[CERPEN] Dua Cangkir Kopi Pango-pango

Dua Cangkir Kopi Pango-pangoOleh Pretty AngeliaTerinspirasi dari kisah nyata
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com Alin menatap luar jendela dengan getir di dada. Sudut luar Kedai Kopi 55 yang pintunya sudah tertutup rapat terekam di jelaja matanya. Hanya lampu luar yang bersinar. Padahal baru pukul sembilan malam, namun kedai kopi tetangga itu sudah senyap duluan. “Kalau Bos tetap punya konsep yang sama dengan kedai sebelah, dijamin sebulan saja sudah bangkrut,” gerutu Alin. Ia menatap pedih deretan bangku dan meja hampa yang ada di depannya. Di kedai itu tinggal dirinya seorang. Meratapi nasibnya yang sejak sejam yang lalu hanya mengelap satu demi satu cangkir yang dipenuhi debu. Sementara itu persediaan kopi masih banyak. Menu kopinya bermacam-macam, tapi tidak ada cita rasa asli Indonesia. Deretan kopi lezat asal luar negeri mendominasi di sana. Mulai dari macchiato, cappuccino, vanilla latte, dan nama-nama kopi lain yang begitu asing di telinga Alin. “Padahal kopi dari kampung halamanku super enak, tapi dibilang nggak cocok sama konsep kedai si Bos.” Alin meletakkan cangkir di tempatnya. Ia tercenung memandang ke depan, namun fokusnya sedang berada di tempat lain. Kerinduan akan kampung halamannya di Pango-pango, Tana Toraja memang sulit untuk dienyahkan. Tanah subur itu adalah lokasi argo wisata yang serupa negeri di atas awan. Tanahnya menjulang tinggi nyaris membelai langit. Hijau permadani dan biru atapnya melebur jadi karya Tuhan yang elok. Tuhan memberikan berbagai macam karunia pada Pango-pango, salah satunya adalah kopi. Bau kebun kopinya bahkan sering terhirup sampai ke rumah Alin yang berjarak 2 km dari kebun. Alin ingin orang Jakarta sini lebih mengenal kopi dari Pango-Pango yang dibawanya. Meski kopi asli Toraja itu sudah cukup dikenal di Indonesia, tapi Alin ingin lebih banyak yang menyenangi kopi olahan kakeknya. “Aku minum kopi dari Pango-pango saja, mumpung lagi sepi.” Maka Alin mengambil kantong kopi asli Toraja itu yang selalu ia bawa di dalam tas. Kopinya diolah sendiri oleh kakeknya. Alin boleh berbangga diri karena kakeknya mampu meracik biji kopinya sendiri. Setelah bertahun-tahun lamanya, mesin pengolah biji kopi mampu beliau beli, Berbeda dengan kebanyakan petani kopi Pango-pango yang menjual hasil berkebunnya ke produsen kopi olahan. Alin menyeduh kopinya perlahan. Tak lupa ditambahkan gula satu sendok teh. Ketika ia menuangkan air panas bau kopinya menguar. Seketika kedai itu berubah jadi hamparan kebun kopi di Pango-pango. Dari kejauhan Alin melihat Kakek dan Nenek yang tengah memisahkan biji kopi dari dahannya satu per satu. Langit tiba-tiba memuntahkan air. Membuat Kakek dan Nenek kebasahan. Namun Alin takjub karena Kakek dan Nenek masih berdiri di tempat tersebut. Melanjutkan kegiatannya tanpa merasa terganggu dengan kehadiran hujan yang tidak diundang. Alin lalu menghirup kopi yang ia banggakan itu. Bagaimana tidak? Kopi tersebut bukan hanya warisan tanah subur Toraja. Kopi ini adalah hasil dari langkah kaki kakek dan neneknya menuju kebun di pagi buta. Kopi ini berisi nyawanya. Masa depan keluarganya tertanam di setiap bibit kopi yang tumbuh di Pango-pango. Karena itu ketika memutuskan melanjutkan sekolah di Jakarta, Alin ingin banyak orang menikmati kopi olahan kakeknya. “Tapi si Bos nggak mau memasukkan kopi ini ke menu baru,” Alin meggerutu lagi. Setelah lulus D3, Alin cukup kesulitan mencari pekerjaan. Karena itu ia bekerja part time di dua tempat untuk mengisi waktu nganggur-nya. Pagi hari ia menjadi jurnalis lepas di sebuah perusahaan koran. Malam harinya ia bekerja di kedai KopiCita. Melelahkan memang, tapi mau tidak mau harus dilakukan agar Alin mampu bertahan hidup. Alin lantas menyesapnya perlahan, asam bercampur dengan manis, namun keharumannya membuat kopi itu jadi lebih istimewa. “Kapan ya bisa mendirikan kedai kopi kayak gini?” Alin tidak tahu pasti. Membujuk bosnya untuk menjual kopi kakeknya saja sangat sulit. Tapi Alin akan mewujudkan impian itu segera. Suatu saat nanti kopi kakeknya akan memiliki kedai sendiri yang bercabang-cabang di kota-kota besar di Indonesia. Pandangan Alin teralih ke arah pintu. Lonceng di sana bergemerencing. Menciptakan bunyi syahdu yang sangat Alin senangi. Itu artinya ada yang bertandang ke kedai. Mereka adalah dua orang pria berpakaian serba putih. Alin lantas meletakkan kopinya di sekat paling bawah. “Selamat datang di Kedai KopiCita,” sambutnya dengan senyuman lebar. Kopi kakeknya memang selalu berhasil memperbaiki mood jeleknya dalam sekejap. Kedua pria itu membalas senyuman Alin. Mereka mendekat ke tempat Alin berdiri untuk memesan kopi. Salah satu pria yang berambut landak terdiam di tempat. Indera penciumnya bergerak penasaran. “Mau pesan kopi apa, Mas?” tanya Alin. Pria itu langsung menghirup napas panjang. “Enak banget bau kopinya. Rasanya nggak asing, tapi aku lupa nama kopi ini. Yang ini aja, Mbak.” Alin tersentak. Ia tidak percaya apa yang pria itu katakan. Pria itu menengok ke arah rekannya. “Lo mau ini juga nggak?” “Boleh. Dari baunya kayaknya memang enak.” Alin langsung pening dibuatnya. Pasalnya ini bukan kopi yang dijual oleh kedai. Tapi kemudian Alin mengingat bahwa ini adalah kesempatan untuk memperkenalkan kopi kakeknya. “Baiklah. Dua kopi Toraja ya.” “Oh, kopi Toraja. Pantas saja harum sekali. Buatkan yang panas ya. Kita mau minum di sini. Berapa totalnya?” Alin tercenung di tempat. Duh, harganya berapa ya?. “Mas berdua duduk saja. Saya buatkan kopinya dulu. Kalau sudah selesai baru bayar.” Dua pria itu menurut. Mereka duduk di tempat yang tersedia. Tidak jauh dari tempat Alin meracik kopinya. Sementara Alin bergerak dengan cekatan. Namun ia bisa mendengarkan percakapan dua pria itu. “Kedai Kopi 55 jam segini udah tutup ya. Tapi untungnya ada kedai kopi ini yang masih buka.” “Iya, gue butuh banget kopi. Bakal ada jadwal operasi dua jam lagi,” jawab si pria rambut landak. “Lo keren banget, Res. Kemarin juga ada operasiin pasien, kan?” “Ya, selama gue mampu kenapa nggak? Lo juga seminggu ini udah jadi dokter jaga malam. Lebih gila lagi daripada gue, Sen.” Si pria yang rambutnya dibelah tengah itu tertawa. “Mungkin kita berdua ini sama, Res. Kalau nggak salah lo dari kecil memang mau jadi dokter, kan? Gue juga begitu. Ini bukan hanya soal pekerjaan dan uang, tapi mendedikasikan diri lo buat orang lain.” Alin terkesima dengan dua dokter itu. Mereka terlihat muda dan begitu mencintai pekerjaannya. Ia lantas menatap kopi Toraja hangat dalam cup yang sudah siap untuk diantar. Aku pikir orang muda Jakarta itu egois dan maunya menang sendiri, tapi ternyata masih ada orang muda seperti mereka di sini. Seketika Alin merasa bahagia. Ia pun mengambil nampan, lalu mengantar dua cangkir kopi asal kampung halamannya Pango-pango ke dua pria yang luar biasa itu. “Silakan diminum,” tukas Alin dengan nada sopan. “Terima kasih,” pria bernama Arsen dan Maharesa itu mengucapkannya berbarengan. Sampai membuat Alin tertawa. Alin kembali ke tempatnya. Ia memperhatikan dua pria muda itu dengan mata berbinar. Arsen menghirup kopi yang gagang cangkirnya sudah ia genggam. Ia menikmatinya hingga matanya terpejam. Di sana ia membayangkan para petani kopi yang mengambil bijihnya dengan senyum di bibir. “Kopi ini harum banget. Pasti diperlakukan dengan baik sejak masih menjadi bibit.” Ia langsung menyeruputnya. Matanya membesar. “Enak?” “Banget!” seru Arsen antusias Maharesa langsung terburu-buru menyeruput kopinya sampai lidahnya terbakar. “Aak! Panas!” “Pelan-pelan minumnya!” Arsen tertawa melihat tingkah rekannya itu. Maharesa menenangkan diri sejenak. Lidahnya masih terbakar, tapi ia begitu penasaran dengan rasa kopi ini. Ia pun menghirupnya dulu, baru menyeruputnya secara perlahan. Ia lalu menghela napas panjang. “Gawat gue bisa nambah lagi ini.” Alin lalu menyibukkan diri membereskan cangkir yang sudah dilapnya. Namun telinganya tetap pasang badan. Ia tetap menguping percakapan dua pria itu. “Gue baru tahu kedai kopi ini jual kopi tradisional,” ujar Maharesa. Alin agak panik. Menurutnya hal ini jadi dilematis. “Lo sering ke sini juga ya? Gue kira kedai kopi langganan lo di sebelah,” tukas Arsen. “Nggak sering-sering banget sih. Kalau kedai sebelah tutup aja. Lagian meski punya konsep yang sama, kopi di sebelah lebih enak dan harganya terjangkau. Makanya gue agak kaget kopi di sini ternyata ada yang enak juga.” Tuh bener kan! Si Bos nggak percaya sih! Gerutu Alin dalam hatinya. Berarti ia harus bisa membujuk bosnya untuk mau menjual kopi kakeknya ini. Alin kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia sudah memutuskan hal yang tidak pernah ia sangka akan ia lakukan... “Gratis?!” Maharesa cengok di tempat. “Iya, Mas. Ini kopi baru, jadi buat promosi.” “Beneran, Mbak? Wah, harusnya ada papan pengumumannya di depan biar banyak yang tahu. Pasti bakal rame ini kedai. Kedai tetangga bakal kalah,” Arsen tertawa ketika mengucapkan hal terakhir. Membuat Maharesa jadi menyikutnya seraya tertawa geli. Fokusnya lalu kembali pada Alin. “Makasih banyak lho. Besok kita ke sini lagi deh bareng teman-teman yang lain.” Alin mengangguk antusias. “Terima kasih juga sudah berkunjung kemari. Ini.” “Wah, ada struknya segala,” tukas Arsen. “Soalnya buat bukti penjualan. Diambil saja, Mas.” “Sip!” Maharesa mengambil struknya, lalu langsung memasukkan struk itu ke kantong jaketnya. Ia dan Arsen pun keluar dari sana. .. “Kopi tadi pasti bagus buat kesehatan. Gue langsung seger kayak gini!” seru Maharesa bersemangat. “Bener! Gue kayaknya bakal tahan ampe pagi nih!” Langkah kaki Arsen menyeimbangi Maharesa yang berjalan cepat menuju rumah sakit mereka bekerja. Mereka memang sudah siap melanjutkan tugas negara. Maharesa memasukkan tangan ke kantong jaketnya. Ia teringat ada struk di dalamnya. Tangannya pun mengeluarkan struk itu. Ia langsung termenung saat menyadari ada sesuatu yang lain dari struk itu. Arsen juga jadi ikut memperhatikan isi struk. “Njir, gue jadi speechless,” Arsen seketika nyengir lebar. Maharesa tersenyum dengan tulus. “Itu cewek baik, tapi pemalu. Aih, gue jadi nggak enak gini.” “Besok kita bawa temen-temen ke kedai itu. Kita bangkrutin kedai tetangga!” Maharesa menonjok main-main bahu Arsen. “Lo senewen banget sama Kedai Kopi 55!” Arsen menanggapinya dengan terbahak-bahak... Hari itu Alin tiba di Kedai KopiCita dengan semringah. Ia sudah siap bekerja hingga malam nanti. Saat membuka pintu kedai, ada bosnya yang duduk di meja pengunjung. “Sore, Bos!” sapa Alin dengan riang. “Akhirnya datang juga si biang masalah. Duduk sini kamu!” Si Bos yang berperawakan gendut itu menatap Alin dengan nyalang. Alin sampai terdiam. “A-ada apa ya, Bos?” Ia menuruti permintaan bosnya. “Ini uang ada yang kurang. Nggak sesuai sama data penjualannya.” Sial! Aku lupa input uangku kemarin! Tapi Alin tidak bisa bilang bahwa kemarin ia menyuguhkan kopi asal Pango-pango. Maka ia sedikit berbohong. “Kemarin ada gelandangan yang terlihat kelaparan, Bos. Maka dari itu saya kasih kopi gratis. Nanti potong gaji saya saja, Bos.” Alin menatap bosnya yang memandanginya dengan mata nyalang. Ia buru-buru menundukkan kepala. “Kamu pikir kamu siapa berani-beraninya ngasih kopi gratis ke orang lain?! Kalau kedai kopi ini punya kamu ya saya nggak peduli! Tapi kamu seenak udelnya buang-buang kopi jualan saya! Yang rugi kan saya!” Alin sampai berjengit mendengar teriakan bosnya. “Maafkan saya, Bos. I-ini saya ganti uangnya, Bos.” “Nggak butuh! Kamu pulang sana gih! Saya udah dapet pengganti kamu!” Alin bagai tersambar petir di sore bolong. Pita suaranya pun goyang. “Ta-tapi, Bos. Saya membutuhkan—” “Saya nggak peduli! Kamu orang yang nggak bisa dipercaya! Rugi saya punya karyawan kayak kamu!” Akhirnya Alin pasrah pada nasib. Ia keluar dari Kedai KopiCita dengan langkah gontai. Habis sudah. Ia tidak memiliki kesempatan lagi. Padahal hari ini ia ingin kembali meyakinkan bosnya untuk menyuguhkan menu kopi baru dari kopi Pango-pango. Alin pergi dari sana membawa kepedihannya yang keluar menjadi deraian air mata.. Maharesa kini kembali ke KopiCita bersama 10 rekannya. Arsen juga ikut ke sana. Ia membuka pintu kedai dengan tersenyum, namun senyumannya hilang ketika yang menjaga kedai bukan cewek kemarin yang menyambutnya dengan senyuman ramah. Yang menyambutnya malah pria paruh baya yang tampak melongok melihatnya. “Lho? Beda orang sekarang?” Arsen jadi tidak bersemangat. “Mana cewek manisnya? Lo pada nipu kita ya?” tukas salah satu rekan Maharesa. “Nggak kok! Kemarin yang jaga kedai cewek manis banget!” protes Arsen. Maharesa yang maju duluan menuju tempat pesanan. “Selamat datang di KopiCita. Mau pesan apa ya?” “Kopi Toraja, 10 cangkir. Panas,” tukas Maharesa. Si penjaga KopCita yang merupakan pemiliknya sendiri itu bingung. “Saya nggak jual kopi itu. Kayaknya Mas salah masuk kedai nih.” “Masa?” Maharesa jadi bingung. Ia menatap Arsen yang juga terlihat ada yang janggal. Ia malah mengajukan pertanyaan lain. “Penjaga kedai kemarin di mana, Pak? Yang perempuan.” “Oh, si Alin? Dia udah saya pecat. Nggak bener dia kasih kopi gratis tanpa sepengetahuan saya. Dia nggak sebaik yang Mas lihat. Hati-hati.” Maharesa tersentak mendengarnya. “Udah gitu maksa-maksa saya jualan kopi kampungannya. Seenaknya saja dia. Padahal kedai ini konsepnya jualan kopi modern!” “Eh, Pak—” “Santai, Sen!” Maharesa menahan Arsen yang hendak melampiaskan amarahnya pada pria gendut di depannya. “Saya mau minta alamat Alin. Kalau nggak ada, nomor ponselnya saja.” Mantan bosnya Alin keheranan. “Buat apa, Mas? Wah dia itu perempuan nggak bener—” “Saya nggak peduli kata-kata Anda,” potong Maharesa cepat dengan nada suara yang ditinggikan. “Saya udah minta baik-baik. Tolong beri saya nomor Alin.” Pria gemuk itu tercenung saat menyadari 12 pria muda berjaket dokter menatapnya dengan garang. Ia jadi takut isi perutnya langsung dibedah oleh para dokter itu. Akhirnya ia memberikan nomor ponsel Alin. Ia menatap keduabelas dokter yang keluar dari kedainya dengan penuh tanda tanya di kepala. “Ada hubungan apa dokter sama gadis kampung itu?”. Alin sesekali menatap Maharesa dengan canggung. Tapi sebenarnya ia lebih banyak menunduk. Ia begitu kaget dokter muda ini meneleponnya dan meminta bertemu di Kedai Kopi 55 ini yang berada di sebelah kedai bekas tempat ia bekerja. Tapi ia akhirnya menceritakan kejadian kemarin yang sebenarnya pada Maharesa. “Maafkan saya. Gara-gara saya kamu dipecat sama bos—” “Bukan salah, Mas kok,” ujar Alin cepat-cepat. “Bos saya memang agak susah dijelaskan. Saya juga salah karena berbohong padanya. Kopi dari Pango-pango itu nggak dijual di KedaiCita.” Maharesa memang sudah mengerti tentang akar masalahnya setelah mendengar penjelasan Alin. “Kalau begitu bagaimana jika kamu bekerja di sini?” “Eh? Di Kedai 55?” Maharesa mengangguk. “Kamu bisa menjual kopi dari Pango-pango itu.” Alin jadi kebingungan. “Tapi bukannya di sini sama kayak Kedai KopiCita, Mas? Cuma menjual kopi luar negeri.” “Nggak apa-apa. Ini juga buat menu baru. Pasti banyak yang suka.” “Hah?” Alin semakin keheranan. “Saya beli deh kopi Pango-pangonya. Saya bayar diluar gaji kamu. Gimana?” “Emangnya bisa kayak gitu, Mas?” “Ya, bisalah. Saya kan yang punya kedai ini,” ujar Maharesa tersenyum lebar. “Ini ucapan terima kasih saya buat kamu yang memberikan saya kopi Pango-pango gratis.” Alin tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. “Dan rasa terima kasih saya karena kertas struk yang punya kata-kata menawan itu,” Maharesa menatap Alin dengan mata yang bersinar. Alin pun jadi tersipu malu dibuatnya... Alin tidak menyangka impiannya secepat ini terwujud. Dua cangkir kopi Pango-pango yang ia berikan secara cuma-cuma pada dua dokter muda kemarin membuat hidupnya berubah total. Sekarang tidak hanya dua cangkir kopi Pango-pango, Alin bisa menyuguhkan bercangkir-cangkir kopi yang harganya sesuai dengan jerih-payah kakeknya. Memang masih jauh dari cita-citanya memiliki kedai sendiri, tapi ini sudah menjadi langkah awal yang bagus. Sementara itu di rumah sakit tidak jauh dari tempat Alin bekerja sekarang. Maharesa tengah menatap kedainya dari kamar pasien yang barusan ia periksa. Matanya lalu beralih pada secarik kertas yang tidak pernah bosan ia baca setiap hari. Untuk para Dokter yang mulia hatinya, Kalian begitu muda, namun sudah punya impian membantu orang yang tidak pernah kalian kenal. Kalian berusaha keras agar orang-orang itu bisa sembuh sedia kala. Kalian pasti sangat kelelahan karena bekerja sepanjang malam. Karena itu untuk menyemangati kalian, saya berikan kopi gratis ini. Kopi lezat yang hanya tersedia di kampung halaman saya, Pango-pango, Toraja. Terima kasih untuk pengabdian yang tulus kepada masyarakat. Semoga hari-hari kalian berdua dilimpahi keberkahan dari-Nya – Alin Bibir Maharesa menyulam senyum. Ia tidak menyangka secangkir kopi yang dibuatkan Alin dan secarik kertas lusuh ini jadi membuat hari-harinya lebih indah. Matanya melirik ke KedaiCita yang kini sudah tutup total. Ia mengelus dada. Jika Alin mampu meyakinkan bosnya untuk menjual kopi dari Pango-pango, mungkin kedai kopinya yang malah akan bangkrut.
Selesai
Published on August 21, 2016 02:53
No comments have been added yet.