Benny Rhamdani's Blog, page 49

September 2, 2013

Filipina dan Indonesia, Beda Tipis Soal Kebebasan Informasi dan Berekspresi

Para Bloggers Filipina. (foto: blognapinoy.com)



Sudah lama saya sering menggunakan frasa ‘kebebasan informasi’ dalam keseharian. Namun, saya baru faham definisinya begitu mencarinya (lagi-lagi) di Wikipedia. Kebebasan informasi, menurut Wikipedia, merupakan hak asasi manusia yang diakui oleh hukum internasional dalam mendapatkan informasi dengan bebas, yang mencakup bukan hanya dalam teks dan gambar,  tetapi juga pada sarana berekspresi itu sendiri terutama dalam pemanfaatan teknologi informasi.
Kebebasan informasi terutama dalam mendapatkan hak akses informasi dari Internet serta media massa lainnya seperti televisi, radio, surat kabar, buku dan lain sebagainya, juga merupakan nilai dasar dalam kehidupan berdemokrasi. Oleh karena itu kebebasan memperoleh informasi bagi masyarakat dapat menjadi dasar dalam meningkatan partisipasi dari masyarakat itu sendiri, mengingat ketersediaan informasi yang memadai tentunya akan dapat mendorong masyarakat untuk lebih mampu berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan secara efektif dan berarti.
Pada kenyataannya, tidak semua negara mengecap kebebasan informasi. Di beberapa negara ASEAN saja, seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja, informasi masih dikendalikan pemerintah. Tidak cuma mendapatkan akses informasi, bahkan kebebasan berekpresi menyampaikan informasi melalui blog saja sulit sekali.
Guru pemasaran Hermawan Kartajaya mengungkapkan di  Pre-Conference ASEAN Blogger Festival 2013, Jakarta (20/4/2013),  di ASEAN hanya di negara Indonesia dan Filipina saja yang memiliki kebebasan berekspresi.
Thailand (135) meskipun index kebebasan press-nya dinilai Reporter Without Border lebih baik dari Indonesia (139), namun nyatanya di sana orang tidak bisa seenaknya mengritik keluarga kerajaan, termasuk di sosial media. Sementara di Indonesia seperti  juga di Filipina, orang bisa sehari tiga kali mencaci pemerintah lewat Twitter. Di Vietnam, pemerintah langsung menyatakan akan menghukum berat blogger yang mengkritik pemerintah.
Mirip di Indonesia
Dalam beberapa hal, soal kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi di Filipina memiliki sejumlah kesamaan. Di Indonesia dua kebebasan tersebut  tidak bisa diumbar sebebas-bebasnya. Pemerintah RI tetap mengaturnya di dalam UU RI no. 11 tahun 2008.
Di Filipina pada 12 september 2012, telah dibuat UU antikejahatan internet atau biasa disebut Cybercrime Prevention Act of 2012. UU tersebut dibuat bertujuan untuk mengatasi masalah hukum yang menyangkut interaksi secara online  di Filipina. Di antara pelanggaran cybercrime adalah cybersquatting, cybersex, pornografi anak, pencurian identitas, akses ilegal ke data dan pencemaran nama baik.
Dengan UU itu maka kejahatan di dunia maya diancam dengan ganjaran hukuman maksimal 12 tahun penjara selain hukuman denda.
Pose alay ABG Filipina pun mirip ABG Indonesia. (foto:google)
UU tersebut ternyata mengundang reaksi dari para jurnalis dan sejumlah blogger di Filipina. Setali tiga uang dengan di Indonesia.  Bahkan ada beberapa hacker yang kemudian  meretas situs pemerintahan. Lembaga hak asasi yang berkantor di Amerika Serikat, Human Right Watch, juga berkomentarmenyebut undang-undang itu akan menghambat kebebasan berbicara.
Sepekan kemudian, Mahkamah Agung di Filipina melarang pemberlakukan undang-undang baru tentang kejahatan internet tersebut, yang oleh para pengamat dikatakan menghalangi kebebasan berpendapat. Setelah melewati beberapa sidang dan penundaan keputusan, akhirnya pada 24 Mei 2013, kementerian hukum setempat menghapus aturan tentang pencemaran nama baik secara online. 
Yang berbeda dengan di Indonesia, pemerintah Filipina mau mendengar masukan dari jurnalis, blogger  dan sejumlah aktivis HAM agar menunda pelaksanaan UU antikejahatan internet itu.  Nasib Undang-undang ini selanjutnya akan diurus oleh rapat senat Filipina nanti.
Mengapa Mirip?

Mengapa kondisi kebebasan informasi dan kebebsan berekspresi di Filipina nyarisa sama dengan di  Indonesia. Karena ternyata banyak kesamaan yang bisa dilihat dari dua negara ASEAN ini. Keduanya sama-sama masuk dalam euphoria demokrasi yang hampir bersamaan, setelah satu era pemerintahan yang berlangsung lama. Secara demografis, keduanya sama-sama negara kepulauan, walaupun Filipina lebih kecil. Keduanya juga memiiki tingkat korupsi yang tinggi, sehingga masyarakat ingin mengkritik system yang ada sebanyak mungkin.
Entah dengan undang-undang atau tidak, saya merasa Filipina dan Indonesia tetap harus memiliki aturan untuk kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi agar tidak kebabablasan. Pendidikan dan sosialisasi etika begaul di dunia maya harus terus dilakukan.

Apabila Filipina (juga Indonesia) berhasil menumbuhkan kesadaran agar masyarakatnya memakai internet untuk hal-hal positif, tidak mustahil negara-negara ASEAN lainnya akan lebih terbuka pula dalam kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi, meniru Filipina. Apalagi saat mulai diberlakukannya Komunitas ASEAN 2015,  setiap blogger di  masing-masing negara saya harapkan dapat menulis apa saja tentang negara ASEAN lainnya, untuk masyarakat ASEAN yang lebih kondusif.
Saya pikir unuk Komunitas Blogger ASEAN, blogger Indonesia bisa lebih banyak melakukan kerja sama dengan blogger Filipina. Ada yang nggak setuju?
OOooOO

referensi: wikipedia dan BBC.

Tulisan ini diikutsertakan dalam
 #10daysforASEAN
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 02, 2013 00:53

September 1, 2013

Belajar dari Pedra Branca




  Ini dia Pedra Branca
.(sumber foto: http://wilayahpembangunaniskandar.fil...)

Pedra Branca? Ya, saya ingat. Karena saya pernah punya kenangan dengan nama ini.Pedra Branca atau orang Malaysia menyebutnya Pulau Batu Puteh adalah nama sebuah pulau seluas 8.560 meter persegi di Selat Singapura. Pedra Branca awalnya dalam wilayah Kesultanan Johor yang didirikan pada tahun 1528.
Sengketa Malaysia dan Singapura mengenai kepemilikan atas Pedra Branca muncul  pada tahun 1979 ketika pemerintah Malaysia menerbitkan sebuah peta yang memasukkan pulau Pedra Branca dalam wilayah kedaulatan Malaysia. Kemudian Malaysia berargumentasi pula bahwa Kesultanan Johor sempat memiliki pulau itu pada abad ke16. 
Singapura bereaksi dengan  menyampaikan protes resmi atas pengakuan Malaysia tersebut pada  15 Februari 1980 yang menolak klaim Malaysia dan meminta untuk mengakui kedaulatan Singapura atas Pedra Branca.
Menurut Singapura, Inggris mendapatkan hak atas pulau itu sejak tahun 1847 dengan bukti sejarah sudah membangun mercusuar Horsburgh di Pedra Branca pada tahun 1847. Selanjutnya pada tahun 1852 hingga 1952, Singapura mempunyai bukti surat menyurat antara Colonial Secretary of Singapore kepada British Adviser to the Sultan of Johor tahun 1953, Acting Secretary of Johor menyatakan bahwa “Johore Government does not claim ownership of Pedra Branca.“ 
Malaysia dan Singapura berusaha menyelesaikan sengketa melalui serangkaian negosiasi bilateral dari tahun 1993 sampai tahun 1994. Akhirnya keduanya sepakat menandatangani Perjanjian Khusus pada tanggal 6 Februari 2003 (yang mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 2003) dan menyerahkan sengketa kepada Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) pada  24 Juli 2003, karena salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau judicial settlement dalam hukum internasional adalah penyelesaian melalui Mahkamah Internasional.
ICJ pada 23 Mei 2008, menetapkan Singapura sebagai pihak yang berdaulat atas Pedra Branca. Malaysia memperoleh hak Batuan Tengah. Sementara Karang Selatan yang masih satu gugusan masih belum jelas kepemilikannya. Indonesia sebenarnya lebih berhak atas Karang Selatan karena wilayah itu lebih dekat dengan Indonesia, yakni 7 Mil dari Pulau Bintan (Kepri), sedangkan Malaysia (Johor) 10 Mil bahkan Singapura jaraknya lebih jauh lagi, 21 Mil .
Dampak Sengketa
Sengketa mengenai wilayah selalu menimbulkan ketegangan antara pihak yang bersengketa dan memunculkan sentimen nasionalisme sesaat di dalam negeri yang dapat membahayakan stabilitas dan ketegangan di kawasan, dalam hal ini tentunya ASEAN.
Saya pernah merasakan ketegangan itu karena pada Mei 2008 saya sedang di Kuala Lumpur, Malaysia. Saya membaca di koran-koran setempat reaksi warga Malaysia yang kecewa dengan keputusan itu. Bisa dibayangkan selama 29 tahun, sejak sengketa dimulai, warga dua negara itu diam-diam memendam percik api permusuhan. Dan, saya kerap membaca itu di forum-forum diskusi politik di Internet.
Saya sempat pula membayangkan terjadi perang antara Malaysia dan Singapura, seperti yang terjadi di beberapa negara saat bersengketa soal wilayah perbatasan, India dan Pakistan misalnya. Singapura, walaupun kecil wilayahnya memiliki militer yang handal dan alutsita yang sangat modern.  Dan Malaysia pun bukan negeri yang tak pernah memperbaikin angkatan perangnya.
Jika Singapura dan Malaysia berperang, maka sudah pasti ASEAN akan menjadi sorotan dunia. Bagaimana dua negara dalam satu organisasi teritorial bisa dibiarkan perang? Bukan cuma itu. Dampak perang pun akan merembet ke mana-mana. Dan Indonesia sebagai negara tetangga akan terkena getahnya.
Tapi untunglah, Singapura masih mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai. Inilah jalan terbaik untuk menghindari pengorbanan nyawa yang tidak dibutuhkan. Padahal, percik bentrok senjata memungkinkan terjadi pada 1980-an. Saat itu Kapal Polisi Kelautan  Malaysia memasuki perairan sekitar Pedra Branca. Namun Singapura menahan diri. Pemerintah Singapuran telah memberi instruksi ketat kepada angkatan lautnya untuk tidak meningkatkan masalah.
Pada tahun 1989, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pernah melakukan kunjungan mendadak ke sekitar Pedra Branca. Kapalnya dicegat oleh kapal angkatan laut  Singapura. Untuk menghindari insiden internasional, angkatan laut Singapura hanya mengarahkan kapal yang ditumpangi Mahathir Mohammad agar menjauh.
Memetik Pelajaran
Siapapun bisa memetik banyak pelajaran berharga dari kasus ini. Apalagi negara-negara ASEAN yang masih dalam satu kawasan. Beberapa hal yang bisa dipetik antara lain lebih mementingkan perdamaian di kawasan ASEAN untuk setiap persengketaan antar negara yang muncul, dan melakukan upaya diplomasi  terlebih dahulu. Keterlibat diplomat ulung serta pakar hukum internasional mutlak diperlukan.
ASEAN sendiri sudah ASEAN menelurkan berbagai traktat seperti Asia Tenggara sebagai zona damai, bebas, dan netral (zone of peace, freedom, and neutrality), zona bebas senjata nuklir, treaty of amity and co-operation (TAC), dan berbagai persetujuan kerja sama lainnya.
Dan menjelang berlakunya Komunitas ASEAN 2015 salah satu pilar telah pula diputuskan yakni Komunitas Politik Keamanan ASEAN (ASEAN Political Security Community/APSC) ditujukan untuk mempercepat kerjasama politik keamanan di ASEAN guna mewujudkan perdamaian, termasuk dengan masyarakat internasional.Saya optimis pilar ini akan bermanfaat dan berjalan. Karena masyarakat ASEAN yang saya tahu, walaupun akan berjuang mati-matian demi wilayahnya, tapi akan menempatkan perang militer sebagai upaya paling terakhir. Sebisa mungkin tidak perlu malah.
OOooOO
Referensi: Wikipedia, kemlu.co.idTulisan ini diikutsertakan dalam:#10daysforASEAN
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 01, 2013 09:50

August 30, 2013

Soal Laos




Dari semua negara ASEAN, satu-satunya negara yang tidak begitu saya kenal adalah Laos. Di kepala saya sendiri, setiap disebut ‘laos’ maka  muncul  visual bumbu dapur yang biasa juga disebut lengkuas.
Saya baru tahu jika Laos ternyata bernama lengkap Republik Demokratik Rakyat Laos. Saya pikir Laos masih berbentuk kerajaan.  Karena saya pernah membaca sejarah, setelah penjajahan Jepang selama Perang Dunia II, negara ini memerdekakan diri pada 1949 dengan nama Kerajaan Laos di bawah pemerintahan Raja Sisavang Vong.
Rupanya, pada 1975 kaum komunis yang didukung Uni Soviet dan komunis Vietnam menyingkirkan pemerintahan Raja Savang Vatthana dukungan Amerika Serikat dan Perancis. Kemudian, mereka mengganti namanya menjadi Republik Demokratik Rakyat Laos hingga saat ini dan bergabung dengan ASEAN pada 1997.
Sejak menjadi anggota ASEAN, Laos mengakui mengalami pertumbuhan yang siginifikan dalam perdagangan, investasi, dan kedatangan wisatawan asing .  Laos banyak mendapat dukungan teknis dan bantuan  dalam pengembangan sumber daya manusia dari negara-negara anggota ASEAN, juga mitra dialog dan mitra eksternal lainnya. Seperti negara berkembang umumnya, kota-kota besar di Laos  seperti  Vientiane, Luang Prabang, Pakxe, dan Savannakhet, mengalami pertumbuhan signifikan beberapa tahun terakhir.
Laos pernah sukses memimpin  ASEAN pada tahun 2004-2005. Selanjutnya, Laos dipercayakan ke kursi dan tuan rumah berbagai pertemuan regional dan internasional yang penting. Laos menjadi tuan rumah ke-9  Asia-Europe Meeting (ASEM) Summit tahun ini  dan pada 2016, Laos akan menjadi pimpinan ASEAN untuk kedua kalinya.
Tiga untuk Laos
Menjelang Komunitas ASEAN 2015, saya rasa hal yang tepat menempatkan Laos menjadi pemimpin ASEAN. Dengan demikian, Laos akan meningkatkan kinerjanya bagi ASEAN dengan optimal. Paling tidak, Laos bisa menyamai kontribusinya seperti halnya Kamboja yang masuk ASEAN pada tahun yang sama. Setidaknya, saya mencatat tiga langkah utama yang bisa dilakukan Laos  agar setara kontribusinya di ASEAN.
Pertama, dengan segala potensi yang dimiliki  Laos, harus lebih berpartisipasi penuh  dalam pergaulan  dengan ASEAN. Hubungan diplomatik dengan negara-negara ASEAN dilakukan lebih intensif, terutama dengan negara yang menyimpan potensi risiko konflik perbatasan maupun sejarah masa lalu, misalnya dengan Thailand, Vietnam dan Kamboja. Selanjutnya, bisa meluas dengan negara ASEAN lainnya. Saya bersyukur Thailand sudah mau memulainya dengan rencana membangun rel yang menghubungkan Vientiane dengan Thailand yang dikenal dengan Jembatan Persahabatan Thailand-Laos
Kedua, rendahnya tingkat pembangunan ekonomi Laos bisa ditingkatkan dengan kesadaran prioritas kerjasama –jangka panjang dan pendek- dalam tingkat regional, yakni ASEAN. Bukan bantuan dari negara-negara yang jauh darinya.  Seperti yang saya baca, ekonomi Laos  banyak menerima bantuan dari IMF. Padahal jika berkaca kepada Indonesia, betapa IMF kelak malah akan mencekik negerinya sendiri.  Bentuk kerja sama yang  dapat ditingkatkan dengan mudah di ASEAN adalah sektor pariwisata. 
Ketiga, karena masih ada konflik internal, seperti bentrok senjata dari kelompok tertentu masih terjadi secara kecil-kecilan di seluruh negeri, sebaiknya coba melakukan pertemuan-pertemuan atau diskusi berdasarkan pengalaman negara ASEAN mentelesaikan masalah internal.  Memang, ASEAN selalu berusaha menegakkan prinsip  non - intervensi , namun tidak menutup kemungkinan untuk mendukung stabilitas nasional Laos. Sebab, konfilk kecil di dalam satu negara bisa berimbas ke negara lain, secara masih dalam satu regional.
Sekali lagi, agar begitu masuk  Komunitas ASEAN 2015 nanti tidak terjadi negara yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, setiap negara harus memberi konstribusi seoptimal mungkin. Sehingga hasil yang dicapipun bias semaksimal mungkin.

OOooOO
referensi: wikipedia

tulisan ini untuk lomba #10daysforASEAN
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 30, 2013 22:35

August 29, 2013

Kopi Vietnesia Akan Saingi Industri Kopi Brasil

Ngopi yuuuk (foto: dabboo r)

Beberapa kali saya diajak teman saya ngopi bareng di kedai kopi Phoenam di sudut kota Bandung. Teman saya itu pecandu kopi, dan dia dengan yakinnya mengatakan kopi  Vietnam itu paling nikmat dari sekian jenis kopi yang pernah dicicipinya.

Saya yang bukan penggemar kopi hanya manggut-manggut. Mau menepis persepsinya pun percuma. Data menyatakan bahwa kopi Phoenam memang sangat sohor, dan Vietnam adalah penghasil kopi terbesar nomor dua setelah Brasil. Sementara Indonesia berada di peringkat ke tiga.Menurut Wikipedia, kopi masuk ke Vietnam pada 1857 oleh bangsa Perancis. Produksi kopi dibangun pada awal abad ke-20 dalam skala kecil. Pabrik kopi instan pertama, Coronel (kini Vinacafe), didirikan di Bien Hoa, Provinsi Dong Nai pada tahun 1969, dengan kapasitas produksi 80 ton per tahun.

Pada akhir dasawarsa 1990-an, Vietnam menjadi produsen kopi nomor dua terbesar setelah Brasil, meskipun produk yang dihasilkan lebih difokuskan pada biji Robusta yang berkualitas rendah bila dibandingkan dengan Arabika sebagai komoditas ekspor. Prakarsa pemerintah terbaru adalah upaya untuk memperbaiki kualitas kopi ekspor, termasuk mulai diperbanyaknya pohon-pohon kopi Arabika, dikembangkannya kopi campuran, dan kopi dengan kekhususan tertentu seperti kopi luwak.
Pada tahun 2000, produksi kopi tumbuh menjadi 900.000 ton per tahun. Harga mengalami penurunan meski produksi tahunan juga menurun hingga kira-kira 600.000 ton/tahun pada tahun 2003. Reuters melaporkan bahwa ekspor kopi Vietnam adalah sebanyak kira-kira 1,13 juta ton untuk tahun 2008.
Sementara itu, di Indonesia sejarah perkopian dimulai dengan kegetiran yakni pada era Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830—1870) masa penjajahan Belanda., Jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia adalah kopi jenis Arabika yang didatangkan langsung dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing dan Sidikalang. Kopi juga ditanam di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores.


Pada 1997-1998, menurut data National Geographic,  produksi kopi Indonesia masih di atas Vietnam. Indonesia berada di posisi ketiga setelah Brasil dan Kolombia. Vietnam berada di posisi ke empat. Namun, Kementrian Perindustrian pada Juni lalu menegaskan bahwa produksi kopi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Salah satu penyebabnya, menurut Menteri Perindustrian M S Hidayat seperti dikutip liputan6.com,  konsumsi kopi masyarakat Indonesia sendiri rata-rata baru mencapai 1,2 kg per kapita per tahun. Ini masih tergolong rendah bila dibandingkan negara-negara pengimpor kopi lain seperti USA yang mencapai 4,3 kg, Jepang 3,4 kg, Australia 7,6 kg, Belgia 8 kg, Norwegia 10,6 kg dan Finlandia 11,4 kg per kapita per tahun.Ironisnya, Indonesia masih mengimpor kopi dari Vietnam.
Vietnesia Untuk Dunia

Menuju Masyarakat Ekonomi Asean 2015 yang tak berapa lama lagi, Indonesia sudah melakukan beberapa kerja sama di ASEAN, baik multilateral maupun bilateral. Salah satu bentuk kerja sama bilateral yang dilakukan Indonesia adalah kerja sama bidang politik, diplomati, dan  dengan Vietnam. Kerja sama tersebut makin erat,  khususnyasetelah kunjungan  kenegaraan Presiden Vietnam, Truong Tan Sang ke Indonesia pada Juni 2013. Bahkan, Untuk mendorong  hubungan ekonomi antara dua negara, Indonesia dan Vietnam  sudah menggelar banyak banyak forum dan aktivitas, diantaranya yang mencuat ialah Forum Perdagangan, Pariwisata  dan Investasi Indonesia –Vietnam (TTI)  yang diselenggarakan pada Juni 2013 di kota Ho Chi Minh.
Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) sendiri  akan melakukan kerja sama dengan pengusaha kopi di Vietnam yang sukses dalam meningkatkan produksi kopi di negara tersebut. AEKI sudah melakukan studi banding ke Vietnam. Tentu saja saya berharap, kerja sama ini tidak semata meningkatkan produksi kopi Indonesia dan menyusul produksi Vietnam, tapi membuat satu brand bersama kopi Indonesia dan Vietnam demi merajai pasar kopi dunia.
Saya yakin Vietnam sendiri punya ambisi untuk menyaingi Brasil, begitu pula dengan Indonesia. Jika dua negara ASEAN ini bersinegi, tentu akan lebih kuat dan mampu menyaingi Brasil. Caranya bisa dengan membuat satu brand bersama, seperti Kopi Vietnesia (Vietnam dan Indonesia), lalu mengomunikasikan ke seluruh dunia bersama-sama secara terus menerus. Promosi juga harus dilakukan di dalam negeri kedua negara.

Dengan hadirnya Vietnesia, orang tidak akan bertanya lagi, ini produksi Vietnam atau Indonesia. Dan tentunya negara-negara di Komunitas ASEAN 2015 menjadi bagian yang kemudian akan dilibatkan baik sebagai produsen maupun pasar komoditi kopi Vietnesia. Bagaimana?

OO00OO

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba ngeblog

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 29, 2013 21:23

Hari Gini Masih Pakai Visa



Kepergian saya ke luar negeri  yang pertama hingga ketiga adalah ke Malaysia. Semua tanpa visa. Namun kepergian saya ke luar negeri yang ke empat adalah ke Italia, sempat membuat saya pontang-panting. Pasalnya saya harus membuat visa agar bisa masuk melewati imigrasi di bandara Milan.
Saya sempat browsing ke beberapa blog menemukan cara mengurus visa schengen, lalu memberanikan diri mengurus sendiri, walau harus bolak-balik  Bandung – Jakarta. Ada beberapa hal yang bikin saya bertanya-tanya, kenapa sih harus ngurus Visa? Kenapa sebuah negara harus memberlakukan visa dengan ketat, padahal dia akan mendapat pendapatan dari turis yang datang ke negaranya?
Ternyata visa berperan sekali sebagai tanda bukti ‘boleh berkunjung’ yang diberikan pada penduduk suatu negara jika memasuki wilayah negara lain. Bisa berbentuk stiker visa yang dapat diapply di kedutaan negara yang akan dikunjungi atau berbentuk stempel pada paspor pada negara tertentu.
Visa diperlukan karena Visa dikenakan kepada orang yang datang ke suatu negara karena berbagai alasan. Pertama, Tidak ada pembicaraan kedua negara untuk saling memberikan fasilitas bebas visa. Hal itu mungkin karena kurang baiknya hubungan diplomatik, jauhnya jarak antara kedua negara sehingga tidak banyak kunjungan masyarakat antar dua negara.
Kedua, faktor keamanan. Negara maju seringkali hanya mempersyaratkan bebas visa untuk sesama negara maju. Tingginya angka imigran gelap membuat negara asal imigran gelap bahkan dipersulit untuk membuat visa. Visa juga menjadi screening agar hanya orang-orang terpilih dan mempunyai tujuan baik saja yang dapat masuk ke suatu negara.
Ketiga, faktor ekonomi: suatu negara dengan banyak obyek wisata namun tidak mampu mengelola pariwisatanya seringkali mempersyaratkan visa untuk mendapatkan tambahan pemasukan negara dari setoran aplikasi visa.
Terkadang ada faktor lainnya yang membuat sebuah negara menyaratkan visa. Semisal, negara yang perekonomiannya dianggap tidak memenuhi standart. Lihatlah Malaysia dan Singapura yang warganya bisa masuk ke negara-negara eropa tanpa visa karena sudah dianggap perekonomiannya baik. Agak berbau diskriminasi, tapi itulah PR untuk bangsa Indonesia agar memajukan perekonomiannya, hingga setara dengan Malaysia dan Singapura.
Faktor lainnya adalah pengalaman penyelewengan visa. Misalnya, Indonesia yang hingga kini masih harus memakai visa untuk ke Jepang. Padahal hubungan Indonesia dan Jepang sangat erat. Alasan pemerintah Jepang, WNI tidak disiplin. Dengan adanya visa saja, sering menyalahgunakan izin tinggal di Jepang (overstay), apalagi bebas visa. Ada juga warga Indonesia yang memakai visa turis, tapi akhirnya memanfaatkan untuk bekerja di luar negeri.
Myanmar Rugi
Jika Myanmar masih bertahan tidak memberikan bebas visa ke sesame negara ASEAN, itu adalah haknya. Tapi menurut saya sungguh merugi. Saat ini, dengan hadirnya maskapai penerbangan murah, traffic wisatawan antar sesama negara ASEAN sangat tinggi. Sudah pasti pendapatan negara dari sektor wisata meningkat.
Mungkin Myanmar masih mempertimbangkan karena alas an-alasan internal, seperti belum kondusifnya kinerja imigrasi mereka, atau kondisi politik yang belum stabil.
Namun, menurut kabar yang beredar, Myanmar telah menjalin kerjasama khusus dengan Indonesia, Filipina, dan Kamboja  agar bisa membuat bebas visa tahun depan. Jika semakin banyak negara ASEAN yang menerapkan system bebas visa antara sesama negara ASEAN, maka saat resminya Komunitas ASEAN 2015 kelak, tidak ada lagi halangan-halangan untuk bersinergi dalam bidang apapun.

Semoga Komunitas ASEAN 2015 juga disambut negara-negara lain, agar tidak hanya Malaysia, Singapura dan Thailand saja yang mendapat keistimewaan bebas visa di beberapa negara maju, tapi menular ke negara lainnya, termasuk Indonesia. Sebab, waktu dan biaya mengurus visa cukup bikin ribet, terutama bagi blogger yang juga traveler. Termasuk biayanya, yang bisa dipakai untuk menambah waktu perjalanan.

ooOOoo

refensi: www.imigrasi.go.id, kemlu.go.idilustrasi: http://travel.state.gov

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba:#10daysforASEAN
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 29, 2013 02:53

August 28, 2013

Perlukah Mengganti Semboyan 'Wonderful Indonesia'?



Sebelum menjawab pertanyaan di atas, marilah kita membandingkan semboyan pariwisata negara-negara ASEAN.       Brunei - Brunei, The Green Heart of Borneo       Kamboja - Cambodia, Kingdom of Wonder       Laos - Laos, Simply Beautiful       Malaysia - Malaysia Truly Asia       Myanmar - Mystical Myanmar       Philippines - It's More Fun in The Philippines       Singapore - Your Singapore       Thailand - Amazing Thailand, Always Amazes You       Vietnam - Vietnam, Timeless Charm    Indonesia - Wonderful Indonesia

Dari sepuluh semboyan tersebut, Malaysia Truly Asia merupakan salah satu branding slogan pariwisata paling sukses di Asia. Negara serumpun Melayu itu menggaet 24 juta wisatawan asing dan menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara.  Kerajaan ini bahkan memperoleh beberapa penghargaan untuk semboyan wisatanya,  termasuk Best Long Term Marketing and Branding Campaign Gold Awards pada Asian Marketing Effectiveness Awards 2008.
Berikutnya adalah Amazing Thailand  yang juga menjadi semboyan wisata tersukses di dunia. Thailand memasang tagline  ini sejak 1997 hingga kemudian diikuti negara-negara lain di Asia Tenggara. Berkat konsistensinya dalam memasarkan pariwisata, kerajaan ini menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Asia Tenggara. Sub semboyan  Always Amazes You merupakan penguat slogan utama dan mulai dipakai sejak 2010.
Semboyan Wonderful Indonesia  diperkenalkan awal 2011 menggantikan Visit Indonesia. Ada 5 pilar di dalamnya, yakni  Wonderful Nature, Wonderful Culture, Wonderful People, Wonderful Food, Wonderful  dan Value for Money.
Menurut saya  frasa  Wonderful Indonesia sudah merefleksikan Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, kata Wonderful  mudah dimengerti oleh masyarakat luas yang tidak berbahasa Inggris sekalipun. Syarat sederhana dan mudah diingat pun terpenuhi. Mungkin hanya orang Sunda saja nanti yang membacanya jadi ‘wonderpul Indonesia’  seperti halnya ‘pisit Indonesia’ (kidding).
Permasalahannya adalah bagaimana semua pihak di Indonesia, baik yang terkait dengan sektor wisata maupun tidak terus mengkampanyekannya sehingga benar-benar menjadi brand nation. Lihat saja Malaysia dengan semboyan Truly Asia secara konsisten ditayangkan di mana-mana sehingga pemirsa internasional pun semakin lama semakin terpengaruhi� dengan konsep tersebut. Terpaan pesan terhadap target perlu direpetisi untuk membentuk suatu mindset. Kalau bisa jangan diubah-ubah lagi meniru dua negara ASEAN yang sukses, kecuali menambahkan sub-semboyan.
Peran masyarakat umum Indonesia, termasuk Blogger sangat penting  untuk mengibarkan semboyan Wonderful Indonesia. Lepas dari setuju atau tidaknya, keputusan pemerintah tentunya sudah dipikir matang-matang memilih semboyan tersebut.
Menyambut Komunitas ASEAN 2015, Indonesia juga tidak perlu menempelkan kata ASEAN, ASTENG, atau ASIA di dalam slogannya. Toh,  sudah ada organisasi Asean Tourism dengan semboyannya ‘Southeast Asia, Feel The Warmth’. Artinya, jika sektor wisata maju bersama-sama dengan negara ASEAN lainnya, pakai saja semboyan itu. Namun, kadang kala Indonesia masih harus bergerak juga secara soliter, tidak dalam komunitas ASEAN.

Di Uni Eropa pun, setiap negaranya masih mengusung semboyan negara masing-masing, karena itu merupakan brand nation yang seyogyanya dimiliki setiap negara.
OOooOO

Tulisan ini diikutsertakan:
#10daysforASEAN
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 28, 2013 01:52

August 27, 2013

Siem Reap dan Magelang Jadilah Sister Cities Demi Komunitas ASEAN 2015


. Relief di Angkor Wat, dinyatakan mirip dengan yang ada
di Borobudur. (foto: travelsense.asia)

Dalam seminar mengenai penelitan Candi Borobudur dan Angkor Wat di kota Siem Reap, Kamboja, 5-6 Desember 2009,  terungkap kedua candi tersebut memiliki kesamaan model relief. Hal ini sekaligus membuktikan hubungan bangsa Indonesia dan Kamboja ternyata sudah  terjalin sejak sebelum masa Raja Jayawarman II di Kamboja, yaitu sebelum abad ke-9.  
Seharusnya, dengan latar belakang budaya yang sama tersebut, tidak sulit jika dua negara yang sama-sama anggota ASEAN ini menjalin hubungan kerjasama. Apalagi menjelang diberlakukannya Komunitas ASEAN 2015. Bahkan, saya berharap antara (Kabupaten) Magelang dan Siem Reap menjalin ikatan sebagai  Kota Bersaudara (Sister Cities) atau Kota kembar (Twin Cities)


Konsep Kota Bersaudara
Kota bersaudara adalah konsep penggandengan dua kota yang berbeda lokasi (negara)  dan administrasi politik dengan tujuan menjalin hubungan budaya dan kontak sosial antarpenduduk.
Kota bersaudara  umumnya memiliki persamaan keadaan demografi dan masalah-masalah yang dihadapi. Konsep ini bisa diumpamakan sebagai sahabat pena antara dua kota. Hubungan kota kembar sangat bermanfaat bagi program pertukaran pelajar dan kerjasama di bidang budaya dan perdagangan.
Dalam konteks Magelang dan Siem Reap, keduanya sama-sama memiliki sebuah komplek candi yang besar dan kebetulan mirip. Dari sinilah kemudian jenis kerjasama bisa dikembangkan. Semisal kerjasama promosi wisata agar jumlah kunjungan turis keduanya bisa meningkat.
Salah satu cara misalnya, di Angkor Wat disediakan informasi lengkap tentang Candi Borobudur, sehingga wisatawan yang datang ke Angkor Wat juga tertarik ke Borobudur. Sebaliknya, di candi Borobudur juga disediakan informasi komplet tentang Angkor Wat, agar turis yang ke Borobudur juga tertarik berkunjung ke Angkor Wat.
Tidak hanya informasi, keduanya bisa saling tukar atraksi kebudayaan. Hal-hal yang terkait dengan atraksi budaya di magelang, bisa digelar di Siem Reap. Sedangkan atraksi budaya dari Siem Reap juga bisa ditampilkan di setiap perhelatan di kota Magelang. Para pemuda, pelajar, blogger, peneliti sejarah, budayawan, dan segala unsur masyarakat di dua kota tersebut bisa melakukan aneka program pertukaran. 
Mungkin banyak yang belum tahu jika Siem Reap  memiliki gedung pertunjukan yang menggelar pagelaran tari tradisional Apsara, pusat cindera mata, pengrajin kain sutra, sawah pedesaan, desa nelayan, dan suaka burung di dekat danau Tonle Sap. Di sana juga  terdapat bandar udara di kota ini ialah Bandar Udara Internasional Angkor-Siem Reap.
 Magelang sendiri memiliki beberapa sentra kerajinan rakyat, masyarakat bertani dan berkebun, serta bisa ditemukannya beberapa kesenian seperti Kubro Siswo, Badui, Dayakan, Jathilan.
Jika konsep kota bersaudara antara Magelang dan Siem Reap terwujud, dan kerjasama terjalin dengan harmonis, maka bisa dilebarkan dengan daerah-daerah lain yang memiliki latar budaya sama. Tidak hanya Magelang dan Siemm Reap, tapi mungkin juga kota di Thailand, Burma atau Vietnam yang bisa saja memiliki kemiripan. Begitu pula kemiripan antar kota bukan berdasarkan kesamaan relief candi, tapi aneka artefak budaya lainnya.
Ujung-ujungnya akan lebih mudah mewujudkan integrasi perdagangan, pelayanan dan  wilayah investasi yang merupakan  3 hal penting dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

Mari kita tunggu  partisipasi dua pemimpin wilayah Siem Reap dan Magelang sebagai lokomotif gerakan siter cities ini..

00OO00

Referensi: wikipedia.com
tulisan ini diikutsertakan dalam:Lomba Blog #10daysforASEAN
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 27, 2013 03:25

August 26, 2013

Pilih Salon Thailand atau Salon Indonesia? Agar Tetap Cucok Saat Berlakunya Masyarakat ASEAN 2015


Ketika saya bertandang ke Bangkok, saya sangat penasaran menjajal Thai Massage. Hampir di sepanjang jalan yang saya lalui di ibukota Bangkok, saya bisa melihat brand ‘Thai Massage’, mulai dari kelas kaki lima sampai yang exclusive class. Pada kenyataannya, ketika saya dan lima teman saya melakukan pijat refleksi di salah satu tempat Thai Massage, pijat refeleksi ala Indonesia jauh lebih menyegarkan.
Itulah hebatnya merek, sehingga amat memengaruhi kami mengambil keputusan. Pencitraan bahwa pijat ala Thailand adalah yang paling menyehatkan di seluruh dunia melalui berbagai media dan terus menerus, apalagi ketika sampai di Bangkok, membuat orang lupa mempertimbangkan kualitas pijat yang sebenarnya.
Saya kemudian memikirkan bila salon-salon kecantikan dari Thailand menyerbu Indonesia. Apa yang akan mereka lakukan? Tentunya mereka akan melengkapi salon-salon mereka dengan fitur lainnya yang lebih dikenal di Indonesia, yakni Thai herbal, Thai spa dan Thai massage. Cara ini tentunya akan lebih mudah menggaet masyarakat Indonesia yang, sejauh pengamatan saya dan juga reset melalui Internet, belum mengenal kehebatan gaya potong rambut maupun tatarias wajah ala Thailand. Ya, kecuali mereka menggandeng produk internasional dari Eropa dan Amerika Serikat.
Kalau sudah berhadapan dengan pencitraan global seperti Thai massage, maka bersiaplah bisnis salon kecantikan di negeri ini akan dikuasai salon-salon dari Thailand. Tentu kita tidak mau menjadi korban pasar bebas, di mana kita pada akhirnya menjadi pecundang, bukan pemenang. Padahal, menurut Kompas.com (5/9/2012), hingga akhir tahun 2012 pertumbuhan salon kecantikan di Indonesia melebihi 100.000 salon. Bayangkan jika 50% saja tutup karena kalah bersaing, berapa tenaga kerja Indonesia yang akan menganggur?
Bangkitkan Merek “Indonesia”

Berbagai teori pemasaran selalu mengungkapkan pentingnya  pencitraan merek.  Apalagi jika mengacu pada  ASEAN Economic Community (AEC) 2015 yang besar, harus  dimanfaatkan oleh para pengusaha lokal, jangan kemudian pasar lokal dikuasai oleh pemain luar.
Ada dua aspek penting  dalam membangun merek-merek lokal agar dapat bersaing di pasar global, yakni dari sisi pengusaha (supply) dan dari sisi  konsumen (demand).  Dari sisi pengusaha, harus mendorong merek-mereknya dengan berbagai strategi bisnis bersama, baik pemerintah maupun pengusaha swasta lainnya. Artinya, dalam menghadapi pasar global, para pengusaha Indonesia tidak bisa bekerja sendiri-sendiri lagi, sebisa mungkin memiliki satu wadah untuk melakukan strategi bisnis yang tepat.
Untuk di Indonesia untunglah sudah ada  Persatuan Ahli Kencantikan & Pengusaha Salon Indonesia Tiara Kusuma yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah Indonesia. Dari informasi yang saya peroleh di websitenya, Tiara Kusuma sudah melakukan sosialisasi tentang pasar bebas hingga ke tingkat kecamatan. Salah satu program mereka adalah terus meningkatkan kualitas ahli-ahli kecantikan rambut dan kulit. Selain itu, dilakukan berbagai workshop untuk meningkatkan  kualitas dan perbaikan standar pelayanan agar bisa bersaing dengan produk dan layanan asing yang sudah mulai masuk ke Indonesia.
Apalagi memasuki 2015 nanti, akan ada dinamika SDM (Sumber Daya Manusia) di segala lini ASEAN  yang akan mensyaratkan banyak hal yang harus dipenuhi.  ASEAN Community juga menuntut adanya sertifikat kompetensi, di luar ijazah. Jika tidak disiapkan dari sekarang oleh pengusaha dan pemerintah, kapan lagi?
Tiara Kusuma bekerja sama dengan merk produk Indonesia membuat kegiatan untuk meningkatkan skil pelaku industri salon kecantikan. (foto:vivabeautynews.blogspot.com)
Tentunya, saya berharap dengan adanya organisasi dengan program-program nyatanya, Tiara Kusuma dan apara anggotanya akan mendorong eksistensi merek-merek salon kecantikan lokal. Jika merek-merk itu sudah menasional, sebaiknya juga membina salon-salon yang lebih kecil skala bisnisnya. Beberapa  salon yang mereknya terkait dengan nama perorangan seperti Rudi Hadisuwarno, Hanky Tandayu, Johny Andrean ataupun yang terkait dengan perusahaan produk kecantikan lokal seperti Rumah Cantik Citra  Bisa ikut mendukung para pelaku bisnis salon di kota-kota kecil agar bisa bertahan di era pasar bebas.
Selain meningkatkan kualitas sumber tenaga kerja, juga harus dipikirkan merek-merek yang lebih meng-Indonesia. Jika nama Thailand bisa diterapkan ke beberapa produk, begitu pula di Indonesia. Nama jenis perawatan, pelayanan, produk  di salon kecantikan sebaiknya disertai nama Indonesia. Misalnya Sabun Lulur Indonesia, Pijat Indonesia, Sanggul Indonesia, Poni Indonesia, Indonesia Creambath, Indonesia Spa dan lainnya sehingga semakin memudahkan untuk proses pencitraan merk.
Seperti diungkap di atas, tidak hanya pelaku bisnis yang terlibat agar salon-salon lokal nanti tetap bisa bersaing melawan salon asing.  Tumbuh kembangnya merek-merek lokal sangat bergantung pada tingginya kesadaran dan loyalitas dari para konsumen lokalnya juga . Biasanya, konsumen akan mudah setia dengan merek lokal bila dapat memuaskan dan bisa dipercaya.
Jika merek salon-salon lokal sudah kuat, masyarakat Indonesia pun loyal, maka ujung-ujungnya para pengusaha salon Indonesia tidak hanya sukses di tatar Indonesia, namun mampu menembus pasar luar negeri. Setidaknya berusaha mengembangkan pasar bisnisnya di tingkat ASEAN.
Ngomong-ngomong, seandainya salon-salon Thailand itu menyerbu ke dekat perumahan saya tinggal, percayalah saya tidak akan beralih. Saya akan lebih percaya ke tukang potong rambut saya yang berasal dari Garut itu, meskipun tak memiliki sertifikat secuil pun.

00oo00
tulisan ini diikutsertakan dalam:Lomba Blog #10daysforASEAN
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 26, 2013 02:55

August 21, 2013

[KKPK] TERBIT AGUSTUS 2013 - 2


JIka kamu hanya bisa melihat tulisan iniitu artinya kamu harus meng'klik'tulisan 'readmore'



 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 21, 2013 21:24

[KKPK] TERBIT AGUSTUS 2013 -1

Lamakah kamu menanti kehadiranku
lama-lama aku cemas
kau berpaling dariku
pindah ke  seri buku lainnya(ini dia cover-cover KKPK hadir kembali)

....




tetap setia dengan KKPK ya  :)
Biar aku juga setia padamu


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 21, 2013 20:35

Benny Rhamdani's Blog

Benny Rhamdani
Benny Rhamdani isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Benny Rhamdani's blog with rss.