku lagi baca jilid terakhir. Mau pinjam?”Mataku mengerjap. Tidak menyangka kamu berniat meminjamkan komik itu, padahal kamu sedang membacanya. “Kamu bukannya lagi baca?”“Aku udah baca ketiga kalinya ini. Habis seru, sih.”Aku mendengus dalam hati. Rupanya kamu sudah selesai membacanya. Agak kecewa sebenarnya. Aku mengira kamu akan rela meminjamkan komik itu, walau kamu belum selesai membacanya. Khayalanku memang mengada-ngada!“Nggak deh, Jay. Soalnya aku belum baca dari awal. Nanti aku malah jadi bingung.” Rasa gugupku pun makin tidak keruan. Aku pun merogoh isi tasku dan mengotak-atik ponsel untuk melenyapkan keadaan konyolku ini. Hari ini kamu sangat ganteng, habisnya aku bisa melihatmu dari dekat seperti ini.“Oh ya, kamu punya rekomendasi anime bagus nggak? Aku lagi bosan nih cuma nonton Naruto aja.” Aku mulai kembali mengajakmu ngobrol.Matamu berputar, tampak berpikir. “Ada, judulnya Midori no Hibi. Cerita cinta gitu, gimana? Kalau kamu mau besok aku bawain copy-annya.”Judul apa itu? Aku sama sekali tidak berminat menonton anime yang isinya cinta-cintaan. Tapi karena aku tahu ini adalah kesempatanku untuk lebih dekat denganmu akhirnya aku pun mengiyakan.“Kamu suka banget sama Midori no Hibi?”Kamu mengangguk dengan riang. “Soalnya cewek aku juga suka.”Aku cengok mendengarnya. Ekspresi bodohku itu tidak bisa kusembuyikan lagi. Untungnya matamu sedang fokus di komik itu. Aku teringat dengan obrolanku kemarin dengan Salma, pacarmu itu. Ia bilang paling menyukai anime Midori no Hibi karena ceritanya hampir mirip dengan kisah cinta kalian berdua.Kenapa seperti ini jadinya? Jadi, kamu ingin berbagi cerita percintaan kalian denganku? Hatiku remuk. Modus yang kulakukan tidak berarti apa-apa untukmu. Habis jatuh, aku malah ketiban tangga pula!..“Jadi, lo belum pernah pacaran, Mi?! Hahay! Memang kelihatan, sih!” Ranu mulai bawel.Aku pun menjitak kepalanya dengan buku. Kalau sudah bicara dengannya gaya bahasaku berubah jadi ala Betawi. “Bodo amat! Ini prinsip gue, tahu!”Kala itu beberapa teman sekelasku duduk di meja bundar yang cukup besar. Kami mengobrol banyak siang itu. Sampai akhirnya mereka asyik membahas prinsipku yang menurut mereka sangat langka itu.“Gue nggak nyangka masih ada aja cewek kayak lo di zaman sekarang!” Ranu malah makin tertawa kencang. Dasar! Dia pasti berpikir aku tidak laku!“Ih, Yumi keren, tahu, Nu! Kalau aku sih ngebayangin orang yang nggak pernah pacaran, pas menikah pasti jadi lebih kerasa suasana romantisnya,” Noelan membelaku. Ah, dia memang sahabat terbaikku.Mataku lantas tidak sengaja bertemu dengan mata cokelatmu. Kamu kemudian cepat berpaling. Kembali sibuk dengan ponsel di tanganmu. Kulihat bibirmu menyunggingkan senyuman tipis. Membuat mataku melebar. Apa maksudnya senyuman itu? Apakah kamu menyaluti aku atau kamu menertawaiku prinsipku yang dianggap langka ini? Yang jelas senyuman itu langsung mengganggu pikiranku.Lalu semenjak itu aku berharap bahwa suatu hari kamu akan mengerti mengapa aku memiliki prinsip ini. Aku mendoakanmu agar suatu saat kamu juga memutuskan tidak pacaran hingga waktu yang tepat untuk menikah.Aku tahu doa ini aku panjatkan hanya karena perasaan kecewaku saja. Aku tahu kamu adalah tipe cowok gaul yang tidak terlihat menegakkan hukum Islam secara menyeluruh.Tapi setelah sebulan ini memperhatikanmu selalu, aku sangat tahu kamu tidak pernah meninggalkan solat. Bahkan setelah azan kamu langsung segera ke musola untuk melaksanakan solat. Andai saja suatu saat kamu bisa menjadi lelaki yang selalu berusaha menegakkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh. Aku pikir hal itu bukanlah suatu hal yang mustahil.Hingga suatu hari nanti, akhirnya aku menyadari betapa besarnya kekuatan doa yang dipanjatkan berkali-kali. Seharusnya aku tidak pernah menganggapnya keluar hanya karena perasaan kecewaku saja…...Aku tergopoh-gopoh berlari ke musola. Kulihat keadaan Caca yang lemah dan setengah mati berusaha menarik oksigen di sekitarnya. Tapi terlihat sekali ia kesulitan melakukannya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tadi Noelan dengan wajah pucat berlari ke arahku dan mengatakan Caca lunglai ke lantai dan mengalami sesak napas.Karena aku tidak tahu harus berbuat apa, aku membiarkan Susan menuntun Caca untuk mengambil napas dalam berkali-kali. Waktu SMA Susan bercerita ia adalah anggota PMR, jadi ia tahu pertolongan pertama untuk orang yang mengalami sesak napas ini. Sayangnya karena memang Caca tidak memiliki riwayat asma, ia pun tidak memiliki obatnya.“Kita bawa ke Borromeus. Mumpung dekat. Gue takut ada apa-apa. Ada yang punya jaket nggak?” Sepertinya usaha yang Susan lakukan sia-sia. Tapi tindakannya cekatan sekali. Ia tidak menunggu lebih lama dan langsung melangkah lebih jauh.Teman-temanku yang cowok menggendong tubuh Caca yang berat itu. Sementara aku teringat jika kamu tadi mengenakan jaket. Aku pun langsung terbirit-birit mengejarmu yang untungnya saat itu sedang berada di tempat parkir motor, bersiap-siap pulang.“Jay, aku boleh pinjam jaket? Caca sesak napas. Badannya dingin banget.”“Kok bisa begitu?”Aku menggeleng kepala. “Aku juga nggak tahu. Sekarang mau dibawa ke Borromeus.”Kulihat kamu yang langsung membuka jaketmu itu. Aku pun meraihnya dengan sukacita, meski sebenarnya aku sedang panik. “Ada yang nganter Caca?”“Iya, tenang aja, Jay. Tuh dia lagi digendong sama beberapa orang,” aku menunjuk ke arah kerumunan orang yang berlari-lari kecil meninggalkan gerbang utama. Kuperhatikan wajahmu yang tampak khawatir sekaligus bingung.“Tenang aja, Jay. Rumahmu jauh kan di Soreang? Udah sore lho. Besok aja jenguk Caca-nya. Mudah-mudahan sih dia nggak dirawat,” ucapku seolah-olah tahu apa yang tengah kamu pikirkan.Kamu pun mengangguk dan segera menghidupkan motormu. “Aku pulang duluan ya.”“Hati-hati,” ucapku yang sebenarnya agak berat membiarkannya pergi. “Nanti jaketnya aku cuci, santai aja. Dijamin bersih.”Kamu hanya tersenyum dan segera tancap gas dari sana. Sementara aku, aku malah menatap jaketmu dengan mata berbinar. Kepanikanku hilang seketika. Aku segera berjalan santai ke Borromeus. Ya, teman-temanku sedang panik dan Caca sedang sakit, tapi aku malah terjerembab di imajinasiku sendiri. Aku meremas lembut jaket warna abu-abu itu. Kucium aroma yang menempel di sana. Aroma colognekhas laki-laki. Aku sering melihatmu mengenakan jaket ini, tapi jaketmu sama sekali tidak ada bau kecut sedikit pun.Pada akhirnya aku tidak rela melepaskan jaket itu. Bahkan saat sampai di Borromeus pun aku tidak memberikannya pada Caca. Aku terus menggenggamnya. Malam itu Caca dipindahkan ke Hasan Sadikin untuk perawatan intensif dan aku masih saja betah menggenggam jaket itu. Hingga akhirnya aku yang malah mengenakan jaket itu. Untungnya Caca sudah mendapatkan jaket lain. Keesokan paginya pun Caca sudah bisa pulang dari rumah sakit...Aku berlari kencang ketika keluar dari kosan. Aku tahu tadi aku asal-asalan mengenakan pakaian. Bahkan kerudung langsung yang kukenakan pun agak miring sebelah. Namun aku tak mengindahkannya, jantungku nyaris copot ketika mendapatkan telepon dari Noelan. Katanya Caca pingsan di supermarket di Bandung Indah Plaza. Memang semenjak keluar dari rumah sakit seminggu yang lalu keadaannya belum pulih benar.Aku segera menaiki angkutan umum. Sesampai di BIP, aku berlari kembali menuju supermarket dan menemukan Noelan duduk menemani Caca yang terbaring di atas tikar. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih pada petugas supermarket yang mengantarku ke ruangan istirahat karyawan supermarket ini. Kusadari teman kampusku yang lain, Opik dan Ihsal juga di sana. Kupandangi Caca dengan raut prihatin. “Apa nggak dibawa ke rumah sakit aja?” “Nggak mau. Aku udah sering ngerepotin kalian. Obat yang kemarin aja belum habis.” Susah payah Caca menguraikan kalimatnya. “Kita kayaknya besok harus nganterin Caca pulang ke Sukabumi. Kasihan dia udah dari seminggu lalu sakit-sakitan terus.” Kini Opik yang mengeluarkan pendapat. “Kebetulan gue sama Hadyan nyewa mobil seharian buat pindahan kosan besok. Gimana habis gue pindahan, kita langsung anterin Caca pulang? Sekalian Yumi mau pulang juga kan ke Bogor?” “Hah? Waduh nggak usah repot-repot. Gue udah booking travel buat besok,” jawabku pada Ihsal. “Lo masih bisa nge-cancel, kan? Udah ikut kita aja. Dijamin selamet, insya Allah. Si Hadyan jago nyetir. Dari Sukabumi ke Bogor nggak jauh ini. Sekalian kita making some memories lha.” Opik memberikan alasan logis. Mendengar nama Hadyan, aku melirik Noelan sejenak. Ingin menggoda, tapi melihat Noelan yang tidak begitu bersemangat aku pun mengurungkan niatku. Aku lantas berpikir sejenak. “Oke deh, gue keluar sebentar ya. Mau nelepon travel-nya. Gue ikut kalian besok. Sekalian neleponin ibu gue buat nyiapin masakan untuk kalian.” Noelan tersenyum. “Gitu dong ikut. Caca juga seneng kamu ikut, Mi. Ya kan, Ca?” Caca mengangguk perlahan. Meski tampak lemas, ia masih bisa menyunggingkan senyum tipis. Ia memang gadis yang tegar. Aku kemudian nyengir lebar, lalu berjalan keluar supermarket. Dalam hati aku cukup senang. Aku tahu, besok bakal jadi perjalanan yang tidak terlupakan. Sepertinya aku juga perlu melakukan beberapa rencana buat mendekatkan Hadyan sama Noelan. Ah, aku tidak sabar menunggu hari esok... Aku dan Noelan sibuk membantu Caca yang lagi-lagi muntah dalam perjalanan. Untungnya Noelan sudah menyiapkan kantong plastik kosong dan akhirnya kantong plastik itu terpakai juga. Aku dan dua sahabatku duduk di bangku mobil bagian tengah bersama dengan Opik. Sedangkan Ihsal duduk di bangku depan bersama dengan Hadyan yang bertugas mengendarai mobilnya. Baru kali ini aku berinteraksi dengan Hadyan. Meski wajahnya terlihat serius, rupanya ia cowok yang senang berguyon-ria. Kupikir ia memang cocok dengan Noelan yang easy going. “Sori banget aku lagi-lagi bikin repot kalian.” Caca mengelap bibirnya dengan tissue. “Kamu mau makan, Ca? Perjalanan kita lumayan jauh lho. Apalagi lewat Padalarang. Jalannya meliuk-liuk.” Aku mengeluarkan kotak kue yang baru dibeli tadi. “Nggak dulu deh. Masih mual.” Aku sebenarnya ingin memaksa Caca untuk makan, tapi aku tidak tega juga jika makanan yang baru masuk itu akhirnya dimuntahkan; itu pun terjadi berulang-ulang. Aku lantas menoleh ke arah kemudi. Memperhatikan Hadyan yang lihai mengemudikan mobil, padahal umurnya baru menginjak 18 tahun. Kemudian pandanganku beralih pada Noelan yang ternyata sedang memandangi Hadyan dalam diam. Kedua alisku terangkat. Diam-diam merhatiin nih, ye. Ingin kulontarkan kata-kata itu, tapi bisa-bisa Noelan nangis karena malu. Setelah empat jam perjalanan, akhirnya rombongan sampai di rumah Caca di Sukabumi. Kuperhatikan ladang dan kolam ikan yang berpadu membentuk pemandangan alam yang belum tergerus perubahan zaman. Padahal daerahnya masih termasuk kotamadya, namun aku merasa berdiri di sebuah pedesaan. “Andai Atmajaya ikut ya, Mi.” Aku nyaris oleng di pijakanku. “Duh, kamu ngagetin aja, Lan.” Desahan panjang keluar dari mulutku. “Aku sempat berpikir gitu sih, tapi ya mana mungkin?” Aku pun memutuskan mengalihkan pembicaraan. Sedang malas membicarakan seseorang yang nun jauh di sana. “Aku seneng ngeliat ekspresi kamu cerah terus dari kita berangkat ke Bandung.” “Maksudmu?” nada suara Noelan mulai sewot. “Emangnya aku nggak tahu? Kamu selama perjalanan merhatiin si Hadyan terus.” “Dasar!” “Ya, gimana dong? Gelagat kamu terekam sama mataku, Lan.” Aku berkacak pinggang sembari terbahak-bahak, paling senang menggoda Noelan soal gebet-gebot ini. “Hadyan keren seperti biasa,” ucap Noelan jujur. Tawaku masih berlanjut. “Aku harus rela akuin kalau Hadyan emang keren.” “Alah! Nggak niat mujinya. Aku tahu cowok paling keren di mata kamu cuma Atmajaya!” “Ya, iyalah kerenan Atmajaya!” Aku jadi tertawa non-stop begini. Perutku nyaris sakit karenanya. “Sayangnya si Atmajaya udah punya cewek ya, Mi. Kamu nggak patah hati?” Entah berapa kali Noelan sudah menanyakan hal itu. Aku mendesah pelan. “Patah hati sih ada. Tapi kamu tahu sendiri aku maunya pacaran abis nikah aja.” Karena aku memang sama sekali tidak memikirkan bahwa perasaanku ini akan terbalaskan. “Kamu hebat banget, Mi. Aku bakal terus ngedukung prinsipmu itu.” Noelan menepuk-nepuk bahuku. “Ngomongin apa sih? Asik bener kayaknya.” Sebuah suara serak-serak basah tiba-tiba muncul di belakangku. Aku agak tersentak melihat sosok itu. “Eh ada Hadyan!” seruku antusias. Kupandangi Noelan yang cuma bisa nyengir di tempatnya. “Aku duluan masuk ya. Mau bantuin ibunya Caca nyuguhin kue buat kita. Dah!” Aku pun buru-buru ngibrit dari sana. “Lha? Baru aja gue disuguhin kue sama ibunya Caca.” Hadyan tampak kebingungan dengan gelagatku, tapi aku pura-pura tidak dengar dan masuk ke dalam rumah. “Cuma basa-basi aja dia, palingan mau ke WC.” “Kenapa nggak bilang mau ke WC aja?” Noelan menggaruk kepalanya sendiri. Ia mengangkat kedua bahunya. Pura-pura tidak tahu. “Mungkin malu. Dia kan cewek.” “Apa hubungannya?” Hadyan terlihat berpikir serius. Matanya memutar ke atas. Ia meletakkan jarinya di dagu. Noelan jadi bingung mau menjawab apa. Kudengar ia mengalihkan pembicaraan. Noelan punya kebiasaan yang sama denganku. Kalau berbicara dengan cowok gaya bahasanya berubah menjadi bahasa Betawi. “Keren lo, Yan. Bisa nyetir sejauh ini. Umur lo masih 18 tahun lagi. Habis ini kita masih ke rumah Yumi di Bogor lho.” Kulihat Hadyan tersenyum. “Lo agak berlebihan deh. Gue dari SMP memang udah diajarin nyetir mobil. Nggak susah kok, asal niat dan berani bawa ke jalan aja.” Hadyan dan Noelan tidak tahu, jika dari balik tirai jendela aku sedang merayakan kemenanganku. Apalagi setelahnya Hadyan dan Noelan tampak asyik mengobrol di sana. “Yes! Taktikku berhasil!” Namun aku mulai menyadari sesuatu. “Eh? Astaghirullah, harusnya aku nggak ngebiarin mereka berdua-duaan aja!” Aku pun ngibrit ke pinggir ladang dengan tawa kecil yang dipaksakan. “Hei, kalian, masuk yuk! Nyicipin camilan khas Sukabumi! Cepetan!” Hadyan melihat ke arahku dengan cengengesan. “Semangat banget lo.” Ia dan Noelan pun berjalan ke arahku. Aku berjalan di sebelah Hadyan; agak menjaga jarak. Jadi, Hadyan diapit oleh aku dan Noelan. “Semakin cepat kita makan, semakin cepat juga kita sampai di Bogor. Gue mengandalkan lo, Yan!” ujarku dengan semangat 45. Di otakku memang sudah dipenuhi dengan suasana rumah. “Oh ya!” Hadyan memukul dahinya. “Gue hampir lupa habis ini harus ke Bogor. Lo ikut kita balik ke Bandung aja ya? Capek banget nih!” Aku tahu ia sedang menjahiliku. Aku pun malah terbawa suasana. “Ih, ogah! Kemarin kan perjanjiannya lo mau anterin gue juga ke Bogor.” Mata Hadyan tampak berputar di balik kacamatanya. “Tapi makanan gratisnya tetep ada, kan?” “Iya, ada!” Hadyan mulai terkekeh-kekeh. “Jangan lupa STMJ juga, ya! Biar gue nggak masuk angin!” “He-eh!” Ini cowok banyak maunya juga! Lho … lho? Kenapa aku jadi asyik ngobrol sama Hadyan begini? Aku pun memperhatikan Noelan yang tampak terkikih-kikih di tempatnya. Aku mengembuskan napas panjang. Aku harap percakapanku tadi dengan Hadyan tidak akan merusak mood Noelan yang sudah bagus di hari ini. Setelah salat Magrib rombongan kami pun pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Bogor. Sesampai di mobil kami mulai ribut mengatur posisi duduk terbaru. “Lo di depan ya, Mi. Nunjukkin si Hadyan jalan,” perintah Ihsal tiba. “Haah?” Aku terang saja jadi cengo. “Ya, iya dong. Kita kan mau ke rumah lo sekarang. Apa balik ke Bandung aja?” gurau Opik. “Waduh! Bukan begitu!” Aku pun menatap Noelan. Mataku bergerak; seolah meminta izin. Noelan mengangkat satu jempolnya dengan tersenyum. Aku pun menggaruk kepalanya yang diselubungi kain kerudung. “Oke deh.” Aku lalu masuk ke kursi depan sebelah kemudi. “Sori, Yan. Sekarang giliran gue yang bakalan repotin lo.” “Santai. Kan hadiahnya udah menunggu di rumah lo. Makan malem,” kelakar Hadyan. Kayaknya di otak dia isinya cuma makanan saja. Aku pun tertawa renyah dan lebih rileks. “Itu Ibu gue yang masak lho, bukannya gue.” Hadyan lantas menyalakan mobil dan tancap gas dari sana. Aku sebenarnya belum pernah duduk di depan mobil seperti ini dengan seorang cowok di sebelahku. Kalau ini bukan keadaan darurat aku pasti enggan melakukannya. Untung di dalam mobil juga tidak hanya ada kami berdua. Baru sepuluh menit berjalan, mataku mulai terasa berat. “Lo udah pernah ngendarain mobil dari Sukabumi ke Bogor?” Aku pun mencoba mengobrol dengan Hadyan agar tidak tertidur. “Belum,” jawab Hadyan sembari menggelengkan kepalanya. “Haah? Terus lo tahu dari mana kita harus ngambil jalan ini?!” “Tadi gue nanya sama ayahnya Caca. Kata beliau jalan ke Bogor dari sini tinggal lurus aja. Sisanya kan ada lo yang jadi petunjuk jalan,” balas Hadyan santai. “Gue memang pernah ke Sukabumi, tapi itu pas umur lima tahun. Gue udah nggak ingat jalannya. Terus kalau gue ketiduran gimana?” Aku malah pura-pura menguap. “Kalau itu terjadi. Sori banget. Gue terpaksa bakal bangunin lo. Pakai air sekalian bakal gue lakuin!” Hadyan lalu tergelak-gelak. “Payah!” Aku jadi manyun, namun ikut nyengir mendengarnya. Mataku lantas tidak sengaja menangkap sosok Noelan dari cermin persegi panjang yang menggantung di tengah kaca depan mobil. Rupanya Noelan sedang memperhatikanku pula. Aku pun memberikan salam dua jari pada sahabatku itu dan ia membalas dengan salam serupa. Sekarang aku paham mengapa Noelan menyukai Hadyan. Hadyan adalah tipe lelaki humoris yang pasti banyak disukai para perempuan. Aku masih heran mengapa dulu mantan pacarnya malah berani mengkhianati cintanya. Ya, tapi kini Hadyan sangat beruntung karena disukai cewek seperti Noelan. Noelan adalah tipe perempuan yang tidak neko-neko dan ramah pada semua orang. Dua jam perjalanan akhirnya mereka tiba di rumahku. Aku bersyukur ibuku sudah menyiapkan makan malam yang cukup banyak untuk kami. Para cowok meminta izin untuk mengerjakan salat Isya terlebih dahulu. Sedangkan aku dan Noelan membantu Ibu menghidangkan makanan. Selesai mereka solat, giliranku dan Noelan yang solat di lantai atas. Kami lalu bersantap bersama. Hanya mengobrol sebentar. Lalu empat orang rombongan sisa pamit untuk kembali pulang ke Bandung. “Sebenernya aku mau aja sih kalian nginap di sini. Apalagi si Hadyan, pasti capek banget dia nyetir dari tadi siang, istirahat cuma bentar. Sayangnya nggak ada laki-laki di rumah. Bapakku kerja di Kalimantan Barat,” curhatku pada Noelan. Kami sedang berdiri di pekarangkan rumahku. “Santai kali. Gue nggak selemah itu.” Aku otomatis menoleh pada suara serak penuh semangat itu. Aku pun jadi nyengir kuda. “Oh ya, lo belum tahu jalan ke tol-nya, kan?” “Iya gue nggak tahu.” “Nanti keluar pertigaan ke jalan besar yang tadi, lo pasti nemuin angkot 03, jurusan Bubulak – Baranang Siang. Ke arah kanan. Lo ikutin aja angkot itu, pasti bakal nyampe jalan tol,” ucapku berusaja menjelaskan segamblang mungkin. “Beres!” Noelan ikut nimbrung. Aku harap ia bisa merekam penjelasanku dengan baik. Aku lantas memperhatikan satu per satu dari teman-temanku itu masuk ke dalam mobil. Aku kemudian menyadari kini Noelan duduk di depan; sebelah kemudi yang ditugaskan pada Hadyan. Senyuman tersungging di bibirku. Ketika mesin mobil menyala, aku lalu berteriak lantang. “Makasih banyak lho, Guys! Semoga selamat sampai Bandung! Kalau ada apa-apa jangan ragu hubungin gue!” “Sip! Assalammu’alaikum!” “Wa’alaikumsalam!” Mobil APV itu pun perlahan menjauh dari mataku sampai akhirnya menghilang. . “Apa? Kalian baru nyampe Bandung jam tiga?! Kalau lewat tol sih tiga jam juga sampai!” Aku sangat terhenyak mendengar pernyataan Noelan barusan. Esok paginya aku menelepon Noelan untuk menanyakan kabar dan kabar seperti ini yang aku dapatkan. “Soalnya kita nyasar, Mi. Pas keluar di jalan utama yang kamu maksud, kita nggak nemuin angkot 03. Jadinya muter ke mana-mana selama sejam di Bogor.” Aku hanya bisa menepuk dahi. “Kasian banget Hadyan.” “Iya. Makanya pas di tol kita istirahat agak lama di rest area.” “Harusnya aku ikut aja ya. Sampai di tol-nya, nanti aku balik lagi ke rumah.” “Ye, ada-ada aja kamu. Tenang aja, Mi. Kita sampai Bandung dengan selamat kok. Nginap di rumah Ihsal.” “Sori, Lan. Aku jadi ngerepotin gebetan kamu.” “Ih, udah aku bilang santai aja! Hadyan keren tahu. Kuat juga dia nyaris 24 jam ngendarain mobil. Pas sampai di rumah Ihsal, langsung tepar dia.” Aku tidak tahu harus menanggapi apa. Aku ingin menghubungi Hadyan, namun aku urung melakukannya. Aku tidak ingin terlalu dekat dengan gebetan sahabatku itu. Apalagi di hatiku hanya ada kamu seorang. Akhirnya yang bisa aku lakukan hanya menyampaikan salam untuk Hadyan melalui Noelan.
Published on May 16, 2015 18:05
Jatuh Bangun Cinta Yumisa (Based On True Story): Bab 2 Muhammad Atmajaya
Aku memandangi taman hijau tempat kursusku dengan wajah berbunga-bunga. Taman yang hanya ditumbuhi dengan rumput dan dihiasi beberapa pot bunga itu saat ini dihiasi oleh lampion buatan yang disusun oleh mereka yang berasal dari kelas sertifikasi desain komunikasi visual. “Malam ini bakalan jadi malam yang romantis ya, Mi. Sayangnya cowok aku ada di Manado.”Aku memperhatikan Noelan, teman kelasku yang berdiri di sebelahku. Aku diam saja, toh aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki cowok. Noelan adalah teman terdekatku di kelas. Ia memiliki wajah bule dan sangat imut.Ya, malam ini mungkin jadi malam yang romantis, tapi malam nanti adalah acara makan bersama menyambut bulan puasa, bukannya malam untuk bermesra-mesraan.“Kamu besok bakal pulang ke Bogor, Mi?”Aku mengangguk. “Mumpung libur empat hari. Tapi aku sih berharap bisa puasa sebulan penuh di rumah.”“Iya, memang lebih enak puasa di rumah.”Aku mulai membayangkan bagaimana nanti aku sahur. Karena tidak ada dapur di kosan pastinya aku harus membeli makan di luar. Dan aku harus keluar jam 3 malam demi mengisi perut yang bakal tidak diisi selama 12 jam. Aku belum berani membayangkan bagaimana rasanya keluar jam 3 malam di Bandung yang baru kusinggahi kurang dari dua minggu ini.“Kalau aku rumahnya masih di Jawa Barat, aku juga pulang deh kayak kamu,” lanjut Noelan.“Kangen rumah ya?”“Banget.”Aku lalu menepuk-nepuk bahu Noelan untuk menghiburnya. Rasa-rasanya kemurungan Noelan jadi tertular padaku. Ah, aku jadi ingin cepat pulang besok.“Yumi! Yumi! Lihat, deh!”Badanku otomatis menegak. Wajahku yang suram berganti cerah. Aku sangat mengenal suara itu. Dan aku tidak percaya kamu akan memanggilku dengan suara penuh semangat begitu.Untuk sementara aku memanggilmu si ganteng.“Hei, aku baru beli jaket Jounin lho! Sekarang aku setingkat sama Kakashi!”Mataku semakin berbinar melihat jaket yang biasa dipakai ninja di Naruto yang berada di tanganmu itu. “Keren! Beli di mana?!” teriakku dengan mata berpendar.“Di Cihampelas.”“Harganya?”“Tiga ratus ribuan.”Aku nyaris cengo mendengarnya. Gila! Mahal banget! Ibuku tidak akan memberikan uang sebanyak itu hanya untuk jaket ini. Aku jadi iri dengannya. Tapi aku sadar, aku tidak mungkin memakai itu. Gadis berjilbab mengenakan jaket ninja Naruto, pasti aku jadi bahan tertawaan!Kemudian kamu pun pergi bergabung dengan cowok lainnya. Menghampiriku hanya karena ingin memamerkan jaket itu? Aku jadi tersanjung!Ketika itu aku pun menyadari, kamu memakai baju sekolah ala Jepang yang pernah kulihat di drama Jepang yang aku tonton. ‘Masya Allah, tingkat kegantengannya jadi naik dua kuadrat!’Aku jadi tidak percaya jika seleraku soal cowok yang kusuka sekejap jadi berubah.Tapi ada hal lain yang lebih mengejutkan. “Dia tahu dari mana namaku?! Kita kan belum kenalan!” Aku buru-buru menutup mulutku karena menyadari ketololanku. Untungnya di sekitar taman cukup ramai dan gandeng.“Ciee akhirnya punya gebetan,” goda Noelan yang ternyata menyadari tindak-tandukku.“Ssst! Jangan bilang siapa-siapa, Lan. Kamu tahu namanya nggak?”“Hah? Kamu nggak tahu namanya?” Noelan tampak terkejut.“Dia baru masuk minggu kedua, kan?”“Ya ampun, Mi. Kamu sih kerajinan duduk di depan. Atmajaya dari awal masuk, tahu. Tapi dia memang seringnya duduk di meja belakang.”“Atmajaya?” Hatiku lega ketika mengetahui namanya.“Iya, nama lengkapnya Muhammad Atmajaya.”Sejak saat itu nama itu begitu sangat penting bagiku...Muhammad Atmajaya, hari ini langit cerah di atas sana merefleksikan hatiku. Kamu menghampiriku duluan saja sudah membuatku berada di tingkat teratas Nirwana. Aku sulit membayangkan bagaimana bahagianya aku ketika bisa memilikimu. Ups, pikiranku terlalu menyongsong ke depan. Meski aku tidak ingin pacaran, tidak mungkin juga aku menikah di umur yang semuda ini. Lagi pula apakah kamu punya perasaan yang sama terhadapku? Jawabannya pasti tidak karena memang kita baru berkenalan seminggu lamanya.Muhammad … Muhammad… Betapa aku mencintai nama itu. Nama beliau yang menjadi suri teladanku, tersemat juga di depan namamu. “Dia itu ganteng, Mi. Nggak mungkin dia nggak punya cewek. Apalagi dia anak gaul gitu.”Kalimat Noelan itu tiba-tiba menguburkan khayalan indahku. Benar juga. Sifat gampang kegeeranku kembali kumat. Harusnya kejadian itu tidak perlu aku besar-besarkan.Hari ini aku bersama dengan teman-teman sekelas mengadakan jalan-jalan bersama di Bandung Indah Plaza. Dari 30 orang hanya 10 orang yang ikut. Aku bersyukur kamu bersedia ikut. Sayangnya ketika aku sesekali memperhatikanmu dari jauh, kamu tampak tidak menyadari kehadiranku. Bahkan ketika teman-teman memutuskan ke studio foto untuk berfoto bersama, kamu memutuskan tidak ikut dan pergi entah ke mana. Memang benar, sikap kegeeranku bakal jadi boomerang terhadapku sendiri. Tapi tidak ada salahnya kan mencintaimu dalam diam?..Bandung, 30 September 2008 Aku ingin menjadi dekat denganmu. Setidaknya aku mengetahui apa saja tentangmu. Apa film kesukaanmu, kapan tanggal lahirmu, alamat rumahmu, makanan kesukaanmu, komik apa saja yang pernah kamu baca, lalu cita-citamu. Maka dari itu hari ini aku memulai misi mendapatkan alamat akun Friendster-mu. Agar tidak terlihat modus. Aku pun menyebarkan selembar kertas ke seluruh kelas untuk mengetahui akun Friendster semua teman di kelasku. Karena di kelasku hanya ada 30 orang, 21 orang laki-laki, dan 9 orang perempuan, jadi tidak terlalu merepotkan. Setelah kertas itu kembali ke tanganku, wajahku pun berubah menjadi bunga layu yang habis disiram dengan air segar. Namamu terpampang jelas di sana beserta alamat Friendstermu.Karena jam pelajaran kedua belum dimulai dan tutor belum datang di kelas, aku memutuskan untuk online sejenak, tapi sayangnya ketika aku online, halaman utama internet enggan muncul di layarku. Akhirnya aku pun tahu jika di komputerku tidak ada koneksi internet. “Duh, lagi semangat-semangatnya, nih!” gerutuku. Aku pun berpaling ke Noelan yang duduk di sampingku. “Lan, komputer kamu bisa konek nggak?” Ketika itu aku menyadari Noelan sama sekali tidak mendengarkanku, malah sibuk dengan secarik kertas di tangannya sambil tersenyum-senyum sendiri. “Dih, nggak gila kan dia? Oi, Lan!” aku meninggikan volume suara. “E-eh? Ada apa, Mi?” “Komputer kamu koneksi internetnya jalan? Tukeran tempat dong.” “Boleh … boleh!” Aku mengerutkan dahi memandangi sikap antusias Noelan. Padahal menurutku seharusnya ia tidak senang dimintai tukar tempat duduk karena komputer yang tadi kupakai tidak tersambung dengan internet. Noelan nggak kesambet setan, kan? Aku pun kini duduk di depan komputer yang tadi digunakan Noelan. Namun aku harus menelan kecewa yang sama. “Grrr … di sini juga nggak bisa konek ternyata.” Masak aku harus memeriksa satu per satu komputer di sini yang bisa online? Mataku lantas tidak sengaja kembali memperhatikan Noelan yang masih senyum-senyum sendiri kayak yang sakit jiwa. Aku pun memalingkan wajahku pada secarik kertas yang sedang digenggamnya. Rupanya itu flyer. Dan di sana aku menemukan sosok yang kukenal. “Ini kamu, Lan? Kapan difotonya?” “Seminggu lalu,” jawab Noelan singkat. “Kamu kenapa sih senyum-senyum sendiri gitu? Aku jadi merinding tahu!” Akhirnya mata Noelan fokus kepadaku. “Aku masih waras, Mi! Ini ada pemandangan indah. Gebetan baruku!” “Haah? Beneran? Kamu kan udah punya cowok!” Noelan tertawa renyah. “Cuma main-main aja, Mi. Lagian ini cowok ganteng terus cool gitu.” Ia lalu menunjukkan wajah gebetan barunya yang ternyata terpampang juga di flyer. Ternyata Noelan, cowok itu, dan dua orang lainnya menjadi model di flyer untuk promosi kursus sertifikasi di sini. Aku memperhatikan wajahnya dengan saksama. Jika dilihat cowok itu seperti keturunan Jepang. Berkaca mata dan ekspresinya datar, jadi ia terlihat jenius sekaligus misterius! Lagi-lagi aku tidak menyadari jika ada cowok keren itu di sini! “Namanya siapa, Lan? Dari kelas mana?” “Hadyan Latif, dari kelas Web Design.” Aku hanya mengangguk. Aku dan sahabat-sahabatku memiliki gebetan di sini. Sepertinya urusan percintaanku akan tambah seru saja. Tidak ada yang mengasyikan selain saling bertukar cerita dengan gadis yang memiliki gebetan, apalagi jika tidak kesampaian, pasti akan menjadi bahan curhat kami semalaman. Dan itu yang akan menjadikan dua orang gadis yang saling bersahabat itu semakin erat hubungannya satu sama lain. Kemudian aku jadi teringat akan sesuatu. “Aku lupa mau add Friendster teman-teman!” Padahal sebenarnya hanya Atmajaya yang jadi prioritasku. Aku pun kembali mencoba membuka internet. “Selamat pagi semuanya! Hari ini kita kuis ya. Harap matikan komputer kalian!” Suara tutor yang tiba-tiba masuk ke kelas itu langsung jadi terompet sangkakala bagiku. Kudengar seluruh isi kelas berteriak kecewa. Sementara aku nyaris pingsan di tempat dudukku sendiri. Astaghfirullah! Mau add Friendster kamu saja banyak cobaannya! Aku jadi berpikir, untuk berjodoh denganmu, apakah akan banyak rintangan yang menghadang kita?.. Aku menatap sosok yang disukai Noelan dengan antusias. Cowok itu sedang mengambil wudhu di samping Musola. Aku pun dengan nada menggoda menyenggol bahu sahabatku. “Jadi itu yang namanya Hadyan? Dari mukanya sih cocok sama kamu, Lan. Aku dukung kamu!” Semoga nggak pakai pacaran dan langsung nikah saja!, tambahku dalam hati. Noelan nyengir lebar. “Bisa aja kamu, Mi. Tapi kayaknya aku bakal pendam aja deh. Denger-denger dia nggak mau pacaran. Lagian kan aku udah punya cowok.” “Oh ya? Kenapa? Apa dia punya prinsip kayak aku?” “Nggak juga sih. Kayaknya dia trauma gitu.” Mata Noelan tiba-tiba tertuju pada sosok yang lewat di depannya. “Itu mantannya Hadyan, namanya Riska. Mereka itu dari SMA di Medan, jadi katanya Riska selingkuh, terus putus deh mereka. Si Riska nyesel dan minta balikan sampai rela ngejar Hadyan ke Bandung, bahkan masuk ke sekolah yang sama.” Mata Yumi mendelik. “Seriusan kamu?” Aku pandangi Riska dan Hadyan bolak-balik. Sepertinya pacaran itu merepotkan. Aku bersyukur sampai sekarang bertahan dengan prinsipku yang tidak akan pacaran hingga menikah. Tapi aku tidak anti pacaran, aku pikir pacaran akan lebih asyik ketika dilakukan setelah menikah. Jika aku menjadi Hadyan, aku juga merasa sakit hati dan enggan memberikan kesempatan kedua. Itulah yang ingin aku hindari…. Patah hati. “Mi … Mi! Itu si Atmajaya!” Kini giliran Noelan yang menggodaku. Aku pun mengarahkan pandangan ke tempat wudhu Musola. Aku terpana ketika melihatmu berdiri di sebelah Hadyan, kalian terlihat mengobrol. Ternyata kalian saling kenal. “Wah, mereka cowok-cowok yang rajin solat tepat waktu ya,” lanjutnya. Aku pun mengangguk penuh semangat. “He-eh. Kita ikut solat, yuk!” Aku lalu menarik paksa Noelan ke musola, untuk ikutan solat. Di dalam musola pun, aku menjadikan hal ini kesempatan untuk curi-curi pandang padamu. Ketika mata kita bertemu aku mencoba menyapamu duluan, tapi kemudian kamu malah memandang ke sebelahku. “Noelan, Yumi!” Aku mencerna kejadian itu sejenak. “Hai, Jay,” sahutku dengan nada datar. Eh?! Aku tidak salah dengar, kan?! Aku tahu betul mataku lebih dulu beradu dengan matamu! Aku tidak menyangka kamu malah menyapa Noelan duluan! Menyedihkan! Tunggu … tunggu—jangan-jangan kamu menyukai Noe—ah, aku enggan memikirkannya lebih lanjut! Aku memang belum tahu apakah kamu sudah mempunyai pacar atau tidak. Tapi sakit rasanya jika gebetan kita malah menyukai teman dekat kita. Semoga tidak terjadi, Ya Allah! Semoga! Dengan langkah kikuk, bahkan aku nyaris terjatuh karena menginjak bawahan mukena yang terlalu panjang itu, aku melangkah dan mengambil posisi berdiri di belakangmu. Satu shaf di belakangmu…. Kupandangi bahumu yang tegak itu. Akan jadi apa punggung itu di masa depan? Aku pun membayangkan jika suatu hari nanti hanya aku dan kamu yang melaksanakan solat di sebuah musola. Ketika tidak ada lagi kata haram yang membatasi kita karena kamu telah bersumpah pada-Nya untuk menjagaku di pernikahan sakral. Setelah melakukan salam, aku merentang tangan kananku padamu, kutunggu kamu menyambut tanganku itu, lalu— Aku pun mencubit pipi sekuat tenaga. Astaghfirullah, ampuni aku karena di rumah yang seharusnya aku mengingat-Mu dan bersujud pada-Mu ini, aku malah mengambil kesempatan untuk memenuhi hasratku yang ingin diperhatikan juga oleh Jaya. Aku keterlaluan! “Kok malah nyubit pipi sendiri, Mi?” Aku menoleh ke depan. Ternyata kamu sedang memandangiku dengan cengengesan. Aku pun serasa direbus di kompor yang memiliki panas seribu derajat. Aku kira solat berjamaah ini akan segera dilaksanakan, hingga aku menyadari kepala institusi lewat di depanku dan berjalan cepat menuju posisi imam. “Lagi sakit gigi,” jawabku asal dengan tawa kecil yang dipaksakan“Nggak tambah sakit tuh kalau dicubit?” senyum kamu pun semakin melebar.Sementara itu Noelan yang berdiri di sebelahku setengah mati menahan tawa.Astaghfirullah! Allah pun menghukumku! Malunya tidak terkira!
Published on May 16, 2015 16:47
[CERMIN Bentang Pustaka] Persembahan
Bogor, 16 Mei 2015Untuk cinta yang tiada ujung tanpa pandang bulu, Mama.Dan untuk adik yang membuat hari-hariku lebih berwarna, Sherly Luthfia. Bukan main senangnya aku ketika membubuhkan kata-kata itu di novel perdanaku. Akhirnya novelku ini terbit juga dan terpajang di seluruh toko buku di Indonesia. Selain cita-citaku jadi novelis kesampaian, aku juga ingin mempersembahan novel ini untuk mereka. Karena novel ini tentang mereka dan diriku. Tentang seorang ibu yang berjuang merawat anak bungsunya yang autis. Tentang seorang anak autis yang membutuhkan perhatian lebih dan sering merepotkan orang-orang di sekitarnya. Dan juga tentang seorang kakak yang berusaha memahami dan menjadi kakak yang baik bagi adik tersayangnya. Tujuan utamaku menulis novel itu sebagai hadiah untuk ibuku yang luar biasa dan adikku yang membuat hidupku jadi lebih hidup. Kalau tidak ada mereka, novel ini tidak akan pernah lahir. Aku harap, novel ini juga akan menginspirasi banyak orang. Karena ini, kamu juga harus membacanya ya.
Published on May 16, 2015 05:03
April 4, 2015
Novel Ichi Go Ichi E (Full of Friendship): Bab 1 Andhira Hutajulu: Apa Hobimu?
Halo, Guys.Kali ini saya kembali dengan novel terbaru saya. Judulnya Ichi Go Ichi E (One Chance in A Lifetime). Genre Friendship, tema Cosplay. Target pembaca remaja, tapi bisa juga kok dibaca sama dewasa.
Andhira Hutajulu: Apa Hobimu? “Kampreeeetttt! Siapa lagi ini yang nge-hack website gue?!” Dhira menggebrak meja sampai barang-barang di atasnya melayang lima centimeter dari tempatnya. “Berisiiikkk! Ini masih pagi, Bonengg! Awas mejanya rusak! Kamu ganti pakai uangmu sendiri!” Omelan tulangnya membuat kepala Dhira makin pening. Gigi atas dan bawahnya menyatu kuat menahan gertakan lengkingan yang siap ia lontarkan. Akhirnya ia malah lampiaskan kegeramannya dengan mengacak-acak rambutnya. “Ini udah ketiga kalinya dalam sebulan terakhir!” Dan ini sudah sepuluh kalinya dalam kurun waktu lima bulan. Hal tersebut jelas mengacaukan hati Dhira. Pasalnya serangan yang dilakukan terlampau intens. Layar PC-nya berubah gelap. Ada kepala tengkorak berwarna merah menggelinding ke kiri dan kanan layar, lalu tengkorak itu berubah besar tepat di tengah layar; ngakak. “Sialan lo! Malah ngetawain gue!” Dhira memperhatikan nama hacker yang tertera setelah tengkorak merah itu menghilang. Si Anak Ingusan “Ini nggak bisa dibiarkan terus! Lama-lama bisa gila gue!” Dhira pun mengutak-atik PC-nya. Ia masuk ke bagian admin web forum yang ia buat setahun lalu itu. Tapi passwordyang ia masukan di-report salah. Ia jadi melenguh frustasi. “Boneeenngg! Bisa diam nggak?! Cepat keluar dari kamar! Makin berisik aja kamu! Mau aku lepas aja pintu kamarmu, hah?!” Dhira meringis. Suara menggelegar tulangnya memang tiada tandingnya. “Sebentar, Tulang! Ini masalah hidup dan mati!” “Alah, banyak gaya kamu! Cepat keluar! Cuci piring menumpuk ini! Kalau nggak, kamu nggak usah berangkat sekolah hari ini!” Sejurus Dhira menunduk ketika mendengar suara nyaring dari pecahan kaca yang menabrak pintu kamarnya. Ia memandangi pintu itu sejenak. Untungnya pintu itu tetap kokoh pada tempatnya. Sayangnya Dhira yang mulai ciut. “Iya, Tulang.” Dhira mengembuskan napas dan berdiri. Ia memutuskan keluar kamar, meski urusannya dengan web buatannya belum selesai. Ia terkesiap ketika membuka pintu dan menengok ke bawah. Nyaris saja ia menginjak pecahan piring yang dilempar tulangnya tadi. Dhira menengok ke segala arah. Batang hidung tulangnya tidak kelihatan. Ia lantas bergegas menuju dapur. Dengan terpaksa menuruti perintah tulangnya mencuci piring yang menumpuk; membentuk dua menara sepantar pelupuk matanya. Dhira menggelengkan kepala. “Udah macam dua menara kembar di Lord of The Rings aja nih. Tinggal gue tolak langsung hancurlah semuanya!” “Apanya yang hancur, Boneng?! Berhentilah mengoceh, bisa terlambat kamu nanti! Udah kusekolahkan kamu mahal-mahal, harus yang benar sekolahnya!” Tubuh Dhira langsung tegak berdiri; melanjutkan pekerjaannya. Saat mendapat suntrungan oleh tulangnya pun ia tetap pada posisinya. Lagi pula ini sudah menjadi santapan paginya setiap hari. Dhira selalu mematrikan di hatinya bahwa proses ini harus dilaluinya dengan sempurna. Ia tahu di lubuk hatinya yang terdalam, ia ingin menuntut keadilan. “Gue harus kuat dan pasti bisa melaluinya. Suatu saat gue bisa menjadi Albert Einstein kedua di dunia,” bisiknya dengan kepercayaan diri yang selangit.. Apa yang kamu pikirkan tentang masa depan? Jika kamu melihat orang kebanyakan, mereka akan mengambil studi setinggi mungkin, lalu mencari kerja sesuai dengan lowongan yang dibuka (tidak masalah tidak sesuai dengan jurusan, yang penting menambah pengalaman), lantas bekerja di perusahaan ternama. Itu pun kalau kamu diterima di sana. Kata kebanyakan orang juga kamu harus berprestasi, terutama di bidang akademik. Seluruh mata pelajaran harus kamu kuasai. Maka dijamin kamu tidak akan khawatir dengan masa depanmu nanti. Untuk bidang non-akademik itu bisa menjadi nilai plus. Karena itu Dhira memilih jalan umum itu. Hanya saja untuk kegiatan ekstrakurikuler film sudah lama ia tinggalkan sejak awal duduk di kelas 11. Ulangan matematika kali ini, lagi-lagi Dhira menandaskannya dengan sukses. Ia tuntas mengerjakan semua soal hanya dalam waktu satu jam. Ia cukup bangga dengan kerja keras hasil begadang tiga hari tiga malamnya itu. Meski saat mengumpulkan jawaban ke Pengawas ia mendapat bisik-bisik celaan dari teman-teman sekelasnya. Kini Dhira berdiri di ruang guru, padahal ia ingin segera meluncur ke kosan Jo. Kebetulan salah satu pengawasnya adalah wali kelasnya, Pak Bondan. Pak Bondan mempersilakan Dhira duduk di bangku yang sudah tersedia di sana. “Bapak cuma mau bicara sebentar,” tegasnya. Dhira mengangguk cepat. “Dhira, Bapak yakin kamu bakal jadi orang hebat nantinya. Jadi, pertahankan prestasi akademismu. Jarang Bapak temukan murid laki-laki pintar dan seulet kamu.” Bibir Dhira terkunci. Tolong jangan puji gue lebih dari ini…. “Ada yang mengganggu pikiranmu? Bapak lihat teman-teman sekelasmu masih sinis sama kamu.” Makanya jangan terlalu menganakemaskan gue! “Saya masih bisa mengatasinya kok, Pak,” jawab Dhira; membetulkan letak kacamatanya. “Kalau ada apa-apa jangan sungkan lapor ke Bapak atau Bu Yuni sekalian. Sepertinya banyak temanmu yang iri sama kamu.” Gue nggak pernah bermaksud membuat mereka iri sama gue kok. Dhira tersenyum lebar. Kali ini ia paksakan. Sekali lagi ia ingin menunjukkan bahwa masalah ini masih dalam batas wajar. Ia kembali membenarkan letak kacamatanya. “Baik, Pak.” “Bapak sangat mengapresiasi keberanianmu melaporkan kasus Miftahuddin semester tahun lalu. Sayangnya ia terlampau pengecut dan memilih keluar dari sekolah ini.” Dhira lagi-lagi menanggapinya dengan biasa. Ia hanya mengangguk seraya tersenyum selebar mungkin. Senyuman yang tentunya dipaksakan. “Oh ya, kamu sudah memutuskan akan melanjutkan kuliah di universitas mana? Kalau Bapak boleh berpendapat, lebih baik kamu melanjutkan studi di Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung.” Dhira berdeham. “Saya masih bingung, Pak. Akan saya pertimbangkan dengan Ibu saya dulu.” Padahal ibunya menyerahkan pilihan studi sepenuhnya padanya. “Baiklah. Sekarang kamu boleh pulang.” Dhira mengucapkan terima kasih dan buru-buru beranjak dari sana. “Dhira, ada yang Bapak lupa tanyakan sama kamu.” Sejurus Dhira menghentikan langkahnya. Ia berdecak kesal (yang tentunya tidak terdengar oleh Pak Bondan) dan membalikkan badan. “Ada apa, Pak?” “Kamu nggak ikut kegiatan ekskul?” Dhira menggelengkan kepala. “Kenapa?” “Nggak ada kegiatan ekskul di sini yang sesuai dengan hobi saya, Pak.” Pak Bondan berdeham. Ia sangat senang dengan Dhira yang ia yakin selalu berperilaku jujur, maka dari itu ia ingin mengarahkannya menjadi murid teladan di sekolahnya. Murid teladan yang berprestasi dibidang akademik dan non-akademik. “Apa hobimu itu?” “Ber-cosplay,” jawab Dhira singkat. “Cosplay?” Kepala Pak Bondan miring sebelah. Ia baru mendengar istilah itu. Karena malas berbicara lebih lama lagi, Dhira pun pamit dan bergegas beranjak dari ruang guru.
Yuk kunjungi link berikut ini untuk membaca bab selanjutnya
http://gwp.co.id/ichi-go-ichi-e/
Andhira Hutajulu: Apa Hobimu? “Kampreeeetttt! Siapa lagi ini yang nge-hack website gue?!” Dhira menggebrak meja sampai barang-barang di atasnya melayang lima centimeter dari tempatnya. “Berisiiikkk! Ini masih pagi, Bonengg! Awas mejanya rusak! Kamu ganti pakai uangmu sendiri!” Omelan tulangnya membuat kepala Dhira makin pening. Gigi atas dan bawahnya menyatu kuat menahan gertakan lengkingan yang siap ia lontarkan. Akhirnya ia malah lampiaskan kegeramannya dengan mengacak-acak rambutnya. “Ini udah ketiga kalinya dalam sebulan terakhir!” Dan ini sudah sepuluh kalinya dalam kurun waktu lima bulan. Hal tersebut jelas mengacaukan hati Dhira. Pasalnya serangan yang dilakukan terlampau intens. Layar PC-nya berubah gelap. Ada kepala tengkorak berwarna merah menggelinding ke kiri dan kanan layar, lalu tengkorak itu berubah besar tepat di tengah layar; ngakak. “Sialan lo! Malah ngetawain gue!” Dhira memperhatikan nama hacker yang tertera setelah tengkorak merah itu menghilang. Si Anak Ingusan “Ini nggak bisa dibiarkan terus! Lama-lama bisa gila gue!” Dhira pun mengutak-atik PC-nya. Ia masuk ke bagian admin web forum yang ia buat setahun lalu itu. Tapi passwordyang ia masukan di-report salah. Ia jadi melenguh frustasi. “Boneeenngg! Bisa diam nggak?! Cepat keluar dari kamar! Makin berisik aja kamu! Mau aku lepas aja pintu kamarmu, hah?!” Dhira meringis. Suara menggelegar tulangnya memang tiada tandingnya. “Sebentar, Tulang! Ini masalah hidup dan mati!” “Alah, banyak gaya kamu! Cepat keluar! Cuci piring menumpuk ini! Kalau nggak, kamu nggak usah berangkat sekolah hari ini!” Sejurus Dhira menunduk ketika mendengar suara nyaring dari pecahan kaca yang menabrak pintu kamarnya. Ia memandangi pintu itu sejenak. Untungnya pintu itu tetap kokoh pada tempatnya. Sayangnya Dhira yang mulai ciut. “Iya, Tulang.” Dhira mengembuskan napas dan berdiri. Ia memutuskan keluar kamar, meski urusannya dengan web buatannya belum selesai. Ia terkesiap ketika membuka pintu dan menengok ke bawah. Nyaris saja ia menginjak pecahan piring yang dilempar tulangnya tadi. Dhira menengok ke segala arah. Batang hidung tulangnya tidak kelihatan. Ia lantas bergegas menuju dapur. Dengan terpaksa menuruti perintah tulangnya mencuci piring yang menumpuk; membentuk dua menara sepantar pelupuk matanya. Dhira menggelengkan kepala. “Udah macam dua menara kembar di Lord of The Rings aja nih. Tinggal gue tolak langsung hancurlah semuanya!” “Apanya yang hancur, Boneng?! Berhentilah mengoceh, bisa terlambat kamu nanti! Udah kusekolahkan kamu mahal-mahal, harus yang benar sekolahnya!” Tubuh Dhira langsung tegak berdiri; melanjutkan pekerjaannya. Saat mendapat suntrungan oleh tulangnya pun ia tetap pada posisinya. Lagi pula ini sudah menjadi santapan paginya setiap hari. Dhira selalu mematrikan di hatinya bahwa proses ini harus dilaluinya dengan sempurna. Ia tahu di lubuk hatinya yang terdalam, ia ingin menuntut keadilan. “Gue harus kuat dan pasti bisa melaluinya. Suatu saat gue bisa menjadi Albert Einstein kedua di dunia,” bisiknya dengan kepercayaan diri yang selangit.. Apa yang kamu pikirkan tentang masa depan? Jika kamu melihat orang kebanyakan, mereka akan mengambil studi setinggi mungkin, lalu mencari kerja sesuai dengan lowongan yang dibuka (tidak masalah tidak sesuai dengan jurusan, yang penting menambah pengalaman), lantas bekerja di perusahaan ternama. Itu pun kalau kamu diterima di sana. Kata kebanyakan orang juga kamu harus berprestasi, terutama di bidang akademik. Seluruh mata pelajaran harus kamu kuasai. Maka dijamin kamu tidak akan khawatir dengan masa depanmu nanti. Untuk bidang non-akademik itu bisa menjadi nilai plus. Karena itu Dhira memilih jalan umum itu. Hanya saja untuk kegiatan ekstrakurikuler film sudah lama ia tinggalkan sejak awal duduk di kelas 11. Ulangan matematika kali ini, lagi-lagi Dhira menandaskannya dengan sukses. Ia tuntas mengerjakan semua soal hanya dalam waktu satu jam. Ia cukup bangga dengan kerja keras hasil begadang tiga hari tiga malamnya itu. Meski saat mengumpulkan jawaban ke Pengawas ia mendapat bisik-bisik celaan dari teman-teman sekelasnya. Kini Dhira berdiri di ruang guru, padahal ia ingin segera meluncur ke kosan Jo. Kebetulan salah satu pengawasnya adalah wali kelasnya, Pak Bondan. Pak Bondan mempersilakan Dhira duduk di bangku yang sudah tersedia di sana. “Bapak cuma mau bicara sebentar,” tegasnya. Dhira mengangguk cepat. “Dhira, Bapak yakin kamu bakal jadi orang hebat nantinya. Jadi, pertahankan prestasi akademismu. Jarang Bapak temukan murid laki-laki pintar dan seulet kamu.” Bibir Dhira terkunci. Tolong jangan puji gue lebih dari ini…. “Ada yang mengganggu pikiranmu? Bapak lihat teman-teman sekelasmu masih sinis sama kamu.” Makanya jangan terlalu menganakemaskan gue! “Saya masih bisa mengatasinya kok, Pak,” jawab Dhira; membetulkan letak kacamatanya. “Kalau ada apa-apa jangan sungkan lapor ke Bapak atau Bu Yuni sekalian. Sepertinya banyak temanmu yang iri sama kamu.” Gue nggak pernah bermaksud membuat mereka iri sama gue kok. Dhira tersenyum lebar. Kali ini ia paksakan. Sekali lagi ia ingin menunjukkan bahwa masalah ini masih dalam batas wajar. Ia kembali membenarkan letak kacamatanya. “Baik, Pak.” “Bapak sangat mengapresiasi keberanianmu melaporkan kasus Miftahuddin semester tahun lalu. Sayangnya ia terlampau pengecut dan memilih keluar dari sekolah ini.” Dhira lagi-lagi menanggapinya dengan biasa. Ia hanya mengangguk seraya tersenyum selebar mungkin. Senyuman yang tentunya dipaksakan. “Oh ya, kamu sudah memutuskan akan melanjutkan kuliah di universitas mana? Kalau Bapak boleh berpendapat, lebih baik kamu melanjutkan studi di Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung.” Dhira berdeham. “Saya masih bingung, Pak. Akan saya pertimbangkan dengan Ibu saya dulu.” Padahal ibunya menyerahkan pilihan studi sepenuhnya padanya. “Baiklah. Sekarang kamu boleh pulang.” Dhira mengucapkan terima kasih dan buru-buru beranjak dari sana. “Dhira, ada yang Bapak lupa tanyakan sama kamu.” Sejurus Dhira menghentikan langkahnya. Ia berdecak kesal (yang tentunya tidak terdengar oleh Pak Bondan) dan membalikkan badan. “Ada apa, Pak?” “Kamu nggak ikut kegiatan ekskul?” Dhira menggelengkan kepala. “Kenapa?” “Nggak ada kegiatan ekskul di sini yang sesuai dengan hobi saya, Pak.” Pak Bondan berdeham. Ia sangat senang dengan Dhira yang ia yakin selalu berperilaku jujur, maka dari itu ia ingin mengarahkannya menjadi murid teladan di sekolahnya. Murid teladan yang berprestasi dibidang akademik dan non-akademik. “Apa hobimu itu?” “Ber-cosplay,” jawab Dhira singkat. “Cosplay?” Kepala Pak Bondan miring sebelah. Ia baru mendengar istilah itu. Karena malas berbicara lebih lama lagi, Dhira pun pamit dan bergegas beranjak dari ruang guru.
Yuk kunjungi link berikut ini untuk membaca bab selanjutnya
http://gwp.co.id/ichi-go-ichi-e/
Published on April 04, 2015 18:42
[BACA YUK] Draft Novel Keempat -> Ichi Go Ichi E
Halo, Guys.Kali ini saya kembali dengan novel terbaru saya. Judulnya Ichi Go Ichi E (One Chance in A Lifetime). Genre Friendship, tema Cosplay. Target pembaca remaja, tapi bisa juga kok dibaca sama dewasa.
Yuk kunjungi link berikut J
http://gwp.co.id/ichi-go-ichi-e/
Yuk kunjungi link berikut J
http://gwp.co.id/ichi-go-ichi-e/
Published on April 04, 2015 18:42
March 7, 2015
Jatuh Bangun Cinta Yumisa (Based On True Story): Prolog
Prolog Bandung, 16 Mei 2015 Aku masih tidak percaya jika aku bisa berdiri di sini. Kupandangi bangunan yang berada di pusat kota Bandung itu secara saksama. Dari sini petualanganku selama lima tahun lamanya dimulai. Angin berembus menerpaku; membuat jilbabku menari di udara. Kupandangi lapangan luas bertenda itu; yang ramai dengan berbagai macam hidangan dan panggung pementasan. Seperti di pernikahan, tetapi sebenarnya bukan. “Aku terlalu cepat datang ya.” Aku tidak sabar bertemu dengan teman-temanku yang lain. Ini sudah lama sekali Aku sama sekali tidak punya saudara di sini. Bahkan lima tahun lalu itu pertama kalinya seumur hidup aku ke Bandung dan aku malah nekat bersekolah di Bandung. Tapi pilihanku memang tidak salah. Aku bersyukur Allah memberikan jalanku ke kota cantik ini. Aku tidak pernah menyesal menginjakkan kakiku di sini. Bahkan dulu aku bercita-cita menjadi bagian dari dirinya. Kata orang, ketika kamu pergi ke Bandung, kamu akan mengalami dua hal, mencintai Bandung dan mencintai orang asli Bandung. Dan aku benar-benar mengalami keduanya…. Cinta pertamaku di Bandung…. Kalau mengingatmu rasanya memang menyakitkan, tapi yang menyebalkan lagi, aku ternyata masih penasaran. Seandainya aku bisa bertemu denganmu di sini, saat ini juga. “Yumi-chan?” Mataku melebar. Jantungku berdegup kencang. Hanya satu orang di dunia ini yang memanggilku begitu. Aku sangat mengenal suaramu. Logat khas Sundanya masih melekat di sana. Aku menoleh ke belakang. Aku pelajari sosoknya dalam beberapa detik, setelah itu aku memberimu senyuman termanisku. “Atmajaya. Lama nggak jumpa.” Dan ini adalah kisahku denganmu. Enam tahun itu, aku beranikan diri tuliskan di sini.
Karena selama enam tahun itu, semuanya tentang kamu….
Selanjutnya baca di http://www.wattpad.com/story/34300584-diari-cinta-muslimah-centil
Karena selama enam tahun itu, semuanya tentang kamu….
Selanjutnya baca di http://www.wattpad.com/story/34300584-diari-cinta-muslimah-centil
Published on March 07, 2015 05:34
Jatuh Bangun Cinta Yumisa: Prolog
Prolog Bandung, 16 Mei 2015 Aku masih tidak percaya jika aku bisa berdiri di sini. Kupandangi bangunan yang berada di pusat kota Bandung itu secara saksama. Dari sini petualanganku selama lima tahun lamanya dimulai. Angin berembus menerpaku; membuat jilbabku menari di udara. Kupandangi lapangan luas bertenda itu; yang ramai dengan berbagai macam hidangan dan panggung pementasan. Seperti di pernikahan, tetapi sebenarnya bukan. “Aku terlalu cepat datang ya.” Aku tidak sabar bertemu dengan teman-temanku yang lain. Ini sudah lama sekali Aku sama sekali tidak punya saudara di sini. Bahkan lima tahun lalu itu pertama kalinya seumur hidup aku ke Bandung dan aku malah nekat bersekolah di Bandung. Tapi pilihanku memang tidak salah. Aku bersyukur Allah memberikan jalanku ke kota cantik ini. Aku tidak pernah menyesal menginjakkan kakiku di sini. Bahkan dulu aku bercita-cita menjadi bagian dari dirinya. Kata orang, ketika kamu pergi ke Bandung, kamu akan mengalami dua hal, mencintai Bandung dan mencintai orang asli Bandung. Dan aku benar-benar mengalami keduanya…. Cinta pertamaku di Bandung…. Kalau mengingatmu rasanya memang menyakitkan, tapi yang menyebalkan lagi, aku ternyata masih penasaran. Seandainya aku bisa bertemu denganmu di sini, saat ini juga. “Yumi-chan?” Mataku melebar. Jantungku berdegup kencang. Hanya satu orang di dunia ini yang memanggilku begitu. Aku sangat mengenal suaramu. Logat khas Sundanya masih melekat di sana. Aku menoleh ke belakang. Aku pelajari sosoknya dalam beberapa detik, setelah itu aku memberimu senyuman termanisku. “Atmajaya. Lama nggak jumpa.” Dan ini adalah kisahku denganmu. Enam tahun itu, aku beranikan diri tuliskan di sini.
Karena selama enam tahun itu, semuanya tentang kamu….
Selanjutnya baca di http://www.wattpad.com/story/34300584-diari-cinta-muslimah-centil
Karena selama enam tahun itu, semuanya tentang kamu….
Selanjutnya baca di http://www.wattpad.com/story/34300584-diari-cinta-muslimah-centil
Published on March 07, 2015 05:34
Diari Cinta Muslimah Centil: Prolog
Prolog Bandung, 16 Mei 2015 Aku masih tidak percaya jika aku bisa berdiri di sini. Kupandangi bangunan yang berada di pusat kota Bandung itu secara saksama. Dari sini petualanganku selama lima tahun lamanya dimulai. Angin berembus menerpaku; membuat jilbabku menari di udara. Kupandangi lapangan luas bertenda itu; yang ramai dengan berbagai macam hidangan dan panggung pementasan. Seperti di pernikahan, tetapi sebenarnya bukan. “Aku terlalu cepat datang ya.” Aku tidak sabar bertemu dengan teman-temanku yang lain. Ini sudah lama sekali Aku sama sekali tidak punya saudara di sini. Bahkan lima tahun lalu itu pertama kalinya seumur hidup aku ke Bandung dan aku malah nekat bersekolah di Bandung. Tapi pilihanku memang tidak salah. Aku bersyukur Allah memberikan jalanku ke kota cantik ini. Aku tidak pernah menyesal menginjakkan kakiku di sini. Bahkan dulu aku bercita-cita menjadi bagian dari dirinya. Kata orang, ketika kamu pergi ke Bandung, kamu akan mengalami dua hal, mencintai Bandung dan mencintai orang asli Bandung. Dan aku benar-benar mengalami keduanya…. Cinta pertamaku di Bandung…. Kalau mengingatmu rasanya memang menyakitkan, tapi yang menyebalkan lagi, aku ternyata masih penasaran. Seandainya aku bisa bertemu denganmu di sini, saat ini juga. “Yumi-chan?” Mataku melebar. Jantungku berdegup kencang. Hanya satu orang di dunia ini yang memanggilku begitu. Aku sangat mengenal suaramu. Logat khas Sundanya masih melekat di sana. Aku menoleh ke belakang. Aku pelajari sosoknya dalam beberapa detik, setelah itu aku memberimu senyuman termanisku. “Atmajaya. Lama nggak jumpa.” Dan ini adalah kisahku denganmu. Enam tahun itu, aku beranikan diri tuliskan di sini.
Karena selama enam tahun itu, semuanya tentang kamu….
Selanjutnya baca di http://www.wattpad.com/story/34300584-diari-cinta-muslimah-centil
Karena selama enam tahun itu, semuanya tentang kamu….
Selanjutnya baca di http://www.wattpad.com/story/34300584-diari-cinta-muslimah-centil
Published on March 07, 2015 05:34
Jatuh Bangun Cinta Yumisa (Based On True Story): Overture
Patah hati terbaik adalah patah hati yang menghasilkan uang dan menginspirasi banyak orang – Pretty Angelia
Hello, Guys. Udah lama nggak nulis cerita di sini. Untuk sementara saya hiatus dari FFN, doakan saja ada semangat lagi nulis FFN. Saya sekarang lagi fokus nulis novel original hehe ^^v.Btw, ini adalah draft novel kelima saya. Sebagian cerita mau saya publish online. Ini hanya bentuk promosi semata hehe. Sisanya ada di wattpad saya.
90 % dari isi novel ini adalah fakta, 10 % hanya akal bulus saya. Nanti saya akan publish satu prolog, dan untuk bab selanjutnya silakan baca di akun wattpad saya.
Regards,
Pretty
Hello, Guys. Udah lama nggak nulis cerita di sini. Untuk sementara saya hiatus dari FFN, doakan saja ada semangat lagi nulis FFN. Saya sekarang lagi fokus nulis novel original hehe ^^v.Btw, ini adalah draft novel kelima saya. Sebagian cerita mau saya publish online. Ini hanya bentuk promosi semata hehe. Sisanya ada di wattpad saya.
90 % dari isi novel ini adalah fakta, 10 % hanya akal bulus saya. Nanti saya akan publish satu prolog, dan untuk bab selanjutnya silakan baca di akun wattpad saya.
Regards,
Pretty
Published on March 07, 2015 05:23