Feby Anggra's Blog, page 4
October 28, 2011
Next Plan: Nanowrimo?
Setelah selesai event FF kemarin, blokade kembali ke kepala seperti biasa. Kembali kepada kesibukan menyebalkan mengurusi kerjaan yang seharusnya milik penggelar titel MARS. Tetapi berhubung atasan mempercayai saya, karena saya masih muda dan cerdas jadilah pekerjaan itu dianugerahkan pada saya.
*dicubit bos karena narsis*
Apa tuh Nanowrimo? Jujur saya juga baru tau. Iya! Beneran baru tau beberapa pekan yang lalu dari seorang teman.
Nanowrimo adalah singkatan dari National Writing Month. Singkatnya, ajang "lomba" menulis internasional. Saya beri tanda kutip pada kata "lomba", karena tidak ada pemenang yang "ter-" (contoh: terbaik, tercepat, terseksi, tercantik, dsb). Tapi ini pun bisa dibilang lomba, karena semua pesertanya ditantang menulis novel sampai 50000 kata dalam 1 bulan November itu. Menurut situsnya, para pemenangnya dapat hadiah...
USD 1,000,000.
Uhuk.
Just kidding.
*dihajar*
Yah, tapi kontes ini kontes serius bagi yang serius ingin jadi penulis novel. Kerap kali kita sering menunda-nunda proyek kita karena berbagai macam kesibukan. Nah, Nanowrimo membantu para calon penulis yang serius untuk belajar menyediakan waktu untuk menulis dengan serius. Lomba ini sungguh-sungguh menyediakan hadiah untuk para pemenangnya (bukan satu jeti dollar tentu saja. Heheh...) yaitu proyek novel yang rampung.
Saya sendiri berniat mengerjakan dengan serius salah satu proyek saya, Fallen Sky. Proyek ini dimulai sejak saya masih putih-abuabu. Sampai sekarang tidak selesai-selesai.
Yah, saya berharap bisa memenangkan Nanowrimo ini. Dan yang lebih penting lagi, "memenangkan" Fallen Sky ini. Heheh...
(lebih lengkapnya, berkunjunglah di mari)
*dicubit bos karena narsis* Apa tuh Nanowrimo? Jujur saya juga baru tau. Iya! Beneran baru tau beberapa pekan yang lalu dari seorang teman.
Nanowrimo adalah singkatan dari National Writing Month. Singkatnya, ajang "lomba" menulis internasional. Saya beri tanda kutip pada kata "lomba", karena tidak ada pemenang yang "ter-" (contoh: terbaik, tercepat, terseksi, tercantik, dsb). Tapi ini pun bisa dibilang lomba, karena semua pesertanya ditantang menulis novel sampai 50000 kata dalam 1 bulan November itu. Menurut situsnya, para pemenangnya dapat hadiah...
USD 1,000,000.
Uhuk.
Just kidding.
*dihajar*Yah, tapi kontes ini kontes serius bagi yang serius ingin jadi penulis novel. Kerap kali kita sering menunda-nunda proyek kita karena berbagai macam kesibukan. Nah, Nanowrimo membantu para calon penulis yang serius untuk belajar menyediakan waktu untuk menulis dengan serius. Lomba ini sungguh-sungguh menyediakan hadiah untuk para pemenangnya (bukan satu jeti dollar tentu saja. Heheh...) yaitu proyek novel yang rampung.
Saya sendiri berniat mengerjakan dengan serius salah satu proyek saya, Fallen Sky. Proyek ini dimulai sejak saya masih putih-abuabu. Sampai sekarang tidak selesai-selesai.
Yah, saya berharap bisa memenangkan Nanowrimo ini. Dan yang lebih penting lagi, "memenangkan" Fallen Sky ini. Heheh...
(lebih lengkapnya, berkunjunglah di mari)
Published on October 28, 2011 09:21
October 1, 2011
Dream Come True?
Sekilas belakangan ini saya teringat dengan kisah pribadinya Andry Wongso, mengenai pengalamannya menjadi bintang film Hongkong. Sekalipun pada akhirnya karir beliau dalam perfilman berakhir hanya sebagai aktor figuran saja, bagi Pak Andry, impian beliau menjadi bintang film Hongkong telah tercapai. Diam-diam sempat merenung juga sih mengenai impian sebagai penulis. Heheh...
Anyway, setelah beberapa kali ikutan lomba dan gagal. Dua-tiga-bulan belakangan ini, saya mengikuti beberapa lomba nulis, yaitu:1. Arisan Cerpen Romantis di Grup Cafe Rusuh FB --> alasan: iseng, ingin ilangin writer's block (webe)2. Fantasy Fiesta 2011 --> alasan: udah kaya kutukan, nggak bisa bilang nggak =,=3. Lomba Agustusan di kkom. --> alasan: iseng dan kebetulan dapat ide.
Ternyata kesemuanya ada hasilnya! \(^o^)/ Entah saya lagi hoki atau nggak, nggak tau deh. Tapi saya nyabet juara 2 ACR, juara 1 Lomba Agustusan dan....Fantasy Fiesta? Pengumuman pemenangnya baru tadi siang tuh. Saya ndak menang, tetapi si Noel masuk 100 terbaik. Uhuy!
Buku hadiah ACR
Ehem. Kalau mau sinis sih bisa aja ada yang bilang, "jelas aja menang, lha wong yang ikutan ACR sama Agustusan nggak banyak kok. Buktinya, giliran pesertanya banyakan dikit kaya di FF2011, ente ndak menang! wkwkwkwk!"
Yep! Bener banget. Kesinisan di atas itu bagiku sekedar untuk mengingatkan diri sendiri bahwa di atas langit masih ada langit. Nyadari kok, jagoan kandang doang. Malahan di kandangnya sendiri itu banyak yang lebih jago. Tapi kebeneran aja nggak ikutan. ^^;
Tetapi. Mengingat kisahnya Pak Andry, bolehlah saya berbangga hati. Karena impian saya menjadi seorang penulis akhirnya tercapai juga. Karya saya dibaca, disukai dan dihargai seperti itu. Jelas ini adalah kebahagiaan besar seorang penulis. Betul? Heheh....
Terus gimana kalau ikutan lomba nulis dan nggak menang-menang? Apa dengan begini impiannya nggak kesampaian? Kalo ada yang nanya gini, saya akan balik bertanya,
"Apakah memenangkan lomba nulis adalah impian sebagai penulis?"
"Apa sebenarnya tujuan anda menjadi penulis?"
Silahkan dijawab? Heheh... ;)
Anyway, setelah beberapa kali ikutan lomba dan gagal. Dua-tiga-bulan belakangan ini, saya mengikuti beberapa lomba nulis, yaitu:1. Arisan Cerpen Romantis di Grup Cafe Rusuh FB --> alasan: iseng, ingin ilangin writer's block (webe)2. Fantasy Fiesta 2011 --> alasan: udah kaya kutukan, nggak bisa bilang nggak =,=3. Lomba Agustusan di kkom. --> alasan: iseng dan kebetulan dapat ide.
Ternyata kesemuanya ada hasilnya! \(^o^)/ Entah saya lagi hoki atau nggak, nggak tau deh. Tapi saya nyabet juara 2 ACR, juara 1 Lomba Agustusan dan....Fantasy Fiesta? Pengumuman pemenangnya baru tadi siang tuh. Saya ndak menang, tetapi si Noel masuk 100 terbaik. Uhuy!
Buku hadiah ACREhem. Kalau mau sinis sih bisa aja ada yang bilang, "jelas aja menang, lha wong yang ikutan ACR sama Agustusan nggak banyak kok. Buktinya, giliran pesertanya banyakan dikit kaya di FF2011, ente ndak menang! wkwkwkwk!"
Yep! Bener banget. Kesinisan di atas itu bagiku sekedar untuk mengingatkan diri sendiri bahwa di atas langit masih ada langit. Nyadari kok, jagoan kandang doang. Malahan di kandangnya sendiri itu banyak yang lebih jago. Tapi kebeneran aja nggak ikutan. ^^;
Tetapi. Mengingat kisahnya Pak Andry, bolehlah saya berbangga hati. Karena impian saya menjadi seorang penulis akhirnya tercapai juga. Karya saya dibaca, disukai dan dihargai seperti itu. Jelas ini adalah kebahagiaan besar seorang penulis. Betul? Heheh....
Terus gimana kalau ikutan lomba nulis dan nggak menang-menang? Apa dengan begini impiannya nggak kesampaian? Kalo ada yang nanya gini, saya akan balik bertanya,
"Apakah memenangkan lomba nulis adalah impian sebagai penulis?"
"Apa sebenarnya tujuan anda menjadi penulis?"
Silahkan dijawab? Heheh... ;)
Published on October 01, 2011 10:06
August 10, 2011
Second round of editing my main project ~.~
Cerita ini sebenarnya sudah kubuat sejak masih duduk di bangku kuliah semester awal. Ingat banget, ditulis waktu ngejalanin semester pendek. ^o^ Cerita simpel, cenderung klise, tapi dibuat dengan seluruh jiwa raga dan ----- Oke, that's lebay. XD
Here's the thing. Ini adalah hasil revisian ke-2 setelah versi awal di kemudian.com atau di companion blog-ku di WP. Akhirnya jadi juga. Mohon komentarnya bila ada yang perlu diperbaiki. Terima kasih atas bantuannya ^^
ASTARIA: I. SANG GADIS HUTAN
Seharusnya ia pulang sekarang. Fay mendesah. Sulit rasanya menggerakkan kakinya menjauhi Danau Swan. Ia pun bergeming, menatap kedua kawannya melompat-lompat sambil berteriak-teriak memangilnya. Wen si kelinci hutan dan Felix si anak serigala putih. Tentu saja mereka sebenarnya hanya mencicit dan mengeram, tetapi ia memiliki bakat untuk berkomunikasi dengan makhluk tanpa kata sedari lahir. Seruan mereka saat ini adalah ajakan berenang di danau kecil itu. Hari yang panas membuatnya amat sangat tergoda. Fay mendesah sebagai tanggapan panggilan Wen. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ketigabelas dan ibunya sudah mewanti-wanti supaya ia pulang sesegera mungkin. Jelas akan ada acara makan bersama keluarga kecil mereka. Berenang akan membuatnya terlambat. Tetapi danau itu berkilau menggoda -Fay berani bersumpah ia baru saja melihat kilauan itu- dan sepertinya airnya pun sejuk."Ibuku akan marah. Beliau sudah menunggu kayu-kayu bakar ini", katanya pada Wen sambil menunjukkan kayu-kayu bakar yang bergelantungan di punggungnya. "Bermain kan bukan dosa, Fay!" seru Felix. "Hari ini malam bulan penuh."Itu alasan lain yang membuatnya tidak mungkin mengikuti ajakan menggiurkan itu, tetapi sebenarnya alasan-alasan itu lebih ditujukan sebagai peringatan diri."Ini masih siang!"Pertahanannya semakin goyah. "Kata ibuku, manusia itu seharusnya lebih serius bermain, supaya mereka tidak terus-terusan berperang!" tambah Wen sok tahu. Angin berdesir dan membuat dedaunan pohon beringin yang berdiri di dekat gadis itu bergoyang. Fay mendelik ke arah pohon itu. "Kau juga jangan menggodaku, Pak Beringin." Daun-daun pohon kembali melambai-lambai seakan mengiyakan. "Ayo, Fay! Ayo!" Wen si provokator itu malah langsung menceburkan diri. Cipratan airnya langsung membuat tubuh gadis itu basah. "Hei!" Felix pun ikut-ikutan menceburkan diri, membuatnya semakin basah. "Hei! Awas kalian! Kulaporkan pada ibu kalian baru tahu rasa!" seru Fay geram lalu segera melepaskan seluruh pakaiannya –toh sudah kepalang basah- dan menyusul teman-teman binatangnya yang kini sedang mencicit dan mengeram geli melihat kegusarannya. "Hei! Awas, Felix! Fay si pengadu mau memakan kita!" Untuk beberapa waktu, danau dan hutan Swanna menjadi saksi keceriaan ketiga makhluk berlainan jenis itu bermain hingga lupa waktu. Begitu matahari mulai tenggelam dan para binatang malam mulai keluar menyambut hari mereka, barulah menyentil kesadaran Fat bahwa ia sudah membuat masalah. "Celaka!" Ia berseru frustasi. Tetapi terlambat. Malam bulan penuh adalah malam dimana bulan bersemangat untuk menunjukkan dirinya, walaupun hari baru menjelang malam, sang bulan sudah siap untuk menyinarkan dirinya.Fay mengeluh. Rasa panas yang tak asing mulai terasa dari dada menyebar ke seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan tubuhnya berubah. Dari seorang gadis kecil menjadi seorang wanita dewasa. Warna kulitnya menggelap. Telinganya perlahan memanjang, begitu pun dengan rambutnya. Menjadi putih sewarna gading."Kalian sih! Mengajak main-main terlalu lama!" gerutunya. Wen dan Felix hanya memandangnya dengan rasa tidak enak hati. "Aduh. Maaf, Fay. Tak sangka malah jadi begini."Fay merengut diam. Mau marah-marah pun percuma karena sudah terjadi. Sekarang tinggal mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya lalu pulang dan menghadapi kemarahan ibunya. Fay meringis dalam hati. Ibu sangat menyeramkan bila sedang marah."Pakai ini, Fay." Seekor beruang menghampirinya lalu menghempaskan sebuah jubah wol berwarna hijau tua.Fay berseru senang. "Terima kasih, Rhata! Kau memang beruang paling ganteng seantero hutan Swanna!" Beruang itu pun mengeram senang.Jubah itu terlalu besar untuknya tetapi cukup hangat. Malam semakin cepat menyelimuti dunia hijau itu dan Fay harus sesegera mungkin sampai di rumah. Semakin malam ia sampai, maka akan semakin tinggi kadar kemarahan ibunya.***
"Dari mana saja kau, Fay Leen?!"Fay menunduk di bawah tatapan tajam berbahaya mata coklat Julia, ibunya. Bila nama panjangnya sudah disebutkan seperti itu berarti ia sudah dalam masalah besar."Dan apa-apaan dengan penampilanmu itu!" tambah ibunya masih dengan nada tinggi. "Sudah tahu malam ini, malam bulan penuh! Lalu kau ingat tadi Ibu suruh apa?!"Fay semakin menunduk. Ia meninggalkan kayu-kayu bakarnya di pinggir danau tadi karena terlalu panik. "Maaf, Bu.""Sudahlah, Julia." Terdengar suara berat khas lelaki dewasa. Pamannya, Lon, muncul di belakang ibunya. "Toh aku sudah mendapatkan cukup banyak kayu bakar untuk hari ini." Pria berambut coklat acak-acakan itu menyunggingkan senyuman lebar mempesona yang biasanya sulit ditolak oleh gadis-gadis Wasugi, desa yang terletak di dekat hutan Swanna ini. Fay langsung berseru girang dalam hatinya melihat pamannya campur tangan.Tapi nampaknya tidak mempan bagi ibunya. Telinga elf-nya bergerak-gerak gusar. Ibunya yang berdarah setengah elf itu mendelik tajam terhadap Lon. "Kau terlalu memanjakannya, Lon.""Hari ini kan hari ulang tahunnya," tambah Lon lagi. Fay diam-diam melirik ibunya penuh harap. Semoga pesona Lon kali ini mempan untuk ibunya. Dan doanya terkabul. Akhirnya ibunya menghela nafas setelah beberapa saat diam. "Baiklah, kali ini aku memaafkanmu. Tapi lain kali jangan coba-coba lagi membuatku khawatir seperti ini, kalau kau ingin menikmati makan malammu." Masih dengan tatapan galak. "Cepat ganti bajumu sebelum kau kedinginan." Suaranya kini sedikit melembut.Fay langsung mengangguk dengan cepat dan segera berlari ke kamarnya sebelum beliau berubah pikiran."Kalau sudah dewasa, dia pasti akan menjadi cantik seperti itu." Fay sempat mendengar Lon berkata begitu sesaat sebelum ia masuk ke dalam kamarnya. "Mungkin sinar bulan penuh yang menampakkan wujud aslinya.""Mungkin saja." Ibunya menjawab. "Tapi fenomena yang dialami Fay cukup aneh bahkan bagi keturunan elf murni."Fay menutup pintunya, lantas berdiri di depan cermin dan menatap gadis yang berdiri di dalam cermin itu.Mungkin inilah diriku beberapa tahun lagi.Menurut Lon ia cantik, tetapi -bukannya Fay tidak suka dibilang cantik- ia tidak nyaman dengan wujud ini. Walaupun kaki-kakinya lebih panjang sehingga bisa melangkah lebih jauh, tapi ia tidak seleluasa bergerak seperti dengan tubuh usia tiga belasnya. Jika beberapa tahun lagi ia akan menjadi seperti ini -ia mendesah lesu- lebih baik tidak usah menjadi dewasa sekalian. Seperti ibunya. Ya, ibunya adalah seorang setengah elf. Di usia beliau yang sudah pertengahan kepala tiga, ibunya masih tampak seperti manusia di usia awal dua puluhan. Ia dan ibunya bila disandingkan, lebih mirip kakak beradik, dibandingkan ibu dan anak. Tubuhnya pun mungil tidak seperti para elf umumnya –Fay belum pernah bertemu dengan elf, tapi kata Lon elf adalah bangsa yang memiliki tubuh paling tinggi dibandingkan bangsa lain.Fay mendesah. Mungkin bila ayahnya pun seorang elf, ia pasti bisa awet muda seperti ibunya. Ia memang tidak mengenal ayahnya, karena ibunya tidak pernah mau menceritakannya. Tapi menurut Lon, ayahnya manusia.Eh, tapi dia juga tidak mau kalau jadi anak-anak terus. Sebal rasanya setiap kali Lon memanggilnya anak kecil."Fay! Kalau kau mau lama-lama di sana, makananmu keburu habis oleh Lon!"Seruan ibunya membuat Fay gelagapan. Direnggut paksa dari lamunannya. Buru-buru dicari pakaiannya di lemari, bersamaan dengan itu jubah hijau tua itu dihempaskannya ke lantai. Bunyi logam bertemu lantai membuatnya terhenyak. Fay menoleh. Suara itu berasal dari jubah hijaunya. Penasaran, diambilnya jubah itu dan ia menemukan sumber suara itu. Disipitkan matanya menatap pin perak berukiran bunga rumput aneh yang tersemat dipinggir jubah. Rupanya ia tidak melihat pin itu tadi karena hari sudah gelap."FAY!""Iya, Bu!" serunya spontan. Gawat. Ibunya pasti akan menyusul bila ia tidak segera turun. Pin aneh itu bisa menyusul nanti."Lama sekali!" omel ibunya begitu melihatnya turun. Tetapi tangannya direntangkan siap memeluknya. Fay cuma menyengir lebar menanggapi ocehan itu lalu masuk dalam pelukannya."Aku jadi merasa beruntung bisa melihat wujud dewasamu sekarang," ujar ibunya tersenyum dan mengecup sayang keningnya."Kalian lebih mirip kakak beradik daripada ibu dan anak," celetuk Lon tertawa lalu ikut nimbrung mengecup kening Fay. "Kita bersulang, Fay." Lon memberikan segelas kecil jus anggur padanya."Jus anggur lagi," protes Fay. "Aku kan sudah dewasa!""Badan dewasa, otak balita," ledek Lon sambil menyentil jahil dahi gadis itu. Tanpa peduli dengan gerutuannya, pria itu mengangkat gelasnya sendiri. Diikuti yang lain. "Semoga Tuan Putri selalu sehat dan panjang usia!"Bersama-sama ketiganya meminumnya."Tradisi aneh," ujar Fay ketika mereka bertiga sudah duduk di meja makan dan menyantap makanan mereka. Ia mengacu pada tradisi bersulang barusan. "Apakah karena kita berasal dari Faran? Tidak ada anak-anak di pulau Lokia ini yang melakukannya. Apa jangan-jangan aku ini tuan putri di Faran?" Fay pun mentertawakan leluconnya sendiri."Karena di Faran semua anak perempuan dianggap tuan putri," sahut Lon sambil menggigit paha ayam hutannya."Apakah kita harus selalu melakukannya setiap kali aku berulang tahun?" tanya Fay menatap ibu dan pamannya serius. "Menurut orang-orang desa, Faran adalah negeri barbar. Mereka suka membunuh dan menjajah dimana-mana. Aku tidak percaya aku ini berdarah Faran kalau bukan kau yang mengatakannya, Lon."Lon menyengir. "Aku juga tidak suka kenyataan bahwa aku pun berdarah Faran. Tapi yah..." Lon mengangkat bahu. "Apa boleh buat.""Aku ingin jadi ksatria yang hebat supaya bisa memperbaiki negeri bobrok itu." Mata Fay berbinar penuh semangat. "Besok kau akan mengajariku jurus baru kan, Lon?"Tetapi ibunya menggelengkan kepala. "Besok kau akan belajar tata krama."Fay langsung mengeluh protes. "Yah, Ibu... Ini memperlambat cita-citaku menjadi seorang ksatria!"Lon tertawa. "Untuk menjadi ksatria, diperlukan lebih dari sekedar tubuh kuat dan jurus yang hebat, tapi tekad.""Tekad?"Pria itu pun menunjukkan salah satu pergelangan tangannya yang terdapat bekas sayatan pisau. Fay mengenali luka itu. Dulu ia pernah menanyakannya, tetapi Lon menolak menjawab."Tanda sumpah darah.""Sumpah darah?" Kata-kata yang menarik.PLAK!Suara mengaduh Lon menyusul suara keras itu. "Aduh! Julia, kau kan tidak perlu memukulku dengan centong nasi itu!""Ini karena kau bicara yang tidak-tidak dengan anakku!" Mata coklat itu mendelik tajam. "Fay, jangan dengar kata-kata manusia ngawur ini! Akan tiba saatnya kau mengerti semuanya dan kuharap bukan dalam waktu dekat."Lon langsung menunduk diam. Siapalah yang bisa melawan centong nasi ibunya? Fay pun tidak bertanya lagi, tetapi kata-kata Lon dan ibunya yang tidak dimengertinya itu melekat di kepalanya hingga pada saatnya ia tidur.*** "Seharusnya kau tidak berkelahi, Felix." Felix mengeram kesakitan sewaktu Fay membersihkan luka di kakinya dengan air hangat. "Sakit, Fay!" teriak serigala kecil itu. "Makanya jangan berkelahi!" "Tapi Tuck dan kawanan serigalanya itu mengejek Wen!" protes Felix. "Katanya aku berteman dengan makanan. Yang benar saja! Wen bukan makanan, dia temanku!" Fay mendesah. Felix memang sering sekali bertengkar dengan geng serigala kecil yang dipimpin anak serigala gendut bernama Tuck. Ibu Felix pernah berkata bahwa Felix adalah serigala berbulu putih pertama yang lahir di dalam kawanan serigala mereka. Ini menandakan dirinya istimewa. Kemungkinan Tuck dan kawan-kawannya itu iri pada Felix. Wen mendekati Felix lalu menjilati wajah serigala itu. "Hihihi.. tapi aku senang kau membelaku. Terima kasih, Felix." Felix mendekur menanggapi cicitan Wen. Setelah selesai mengobati luka-luka Felix, Fay membungkus serigala kecil itu dengan jubah hijau tua yang ditemukan Rhata kemarin. "Hangat, Fay. Terima kasih ya." Felix mengeram penuh terima kasih. Wen pun ikut meringkuk di dalam jubah itu. "Kau sudah seperti ibu mereka, Fay," komentar Rhata yang berbaring di sebelah mereka bertiga. Fay pun tertawa. "Lalu bagaimana ulang tahunmu kemarin? Ibumu tidak marah kan?" "Sempat marah sih tapi seperti biasa Lon menolongku." Perutnya masih bergejolak geli mengingat kejadian kemari. Kemudian ia teringat pada pin perak di jubah hijau itu dan berniat menanyakannya pada Rhata. Tetapi tepat pada saat ia hendak membuka mulut, Rhata mengeram waspada. Bulu-bulu hitam coklatnya serasa menegang. Felix dan Wen pun gemetar ketakutan di dalam pelukannya.Tubuh Fay ikut menegang. Ada pemburu di dekat mereka.Disiapkannya pedang pendek yang selalu dibawa di pinggang. Perlahan ia berdiri sambil tetap menggendong Felix. Sementara Wen melompat ke belakang punggung Fay. Rhata kini mengeram ke salah satu semak-semak."Tunggu! Aku tidak bermaksud menyakitimu!"Seruan itu berasal dari semak yang ditatap Rhata. Fay menepuk lembut pundak beruang itu. "Siapa kau? Tunjukkan dirimu!"Semak-semak itu pun bergoyang-goyang dan tak lama kemudian muncul seorang pemuda berambut emas berpakaian pemburu dari sana. Tubuhnya penuh dengan ranting dan dedaunan. Pemuda itu menyengir lebar menatap Fay sambil melirik cemas pada Rhata. Kedua tangannya terangkat ke atas."Kau pemburu!" tuduh Fay sambil mengacungkan pedang pendeknya ke arah pemuda itu. Rhata menambah ancaman dengan mengeram galak. "Pergi!""Sabar dulu, Nona dan..." Ia melirik khawatir pada Rhata, "...dan beruang yang baik. Ya, aku memang pemburu tapi saat ini aku tidak sedang berburu. Lihat!" Pemuda itu mengangkat tangannya lebih tinggi. "Hanya ada pedang di pinggangku." Fay menatap pemuda itu masih dengan pandangan curiga. Jelas ia tidak semudah itu percaya pada ucapan orang asing ini. Ia masih menimbang-nimbang pendapatnya mengenai pemuda itu. "Kelihatannya dia jujur, Fay." Rhata berkata padanya setelah beberapa lama. "Dan kelihatannya manusia ini tertarik padamu." Fay mengerutkan dahi dan menatap beruang itu tidak mengerti. Tertarik? Apa maksudnya?"Namaku Rafe," ujar pemuda itu. "Aku mencari jubahku yang hilang kemarin, tapi hmm.. nampaknya si kecil itu lebih membutuhkannya dariku." Ia menatap Felix yang berada di dalam gendongan Fay.Jadi jubah ini milik pemuda asing ini? Omongannya terasa masuk akal."Apa perlu kuusir dia?" eram Rhata galak membuat pemuda bernama Rafe itu melonjak kaget walaupun senyuman masih terhias di wajahnya."Hmm... apa kau bisa..hmm.. tolong katakan pada temanmu ini bahwa aku tidak berbahaya?" Rafe menatap Rhata takut-takut.Sejenak Fay masih menatap pemuda itu dengan tatapan menilai, lalu akhirnya ia meminta Rhata membiarkan pemuda itu mendekati dan duduk bersama mereka, walaupun jarak yang diizinkan Fay cukup jauh dari mereka."Kau bisa berbicara dengan binatang?" Pemuda itu menatap Fay dengan tatapan kagum.Fay terdiam lagi. Kembali menimbang apakah ia akan menjawab pertanyaan itu atau tidak. Akhirnya diputuskannya menjawab. "Pada makhluk tanpa kata.""Makhluk tanpa kata?""Binatang, tumbuhan, bebatuan, sungai, semua makhluk tanpa kata.""Wow!" Mata Rafe tambah bersinar penuh kekaguman. "Siapa namamu, Nak?"Fay mendelik sebal. Nak? "Aku sudah tiga belas tahun sejak kemarin.""Benarkah? Kau baru berulang tahun?" Senyuman Rafe bertambah lebar tanpa peduli nada dingin gadis itu. "Selamat ulang tahun kalau begitu. Hmmm... boleh tahu namamu?"Lagi-lagi Fay menimbang dan sekali lagi pula memutuskan untuk menjawabnya. Senyuman Rafe membuatnya merasa nyaman. Perasaannya mengatakan bahwa ia bisa mempercayai pemuda ini. "Fay.""Fay." Rafe mengucapkannya lagi seakan sedang merekam baik-baik di kepalanya. "Hati yang bijak. Namamu indah, seperti pemiliknya."Ada rasa senang menghinggapinya mendengar kata-kata itu. Sepertinya pemuda ini bisa menjadi teman yang asyik."Dia sedang merayumu, Fay."Fay menoleh pada Wen yang mencicit di sampingnya. "Apa?""Apa katanya?" tanya Rafe penasaran."Katanya kau sedang merayuku. Apa artinya?"Sementara Rhata mengeram malas, tawa Rafe meledak."Mengapa kau tertawa?" Fay tersinggung."Aku tidak merayumu." Mata Rafe berubah tajam dan bersinar aneh. "Kalau aku merayumu, aku akan melakukan ini." Pemuda itu bergerak mendekatinya dengan cepat, bahkan Rhata pun tak sempat mengeram protektif. Tiba-tiba saja wajah pemuda itu berada dekat di wajahnya. Jarak mereka kurang dari sejengkal tangan dan selanjutnya bibir mereka bersentuhan sekilas.Rhata mengaum gusar hendak menerjang Rafe."Rhata!" Seruan Fay langsung menahan beruang itu dan memberi cukup waktu bagi Rafe untuk segera menjauh."Manusia lancang! Akan kucincang kau!"Dilihatnya pemuda itu nampak terpana sebelum kemudian menyengir maaf. "Padahal aku tidak bermaksud sampai menciummu, tapi kau terlalu manis." Lalu ia bergeming, kembali dengan tatapannya yang aneh itu.Fay membalas tatapan itu dengan mengerjap bingung. "Aku tidak mengerti? Apa merayu itu sama dengan tawaran persahabatan?"Keheningan melanda tiba-tiba. Semua makhluk seakan mengkaku di tempat dengan mata terpaku pada dirinya. Mereka menatapnya seakan dirinya makhluk aneh entah dari mana. Dan keheningan itu pecah tak lama kemudian dengan derai tawa Rafe. Dahi Fay semakin berkerut bingung.Bukankah apa yang dilakukan Rafe itu sama seperti ketika ibunya dan Lon lakukan terhadapnya? Bedanya mereka melakukannya di dahi atau pipinya. Itu ungkapan kasih sayang. Ungkapan persahabatan. Apa yang lucu?***
Published on August 10, 2011 05:45
August 5, 2011
MADRE
Madre by DeeMy rating: 4 of 5 stars
Dee memang punya kekuatan kata-kata yang bisa menawan mata untuk terus membaca dari mulai kata pertama. Ditambah lagi, kekuatan Dee adalah tema yang diangkat adalah tema-tema ringan dan keseharian. Secara khusus dalam buku ini, diangkat tema keluarga, cinta, Tuhan, persahabatan, dsb.
Favoritku adalah Madre, kisah tentang warisan usaha roti yang hearth warming. Lalu Rongga Amniotik, prosa perbincangan antara seorang ibu dan anaknya yang belum lahir. Duh, filosofi mengenai "bukan ibu yang mengandung" itu membuatku senyum. Favorit ketiga adalah Ingatan Tentang Kalian, sebuah puisi tentang persahabatan. Selanjutnya analogi penjelasan mengenai cinta dan Tuhan dalam Semangkuk Acar Untuk Cinta dan Tuhan membuatku tertawa. Dan terakhir, kurasa ini yang paling kusukai dari semuanya. Menunggu Layang-Layang. Romantis, platonik love, gregetin. Sempat terbayang juga prosa/lagu Dee dalam Recto Verso, Malaikat Juga Tahu. Untunglah happy ending, kalo gak aku bisa mencak-mencak selama... *PLAK! Lebay detected* XD
Anyway, cerita-cerita lain pun bagus. Yang kujabarkan di atas, hanyalah favoritku dari semua cerita yang ada. hehe...
This book is really recommended!
View all my reviews
Published on August 05, 2011 03:25
July 20, 2011
KENANG-KENANGAN MUSIM PANAS
Cerpen yang diikutkan dalam lomba Arisan Cerpen Romantis di grup mukabuku Cafe Rusuh. :P
Hikari berkumpul bersama keluarga Satoshi di teras belakang rumah keluarga Yamada, menikmati semangka yang dibelah Ichirou, kakak ipar Satoshi. Tidak pernah ada kecanggungan di antara dirinya dan anggota keluarga itu. Karena dulu ketika Hikari dan Satoshi masih menjalin hubungan, hampir setiap musim panas mereka datang mengunjungi rumah ini. Kebiasaan itu terhenti setelah kecelakaan pesawat terbang yang dialami Satoshi dua tahun silam. "Tambah lagi, Hikari-chan?" tanya seorang perempuan setengah baya berperawakan mungil yang adalah ibu Satoshi, Akane. "Tak usah, Obasan. Terima kasih." Hikari memang sudah kenyang. Apalagi ia sempat memergoki Ryota berkali-kali melirik penuh minat dua potong semangka yang tersisa, walaupun sebelumnya bocah sepuluh tahun itu sudah melahap tiga potongan besar. "Sering-seringlah datang kemari," ujar suara berat milik ayah Satoshi, Goro, sambil menghisap pipa rokoknya. "Rasanya seperti Satoshi datang mengunjungi kami." "Jangan bicara begitu, Goro-san," tegur Akane. "Jangan mengingatkan Hikari-chan pada hal yang sedih-sedih." "Tidak apa-apa, Obasan," sahut Hikari cepat-cepat. "Justru saya datang kemari untuk mengenang Satoshi." "Memangnya kau belum punya pacar lagi, Hikari-chan?" Ichirou ikut nimbrung. "Kau gadis yang cantik. Apa laki-laki di Tokyo itu buta semua?" Hanya pertanyaan sederhana dan biasa saja. Seharusnya pun wajar bila ditanyakan pada gadis lajang seperti dirinya. Tetapi entah mengapa terasa menusuk sanubarinya. Nampaknya Misa dan Akane menyadari apa yang dirasakannya. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri yang tak pandai menyembunyikan perasaannya, sehingga membuat suasana berubah kurang enak. Sementara Akane langsung menawarinya teh hijau, Misa memarahi suaminya. "Mau tahu saja urusan orang! Urus saja perut gendutmu itu!"Tetapi pertanyaan itu masih terngiang di telinga Hikari hingga hari-hari selanjutnya. Disusul dengan berbagai macam pertanyaan baru dalam benaknya. Tak wajarkah dirinya masih terus mencintai almahrum tunangannya? Dan bagaimana dengan mencintai orang lain selagi masih memikirkan orang yang telah tiada? Bolehkah?Dilema. Dadanya terasa begitu penuh dan hampir meledak.Di depan altar kuil kecil, ia menjatuhkan lututnya ke tanah. Serbuan kenangan membanjiri ingatannya. Sebab ini adalah tempat di mana Satoshi melamarnya.Satoshi, mengapa kamu tinggalkan aku?!Ia terisak dalam diam. Air mata kesedihan dan kemarahan mengalir deras dari kedua matanya. Ia marah. Marah pada takdir. Marah pada dirinya sendiri. Ini adalah perjalanan untuk mengenang Satoshi, tetapi bagaimana mungkin ketika bibirnya menyebut nama Satoshi, tetapi wajah yang muncul di kepalanya adalah wajah...
Tiba-tiba saja suasana di antara mereka menjadi aneh. Mereka berteman. Dulu selalu bertiga dengan Satoshi, sekarang hanya ada mereka berdua. Namun selama dua tahun ini tak pernah ada yang berubah.Tak pernah ada yang berubah? Benarkah? Hikari tak yakin dengan perasaannya sendiri.Ia menahan nafas. Pemuda itu mendekatkan wajahnya perlahan pada wajah Hikari. Begitu dekat, hingga Hikari dapat merasakan hembusan nafasnya. Suara debaran liar jantungnya memekakkan telinganya. Dunia seakan berhenti berputar. Ia membeku. Terpaku. Tak mampu melepaskan diri dari jeratan mata hitam jernih yang menatapnya begitu serius, begitu penuh...."Maukah kau menikah denganku, Hikari?"
Entah berapa lama Hikari hanya duduk dan terdiam di tempat penuh kenangan dengan Satoshi itu. Merenung. Membereskan semua keraguan. Hal yang seharusnya dilakukannya sejak awal. Ya, untuk itulah ia datang ke tempat ini. Dan ketika sore menjelang malam, ia menarik nafas panjang dan memejamkan matanya sebentar. Ia sudah mengambil keputusan.Besok ia akan kembali ke Tokyo dan –diabaikan hatinya yang tiba-tiba nyeri- menolak lamaran itu. Tak mungkin ia menikahi orang lain selagi masih mengingat Satoshi seperti ini. Ia pun bangkit berdiri. Ada kelegaan setelah berhasil mengambil sebuah keputusan. Tak peduli seberapa menyakitkannya keputusan itu.Sambil melewati jalanan berbatu, bunyi jangkrik yang mengiringi langkahnya terdengar bersukacita di telinganya karena akhirnya ia telah memantapkan hati bimbangnya. Langkahnya ringan. Namun semakin lama ia melangkah, semakin dirasakannya ada kecemasan melanda. Dapat dirasakannya, ada seseorang yang sedang mengikutinya. Langkahnya pun dipercepat, sambil mengutuki diri sendiri karena tak sadar hari sudah terlalu sore ketika memutuskan untuk pulang.Jarak dari kuil itu hingga rumah keluarga Satoshi memang tak terlalu jauh, bahkan sudah dapat terlihat samar-samar kebun bunga matahari milik ayah Satoshi dari kejauhan. Tetapi saat ini rasanya lebih jauh dari biasanya. Juga, berbeda dengan di Tokyo, tak banyak penerangan di desa ini. Ditambah lagi sore kian cepat terhapus oleh kegelapan malam.Orang itu semakin mendekat. Membuat semburan adrenalin mempengaruhi jantungnya berdetak lebih cepat. Akhirnya ia berlari. Dan orang itu pun mengejar sambil meneriakkan sesuatu, tetapi ia sama sekali tak dapat mendengarnya.Di satu belokan akhirnya orang itu berhasil mencengkeram lengannya. Hikari panik bukan kepalang. Ia menjerit sekencang-kencangnya. Namun segera tangan besar dan kuat langsung membekap mulutnya."Oi, Hikari! Ini aku!"Matanya membelalak lebar. Suara itu tak asing. Lantas ia menoleh untuk memastikan dirinya tak salah mengenali orang. Cahaya samar dari sisa matahari sore membuktikan dirinya tak salah. Bekapan orang itu pun mengendur, menyadari gadis itu mengenalinya."Natsu?" Rasanya tak percaya pemuda itu bisa ada di sini. Jantungnya berdebar cepat lagi. Kali ini akibat kehadiran pemuda itu yang tak disangka-sangkanya. Wangi khas maskulin dari tubuh pemuda itu membuatnya mabuk. Mata hitam jernihnya menatapnya begitu dalam."Ke...kenapa kau ada di sini?"Jiwanya serasa meninggalkan tubuhnya saat jemari pemuda itu menyentuh sebelah pipinya. Lembut."Tentu saja untuk menemukanmu, gadis bodoh. Kau menghilang sejak..." Natsu terdiam sejenak. "Sejak malam itu."Wajahnya memanas. Yang dimaksud Natsu adalah malam itu. Malam di mana Natsu melamarnya. Malam di mana keesokan harinya ia meninggalkan apartemennya tanpa sepatah kata apapun untuk Natsu dan mengunjungi kampung halaman Satoshi."A...aku hanya teringat pada cutiku yang masih bersisa." Hikari tak mampu menatap kedua bola mata jernih itu. Tak ingin tertawan pesona yang dipancarkan pemuda itu dan menggagalkan dustanya. "Dan... sudah lama aku tidak mengunjungi keluarga Satoshi. Aku hanya sedikit teringat padanya."Kedua alis Natsu naik. "Sedikit? Kau selalu mengingat Satoshi." Ada nada gusar, tetapi tak ada nada cemburu dalam suaranya. "Tapi setidaknya kau bisa memberitahuku kan? Apa kau tidak tahu aku hampir mengelilingi seluruh Tokyo seperti orang bodoh mencarimu? Hingga kemudian aku sadar, kau mungkin memikirkan Satoshi setelah.... malam itu." Dua kata terakhir diucapkannya dengan volume suara lebih kecil.Kata-kata itu membuat Hikari tersentuh. Rasa nyeri di dadanya bertambah. Mati-matian ditahan tangannya supaya tidak diulurnya untuk menyentuh wajah berekspresi keras itu. Walaupun perasaan Natsu mengenai Satoshi tak tertebak, tetapi pemuda itu jelas menyayanginya. Bagaimana pun juga, ia tak boleh menyakiti Natsu dengan menunda-nunda memberitahunya keputusan yang menyakitkan."Maafkan aku, Natsu," ucapnya akhirnya sambil berjuang tidak mengeluarkan suara bergetar. "Aku tak bermaksud membuatmu khawatir, tapi..." Hikari mengangkat kepalanya dan matanya menemukan mata jernih Natsu. Lantas mata itu menawannya. Dan ia kehilangan kata-kata."Tetapi apa, Hikari?"Hikari menggelengkan kepalanya keras. "Kau benar, Natsu," katanya cepat-cepat. Ia harus segera mengatakan semuanya sebelum pesona pemuda ini mencegahnya lagi. "Aku memang selalu mengingat Satoshi dan bila kau memintaku untuk melupakannya, aku tak mungkin bisa. Jadi aku...""Kapan aku memintamu melupakan Satoshi?"Hikari terdiam. Benar. Tak sekalipun Natsu pernah memintanya melupakan Satoshi. Bahkan tidak saat lamaran itu.Kemudian Hikari dapat merasakan tatapan Natsu terpaku padanya. Seperti malam itu, tercipta keheningan yang memabukkan. Bagaikan magnet, tatapan itu menarik tatapannya juga. Sekali lagi dunia berhenti berputar. Kegelapan malam seakan mendekatkan mereka."Hikari-chan! Natsuki-kun!"Suara Misa membuat Hikari spontan mendorong Natsu menjauh. "O..oneesan. Oniisan." ucapnya salah tingkah. Kakak perempuan Satoshi dan suaminya mendekati mereka."Aduh, kau kemana saja sih? Kami sampai khawatir. Untung Natsuki-kun berhasil menemukanmu.""Tadi aku sempat ketiduran di kuil. Maafkan aku." Hikari gelisah. Selain karena merasa bersalah sudah membuat mereka khawatir, ia pun masih kesulitan mengendalikan salah tingkahnya. Ia tidak ingin mereka tahu apa yang sedang dirasakannya.Entah karena tak peka atau berpura-pura bodoh, Misa tidak menunjukkan reaksi apa-apa kecuali menghela nafas lega. "Ya sudah. Yang penting kau tidak apa-apa, Hikari-chan. Ayo kita pulang. Ryota sudah tidak sabar ingin main kembang api."***
"Ini untuk Hikari-obachan," ujar Ryota menyerahkan sebatang kembang api yang belum dinyalakan, lalu berlari ke arah kakeknya yang sedag mencari-cari korek api di sakunya. Hikari tersenyum melihat suasana keakraban yang terasa di halaman belakang rumah ini. Semuanya mengingatkannya pada masa lalu. Pada Satoshi. Di satu sudut, Ichirou sedang memasang obat nyamuk bakar di sekeliling kebun. Sementara Misa dibantu oleh -Hikari menahan nafasnya- Natsu, sedang mempersiapkan kue-kue manju dan teh hijau sebagai hidangan malam. Seperti dirinya, Natsu bukanlah orang asing bagi keluarga ini. Dulu, terkadang ia ikut dengannya dan Satoshi bertandang kemari. Tiba-tiba pandangan mereka bertemu, dan dirasakannya wajahnya memanas. Ia melengos, tak sanggup menahan rasa itu lebih lama lagi. Ia tahu, perasaan seperti inilah yang tak ingin dirasakannya. Entah sejak kapan, Satoshi selalu terlupakan bila ada Natsu di dekatnya. Dosanya yang terbesar. Aku harus mengatakan keputusanku itu kepadanya. "Hikari-chan." Didapatinya ibu Satoshi berdiri di sebelahnya."Obasan."Perempuan setengah baya itu tersenyum dan menepuk lembut tangannya. "Natsuki-kun itu pria yang baik."Hikari tergagap mendadak. Panik. "O... Obasan, a... aku..."Akane mengangkat sebelah tangannya mengisyaratkan supaya gadis itu diam. "Aku senang mengetahui bahwa kau begitu mencintai putraku dan aku pun telah menganggapmu sebagai anakku sendiri." Ditepuknya tangan gadis itu sekali lagi. "Hikari-chan, aku menyayangimu dan menginginkan kebahagiaanmu."Hikari merasa ada titik air mata haru pada sudut matanya. "Saya tahu, Obasan. Saya yang sudah yatim piatu ini pun telah menganggap Obasan dan Ojisan sebagai orangtua saya sendiri."Akane mengangguk, kemudian menghela nafas panjang. "Hikari-chan, jangan sampai kau merasa bersalah bila kau mencintai orang lain selain Satoshi."Kali ini Hikari benar-benar terkejut. Kalimat itu benar-benar menembus tepat pada titik lemah dalam hatinya. "O... Obasan, anda salah paham. S...Saya tidak...""Nak, semuanya tampak jelas di mata tuaku ini," potong perempuan setengah baya itu dengan senyum keibuan. "Aku pun yakin, Satoshi menginginkan kebahagiaanmu." Kemudian perempuan setengah baya itu menepuk sekali lagi tangan Hikari sebelum beranjak meninggalkannya. "Kalian butuh bicara."Hikari mendongak dan melihat alasan kepergian Akane. Natsu berdiri tepat di hadapannya. Sebelah tangannya memegang sebatang kembang api yang menyala. Sementara di belakangnya, keluarga Yamada sudah asyik menikmati nyalanya kembang api. Ryota nampak berseru kesenangan melihat ayahnya memegang tiga kembang api sekaligus."Mau kunyalakan?"Hikari menyodorkan batangan kembang apinya."Apa kau tahu mengapa Satoshi selalu mengajak kita kemari setiap musim panas?" tanya Natsu lagi, sambil menyalakan batangan kembang api itu.Hikari diam sejenak memikirkan maksudnya, tetapi tak ada satu pun jawaban yang terpikir. Ia pun menggeleng. "Tidak."Natsu mendengus tawa geli. "Karena menurutnya kita adalah musim panasnya."Jawaban itu malah membuat Hikari mengernyitkan dahinya tak mengerti."Kau tak menyadarinya?" Pemuda itu masih tertawa kecil. "Nama kita. Natsu. Hikari." Dikembalikannya kembang api yang telah dinyalakan pada Hikari, sambil duduk di bangku taman di dekat mereka.Setelah sejenak berpikir, Hikari mengerti. Nama Natsu yang berarti musim panas dan namanya sendiri yang melambangkan kembang api yang kerap kali dimainkan saat musim panas. Satoshi memang pernah mengatakan bahwa dari semua hal tentang musim panas yang disukainya, saat di mana seluruh teman dan keluarganya berkumpul bersama memainkan kembang api adalah yang paling disukainya.Walaupun begitu, tetap saja sebenarnya tak ada hubungannya dengan saat favorit Satoshi itu dengan Natsu dan dirinya yang dikatakan Satoshi sebagai musim panasnya. Satoshi memang ahlinya mengarang logika aneh yang tak menyambung. Hikari pun ikut mendengus tawa dan tak lama, bersama Natsu, mereka tertawa bersama mengenang Satoshi. Masa bodoh dengan lima kepala di pojok lain yang melirik-lirik tertarik ke arah mereka."Jangan lupakan Satoshi." Sekali lagi didapatinya Natsu sedang menatapnya penuh kelembutan. Tawanya pun terhenti. "Karena aku pun tak mungkin bisa melupakannya. Bagaimana pun juga, kita berdua adalah musim panasnya."Tanpa dapat dicegahnya, mata Hikari terasa panas dan beberapa saat kemudian air mata turun membasahi kedua pipinya. Natsu membawanya ke dalam dekapannya."Jangan menangis, Hikari."Dekapannya begitu nyaman. Membuatnya dengan mudah melepaskan pertahanan terakhirnya. Air matanya turun semakin deras bagaikan sungai meluap."A... Aku... Aku selalu merasa bersalah... karena... karena setiap kali aku bersamamu, Satoshi terlupakan," ucapnya di sela-sela senggukannya. "Jadi aku... aku datang kemari untuk mengingatnya lagi... tapi...."Natsu diam. Menunggu."Tapi yang kuingat malah kau..."Setiap jalan yang pernah dilaluinya dengan Satoshi. Setiap tempat yang pernah didatanginya dengan Satoshi. Semuanya justru semakin mengingatkannya bahwa Satoshi telah tiada. Namun semua keindahan yang pernah dilihatnya bersama Satoshi, ingin sekali dirasakannya juga bersama Natsu. Orang yang telah menemaninya tanpa kenal lelah semenjak bulan-bulan awal kepergian Satoshi. Orang yang selalu ada ketika ia membutuhkan.Satoshi, salahkah aku bila aku mencintainya?"Aku... mencintaimu, Natsu." Akhirnya diucapkannya kata-kata itu. Kata-kata yang telah diyakini kebenarannya sejak lama, bahkan sebelum Natsu menyatakan cintanya di malam itu. Namun takut diakuinya.Pemuda itu mengecup lembut keningnya. "Ah, senang mendengar kata-kata itu." Suaranya penuh dengan nada bahagia. "Menikahlah denganku, Hikari. Bersama-sama kita akan mengenang Satoshi."Hikari tak lagi membutuhkan waktu barang sedikit pun untuk menjawab. Ia mengangguk. Hatinya kini yakin, Satoshi pasti menginginkannya mengangguk. Menginginkan kebahagiaannya.Dan Natsu membawanya semakin erat dalam dekapannya, sambil berseru penuh rasa sukacita. Seruannya menjadi pertanda bagi keluarga Yamada yang semenjak tadi mengawasi mereka dari jauh untuk mendekat dan turut dalam kebahagiaan bersama mereka.***
--------------------------------
ojisan = paman.oneesan = kakak perempuan (dalam hal ini bukan kakak perempuan sebenarnya. cuma panggilan saja)oniisan = kakak laki-laki (idem dengan oneesan)obasan = bibiNatsu = musim panasHikari = cahaya
Published on July 20, 2011 21:06
July 14, 2011
THER MELIAN REVELATION: Nostalgic
Revelation by Shienny M.S.My rating: 3 of 5 stars
Humm... akhirnya saia selesai membaca buku ini. Setelah perjuangan agak berat menghabiskan bagian-bagian awalnya yang...
Ah, mengenai hal itu... Dalam buku ini aku menemukan banyak unsur kesamaan dengan Le'Ciel.
*bongkar-bongkar komik lama*
Yups. Vrey dulu ini half elf-dwarf kan? Dan dia bukan cewek, bikin tokoh "Rion" langsung patah hati seketika XD Lalu lain-lainnya, Jubah Nymph, relik elemental, harpy, dsb. Intinya, aku melihat ini remake total habis-habisan dari Le'Ciel.
Tapi jangan salah sangka, aku NGGAK menuduh penulisnya melakukan copas atau plagiat pada karya sendiri lho. (teringat pembahasan dari blog seorang teman) Menurutku, sah-sah aja me-remake karya sendiri. Bahkan aku salut dengan langkah yang diambil penulisnya, juga bersyukur karena "New Le'Ciel" sekeren ini. Sayangnya, kesamaan itu pasti terlihat di mata pembaca lama sepertiku. Itulah salah satu alasan mengapa kukatakan bagian awalnya kurang menarik. ^^;
Bila menutup mata dari segala unsur Le'Ciel, FFVII, FFIX, jalan ceritanya sendiri sebenarnya cukup menarik. Makin ke belakang, aku jadi makin ingin membaca. Sayangnya, aku merasa ada bagian-bagian yang masih bisa dipadatkan (terutama bagian pertarungan) yang bener-bener ingin aku skip (tapi karena takut ada hal penting kelewat, terpaksa speed reading). Ironisnya, ada bagian yang butuh penjelasan lebih lanjut, tapi malah dijelaskan sepintas lalu begitu saja oleh penulisnya. Contoh, bagian bahan bakar balon udara, Aeron. Hanya dikatakan lebih bagus dari batu bara, tanpa dijelaskan mengapa.
Mengenai karakter. Hmm... gimana ya. Aku merasa karakterisasinya so-so. Yang paling lumayan di sini ya Valadin dan Vrey. Memang sih, aku bisa membedakan masing-masing karakter yang lain. Tetapi innerself mereka masih bisa digali lebih lagi. Walaupun yang lain bukan tokoh utama, tetapi mereka semua kan akan sering disuguhin ke pembaca :D
Yang paling aku kagumi di sini, adalah world building-nya. Mudah sekali masuk ke dunia Vrey dan Valadin. Penjelasan-penjelasan mengenai dunia ini bisa mulus dimasukkan ke dalam cerita ini.
Ok, sudah cukup cuap-cuap-ku. Aku sudah beli TM 2 dan pasti akan terus baca sampai TM 4 :DAnw, sisi positif untuk semua unsur RPG dalam buku ini, membuat aku terkenang lagi masa-masa kerajingan RPG dulu. XD
View all my reviews
Published on July 14, 2011 09:01


