Benny Rhamdani's Blog, page 50

August 21, 2013

Tak Ada Kontribusi Pemuda Indonesia di ASEAN?





Percepatan pembentukan Komunitas ASEAN dari 2020 menjadi 2015, telah disepakati oleh para Kepala Negara ASEAN pada KTT ke- 12 ASEAN. Komunitas ASEAN 2015 dibangun di atas 3 pilar, yaitu: ASEAN Political-Security Community, ASEAN Economic Community dan ASEAN Socio-Culture Community baik dalam skala regional maupun global.
Saya amat tertarik dengan pilar ke-3, karena kerjasama di bidang sosial- budaya menjadi salah satu titik tolak utama untuk meningkatkan integrasi ASEAN melalui terciptanya “a caring and sharing community”, yaitu sebuah masyarakat ASEAN yang saling peduli dan berbagi. Tanpa adanya kerjasama dan sinergi antar masyarakat ASEAN rasanya sulit membayangkan sebuah integrasi konstruktif di wilayah ASEAN. Dan bidang sosial-budaya sebagai akar kemasyarakatan adalah paling potensial untuk diangkat sebagai modal integrasi berdasarkan kerakyatan. Apalagi sebagai organisasi teritori ASEAN memiliki konsep social-budaya yang sama yakni menjunjung nilai-nilai ketimuran.
Kerjasama sosial-budaya mencakup kerjasama di banyak bidang, salah satunya adalah kepemudaan.  Terus terang, saya jarang sekali mendengar kiprah pemuda Indonesia di ASEAN. Entah karena memang tidak ada aktivitas pemuda Indonesia di ASEAN, ataukah jarang sekali yang memberitakannya, atau saya yang kurang peduli dengan kontribusi pemuda Indonesia di ASEAN?
Bidang Kepemudaan
Walaupun sudah tidak dalam koridor usia muda, namun saya selalu tertarik dengan bidang kepemudaan. Karena menurut saya, sebuah usaha integrasi kontruktif harus melibatkan generasi mudanya. Dengan adanya lomba penulisan blog yang diprakrasai  Komunitas Blogger ASEAN ini, saya jadi browsing berjam-jam dan baru terbuka mata tentang betapa besarnya kiprah pemuda Indonesia di ASEAN.
Salah satunya  informasi tentang kegiatan pemuda Indonesia di tingkat ASEAN adalah melalui wadah ASEAN Youth Friendship Network (AYFN). AYFN adalah sebuah organisasi yang bergerak di bidang persahabatan dan pertukaran kebudayaan antara negara-negara ASEAN. Organisasi ini membawa misi persahabatan, memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke negara host, serta tentu saja, mengenal lebih jauh tentang negara yang dikunjungi.
AYFN sendiri didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada yang saat ini sudah beranggotakan lebih dari 90 alumni, dan telah menjalankan lebih dari 5 program dalam kurun waktu 2 tahun didirikan. Program unggulan AYFN adalah  IVYFP (Indonesia Vietnam Youth Friendship Program), ILFRIP (Inter-cultural Learning and Friendship Program), dan IPYCEP (Indonesia Philippine Youth Cultural Exchange Program). 

Delegasi Unsoed Indonesia dalam program IVYFP. (foto: unsoe.ac.id)

AYFN bukan satu-satunya wadah kiprah kepemudaan ASEAN. Masih ada lagi seperti ASEAN Student Leader Forum (ASLF), yakni sebuah  forum mahasiswa  yang merumuskan permasalahan-permasalahan di perguruan tinggi di seluruh ASEAN, nantinya rumusan masalah yang didapatkan ini akan disikapi dan diselesaikan bersama. Beberapa permasalahan yang muncul adalah letak geografis yang jauh, perbedaan bahasa, perbedaan budaya, sulitnya melakukan pergerakan pemuda, krisis kreativitas, sikap individualis yang berkembang dikalangan pemuda, kesulitan keuangan dan perbedaan pemikiran.
Untuk generasi muda yang ingin berkiprah sebagai relawan bisa juga aktif di The ASEAN Youth Volunteer Programme (AYVP). Organisasi yang diprakarsai Kementrian Pemuda dan Olahraga Malaysia, terbilang aktif mengundang partispasi pemuda  ASEAN. Belum lama ini, AYVP melakukan aktivitas konservasi alam dengan mengundang 100 relawan dari negara-negara ASEAN.
Add captioDelegasi Indonesia diwakili ITB pada ASLF 2013. (foto itb.ac.id)
Masih ada sederet lagi wadah bagi aktivitas pemuda ASEAN, seperti ASA (ASEAN Alliance), ASEAN Student Exchange Program, ASEAN Youth Movement, ASEAN Centralized Framework for Youth Cooperation, termasuk ASEAN's Youth Council. Hebatnya, hampir dari semua kegiatan tersebut, saya membaca informasi pemuda Indonesia sangat berperan penting dalam mengambil langkah-langkah dan keputusan.
Pentingnya Informasi
Lantas, mengapa kiprah pemuda Indonesia itu tidak diinformasikan secara luas? Bahkan saya harus memasukkan beberapa kata kunci di mesin pencari Google untuk menemukan informasi ihwal aktivitas pemuda Indonesia di ASEAN. Kebanyakan dalam bahasa Inggris. Kalaupun ada dalam Bahasa Indonesia, sangat sedikit sekali portal berita ataupun blog yang memuatnya.
Dalam ilmu komunikasi, jika sebuah informasi penting tidak sampai ke masyarakat, maka bisa dipastikan kesalahan utama adalah pada penyampai informasi, proses penyampain informasi, muatan informasi itu sendiri, serta frekuensi terpaan informasinya . Penerima informasi akan berada di urutan jauh di paling belakang.
Di era jurnalistik warga seperti sekarang ini, rasanya heran jika sebuah informasi masih menjadi hambatan pada komunikator (penyampai) dan medianya. Jumlah blogger Indonesia yang lebih dari 5 juta orang, ditambah akses Internet yang semakin mudah mestinya bukan hambatan dalam menyampaikan informasi penting.
Jika media massa mainstream serta portal berita tidak tertarik memberitakan kiprah pemuda Indonesia di ASEAN, saatnya para blogger yang bicara. Lahirnya Komunitas Blogger ASEAN bisa menjadi lokomotif bagi blogger lainnya agar mendukung terus integritas konstruktif berdasarkan kemasyarakatan akan eksistensi Komunitas ASEAN 2015.
Selain menyebarluaskan informasi dari portal resmi ASEAN, para blogger sebaiknya juga mengolah  lagi ke dalam muatan blog yang lebih mudah dimengerti masyarakat banyak.
Langkah lain yang bisa dilakukan Komunitas Blogger ASEAN adalah menggugah kesadaran berbagi informasi para anggota yang terlibat dalam lembaga kepemudaan ASEAN. Mungkin melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga pemuda ASEAN di atas, memberikan bekal motivasi ngeblog dan pelatihan ngeblog yang efektif. Sehingga, sebagai pelaku langsung mereka bisa menyampaikan kegiatan mereka melalui blog.
Niscaya, jika informasi kiprah pemuda Indonesia di ASEAN dibagi kepada masyarakat luas dan berkesinambungan agar terjaga frekuensi terpaannya, tidak akan ada lagi orang seperti saya yang menyangsikan kontribusi pemuda Indonesia di ASEAN.
OO00OO
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 21, 2013 17:05

Mengoptimalkan Peran Blogger Indonesia di Komunitas ASEAN 2015


Indonesia dengan populasi penduduknya yang menjadi peringkat ke-4 di dunia, ternyata juga mencatat jumlah blogger yang relatif tinggi. Seperti diungkap Wakil Presiden ASEAN Blogger Chapter Indonesia Amril Taufik Gobel, jika pada 2008 tercatat hanya ada 500 ribu blogger aktif, maka per akhir 2011 melonjak menjadi 5 juta blogger.  Bahkan pada 2014-2015 direncanakan Indonesia sudah memiliki tol broadband yang akan memperlancar akses internet. Bisa dipastikan jumlah blogger akan semakin meningkat.
Jumlah tersebut sangat efektif bila diberdayakan dengan optimal untuk kepentingan banyak orang. Saya lihat beberapa blogger Indonesia sudah tak lagi bermain di wacana lokal, tapi sudah di tingkat nasional kendati berada di daerah-daerah terpencil. Sebagian lagi bahkan sudah beranjak ke teritorial Asia, bahkan mendunia. Tentu semua akan terkait dengan minat masing-masing blogger, keterampilan berbahasa dan kemampuan mengisi konten blognya.
Kiprah ASEAN
Sejak didirikan  pada 8 Agustus 1976, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) terus mengalami perkembangaan yang signifikan. Bahkan, ASEAN dianggap sebagai organisasi kerja sama regional yang paling terintegrasi setelah Uni Eropa.  Prioritas awal berdirinya ASEAN menciptakan perdamaian kawasan telah tercapai  melalui pendekatan diplomatik ketika konflik antarnegara muncul. Politik tidak ikut campur sesama negara ASEAN yang mengalami konflik internal  juga terbukti ampuh. Pada akhirnya, ASEAN bisa beralih menyiapkan diri menjadi kekuatan ekonomi dunia.


Data pertumbuhan ekonomi membuat ASEAN menjadi kawasan yang tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Pada 2011 GDP (Gross Domestic product) keseluruhan negara ASEAN lebih dari US$ 2.178 triliun atau 4,2 persen dari GWP (Gross World Product) dan pendapatan perkapita (PPP/Purchasing Power Parity) US$ 3.334.

Tak heran jika tiga negara kuat di Asia, yakni China, Jepang, dan Korea Selatan terus  melakukan pendekatan forum ASEAN Plus Three sejak 1997.  Bahkan China China bertindak agresif dengan membangun zona perdagangan bebas bersama ASEAN melalui ACFTA yang dimulai sejak 1 Januari 2010.
Akhirnya, para pemimpin negara anggota ASEAN kemudian membentuk ASEAN Community pada saat Deklarasi Bali Concord II Tahun 2003. Rencana awalnya, pembentukan ASEAN Community akan dimulai pada tahun 2020 tetapi kemudian dipercepat lima tahun. Terbentuknya  ASEAN Community ditopang oleh tiga pilar utama: ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (APSC).
Dengan adanya pilar keamanan (ASPC), penerapan prinsip-prinsip non-interference tidak lagi secara kaku seperti  sebelumnya  mengingat adanya kesamaan persepsi ancaman, baik ancaman. Komunitas Keamanan ASEAN bertujuan memperkuat ketahanan kawasan dan mendukung penyelesaian konflik secara damai melalui forum konsultasi bersama.  Semoga nantinya tak ada lagi konflik muncul karena masalah perbatasan.
Bagaimana  dengan Pilar ekonomi (AEC)? Tentunya akan mengarah ke penciptaaan integrasi perekonomian seluruh negara anggota ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi yang memiliki iklim ekonomi kompetitif, pembangunan ekonomi merata, dan berintegrasi dengan perekonomian global.  Satu kekhawatiran saya bahwa nanti ASEAN tidak mengalamai krisi ekonomi seperti yang dialami Uni Eropa akibat terjadinya kesenjangan kemajuan ekonomi anggota negaranya
Sedangkan pilar sosial-budaya (ASPC) akan focus untuk  terciptanya pemberdayaan  kerjasa di masyarakat ASEAN. Kerjasam ini mencakup bidang kepemudaan, wanita, kepegawaian, penerangan, kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, penganggulangan bencana alam, kesehatan, pembangunan sosial, pengentasan kemiskinan, dan ketenagakerjaan.
Blogger Indonesia sebagai  Panutan ASEAN
Posisi Indonesia di mata ASEAN Community sangatlah penting. Luas wilayah dan jumlah penduduk di atas negara lainnya. Populasi terbesar ini membuat bahasa Indonesia akan menjadi bahasa resmi ASEAN yang mulai berlaku pada saat ASEAN Community 2015 .

Indonesia  juga tercatat sebagai negara dengan kekuatan militer yang disegani di dunia, bahkan tahun ini Indonesia menduduki peringkat ke-15 dunia.  Posisinya di atas negara ASEAN lainnya atau bahkan Jepang dan Australia.
Jika negara Indonesia sudah menampati posisi penting, selayaknya blogger Indonesia yang jumlahnya mencapai 5 juta orang itu mengambil posisi penting pula di kiprah ASEAN.  Bersyukurlah blogger Indonesia telah menggagas  satu wadah bernama ASEAN Blogger Community yang telah menggelar ASEAN Blogger Festival Indonesia (ABFI) 2013pada Mei lalu di Solo, Jawa Tengah.
Perhelatan tersebut membuktikan bahwa blogger Indonesia merupakan bagian masyarakat ASEAN yang bisa diandalkan untuk mendukung eksistensi Komunitas ASEAN 2015. Blogger Indonesia juga bisa menjadi panutan blogger lainnya di ASEAN.  Walaupun saya tidak bisa hadir, tapi saya bersyukur  ajang besar  tersebut tidak sebagai kongkow-kongkow semata, tapi menghasilkan program kerja selama tiga tahun untuk kepentingan ASEAN kendati masih normatif.
Tentunya, saya berharap bisa melihat rencana langkah-langkah kerja yang lebih nyata, sehingga walaupun bukan peserta  ABFI 2013 saya dan banyak lagi blogger di Indonesia bisa berpartisipasi dengan optimal mendukung kiprah Komunitas ASEAN 2015 . Karena saya yakin, masih banyak yang bisa dilakukan blogger Indonesia untuk ASEAN sebelum 2015, di luar mengikuti lomba ngeblog yang digelar ASEAN BloggerCommunity. Sehingga gaung menuju masyarakat ASEAN yang lebih baik dapat diinformasikan secara berkesinambungan.

OOooOO

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 21, 2013 02:51

August 20, 2013

Blogger ASEAN Menjadikan Asia Tenggara Wilayah Paling Damai di Dunia, Mimpikah?



Saya masih ingat ketika masih SMP pernah diminta menghafal tujuan didirikannya ASEAN.  Waktu itu saya hafal seluruh teksnya walaupun belum mengerti kandungannya.  Sekarang, saya hanya bisa mengingat salah satunya, yakni  memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkat regional. Mengapa saya mengingatnya?

Soal perdamaian ini selalu menghantui pikiran saya. Dari fakta yang saya baca, tidak sedikit negara di dunia selalu bersitegang dengan tetangganya. Iran dan Irak, India dan Pakistan, Korea Utara dan Korea Selatan, dan masih banyak lagi yang terlalu panjang untuk dituliskan.



Tidak usah jauh-jauh, saya pernah membaca di surat kabar pertikaian Singapura dan Malaysia  tentang perbatasan. Konflik  Indonesia dan Malaysia? Sengketa Pulau Sipadan, Ligitan sampai Ambalat  hanyalah sedikit dari sekian banyak konflik yang pernah tercatat. Malaysia dengan Brunei pun sempat bersitegang soal Sabah. Belum lagi masalah Rohingya yang melukai hati umat Muslim di Asia tenggara. Sampai-sampai saya berpikir, jangan-jangan tinggal menunggu bom waktu saja perang di Asia tenggara.
Lantas, bagaimana kita bisa bersinergi di bidang lain seperti politik, ekonomi, atau sosial-budaya jika sebentar-bentar terjadi konflik antar anggota ASEAN? Bagaimana pula ASEAN bisa menjadi organisasi sektoral terdepan di dunia?
Gaungkan Semangat ASEAN

Sebagian orang seolah apatis bila ditanya peran ASEAN dalam memajukan perdamaian. Organisasi ini sepertinya tunduk dengan organisasi besar lain seperti IMF dan PBB. Menurut mereka ASEAN hanya untuk urusan pemerintah lobi-lobi bisnis sektoral.
Pada kenyataannya peran ASEAN cukup berpengaruh dalam proses perdamaian kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana dipaparkan, Asia Tenggara memiliki banyak konflik, baik konflik antarnegara ataupun konflik internal di dalam masing-masing negara. Tanpa ASEAN sangat sulit untuk menghapus titik-titik konflik di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini. Tapi hidup tanpa konflik juga mustahil, karena sudah hukum alam jika terjadi interaksi sosial maka akan timbul konflik.
Pada 2015, ASEAN akan bermertamorfosis menjadi  Komunitas ASEAN 2015 . Untuk mewujudkannya ASEAN menempuh 3 langkah, yakni  Peace, Prosperity dan People.
Peace
adalah kondisi kondusif kawasan Asia Tenggara agar memudahkan proses perdamaian dan resolusi konflik yang terjadi. Saya setuju urusan perdamaian ini diletakkan pertama karena tanpa perdamaian kita tidak akan bisa apa-apa.  
Prosperity
(kemakmuran) dengan komitmen mengentaskan kemiskinan di kawasan Asia Tenggara melalui pemerataaan pembangunan dan penguatan pasar agar selisih pendapat per kapita yang tinggi dapat teratasi. Karena perbedaan kemakmuran, menurut saya bisa menimbulkan konflik kecemburuan yang akhirnya mengusik perdamaian.
People
adalah masyarakat sebagai landasan utama dalam terciptanya komunitas politik yang kuat. Dan tentu saja masyarakat harus banyak diinformasikan, dilibatkan dan ikut merasakan manfaatnya.
Tiga langkah tersebut kemudian diwujudkan dengan 3 cetak biru Komunitas ASEAN  yakni ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).  Tentunya kita berharap ASEAN yang baru akan berdampak signifikan terhadap perdamaian kawasan. Proses perdamaian di ASEAN seperti kita ketahui berprinsipnya yang tidak akan mengintervensi konflik sesama anggotanya dan menghormati kedaulatan dari negara anggotanya  harus terus dipertahankan.
Mengingat pentingnya tiga pilar ini, alangkah baiknya jika sejak saat ini digaungkan lebih luas ke masyarakat. Bukankah ASEAN adalah organisasi kawasan dengan orientasi masyarakat sebagai acuan dasar utama. Gaungnya harus sampai ke pelosok. Tidak Cuma di Indonesia, tapi juga negara-negara anggota ASEAN. Sebab, ketika pelajaran tentang ASEAN di sekolah, saya sempat bertanya-tanya, apakah hanya anak Indonesia saja yang diharuskan menghafal sejarah ASEAN?
Peran ASEAN Blogger

Sebagai pelaku media modern, sudah sepantasnya blogger turut aktif memasyarakatkan perdamaian di kawasan ASEAN. Sejauh ini, saya justru sering membaca tulisan blogger yang cenderung menyerang dan melecehkan negara anggota ASEAN lainnya. Bahkan tak jarang adu mulut dengan bahasa-bahasa kasar padahal mereka tak saling kenal.
Bila terjadi konflik di negara tetangga satu kawasan, tak perlu ikut menyulut konflik agar semakin besar karena sesungguhnya akan merugikan kawasan. Jika ‘gatal’ ingin menulis, tulislah sesuatu yang bisa menyejukan dan mendamaikan keadaan.
Terus terang saya berharap banyak  kiprah Komunitas Blogger ASEAN menuju 2015. Salah satu program yang saya harap bisa memberi sumbangsih terhadap perdamaian di kawasan ASEAN adalah pertukaran blogger negara-negara ASEAN. Para blogger homestay selama sebulan atau lebih sebagai duta dari negaranya, lalu menjelaskan kepada masyarakat di sana tentang negara asalnya. Lalu, dia juga melihat sosial-budaya homestay untuk diceritakan kepada negara asalnya melalui blog. Jika program ini dijalankan terus menerus, niscaya peneybaran informasi kiprah ASEAN akan lebih meluas dan mengana ke lapisan masyarakat. Pesan-pesan perdamaian pun akan lebih terasa. Tidak mustahil bila kelak Asia Tenggara menjadi territorial paling damai di dunia.

Lalu, bagaimana blogger yang tidak bisa ikutan program itu? Ya menulislah tentang ASEAN yang damai. Saya pribadi beberapa kali menulis tentang pariwisata negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Menuliskan kehidupan masyarakat dengan sosial budayanya di sana. Lagipula damai itu indah kok. Ngapain nulis yang berkonflik?

***
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 20, 2013 03:18

August 18, 2013

[Review] Tas Minmie Untuk Anak Cowok, Tidak Bikin Cedera Punggung

Terus terang, setiap kali anak saya, Akhtar, akan berangkat sekolah saya sering miris melihat beban tas sekolahnya yang berat. Berbeda dengan saya waktu SD dulu, buku yang harus dibawa ke sekolah oleh anak saya memang lebih banyak.  Untuk satu pelajaran saja bisa empat buku. Padahal dulu, saya paling banyak membawa dua buku setiap pelajaran. Buku paket dan ulangan di simpan di lemari guru.


Saya semakin prihatin dengan kondisi ini, apalagi mulai tahun ajaran baru ini Akhtar masuk pukul 10 pagi. Artinya, saya tidak bisa mengantarnya dengan mobil ke sekolah. Sehingga, Akhtar harus menggendong tasnya itu dari rumah ke sekolah yang relatif jauh. Bisa 60 menit dengan angkutan umum.

Akhirnya saya harus berpikir keras memilih tas yang tidak mencederai punggung anak saya atau menjadi ‘bom penyakit’ di masa mendatang . Ini pun tidak mudah dilakukan, karena anak saya biasanya agak pilih-pilih dengan tas sekolahnya. Kalau masalah corak, saya bisa mengerti. Tapi jika sudah model, saya harus memberi argumen.
Menurut saya, model tas yang dipilih harus sesuai dengan usia, aktivitas dan postur tubuh anak. Untuk anak saya yang masih berusia dibawah 10 tahun saya sudah memutuskan harus model tas ransel. Karena tas ransel bisa  menyeimbangkan dengan baik beban isi tas.  Tas model selempang tidak akan saya rekomendasika  digunakan untuk tas anak sekolah karena beban tas akan bertumpu pada satu bahu.
Karena beban tas anak sebaiknya  tidak melebihi dari 10% berat anak untuk usia 10 tahun kebawah,  saya biasanya memilih tas anak yang berbobot ringan. Saya hindari tas yang banyak kandungan logam serta kantong-kantong yang tidak perlu. Biasanya anak-anak cenderung mengisi kantong-kantong tas dengan barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan.
Ukuran tas sekolah anak saya pun  disesuaikan dengan tingginya. Agar tidak membuat anak saya ribet, lebar tas sekolah  pun saya ukur agar tidak melebihi lebar tubuh. Saya mengajarkan anak saya memanfaatkan pengatur kait panjang pendeknya agar tas yang dibawanya selalu nyaman.
Untuk menjaga beban tas, saya terkadang ikut memeriksa barang yang dibawanya. Tempat pensil yang berat, sebaiknya diganti yang lebih ringan. Anak ellaki biasanya cenderung membawa mainan ke sekolah. Saya biasanya membatasinya. Begitu pula bekal minum, jika di sekolah bisa membelinya, sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam tas.

Belum lama ini, saya berkunjung ke Bangkok dan bertemu dengan produsen tas Minmie, SS Production. Saya mengira produknya hanya untuk anak perempuan. Ternyata saya salah.

 Mereka memberikan oleh-oleh berupa tas sekolah untuk anak saya. Coraknya cowok banget!Ketika saya berikan kepada Akhtar, dia sangat suka. Padahal, biasanya Akhtar hanya suka tas bercorak klab sepakbola. Menurutnya, tasnya itu ringan tapi kuat. Untunglah, saya jadi tak ribet lagi memilih tas di tahun ajaran baru ini.
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 18, 2013 19:29

August 3, 2013

Naskah Kumpulan Puisi Saya Ditolak 10 Penerbit

Tulisan menjadi HL di kompasiana.com



Seseorang yang tidak saya kenal, tiba-tiba mengirim pesan melalui inbox, “Mas, di sana menerbitkan buku kumpulan puisi nggak?”

Saya tersenyum. Ini untuk ke sekian kalinya menerima pertanyaan sejenis. Lalu, saya jawab,”Untuk saat ini belum. Coba ke penerbit lain saja.”

Lalu saya menerima jawaban yang cepat pula,”Naskah kumpulan puisi saya sudah ditolak sama 10 penerbit, Mas.”

Saya pun berusaha menguatkan hatinya agar terus berusaha mencari penerbit, juga memotivasinya agar terus menulis puisi.

Mengapa  Ditolak?

Di  internet kita dengan mudah menemukan kisah-kisah penolakan naskah oleh penerbit yang akhirnya berujung kesuksesan pada diri si penulis. Di balik itu, banyak penulis sukses tanpa melalui penolakan lebih dulu yang kisahnya tidak diungkapkan di internet. Nah, kemudian tergantung pada kita sendiri, mau masuk kelompok mana? Melewati sekian penolakan oleh penerbit dulu sebelum bisa menerbitkan buku ataukah langsung  sukses menerbitkan begitu pada naskah kiriman pertama.


Agar bisa menerbitkan buku tanpa melalui penolakan, seorang penulis harus tahu betul celah yang harus dimasuki. Ini saya bocorkan beberapa syarat yang harus dipenuhi sebuah naskah sehingga dianggap layak terbit oleh penerbit. Perlu saya tekankan, penerbit yang saya maksud adalah yang memiliki skala industri, bukan lembaga pemerintah atau yayasan nirlaba.

Pertama, naskah yang dikirim harus memiliki  nilai jual. Sebab penerbit tidak ingin menanggung rugi telah mengeluarkan biaya redaksi, lalu biaya cetak sekian ribu eksemplar. Bukan hanya tidak mau rugi, tapi juga menginginkan untung yang besar. Naskah yang memiliki nilai jual umumnya berisi hal yang menarik perhatian masyarakat. Tidak harus mengikuti tren, tapi tetap menarik. Karenanya penulis harus yakin betul, bahwa dia menulis untuk dibaca banyak orang, mudah dimengerti pembaca dan pasti bermanfaat untuk pembaca.

Kedua, penulisnya memiliki nilai jual. Umumnya penulis yang high profile, entah karena karya tulisnya atau karya lainnya di luar karya tulis, bisa menerbitkan naskahnya dengan mudah. Karena umumnya penerbit yakin, nama besarnya bisa menjual buku yang ditulisnya.

Jika dua unsur di atas terpenuhi, akan sangat bagus. Jika tidak, minimal salah satunya. Maka, ketika kita mengukur diri kita bukan sebagai high profile, cobalah untuk membuat naskah yang memiliki banyak kekuatan. Namun, jika kita masih ragu-ragu dengan kekuatan naskah kita, cobalah untuk mendongkrak brand diri kita sehingga dikenal banyak orang. Paling tidak di satu komunitas tertentu yang anggotanya banyak seperti Kompasiana.

Saya kembali ke soal naskah kumpulan puisi. Saya harus ungkapkan, bahwa buku kumpulan puisi kurang mendapat tempat di pasar buku.  Penjualannya jauh di bawah penjualan novel, komik, buku pelajaran, dan lainnya. Buku kumpulan puisi yang lumayan bisa dijual adalah karya penyair ternama, atau bisa juga ditulis oleh orang ternama.

Seorang teman editor yang juga penyair, malah menerbitkan kumpulan puisinya di penerbit indie dengan modal sendiri. Sebab penerbit tempatnya bekerja menolak menerbitkannya.

Cara lain adalah tetap bergerilya mencari penerbit yang masih punya idealisme tinggi menerbitkan buku kumpulan puisi. Agak susah saat ini. Tapi namanya usaha, harus tetap dicoba.

Tentang mengapa buku kumpulan puisi sangat sedikit peminatnya di pasar, saya tidak akan membahasnya. Tapi akibat kurang peminat ini, penerbit buku jadi cenderung menolak untuk menerbitkan buku kumpulan puisi. Kecuali ada proyek khusus yang membiayai proses penerbitan bukunya atau melakukan pembelian dalam jumlah besar.

Dalam sejarah saya sebagai editor, saya baru sekali menangani buku kumpulan puisi. Tentang alasan saya bisa menerbitkan naskah kumpulan puisi itu, nanti saya bisiki.

(foto: http://daily-megajournal.blogspot.com/)
(foto: http://daily-megajournal.blogspot.com/)
Antalogi Puisi Kompasianer

Jangan berkecil hati wahai kompasianer yang suka menulis puisi. Keinginan menerbitkan  buku kumpulan puisi itu bukan hal yang mustahil. Kompasianer bisa melalui jalur alternatif, seperti self publishing dengan cara print on demand. Untuk lengkapnya, silakan klik di sini.

Cara lain adalah membuat antologi puisi bersama Kompasianer, tetap harus diseleksi naskah yang diikutsertakan. Lalu, mencari sponsor untuk biaya produksi (redaksi dan cetak). Dengan mendanai sendiri biaya produksi, biasanya penerbit besar mau diajak kerjasama untuk kemudian memasarkannya. Syukur-syukur bila para penulis puisi ikut melakukan pembelian, juga ikut melakukan mempromosikan dan memasarkan.

Carilah tema kuat agar antalogi puisi itu tidak berdiri masing-masing, ada benang merahnya. Misalnya, bertema Jakarta, Jokowi, dan Ahok. Jangan lupa, gaet selebritis, politikus, dan high profile yang juga kompasianer untuk berpartisipasi.

Jika buku antalogi puisi kompaianer ini terjual baik di pasar buku, jalan terbuka untuk buku kumpulan puisi lainnya. So, jangan terlalu lama untuk menyiapkan sekuelnya atau buku kumpulan puisi soliter untuk menyusul diterbitkan.

Ada yang mau jadi komandannya?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 03, 2013 21:53

Kompasiana, Lautan Penulis Hebat

Tulisan ini menjadi HL di kompasiana.com

Sebuah komentar dari Kang Pepih Nugraha mampir di postingan saya tentang Serunya Berburu Lisensi Naskah Asing . Saya kutip di sini:“Kang Benny, jangan jauh-jauh berburu buku asing atuh, calon buku dari para penulis Indonesia saja masih banyak. Mau kerjasama dengan Kompasiana, kang?  Saya punya catatan para Kompasianer yang tulisannya bagus-bagus  dan saya telah menjalin kerjasama dengan beberapa penerbit mainstream ternama, antara lain Bentang, Grassindo, Elexmedia, GPU dll.”
Saya belum menjawab komentar Kang Pepih di kolom balas.  Tapi saya akan menjawab untuk Kang Pepih dan Kompasianer lainnya, di postingan ini.
Mengapa menerjemahkan buku asing?

Mungkin banyak orang yang mengira, penerbit lokal yang menerbitkan buku terjemahan itu demi gengsi semata. Saya tidak akan menampik juga tidak mengiyakan. Nanti dulu jawabannya.
Saya akan urai dulu, sedikit tentang lika-liku penerbitan buku secara garis besar. Sebagai sebuah industri tentunya penerbit buku harus merencanakan produksinya dengan matang. Salah satu yang harus dipikirkan adalah jumlah produksi buku untuk satu tahun ke depan.
Penerbit besar biasanya punya rencana produk yang besar pula. Dan untuk mengejar target produksi tersebut, harus dipikirkan sumber naskahnya. Ada dua jenis naskah yang menjadi sumber utama muasalnya, yakni naskah lokal dan naskah asing.
Setiap penerbit biasanya punya visi dan misi yang berbeda. Tak heran jika minat kategori buku setiap penerbit pun berbeda. Ada yang fokus di buku pelajaran, fiksi, marketing, juga komik. Semua akan dikaitkan dengan rencana produksinya.
Sebutlah Penerbit Kajol yang ingin menjadi penerbit novel dewasa nomor satu di Indonesia, dia tentunya akan menerbitkan sebanyak mungkin novel dewasa. Kenyataannya tidak mudah kalo hanya mengandalkan naskah dari penulis lokal dalam jumlah banyak, karena penerbit juga harus mempertimbangkan standar kualitas.  Maka cara lainnya adalah menerjemahkan novel karya penerbit asing.
Begitu pula dengan Penerbit Salman Khan yang ingin eksis sebagai penerbit buku-buku marketing. Dia bisa saja mengorder ke banyak penulis tentang marketing. Tapi Kualitasnya belum tentu sebaik penulis luar negeri, sehingga perlu juga Penerbit salman Khan  menerjemahkan buku asing agar pembaca menemukan pembanding.
Jujur saja, sebagai seorang pekerja perbukuan, sering bangga jika berhasil menerbitkan penulis asing terkenal. Ada image positif dari pembaca, bahwa penerbit tempat saya bekerja senantiasa menerbitkan buku-buku berkualitas. Meskipun untuk sebagian orang mungkin tidak memedulikannya.
Naskah Lokal

Sejauh ini, saya masih seratus persen percaya bahwa naskah lokal tetap yang terbaik dalam industri perbukuan Indonesia. Selaris apapun buku terjemahan, masih lebih laris dan lebih banyak jumlah judul dari karya penulis lokal.
Naskah lokal punya banyak keistimewaan untuk dijadikan prioritas diterbitkan. Sekadar gambaran, saya pernah membaca dua buku kesehatan tentang diet. Satu ditulis oleh penulis lokal yang belum dikenal, satunya oleh dokter terkenal Amerika. Membaca buku diet penulis lokal ternyata lebih mengena, karena makanan-makanan yang harus disajikan benar-benar ada di Indonesia, standart kesehatan, dan lainnya pun demikian. Di buku asing, saya mengerutkan kening karena ada beberapa jenis makanan yang tidak akrab di telinga dan pasti susah mencarinya di pasar induk.
Begitu pula dengan buku fiksi. Kadang ada gap budaya yang membuat saya tidak bisa menikmati humor-humor di buku terjemahan. Sementara saya bisa cekikikkan membaca tulisan Hilman, Boim atau Raditya.
Di penerbitan buku, ada banyak cara untuk mendapatkan naskah lokal. Yang paling lazim adalah menerima kiriman naskah dari penulis. Tapi ini biasanya memerlukan tenaga ekstra. Tidak semua naskah yang dikirim memenuhi standar kulitas penerbit. Saya sendiri kadang hanya bisa meloloskan satu naskah untuk diterbitkan dari seratus naskah yang saya baca. Cara lain yang cukup efektif adalah dengan membuka sayembara atau lomba penulisan, karena biasanya  penulis benar-benar memerhatikan kualitas naskahnya. Cara ketiga adalah mengorder tulisan.
Saya kebetulan bekerja sebagai editor akuisisi, punya cara lain mencari naskah yakni melalui blog walking. Saya mendatangi blog-blog yang penulisnya memiliki keistimewaan. Mungkin kunjungan blognya tidak ramai, tapi punya potensi untuk dikembangkan. Hingga akhirnya ada beberapa penulis yang kemudian saya orbitkan.
Beberapa blog yang potensial tapi tidak dibawah genre yang saya pegang, biasanya saya bagikan kepada rekan-ekan editor lainnya. Siapa tahu bisa ditindaklanjuti.
Potensi Kompasiana

Suatu hari saya menemukan Kompasiana.com dan merasa takjub. Wow, saya berada di lautan penulis-penulis hebat. Sehingga saya tidak perlu mem-bookmark banyak blog di komputer saya untuk mulai mengawasi calon-calon penulis yang akan saya ajak menerbitkan buku.
Saya mulai memasuki kanal-kanal yang paling potensial untuk diterbitkan, seperti  fiksiana, kesehatan dan catatan harian. Kadang saya mampir juga ke kanal yang ekstrim jauh dari genre buku yang saya geluti, seperti olahgara dan otomotif.
Memata-matai atau istilah kerennya ‘stalking’ pun saya lakukan. Apakah Kompasianer A ini menulis konsisten bagus atau tidak. Karena jika dia nanti menulis buku, harus konsisten menulis dengan baik dari awal hingga akhir. Dan menulis buku memerlukan stamina yang kuat ketimbang postingan di Kompasiana.
Saya melihat ada beberapa jenis Kompasianer yang potensial untuk menerbitkan buku (meskipun bukan di tempat saya bekerja). Pertama, kompasianer yang sudah punya jam terbang tinggi dalam menulis. Dia sudah tahu cara memilih tema yang menarik dan menulis dengan gayanya sendiri secara menarik.  Kedua, kompasianer yang sudah menemukan jati diri hanya menulis bidang yang dikuasainya, sehingga tulisannya sangat kuat dan menarik. Ketiga. Kompasianer yang punya insting memilih tema tulisan yang unik dan relatif akan mudah disukai pembaca, meskipun secara teknik penulisan masih harus menambah jam terbang. Terakhir adalah kompasianer yang sudah bisa menulis dengan baik, runut, memiliki kekhasan, namun harus diarahkan untuk memilih tema-tema yang menarik (ini biasanya sangat disukai penerbit sebagai penulis orderan).
Dengan armada yang kuat ini, tentu saja semua penerbit di Indonesia akan mau bekerja sama dengan Kompasiana. Hanya masalah teknis kerja sama saja yang harus ditindak lanjuti. Dan itu bukan proses yang sulit.
So, angkat tangan untuk kompasianer yang ingin menerbitkan buku?
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 03, 2013 21:39

Serunya Berburu Lisensi Buku Asing

Tulisan ini menjadi HL di kompasiana.com.



Sewaktu kecil, saya kira menerbitkan buku (fiksi dan nonfiksi) asing ke dalam versi bahasa Indonesia tinggal menerjemahkan saja. Ternyata ada proses yang kadang sangat panjang dan berdarah-darah sebelum sebuah buku asing bisa diterjemahkan. Pastinya, penerbit di Indonesia harus mendapatkan lisensi dari penerbit asal buku tersebut, jika tak ingin dicap pembajak atau kemudian hari dituntut secara hukum. Tapi ketentuan ini tidak berlaku bagi naskah asing klasik yang sudah masuk public domain.
Proses berburu lisensi buku asing dimulai dari pihak penerbit yang biasanya menjadi tanggung jawab editor akuisisi. Seorang editor akuisisi (buku asing) harus selalu mengikuti perkembangan perbukuan internasional. Dia harus memantau buku-buku yang akan terbit dari penulis-penulis ternama sekelas Dan Brown, JK Rowling atau Stephenie Meyer. Dia juga harus meng-up-date daftar best-sellers Internasional. Dan tentunya dia punya kepekaan mencium tren buku  yang akan datang di Indonesia.

Setelah browsing daftar sejumlah buku, editor akuisisi selanjutnya meminta kepastian isi dari buku yang ditaksirnya. Dia bisa menghubungi penerbitnya langsung, maupun melalui agen-agen lisensi yang terpercaya. Tentunya, seorang editor akuisi harus memiliki jaringan yang kuat dengan pemasar lisensi dari penerbit asing maupun agen lisensi. Dari merekalah, seorang editor akusisi bisa mngetahui izin untuk menerjemahkan ke Bahasa Indonesia masih tersedia atau tidak, juga meminta reading copy (contoh buku).
Bila izin menerjemahkan buku asing itu masih belum diambil penerbit lokal lainnya (available), editor akusisi bisa meminta reading copy sebagai bahan evaluasi. Baik berupa fisik asli buku maupun PDF. Demi kecepatan kerja redaksi, PDF adalah yang terbaik.
Tidak semua buku best-sellers di luar negeri akan laku dijual di Indonesia. Sebaliknya, buku-buku tidak terkenal di luar negeri ada pula yang akhirnya meledak di Indonesia. Itulah  fakta di dunia penerbitan yang penuh spekulasi.  Itu sebabnya editor akuisisi bersama tim penerbit harus mengevaluasi dengan seksama namun dalam tempo yang tak terlalu lama. Pengalaman di dunia perbukuan kerap kali menjadi kunci sukses memilih sebuah buku asing diterbitkan atau tidak.
1375164782682976654Perlu skill khusus, berburu lisensi naskah asing. (foto: Benny Rhamdani)
Jika sudah muncul hasil akan menerbitkan buku tersebut, langkah selanjutnya adalah mengajukan penawaran. Untuk beberapa penerbit asing yang punya nama besar, biasanya proses penawaran harus disertai company profile dan langkah-langkah strategis pemasaran. Apalagi jika buku itu karya penulis papan atas.Repotnya, jika lisensi buku asing itu ternyata diperebutkan banyak penerbit lokal. Biasanya akan ada proses bidding alias penawaran dengan harga tertinggi. Di sinilah kadang terjadi perang berdarah-darah karena terjadi perebutan lisensi.  Kehati-hatian tetap harus dipegang, agar penawaran tidak terlalu rendah sehingga lepas diambil penerbit lokal lainnya, juga jangan sampai telalu tinggi sehingga merusak pasar lisensi buku asing serta merugi karena bukunya tak selaku uang advance yang dikeluarkan.
Jadi, jangan heran jika melihat novel terbaru karya penulis ‘D’ tiba-tiba diterbitkan Penerbit M, padahal buku pertamanya diterbitkan Penerbit S. Bisa ditebak, kalah sewaktu penawaran. Apa saja yang ditawarkan?  Uang muka royalty dan besar royalti.
Jika dalam penawaran kemudian dinyatakan ‘deal’, maka selanjutnya  masuk ke proses perjanjian kerja sama. Setiap penerbit asing punya kebijakan berbeda dengan penerjemahan bukunya. Ada penerbit asing yang  tak banyak permintaan, artinya penerbit lokal bisa memperlakukan buku terjemahan itu sesuai pasar setempat (mengubah cover, mengganti judul, dan sebagainya).  Ada juga penerbit asing yang rewel yang melarang ini-itu saat menerbitkan bukunya dalam Bahasa Indonesia. Yang pasti, peraturan itu harus dibaca dan dipatuhi agar tak mendapat masalah di kemudian hari.
Pentingnya ke Pameran Buku Internasional

Meskipun sekarang sudah memasuki era internet, sehingga mudah berhubungan dengan orang lain yang jauh jaraknya, tapi dalam hal berburu lisensi naskah asing kita harus melakukan pertemuan langsung. Itulah sebabnya, seorang editor akuisisi sebuah penerbitan harus berusaha bisa mengunjungi pameran buku tingkat internasional seperti Frankfurt Book Fair.
Di sana kita bisa berkenalan secara tatap muka langsung (tentu dengan janji sebelumnya) dengan pemasar lisensi dari penerbit maupun para  agen lisensi internasional. Kehadiran sang editor akuisisi akan menambah kredibilitas penerbitnya. Bagaimana mereka tidak mengapresiasi kita, saat mereka akhirnya bisa melihat seseorang dari ‘random country’ hadir di sebuah pameran berskala internasional. Sehingga ketika suatu hari nanti terjadi kompetisi penawaran, kita memiliki poin lebih yang sifatnya non-material.
13751645541090432893
Dengan berkenalan dan menjalin hubungan dengan meraka, seorang editor akuisisi biasanya mendapatkan prioritas ketika mereka hendak meluncurkan buku-buku baru. Tidak kah ini sangat bermanfaat, bisa mengetahui sebuah judul buku baru dari penulis beken, sebelum diketahui publik.
Di pameran internasional, seorang editor akuisisi juga bisa dengan leluasa browsing buku-buku asing dengan membacanya langsung, sehingga bisa mencium aroma ‘best sellers’ atau ‘flop’ untuk pasar nasional.Saya sendiri kadang mendapat bocoran buku-buku yang diambil oleh penerbit lain di Indonesia, ataupun penerbit dari negara yang pembacanya mirip di Indonesia. Obrolan informal dengan mereka kadang amat berharga untuk menambah wawasan perbukuan seorang editor akuisisi. Tak jarang pula saya mendapat peluang untuk mempromosikan buku-buku karya anak bangsa kepada mereka.
Sayangnya, saya masih sering sekali bertemu dengan teman-teman dari tanah air yang mendapat peluang ke pameran buku internasional hanya sebatas sebagai pengamat dan jalan-jalan. Hal lainnya, saya jarang melihat penerbit di Indonesia yang meregenerasi  editor akusisi yang datang ke pameran buku internasional. Rasanya dia lagi-dia lagi. Padahal, hubungan dengan para agen dan pemasar lisensi di penerbit asing kadang bersifat personal, sehingga ketika seorang editor akuisisi meninggal, belum tentunya penggantinya siap menangani semua jaringan editor akuisisi tersebut. Akhirnya penerbit itu malah kehilangan kesempatan untuk berkompetesi berburu lisensi naskah asing.
000
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 03, 2013 21:28

Sampah Jakarta Kotori Kepulauan Seribu

Tulisan ini menjadi HL di kompasiana.com




Harapan saya melihat bibir pantai yang cantik pupus sudah saat tiba di dermaga kecil Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu, Sabtu (6/7). Ombak mengantar aneka sampah, terutama plastik, mengotori pantai yang semestinya bersih karena merupakan obyek wisata. Dari manakah rombongan sampah itu?

Setelah cek-in dan istirahat sejenak, saya keluar dari kamar tempat menginap di bagian barat Pulau Bidadari. Seorang pria tampak tengah mati-matian menghalau sampah yang terus mendesak ke pantai. Setelah mengangkut dua gerobak sampah, pria bernama Tahmid itu akhirnya hanya bisa menghalau sampah-sampah itu ke tengah laut agar kembali terbawa ombak.


13732505531309324758

Tahmid berusaha membersihkan pantai dari sampah warga Jakarta. (foto: Benny rhamdani)“Sampah ini berasal dari Jakarta,” kata Tahmid, pria asal Bumiayu, Jawa Tengah, pekerja kebersihan di Pulau Bidadari tampak kelelahan. “Padahal pagi tadi pantainya bersih.”

Dua hari berturut-turut sebelumnya, Jakarta diguyur hujan, sehingga sampah yang berada di aliran sungai tak hanya mengendap di muara, tapi terbawa ombak hingga ke laut Jawa. Akibatnya, pulau-pulau terdekat dengan pantai Jakarta kena getah.

“Apalagi waktu Jakarta banjir lalu. Sampahnya banyak banget sampai ke sini. Kadang saya kewalahan. Tapi mau apalagi. Namanya tugas, ya harus dikerjakan,” keluh Tahmid sambil terus mengusir sampah.

Wilayah tugas Tahmid adalah pantai yang tidak diperkenankan berenang, melainkan lebih banyak dipakai untuk memancing. Saya melihat beberapa pemancing kecewa karena kailnya sering menyangkut di sampah.
Oleh Tahmid, sampah yang terkumpul bisa diangkutnya ke bagian pengurugan di utara pulau. Tapi karena keterbatasan tenaga yang tak seimbang dengan jumlah sampah, dia memilih mengembalikan ke tengah laut agar terseret ombak lebih ke jauh.

1373250667165116916
Mestinya pengunjung bisa bermain di pantai ini bila tak ada sampah. (foto: Benny rhamdani)

Ketika saya kebagian timur pulau, tampak juga petugas kebersihan lainnya melakukan hal yang sama dengan Tahmid. Padahal pantai di sini diperuntukkan bagi pengunjung untuk berenang atau sekadar bermain pasir.
Saat keesokan harinya berkunjung ke Pulau Kelor, Pulau Onrust dan Pulau Kahyangan, saya melihat aneka bentuk sampah menumpuk di bibir pantai. Tentu saja saya kecewa. Jauh-jauh dari Bandung menyeberangi laut dengan biaya tak murah, lalu mendapatkan obyek wisata yang kotor. Saya membayangkan kekecewaan pelancong yang datang lebih jauh dari saya.

Di Pulau Kelor yang relatif lebih kecil dan tak berpenghuni, bahkan sampah berserakan juga di daratan. Kebanyakan sampah sisa pembungkus makanan dari para pemancing yang menginap di sana. Di Pulau Onrust, sampah terlihat di dermaga dekat loket tiket masuk. Mudah-mudahan saja Pemda DKI Jakarta segera memiliki solusi agar sampah dari Jakarta tak mengotori pantai Kepulauan Seribu sebagai obyek wisata yang potensial.

(ben/foto:benny rhamdani)
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 03, 2013 21:17

August 2, 2013

Jelang Frankfurt Book Fair 2015 - Repost

(Tulisan ini dimuat di kompasiana.com dan menjadi HL)





Tanpa banyak diketahui publik Indonesia, ternyata pihak pemerintah Indonesia telah resmi  menandatangani kesepakatan menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair  (FBF) 2015. Penandatanganan diwakili Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada awal Juni 2013. Pengumuman dari pemerintah Indonesia belum resmi terdengar, namun laman resmi  dari FBF sudah merilisnya pada 1 Juli 2013.

Tahun lalu ketika saya mengunjungi Frankfurt Book  Fair 2012, wacana Indonesia menjadi tamu kehormatan tersebut sudah tersiar.   Ada perasaan bangga karena di kawasan Asia Tenggara  menjadi negara pertama yang bisa menjadi tamu kehormatan di FBF. Bahkan seorang teman-teman editor di Malaysia bertanya sambil bercanda,” Indonesia bayar berapa hingga  jadi guest of honour di Frankfurt?”

Kebanggaan itu sedikit menyusut karena bulan demi bulan setelahnya, saya nyaris tak mendengar respon pemerintah atas undangan FBF. Saya pun mulai pesimis terhadap pemerintah seolah tak peduli dengan perkembangan perbukuan nasional kita. Dan kini, rasa pesimis itu berubah menjadi optimis, sekaligus bertanya-tanya siapkah Indonesia menjadi Guest of Honour di FBF 2015? Apa saja yang sudah dilakukan?

13744674681926795168Saya dan penulis Negeri 5 Menara, A. Fuadi di paviliun Indonesia, Frankfurt Book Fair 2012. (foto Benny Rhamdani)
Di manakah Indonesia?

Setiap kali menyebut nama Indonesia di kancah internasional, sering sekali saya mendengar orang-orang keheranan. Indonesia? Where is it? Bahkan Direktur FBF, Juergen Boos menyebut Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi penduduk yang tinggi namun hanya sedikit orang Jerman yang tahu.

Faktanya, dunia perbukuan Indonesia belum bicara banyak di kancah international. Kalaupun mau disebut, jelas Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) adalah penulis Indonesia yang paling mendunia. Pram pernah dianugerahi PEN Freedom Award, dan lebih dari 30 karyanya dipublish setidaknya ke dalam 20 bahasa . Pramoedya Ananta Toer adalah juga  kandidat kuat  penerima Nobel Prize untuk Literature. Di generasi muda, ada Ayu Utami penulis novel Saman yang diterbitkan Horlemann Verlag  (2007). Bintang barunya adalah Andrea Hirata yang karyanya Laskar Pelangi (Rainbow Troops) sudah diterbitkan Hanser Berlin (2013) dan peraih ITB Book Award pada  International Tourism Exhibition di Berlin.

Dengan jumlah penerbit aktif mencapai 1000 perusahaan di Indonesia mestinya tidak sulit untuk menembus dunia internasional. Apalagi beberapa penerbit sudah dengan inisiatif sendiri menerjemahkan buku-bukunya ke dalam Bahasa Inggris dan menjualnya lewat agen-agen literasi Indternasional.  Termasuk yang dilakukan Yayasan Lontar yang aktif melakukan penerjemahan buku nasional ke bahasa Inggris.

Saat bincang-bincang dengan beberapa pengunjung FBF  yang mengenal Indonesia, umumnya di benak mereka,  Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam seni budaya, kaya literasi lisan, serta  generasi mudanya yang sangat digital minded.
 
Usulan Program

Saya yakin dana yang akan dikucurkan pemerintah di FBF 2015 tidak akan sedikit. Karenanya perlu strategi yang matang agar seusai  acara akbar tersebut, kita benar-benar memetik hasilnya.

Sekedar perbandingan, pada FBF 2012, Selandia Baru melakukan promosi besar-besaran di hampir semua penjuru lokasi.  Setidaknya 300 agenda acara digelar mereka. Tidak hanya memanfaatkan satu paviliun yang dipenuhi penerbit buku negarany.  Negara beribukota di Wellington ini juga melakukan promosi wisata outdoor seperti demonstrasi pemahatan kayu khas suku Maori.  Dengan cerdasnya, negara yang belum punya penulis dan produk buku yang mendunia ini, mengaitkan industri buku mereka dengan karya J.R.R Tolkiens berjudul The Hobbit dan Lord of The Rings. Padahal kaitannya hanya karena Selandia Baru menjadi lokasi syuting film berdasarkan dua buku fenomenal tersebut.

Selandia Baru pun tak tanggung-tanggung memboyong 67 penulis dan 69 senimannya untuk memeriahkan  FBF ini.  Tentunya upaya besar ini tidak akan menjadi sia-sia, dengan jumlah pengunjung puluhan ribu per hari.

Catatan prestasi Selandia Baru yang  mengedepankan tema while you were sleeping di FBF antara lain  kunjungan 67.500 orang ke paviliun mereka selama lima hari (25.000 orang saat dibuka untuk umum).
 Dari sisi promosi melalui media juga terbilang sukses, karena selama bulan Oktober 2012 telah terdokumentasi 9.000 kliping siaran pers. Tentu saja yang paling menggembirakan adalah bagi industri perbukuan mereka sendiri, yakni terjualnya hak penerjemahan 83 judul buku ke Bahasa Jerman.

Tahun ini, Brasil akan menjadi tamu kehormatan, disusul Finlandia pada 2014. Keduanya bisa pula dijadikan acuan agar kita bisa tampil maksimal.

Untuk persiapan, saya harapkan IKAPI sebagai ujung tombak di FBF kelak, melakukan beberapa hal:

1.  Memfasilitasi penerjemahan buku-buku nasional ke dalam bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya). Alangkah baiknya pemerintah bisa mendukung dari sisi pembiayaan. Sebab saya lihat, pemerintah Malaysia sangat getol dengan hal ini di setiap pameran buku International. Tentunya, buku yang difasilitasi adalah buku-buku yang memenuhi standart dan selera pasar Internasional.

2. Membentuk wadah agen literasi yang kemudian bertugas memasarkan judul-judul buku yang sudah diterjemahkan. Meskipun sebagian penerbit (besar) sudah memiliki, tapi masih banyak penerbit yang belum menemukan celah untuk memasarkan hak terjemahnya ke internasional. Padahal dengan semakin banyaknya buku nasional yang dipasarkan, akan makin banyak yang mengenal Indonesia. Dan ini akan berimbas ke sektor lain, seperti pariwisata.

3. Menunjuk orang-orang yang tepat menjadi duta literasi di FBF, baik penulis, desainer buku, illustrator, komikus, termasuk kritikus perbukuan.

4. Jika memang terbatas dengan sumber daya manusia yang mendukung, libatkan oraganisasi dan komunitas perbukuan nasional. Umumnya mereka sangat militan untuk mendukung kegiatan perbukuan Indonesia. Jangan sampai hanya karena  ‘kekuarangan orang’ akhirnya perencanaan program jadi kurang matang.

5. Beritakan program-progam yang akan diusung, agar masyarakat bisa ikut memberi masukan.

6. Ikapi juga harus menegaskan kepada pelaku industri perbukuan Indonesia, bahwa event ini bukan hanya untuk kepentingan satu-dua penerbit buku, tapi bermanfaat untuk seluruh insan perbukuan. Sehingga harus didukung oleh semua pelaku industri perbukuan nasional.

Sebagai insan perbukuan nasional, saya sungguh berharap kesempatan Indonesia di FBF 2015 dimanfaatkan semaksimal mungkin. Jika tidak, entah harus menunggu berapa lama lagi kita akan mendapat kesempatan ini.
OOO
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 02, 2013 11:05

July 31, 2013

Pilih Isteri atau Bodrex




Bodrex adalah produk obat yang lekat dengan kehidupan saya sejak kecil. Saat itu, saya punya paman yang bekerja di PT Tempo Scan Pacific Tbkdi bagian pemasaran. Seminggu sekali paman saya datang ke rumah dengan supir dan mobil boxnya yang bergambar Bodrex. Maka brand Bodrex terus menempel di kepala.
Secara otomatis orangtua saya hanya meminum Bodrex ketika sakit kepala. Sampai suatu hari saya pusing-pusing karena mau flu. Biasanya saya minum obat Bodrexin. Tapi persediaan di rumah habis. Orangtua saya menyarankan saya minum Bodrex aja setengah tablet. Membayangkan rasanya yang pahit, saya pun menolak.
Ibu tak kehabisan akal merayu saya. Dia meyakinkan saya, pilih sembuh atau makan Bodrex dengan pisang. Akhirnya saya pilih makan Bodrex dengan bantuan pisang agar tidak merasa pahit di lidah. Saya pun istirahat setelah minum obat, dan ketika bangun tidur saya merasa pusing di kepala hilang tenggelam di balik bantal.
Sejak itulah saya ikut orangtua minum Bodrex walau hanya setengah tablet. Seiring beranjak usia, saya minum Bodrex sesuai petunjuk dosis pemakaian yang ada di kemasan.
Wartawan Bodrex
Sebutan wartawan Bodrex adalah tidak menyenangkan. Mereka adalah sekumpulan oknum wartawan yang tak jelas surat kabarnya dan sering memeras. Entah dari mana asalnya. Lucunya, seorang teman saya sering menyebut saya wartawan Bodrex.
Bermula ketika saya sedang flu dan kerap sakit kepala saat bertugas di lapangan sebagai reporter sebuah surat kabar di Jakarta. Teman saya bernama Agus, rupanya kerap memerhatikan saya ketika selesai makan siang atau malam seharian itu minum Bodrex.
Dia heran, karena saya terus minum Bodrex tapi tetap segar bekerja alias tidak mengantuk. Saya jelaskan saja, bahwa selama saya minum Bodrex tidak pernah menyebabkan kantuk. Kecuali saya benar-benar ngantuk karena kurang tidur.
Agus tidak percaya karena setiap habis minum obat sakit kepala, dia sering ngantuk. Agus mengaku, obatnya merk lain, bukan Bodrex.
Malamnya menjelang deadline, tiba-tiba dia datang kepada saya. Dia mengaku sakit kepala dan ingin coba minum Bodrex. Saya pun membuka laci meja. Dia terkejut karena melihat persediaan Bodrex saya yang cukup banyak.
“Kayak mau jualan aja,” katanya.
“Ya, barangkali ada teman yang sakit kepala, tapi nggak punya obat. Gue kan bisa kasih,” timpal saya.
Agus pun minum Bodrex dan kembali bekerja. Menejelang tengah malam kami pulang bareng ke luar kantor. Di pintu kantor di berkata,”Bodrex-nya cepat kerjanya. Tadi kerjaan jadi lancar. Kalo nggak ada Bodrex kayaknya gue nggak beres ngetik berita. Si Boss pasti nyemprot gue lagi.”
Dan sejak itulah dia memanggil saya Wartawan Bodrex. Biarlah, yang peting bukan dalam arti negatif. Sebab Bodrex sendiri memberi arti positif untuk kesehatan.
Pilih Isteri atau Bodrex?
Setelah beberapa hari menikah, seperti halnya pasangan lainnya, ada perbedaan-perbedaan yang tidak diketahui sebelumnya. Salah satu di antaranya adalah soal obat-obatan. Isteri saya yang bekerja di administrasi rumah sakit lebih detail dalam urusan obat.
Suatu hari saya sakit gigi sampai sakit kepala yang tak bisa saya tahan lagi. Saya minta tolong isteri saya sepulang kerja membelikan Bodrex. Ternyata, isteri saya menyodorkan obat lain yang menurutnya lebih ampuh karena lebih mahal. Isteri saya juga melarang saya mengonsumsi obat-obatan warung karena berbahaya bagi ginjal. Termasuk Bodrex.
Saya tidak sependapat. Saya pernah membaca bahwa Bodrex berisi paracetamol dalam dosis aman bagi anggota tubuh. Saya tetap ingin dibelikan Bodrex. Eh, isteri saya malah ngambek karena saya dianggap tdiak mempercayai kata-katanya. Sampai dia bilang,”Pilih isteri atau Bodrex?”
Karena saya sayang isteri ya saya pilih isteri. Saya pun minum obat yang dibelikan isteri di depannya. Dia tersenyum puas. Eh, ternyata sepuluh menit kemudian saya mengantuk bukan main. Saya bilang ke isteri saya, bahwa saya punya kerjaan yang harus diketik tapi mengantuk setelah minum obat darinya. Memang sakit giginya hilang, tapi kalau ngantuk begini repot juga.
Isteri saya minta maaf. Dia akhirnya menyadari, setiap orang memang tidak harus meminum obat yang sama dengannya. Apalagi jika sudah cocok dengan satu obat. Sejak itu, isteri saya selalu membelikan Bodrex untuk saya bila sakit kepala. Namun isteri saya tidak beralih minum Bodrex. Menurut saya itu tak masalah, yang penting adalah saling pengertian dan toleransi dengan pilihan masing-masing.
Saya tetap memilih Bodrex dibandingkan obat sakit kepala lainnya.  Apalagi ada Bodrex range yang bekerja lebih cepat.



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 31, 2013 01:50

Benny Rhamdani's Blog

Benny Rhamdani
Benny Rhamdani isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Benny Rhamdani's blog with rss.