Pretty Angelia's Blog, page 6
January 24, 2017
Tentang Cemaung

Aku masih ingat saat pertama kita berjumpa. Kau datang dengan wajah lugu berbalut resah. Dari sana aku tahu kau menahan lapar. Badanmu begitu mungil, aku pun sadar kau masih kecil. Tapi kau sendirian. Ibaku meninggi. Sekecil itu kau sudah berpisah dengan ibumu. Aku langsung mengingat masa kecilku yang selalu ditemani Mama. Sayangnya aku tidak memiliki makanan yang sesuai dengan seleramu. Ah, tidak juga, mungkin kau dapat menerimanya. Kakiku berlari ke tudung saji yang di dalamnya ada ayam goreng. Ibuku mungkin akan marah, jadi aku harap kau tidak memberitahu ibuku kalau aku memberimu ayam. Kau pun memakannya dengan lahap, lalu menghampiriku lagi untuk meminta ayam yang lain. Papa lalu berdiri di belakangku, yang kukejutkan dia mengelus kepalamu. Aku terpana karena kau begitu manja padahal kau ini jantan. Ah, tapi kau memang masih anak-anak. Gimana kalau dibeliin makanan khusus kucing, Pa? saranku. Oke. Papa menerimanya, bahkan setelah itu memberimu nama. Papa memanggilmu Cemaung, aku pun memanggilmu demikian.Lalu setiap pagi sehabis subuh, saat aku harus pergi ke Jakarta demi masa depanku, aku terkejut denganmu yang mengikuti langkahku. Tiba di jalanan komplek aku menunggu angkutan kota melintas, kau lantas duduk di sebelahku dalam diam. Kita tidak saling bicara, tapi aku bersyukur dengan kehadiranmu. Karena kau menemaniku dalam kegelapan subuh yang masih temaram. Angkutan kota itu datang dan aku harus berpindah ke tempat lain. Tanpa kuperintahkan kau pergi pulang ke rumah.
Cemaungku memang ajaib, pantas saja aku jatuh cinta padamu di pandangan pertama.
Published on January 24, 2017 04:16
October 21, 2016
Dae-Ho's Delivery Service Quotes #4

Penasaran dengan novelnya? Kamu bisa dapetin Dae-Ho's Delivery Service di BukaBuku.com, diskon 20 persen lho :D
www.bukabuku.com/browses/product/9786023751648/dae-ho-s-delivery-service.html
Published on October 21, 2016 22:10
October 13, 2016
Bisa Ke Korea Selatan Gratis Berkat Bantuan IndiHome

Tanggal 7 Agustus 2015 lalu itu hari yang nggak terlupakan buat saya. Gimana nggak? Di hari itu saya mendapatan kabar kalau saya menang lomba menulis yang hadiahnya trip ke Korea Selatan. Hari gini siapa sih yang nggak senang dapat hadiah jalan-jalan gratis? Apalagi ini adalah jalan-jalan pertama saya ke luar negeri, jadi ini dreams come true banget buat saya. Terus gimana saya bisa dapetin hadiah jalan-jalan gratis ke Korea Selatan? Waktu itu saya mengikuti ajang kompetisi menulis novel Korea Dalam Kata dan Rasa, Publisher Searching for Author 3 (PSA 3) yang diadakan Penerbit Grasindo (Kompas Gramedia Group) bekerja sama dengan Korean Cultural Center, Korean Tourism Organization, dan Hanin Post. Saya memang sudah lama banget punya hobi nulis novel.






1. Murah meriahKarena saya menggunakan paket internet keluarga, biaya pemakaian per bulannya pun hanya 225ribu rupiah per bulan. Murah banget, kan? :D2. Akses tanpa batasSaya bisa mengakses topik-topik tentang Korea Selatan yang saya butuhkan, dan rata-rata websitenya punya domain Korea Selatan sendiri. Koneksinya pun lancar; risetnya bisa dilakukan dengan detail dan cepat sehingga saya mampu mengumpulkan novelnya sebelum tanggal deadline.3. Satu modem bisa digunakan maksimal 5 gadgetKarena sekarang modemnya bisa digunakan sebagai LAN dan Wi-Fi, sekarang kalau mau kalau online nggak pakai berantem dulu sama adik saya karena jaringannya kini bisa berbagi.4. Keluhan cepat ditanggapiModem internet saya pernah mengalami dua kali kerusakan. Tapi untungnya pihak Telkom bersedia mengganti modem itu dengan modem yang baru esok harinya setelah saya mengajukan keluhan. Ada petugas yang datang ke rumah. Dan penggantian modem ini tidak memakan biaya lho, biayanya sudah masuk ke biaya pemakaian.
Kalau nggak pakai internet IndiHome nggak tahu deh saya gimana jadinya. Nggak mungkin juga saya langsung terbang ke Korea Selatan untuk riset doang karena pastinya kantong kering :’D. Dan ini adalah foto saya ketika sampai di Istana Gyeongbokgung, Seoul. Foto ini diambil oleh teman saya Mbak Zachira :D

Sekarang nulis novel dengan setting luar negeri pun nggak perlu ke negaranya dulu. Cukup andalkan internet saja dari rumah. Dan tentu providernya harus yang memiliki kualitas bagus seperti IndiHome.Saya berharap IndiHome bisa mewujudkan impian-impian indah lain yang dimiliki bangsa Indonesia. Terima kasih banyak IndiHome, kamu membantu saya mewujudkan cita-cita :D. #IndonesiaMakinDigital
Published on October 13, 2016 16:52
September 18, 2016
Transaksi Pakai BCA Flazz Nggak Pake Ribet

Saya paling senang melakukan berbagai macam transaksi menggunakan BCA Flazz. Masih inget waktu itu buru-buru banget ke mini market dekat stasiun. Takut ketinggalan kereta api karena di suara pengumuman keretanya sudah sampai di stasiun sebelumnya. Tapi tenggorokan sudah kering berat, jadi kudu beli minum dulu. Bayar ke kasir untung nggak pake antri. Hampir saja bayar pakai uang 50ribuan karena lagi nggak mau nungguin uang kembalian, pokoknya ingin keluar dari mini market itu secepatnya. Untungnya lagi keinget di tas ada BCA Flazz. Langsung deh keluarin kartu sakti itu. Saya kasih deh kartu itu ke Mas kasirnya. Prosesnya cepat banget tinggal tap! Si Mas kasirnya nggak pakai lama mengembalikan kartu BCA Flazz saya itu. Kemudian saya langsung ngacir karena seperti yang saya tuliskan di atas, saya lagi buru-buru banget. Dari pintu masuk Stasiun Sudirman saya lihat kereta api tujuan Tanah Abang udah datang. Saya pun berlari dengan kartu BCA Flazz masih di tangan. Saya memang sengaja nggak memasukannya ke dalam tas karena kartu ini saya akan gunakan lagi. Saya nggak perlu beli tiket kereta lagi karena sekarang kan mau naik Commuter Line juga bayarnya sudah bisa pakai BCA Flazz. Saya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia pas melihat antrian tiket di sana cukup panjang. Nggak kebayang deh kalau harus beli tiket dulu. Pasti bakal nggak kekejar keretanya. Saya pun tinggal antri saja di pintu masuk. Lagi-lagi tap! Saya langsung berlari menuju peron yang ada di sebelah. Dan … hap! Saya masuk ke dalam kereta api sebelum pintunya tertutup. Alhamdulillah bisa ke Tanah Abang di waktu yang tepat sesuai janji dengan rekan saya. Nggak pakai segala macam drama ketinggalan kereta hehe. Karena saya waktu itu berangkat dari daerah Sudirman dalam waktu yang cukup mepet. Memang saya ngos-ngosan banget pas sampai di dalam kereta api. Tapi untungnya ada minuman di tangan saya, jadinya bisa langsung menghilangkan dahaga dalam sekejap hehe. BCA Flazz pokoknya bisa memudahkan semua urusan saya di hari itu. Jadi kalau mau disimpulkan, ini beberapa hal keuntungan yang bisa saya dapatkan dengan menggunakan BCA Flazz. .

Tinggal tap ke mesin BCA Flazz, semuanya pun selesai. Nggak perlu isi pin. Nggak ada juga yang namanya nungguin uang kembalian. Apalagi yang uangnya receh-receh. Biasanya bakal ribet banget tuh pas lagi bawa banyak barang. Untungnya ada BCA Flazz.

Saya paling sering ke mini market, seperti Alfa Midi, Alfa Mart, Indomaret untuk belanja keperluan sehari-hari. Lalu bepergian ke Jakarta menggunakan kereta api. Di Jakarta juga saya lumayan sering menggunakan Commuter Line dan Transjakarta. Maka dari itu saya jarang antri di loket beli tiket. Paling antri di pintu masuk. Kalau beli tiket dulu bakal antri dua kali, jadi banyak makan waktu dan capek berdiri. Untuk pembayaran saya jadi nggak perlu menyiapkan berlembar-lembar uang di dompet. Tinggal pindahkan saja uangnya ke BCA Flazz. Dengan satu kartu berbagai macam transaksi di atas langsung beres.

Saya paling senang beli buku di Gramedia. Rutin sebulan sekali. Terus setiap belanja suka dapet diskon 10 persen, bahkan kalau lagi ada promo sampai 20 persen. Keren, kan? Itu karena pembayarannya saya menggunakan BCA Flazz. Karena saya adalah pencinta buku, saya jadi rajin beli buku tiap bulan hehe.
So, tunggu apa lagi? Tertarik ingin menggunakan BCA Flazz? Anda bisa membaca informasi lengkapnya di http://www.bca.co.id/id/Individu/Produk/E-Banking/Flazz. Nikmati kemudahan dan kecepatan untuk segala transaksi ^^
Tulisan ini diikutsertakan dalam MY BCA Experience Blog Competition

Published on September 18, 2016 17:12
August 21, 2016
Kembalinya Klan Peri Klan Uzumaki Chapter 19
Kembalinya Klan Peri Klan UzumakiNaruto © Masashi KishimotoThe Lord of The Rings © J.R.R TolkienWarning: Sequel from ‘HEART’. SettingCanon. Semi-Crossover with The Lord of The Rings. Romance/Adventure. A bit Fantasy. OOCPAIRING:
Naru/Saku, Mina/Kushi, Sasu/Hina, Shika/Ino, Kaka/Kure
.Chapter 19
Sasuke’s Rage
.. Kaki Sasuke berpijak pada lantai kayu. Kepalanya sedikit pusing karena perpindahan cepat yang ia lakukan. Ia menyadari ada beberapa orang di sana setelah mendengar lenguhan kaget. Rupanya Sasuke tengah berada di dapur. Matanya memandang mereka nyalang. Tapi Sasuke tidak peduli. Ia mengikuti intuisinya dan segera berlari dari sana. Ia kemudian diserang dari arah samping. Ia diserang dengan jurus andalan Klan Hyuuga dan tidak mampu menahan hingga menghantam dinding kayu yang akhirnya rusak total. “Kau tidak pantas masuk ke sini!” Sasuke bangkit secepatnya. Ia benar-benar marah. Tangannya lalu mencabut pedangnya. Sementara itu anggota Klan Hyuuga lain tiba di sana. Tapi Sasuke tidak gentar. Ia tidak peduli berapa orang yang mencegatnya, ia tetap akan menyelamatkan Hinata dari sini. “Aku tidak punya banyak waktu dengan kalian!” Sasuke lalu menggoreskan pedangnya ke lantai berkayu hingga kayu tersebut mengeluarkan api. Apinya segera membesar dan menyebar ke masing-masing anggota Klan Hyuuga yang melawannya. Mereka menghindar dengan melompat, tapi ternyata api itu seketika padam. Pada saat mereka melihat ke bawah, kepulan asap hitam langsung menguar; menusuk ke mata dan hidung mereka. Sasuke langsung pergi dari sana meski teriakan-teriakan kesakitan menggema di belakangnya. Ia lalu berhenti di sebuah ruangan kosong yang cukup luas. Ia melihat ke seluruh area. Namun ia merasakan ada yang aneh di bawah karena itu matanya mengarah ke sana. Seketika itu dari lantai kayu di kakinya, muncul anggota Klan Hyuuga yang mendorongnya hingga terpelanting ke atap. Mata Sasuke membesar ketika sebuah tangan mencengkram kuat lehernya. Satu tangan lagi menekan bagian dada kirinya dengan kuat. Sasuke menggeram. Lawannya ini bermaksud langsung membunuhnya! Sasuke dengan sigap memanaskan tubuhnya sendiri. “Aarrg!” Lawan Sasuke itu meluncur ke bawah karena kepanasan. Sasuke juga ikut meluncur, namun ia berhasil melakukannya tanpa terpelanting ke lantai berkayu. “Ugh!” Sasuke memegang bagian dadanya yang masih sakit. Ia memang tidak bisa meremehkan kekuatan Klan Hyuuga. Mereka hanya menggunakan tangan, tapi jika terlambat tadi kekuatannya bisa menghentikan detak jantungnya dalam sekejap. “Mati kau!” Sasuke melihat ke arah teriakan itu. Sekarang lebih banyak lagi anggota Klan Hyuuga yang menyerbunya. Ia berlari cepat ke arah dinding, lalu menaikinya untuk menghindari serangan. Ia lantas melakukan salto dan kembali turun ke lantai. Di depannya ada seorang Klan Hyuuga yang kalah cepat dengannya. Sasuke mencengkram kepala lawannya itu kemudian membenturkannya ke dinding kayu hingga kayunya hancur. Sasuke menyadari serangan yang hadir di belakangnya. Ia pun tiarap dan meluncur di antara kaki-kaki para anggota Klan Hyuuga. Ia berdiri di antara mereka dan berputar sembari menggoreskan pedangnya ke lantai. Serpihan kayu kecil lantas menyerbu para Klan Hyuuga dan meledak seperti bom bertenaga kecil. Para Klan Hyuuga pun langsung runtuh dikarenakan asap beracun yang mengitari mereka. Sasuke pun lekas keluar dari sana sembari menutup hidungnya dengan lengan. Pandangannya beredar di sekitar area lapangan penuh batu yang kosong itu. “Hinata…! HINATA!” teriak Sasuke frustasi. Namun ia kembali mendapatkan firasat. Sebelum ada Klan Hyuuga yang menyerangnya lagi, ia pun memilih masuk ke ruangan seberang. Sepi. Tapi Sasuke bisa merasakan ada sesuatu di sana. Sasuke berputar di tempat. Memperhatikan lantai kayu dengan mata nyalang. Ia lekas menghentakkan satu kakinya ke lantai. Lantainya seketika hancur. Sasuke pun terperosok ke bawah, namun hal ini sudah ia tebak sebelumnya sehingga ia meluncur dengan sempurna. Sasuke disambut oleh ruangan dengan pencahayaan minim. Ia terbatuk-batu karena debu yang bertebaran. Matanya kembali mengedar ke ruangan bawah tanah itu. Kemudian matanya membesar ketika menemukan sosok yang terbaring di lantai. “Hinata!” Akhirnya Sasuke menemukan Hinata. Ia langsung terduduk di samping gadis berambut biru keunguan itu. Tangan Sasuke bergetar menyentuh tangan Hinata. Ia masih bisa merasakan denyut nadi di sana, tapi itu tidak menghentikan kekhawatirannya. Mata Sasuke membesar ketika menyadari ada darah yang mengalir dari dahi Hinata. Tangan Sasuke mengurai rambut yang menutupi bagian itu. Sasuke menggigit bibirnya kuat-kuat. “Ini lambang penghinaan.” Sasuke memejamkan matanya. Ia menahan amarahnya agar tidak meluap lebih besar, Rasa-rasanya ia ingin membakar tempat ini seluruhnya. Tapi ia menahan diri. Semakin emosinya meledak, semakin panas suhu tubuhnya. Sasuke berusaha mengontrolnya. Semata-mata agar Hinata tidak terkena panas amarahnya juga. Sasuke lalu menaruh katananya di punggung. Setelah itu ia menggendong Hinata ala pengantin. Ia paham, ia harus segera keluar dari sana karena Hinata butuh pertolongan. Ia pun kembali ke ruangan atas. Ternyata sudah ada segerombolan Klan Hyuuga yang menunggunya di sana. Sasuke menatap mereka satu per satu. Tatapan penuh kebencian. “Biarkan aku pergi,” ujar Sasuke menahan amarahnya. “Aku akan memaafkan kalian.” “Asal bicara! Harusnya kau yang harus meminta ampun pada Klan Hyuuga karena mengusik klan ini!” seru salah satu tetua Klan Hyuuga. Sasuke melihat ke arah tetua Klan Hyuuga. “Aku sangat ingin membakar kalian, kalian tahu?” ujarnya dengan geram. Anggota Klan Hyuuga langsung siap dengan kuda-kudanya. Bulu kuduk mereka langsung merinding mendengar ucapan Sasuke yang tampak serius, “Kalau begitu Klan Uchiha memang harus ditumpas sampai akhir. Klanmu adalah klan pembuat onar dan pembawa bencana!” Sasuke membenarkan posisi Hinata di gendongannya. Ia lantas menggigit jarinya hingga berdarah, lalu merunduk. Tangannya menghentak ke lantai. “Kuchiyose no jutsu!” Di lantai itu langsung muncul lingkaran merah. Lalu seketika terdengar bunyi seperti bom meledak. Ada sesuatu yang muncul dari atas dan turun ke sana dalam waktu yang singkat. Seluruh anggota Klan Hyuuga terpental dari tempatnya. Debu dan asap berkumpul di sana. Setelah debu dan asap itu agak hilang mereka tersentak ketika melihat apa yang ada dihadapan mereka. “Hewan apa itu? Besar sekali!” “Monster!” “Bagaimana cara kita mengalahkannya?!” Namun salah satu tetua tampak terhenyak saat mengenal burung raksasa itu. “Bukankah dia ini hewan legenda Suzaku? Jadi dia benar-benar eksis di dunia ini?” Anggota Klan Hyuuga mulai panik. Mereka kembali berdiri, namun mundur beberapa langkah ketika mendengar Suzaku melengking sembari merentangkan kedua sayapnya. Tubuh Suzaku diselimuti api saat itu. Membuat udara di sekitarnya jadi panas dan memerah. Sasuke lantas berdiri di atas punggung Suzaku. Sementara Hinata masih dipeluknya dengan erat. “Klanku memang mengerikan dan jahat karena ingin menguasai Konoha dengan aturannya sendiri, tapi…” Mata Sasuke yang awalnya hitam kini memerah “…kalian sama saja dengan Klan Uchiha! Kalian berani melukai anggota klan kalian demi martabat yang sangat kalian bangga-banggakan itu! Bahkan untuk tujuan yang tidak punya alasan kuat!” Bersamaan dengan itu Suzaku terbang perlahan. Sementara semakin merah mata Sasuke, semakin merah pula pemandangan di depannya. Rumah Klan Hyuuga dilalap api. “Kita kembali, Suzaku,” perintah Sasuke yang kini sudah terduduk. Suzaku dengan cepat meluncur ke angkasa... Tsunade baru tiba di lokasi di mana keributan yang ia dengar dari kejauhan berasal. Ia ke sana bersama Sakura, dan beberapa ANBU. Mata Tsunade melebar ketika melihat si jago merah menari di wilayah rumah Klan Hyuuga. Apinya begitu tinggi. Di sana begitu banyak orang-orang berlalu-lalang sambil membawa ember. Menyirami api yang berkobar agar cepat padam. “Siapa yang membakarnya? Apa sebenarnya yang terjadi?!” wajah Tsunade berubah berang. Ia lalu berani mendekat ke gerbang markas Klan Hyuuga. “Cepat padamkan apinya! Panggil shinobi pengendali air!” “Tapi ini akan memakan waktu, Shisou! Biar saya saja yang memadamkannya!” seru Sakura. “Hah? Memang kau bisa menggunakan jurus elemen air?!” namun pertanyaan Tsunade itu tidak digubris oleh muridnya yang sudah berada di dahan pohon yang cukup tinggi. Sakura menatap rumah Klan Hyuuga dengan wajah prihatin, namun ada keanehan di sana. Ia bisa merasakannya. “Ini … bukan api yang biasa kulihat. Dari dunia lain ya?” Tapi Sakura tahu bukan hal itu yang harus ia pikirkan sekarang. Ia menyatukan kedua tangannya di dada. Lalu direntangkan tangannya ke depan membentuk segitiga. Api yang menari di sana pun perlahan mendatangi Sakura dan berkumpul di tangannya. “Apa yang Sakura lakukan?” Tsunade menatap muridnya dengan melongok. “Aku tidak pernah mengajarkan jurus seperti itu padanya.” Ia langsung mengingat bahwa ini pertama kalinya ia melihat jurus asing itu. Sakura lalu menutup api itu dengan kedua tangannya. Ketika tangannya membuka, apinya sudah menghilang. Ia mengembuskan napas perlahan. “Tanganku jadi agak kepanasan.” Ia lalu turun ke bawah. “Tsunade-sama! Syukurlah Anda ada di sini! Hiashi-sama butuh pertolongan Anda. Ia lumpuh karena diracun oleh para tetua kami!” salah seorang pengawal setia Hiashi menghampiri Tsunade. “APA?!” Tsunade benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Namun ada Shizune yang baru tiba di sana. “Tsunade-sama! Para Kage sudah berkumpul di menara! Mereka menunggu Anda.” Tsunade bolak-balik memandangi si abggota Klan Hyuuga dan Shizune. Ia jadi bingung mana yang harus ia lakukan terlebih dahulu... Akhirnya Sakura yang mengurus dan mengobati Hiashi. Mereka kini sedang berada di rumah sakit. Ia menatap Hiashi yang sedang memandang atap kamar tersebut dengan tatapan kosong. “Kalau saya boleh tahu, apa yang sebenarnya terjadi, Hiashi-sama?” Hiashi mengembuskan napas panjang. “Bisakah kau bilang pada Tsunade-sama untuk memenjarakan semua tetua Klan Hyuuga?” ia malah bertanya hal lain. Namun Sakura menanggapinya. “Tapi semua tetua Klan Hyuuga terluka parah.” Ia menyuntik Hiashi dengan obat penghilang racun. “Ah ya, si Uchiha itu yang melakukannya. Dia juga sudah membawa Hinata pergi.” Mata Sakura melebar mendengarnya. Tentu saja ia tahu siapa Uchiha yang dimaksud oleh Hiashi, “Apa yang terjadi dengan Hinata?” karena ia paham Sasuke melakukannya dengan alasan kuat. “Para tetua brengsek ini menyegel kekuatan Hinata. Entah ke mana Uchiha itu membawanya.” Sakura tampak berpikir. Ia dapat melihat wajah Hiashi yang seketika berubah muram. Ia lantas tersenyum kecil. “Kalau begitu Hinata pasti berada di tempat yang aman. Anda tenang saja, Hiashi-sama.” “Ya, tapi tetap aku tidak mampu melindunginya,” mata Hiashi lama-lama terpejam karena pengaruh obatnya. Sakura lalu keluar dari sana, tidak ingin mengganggu Hiashi. Ia lalu keluar dari rumah sakit itu. Sepertinya ia harus berkunjung ke suatu tempat. Ia kini berdiri di pekarangan rumah sakit yang tampak sepi. Matanya terfokus ke depan. Setelah itu muncul cahaya pelangi yang memutar di depannya. Sakura pun menghilang bersamaan dengan hilangnya cahaya itu... Kushina menatap Hinata dengan wajah prihatin. Matanya lantas menatap Sasuke yang berada di seberangnya, berdiri di samping kasur di mana Hinata terbaring. Ia bisa melihat mata Sasuke yang agak memerah. “Sasuke, Hinata sudah melewati masa kritis. Terima kasih karena kau membawanya ke sini dalam waktu singkat.” Ia lalu menatap Naruto, memberikan sinyal pada anaknya untuk melakukan sesuatu pada Sasuke. “Ayo, Brengsek! Kita pergi dari sini!” ujar Naruto yang kemudian menarik kerah obi Sasuke. “Apa maumu, Bodoh?!” Sasuke jadi marah dan ruangan itu jadi tambah panas. “Ck! Aku pergi dulu, Kaa-sama!” teriak Naruto sebelum ia menghilang dengan jurus ruang hampanya, membawa Sasuke pergi dari sana. Setelah Naruto dan Sasuke menghilang dari sana, Kushina mengelap keringat yang ada di dahinya. “Sasuke benar-benar cepat beradaptasi dengan kekuatan Suzaku. Tapi ia sulit mengontrol emosinya sampai membuatku kepanasan begini.” “Dia benar-benar mirip dengan Akio,” Miyazaki yang ada di sana juga hanya geleng-geleng kepala. Melihat perilaku Sasuke, Miyazaki jadi teringat akan Uzumaki Akio, anak dari Rikudou Sennin yang membuat kekacauan di dunia manusia saat ini. “Jika Sasuke bisa mengendalikan apinya dengan benar, kekuatannya itu akan sangat membantu kita di perang nanti.” “Hm,” hanya itu tanggapan dari Miyazaki. Mata Kushina berputar melihat ekspresi malas ayahnya. “Ada tidak akan membantu kita dalam peperangan ini?” “Untuk apa? Lagi pula bantuanku belum tentu bisa membuat pihakmu akan memenangkan perang ini.” Dahi Kushina mengerut. “Aku tahu Ada orang yang jujur. Jadi, apa yang Ada lihat tentang peperangan ini? Apakah ada yang Ada tidak beritahukan padaku?” “Saranku kalian harus bisa membunuh para iblis itu. Disegel saja tidak cukup. Lagi pula kekuatan Naruto tidak akan mampu menyegel bijuu dan dua iblis itu secara bersamaan.” Miyazaki yang tadi baru saja memberikan pertolongan pertama pada Hinata kini berdiri dengan tegak. “Mereka melakukannya dengan kasar. Hinata pasti berusaha melawan. Pantas saja dahinya terluka seperti ini.” Kushina menghela napas panjang. “Ini benar-benar berat bagi Naruto. Kalau begitu apa kau tahu bagaimana caranya membunuh kesembilan iblis itu?” Miyazaki menatap Kushina agak lama tanpa mengeluarkan kata-kata... Madara memandangi Kabuto dengan ekspresi tidak percaya. Mata sharingan-nya berkilauan. Di depannya berdiri Sembilan Iblis Berjubah Hitam yang mengeluarkan bau sangat busuk. “Kau benar-benar sinting.” Kabuto menyeringai. “Pada dasarnya kesembilan iblis ini adalah budak iblis terjahat di zaman dahulu. Jadi mereka mudah patuh pada kekuatan jahat yang begitu besar.” Ia memandangi Madara dengan mata nyalang. “Dan kekuatan itu adalah Anda, Tuan Madara.” “Bedebah,” Madara tidak suka dipuji secara berlebihan seperti itu. Ia tidak butuh menjadi penjahat dengan kekuatan hebat, ia hanya ingin menghancurkan semua hal yang pernah merenggut kebahagiaannya dulu. Yang sangat ia ingin bangun bersama Hyuuga Hikari. Namun ia kemudian terbahak-bahak, tawa yang begitu nyaring dan sebenarnya mengandung kepedihan di dalamnya. “Jadikan mereka sebagai pasukan utama. Aku ingin menjadikan dunia ini hancur dan tidak ada manusia yang tersisa.” Kabuto sedikit terkejut mendengarnya. “Tapi sepertinya aku tidak ingin menjadi bagian dari manusia-manusia itu.” “Siapa bilang kau akan mati? Memangnya kau masih bisa dibilang sebagai manusia?” Madara menjawabnya dengan geraman. Kabuto hanya tertawa dengan nyaring saat mendengarnya... Naruto dan Sasuke muncul di pinggir laut yang ada di Lembah Air. Tangan Naruto masih mencengkram kuat obi Sasuke. Ketika Sasuke tampak linglung sejenak, ia menjadikan kesempatan ini untuk menendang Sasuke hingga tercebur ke laut. Sasuke melenguh kencang. Air di laut itu ternyata sedingin es, padahal tidak ada satu pun es di sana. “Sialan kau, Bodoh! Kau ingin membunuhku, hah?!” “Kau—kau! Coba lihat matamu itu! Kau juga nyaris membuat seluruh Uzumakigakure kepanasan!” Sebenarnya yang terasa panas hanya di kamar tempat Hinata berada, Naruto hanya melebih-lebihkannya. Naruto melihat Sasuke sudah sedikit tenang. Terlihat dari sorot matanya yang tidak segarang tadi. “Hinata baik-baik saja, tahu! Kau ingat tadi? Ibuku bilang kau menolongnya dalam waktu yang tepat.” “Tapi jika aku terlambat, Hinata tidak akan bisa lagi menggunakan kekuatan ninjanya,” Sasuke ternyata masih tampak syok dengan kenyataan itu. “Tapi kan kau tidak terlambat, Brengsek!” Naruto geleng-geleng kepala. Baru melihat Sasuke yang tampak panik seperti ini. Namun sepertinya ia jadi mengerti akan satu hal. “Lalu mengapa mereka berbuat mengerikan seperti itu pada Hinata? Itu pasti gara-gara aku. Mereka takut aku seperti Madara. Tapi kenapa harus Hinata? Kenapa tidak langsung menyerangku saja?” Sasuke menatap entah ke mana. Naruto melongok sejenak. Tapi kemudian ia tersenyum tipis. “Kau sepertinya tidak tenang karena merasa tidak bisa dekat dengan Hinata.” Sasuke mendongak. Ia menatap Naruto dengan ekspresi kesal. “Apa maksudmu? Kau jangan sembarangan menyimpulkan!” Naruto berkacak pinggang. “Ayo, mengaku saja, Brengsek! Kau jangan malu-malu begitu!” Sasuke menyibak air ke arah Naruto. Naruto menghindarinya dengan mudah. “Kau sendiri malah sering bertengkar dengan Sakura! Aku sangat tahu kau mencintainya! Kau juga menyadarinya Sakura sangat perhatian denganmu!” Naruto terdiam sejenak. Ekspresinya berubah datar. “Aku tidak mencintai Sakura lagi kok.” “Heh, ekspresi apa itu? Bagaimana bisa kau secepat itu melupakannya?” Sasuke entah mengapa jadi ikutan ngotot pada Naruto. “Kalau aku tetap mencintai Sakura, aku tidak akan bisa menyegel bijuu ke tempatnya kembali,” jawab Naruto dengan nada berat. Dahi Sasuke mengerut. Ia tidak begitu paham dengan apa yang Naruto maksudkan. Sementara itu tanpa Sasuke dan Naruto ketahui, di dahan pohon yang tidak jauh dari pinggir laut itu ada seorang kunoichiyang mendengar percakapan mereka. Sakura bersandar di dahan tersebut. “Jadi seperti itu…. Kau tidak mencintaiku lagi karena alasan itu….” Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Berusaha memahami semua ini dengan lapang dada... “Jadi seperti itulah yang bisa kusampaikan. Selebihnya aku berharap kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh terkuat dari yang pernah ada ini. Perang besar sudah di depan mata dan mereka punya kekuatan mengerikan.” “Apa benar hanya menyegel bijuu-bijuu itu semuanya akan selesai, Tsunade-sama?” Tsuchikage tampak shock dengan kenyataan ini. “Aku tidak tahu pasti. Musuh kita sangat kuat. Kita masih belum tahu apa kelemahannya. Tapi kita harus tetap bersiap-siap,” jelas Tsunade. Gaara memejamkan matanya sejenak. Ia juga kehilangan beberapa shinobi secara misterius baru-baru ini. Keadaan mereka hampir sama dengan rata-rata shinobi yang diserang oleh makhluk misterius. Tinggal tulang-belulang dan mengeluarkan bau yang sangat busuk. “Kalau begitu apa yang harus kita lakukan? Apakah Anda sudah yakin musuh akan menyerang Konoha?” Tsunade memandangi Gaara sejenak. Kage termuda itu tampak berwibawa meski seumuran dengan Naruto. Ia pun mengangguk. “Karena target musuh adalah Konoha. Ia punya dendam kesumat pada Konoha.” Raikage yang tubuhnya masih diperban menggeram. “Aku rasa dengan membunuh Uchiha keparat itu semuanya akan beres. Klan mereka memang biang tragedi dan bencana.” Tsunade menatap Raikage dengan wajah datar. “Tapi Sasuke ada di pihak kita. Ia akan sangat membantu di perang nanti.” Wajah Raikage mengeras. Tapi ia tidak memprotes lagi. Saat perang nanti ia yang akan mengadakan perhitungan secara langsung dengan Sasuke. “Tapi bukan untuk menakuti. Aku merasa akan ada sesuatu yang sangat buruk terjadi. Akan ada banyak korban yang berjatuhan.” “Maka dari itu sebaiknya peringatkan penduduk kalian tidak keluar desa. Sementara itu mulai besok aku akan mengevakuasi warga Konoha ke tempat yang aman.” Tsunade menatap ke luar jendela. Langit di sana agak mendung. Seolah-olah memberi tahu bahwa hari buruk itu akan datang... Sasuke menatap langit-langit di atasnya dengan mata terbuka. Malam itu, ia telah kembali ke rumah barunya di Lembah Api. Menempati bangunan kuil api seorang diri, Setelah diceburkan di laut milik Genbu, Sasuke tidak pernah lagi berkunjung ke Rumah Besar Uzumakigakure. Memikirkan Hinata saja sudah membuatnya sesak. Jika ia dekat dengan Hinata sepertinya marabahaya selalu mengintai gadis itu. Sasuke akhirnya memutuskan bangun dari rebahannya. Ia keluar dari kuil itu. Matanya langsung tengadah ke langit. Ia takjub saat menyadari ada cahaya warna biru yang terlihat mencolok di langit hitam sana. “Ini planet ya? Tapi terang sekali.” Ia lalu memutuskan untuk mencari udara segar sejenak... Dahi Sasuke mengerut, tidak menyangka ke mana kakinya akan membawanya ke bangunan megah di depannya. Ia memijat dahinya sendiri. “Kenapa aku malah ke sini?” Ia tiba di bagian timur Rumah Besar Uzumakigakure. Di sana ia melihat ada bangunan paviliun serba kaca yang berdiri berdekatan dengan laut. Ia menghela napas panjang dan membalikkan badan. “Hinata mencarimu tahu.” Sasuke lekas menengok ke belakang. “Mengagetkanku saja. Jurus andalanmu itu bisa membuat orang jantungan, Bodoh!” Naruto tertawa. “Salah sendiri yang tidak awas terhadap daerah di sekitarmu. Kau boleh saja mengunjungi Hinata, tapi tunggu sekitar dua jam lagi. Sebentar lagi matahari akan terbit.” “Oh ya?” Sasuke kira ini masih pertengahan malam. “Apa kau tidak merasa aneh dengan planet di atas? Terang sekali.” Tunjuk Sasuke pada cahaya berwarna biru muda itu. “Namanya Earendiru. Dia itu bukan planet, tapi bintang langka. Hanya bisa tampak di sini. Kau tidak akan bisa melihatnya di tempat manapun, kecuali di Uzumakigakure.” “Pantas saja. Memang bukan bintang biasa.” Naruto tersenyum sembari memandangi bintang kesayangannya itu. “Ia akan ikut berperang nanti. Kau jangan kaget yang melihat kekuatannya.” Sasuke memandangi Naruto dengan keheranan. “Bintang itu punya kekuatan?” Naruto mengangguk. Lantas sekelebat sosok berambut merah jambu muncul di pikirannya. Dada bagian kirinya tiba-tiba sakit. Ia hanya menggigit bibirnya, tidak mau Sasuke mengetahuinya. Ia tahu ini adalah peringatan. Jika ia kembali merasakannya, maka semua yang ia usahakan selama ini terancam menjadi sia-sia. “Hei, Brengsek. Kau mau latihan bertarung bersamaku?” “Haah, kau serius?” Sasuke memandangi Naruto dengan remeh. Naruto geleng-geleng kepala. “Lihat wajahmu itu. Benar-benar bikin muak.” “Kalau begitu boleh saja. Kita lihat siapa yang paling kuat,” Sasuke menyeringai. Bibir Naruto miring sebelah. Ia lantas menyentuh bahu Sasuke. “Baiklah, sebaiknya kita berpindah tempat.” Ia lantas berpindah ke wilayah tengah hutan Uzumakigakure. Di tengah hutan itu terdapat lapangan kosong yang luas. “Aku benar-benar penasaran dengan kekuatanmu yang sesungguhnya, Bodoh.” Naruto menghela napas. “Sepertinya aku membutuhkan bantuan Rin-san untuk memperbaiki wilayah ini kembali nanti.” “Baiklah,” Sasuke memejamkan mata. Angin subuh di sana bertiup dengan kencang. Ia lantas terbang cepat ke belakang dengan tetap menghadap depan. Mulutnya langsung menyemburkan bola api kecil yang sangat banyak. Naruto memutar tangannya kanannya. Menciptakan perisai angin yang menjadi tamengnya dari serangan mendadak Sasuke itu. Tapi perisai itu tidak bisa memadamkan apinya. Api yang menyerang perisai, malah membesar di sekitarnya. “Melawan api memang merepotkan,” Ia lantas melompat ke atas. Tangannya mengibaskan perisai yang menyatu dengan api itu ke arah Sasuke. Sasuke awalnya mengira bahwa api itu tidak akan melukai tubuhnya. Tapi ia bisa meraskan goresan yang dibuat pecahan perisai api dan angin yang menyatu itu di lengannya. “Aku tidak kebal terhadap kekuatan angin ya?” Ia pun salto beberapa kali di belakang. Sasuke lantas mencabut pedangnya dari tempat, kemudian mengibaskannya ke arah pecahan perisai itu. Gesekan antara pedang dan perisai memunculkan asap hitam yang tebal di sini. Pohon-pohon subur di sekitarnya lama-kelamaan jadi layu. Naruto yang menyadari hal itu langsung menghindar dengan melompat tinggi ke langit. “Kasihan pohon-pohonnya.” Ia lantas membuat rasenshuriken mini di tangan. Senjata andalannya itu ia lempar ke arah Sasuke dan langsung membuat ledakan yang sangat dahsyat. “Ups, aku terlalu besar membentuk rasengannnya ya?” “Jadi tidak masalah ya jika tempat ini bisa hancur-lebur?” Sasuke muncul di belakang Naruto. Naruto yang menatap ke belakang dengan tenang. Ia lantas berputar; berniat menghadiahi Sasuke dengan tendangan. Namun ternyata Sasuke menangkisnya dengan tendangan pula. Ia lalu mengayunkan tangannya untuk menghajar kepala Sasuke. Sasuke menghindarinya dengan cepat dan menyerang Naruto dengan sikunya ke arah wajah. Dengan cekatan Naruto menangkis dengan lengannya. Tapi saat itu pula Sasuke memanaskan tubuhnya. “Au! Panas! Sialan kau, Sasuke!” Naruto berusaha menghindar. Namun Sasuke menahannya agar tidak lari. Ia pun terpaksa membiarkan tubuhnya terjun ke bawah. “Kenapa, Bodoh? Kau sudah menyerah?!” Sasuke menyeringai. Ia benar-benar menyukai kemampuan barunya itu. Membuat tidak sembarang orang bisa mendekatinya. “Benar-benar merepotkan,” Naruto meniru perkataan Shikamaru. Ia membiarkan tubuhnya nyaris terjun ke tanah. Namun sebelum itu, ia menendang perut Sasuke hingga terpental. Ia berpindah ke tempat lain, sementara ada kagebunshin-nya yang menyerang Sasuke tiba-tiba dengan membawa rasengan di tangan. Sasuke tengah lengah. Namun dengan cepat ia menyiapkan pedangnya. Di saat itu pula pedangnya menjadi semerah api dan menyerang kagebunshin Naruto dengan memanjangkan diri. Naruto yang melihatnya dari bawah menepuk dahinya sendiri. “Ternyata dia bisa juga memanipulasi apinya menjadi pedang.” Sasuke lalu turun ke bawah tepat berada di depan Naruto. Ia menusukkan pedangnya ke perut Naruto. Naruto bisa menghindari dengan cepat. “Meleset!” seru Naruto. “Siapa bilang aku meleset?” Sasuke tersenyum curang. Saat itu Naruto terkejut ketika melihat pedang merah Sasuke itu bercabang ke arahnya. Ia berusaha menghindar dengan berputar ke belakang. Namun ternyata pedang itu bisa bercabang jadi dua, Naruto juga mendapatkan serangan dari belakang. Ia lantas menggunakan jurus ruang hampa untuk berpindah tempat beberapa meter dari Sasuke. Karena dilakukan mendadak, ia tidak bisa berpindah jauh-jauh. “Ck, kau benar-benar berniat membunuhku ya,” keluh Naruto. “Sejak awak aku tidak menganggap pertarungan ini main-main.” Sasuke mengucapkannya dengan serius. “Dan kau, aku tahu kau tidak mengeluarkan seluruh kemampuanmu. Kau jangan meremehkanku, Bodoh!” Sasuke kembali menyerang Naruto dengan pedang andalannya. Naruto susah-payah menghindar karena serangan itu bisa datang dari mana saja. Ia harus berkonsentrasi. Sementara itu tanpa mereka sadari ada Sakura dan Hinata yang berdiri agak menjaga jarak dari sana. Mereka baru tiba untuk mencari angin segar. Dahi Sakura berkedut ketika melihat pemandangan di depannya yang hancur lebur. Pepohonan tumbang dan tanahnya bergelombang tidak beraturan. “Apa-apaan mereka?! Masih pagi begini sudah bertarung!” “Em,” Hinata tidak tahu harus berkata apa karena tidak menyangka akan melihat yang seperti ini. “Padahal aku mengajakmu keluar untuk mencari udara pagi yang segar. Tidak tahunya malah seperti ini.” Sakura menggeram. “Ke-kenapa Sasuke-kun dan Naruto-kun bertarung? Mereka hanya latihan saja, kan?” Hinata jadi khawatir. Ia memperhatikan Naruto yang membuat beberapa kagebunshin dan menyerang Sasuke dengan bersamaan. Namun yang mengejutkannya, Naruto membuat rasenshuriken. Hinata lantas menutup mulutnya. “Astaga, Sakura! Sepertinya mereka tidak sedang latihan!” Naruto lantas terbang tinggi dan melemparkan rasenshuriken-nya dari atas. Senjata andalannya yang mematikan itu melesat cepat ke arah Sasuke. “Eh?! Kau bisa membunuh Sasuke, Naruto!” teriak Sakura yang hendak berlari menuju ke dua rekan setimnya itu. Lalu terdengar suara ledakan membahana. Area sana pun dikerubungi cahaya biru. Membuat Sakura terpaksa berbalik arah lagi menuju Hinata, takut gadis itu kenapa-napa. Naruto mendarat di tanah dengan perlahan. Kedua alisnya terangkat. “Eh? Sasuke tewas ya?” Ia tidak dapat melihat karena area itu dipenuhi dengan debu. “Tentu saja tidak, Super Bodoh!” terdengar teriakan Sasuke di balik debu-debu itu. Lalu dari sana melesat ratusan cabang pedang yang mulai menyerang Naruto. Naruto menghindarinya dengan menari di udara. Ia penasaran mengapa Sasuke bisa selamat. Matanya menyipit ketika mengetahui alasannya. Di depan Sasuke ternyata berdiri Suzaku dengan gagahnya. “Cih! Pantas saja.” Naruto tertawa lantang sembari menghindari pedang-pedang api itu. “Kau bisa mengalahkan ratusan musuh sekali tebas dengan kekuatan ini. Aku juga sebenarnya bisa memanggil para dewa itu sih,” kemudian matanya menyipit. “Cuma mereka tidak akan sudi melindungiku seperti itu.” Naruto lantas mendarat di tanah. Tangannya ia kibaskan ke depan sehingga membentuk perisai angin yang melindunginya dari serangan Sasuke. Namun lagi-lagi api yang dihasilkan di pedang Sasuke jadi menyebar. Membuat Naruto sampai menunduk. “Naruto!” Sakura yang melihat Naruto terdesak jadi khawatir. Ia lantas membuat keputusan. Dari tempatnya, ia memfokuskan pikiran pada api itu. Ia berniat memadamkannya dengan kekuatan ‘barunya’ itu. Tapi sepertinya untuk kali ini hal tersebut tidak berhasil dilakukan. Apinya malah semakin membesar. “Ah, sial! Aku terlalu panik!” Naruto melenguh saat apinya semakin membesar. “Dasar, Brengsek! Baiklah aku tidak akan menahan diri lagi.” Ia lantas menghentikan perisai anginnya. Saat itu api Sasuke semakin membesar. “Heh, ini akibatnya jika kau hanya bermain-main denganku,” geram Sasuke. Namun matanya lantas membesar. Ia merasakan bulu kuduknya berdiri. Pandangannya fokus pada satu tempat. Api yang ia ciptakan telah padam. Di depannya semuanya jadi serba biru. Suzaku yang melihatnya langsung panik. “Ugh, aku tidak menyangka ia bisa mengeluarkan kekuatan ini. Sasuke-sama, aku pamit dulu dari sini.” “Eh, tunggu—” Tapi Suzaku sudah keburu minggat dari sana. Pandangan Sasuke kembali pada Naruto. Saat itulah Sasuke merasakan bahwa ia sedang berada di luar angkasa. Pemandangan di sekitarnya terasa gelap. Ia dikelilingi oleh ribuan planet yang berwarna biru. Hanya itu yang ia rasakan dan ia lihat sejauh mata memandang. Tiba-tiba dirinya merasa sesak. Tidak ada sudut lain untuk lari. Mata Sasuke membesar saat melihat sosok Naruto yang berada di pusatnya. Sakura yang berada di tempatnya pun jadi kelu. Sementara Hinata menutup mulutnya dengan tangan. “Naruto-kun!” Sasuke lantas terduduk di tanah tanda menyerah. Setelah itu keadaan kembali normal. Pemandangan di sekitarnya kembali menjadi Uzumakigakure yang ia kenal. Ia tidak menyadari dahinya jadi penuh dengan keringat. Naruto yang baru saja mengeluarkan jurus pamungkasnya itu pun berkacakpinggang. Ia nyengir lebar melihat Sasuke sampai shockseperti itu. “Jadi pemenangnya aku, kan?!” “Heh,” Sasuke lantas berdiri dan berlari cepat ke arah Naruto. “Super Bodoh yang bodohnya tidak terkira! Kau mau membunuhku, hah?! Kau mau menghancurkan tempat tinggalmu dalam sekejap! Jangan sok pamer ya!” Ia sudah siap-siap ingin meninju Naruto. Naruto hanya bisa menggeleng seraya cekakakan. “Aku memang paham kau ini memang sulit mengakui kekalahan hahaha!” Ia pun menyiapkan tangannya untuk menghajar Sasuke. “Aku benar-benar tidak tahan lagi.” Sakura lantas memutar telapak tangannya ke depan. Saat itu pula Sasuke dan Naruto menghajar wajahnya dengan tangan mereka sendiri. “Sakit!” seru Naruto “Argh!” begitu juga dengan Sasuke. Naruto lantas mengusap pipinya yang seketika membengkak. “Sialan kau, Sasuke! Apa yang kau lakukan padaku?!” “Kau pikir aku peduli?! Sakitnya hidungku ini lebih parah darimu!” Sasuke memang tadi malah menghajar hidungnya sendiri. Sakura yang berada di tempat tersenyum licik. “Berhasil juga akhirnya.” “Pokoknya aku benar-benar kesal sekarang! Hyaaa!” Naruto kembali akan melayangkan tinjunya pada Sasuke. “Kau pikir aku ini tidak tahu akal bulusmu?!” Sasuke mengayunkan tendangan pada Naruto. Namun pada akhirnya Naruto malah meninju dagunya sendiri. Sementara Sasuke kakinya terangkat ke atas, membuat ia seperti habis terpeleset. Ia jadi jatuh ke tanah. “Kenapa aku malah menyerang diriku sendiri?!” keluh Naruto. “Bagaimana bisa tanah di sini jadi licin?!” Sasuke jadi ikut frustasi. Hinata bolak-balik memandangi medan perang Sasuke dan Naruto, lalu ke Sakura yang terpingkal-pingkal hingga memegangi perutnya sendiri. Ia juga tidak mengerti apa yang terjadi. Sasuke berdiri sambil mengerang kesakitan. Sementara Naruto mengelap darah yang muncul di sudut bibirnya. Rupanya mereka belum menyerah juga, malah kembali berhadapan lagi untuk menyerang satu sama lain. “Mereka ini memang sulit dilerai!” Sakura pun ikut berlari ke arah dua rekannya itu. Sebelum mereka melancarkan serangan ia tiba-tiba muncul di tengah. Kedua tangannya menarik bagian belakang leher Sasuke dan Naruto, kemudian didekap dengan erat. Ia lantas tertawa dengan lantang. Sakura memeluk Naruto dan Sasuke secara bersamaan dengan kedua tangannya itu. “Senangnya jika seperti ini. Kalian jadi terlihat lebih akrab!” Sasuke sampai melongok karena Sakura yang tiba-tiba hadir di sana. Sementara Naruto terlihat sewot. “Kenapa kau bisa di sini?!” “Diam!” “Aaak!” Naruto berteriak kesakitan ketika tangannya malah menampar pipinya sendiri. Ia tentu langsung menyadarinya. Ia melihat Sakura dengan mata yang nyaris keluar dari rongga. “Yang benar saja! Kau bisa mengendalikan orang lain sekarang?! Ibuku memang payah. Kenapa kau harus punya kekuatan seperti itu?!” protes Naruto pada Sakura. “Dan… DAN SEJAK KAPAN KAU BISA MASUK KE SINI TANPA BANTUANKU?!” Sakura hanya menjulurkan lidahnya pada Naruto. “Yang penting kalian berdua punya kekuatan yang hebat. Aku yakin kita akan berhasil di peperangan ini!” Sakura berjingkrak kegirangan. Kedua tangannya masih melingkar di leher Naruto dan Sasuke. Hinata yang melihatnya dari kejauhan tersenyum. Pada akhirnya Tim 7 bisa kembli bersama meski bukan pada waktu yang menggembirakan. Ia sendiri tidak menyangka hal ini bisa terjadi. Sasuke dulu terancam dihukum mati, sedangkan Naruto sudah dianggap telah tiada. “Oh ya, keadaan Hinata sudah membaik! Dia ada di sana! Kemarilah Hinata!” Sakura memanggil Hinata dengan antusias. “Kakekku memang luar biasa,” Naruto lantas melambaikan tangannya ke Hinata. Kemampuan mengobati Miyazaki memang yang paling hebat di Uzumakigakure. Hinata membalasnya dengan lambaian pula. Pandangan Sasuke juga terarah pada Hinata. Ia memperhatikan Hinata yang menggunakan obi terusan yang berwarna putih. Ia memastikan tidak ada yang aneh dengan cara berjalan Hinata yang tampak normal. Ia memperhatikan dahi Hinata yang tertutup rambut, sudah tidak ada lagi darah yang mengalir disana. Sebenarnya ia tidak percaya jika hanya butuh semalam saja untuk Hinata bisa terlihat sehat seperti itu. Perlahan Hinata mendekat ke arah Tim 7. Namun Sasuke akhirnya membuang muka ke tempat lain. “Aku mau kembali ke Lembah Api.” “Hei, Brengsek—” Tapi Sasuke sudah menghilang dari sana. Naruto lantas melihat ke langit di atasnya. Ternyata Sasuke sudah berada di punggung Suzaku yang terbang dengan cepat ke markas besarnya. “Dia makin mahir memanfaatkan kekuatan Suzaku.” Sementara itu Hinata tampak kecewa melihat Sasuke lari dari sana. Ia menghentikan langkahnya. “Kenapa Sasuke-kun jadi seperti itu?” Sakura jadi merasa tidak enak pada Hinata. Ia tadi berniat membawa Hinata jalan-jalan untuk memulihkan kondisi mentalnya yang shock mendapatkan perlakuan seperti itu dari klannya sendiri. Mumpung Uzumakigakure banyak menyimpan tempat-tempat yang sangat elok. Namun Sasuke malah bersikap seperti itu, meski Sakura bisa menebak apa yang sekarang sedang menganggu pikiran Sasuke. “Tapi harusnya Sasuke-kun bisa sedikit peka.” “Peka kenapa? Bukannya dia kabur karena kalah bertarung denganku?” ujar Naruto. Sakura langsung menjitak kepala Naruto. “Ih!” Naruto mengerang kesakitan sembari memegangi kepalanya. Ia lantas memelototi Sakura. “Kenapa kau memukulku?!” Sakura berkacak pinggang. “Ternyata kau lebih tidak peka lagi! Jangan membuat suasana jadi tambah rusak!” “Memangnya aku mengatakan hal yang salah?! Jangan seenaknya saja menyalahkanku!” Naruto menunjuk-nunjuk ke arah Sakura. Sakura lantas memberikan pukulan bertubi-tubi pada Naruto. Naruto sampai kewalahan menahan serangannya. Bisa saja ia membalasnya, tapi tentu ia tidak akan “Grrr! Aku bisa gila menghadapi otakmu yang bodoh itu!” Hinata hanya memperhatikan sejenak Sakura dan Naruto yang saling adu mulut itu. Ia kembali memperhatikan langit lepas yang ada di atasnya. Ia tidak tahu Sasuke pergi ke mana. Padahal tadi ia ingin mengucapkan terima kasih karena Sasuke telah menyelamatkannya. Namun Sasuke malah menghindarinya seperti itu.
Bersambung….
Bersambung….
Published on August 21, 2016 06:40
[CERPEN] Dua Cangkir Kopi Pango-pango

Dua Cangkir Kopi Pango-pangoOleh Pretty AngeliaTerinspirasi dari kisah nyata
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com Alin menatap luar jendela dengan getir di dada. Sudut luar Kedai Kopi 55 yang pintunya sudah tertutup rapat terekam di jelaja matanya. Hanya lampu luar yang bersinar. Padahal baru pukul sembilan malam, namun kedai kopi tetangga itu sudah senyap duluan. “Kalau Bos tetap punya konsep yang sama dengan kedai sebelah, dijamin sebulan saja sudah bangkrut,” gerutu Alin. Ia menatap pedih deretan bangku dan meja hampa yang ada di depannya. Di kedai itu tinggal dirinya seorang. Meratapi nasibnya yang sejak sejam yang lalu hanya mengelap satu demi satu cangkir yang dipenuhi debu. Sementara itu persediaan kopi masih banyak. Menu kopinya bermacam-macam, tapi tidak ada cita rasa asli Indonesia. Deretan kopi lezat asal luar negeri mendominasi di sana. Mulai dari macchiato, cappuccino, vanilla latte, dan nama-nama kopi lain yang begitu asing di telinga Alin. “Padahal kopi dari kampung halamanku super enak, tapi dibilang nggak cocok sama konsep kedai si Bos.” Alin meletakkan cangkir di tempatnya. Ia tercenung memandang ke depan, namun fokusnya sedang berada di tempat lain. Kerinduan akan kampung halamannya di Pango-pango, Tana Toraja memang sulit untuk dienyahkan. Tanah subur itu adalah lokasi argo wisata yang serupa negeri di atas awan. Tanahnya menjulang tinggi nyaris membelai langit. Hijau permadani dan biru atapnya melebur jadi karya Tuhan yang elok. Tuhan memberikan berbagai macam karunia pada Pango-pango, salah satunya adalah kopi. Bau kebun kopinya bahkan sering terhirup sampai ke rumah Alin yang berjarak 2 km dari kebun. Alin ingin orang Jakarta sini lebih mengenal kopi dari Pango-Pango yang dibawanya. Meski kopi asli Toraja itu sudah cukup dikenal di Indonesia, tapi Alin ingin lebih banyak yang menyenangi kopi olahan kakeknya. “Aku minum kopi dari Pango-pango saja, mumpung lagi sepi.” Maka Alin mengambil kantong kopi asli Toraja itu yang selalu ia bawa di dalam tas. Kopinya diolah sendiri oleh kakeknya. Alin boleh berbangga diri karena kakeknya mampu meracik biji kopinya sendiri. Setelah bertahun-tahun lamanya, mesin pengolah biji kopi mampu beliau beli, Berbeda dengan kebanyakan petani kopi Pango-pango yang menjual hasil berkebunnya ke produsen kopi olahan. Alin menyeduh kopinya perlahan. Tak lupa ditambahkan gula satu sendok teh. Ketika ia menuangkan air panas bau kopinya menguar. Seketika kedai itu berubah jadi hamparan kebun kopi di Pango-pango. Dari kejauhan Alin melihat Kakek dan Nenek yang tengah memisahkan biji kopi dari dahannya satu per satu. Langit tiba-tiba memuntahkan air. Membuat Kakek dan Nenek kebasahan. Namun Alin takjub karena Kakek dan Nenek masih berdiri di tempat tersebut. Melanjutkan kegiatannya tanpa merasa terganggu dengan kehadiran hujan yang tidak diundang. Alin lalu menghirup kopi yang ia banggakan itu. Bagaimana tidak? Kopi tersebut bukan hanya warisan tanah subur Toraja. Kopi ini adalah hasil dari langkah kaki kakek dan neneknya menuju kebun di pagi buta. Kopi ini berisi nyawanya. Masa depan keluarganya tertanam di setiap bibit kopi yang tumbuh di Pango-pango. Karena itu ketika memutuskan melanjutkan sekolah di Jakarta, Alin ingin banyak orang menikmati kopi olahan kakeknya. “Tapi si Bos nggak mau memasukkan kopi ini ke menu baru,” Alin meggerutu lagi. Setelah lulus D3, Alin cukup kesulitan mencari pekerjaan. Karena itu ia bekerja part time di dua tempat untuk mengisi waktu nganggur-nya. Pagi hari ia menjadi jurnalis lepas di sebuah perusahaan koran. Malam harinya ia bekerja di kedai KopiCita. Melelahkan memang, tapi mau tidak mau harus dilakukan agar Alin mampu bertahan hidup. Alin lantas menyesapnya perlahan, asam bercampur dengan manis, namun keharumannya membuat kopi itu jadi lebih istimewa. “Kapan ya bisa mendirikan kedai kopi kayak gini?” Alin tidak tahu pasti. Membujuk bosnya untuk menjual kopi kakeknya saja sangat sulit. Tapi Alin akan mewujudkan impian itu segera. Suatu saat nanti kopi kakeknya akan memiliki kedai sendiri yang bercabang-cabang di kota-kota besar di Indonesia. Pandangan Alin teralih ke arah pintu. Lonceng di sana bergemerencing. Menciptakan bunyi syahdu yang sangat Alin senangi. Itu artinya ada yang bertandang ke kedai. Mereka adalah dua orang pria berpakaian serba putih. Alin lantas meletakkan kopinya di sekat paling bawah. “Selamat datang di Kedai KopiCita,” sambutnya dengan senyuman lebar. Kopi kakeknya memang selalu berhasil memperbaiki mood jeleknya dalam sekejap. Kedua pria itu membalas senyuman Alin. Mereka mendekat ke tempat Alin berdiri untuk memesan kopi. Salah satu pria yang berambut landak terdiam di tempat. Indera penciumnya bergerak penasaran. “Mau pesan kopi apa, Mas?” tanya Alin. Pria itu langsung menghirup napas panjang. “Enak banget bau kopinya. Rasanya nggak asing, tapi aku lupa nama kopi ini. Yang ini aja, Mbak.” Alin tersentak. Ia tidak percaya apa yang pria itu katakan. Pria itu menengok ke arah rekannya. “Lo mau ini juga nggak?” “Boleh. Dari baunya kayaknya memang enak.” Alin langsung pening dibuatnya. Pasalnya ini bukan kopi yang dijual oleh kedai. Tapi kemudian Alin mengingat bahwa ini adalah kesempatan untuk memperkenalkan kopi kakeknya. “Baiklah. Dua kopi Toraja ya.” “Oh, kopi Toraja. Pantas saja harum sekali. Buatkan yang panas ya. Kita mau minum di sini. Berapa totalnya?” Alin tercenung di tempat. Duh, harganya berapa ya?. “Mas berdua duduk saja. Saya buatkan kopinya dulu. Kalau sudah selesai baru bayar.” Dua pria itu menurut. Mereka duduk di tempat yang tersedia. Tidak jauh dari tempat Alin meracik kopinya. Sementara Alin bergerak dengan cekatan. Namun ia bisa mendengarkan percakapan dua pria itu. “Kedai Kopi 55 jam segini udah tutup ya. Tapi untungnya ada kedai kopi ini yang masih buka.” “Iya, gue butuh banget kopi. Bakal ada jadwal operasi dua jam lagi,” jawab si pria rambut landak. “Lo keren banget, Res. Kemarin juga ada operasiin pasien, kan?” “Ya, selama gue mampu kenapa nggak? Lo juga seminggu ini udah jadi dokter jaga malam. Lebih gila lagi daripada gue, Sen.” Si pria yang rambutnya dibelah tengah itu tertawa. “Mungkin kita berdua ini sama, Res. Kalau nggak salah lo dari kecil memang mau jadi dokter, kan? Gue juga begitu. Ini bukan hanya soal pekerjaan dan uang, tapi mendedikasikan diri lo buat orang lain.” Alin terkesima dengan dua dokter itu. Mereka terlihat muda dan begitu mencintai pekerjaannya. Ia lantas menatap kopi Toraja hangat dalam cup yang sudah siap untuk diantar. Aku pikir orang muda Jakarta itu egois dan maunya menang sendiri, tapi ternyata masih ada orang muda seperti mereka di sini. Seketika Alin merasa bahagia. Ia pun mengambil nampan, lalu mengantar dua cangkir kopi asal kampung halamannya Pango-pango ke dua pria yang luar biasa itu. “Silakan diminum,” tukas Alin dengan nada sopan. “Terima kasih,” pria bernama Arsen dan Maharesa itu mengucapkannya berbarengan. Sampai membuat Alin tertawa. Alin kembali ke tempatnya. Ia memperhatikan dua pria muda itu dengan mata berbinar. Arsen menghirup kopi yang gagang cangkirnya sudah ia genggam. Ia menikmatinya hingga matanya terpejam. Di sana ia membayangkan para petani kopi yang mengambil bijihnya dengan senyum di bibir. “Kopi ini harum banget. Pasti diperlakukan dengan baik sejak masih menjadi bibit.” Ia langsung menyeruputnya. Matanya membesar. “Enak?” “Banget!” seru Arsen antusias Maharesa langsung terburu-buru menyeruput kopinya sampai lidahnya terbakar. “Aak! Panas!” “Pelan-pelan minumnya!” Arsen tertawa melihat tingkah rekannya itu. Maharesa menenangkan diri sejenak. Lidahnya masih terbakar, tapi ia begitu penasaran dengan rasa kopi ini. Ia pun menghirupnya dulu, baru menyeruputnya secara perlahan. Ia lalu menghela napas panjang. “Gawat gue bisa nambah lagi ini.” Alin lalu menyibukkan diri membereskan cangkir yang sudah dilapnya. Namun telinganya tetap pasang badan. Ia tetap menguping percakapan dua pria itu. “Gue baru tahu kedai kopi ini jual kopi tradisional,” ujar Maharesa. Alin agak panik. Menurutnya hal ini jadi dilematis. “Lo sering ke sini juga ya? Gue kira kedai kopi langganan lo di sebelah,” tukas Arsen. “Nggak sering-sering banget sih. Kalau kedai sebelah tutup aja. Lagian meski punya konsep yang sama, kopi di sebelah lebih enak dan harganya terjangkau. Makanya gue agak kaget kopi di sini ternyata ada yang enak juga.” Tuh bener kan! Si Bos nggak percaya sih! Gerutu Alin dalam hatinya. Berarti ia harus bisa membujuk bosnya untuk mau menjual kopi kakeknya ini. Alin kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia sudah memutuskan hal yang tidak pernah ia sangka akan ia lakukan... “Gratis?!” Maharesa cengok di tempat. “Iya, Mas. Ini kopi baru, jadi buat promosi.” “Beneran, Mbak? Wah, harusnya ada papan pengumumannya di depan biar banyak yang tahu. Pasti bakal rame ini kedai. Kedai tetangga bakal kalah,” Arsen tertawa ketika mengucapkan hal terakhir. Membuat Maharesa jadi menyikutnya seraya tertawa geli. Fokusnya lalu kembali pada Alin. “Makasih banyak lho. Besok kita ke sini lagi deh bareng teman-teman yang lain.” Alin mengangguk antusias. “Terima kasih juga sudah berkunjung kemari. Ini.” “Wah, ada struknya segala,” tukas Arsen. “Soalnya buat bukti penjualan. Diambil saja, Mas.” “Sip!” Maharesa mengambil struknya, lalu langsung memasukkan struk itu ke kantong jaketnya. Ia dan Arsen pun keluar dari sana. .. “Kopi tadi pasti bagus buat kesehatan. Gue langsung seger kayak gini!” seru Maharesa bersemangat. “Bener! Gue kayaknya bakal tahan ampe pagi nih!” Langkah kaki Arsen menyeimbangi Maharesa yang berjalan cepat menuju rumah sakit mereka bekerja. Mereka memang sudah siap melanjutkan tugas negara. Maharesa memasukkan tangan ke kantong jaketnya. Ia teringat ada struk di dalamnya. Tangannya pun mengeluarkan struk itu. Ia langsung termenung saat menyadari ada sesuatu yang lain dari struk itu. Arsen juga jadi ikut memperhatikan isi struk. “Njir, gue jadi speechless,” Arsen seketika nyengir lebar. Maharesa tersenyum dengan tulus. “Itu cewek baik, tapi pemalu. Aih, gue jadi nggak enak gini.” “Besok kita bawa temen-temen ke kedai itu. Kita bangkrutin kedai tetangga!” Maharesa menonjok main-main bahu Arsen. “Lo senewen banget sama Kedai Kopi 55!” Arsen menanggapinya dengan terbahak-bahak... Hari itu Alin tiba di Kedai KopiCita dengan semringah. Ia sudah siap bekerja hingga malam nanti. Saat membuka pintu kedai, ada bosnya yang duduk di meja pengunjung. “Sore, Bos!” sapa Alin dengan riang. “Akhirnya datang juga si biang masalah. Duduk sini kamu!” Si Bos yang berperawakan gendut itu menatap Alin dengan nyalang. Alin sampai terdiam. “A-ada apa ya, Bos?” Ia menuruti permintaan bosnya. “Ini uang ada yang kurang. Nggak sesuai sama data penjualannya.” Sial! Aku lupa input uangku kemarin! Tapi Alin tidak bisa bilang bahwa kemarin ia menyuguhkan kopi asal Pango-pango. Maka ia sedikit berbohong. “Kemarin ada gelandangan yang terlihat kelaparan, Bos. Maka dari itu saya kasih kopi gratis. Nanti potong gaji saya saja, Bos.” Alin menatap bosnya yang memandanginya dengan mata nyalang. Ia buru-buru menundukkan kepala. “Kamu pikir kamu siapa berani-beraninya ngasih kopi gratis ke orang lain?! Kalau kedai kopi ini punya kamu ya saya nggak peduli! Tapi kamu seenak udelnya buang-buang kopi jualan saya! Yang rugi kan saya!” Alin sampai berjengit mendengar teriakan bosnya. “Maafkan saya, Bos. I-ini saya ganti uangnya, Bos.” “Nggak butuh! Kamu pulang sana gih! Saya udah dapet pengganti kamu!” Alin bagai tersambar petir di sore bolong. Pita suaranya pun goyang. “Ta-tapi, Bos. Saya membutuhkan—” “Saya nggak peduli! Kamu orang yang nggak bisa dipercaya! Rugi saya punya karyawan kayak kamu!” Akhirnya Alin pasrah pada nasib. Ia keluar dari Kedai KopiCita dengan langkah gontai. Habis sudah. Ia tidak memiliki kesempatan lagi. Padahal hari ini ia ingin kembali meyakinkan bosnya untuk menyuguhkan menu kopi baru dari kopi Pango-pango. Alin pergi dari sana membawa kepedihannya yang keluar menjadi deraian air mata.. Maharesa kini kembali ke KopiCita bersama 10 rekannya. Arsen juga ikut ke sana. Ia membuka pintu kedai dengan tersenyum, namun senyumannya hilang ketika yang menjaga kedai bukan cewek kemarin yang menyambutnya dengan senyuman ramah. Yang menyambutnya malah pria paruh baya yang tampak melongok melihatnya. “Lho? Beda orang sekarang?” Arsen jadi tidak bersemangat. “Mana cewek manisnya? Lo pada nipu kita ya?” tukas salah satu rekan Maharesa. “Nggak kok! Kemarin yang jaga kedai cewek manis banget!” protes Arsen. Maharesa yang maju duluan menuju tempat pesanan. “Selamat datang di KopiCita. Mau pesan apa ya?” “Kopi Toraja, 10 cangkir. Panas,” tukas Maharesa. Si penjaga KopCita yang merupakan pemiliknya sendiri itu bingung. “Saya nggak jual kopi itu. Kayaknya Mas salah masuk kedai nih.” “Masa?” Maharesa jadi bingung. Ia menatap Arsen yang juga terlihat ada yang janggal. Ia malah mengajukan pertanyaan lain. “Penjaga kedai kemarin di mana, Pak? Yang perempuan.” “Oh, si Alin? Dia udah saya pecat. Nggak bener dia kasih kopi gratis tanpa sepengetahuan saya. Dia nggak sebaik yang Mas lihat. Hati-hati.” Maharesa tersentak mendengarnya. “Udah gitu maksa-maksa saya jualan kopi kampungannya. Seenaknya saja dia. Padahal kedai ini konsepnya jualan kopi modern!” “Eh, Pak—” “Santai, Sen!” Maharesa menahan Arsen yang hendak melampiaskan amarahnya pada pria gendut di depannya. “Saya mau minta alamat Alin. Kalau nggak ada, nomor ponselnya saja.” Mantan bosnya Alin keheranan. “Buat apa, Mas? Wah dia itu perempuan nggak bener—” “Saya nggak peduli kata-kata Anda,” potong Maharesa cepat dengan nada suara yang ditinggikan. “Saya udah minta baik-baik. Tolong beri saya nomor Alin.” Pria gemuk itu tercenung saat menyadari 12 pria muda berjaket dokter menatapnya dengan garang. Ia jadi takut isi perutnya langsung dibedah oleh para dokter itu. Akhirnya ia memberikan nomor ponsel Alin. Ia menatap keduabelas dokter yang keluar dari kedainya dengan penuh tanda tanya di kepala. “Ada hubungan apa dokter sama gadis kampung itu?”. Alin sesekali menatap Maharesa dengan canggung. Tapi sebenarnya ia lebih banyak menunduk. Ia begitu kaget dokter muda ini meneleponnya dan meminta bertemu di Kedai Kopi 55 ini yang berada di sebelah kedai bekas tempat ia bekerja. Tapi ia akhirnya menceritakan kejadian kemarin yang sebenarnya pada Maharesa. “Maafkan saya. Gara-gara saya kamu dipecat sama bos—” “Bukan salah, Mas kok,” ujar Alin cepat-cepat. “Bos saya memang agak susah dijelaskan. Saya juga salah karena berbohong padanya. Kopi dari Pango-pango itu nggak dijual di KedaiCita.” Maharesa memang sudah mengerti tentang akar masalahnya setelah mendengar penjelasan Alin. “Kalau begitu bagaimana jika kamu bekerja di sini?” “Eh? Di Kedai 55?” Maharesa mengangguk. “Kamu bisa menjual kopi dari Pango-pango itu.” Alin jadi kebingungan. “Tapi bukannya di sini sama kayak Kedai KopiCita, Mas? Cuma menjual kopi luar negeri.” “Nggak apa-apa. Ini juga buat menu baru. Pasti banyak yang suka.” “Hah?” Alin semakin keheranan. “Saya beli deh kopi Pango-pangonya. Saya bayar diluar gaji kamu. Gimana?” “Emangnya bisa kayak gitu, Mas?” “Ya, bisalah. Saya kan yang punya kedai ini,” ujar Maharesa tersenyum lebar. “Ini ucapan terima kasih saya buat kamu yang memberikan saya kopi Pango-pango gratis.” Alin tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. “Dan rasa terima kasih saya karena kertas struk yang punya kata-kata menawan itu,” Maharesa menatap Alin dengan mata yang bersinar. Alin pun jadi tersipu malu dibuatnya... Alin tidak menyangka impiannya secepat ini terwujud. Dua cangkir kopi Pango-pango yang ia berikan secara cuma-cuma pada dua dokter muda kemarin membuat hidupnya berubah total. Sekarang tidak hanya dua cangkir kopi Pango-pango, Alin bisa menyuguhkan bercangkir-cangkir kopi yang harganya sesuai dengan jerih-payah kakeknya. Memang masih jauh dari cita-citanya memiliki kedai sendiri, tapi ini sudah menjadi langkah awal yang bagus. Sementara itu di rumah sakit tidak jauh dari tempat Alin bekerja sekarang. Maharesa tengah menatap kedainya dari kamar pasien yang barusan ia periksa. Matanya lalu beralih pada secarik kertas yang tidak pernah bosan ia baca setiap hari. Untuk para Dokter yang mulia hatinya, Kalian begitu muda, namun sudah punya impian membantu orang yang tidak pernah kalian kenal. Kalian berusaha keras agar orang-orang itu bisa sembuh sedia kala. Kalian pasti sangat kelelahan karena bekerja sepanjang malam. Karena itu untuk menyemangati kalian, saya berikan kopi gratis ini. Kopi lezat yang hanya tersedia di kampung halaman saya, Pango-pango, Toraja. Terima kasih untuk pengabdian yang tulus kepada masyarakat. Semoga hari-hari kalian berdua dilimpahi keberkahan dari-Nya – Alin Bibir Maharesa menyulam senyum. Ia tidak menyangka secangkir kopi yang dibuatkan Alin dan secarik kertas lusuh ini jadi membuat hari-harinya lebih indah. Matanya melirik ke KedaiCita yang kini sudah tutup total. Ia mengelus dada. Jika Alin mampu meyakinkan bosnya untuk menjual kopi dari Pango-pango, mungkin kedai kopinya yang malah akan bangkrut.
Selesai
Published on August 21, 2016 02:53
July 28, 2016
Review Drama Korea Reply 1988
Assalammu’alaikum ^^Saya hadir kembali dengan mereview sebuah drama Korea favorit saya di tahun 2016. Berhubung saya cuma review hal-hal yang saya suka aja #lol. Btw, nonton drama Reply 1988 atas rekomen dari sahabat.

Awal episode saya nggak ngerti ini drama mau ceritain apa. Karakternya juga ada banyak banget, jadi susah diinget. Terus di episode dua saya bisa nangkep kalau Reply 1988 mengisahkan kehidupan sehari-hari para keluarga yang tinggal di Ssangmun-dong, Seoul, Korea Selatan.

Sebenarnya ceritanya yang ngisahin keseharian lima keluarga cenderung membosankan. Tapi ternyata saya terlalu menganggap remeh drama Korea ini. Karena setelah saya paksa melanjutkan menonton hingga ke episode-episode selanjutnya, saya langsung jatuh cinta dengan drama ini diepisode kelima. Masing-masing pemeran membawakan karakternya dengan baik. Ada Duk Seon si tokoh utama cewek yang peringkat 989 di sekolahnya, ada Jung Hwan si juara kelas nomor dua yang agak dingin, ada Sun Woo si Ketua OSIS yang jadi anak kebanggaan ibunya, ada Taek yang jadi pemain baduk profesional yang setahunnya bisa ngehasilin uang 200 juta won, lalu ada Dong Ryong yang menjadi penasehat mereka semua.

Karakter Duk Seon ngingetin saya sama Aihara Kotoko dari drama Jepang Itazura Na Kiss. Kocak dan dodol gitu wahaha. Saya suka sama karakter-karakternya yang membumi dan terlihat nyata. Mereka yang kaya dan miskin bisa hidup akur di sini.Kamu bisa lihat ada satu cewek, dan empat cowok yang saling sahabatan. Yang paling saya suka dan gemes sama drama Korea ini adalah saya nggak bisa nebak si Duk Seon ini bakal nikah sama siapa di antara keempat teman masa kecilnya. Di awal episode sebenarnya ada adegan masa depan pas Duk Seon mengobrol dengan suaminya, tapi dia manggil suaminya dengan sebutan Yeobo, jadi tetep nggak akan ketahuan siapa suaminya, bikin kita menebak-nebak. Jadi inilah yang bikin saya jatuh cinta sama Reply 1988. Di setiap episodenya sendiri kamu bakal disuguhkan dengan kisah unik lima keluarga dengan masing-masing karakternya. Humornya bisa bikin saya ketawa, apalagi dengan tambahan suara kambingnya haha. Di sini menceritakan keseharian suami-istri. Tapi jangan harap ada yang romantis di antara mereka, karena setiap harinya mereka bertengkar terus ^o^.

Beberapa adegan juga bisa bikin kamu nangis, cerita tentang keluarga memang selalu bikin terharu #hiks. Cerita romancenya top banget menurut saya. Saya puas dengan endingnya dan dengan siapa Duk Seon nikah. Meski saya juga merasa simpati sama salah satu cowok berempat itu yang nggak bisa sama Duk Seon.

Buat kamu pencinta drama Korea sayang banget kalau belum nonton drama ini. Awalnya mungkin kamu bakal menyangsikan karena settingnya yang jadul banget, tapi disitulah keunikannya. Yuk, nonton Reply 1988
Published on July 28, 2016 00:48
July 9, 2016
[Kuroko No Basuke and Tokyo Ghoul Fanfiction] Momoi's Love Camera Bab 1
Momoi’s Love CameraKuroko No Basuke belong to Tadatoshi FujimakiTokyo Ghoul belong to Ishida Sui Genre Romance/Humor/Fantasy
AU High School bit OOC Pairing: Secret ^^..Bab 1.. “Satsuki ya? Sini,” suara Kakek terdengar parau. Momoi Satsuki yang berumur 18 tahun buru-buru mendekati tempat tidur kakeknya. “Kakek….” Wajah Momoi memahat kepedihan. Ia menunduk. Rambut merah jambunya yang berjuntai hingga ke pinggil jadi terasa berat, padahal sebenarnya hati Momoi yang tengah berat menerima kenyataan ini. “Ah, kau jangan seperti itu. Nanti aku jadi susah meninggalkanmu.” Kakek mendesah. “Coba kau buka laci dan ambil kamera polaroid di sana.” Dengan mata sembab Momoi menuruti permintaan kakeknya. “Aku wariskan padamu. Semoga kamera itu bisa membawa kebahagiaan untukmu, kau bisa melihat belahan jiwamu melaluinya.” “Eh?” Kakek tersenyum. “Kalau sudah waktunya pasti kau akan mengerti….”
Published on July 09, 2016 06:57
June 23, 2016
[CERPEN] KUKUYAAN, Dimuat di Koran Republika Tanggal 8 Mei 2016

Aku tahu kau sangat membenci hujan. Kau mengutuki kemarau yang acap kali melibas tanahmu jadi kering. Anehnya kau juga menangisi hujan yang membagi airnya pada ladangmu dengan sukarela. Karena menurutmu seringnya itu terlalu berlebihan sehingga bisa membuatku meluap dan merampas apa pun yang kau miliki dalam sekejap.
"Hai, Sungai. Aku mau berenang di sini, ya."
Tiba-tiba salah seorang dari kau datang menyapaku. Bocah laki-laki berpelampung hitam. Kau menatapku penasaran, sedangkan tubuhmu yang kerontang seketika buatku merasa kasihan. Kau menatapku sembari nyengir. Kesan yang kutangkap saat aku balik menatapmu ... kau itu gila.
Kau pun terjun ke dalam tubuhku. Aku terheran melihat kau yang sendirian menantang arus. Tangan kecilmu bercengk- eraman pada bebatuan besar yang meman- cang kuat ke dasarku. Mengapa kau begitu nekat?
"Haah ... segarnya!" serumu riang. "Oh ya, namaku Ujang. Aku senang sekali sama hujan. Hobiku adalah mandi, tapi baru kali ini aku mandi di sungai."
Sekilas, aku melihat raut wajahmu yang memahat kepedihan. Lantas, tak dinyana kau malah mengangkat beberapa sampah yang melintas di depanmu, kemudian kau meletakkannya ke bantaranku yang berse- laput semen. "Karena aku dibilang seperti sampah, aku nggak jijik sama sampah. Cuma kasihan kau jadi tercemar sampah begini."
Baru kali ini ada manusia yang mengasihaniku.
"Kerjaanku setiap hari memang memu- ngut sampah, tapi wilayahku bukan di sini."
"Oh ya, sungai. Dua hari lalu, ibu meninggal karena AIDS. Kau pernah mendengar apa itu AIDS? Katanya itu adalah penyakit mematikan." Kau menarik napas. "Saat pemakaman ibu pun hanya sedikit tetangga yang datang menshalatkan dan mengantarkannya."
Bulir-bulir air mata turun dari sudut matamu, membentuk aliran jeram-jeram kecil di pipimu yang langsung membuatku iba.
"Tapi, tetangga-tetangga masih meli- hatku dengan galak. Teman-teman juga menjauhiku. Mereka sering memanggilku dengan `idiot.' Aku sedih karena aku kesepian. Apa kau sering merasa kesepian juga?"
"Hei, kau mau celaka?! Cepat naik!"
Aku menerawang ke arah suara yang tiba-tiba muncul itu. Ternyata ada seorang pemuda yang berdiri di tepianku. Dengan mata nyalang dan berkacak pinggang, ia menegurmu. Menurutku penampilannya menyeramkan. Rambutnya botak: hanya bersisa di tengah yang berdiri bak permukaan kulit landak.
"Kukuyaan, Kang," jawabmu.
"Kau mau jadi kura-kura?" Dahi pemuda itu mengerut. "Kalau kau mati, bagaimana? Aliran sungainya lagi deras, tahu!"
"Tenang, Kang. Saya pakai pelampung ini," jelasmu seraya menunjuk pada ban hitam besar yang melingkar di tubuhmu. Lalu kau ternyata tetap memunguti sampah yang semakin banyak mendekatimu.
Sementara, kulihat pemuda itu menatapmu dalam diam. Ia maju selangkah ke tepianku dengan ragu-ragu, tetapi kemudian malah mundur. Dari mulutnya keluar umpatan, ia kemudian pergi menjauhi bantaranku.
"Siapa dia? Nggak kenal. Orang kenal dan nggakkenal sama-sama galak," gerutumu meletupkan kesal. Tapi, kemudian perhatianmu kembali tertuju padaku. "Sebenarnya aku sudah sering kemari, tapi nggakberani mungutinsampah di sini karena sudah ada yang punya wilayahnya. Pemulung di Cihampelas ini, membagi wilayah sendiri, kalau ada yang ambil wilayahnya nanti dikeroyokin."
Kau lalu membenamkan kepalamu ke dalam diriku, hanya sepersekian detik, kepalamu kemudian muncul kembali ke permukaan. Kau pun berseru, "Hore!"
Kalau aku memiliki bibir, mungkin sekarang aku akan tersenyum....
"Kalau kau bawa aku berpetualang bagaimana? Sampai ke Baleendah. Aku mau kukuyaan, sekalian mungutin sampah di sana."
"Ah, jangan kau berpikiran aneh begitu, Ujang," ujarku tanpa kau tahu. Baleendah ada di wilayah Bandung Selatan dan wilayah daratannya paling rendah di Bandung. Lokasi yang sering langganan banjir saat hujan membuatku meluap.
"Aku ingin kau menjadi bersih tanpa ada satu pun sampah. Bagaimana?" Kau memperhatikanku dengan senyuman dibalut raut percaya diri.
"Itu mungkin kalau ada sejuta orang di sini yang sepertimu, Ujang. Tapi, kenyataannya...."
***
Kemudian aku menyadari arakan mega Nimbus terbelah. Buru-buru beruraian seperti setan yang dikejar-kejar cahaya surga. Lalu seberkas pelita muncul perla- han di baliknya. Hujannya berhenti total.
"Aku harus pergi."
Jangan pergi.
"Besok aku akan ke sini lagi. Semoga besok sepi. Biar nggak ada yang ngusir," ucapmu, seolah tahu apa yang tengah kupikirkan. Kau menjejalkan timbunan sampah yang kau pungut tadi ke dalam karung goni. Hatiku pun melapang: rela membiarkanmu pergi.
Dan keesokan hari sampai hari-hari berikutnya, kau selalu menyempatkan datang kemari saat hujan turun. Hingga pada hari kedelapan kau menguraikan kalimat yang mencengangkan.
"Aku yakin kau adalah al-Kautsar yang terdampar di bumi."
Al-Kautsar?
"Sungai yang membentang di Surga Firdaus. Kata ibu, itu sungai susu yang rasanya nikmat. Para penghuninya nggak bosan duduk di pinggirannya. Hanya ada bahagia di sana. Setiap hari mereka memuji keindahan sungai itu dengan ayat-ayat cinta."
Aku sampai gemetaran mendengarnya.
"Aku yakin di hari yang dijanjikan Allah nanti, kau akan menjadi Al-Kautsar."
Sungguh?
"Jadi, kau mau kan mengantarku berpetualang sampai di Sungai Citarum? Tugasmu hanya menjaga aku agar nggaktenggelam. Aku yakin aku kuat!" di akhir kalimatnya kau bersorak dengan lantang. "Nanti kalau ada warga yang melihatku, mereka pasti akan membantu!" kemudian kau berkidung dengan bahasa yang tidak aku mengerti.
Sabilulungan, urang gotong-royong Sabilulungan, urang silih rojong Sabilulungan, genteng ulah potong Sabilulungan, persatuan tembong Tohaga, rohaka, rempug jukung ngabasmi pasalingsingan Satia, sajiwa, rempug jukung ngabasmi pasalingsingan.(Sabilulungan - Koko Koswara)
***
"Hei, Ujang! Pergi sana! Ini wilayah kami! Idiot, nggak tahu malu!" tiba-tiba sekawanan anak seumuranmu berdiri di sisiku. Mereka kemudian menarik paksamu agar keluar dari tubuhku. Kau pun melawan, tapi kau kalah telak soal kekuatan. Karena jumlah anak-anak itu ada lima orang.
"Lepasin! Lepasin! Aku mau berenang sampai Baleendah!"
"Sampah seperti kau dibuang ke sungai kotor ini saja!" salah satu dari mereka mendorongmu ke tubuhku. Tubuhmu terhempas ke dalam tubuhku. Namun, kepalamu yang lebih dulu terjun... membentur batu besar yang ada di sana. Kau membeku seketika, kuperhatikan dari salah satu sudut kepalamu memancar air warna merah pekat.
Anak-anak nakal itu panik, lalu lari tunggang langgang menjauhiku.
Hei, bangun...! Bangun...! Aku dilanda ketakutan yang membara. Aku rasakan tak ada napas kehidupan lagi dari dirimu. Dengan pilu yang menggarang, aku membawamu terus menjauh mengikuti arusku. Tak kubiarkan kau tersangkut di bendungan ataupun terhimpit di antara bebatuan. Jasadmu lama-kelamaan tenggelam karena kemasukan air dariku. Aku membawamu sampai kepada ibuku, Citarum. Dan laraku kian meluap melebihi volume airku sendiri.
***
Sebulan kemudian, 19 Juni 2011
Menurutku, langit hari ini memancarkan rupa paling eloknya. Namun, tetap tak bisa menghilangkan benci yang telah menggumpal ini. Aku tidak sudi memaafkan perlakuan anak-anak nakal yang menye- babkanmu mati. Kalau mereka berenang di tubuhku, aku pasti akan menenggelamkan mereka di timbunan sampah! Biar mereka tahu seperti apa rasanya mati bersama sampah!
Aku lantas dikejutkan dengan manusia- manusia yang hadir di tepianku. Mereka menggunakan ban yang melingkari tubuh. Ada anak-anak sampai yang sudah tua. Mereka pun turun ke tubuhku, lalu mulai memunguti sampah yang ada di sekitar. Mereka menyusuriku dengan hati-hati sekali, tapi yang membuatku heran, rupa mereka begitu riang.
Di antara mereka ada yang menggu- nakan perahu karet. Aku mendengar apa yang mereka bicarakan. "Harinya cerah ya, Pak Wali Kota. Oh ya, saya mewakili teman-teman berterima kasih pada peme - rintah yang mau menyelenggarakan acara ini." Ternyata itu si pemuda menyeramkan!
"Seharusnya yang berterima kasih itu pemerintah, Ivan. Kau dan komunitasmu yang mencetuskan ide ini, anggota geng motor yang stereotipnya sering membuat onar. Tapi, kau berhasil mengubah pandangan kami. Saya aja nggak nyangka ada 900 warga yang ikut Hari Kukuyaan ini."
"Sebenarnya ini bukan ide saya, Pak. Sekitar sebulan lalu saya melihat anak kecil berenang di sungai ini saat hujan. Saya menegurnya karena berbahaya, tapi dia bilang dia sedang kukuyaan, terus saya melihatnya memungut sampah. Saya langsung tertohok. Saya baru melihat ada anak kecil yang peduli dengan lingkungan sek- itarnya. Kalau kita menemukannya di sini, kita harus berterima kasih padanya, Pak."
"Masya Allah. Saya ingin memberinya santunan. Semoga saja kau masih mengingat wajahnya."
"Iya, Pak, saya masih ingat kok."....Jika aku memiliki air mata, pasti aku sudah menangis mendengarnya....
Entah lara atau bahagia, aku mulai berpikir, apakah benar aku adalah al-Kautsar? Apakah aku bisa mengantarmu ke surga? Tetapi, yang jelas ... sekarang aku mengerti bahwa aku ada ... aku eksis di dunia ini. Di duniamu....
Aku akan tetap menjadi Sungai Cikapundung dan membiarkan Dia yang mengatur. Dan saat itu pula tiba-tiba aku me lihat sosokmu bermain di dalam tubuhku bersama anak-anak lain yang berada di sana. Kau meneriakkan kukuyaan... kukuyaan dengan gembira.
Published on June 23, 2016 23:58
May 26, 2016
8 Kegiatan Seru yang Bisa Dilakukan Saat Liburan Musim Panas di Hokkaido

Siapa bilang Hokkaido cuma asyik dikunjungi pas musim dingin saja? Wisata musim panas di Hokkaido juga ternyata nggak kalah seru lho. Apalagi buat kamu yang nggak terlalu suka kepanasan, cuaca Hokkaido di musim panas cukup adem dibandingkan cuaca di Tokyo dan sekitarnya. Selain itu banyak banget kegiatan seru yang bisa kamu lakukan di Hokkaido bareng teman-teman dan keluargamu. Yang jelas kegiatan-kegiatan ini sayang banget untuk kamu lewatkan.

Karena Hokkaido adalah wilayah yang masih terjaga keasrian alamnya, liburan kamu di sana pun nggak jauh dari petualangan mengarungi alam. Cocok banget buat kamu yang memang senang dengan kegiatan alam terbuka. Lalu kegiatan seru apa saja yang bisa kamu lakukan di Hokkaido? Inilah daftarnya ^^/
1. Naik Balon Udara di NisekoDenger kata Niseko pasti kamu langsung keinget sama manga Nisekoi, kan? Hayooo, ngaku?!! ^o^. Tapi sayangnya Niseko ini tidak ada hubungannya dengan Nisekoi yang itu meski sama-sama berasal dari Jepang #hehe.Niseko berada di wilayah barat Hokkaido. Sebenarnya pas musim dingin lokasinya sering digunakan untuk main ski karena sebagian besar daratannya yang berbukit-bukit. Tapi di musim panas lebih banyak kegiatan wisata yang bisa dilakukan di Niseko. Salah satunya adalah naik balon udara.

Belum pernah kan naik balon udara super besar? Itu tuh yang kayak di film-film. Nah, sekarang kamu bisa merasakannya di festival musim panas di Niseko, Hokkaido.Niseko sendiri dikenal sebagai gudangnya festival-festival budaya Jepang di Hokkaido. Karena itu di musim panas kota ceria ini tetap ramai dikunjungi para wisatawan. Yang paling seru dari naik balon udara ini adalah kamu bisa sekalian menikmati pemandangan di sekitar Niseko yang bakalan buat kamu terpana. Kamu pun seolah jadi bisa lebih akrab dengan Niseko. Ngebayanginnya aja udah keren, kan?

Untuk menaiki balon udara ini kamu harus membayar tarif sekitar 2.100 yen untuk dewasa, dan 1.800 yen untuk anak. Keterangan lebih lengkap bisa kamu dapatkan di sinihttp://www.niseko-ta.jp
2. Selfie-an sama bunga-bunga cantikTaman bunga warna-warni ini merupakan wisata yang cukup terkenal di Hokkaido, dan hanya eksis di musim panas. Lokasinya berada di Furano. Banyak taman yang bisa menjadi pilihan kamu, yang paling terkenal adalah Farm Tomita dan Saika Farm.



3. Bersepeda di BieiMeski kamu sedang liburan, nggak ada salahnya jika kamu sekalian berolahraga buat menaikkan stamina. Dan olahraga bersepeda bisa menjadi pilihan kamu. Tapi sepeda di sini dijamin nggak akan buat kamu kelelahan, karena kamu melakukannya di Biei, sebuah kota kecil yang dipenuhi dengan perbukitan hijau.



Untuk naik sepeda di Biei kamu membutuhkan sepeda yang bisa disewa di tempat yang tersedia tidak jauh dari JR Stasiun Biei. Harga sewa sepedanya rata-rata 200 yen per jam.Keterangan lebih lengkap bisa dilihat di sini http://www.biei-hokkaido.jp
4. Rafting di Sungai Super Jernih Furano SelatanKamu juga bisa basah-basahan lho di Hokkaido. Caranya adalah dengan mengikuti kegiatan rafting di Sungai Sorachi, Furano Selatan. Kegiatan ini bisa kamu lakukan di awal April hingga pertengahan Oktober. Rasakan sensasi derasnya jeram-jeram di sepanjang Sungai Sorachi. Meski kamu bakal dibawa terombang-ambing sekaligus kebasahan sampai ke seluruh badan, kamu pasti akan menemukan pengalaman yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Apalagi airnya yang jernih. Kamu nggak akan keberatan deh kecipratan air dari Sungai Sorachi ini.

Fasilitasnya pun cukup lengkap karena kamu bisa menyewa alat-alat khusus rafting di sana, dan tentu saja ada guide yang akan menjaga keselamatan kamu selama melakukan rafting. Jadi keselamatan kamu sangat diperhatikan di sini.

Ingin mengetahui infonya lebih lengkap? Kamu bisa cek di sini www.alpn.co.jp/english/
5. Berburu Sunset di Pantai Rumoi Golden CapeSatu hal yang nggak boleh kamu lewatkan saat musim panas, yaitu berkunjung ke pantai. Sebenarnya banyak pantai yang bisa kamu kunjungi di Hokkaido, namun Pantai Rumoi Golden Cape ini merupakan pantai yang punya pemandangan menakjubkan.

Buat kamu pencinta sunset, sayang banget jika tidak pernah berburu sunset di sini karena sesuai dengan namanya, warna sunset di sini nyaris sama dengan emas. Andai saja warna sunsetnya bisa diubah menjadi emas batangan ya. Pasti kamu bakal betah berada di sini selamanya.

6. Menikmati Gemerlap Kota dari Gunung HakodateSiapa di sini yang seneng banget sama suasana romantis? Duduk di sebuah tebing tinggi, menikmati pemandangan malam kota yang dihiasi ribuan kerlap-kerlip lampu yang tampak abadi. Gimana nggak keren coba? Apalagi jika kamu bisa menikmatinya dengan orang kesayangan. Wah! Nggak akan terlupakan pokoknya.







http://www.ishiya.co.jp/language/en/shiroi_koibito/Akses/ Transportasi ke Hokkaido:Lalu bagaimana caranya untuk sampai ke Hokkaido? Patokannya adalah Tokyo. Sekarang ada beberapa alternatif transportasi dari Tokyo yang bisa kamu pilih untuk sampai ke Hokkaido. Ini lah alternatifnya:1. Pesawat, jauh lebih cepat, wuuuuusss!Dari Tokyo ke Hokkaido menggunakan pesawat hanya memakan waktu 1 jam 30 menit. Biasanya tarif untuk satu kursi memakan biaya antara 7.990 – 37.790 yen. Memang cukup mahal, tapi setara dengan kebutuhan waktu yang kamu inginkan.

2. Shinkansen jurusan Tokyo – HakodateJalur ini baru dibuka lho bulan Maret kemarin. Dari Tokyo ke Hokkaido dengan shinkansen memakan waktu empat jam. Cocok buat kamu yang tidak terlalu dikejar waktu dan ingin menikmati pemandangan alam Jepang selama dalam perjalanan. Sekali jalan tarifnya mencapai 22.640 yen.


Kayaknya ribet ya? Biar kamu nggak ribet gunakan saja fasilitas travel yang disediakan oleh H.I.S Travel :D. H.I.S. Travel menyediakan layanan individual maupun group tour dengan tujuan perjalanan domestik maupun internasional serta berbagai produk guna memudahkan wisata kamu, dan hal itu menghadirkan HAnavi.HAnavi sendiri adalah kolaborasi antara H.I.S. dengan ANA (All Nippon Airways) yang dirancang khusus untuk wisatawan asing yang datang ke Jepang.HAnavi menyediakan paket Tiket Penerbangan Domestik + Hotel dengan harga yang MURAH MERIAH berangkat dari Tokyo atau dari Osaka.
H.I.S Tours & Travel memiliki 273 cabang di Jepang, yang siap memberikan pelayanan terbaik kepada kamu. Serahkan perjalanan ke Jepang kamu pada H.I.S!Keterangan lebih lengkap yuk kunjungi Facebook Page H.I.S Travel di sini http://his-travel.co.id/japan-tour-hanavihttps://www.facebook.com/HISTravelIndonesia
Dan yang paling keren nih, H.I.S Travel dan Kawaii Beauty Japan bekerja sama mengadakan lomba menulis artikel dengan hadiah trip ke Jepang GRATIS, YEAY! Mau tahu gimana cara ngikutinnya? Klik aja BANNER di bawah ini ^^/

Published on May 26, 2016 17:30