Fadilla Putri's Blog, page 4
September 8, 2018
TUMBreastfeeding: Bahagia dan Lancar Menyusui
Kemarin, saya berkesempatan untuk ikut acara TUMBreastfeeding: Bahagia dan Lancar Menyusui yang diselenggarakan oleh The Urban Mama dan Philips Avent Indonesia. Senangnya, acaranya diselenggarakan di Teras Dara, Bogor, jadi nggak perlu jauh-jauh pergi dari rumah. Pengisi acaranya sendiri adalah dr. Niken Churniadita, M.Gizi, yang merupakan konselor laktasi dari RS PMI Bogor. Meskipun saya udah beberapa kali ikutan seminar atau kelas serupa, saya selalu menyempatkan diri untuk hadir kalau acaranya terkait menyusui, karena selalu aja ada ilmu baru yang saya dapatkan.
Di acara ini, dr. Niken sebenarnya lebih menjelaskan tentang tips memerah dan menyimpan ASI dengan benar. Tapi selain itu, dr. Niken juga banyak memberikan penjelasan tentang gizi yang dibutuhkan ibu selama menyusui. Terus, kalau minum ASI booster, atau makan daun katuk, sebenarnya ngaruh nggak sih ke ASI? Menurut dokter, daun katuk, misalnya, dikatakan bisa memperlancar ASI karena sudah pernah ada penelitiannya. Tapi, mau sebergizi apapun makanan yang kita konsumsi, kalau kita nggak menyusui bayi dengan rajin atau nggak mengeluarkan ASI saat sudah penuh, tetap saja ASI nggak bakalan lancar. Kuncinya sih tetap: susui bayi.
Nah, bagi ibu yang bekerja, karena nggak bisa menyusui bayi langsung, berarti kan harus pumping. Tapi, tetap ada hal yang harus diperhatiin. Misalnya, tetap susui bayi ketika udah di rumah. Jadi bukan berarti karena sudah punya stok ASIP jadi berhenti direct breastfeeding-nya. Kemudian, medium penggunaannya sebisa mungkin jangan menggunakan dot karena bisa menyebabkan bingung puting. Memang sih, agak lebih susah kalau pakai cup feeder atau sendok, tapi ini mengurangi risiko bingung puting yang bikin bayi ogah nyusu langsung dari payudara.
[image error]
[image error]
[image error]
Oh iya, ASI itu dipengaruhi oleh dua hormon: prolaktin dan oksitosin. Hormon prolaktin adalah hormon yang memproduksi ASI. Katanya hormon ini tinggi di malam hari, makanya harus rajin nyusuin atau pumping di malam hari nih buibu, biar produksinya makin banyak. Sementara oksitosin adalah hormon yang mengalirkan ASI. Oksitosin juga suka dibilang sebagai hormon ‘cinta’ karena ASI mengalir deras ketika ibu senang dan bebas tekanan. Makanya bagi ibu bekerja yang pumping, suka disarankan pumping sambil melihat foto anak atau mencium bau baju anak, tujuannya ya itu, agar alirannya lancar.
Nah, dr. Niken juga memberikan tips memilih breastpump. Pertama, tentunya harus nyaman. Kedua, pilih cup yang sesuai ukuran. Ketiga, daya hisap/tekanan mudah diatur. Keempat, mudah dibersihkan. Pas banget nih karena acara ini didukung oleh Philips Avent, yang kesemua aspeknya ada di breastpump Avent.
Saya sendiri cuma punya breastpump Philips Avent yang manual (sisanya dipinjamin haha), dan sudah saya persiapkan dari masa kehamilan. Untuk review lengkapnya pernah saya tulis di sini. Intinya, breastpump Avent ini memang andalan banget karena memenuhi keempat kriteria tersebut. Plus, kelebihan Avent dari breastpump lainnya adalah bisa digunakan dengan posisi setengah rebahan. Jadi nggak perlu nunduk-nunduk yang bikin pegal saat pumping.
Di acara ini juga para peserta mendapatkan goodie bag menarik dari The Urban Mama dan Avent. Bahkan 3 peserta beruntung dapat Philips Avent Manual Breastpump secara cuma-cuma! Oh iya, karena saya mengajukan pertanyaan, saya jugat mendapatkan goodie bag dari Moayu.
[image error]
[image error]
[image error]
Selain mendapatkan ilmu baru, salah satu keahlian saya yang meningkat adalah… Menyusui Aksara di tempat umum! Haha. Karena pas awal-awal saya cuma bisa nyusuin sambil tiduran, saya agak kesulitan untuk menyusui sambil duduk. Dengan sering-sering pergi ke ruang publik kayak gini bikin saya makin terlatih untuk menyusui sambil duduk (tentunya pakai nursing cover). Pokoknya terima kasih atas sesi yang berharga, The Urban Mama dan Philips Avent!
[image error]
Kisah Meng-ASI-hi #2 – Bahagia dan Lancar Menyusui
Kemarin, saya berkesempatan untuk ikut acara TUMBreastfeeding: Bahagia dan Lancar Menyusui yang diselenggarakan oleh The Urban Mama dan Philips Avent Indonesia. Senangnya, acaranya diselenggarakan di Teras Dara, Bogor, jadi nggak perlu jauh-jauh pergi dari rumah. Pengisi acaranya sendiri adalah dr. Niken Churniadita, M.Gizi, yang merupakan konselor laktasi dari RS PMI Bogor. Meskipun saya udah beberapa kali ikutan seminar atau kelas serupa, saya selalu menyempatkan diri untuk hadir kalau acaranya terkait menyusui, karena selalu aja ada ilmu baru yang saya dapatkan.
Di acara ini, dr. Niken sebenarnya lebih menjelaskan tentang tips memerah dan menyimpan ASI dengan benar. Tapi selain itu, dr. Niken juga banyak memberikan penjelasan tentang gizi yang dibutuhkan ibu selama menyusui. Terus, kalau minum ASI booster, atau makan daun katuk, sebenarnya ngaruh nggak sih ke ASI? Menurut dokter, daun katuk, misalnya, dikatakan bisa memperlancar ASI karena sudah pernah ada penelitiannya. Tapi, mau sebergizi apapun makanan yang kita konsumsi, kalau kita nggak menyusui bayi dengan rajin atau nggak mengeluarkan ASI saat sudah penuh, tetap saja ASI nggak bakalan lancar. Kuncinya sih tetap: susui bayi.
Nah, bagi ibu yang bekerja, karena nggak bisa menyusui bayi langsung, berarti kan harus pumping. Tapi, tetap ada hal yang harus diperhatiin. Misalnya, tetap susui bayi ketika udah di rumah. Jadi bukan berarti karena sudah punya stok ASIP jadi berhenti direct breastfeeding-nya. Kemudian, medium penggunaannya sebisa mungkin jangan menggunakan dot karena bisa menyebabkan bingung puting. Memang sih, agak lebih susah kalau pakai cup feeder atau sendok, tapi ini mengurangi risiko bingung puting yang bikin bayi ogah nyusu langsung dari payudara.
[image error]
[image error]
[image error]
Oh iya, ASI itu dipengaruhi oleh dua hormon: prolaktin dan oksitosin. Hormon prolaktin adalah hormon yang memproduksi ASI. Katanya hormon ini tinggi di malam hari, makanya harus rajin nyusuin atau pumping di malam hari nih buibu, biar produksinya makin banyak. Sementara oksitosin adalah hormon yang mengalirkan ASI. Oksitosin juga suka dibilang sebagai hormon ‘cinta’ karena ASI mengalir deras ketika ibu senang dan bebas tekanan. Makanya bagi ibu bekerja yang pumping, suka disarankan pumping sambil melihat foto anak atau mencium bau baju anak, tujuannya ya itu, agar alirannya lancar.
Nah, dr. Niken juga memberikan tips memilih breastpump. Pertama, tentunya harus nyaman. Kedua, pilih cup yang sesuai ukuran. Ketiga, daya hisap/tekanan mudah diatur. Keempat, mudah dibersihkan. Pas banget nih karena acara ini didukung oleh Philips Avent, yang kesemua aspeknya ada di breastpump Avent.
Saya sendiri cuma punya breastpump Philips Avent yang manual (sisanya dipinjamin haha), dan sudah saya persiapkan dari masa kehamilan. Untuk review lengkapnya pernah saya tulis di sini. Intinya, breastpump Avent ini memang andalan banget karena memenuhi keempat kriteria tersebut. Plus, kelebihan Avent dari breastpump lainnya adalah bisa digunakan dengan posisi setengah rebahan. Jadi nggak perlu nunduk-nunduk yang bikin pegal saat pumping.
Di acara ini juga para peserta mendapatkan goodie bag menarik dari The Urban Mama dan Avent. Bahkan 3 peserta beruntung dapat Philips Avent Manual Breastpump secara cuma-cuma! Oh iya, karena saya mengajukan pertanyaan, saya jugat mendapatkan goodie bag dari Moayu.
[image error]
[image error]
[image error]
Selain mendapatkan ilmu baru, salah satu keahlian saya yang meningkat adalah… Menyusui Aksara di tempat umum! Haha. Karena pas awal-awal saya cuma bisa nyusuin sambil tiduran, saya agak kesulitan untuk menyusui sambil duduk. Dengan sering-sering pergi ke ruang publik kayak gini bikin saya makin terlatih untuk menyusui sambil duduk (tentunya pakai nursing cover). Pokoknya terima kasih atas sesi yang berharga, The Urban Mama dan Philips Avent!
[image error]
September 4, 2018
Perjalanan Menyusui dan Memilih Breast Pump
Belakangan ini, saya lagi menikmati masa-masa menyusui. Bukan berarti tanpa drama sih, tapi mungkin karena udah mulai terbiasa aja kali ya. Saya juga mulai nampung ASIP sedikit-sedikit karena… saya mulai kembali bekerja (dari rumah!) haha. Nanti saya ceritakan di post lainnya deh, intinya saya dapat privilege bisa kerja remote dari rumah, dan cuma meeting sesekali aja ke Jakarta. Untuk itu, saya mulai modal ASIP untuk Aksara, jaga-jaga kalau harus saya tinggal.
Untuk punya ASIP, tentunya harus modal breastpump. Walaupun saya nggak nyangka akan kembali kerja secepat ini, saya udah mempersiapkan breast pump dari masa kehamilan.
Kenapa harus modal breast pump kalau nggak kerja? Tentu dong, misalnya aja anak masih tidur, tapi payudara udah penuh. Daripada bengkak, harus dikeluarin pakai breastpump. Atau kalau lagi mau me time pijet-pijet lucu dan ninggalin anak beberapa jam, stok ASIP udah pasti wajib.
Jujur sebenarnya agak tricky pumping di rumah pas bareng anak. Kadang lagi mau pumping, eh tau-tau dia bangun minta nenen. Atau mau pumping abis nenenin, eh nggak dapet banyak karena udah dihabisin duluan. Hadeuh.
Jadinya sekarang saya triknya adalah nge-spread waktu pumping jadi beberapa kali sehari, berapapun dapatnya. Hasil perahannya saya taruh di botol kaca dan ditaruh di kulkas bagian bawah sebelum dimasukin freezer. Nah, terus si alat pumping-nya (karena saya males steril hoho), saya masukin ke kantong kedap udara, masukin ke dalam lemari es, biar bisa langsung dipakai untuk pumping berikutnya (selama masih dalam waktu 24 jam).
ASIP yang diperah berikutnya saya taruh di botol kaca lagi, saya masukin kulkas lagi. Setelah suhunya sama dengan ASIP sebelumnya, baru saya satukan ke kantong ASIP dan disimpan di freezer. Selama di-pump dalam waktu 24 jam yang sama, ASI boleh disatukan. Lumayan menghemat kantong ASIP juga loh daripada diisi cuma sedikit-sedikit. Trik ini saya dapatkan dari kakak ipar saya, and it works well with me 
Perjalanan Menyusui Aksara
Belakangan ini, saya lagi menikmati masa-masa menyusui. Bukan berarti tanpa drama sih, tapi mungkin karena udah mulai terbiasa aja kali ya. Saya juga mulai nampung ASIP sedikit-sedikit karena… saya mulai kembali bekerja (dari rumah!) haha. Nanti saya ceritakan di post lainnya deh, intinya saya dapat privilege bisa kerja remote dari rumah, dan cuma meeting sesekali aja ke Jakarta. Untuk itu, saya mulai modal ASIP untuk Aksara, jaga-jaga kalau harus saya tinggal.
Untuk punya ASIP, tentunya harus modal breastpump. Walaupun saya nggak nyangka akan kembali kerja secepat ini, saya udah mempersiapkan breastpump dari masa kehamilan.
Kenapa harus modal breastpump kalau nggak kerja? Tentu dong, misalnya aja anak masih tidur, tapi payudara udah penuh. Daripada bengkak, harus dikeluarin pakai breastpump. Atau kalau lagi mau me time pijet-pijet lucu dan ninggalin anak beberapa jam, stok ASIP udah pasti wajib.
Jujur sebenarnya agak tricky pumping di rumah pas bareng anak. Kadang lagi mau pumping, eh tau-tau dia bangun minta nenen. Atau mau pumping abis nenenin, eh nggak dapet banyak karena udah dihabisin duluan. Hadeuh.
Jadinya sekarang saya triknya adalah nge-spread waktu pumping jadi beberapa kali sehari, berapapun dapatnya. Hasil perahannya saya taruh di botol kaca dan ditaruh di kulkas bagian bawah sebelum dimasukin freezer. Nah, terus si alat pumping-nya (karena saya males steril hoho), saya masukin ke kantong kedap udara, masukin ke dalam lemari es, biar bisa langsung dipakai untuk pumping berikutnya (selama masih dalam waktu 24 jam).
ASIP yang diperah berikutnya saya taruh di botol kaca lagi, saya masukin kulkas lagi. Setelah suhunya sama dengan ASIP sebelumnya, baru saya satukan ke kantong ASIP dan disimpan di freezer. Selama di-pump dalam waktu 24 jam yang sama, ASI boleh disatukan. Lumayan menghemat kantong ASIP juga loh daripada diisi cuma sedikit-sedikit. Trik ini saya dapatkan dari kakak ipar saya, and it works well with me 
Kisah Meng-ASI-hi #1 – Expressing Breastmilk
Belakangan ini, saya lagi menikmati masa-masa menyusui. Bukan berarti tanpa drama sih, tapi mungkin karena udah mulai terbiasa aja kali ya. Saya juga mulai nampung ASIP sedikit-sedikit karena… saya mulai kembali bekerja (dari rumah!) haha. Nanti saya ceritakan di post lainnya deh, intinya saya dapat privilege bisa kerja remote dari rumah, dan cuma meeting sesekali aja ke Jakarta. Untuk itu, saya mulai modal ASIP untuk Aksara, jaga-jaga kalau harus saya tinggal.
Untuk punya ASIP, tentunya harus modal breastpump. Walaupun saya nggak nyangka akan kembali kerja secepat ini, saya udah mempersiapkan breastpump dari masa kehamilan.
Kenapa harus modal breastpump kalau nggak kerja? Tentu dong, misalnya aja anak masih tidur, tapi payudara udah penuh. Daripada bengkak, harus dikeluarin pakai breastpump. Atau kalau lagi mau me time pijet-pijet lucu dan ninggalin anak beberapa jam, stok ASIP udah pasti wajib.
Jujur sebenarnya agak tricky pumping di rumah pas bareng anak. Kadang lagi mau pumping, eh tau-tau dia bangun minta nenen. Atau mau pumping abis nenenin, eh nggak dapet banyak karena udah dihabisin duluan. Hadeuh.
Jadinya sekarang saya triknya adalah nge-spread waktu pumping jadi beberapa kali sehari, berapapun dapatnya. Hasil perahannya saya taruh di botol kaca dan ditaruh di kulkas bagian bawah sebelum dimasukin freezer. Nah, terus si alat pumping-nya (karena saya males steril hoho), saya masukin ke kantong kedap udara, masukin ke dalam lemari es, biar bisa langsung dipakai untuk pumping berikutnya (selama masih dalam waktu 24 jam).
ASIP yang diperah berikutnya saya taruh di botol kaca lagi, saya masukin kulkas lagi. Setelah suhunya sama dengan ASIP sebelumnya, baru saya satukan ke kantong ASIP dan disimpan di freezer. Selama di-pump dalam waktu 24 jam yang sama, ASI boleh disatukan. Lumayan menghemat kantong ASIP juga loh daripada diisi cuma sedikit-sedikit. Trik ini saya dapatkan dari kakak ipar saya, and it works well with me 
August 3, 2018
Satu Bulan Bersama Aksara
Nggak kerasa ya (boong ding, kerasa banget kok haha) Aksara udah menginjak usia 1 bulan. Yeaay senangnya! Ritme kesehariannya udah mulai kelihatan dan established. Saya juga udah mulai terbiasa jadi seorang ibu yang tiap malam bangun netekin anak hahaha. Tapi selain itu, ada beberapa cerita lain yang mau saya bagikan selama 1 bulan kehidupan Aksara di dunia ini.
Tentang Jaundice (Kuning)
Tiga hari di rumah sakit, Aksara dinyatakan udah boleh pulang. Alhamdulillah Aksara sehat, bahkan tingkat bilirubinnya pun lumayan rendah, 9.3 waktu itu, karena maksimalnya 12. Saya hepi banget dong karena Aksara nggak perlu disinar.
Dua hari pulang ke rumah, di usianya yang keenam hari, Aksara kontrol ke dokter anak. Setelah dicek, ternyata Aksara agak sedikit kuning. Jadilah dia disarankan untuk tes lab dan ternyata bilirubinnya naik hingga 14.2. Aduuhhh sedih banget rasanya 
Aksara 1 Bulan!
Nggak kerasa ya (boong ding, kerasa banget kok haha) Aksara udah menginjak usia 1 bulan. Yeaay senangnya! Ritme kesehariannya udah mulai kelihatan dan established. Saya juga udah mulai terbiasa jadi seorang ibu yang tiap malam bangun netekin anak hahaha. Tapi selain itu, ada beberapa cerita lain yang mau saya bagikan selama 1 bulan kehidupan Aksara di dunia ini.
Tentang Jaundice (Kuning)
Tiga hari di rumah sakit, Aksara dinyatakan udah boleh pulang. Alhamdulillah Aksara sehat, bahkan tingkat bilirubinnya pun lumayan rendah, 9.3 waktu itu, karena maksimalnya 12. Saya hepi banget dong karena Aksara nggak perlu disinar.
Dua hari pulang ke rumah, di usianya yang keenam hari, Aksara kontrol ke dokter anak. Setelah dicek, ternyata Aksara agak sedikit kuning. Jadilah dia disarankan untuk tes lab dan ternyata bilirubinnya naik hingga 14.2. Aduuhhh sedih banget rasanya 
July 11, 2018
Ketika Aksara Lahir ke Dunia
Halo! Alhamdulillahirabbbil’alamin, saya mau berbagi cerita kalau akhirnya saya melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat.
Wow. Bahkan saya aja masih nggak percaya bahwa I have the capability to give birth to someone hahaha. Dari jaman masih single, salah satu hal yang saya takutkan kalau punya anak itu ya proses lahirannya. Bayangin rasa sakitnya aja aduhh udah bikin mules. Tapi Alhamdulillah, semuanya terlalui dengan baik.
Selamat datang ke dunia ini anakku sayang, Aksara Zayne Elfadia.
Cerita setiap kelahiran pasti berbeda-beda, begitupun dengan saya. Karena saya ada indikasi medis placenta previa totalis, maka dari awal saya sudah disiapkan kalau saya nggak bisa lahiran normal. Bukannya nggak bisa sih, tapi lebih tepatnya terlalu berisiko tinggi kalau dipaksakan lahiran normal karena bisa mengakibatkan perdarahan hebat.
Senin, 25 Juni 2018
Pagi hari, lagi-lagi saya terbangun dengan flek darah. Kali ini lebih parah dan lebih banyak dari sebelumnya. Tapi karena ini udah keempat kalinya saya mengalami hal serupa, saya udah mulai bisa manage diri untuk nggak stres. Berangkatlah kembali saya dan Abang ke rumah sakit.
Di rumah sakit, saya dikasih prosedur yang sama: cek detak jantung dan gerakan bayi selama 20 menit. Kali ini ternyata saya udah mengalami kontraksi palsu (Braxton hicks). Saya baru ingat kalau malam sebelumnya saya memang merasa kencang dan sakit sedikit di perut bawah selama beberapa kali, tapi nggak saya hiraukan karena saya tahu itu cuma kontraksi palsu. Yang saya lupakan adalah bahkan kontraksi palsu aja bisa memicu perdarahan kalau dalam kasus saya. Hari itu juga, akhirnya saya kembali dirawat.
Selasa, 26 Juni 2018
Kebetulan hari itu adalah jadwal check up saya ke dokter kandungan. Jadi saya udah deg-degan dari pagi apa keputusan dokter. Padahal due date saya masih cukup jauh, yaitu 23 Juli. Tapi udah bed rest total pun, perdarahan masih tetap ada. Saya pun mulai ada feeling kalau sebentar lagi saya harus lahiran.
Sore harinya dokter visit, dan malamnya saya cek USG. Ukuran, berat, dan detak jantung bayi semuanya bagus. Terus saat dicek plasentanya di bawah, kata dokter masih terjadi perdarahan dalam. Beberapa detik si dokter diam… Lalu berkata dengan kalemnya, “Kayaknya harus maju nih, Bu (operasinya)… Mungkin besok.”
Wakwaw. Saya langsung panik dan deg-degan setengah mati hahaha. Masalahnya saya udah siapin mental untuk lahiran minggu depannya, which is di 37 minggu. Kalau tiba-tiba dimajuin gini, panas dingin juga jadinya.
“…Ya atau paling telat hari Kamis siang.”
Okesip.
Malam itu juga saya dikasih suntik kematangan paru-paru lagi buat Aksara. Then it’s settled. Bahwa operasi akan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 28 Juni 2018 jam 1 siang.
Rabu, 27 Juni 2018
A slow day. Saya cuma dipersiapkan untuk proses operasi keesokan harinya. Saya dicek rekam jantung, tanda tangan ini itu, dan ketemu dokter anestesi. Beberapa teman dan keluarga ada yang datang jenguk. Di hari ini juga saya dikasih tahu kalau ternyata jadwal operasi dimundurin jadi jam 4 karena dokter anaknya ada operasi lain di jam yang sama. Okesip. Baguslah saya jadi punya lebih banyak waktu untuk mempersiapkan diri haha.
Oh iya, di hari ini saya melewatkan kesempatan saya untuk milih di Pilkada karena keadaan yang nggak memungkinkan huhu.
Kamis, 28 Juni 2018
The big day comes.
Selama dirawat di rumah sakit, dalam sehari biasanya saya dicek detak jantung bayi beberapa kali. Nah, pada hari ini, pas dicek pagi ternyata detak jantung bayinya lebih tinggi dari rata-rata normal. Mungkin tahu kali ya ibunya deg-degan, jadi pengaruh juga ke bayi. Akhirnya saya dikasih tambahan oksigen biar aliran oksigen ke bayinya lebih lancar.
Fast forward ke sore hari, jam 4 kurang 10, saya sudah dipanggil masuk ke ruang operasi. Deg-degan parah sih soalnya ini pertama kalinya saya dioperasi. Untungnya sebelumnya saya masih sempet foto-foto dan didandanin sama ipar saya hahaha. Jadi lumayan buat distraction.
Di rumah sakit tempat saya bersalin ini ternyata ruang operasinya steril, jadi saya nggak bisa ditemenin suami. Jadilah kami dadah-dadahan di pintu masuk. Rasanya? Deg-degan! Pertama kali operasi dalam keadaan sadar, terus nggak ditemenin siapa-siapa pula.
Di dalam, setelah ganti baju dll, saya masih nunggu di ruang recovery. 5 menit, 10 menit… Kok nggak masuk-masuk juga? Terus saya jadi nguping dong pembicaraan para perawat di sana. Eh ternyata dokter anaknya masih di jalan dari operasi sebelumnya dari rumah sakit yang berbeda! Haha. Kayaknya baru sekitar jam setengah 5 lewat akhirnya saya dibawa masuk ke ruang operasi. Di sana ada 3 dokter: dokter anak, dokter kandungan, dan dokter anestesi, dan beberapa perawat.
Kata orang-orang, suntik spinal block di punggung itu sakit, tapi menurut saya yang udah dirawat dua kali dan berkali-kali ditusuk jarum, ya… Rasanya biasa aja ternyata. Caranya adalah saya disuruh duduk di atas meja operasi, membungkuk sambil meluk bantal, terus nyess. Udah gitu doang. Padahal saya udah siapin mental karena katanya bakalan sakit pake banget. Segini doang mah cincai lah. *takabur*
Setelah disuntik anestesi, rasanya badan bagian bawah sangat hangattt banget. Terus, saking saya takutnya si bius nggak bekerja, eh saya malah nanya, “Kok kaki saya masih digerakin, Sus?” Haha. Si susternya bete kali ya saya tanyain begitu, dia jawabnya, “Bisa digerakin? Diangkat bisa nggak? Gak bisa kan?”
Daan… Ternyata di dalam sangat dingin sampai bikin saya menggigil. Untungnya saya dikasih handuk untuk nutupin bagian atas tubuh dan kepala saya.
Oh iya, ternyata pas SC juga tangan saya nggak bisa ngapa-ngapain (lah emang mau ngapain haha) karena dua-duanya direntangin. Ada yang dipasang alat tensi, detak jantung, infus, dan segala macam rupa yang saya nggak tahu apa. Saking saya kepo, saya merhatiin si suster bolak-balik ganti cairan infus saya, ada kali 3 kali mah. Nggak tahu ya isinya apaan aja.
The moment of truth. Ternyata dokter agak kesulitan ngeluarin bayinya karena terhalang plasenta. Terus dia minta dokter dan perawat lainnya ngedorong dari atas, di mana itu sakiiittt banget sampai bikin saya sesak napas. Ada kali dada saya ditekan-tekan sebanyak 3 kali sampai akhirnya si bayi berhasil keluar.
Kata pertama yang si dokter katakan adalah, “Wah, gede nih Bu bayinya.”
Sambil setengah teler saya nanya, “Kok nggak nangis bayinya, Dok?”
Eh doi santai aja jawab, “Nanti juga nangis, kok.”
Benar aja, beberapa detik kemudian, tangis itupun pecah. Duh, rasanya saat itu nggak bisa dijelasin pakai kata-kata. It was the most beautiful moment of my life. Aksara akhirnya lahir jam 17.12 pada 28 Juni 2018. Setelah dibersihkan dan dicek sama dokter anak, saya pun sempat IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sebelum akhirnya Aksara dibawa untuk observasi.
Anehnya, entah kenapa saya nggak bisa menangis. Terharu iya, tapi nggak sampai nangis. Mungkin karena saya merasa sendirian, ngerasa capek juga. Padahal nggak ngapa-ngapain (selain perutnya abis dibuka dan dijahit lagi), tapi rasanya ngos-ngosan kayak habis lari marathon.
[image error]
[image error]Para suster dan bidan yang sudah merawat saya selama 8 hari di rumah sakit
Setelah bayinya keluar, suasana di ruang operasi jadi lebih cair. Si dokter dan para perawat sambil ngejahit perut saya ngomongin Pilkada dong hahaha. Pengen ketawa rasanya tapi saya itu saya capekkk dan haus banget.
Setelah selesai dan kembali ke recovery room, ternyata saya kehilangan cukup banyak darah. HB saya turun dari 11 ke 8 sampai butuh transfusi darah 2 kantong. Dan ternyata pemirsa, abis operasi caesar itu bikin badan gerah banget. Nggak tahu kenapa. Saya minta minum ke si suster, tapi katanya nanti dikasih. Dateng-dateng eh, dikasih teh manis. Padahal saya pengen air mineral. Ternyata saya agak lama dikasih minumnya karena takut saya mual dan muntah, yang untungnya nggak terjadi. Setelah itu, saya minum habis dua botol hahaha.
Di ruang ini saya udah boleh ditengokin. Pertama sama ibu saya, lalu sama Abang. Eh, ketemu Abang tetep aja tuh nggak nangis. Mungkin karena efek anestesinya mulai hilang, jadi fokus saya malah ke luka bekas operasi. Dua jam berlalu, setelah efek anestesinya hilang dan kaki saya bisa digerakkan (dan luka bekas operasinya mulai terasa nyut-nyutan), saya pun kembali ke kamar.
Nah, pas ditanya saya mau makan apa, saya langsung jawab… Indomie! Ya Allah, puasa Indomie selama 9 bulan, pas pertama kali makan lagi rasanya mau nangis saking enaknya hahaha.
Di sela-sela itu, saya nanya ke Abang gimana kabar Aksara. Biar bagaimanapun Aksara masih tergolong bayi prematur karena lahir di usia 36 minggu. Saya berharap banget Aksara nggak perlu dirawat di NICU.
Jam setengah 12 malam, kami dapat telepon dari ruang bayi kalau Aksara sudah bisa room in dengan saya. Ya Allah rasanya senang bangettt. Saya ditawarin mau langsung dibawa naik bayinya atau tunggu pagi biar saya istirahat dulu. Saya bilang bawa naik aja langsung.
And… Finally. Kayaknya semua rasa sakit hilang pas lihat Aksara ada di samping saya. Padahal baru beberapa jam pasca operasi, tapi rasanya saya nggak keberatan harus begadang dan mendengar tangisannya tiap beberapa jam sekali.
It’s been quite a journey for us. But we will make more wonderful journeys ahead of us, Sayang 
June 14, 2018
Pengalaman Hamil dengan Placenta Previa
Di post ini saya mau sharing sesuatu yang sedikit personal tapi berfaedah. Mudah-mudahan menjadi pengingat bagi saya untuk selalu bersyukur, dan juga mungkin bisa bermanfaat bagi ibu hamil di luar sana yang mengalami hal yang serupa. Di usia kehamilan 17 minggu, tepat seminggu setelah saya resign, dokter mendeteksi kalau saya hamil dengan placenta previa. Untuk gambarannya, saya coba jelaskan dari awal ya.
Beberapa kali le husband masih suka nanya, “Plasenta tuh apaan, sih?” Saya juga nggak bisa menjelaskan secara medis, tapi orang sering bilang kalau plasenta itu adalah “teman”nya si bayi selama dalam kandungan. Plasenta atau ari-ari ini merupakan organ penting yang menyalurkan nutrisi, aliran darah, dan oksigen dari ibu ke bayi.
Saat terjadi pembuahan, plasenta itu letak “normal”nya berada di atas dinding rahim. Tapi dalam kasus saya, letak plasenta berada di bagian bawah rahim, menutupi jalan lahir. Ini yang dinamakan placenta previa. “Kelainan” letak plasenta lainnya adalah marginal, yaitu menutup sebagian jalan lahir, low-lying placenta, yang berada di bawah, sekitar 2-3 centimeter dari jalan lahir, dan plasenta yang tertanam terlalu dalam di rahim (tapi saya lupa namanya apa).
Penyebab placenta previa jarang diketahui. Ada yang bilang ibu dengan hamil kembar, ibu hamil di atas 35 tahun, dan ibu yang pernah hamil dengan placenta previa sebelumnya adalah salah satu penyebabnya. Tapi dalam kasus saya… Well, none of those reason apply to me. Intinya dalam kasus saya, memang udah jalannya harus begitu.
[image error] Credit: https://www.women-info.com/
Dikilas balik ke awal kehamilan, saya memang sempat flek selama beberapa minggu. Karena masih awal, mungkin belum terdeteksi penyebabnya apa. Saya hanya dikasih penguat kandungan, sampai-sampai dosisnya dinaikkin sama si dokter karena fleknya nggak juga berhenti. Dan itu pas banget waktu saya cuti akhir tahun di kantor, jadi bukannya seneng-seneng jalan-jalan, jatah cuti saya dihabiskan untuk bed rest di rumah. Cuti selesai, ternyata saya masih flek juga. Saya kemudian minta izin lagi untuk nggak masuk kantor. Intinya selama 3 minggu saya cuma berdiam diri di rumah. *boring abis pokoknya*
Untungnya sih meskipun terus-terusan ngeflek, kondisi janinnya baik-baik aja. Ini yang bikin saya optimis. Insya Allah badai akan berlalu. Pada usia kandungan sekitar 10 minggu, akhirnya flek berhenti. Saya pun kembali ngantor, dengan catatan nggak boleh kecapekan. Kalau udah mulai flek lagi, harus langsung bed rest.
Setelah itu sih untungnya nggak keluar flek lagi, kecuali pas waktu saya naik ojek ke kantor sekali (karena lagi males jalan haha) dan pas waktu gempa di Lebak tempo hari, yang bikin saya harus evakuasi turun tangga 10 lantai… Hahaha, ada-ada aja ya. Lumayan bikin panik seisi kantor tuh karena ini pertama kalinya kita evakuasi beneran, bukan sekedar drill. Saya pun diizinkan pulang dan nggak balik kantor. Sore harinya, saya ngecek dan muncul flek lagi. Yaiyalah abis turun tangga 10 lantai gitu zzz. Alhamdulillah, setelah istirahat sehari, fleknya berhenti. Intinya semakin lama kandungannya semakin kuat.
Oh iya, sedikit intermezzo. Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah flek itu bahaya atau nggak? Jawabannya ya dan tidak. Untuk kehamilan di trimester pertama, kata orang-orang sih sebenarnya flek bisa dibilang cukup ‘normal’. Alasan yang paling ‘normal’ adalah karena si kantong kehamilan masih proses penempelan ke dinding rahim. Tapi tetap saja, kalau muncul bercak kecokelatan/kemerahan, harus diwaspadai. Karena penyebabnya bisa bermacam-macam: entah si ibunya kecapekan, stress, atau worst case scenario, proses pengguguran.
Oke, lanjut. Selesai flek, saya pun kembali ngantor. Tapi gak tahu kenapa… rasanya hati saya udah nggak di situ. Mungkin karena symptom awal kehamilan lainnya yang bikin saya nggak nyaman, kayak mual, susah makan, badan pegel-pegel dan cepat lelah, belum lagi ruang gerak saya yang makin terbatas (nggak boleh angkat-angkat beban, naik turun tangga, jalan jauh, dll). Sempet sih, ada momen galau di mana saya masih mikir-mikir mau resign apa nggak. Pengennya saya tahan diri aja sampai semua rasa-rasa nggak enak itu berlalu. Tapi semakin hari saya jalani kok semakin berat… Akhirnya di suatu hari, saya membulatkan tekad. “OK, it’s time for me to go.”
Saya pun langsung bilang ke supervisor saya dan dia sangat paham dengan kondisi saya. Dia minta saya untuk menyiapkan surat resmi pengunduran diri, handover, dan segala proses administrasi sebelum saya cabut. Rasanya waktu itu legaaa banget. Saya merasa saya mengambil keputusan yang tepat.
Seminggu kemudian, setelah saya officially unemployed, saya periksa ke dokter. Ini pertama kalinya saya check up ke dokter di Bogor setelah sebelumnya check up di MRCCC Siloam terus.
Saat pertama kali check up ke dokter yang sekarang, saya jelaskan riwayat dengan dokter sebelumnya, lengkap dengan rekam medisnya. Setelah dicek USG, dokter saya yang ini bilang, “Pantesan aja ngeflek, karena memang letak plasentanya di bawah.”
Ternyata permasalahan flek di awal kehamilan saya emang bukan kandungannya yang lemah atau apa, karena memang itu indikasi placenta previa. Kenapa bisa begitu? Jadi plasenta ini mengandung banyak pembuluh darah dan sangat rentan untuk terjadi pendarahan kembali kalau nggak hati-hati. Jadilah saya disaranin untuk menghindari aktivitas berat, nggak boleh kecapekan, nggak boleh olahraga, pokoknya nggak boleh melakukan kegiatan yang bisa men-trigger otot rahim untuk kontraksi.
Saat saya check up, dokter pasti selalu mewanti-wanti untuk nggak kecapekan. Apalagi kalau sampai terjadi pendarahan, flek sedikitpun saya harus langsung ke RS. Akhirnya kemarin, saat usia kandungan saya 34 minggu, ketakutan itu datang juga: saya terbangun dengan flek kecokelatan. Langsung lah saya dan suami meluncur ke RS. Di sana saya ditangani oleh bidan di IGD untuk rekam jantung dan gerakan bayi. Alhamdulillah setelah dimonitor ternyata kondisi bayinya baik. Tapi saya tetep disaranin untuk periksa ke dokter.
Saya cek ke dokter malamnya, dokter periksa kondisi bayi melalui USG. Alhamdulillah, detak jantung, ukuran, dan berat semuanya bagus. Dokter bilang gini ke saya, sebenarnya dari ukuran, bayinya siap kalau harus dilahirin sekarang, tapi usia segini paru-parunya belum matang. Karena ini masih flek, saya diminta untuk bed rest (lagi) sampai seenggaknya usia kehamilan mencapai 37 minggu.
Dua hari berlalu, Kamis jam 4 pagi, saya terbangun dengan darah seperti mens, banyak pula. Huhu. Hancur banget rasanya waktu itu. Saya kembali siap-siap ke RS, kali ini pakai nangis-nangis drama. Sesampainya di RS, saya langsung ditangani dua orang bidan, dan langsung diminta untuk bed rest di RS. Saya pun (akhirnya) dikasih suntik kematangan paru-paru untuk si bayik in case harus emergency C-section.
Alhamdulillah, setelah tiga hari di rumah sakit, saya dibolehin pulang sama dokter. Tapi pesannya tetap satu: harus bed rest. Dan bed rest kali ini beda sama yang pertama kali karena saya cuma boleh turun tempat tidur kalau mau pipis/pup aja. Sisanya semua aktivitas harus di tempat tidur. Sehari, dua hari sih masih enak ya, tapi kalau berminggu-minggu bosen uga, hahaha. Tapi demi kesehatan si bayik, insya Allah bakal saya jalani.
Tapiii, namanya manusia, kadang suka iri juga sih. Pas ibu-ibu hamil di luar sana sibuk senam hamil atau yoga, saya malah nggak boleh sama sekali. Jalan kaki aja suka disuruh dibatesin sama dokternya. Di saat ibu hamil lainnya disuruh banyak gerak atau jalan untuk memperlancar lahiran, saya malah harus bed rest total.
Apalagi ini Ramadhan pertama saya yang dilewati tanpa berpuasa (cuma dapet 1 hari full kek anak TK) dan Lebaran tanpa silaturahmi ke rumah sodara karena otomatis saya hanya cuma boleh berdiam diri di rumah a.k.a di kamar a.k.a di atas kasur.
Insya Allah, mudah-mudahan semua ini ada hikmahnya ya. Doakan juga proses persalinannya nanti lancar dan nggak ada drama lagi. Buat yang pernah/sedang mengalami hal serupa kayak saya, tetap semangat ya!
Selamat mudik dan Lebaran semua! Mohon maaf lahir dan batin 
June 11, 2018
Why I Love Reading in My Kindle
Gara-gara waktu itu lihat post Instagram-nya Kak Puty tentang Kindle, saya jadi pengen share juga pengalaman pakai e-book reader ini selama beberapa tahun belakangan. Buat saya yang suka baca buku ini, punya Kindle is such a life-changing experience *lebay, but true*
Oke, tapi sebelum itu mari kita berkenalan dulu dengan Kindle.
Kindle ini adalah e-book reader milik the giant retail, Amazon. Seperti namanya, fungsi Kindle cuma untuk bisa baca buku. Oh iya, selain Kindle juga, ada beberapa merk e-book reader lain, seperti Kobo, Nook miliknya Barnes & Nobles (masih ada gak ya ini?), juga Sony. Sama kayak HP, ini cuma masalah preferensi aja lebih suka pakai merk yang mana. Nah, karena saya cuma pernah pakai Kindle doang, mari kita bahas kenapa saya suka banget baca pakai ini.
Kenapa harus punya e-book reader, kan bisa aja baca di HP/tablet?
Sebelum saya berkenalan sama Kindle juga saya suka baca di HP, cuma risikonya bikin mata cepat lelah karena sinar yang terang dari HP. Dan tentunya nggak enak juga karena bikin batere boros, juga suka keganggu sama notifikasi yang lain. Kemudian le husband yang udah punya barang ini dari tahun 2011 memperkenalkan Kindle sama saya. Pas pertama nyoba… Why didn’t I have it since beginning?! *mind blown*
Setelah punya Kindle, barang ini merupakan salah satu barang wajib di tas saya selain HP, dompet, dan charger. Ini beberapa alasan kenapa saya cinta banget sama e-book reader saya sampai ke mana-mana nggak rela pisah.
Pertama, perangkat ini bisa diregistrasi. Kenapa penting? Karena dengan registrasi, kita bisa mendapatkan email resmi, seperti example@kindle.com. Fungsinya bisa untuk beli buku melalui Amazon, membuat collection, hingga mendapatkan update terbaru. Salah satu fungsi yang paling sering saya pakai adalah kirim buku. Jadi kalau lagi nggak ada kabel USB, saya tinggal kirim bukunya melalui email di HP/laptop saya, kirim ke email Kindle. Dan saat terhubung wi-fi, bukunya langsung otomatis ke-download di Kindle, deh!
Kedua, baca menggunakan Kindle memiliki experience yang sama kayak baca buku kertas. Istilahnya adalah e-ink. Beda sama HP yang kalau dilihat di tempat terang harus di-adjust brightness-nya dan kadang menimbulkan bayangan, fitur e-ink itu no glare, jadi tetap nggak bikin sakit mata kalau baca di tempat seterang apapun. Kebetulan tipe Kindle yang saya pakai adalah Kindle Paperwhite, jadi dia bisa nyala dalam gelap. But still, dia nggak terang kayak kalau kita buka HP.
[image error] Kiri punya suami, tipe Kindle Touch (udah rusak sekarang haha). Kanan punya saya, tipe Paperwhite.
Ketiga, Kindle punya fitur built-in dictionary. Kalau ada kata-kata yang kita nggak tahu, tinggal diteken aja kata tersebut, dan langsung akan muncul artinya. Saya nggak tahu apa di tipe e-book reader lain sama, tapi kalau di Kindle saya, setiap kata yang saya cari artinya dari dictionary akan secara otomatis muncul di section Vocabulary Builder, semacam digital flashcard, yang bisa di-visit setiap saat. Setiap kali kita udah paham sama artinya, bisa diklik Mastered, dan kata tersebut pun akan hilang dengan sendirinya.
Keempat, they have super long life battery. Kalau Kindle saya di-charge sampai penuh, dia bisa bertahan sampai kurang lebih dua minggu sebelum saya charge lagi! Yaa, lagian fungsinya kan cuma untuk baca aja, jadi nggak banyak makan baterai juga kalau digunakan.
Kelima, Kindle langsung integrate ke Goodreads. Hmm, oke mari kita jelaskan dulu apa itu Goodreads. Goodreads adalah layaknya social media pada umumnya, cuma ini dikhususkan untuk membaca buku. Goodreads punya segudang database buku yang bisa kita kasih review dan rating. Kita juga bisa nge-track buku apa aja yang pengen dan udah kita baca. Tiap tahunnya, Goodreads punya Goodreads Reading Challenge yang men-challenge kita untuk nge-set target baca berapa buku dalam setahun.
Nah, kalau Goodreads-nya udah integrate ke dalam Kindle kita, biasanya kalau kita udah selesai baca buku di Kindle dan ngasih rating ke bukunya, saat kita terkoneksi ke wi-fi, rating-nya akan langsung masuk ke buku tersebut di database-nya Goodreads.
[image error] Credit: goodreads.com
Keenam, dalam satu Kindle, kita bisa menyimpan ribuan buku! Tentunya ini sangat menghemat tempat di rumah and less paper.
Gimana caranya menentukan mending beli buku paperback atau versi digital? Kalau saya sih, buku-buku seperti novel, selama bisa baca di Kindle ya baca di Kindle selama tersedia versi digitalnya. Sementara kalau buku-buku collectible atau full color kayak Lonely Planet dan semacamnya memang tetap lebih enak baca versi paperback.
Ketujuh, Kindle punya fitur Highlight, Notes, dan Bookmarks. Jadi kalau ada bagian penting atau kata-kata yang ingin kita highlight, tinggal diklik aja dan bisa langsung tersimpan rapi di dalam sistem Kindle dan bisa kita revisit kapanpun kita mau. Nggak perlu nyatet-nyatet di kertas lagi, deh.
Kedelapan, Kindle punya estimasi reading speed. Kayaknya untuk versi terbaru, Kindle udah punya fitur page numbers yang sama persis seperti versi paperback-nya. Sementara versi yang punya saya masih pakai reading speed, yaitu Kindle bisa mengukur sudah berapa jauh kita baca buku tersebut, biasanya ditandai dengan %. Sementara untuk per chapter-nya, Kindle bisa mengestimasi berapa lama waktu yang dibutuhkan. Biasanya tulisannya ada di ujung bawah, seperti “1 minute left in chapter.”
Yuhuu, sekarang udah tahu kan alasan kenapa saya suka baca pakai Kindle/ebook reader? Kalau di antara para pembaca blog saya yang budiman ada yang tertarik juga buat beli, ini ada beberapa tips yang bisa saya kasih.
Tips Membeli E-Book Reader
JANGAN beli secondhand. Ini saya udah pengalaman pernah beli Kindle secondhand, dan nggak nyampe 6 bulan udah dieeee. Sedih banget pokoknya :”( Masalahnya karena pasar di Indonesia sedikit, kita nggak bisa jual lagi, bahkan si toko yang waktu itu ngejual ke saya juga nggak mau nerima lagi. Jadilah sekarang dia teronggok di rumah sebagai barang rongsokan.
Beli versi refurbished cukup menghemat kantong. Bedanya refurbished sama yang baru cuma beda di tampilan kosmetik aja kok. Barang refurbished ini kayak barang pabrikan lainnya yang suka ada versi reject dan nggak jadi dijual sama Amazon. Padahal mesinnya dijamin 100% masih berfungsi dengan baik.
Punya saya sendiri adalah versi refurbished dan cukup beda jauh harganya dari yang baru. Bedanya cuma ada goresan sedikit di bagian belakang, dan itupun ketutup sama casing. Jadi nggak ada pengaruhnya sama sekali.
Beli yang versi ads. Kindle versi ads dan non-ads juga lumayan jauh beda harganya. Saya sendiri nggak pernah terganggu sih sama iklan-iklan yang muncul, toh iklannya juga datangnya dari Amazon dan tentang buku juga. Saya malah jadi terbantu karena banyak dikasih rekomendasi buku yang disesuaikan sama isi library saya!
Nitip/beli langsung dari US kalau memungkinkan. Kalau agak risky ngirim langsung dari Amazon ke Indonesia, bisa titip teman yang lagi di sana. Karena seperti yang saya udah bilang, karena pasar di Indonesia masih sedikit, harga pasaran di Indonesia jauh lebih mahal daripada harga aslinya. Padahal harga aslinya kalau kita beli langsung di Amazon cuma sekitar US$100, tapi setelah dibawa ke Indonesia, bisa jadi dua jutaan lebih. Lumayan banget, kan?
Featured image from here .
Fadilla Putri's Blog

