Fadilla Putri's Blog

April 27, 2022

Selamat Datang, Adik Adriel!

Sekarang saya jadi paham kenapa dulu Mama saya sering banget mengulang-ulang cerita kelahiran saya dan kakak saya. Pengalaman melahirkan bagi perempuan adalah salah satu pengalaman yang akan selalu melekat dalam ingatan. Bahkan, setelah hampir 4 tahun berlalu, saya masih ingat dengan jelas setiap detail pengalaman melahirkan Aksa dan perasaan saya kala itu. Pengalaman melahirkan Adriel juga tidak jauh berbeda. Akan selalu saya simpan sebagai sebuah memori berharga.

Butuh waktu dan keberanian untuk menulis blog post ini. Berkali-kali saya maju mundur dan ragu untuk menuliskannya. Ternyata mengingat kembali pengalaman melahirkan Adriel sama seperti membuka trauma dan luka lama. Namun, saya coba untuk menuliskannya, sebagai pengingat bahwa selalu ada kemudahan setelah kesulitan.

Saat Adriel terlahir ke dunia, saya nggak bisa menggambarkannya dengan kata-kata. Bahagia, sedih, lega, khawatir, semua bercampur jadi satu. Saya harus menjalani emergency c-section karena mengalami perdarahan yang intensitasnya semakin banyak, setelah bed rest total selama 7 minggu. Adriel pun terpaksa harus lahir prematur. Namun, di balik segala campur aduk perasaan itu, saya nggak henti-henti mengucap syukur atas segala apa yang telah terlewati.

Saat saya menulis post sebelum ini, yaitu tentang pengalaman hamil dengan placenta previa untuk kedua kalinya, saya menulis dengan hati yang sangat berat. Rasanya cobaan datang bertubi-tubi. Ada momen-momen di mana rasanya saya nggak sanggup, lelah, jatuh sejatuh-jatuhnya, dan merasa seakan cobaan nggak ada ujungnya.

Namun, salah satu hal yang selalu menguatkan saya adalah kalimat Allah (sebagaimana saya tulis di blog post sebelumnya juga): fainna ma’al usri yusra, inna ma’al usri yusra. Rasa percaya itulah yang memberikan saya kekuatan bahwa saya diberi cobaan ini karena saya mampu, dan percaya bahwa Allah akan mempermudah langkah hamba-hamba-Nya yang bersabar ketika menghadapi ujian. Pengalaman hamil dan melahirkan Adriel ini juga telah memberikan pengalaman spiritual baru bagi saya, dan menjadi pengingat bahwa manusia adalah makhluk tanpa daya. Ketika semua usaha sudah dilakukan, hal terakhir yang bisa dilakukan adalah berserah.

Dan Alhamdulillah, ternyata proses kelahiran Adriel jauuuhh lebih mudah dari yang dibayangkan.

Post ini akan jadi post yang sangat panjang, so bear with me.

Awal Maret 2022

Nggak jauh beda dari bulan-bulan sebelumnya, saya kembali dirawat, entah untuk yang keberapa kalinya. Setelah saya dirujuk untuk cek ke dokter subspesialis fetomaternal, beliau mengonfirmasi kecurigaan dokter Elsina bahwa kemungkinan plasenta saya lengket (placenta accreta). Hasil cek feto itu saya bawa ke dokter Elsina dan beliau langsung menyusun rencana kelahiran saya. Saya awalnya kekeuh pengen lahiran di Bogor, entah di RSUD atau RS lainnya yang punya fasilitas cukup lengkap. Namun, dokter Elsina bilang bahwa dengan kondisi saya, ini bukan hanya soal keselamatan saya, melainkan juga bayi di kandungan saya, yang kalau-kalau harus lahir prematur. Lalu diputuskanlah akhirnya saya dirujuk ke RSAB Harapan Kita di Jakarta, salah satu rumah sakit terbaik untuk ibu dan bayi.

Awalnya, saya diminta untuk stay di Jakarta saat usia kandungan 32 weeks sampai waktunya melahirkan. Tapi setelah koordinasi dengan dokter fetomaternal di RSAB, dokter Elsina bilang bahwa lebih cepat lebih baik. Awalnya, tanggal 11 Maret saya diminta untuk datang ke poliklinik RSAB. Namun, ternyata beberapa hari kemudian saya perdarahan lagi (dan dirawat lagi) sehingga nggak memungkinkan untuk datang ke poli. Rencana pun berubah lagi, dan akhirnya saya diantar pakai ambulans ke IGD RSAB dari Bogor.

Baca juga: Pengalaman Hamil dengan Placenta Previa

Singkat cerita, Jumat, 11 Maret 2022 dini hari saya diinfo kalau sudah dapat acc dari RSAB untuk ditransfer ke sana. Berhubung dokter fetomaternal yang akan merawat saya praktik pagi, jam 7.30, jadi saya diantar sebelum subuh, sekitar jam 4.00 pagi. Sebelum berangkat, saya kaget ternyata dr. Elsina ada di RS pagi-pagi buta. Ternyata pasiennya yang lain ada yang mau lahiran pagi itu. Sebelum berangkat, beliau visit saya di ruang rawat dan ngajakin saya TikTokan hahaha. Saya bersyukur banget dirawat sama beliau yang sangat perhatian sama pasiennya dan selalu menyemangati saya bahwa semua akan berjalan lancar.

Jumat, 11 Maret 2022

Akhirnya saya tiba di RSAB. Setelah masuk IGD, saya ditransfer ke ruang HDU di kamar bersalin untuk diobservasi. Nggak lama, saya dipanggil untuk cek USG dengan dokter fetomaternal. Tahu nggak hasil USG-nya apa? Beliau nggak menemukan bahwa plasenta saya lengket. Setelah berminggu-minggu berada dalam kecemasan, kabar ini memberi angin segar bagi saya. Saat itu usia kandungan menurut perhitungan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) adalah 30 minggu. Beliau menyarankan untuk nggak cepat-cepat dilahirkan karena bayinya masih terlalu kecil. Saya pun akhirnya hanya dirawat untuk menghentikan perdarahan.

Beberapa hari dirawat, saya pun diperbolehkan pulang. Saya ingat waktu itu adalah hari Selasa, 15 April 2022. Entah udah berapa kali saya menangis karena kangen Aksa, yang waktu itu posisinya di Bogor. Karena saya harus stay di Jakarta sampai melahirkan, mama mertua ngebantuin dengan meminjam apartemen punya temannya di bilangan Kuningan. Itu jadi tempat tinggal kami sementara di Jakarta sampai semua keadaan normal. Setelah saya dinyatakan boleh pulang, Aksa langsung diboyong ke Jakarta agar bisa dekat dengan saya dan Abang.

Di apartemen, nggak henti-hentinya saya bersyukur karena bisa ketemu Aksa, peluk Aksa, dan tidur sama Aksa. Rasanya udah lamaaaa bangettt. Namun, ternyata Allah punya rencana lain. Malam itu, di saat saya baru aja pulang dari RS, saat saya sedang tidur, tiba-tiba saya merasa punggung saya sakit dan darah mengucur. Saya mencoba untuk nggak panik dan minum obat anti kontraksi dan obat anti perdarahan yang diresepi dokter. Saya berusaha untuk tetap tenang sambil mengobservasi reaksi obat. Saya pun tidur lagi, namun nggak lama berselang, darah tetap nggak kunjung berhenti.

Sekitar jam 3 pagi, saya dan Abang memutuskan untuk kembali ke IGD. Di perjalanan, saya merasakan kontraksi yang lebih intens dari sebelum-sebelumnya. Namun, entah kenapa kondisi saya nggak gitu bikin saya khawatir. Justru hal yang paling bikin saya hancur adalah lagi-lagi harus meninggalkan Aksa. Dan benar saja, pagi-pagi saat bangun, Aksa nangis nanyain Mama Ayah-nya. Rasanya kalau diingat-ingat, sampai saat ini masih ada bagian dalam diri saya yang merasa bersalah pada Aksa.

Setelah ditangani oleh bidan di IGD, saya kemudian diminta untuk rawat inap kembali. Dokter yang merawat saya akhirnya memutuskan untuk menjadwalkan operasi caesar. Saya pun kemudian dipindahkan kembali ke ruang HDU di kamar bersalin untuk diobservasi.

Rabu, 16 Maret 2022

Menurut HPHT, usia kandungan saya baru memasuki usia 31 minggu. Itu berarti Adriel harus lahir sembilan minggu lebih cepat dari perkiraan.

Saat rencana operasi dikabarkan pada saya, tiba-tiba aja saya nangis. Saya merasa bersalah pada Adriel karena harus lahir sebelum waktunya. Namun di sisi lain, ada bagian dalam diri saya yang juga merasa lega karena segala kekhawatiran dan ketakutan selama ini akan segera berakhir.

Namun, entah kenapa feeling saya mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Mungkin ini yang disebut sebagai insting seorang ibu ya. Selama ini saya udah berusaha menjaga nutrisi untuk Adriel, mati-matian ngejar berat badan agar cepat naik, hingga bolak-balik suntik pematangan paru. Semoga segala ikhtiar itu membuat Adriel lebih kuat meskipun harus lahir lebih cepat.

Di hari itu, saya kembali di-USG, namun bukan oleh dokter yang biasa merawat saya karena hari itu beliau nggak praktik. Lagi-lagi, dokter pengganti tersebut yang USG saya bilang kalau plasenta saya lengket grade 2, artinya agak lengket namun grade-nya cukup rendah. Meskipun begitu, tentu saja berita itu bikin saya kembali cemas. Itu artinya udah 3 orang dokter bilang hal yang sama; cuma 1 dokter yang bilang sebaliknya. Kalau menggunakan logika, 1 lawan 3 sudah pasti 3 yang menang, bukan? Selesai USG, saya kembali ke ruang HDU dengan hati nggak keruan.

Anyway, ruang HDU ini ada 3 bed dalam satu ruangan, dan sore harinya, bed di sebelah saya terisi oleh seorang ibu yang mengalami kontraksi. Karena sebelah-sebelahan, nggak mungkin kan saya nggak dengar apa-apa. Saya bisa dengar dengan jelas kontraksinya makin lama makin cepat, dannn tiba-tiba menjelang maghrib, ibu di samping saya pembukaan lengkap dan siap melahirkan. Jujur gue aja panik, apalagi bidan sama perawat di kamar bersalin 😖. Tanpa ada persiapan apa-apa, ibu tersebut melahirkan tepat di samping saya. Astagaaa, hati saya semakin ketar-ketir lihat orang di sebelah lahiran, mana besoknya mau tindakan pula.

Nggak lama setelah itu, saya dikabari kalau jadwal SC diundur ke hari Jumat karena ruang NICU-nya penuh. Karena Adriel akan lahir kurang bulan, maka dia harus disiapkan ruang NICU untuk backup. Dengan segala hal yang terjadi pada hari itu, saya pun agak bernapas lega karena masih punya satu hari lagi untuk mempersiapkan mental.

Kamis, 17 Maret 2022

A slow day. Hari itu saya hanya mempersiapkan untuk tindakan SC keesokan hari. Hanya beberapa dokter visit, seperti dokter fetomaternal yang merawat saya, dokter anestesi, perawat ruang bayi, dan saya dicek EKG.

Jujur visit-visit inilah yang membuat saya semakin deg-degan. Pasalnya, kondisi saya dianggap sebagai sesuatu yang cukup serius (memang serius sih hehehe), sehingga segala kemungkinan harus siap diatasi. Pada intinya, kalau pada saat operasi benar plasenta saya lengket dan terjadi perdarahan, saya udah disiapkan 4 kantong darah untuk transfusi, backup ruang ICU kalau kondisi saya nggak stabil, hingga kemungkinan terburuk, saya harus melalui operasi pengangkatan rahim (histerektomi).

Di satu sisi, saya merasa beruntung bahwa terlepas dari komplikasi kehamilan yang saya alami, teknologi kedokteran udah sangat canggih untuk mengatasinya. Tapi di sisi lain, bohong rasanya kalau saya nggak merasa cemas, karena segala kemungkinan bisa saja terjadi. Belum lagi, saya memikirkan kondisi Adriel yang terpaksa harus lahir sebelum waktunya. Rasanya waktu itu saya benar-benar merasa kecil dan nggak berdaya. Nggak ada jalan lain selain berserah diri sama Allah Swt. Segala upaya udah dilakukan dan saya cuma bisa berdoa, berdoa, dan berdoa.

Jumat, 18 Maret 2022

Jam 7 pagi, saya sudah dipanggil turun ke ruang operasi. Setelah selesai di ruang persiapan, nggak lama saya dipanggil masuk. Rasanya de javu kayak waktu melahirkan Aksa dulu. Ruangan dingin, lampu neon putih… Untungnya, suasana di ruangan operasi cukup cair. Para perawat dan dokter yang menangani saya banyak mengobrol sembari bercanda. Bahkan, saat disuruh duduk sambil peluk bantal untuk disuntik spinal block dan saya kedinginan plus tegang, bisa-bisanya dokter anestesinya nyeletuk, “Bu, Ibu polisi ya? Kaku amat. Nunduk lagi, Bu.” Pengennya sih ketawa, tapi rasa tegang mengalahkan saya hahaha.

Jam 07.58, operasi dimulai. Saya tahu karena perawatnya bilang itu tepat sebelum perut saya dibelek. Di sana selain dokter anestesi, saya ditangani oleh dokter subspesialis fetomaternal dan subspesialis uroginekologi. Sepanjang operasi, nggak henti-hentinya saya berzikir, semoga semuanya berjalan lancar. Nggak lama kemudian, saya merasa perut saya ditarik-tarik, dan… saya mendengar suara tangis. Meskipun sebentar, setidaknya saya tahu bahwa Adriel bisa bernafas sesaat setelah lahir. Alhamdulillah.

Nggak lama kemudian, dokter yang membedah saya ngintip dari balik screen yang memisahkan wajah saya dan bilang, “Bu, plasentanya nggak jadi lengket ya. SC biasa aja.”

ALHAMDULILLAH. ALHAMDULILLAH.

Gimana ceritanya plasentanya nggak lengket sementara 3 dokter bilang gitu? NGGAK TAHU. Rasanya waktu itu saya benar-benar merasakan kuasa Allah. Mungkin ini yang disebut, bahwa setelah kesulitan ada kemudahan. Kayaknya waktu itu benar-benar beban saya terangkat.

Jam 08.39, operasi berakhir. Saya nguping perawat ruang operasi yang bilang perdarahan saya cuma beberapa ratus ml dan nggak perlu transfusi. Alhamdulillah lagi. Saya pun dipindah ke ruang pemulihan dan nggak lama, saya ditengokin Abang yang nunjukin foto Adriel. Bayinya mungiiiil tapi sempurna. Semua feeling saya benar. Adriel lahir tanpa alat bantu nafas. Skor APGAR-nya bagus. Organ-organnya lengkap dan bekerja sempurna.

Satu keajaiban lainnya adalah, menurut perhitungan saya, Adriel lahir di usia 31 minggu. Namun, dokter neonatologi yang merawatnya bilang bahwa usia koreksinya 34 minggu. Artinya kematangan organ-organnya sematang bayi usia 34 minggu. Gimana bisa? Saya juga nggak tahu. Di sisi lain, saya merasa perhitungan HPHT saya benar karena tiap haid saya selalu catat tanggalnya. Wallahualam. Setelah menunggu sekitar 6 jam, kami dikabari bahwa Adriel ‘naik kelas’ ke ruang Seruni, semacam NICU untuk bayi-bayi yang lebih stabil. Memang ada beberapa kondisi yang bikin Adriel harus dirawat, namun bukan sesuatu yang mengkhawatirkan dan itu udah kami expect, jadi udah siapin mental juga untuk menghadapinya.

And… that’s it. Sebuah perjalanan panjang yang berat dan melelahkan, tapi pada akhirnya semua berakhir bahagia.

Untuk ibu-ibu di luar sana yang mengalami placenta previa maupun yang suspect accreta seperti saya, percayalah semua akan terlewati dengan baik. Selama kita rutin kontrol ke dokter dan mendapatkan penanganan profesional yang tepat, dan yang terpenting, percaya bahwa Allah akan memudahkan jalan, insya Allah semuanya akan baik-baik aja.

Featured image from here.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 27, 2022 22:15

February 11, 2022

Pengalaman Hamil dengan Placenta Previa, untuk Kedua Kalinya

Wow I can’t believe I wrote a blog post about this again.

Bagi yang ngikutin blog saya dari dulu (padahal mah followers-nya dikit 😝), mungkin masih ingat di tahun 2018 dulu saya sempat berbagi pengalaman saya yang mengalami placenta previa waktu hamil Aksa. Dan siapa sangka di kehamilan ketiga ini (anak kedua, insya Allah), saya kembali mengalami placenta previa lagi.

Sebelum masuk ke cerita pengalaman, mungkin saya mau jelasin dikit dulu kali ya. Bagi yang belum familiar, jadi placenta previa adalah kondisi di mana letak plasenta/ari-ari berada di bawah dinding rahim dan menutupi jalan lahir. Dalam kasus saya, saya mengalami placenta previa totalis (PPT), yang secara keseluruhan menutupi mulut rahim. Untuk gambaran lebih jelasnya dan tipe-tipe kelainan letak plasenta lainnya, saya udah pernah jelasin di blog post di atas yaa.

Saya juga mau disclaimer sebelumnya bahwa saya bukan tenaga medis, dan semua yang saya ceritakan di sini adalah hasil pengalaman pribadi. Jadi, ini tidak bisa jadi patokan, dan saya tidak bisa menjawab pertanyaan dari sisi medis. So please contact your healthcare provider yaa 🤗

Oke, berlanjut dari post sebelumnya, Alhamdulillah di minggu ke-18, saya dinyatakan “bersih” sama dokter. Maksud bersih di sini, karena perdarahan sebelumnya saat trimester 1 disebabkan oleh subchorionic bleeding di dalam rahim. Dan di minggu ke-18 itu, dokter bilang bahwa udah nggak ada sisa-sisa perdarahan lagi. Alhamdulillah. Nggak sia-sia bed rest 7 minggu di rumah plus dirawat sekali di RS.

Tapiiii, drama tidak berhenti sampai di situ. Pada kontrol itu pula dokter bilang bahwa letak plasenta saya masih di bawah dan menutup mulut rahim total, dan saya harus esktra hati-hati. Kenapa bahaya? Karena plasenta mengandung pembuluh darah dan oksigen yang berguna untuk perkembangan janin. Kalau kontraksi, akan ada risiko perdarahan karena letaknya di bawah. Kalau perdarahan, ada risiko bayi lahir prematur. Namun, karena dokter bilang masih ada kesempatan untuk “geser”, saya agak selow. Lagipula, waktu hamil Aksa, saya juga mengalami hal yang serupa, dan Alhamdulillah bisa melalui trimester 2 dengan aman.

Oh ya, di masa kehamilan saya ini juga saya harus mengambil sebuah keputusan besar, yaitu resign dari pekerjaan saya, setelah 3,5 tahun kerja di kantor sekarang ini. Sebenarnya sejak saya keluar dari RS untuk pertama kali itu, saya mulai memikirkan kemungkinan itu. Apalagi setelah ditambah kabar kalau saya mengalami PPT lagi. Rasa-rasanya akan sangat bijak kalau saya resign agar bisa benar-benar istirahat. Saya pun konsultasi dengan bos saya dan saya mempersiapkan segala macam handover sejak 1 bulan sebelumnya.

Saya juga memutuskan untuk cuti kuliah semester genap ini. Baru juga masuk 1 semester, udah cuti aja ya hahaha. Tapi mengingat pengalaman kemarin, ya kerja, kuliah, sambil hamil (dengan komplikasi), dan menjalani peran-peran lainnya, bikin saya hampir kehilangan kewarasan, hahaha. Untungnya setelah konsultasi pada dosen Pembimbing Akademik, saya diizinkan untuk ambil cuti. Jadi insya Allah, saya baru akan melanjutkan semester 2 di bulan September nanti.

Meskipun begitu, sebenarnya sesaat sebelum saya resign dan cuti kuliah itu adalah masa-masa saya merasa “sehat”. Sampai berpikir, apa kudu ya sampai begini segala? Karena saya mulai aktivitas kembali, ngajak Aksa jalan-jalan, main ke rumah saudara, berenang, bahkan, saya sempat dinas ke Bandung dan aman-aman aja. Makanya saya cukup pede, oh maybe this time will be different.

Yeah… different 😂

Ternyata “firasat” saya benar dan keputusan untuk resign/cuti itu tepat. Di kehamilan 24 minggu, saya tiba-tiba mengalami perdarahan lagi. Yup, it’s happening again. Saya pun kembali ke IGD untuk ditangani bidan. Setelah konsul dengan dokter, saya diminta untuk rawat inap sambil observasi dan cek lab ini itu. Ternyata memang rahim saya ada kontraksi yang menyebabkan perdarahan tersebut. Dan ternyata ketahuan juga kalau HB saya terjun bebas, dari 10.4 ke 9.6 (minimalnya 11.7). Memang sih saya agak bandel dan nggak rutin minum vitamin penambah darah, but I didn’t know it could be that low. Dengan kondisi saya yang perdarahan, tentu saja naikin HB jadi prioritas, salah satunya dengan infus zat besi.

Perasaan saya, jujur khawatir banget. Dulu pas hamil Aksa, saya mulai kontraksi palsu dan perdarahan seperti ini di usia sekitar 33 minggu. This was too early. Saya takut banget kalau Adek harus lahir prematur. Di RS, saya dikasih obat melalui infus, dan juga infus zat besi untuk menambah darah.

Oh ya faktor risiko saya memang cukup tinggi untuk mengalami PPT kembali karena sebelumnya pernah hamil dengan kondisi PPT. Juga, saya melahirkan Aksa melalui SC dan pernah melalui tindakan kuretase. Itu semua jadi salah satu faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan saya mengalami PPT kembali.

Dua hari dirawat, saya diperbolehkan pulang untuk lanjut bed rest di rumah. Sekarang sih, saya berpikir, apapun akan saya jalani agar kehamilan ini bisa sampai cukup bulan, at least sampai Adek benar-benar siap untuk dilahirkan. Tapi lagi-lagi, baru juga dua hari di rumah, saya mengalami perdarahan segar kembali. Mana itu kejadiannya malam, sekitar jam 19.30. Abang kemudian telepon ke bagian kebidanan di RS tempat saya dirawat sebelumnya, dan bidannya bilang saya harus dibawa malam itu juga ke RS. Masalahnya, kalau flek coklat doang sih nggak apa-apa observasi di rumah, tapi kalau darah segar, saya harus segera ke RS. Akhirnya kami harus koordinasi dengan keluarga agar Aksa bisa diungsiin ke rumah Enin, sementara saya dan Abang kembali berangkat ke RS untuk siap-siap rawat inap.

Selanjutnya saya dirawat kembali selama 6 hari di RS, Alhamdulillah ada perbaikan dan perdarahannya pun berhenti. Saya pun diperbolehkan untuk pulang dan rawat jalan di rumah. Namun saya tetap nggak diperbolehkan turun dari tempat tidur. Mau duduk, tiduran, stretching, boleh, tapi semuanya harus di atas kasur.

Setelah kejadian dua kali dirawat itu, saya bolak balik rawat inap di RS sampai beberapa kali. Seminggu, dua minggu bersih, kemudian tiba-tiba perdarahan lagi meskipun saya udah rutin minum obat. Jujur yang paling bikin down itu adalah rasa cemasnya sih, karena perdarahannya bisa tiba-tiba aja terjadi kapan aja. Nggak jarang itu terjadi tengah malam pas saya lagi tidur. Dan tentu saja, hal terberat adalah harus ninggalin Aksa di rumah. Untungnya anaknya makin ke sini makin ngerti, kalau Mama berdarah artinya Mama harus nginep di rumah sakit.

Dokter yang menangani saya, dr. Elsina Pietersz, Sp.OG., sempat bilang bahwa dia curiga kalau plasenta saya mengalami pelengketan (placenta accreta). Lalu saya pun dirujuk ke dokter subspesialis fetomaternal untuk menegakkan diagnosis. Di saat lagi cukup “aman” (lagi nggak perdarahan maksudnya), saya pun konsul ke dr. Jonas Baringbing, Sp.OG., (K)FM. Beliau adalah dokter yang dulu nangani saya pas hamil kedua sampai akhirnya saya dikuret dengan beliau. Dari hasil diagnosisnya, beliau bilang ada kecurigaan plasenta saya agak lengket ke arah kandung kemih. Efeknya apa? Tentu saja perdarahan saat operasi ataupun cedera organ lain, jika plasentanya menembus dinding rahim. Namun beliau bilang, masih ada kemungkinan salah karena pastinya hanya bisa dilihat di meja operasi.

Perasaan saya tentu saja hati langsung hancur berkeping-keping. Sempat terlintas dalam pikiran, “Kenapa ya rasanya harus seberat ini?” Tapi kemudian saya mencoba untuk terus berpikir positif, meskipun rasanya tiap hari merasa gelisah.

Nggak lama kemudian setelah cek itu, saya pun kembali dirawat di RS. Setelah lihat hasil diagnosis, dokter Elsina menyarankan agar saya bisa dirujuk ke rumah sakit tipe A di Jakarta agar saya dan adek bayi bisa tertangani dengan baik. Setelah ngurus administrasi sana-sini, akhirnya saya pun diantar pakai ambulans dari Bogor ke RS Harapan Kita di Jakarta, yang punya fasilitas lengkap untuk menangani kasus seperti saya.

Berat? Iya, berat banget. Tiap hari rasanya ada momen-momen di mana saya lelah banget menghadapi kondisi ini. Namun, salah satu hal yang menguatkan adalah, saya percaya akan kalimat Allah, fainna ma’al usri yusra, inna ma’al usri yusra. Karena sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Allah mengulangnya 2x di dalam ayat-ayat suci-Nya, dan saya percaya, setelah ini akan ada kemudahan. Aamiin.

Sejujurnya tulisan ini saya buat untuk menguatkan diri sendiri, untuk mengingatkan sudah sejauh apa perjuangan ini. 😊 Tapi semoga juga bermanfaat bagi ibu-ibu di luar sana yang mengalami hal serupa. Insya Allah blog post ini akan saya update jika ada perkembangan selanjutnya yaa.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 11, 2022 03:27

November 27, 2021

Kehamilan Ketiga yang Tak Terduga

Apa, hamil lagi???!

Asked me to myself when I got tested at home.

Bermula di suatu hari bulan September 2021 lalu, saya curiga kok haid saya tumben-tumbennya telat. Saya coba test pack di hari kedua dan keempat setelah telat haid, tapi hasilnya sama-sama negatif. Kemudian saya berpikir, oh mungkin karena saya baru masuk kuliah dan sedang penyesuaian, jadi mungkin agak stres.

Hari ketujuh, saya nggak juga kunjung haid. Saya jadi curiga apa jangan-jangan saya sakit. Saat itu saya udah me-rule out bahwa penyebabnya pasti bukan hamil. Tapi kemudian saya iseng untuk tespek lagi. Kali ini sengaja nggak beli alat tes bermerk kayak Akurat atau Sensitif, karena cuma mau konfirmasi aja kalau saya nggak hamil. Harganya juga cuma 11 ribu di apotek.

Gak lama setelah dicek…

Loh kok jadi positif?? Loh kok garisnya dua???

Saya keluar kamar mandi dan nunjuk tespek itu ke Abang. Terus kita berdua sama-sama bengong. Beneran, kayaknya momen itu kepala saya langsung berkabut, terus nggak tau harus ngapain dan ngerasain apa. Seneng? Sedih? Bingung?

“Tespeknya jelek kali makanya hasilnya positif?” Saya sampe bilang kayak gitu saking gak percayanya wkwkwk.

Setelah diresapi, akhirnya kami berdua mengucap syukur Alhamdulillah. Saya pun beli tespek satu lagi untuk mengonfirmasi dan hasilnya sama-sama positif.

Empat bulan semenjak kuret, saya diberikan kepercayaan lagi untuk hamil. Jujur sebenarnya nggak ada rencana pengen cepet-cepet juga. Apalagi saya baru mulai kuliah S2 juga semester 1. Dan kadang berpikir, pengalaman kemarin masih cukup traumatik, sampai saya berpikir kayaknya kalau harus melewati drama kayak waktu itu lagi, wah gak dulu deh. Dan semenjak pengalaman kehilangan anak kedua, saya sering banget berdoa dalam hati, “Semoga jika diberikan kehamilan kembali, saya diberikan kehamilan yang sehat, dijauhkan dari kesulitan, dijauhkan dari bed rest, dan kecemasan.”

Manusia cuma bisa berencana dan berdoa, tapi Allah yang menentukan. Pagi hari saat usia kandungan saya menginjak 11 minggu, just when I thought that everything was getting easier, tiba-tiba saya mengalami pendarahan seperti mens. Buibu tahu kan rasanya mens hari pertama kayak keran ngocor? Yup that’s what I had.

Karena sudah pengalaman sebelumnya, we knew the drill. Saya langsung tiduran, nggak aktivitas apapun. Kami siap-siap ke IGD, bawa baju dan perlengkapan diri karena hampir pasti saya harus dirawat. Abang juga siapin baju dan perlengkapan Aksa untuk diungsiin ke rumah Enin.

Sekitar jam 10 pagi, saya tiba di IGD. Beruntungnya karena RS tempat saya biasa berobat ada ruang bidannya dan sebelahan sama IGD, jadi saya langsung ditangani bidan begitu sampai ke sana. Nah sialnya, dokter yang biasa meriksa saya dari awal udah gak praktik di RS itu, padahal udah cucok banget. Dokter ini yang juga dulu nanganin saya kuret pas hamil kedua. Namanya adalah dr. Jonas Baringbing, salah dua dari dokter fetomaternal di Bogor. Nah karena blio udah nggak praktik di RS tersebut, akhirnya saya ditangani oleh dr. Vivi yang super populer itu 😂 saya pasrah aja lah, yang penting saya tertangani dengan baik.

Jujur pas saya masih di ruang bidan, para bidannya udah cemas gitu karena pendarahan saya banyak wkwk. Apalagi karena masih 11 minggu, belum bisa deteksi pakai CTG. Jadi memang harus nunggu hasil USG. Sekitar jam 1-an, saya dipanggil masuk ke poli dan dokter melihat janinnya amannn. Alhamdulillah. Bidan-bidannya juga langsung lega gitu wkwk. Jadi memang pendarahan ini ada di dalam rahimnya dan nggak berpengaruh ke janin sebenarnya. Ya yang lebih rentan saya sih, apalagi ternyata pas periksa lab saya anemia ringan. Tapi untungnya si bayik Alhamdulillah snuggly aja di dalam perut. Tapi ya tentu saja saya harus dirawat.

Kenang-kenangan

Malam pertama di RS, saya dirawat di ruang bidan agar bisa diobservasi. Baru keesokan harinya saya naik ke ruang rawat biasa. Awalnya saya ditemenin Abang, tapi ternyata Aksa rewelll nggak ada ayah mamanya. Akhirnya Abang gantian jaga sama Mama saya. Waduh ribet deh prosedurnya, karena sebenarnya nggak boleh gantian jaga. Tapi ya karena terpaksa, akhirnya Mama saya yang harus jagain dengan segala prosesnya yang panjang, dan tentu saja harus swab test dulu.

Empat hari dirawat, akhirnya saya dibolehin pulang. Meskipun begitu, saya harus tetap bed rest. Walaupun sebelumnya saya udah pernah melakukannya, bed rest kali ini jauh lebih berat. Pertama tentu karena ada perasaan bersalah nggak bisa ngurus dan ngajak main Aksa. Kedua, ini pendarahan terparah kalau dibandingkan dua kehamilan sebelumnya di trimester pertama. Menurutku miracle banget sih anakku thriving di dalem perut dengan kondisi mamanya yang bergejolak ini 😭 Ketiga, saya masih kerja full time DAN kuliah DAN saat saya dirawat tuh lagi minggu-minggunya UTS, mau nanges gakseeehhh. Itu salah satu pemicu stres saya dan stres juga salah satu yang micu pendarahan. Kan kesel. Jadinya muter-muter aja terus. Keempat, ini bed rest paling lama yang saya lakukan berturut-turut (udah sebulan saat saya nulis ini) dan belum tahu kapan akan berakhir.

Saat seminggu kontrol setelah dirawat, dicek pendarahannya memang sudah tidak aktif, tapi masih ada. Jadi saya diresepin obat dengan harapan, ada sebagian yang keluar menjadi flek dan sebagian terserap oleh tubuh. Oh ya penyebab pendarahan saya adalah subchorionic bleeding, saya nggak tahu detailnya tapi itulah yang dikatakan dokter. Daaannn… the surprise didn’t stop there. Pas pemeriksaan itu the doctor revealed that… I am pregnant with… twins.

TWINS??!

Itu pemeriksaan saat usia udah 12 minggu dan gilsss saya baru tahu kalau ternyata selama ini ada 2 kantong kehamilan. Curiga saya dokternya memang baru ngasih tau saat itu agar saya fokus sembuhin perdarahannya dulu. But still, rasanya kayak kesamber petir di siang bolong.

Jadi gimana kondisi janin satunya lagi? Unfortunately, hanya ada kantongnya aja. Bisa jadi memang janinnya nggak berkembang karena dari awal memang kami cuma melihat 1 detak jantung dan 1 janin saja. Kalo gak dikasih tau dokter, mana ngeh kalau itu kantong kehamilan, isinya item putih begitu 😂

Rasanya saat dikasih tahu begitu? Well, I have mixed feelings sih. Bahkan sampe sekarang. Senang, karena bayiku sehat. Sedih, karena saya harus kehilangan satu bayi yang lainnya. Senang, karena ternyata gen kembar dari papa saya menurun. Sedih, karena berarti saya kehilangan 2 bayi di tahun ini…

Tapi pada intinya saya bersyukur. Di masa-masa berat ini, saya diberikan support system yang sangat kuat, terutama suami 🤍 katanya, itu karena rasa bersalahnya juga karena this pregnancy is kinda unplanned wkwkwk. But I never regret it, no. Meskipun bersyukur, bukan berarti ini semua mudah ya. Ada hari-hari di mana saya down banget, merasa kehilangan kontrol atas tubuh, merasa kehilangan kebebasan, merasa nggak produktif, dan stres udah pasti tentunya.

But in the end, saya berpikir lagi bahwa I’m doing something bigger here, I’m protecting a baby’s life (and mine), dan semoga saja ke depannya bisa lebih dimudahkan. Aamiinn.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on November 27, 2021 08:01

September 9, 2021

Scarlett Bodycare untuk Perawatan Kulit Sehat dan Cerah dari Rumah

Halooo! Apa kabar semuanya? Semoga tetap sehat selalu ya meskipun masih di tengan suasana pandemi. Di post kali ini, saya mau ngasih rekomendasi salah satu produk skincare lokal yang lagi happening, yaitu Scarlett. Yup, siapa yang nggak kenal sama brand ini? Saya sebenarnya udah cukup lama penasaran dengan Scarlett karena sering berseliweran di timeline social media, tapi baru kali ini kesampaian nyoba. Dan berhubung selama pandemi ini saya keseringan di rumah dan jadi cenderung suka abai sama kesehatan kulit, produk Scarlett ini sukses bikin saya rajin kembali merawat kulit 😄

Nah, sekarang saya mau review 3 jenis produk dari Scarlett yang saya pakai, yaitu Body Scrub, Brightening Shower Scrub, dan Fragrance Brightening Body Lotion. Ketiganya memiliki kandungan utama glutathione dan vitamin E yang bermanfaat untuk menutrisi, melembabkan, dan mencerahkan kulit. Dan yang juga bikin happy, ketiga produk yang akan saya review ini semuanya bisa digunakan untuk semua jenis kulit dan aman digunakan oleh para bumil dan busui loh. Tapi tentu atas saran dan petunjuk dokter, ya!

Sebelum saya review satu per satu produknya, saya mau thumbs up dulu nih sama packaging-nya. Saya kirain botolnya cukup bulky, eh ternyata cocok juga dibawa traveling. Apalagi botol pump-nya juga dilengkapi sama safety lock. Jadi kalau dibawa di dalam tas pun dijamin nggak bakalan berceceran. Juga, setiap produk Scarlett dilengkapi hologram, jadi pasti terjamin keasliannya.

Oh ya satu lagi, review ini saya tulis berdasarkan pemakaian rutin selama kurang lebih tiga minggu ya. Oke, sekarang yuk mariii kita review satu per satu!

Body Scrub

Sebelumnya saya mau pengakuan dulu kalau saya udah lamaaaa banget nggak scrubbing T_T Padahal manfaat scrubbing banyak banget, salah satunya mengangkat sel-sel kulit mati dan membantu regenerasi kulit. Dan akhirnya saya jadi rajin kembali scrubbing setelah pakai Scarlett.

Varian yang saya gunakan adalah yang Coffee. Sumpah wanginya enak banget, jadi sampe tergoda untuk dimakan 😆 Wangi kopinya ini cenderung manis ya, jadi bukan wangi kopi hitam gitu. Selain varian kopi, ada dua varian lainnya, yaitu Romansa dan Pomegrante yang wanginya cenderung floral-fruity.

Untuk teksturnya, meskipun punya bulir-bulir scrub yang besar, menurut saya sangat nyaman di kulit. Jadi bagi yang punya kulit sensitif, nggak perlu khawatir iritasi.

Dan ternyata, scrubbing juga punya manfaat merehidrasi kulit. Makanya setelah pemakaian kerasa banget segarnya. Body Scrub ini juga membantu rileksasi tubuh, makanya rasanya kayak lagi perawatan di spa, hihihi.

Brightening Shower Scrub

Untuk shower scrub ini, saya pakai varian Coffee juga dan lagi-lagi wanginya enaakk banget. Selain varian kopi, ada tiga varian lainnya yang bisa dicoba, yaitu Cucumber, Mango, dan Pomegrante. Masing-masing semua ini bisa dicobain tergantung mood. Kalau lagi pengen dapet aroma segar dan fruity bisa coba yang Cucumber. Kalau pengen aroma citrus fruit dan floral, bisa coba varian Mango. Kalau lagi kepengen harum floral-fruity gitu, bisa coba yang Pomegrante. Dan kalau pengen nyobain mandi dengan aroma coffee shop, tentu sajaa pakai yang Coffee, ya 😆

Nah pengalaman saya pakai shower scrub ini, mungkin ini lebay, tapi beneran kejadian. Setelah saya pakai shower scrub ini di kamar mandi, beberapa waktu kemudian saya masuk kembali ke kamar mandi, dan harumnya masih nempel di ruangan, dong. Awalnya saya nggak percaya sama review orang-orang yang bilang gini, eh tapi ternyata saya ngalaminnya juga haha.

Untuk teksturnya, shower scrub ini berbentuk gel dan punya bulir-bulir halus, tapi nggak sebesar di body scrub. Malah surprisingly menurut saya lembut banget di kulit dan bisa digunakan setiap hari. Saya pernah coba beberapa merk shower scrub lain yang juga mengklaim bisa digunakan setiap hari, tapi entah kenapa jadi meninggalkan kesan nggak enak dan kering di kulit. Nah kalau Scarlett ini beneran lembuuutt banget dan nggak bikin iritasi.

Oh ya, dan kulit saya, terutama bagian punggung, kalau sembarangan pakai sabun bisa breakout dan keluar jerawat kecil-kecil. Tapi setelah pakai Scarlett Brightening Shower Scrub, Alhamdulillah jerawatnya pada nggak balik lagi. Dan ternyata, memang itulah salah satu manfaat dari Shower Scrub ini, yaitu mengangkat sel-sel kulit mati dan membuat kulit jadi lebih halus setelah eksfoliasi karena selain vitamin E dan glutathione, ini juga mengandung beads dan collagen. Bonus point, kulit jadi lebih lembab dan cerah!

Fragrance Brightening Body Lotion

Nah bisa dibilang ini salah satu produk favorit saya. Secara tekstur, ini pas banget. Nggak terlalu lengket kayak body butter, tapi juga nggak encer. Dan setelah pakai Scarlett, kelembaban di kulitnya terasa lebih tahan lama, bahkan di ruangan ber-AC sekalipun. Saya pakai varian Jolly yang beraroma bunga. Selain Jolly, Scarlett Fragrance Brightening Body Lotion punya empat varian lainnya, yaitu Romansa, Fantasia, Charming, dan Freshy, yang semuanya terinspirasi dari wewangian bunga. Wah, ngebayanginnya aja udah kayak berasa lagi di taman hahaha. Pas saya cium harumnya saat pakein di tangan, rasa-rasanya kok mirip parfum YSL dan ternyata setelah dicek, memang inspirasi wanginya dari YSL Black Opium.

Selain glutathione dan vitamin E, body lotion ini juga punya kandungan kojic acid dan niacinamide yang memberikan banyak manfaat, salah satunya mengembalikan kelembaban kulit, menyengarkan, dan memberi keharuman tahan lama. Bahkan setelah saya cuci tangan pun, wanginya masih aja nempel loh. Iya, seharum itu 😆

Satu lagi, body lotion ini aman digunakan setiap hari. Jadi kapanpun merasa ada bagian kulit kering, Fragrance Brightening Body Lotion selalu yang saya cari pertama kali.

Final Verdict

Setelah tiga minggu pemakaian… ini hasilnya.

Before

After

Sebagai seseorang yang dulu nggak begitu peduli dengan kesehatan kulit, Scarlett ini berhasil membuat saya rajin kembali merawat kulit. Apalagi dengan situasi pandemi begini yang bikin saya nggak bisa ke salon atau spa untuk perawatan, ketiga produk Scarlett ini udah cukup banget untuk saya bisa perawatan kulit sehat dari rumah.

Saya juga dulu suka skeptis sama produk-produk yang mengklaim bisa mencerahkan kulit. Tapi memang Scarlett ini nggak bikin kulit jadi putih aneh gitu dan bikin belang sama anggota tubuh lainnya. Ini lebih bikin kulit yang kusam dan nggak terawat jadi terlihat lebih segar dan sehat. Jadi terlihat ya bedanya!

Selain itu, salah satu kriteria penting produk skincare yang saya pakai tentu saja harus aman ya, dan keamanan itu memang jadi salah satu prioritas dalam semua produk Scarlett. Selain sudah teregistrasi di Badan POM, Scarlett juga sudah mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Produk ini juga tidak diujicobakan pada hewan (against animal testing).

Seluruh rangkaian produk Scarlett yang saya pakai di atas masing-masing dibanderol dengan harga Rp75.000. Iyaaa se-affordable itu dengan manfaat segudang untuk kulit. Jadi, Scarlett ini bisa banget jadi alternatif untuk kamu-kamu yang pengen perawatan kulit di rumah ala salon. Untuk info produknya, silakan follow Instagram @scarlett_whitening ya! Kamu udah cobain yang mana? 🙂

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 09, 2021 05:55

August 6, 2021

My Pregnancy Loss Story

Finally. Here we go.

Saya mencoba menulis post ini berdasarkan kronologi medis. Namun selayaknya seseorang yang kehilangan, setiap kejadian dan proses selama saya keguguran ini berhasil mengobrak-abrik isi hati saya. I cried for weeks (until today). My heart has an empty hole that can never be mended. Yet here I am, hopefully getting tougher.

Secara statistik, keguguran atau stillbirth terjadi di antara sekitar 10-15% kehamilan. Shocking? Yes! Sebegitu besarnya statistiknya, namun ketika menjalaninya, saya seperti merasa sayalah satu-satunya yang mengalaminya di dunia ini. Keguguran seolah-olah seperti sesuatu yang harus dijalani oleh seorang perempuan sendirian, sering kali dengan minim support. Padahal, kehilangan yang dialami itu nyata, dan setiap kesedihan yang kita alami itu valid. My grief is valid.

I shouldn’t feel alone going through this grieving process, neither should other women. Saya harap cerita saya ini bisa membuat teman-teman, ibu-ibu, dan seluruh perempuan di luar sana yang juga sedang merasakan kehilangan, memahami bahwa mereka tidak sendiri.

Dan inilah cerita saya:

Senin, 12 April 2021

Menyambung post sebelumnya, tanggal 11 April saya dirawat karena pendarahan, dan ternyata keesokan harinya, saya sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Nggak ada indikasi apa-apa tentang situasi kehamilan saya karena sudah dicek dokter dan semuanya aman. FYI saya ditangani oleh dokter subspesialis fetomaternal, jadi memang pemeriksaannya sangat detail dan tidak ditemukan kejanggalan apapun. Pesannya hanya satu, jika masih pendarahan, saya masih harus bed rest. Namun jika bersih, saya diperbolehkan beraktivitas ringan. Saya pun dijadwalkan untuk kontrol dua minggu ke depan.

Sepulangnya dari rumah sakit, saya melanjutkan bed rest, sesuai saran dokter. Seminggu, dua minggu, flek masih terus ada meskipun ringan dan sedikit. Tapi untuk jaga-jaga, saya memang nggak turun tempat tidur agar nggak terlalu banyak gerak. Pertama kali saya keluar rumah kembali yaitu tanggal 23 April, saat waktunya kontrol ke dokter.

Jumat, 23 April 2021

Saya datang ke RS dengan biasa-biasa saja. Saya nggak punya firasat apapun tentang kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Malam itu, saya diantar Abang untuk kontrol rutin ke dokter.

Saat di ruang dokter, seperti biasa saya di-USG. Dan karena sebelumnya dokter juga selalu diam saat pemeriksaan USG, saya nggak menaruh curiga sama sekali bahwa ada sesuatu yang salah.

Until it did.

Awalnya dokter membahas soal bekuan darah di rahim saya. Beliau mengatakan bekuannya membesar. Namun saya ingat perkataan dokter bahwa ini tidak berbahaya dan tidak membahayakan janin. Jadi asalkan saya hati-hati, kami (saya dan janin) tidak kenapa-kenapa.

Lalu dokter beralih ke janin.

I won’t give the details about my baby’s condition and what happened that night at the doc’s office, because it turns out it really hurts to even think about it.

Malam itu saya tak kuasa menahan tangis saat dokter menyampaikan bahwa bayi dalam kandungan saya sudah tidak ada. I tried to hold back tears, but I couldn’t. Selama pemeriksaan, saya meremas tangan Abang kuat-kuat. My heart could explode at any time.

Saya berusaha untuk menyelesaikan hal-hal terkait medis dulu. Dokter bilang, saya tidak harus mengambil keputusan malam itu dan bisa menenangkan diri dulu. Kalau mau closure, saya juga diperbolehkan untuk mencari second opinion. Dokter menyarankan agar saya menjalani kuret karena kalau hanya pakai obat, ditakutkan tidak bersih, apalagi saya ada bekuan darah di rahim.

Satu hal yang membuat saya hancur berkeping-keping adalah saat dokter mengatakan, “Seminggu, dua minggu ke depan, kalau Ibu nggak kuret pun, pasti rahim Ibu mengalami kontraksi karena tubuhnya sudah tidak mengenali detak jantung bayinya.”

That moment, I felt my body betrayed me.

How could my body reject someone I love dearly?

How could my body do this to my own baby?

Terlalu banyak hal yang saya terima malam itu, dan membuat saya tidak bisa berpikir sama sekali. Satu-satunya hal yang saya pikirkan hanyalah: I was pregnant, but my baby wasn’t alive.

Sesampainya di mobil, saya menangis sejadi-jadinya. Entah kapan terakhir kalinya hati saya sesakit itu.

Malam itu, saya nggak bisa tidur. Pikiran saya terus berputar-putar tentang apa yang baru saja terjadi. Rasanya dunia langsung jungkir balik dalam satu malam.

Sabtu-Minggu, 24-25 April 2021

Di kala weekend, saya mencari-cari informasi soal kuret ini. Saya juga daftar ke dokter feto lainnya untuk second opinion. Sebenarnya saya tahu hasilnya akan sama saja, tapi saya ingin merasa diyakinkan. Ini lebih ke faktor psikologis daripada fisik.

Walaupun begitu, saya tetap sudah menjadwalkan kuret di BMC hari Senin-nya. Setelah berkonsultasi dengan keluarga, secepat mungkin dilakukan lebih baik. Karena kalau kelamaan, takut tiba-tiba pendarahan juga. Jadi Senin pagi saya rencana ke dokter feto lainnya, Senin siang saya udah dijadwal untuk perawatan di BMC.

Tanggal 25 malam, hati saya kembali merasa hancur. Itu adalah malam terakhir saya bersama anak dalam kandungan saya. It felt so surreal.

Senin, 26 April 2021

Pagi-pagi, saya dan Abang pergi ke PMI untuk ke poliklinik kandungan. Siapa sangka, tepat di depan ruangan dokter, saya tiba-tiba pendarahan. Padahal sumpah gak ada rasa apa-apa sebelumnya, mules pun nggak. Untungnya waktu itu dokternya belum datang dan saya baru ditangani suster. Dan untung juga karena hari itu udah niat mau nginap, jadi kami bawa baju di mobil. Segeralah Abang ambil baju untuk nutupin celana saya yang penuh darah. Setelah menimbang-nimbang, we don’t have more time. Kami akhirnya bilang ke suster untuk batalkan appointment dan segera menuju BMC.

Jujur rasanya pengen bersedih, tapi merasa waktunya belum tepat. Saya pengen nyelesein semua urusan medisnya dulu, baru memproses duka ini. Saya coba fokus untuk tindakan dan recovery saya pasca kuret nanti.

Jam 9 pagi, saya udah tiba di BMC. Para bidannya kaget kok saya udah datang, padahal janjian untuk masuk jam 2 siang. Lalu saya ceritalah kalau saya udah mulai pendarahan lagi 🥲 Jadilah saya langsung dirawat (harus PCR dulu tentunya) dan dikasih obat untuk membuka jalan “lahir”.

Obat yang pertama dimasukkan lewat vagina. Ohhh inikah yang dinamakan “cek dalam” wkwkwk rasanya luar biasa sekali. Ternyata setelah dicek, obatnya belum memancing pembukaan. Akhirnya saya dikasih obat kedua yang oral dan, ya Allah, rasanya kontraksi tiap 5 menit sekali kayak mau lahiran (lah emang iya). Saya sampe remes tangan Abang kenceng-kenceng saking nggak kuatnya.

Masalahnya, waktu ngalamin itu semua, saya diharuskan puasa 6 jam sebelum tindakan. Jadi udahlah perut melilit, gerah, haus, tapi nggak bisa makan minum buat nambah energi. 🙈

(This is kind of nasty so you might want to skip this paragraph) Setelah sekian lama merasakan kontraksi gak beres-beres yang terasa seperti eternity, tiba-tiba… wrrrrr… darah mengucur deras dari bawah. Saya langsung ditangani bidan untuk cek pendarahannya, dan ternyata lumayan buanyaaak keluar gumpalan-gumpalan. Oh ternyata the medication worked. Setelah pendarahan itu, rasa mules saya perlahan-lahan mulai mereda.

Itu sekitar jam 4-5-an sore, sementara saya dijadwalkan untuk tindakan dan 8 malam. Nggak lama kemudian, saya kembali dikabari kalau tindakan dimajukan jadi 18.30 karena katanya, “Biar nggak usah kelamaan nunggu.”

Jujur, biusnya lebih bikin saya takut dibandingkan kuretnya sendiri haha. Di ruang tindakan, saya dipasangi oksigen dan EKG. Pertama, datang dokter anestesi. Dia dengan santainya nyuntikkin obat bius ke dalam infusan sambil ngajak saya ngobrol. Sambil dibius, saya masih sempet ngobrol sama dokternya dan ternyata dia juga yang ngasih saya anestesi spinal block saat saya ngelahirin Aksa via SC 3 tahun lalu haha. Terus, nggak lama dokter kandungannya datang dan saya bisa mendengar mesin EKG bunyi gara-gara saya deg-degan hahaha. Hal terakhir yang saya ingat adalah suster nyuruh saya angkat kaki, dan saya mikir, “Wah masih sadar aja nih gue.” Terus ternyata abis itu ilang hahaha.

Sekitar jam 8 kurang, saya terbangun. Rasanya kayak bangun dari tidur yang panjaaang… Jujur rasanya enak sih, kayak istirahat yang berkualitas gitu wkwk. Nggak lama, Abang pun datang dan saya lapar haha.

Setelah saya agak stabil, saya mulai nanya-nanya ke Abang tadi gimana. Jadi setelah dikeluarkan, Abang dipanggil dokter dan ditunjukkan janinnya. Alhamdulillah Adek keluar dalam keadaan utuh :”) Abang sempat melihat Adek untuk terakhir kalinya sebelum Adek ditutup kain dan dimasukkan ke dalam kendi. Kendinya kami kasih ke eyang-eyang untuk dimakamkan di rumah kami keesokan paginya.

Physically speaking, proses recovery sangat cepat. Beberapa jam tindakan saya sudah bisa jalan-jalan sendiri. Keesokan harinya jam 8 pagi, saya udah diperbolehkan pulang. Malah sebenarnya bisa nggak perlu nginap. Tapi karena pendarahan saya cukup banyak, saya disarankan untuk menginap agar bisa diobservasi.

Hidup dan mati memang kuasa Allah, dan selalu penuh dengan misteri. Saat saya tahu hamil, mana sangka kalau saya akan diberikan amanah lagi secepat itu, apalagi saya ada riwayat PCOS. Tapi ternyata Allah mengambilnya kembali dengan sangat cepat pula. Yang pasti meskipun singkat, Adek memberikan saya banyak pelajaran hidup; tentang memiliki, kehilangan, keikhlasan… And whenever I miss you, I could just go to our backyard and say hello. Because this is our home, and your home too…

Featured image from here.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 06, 2021 19:32

May 26, 2021

Saying Goodbye

As hard as it is, I need to announce that I’ve lost my second child due to miscarriage. I know writing can be therapeutic, but I am not ready yet to spill all the details. Please pray for us to get through the grieving process.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 26, 2021 05:59

May 14, 2021

Beralih E-Book Reader dari Kindle ke Boox Poke 3

Halooo! Saya punya kabar buruk, sekaligus kabar baik. Apaan tuh? Penasaran gak? 😂

Kabar buruknya adalah, Kindle Paperwhite saya yang sudah menemani semenjak 2015 akhirnya harus pensiun~. Gara-garanya saya juga nggak tahu, mungkin umur Kindle hanya segitu ya, sekitar 5-6 tahun? Karena punya Abang yang tipe Touch, sebelumnya juga rusak dan usianya lebih tua dari punya saya. Permasalahan yang dialami Kindle saya adalah, dia suka tiba-tiba nge-hang kalau lagi dipakai baca, dan satu-satunya cara untuk menyembuhkannya adalah hard restart. Terus, walaupun sudah di-charge penuh dan dalam kondisi off, baterainya somehow tetap kesedot sampai habis. Setelah diotak-atik berkali-kali, akhirnya saya memutuskan, baiklaaah, goodbye Kindle!

Lalu, kabar baiknya adalah, setelah mikir bolak-balik, baca dan nonton review, istikharah (nggak ding), dan diskusi sama Abang (karena dia juga akan ikut pakai), akhirnya kami memutuskan untuk beralih dari Kindle ke Onyx Boox. Yayyyy! Saya pakai tipe Poke 3. Dan setelah kurang lebih beberapa bulan memakainya, ini kira-kira review yang bisa saya kasih:

Ukuran

Ini saya membandingkan Boox Poke 3 dengan Kindle Paperwhite ya. Jadi mungkin sepanjang post ini saya akan membandingkan kedua tipe ini, karena cuma pernah pake dua e-reader ini. Dan tentunya, beda tipe pasti akan beda fitur dan ukuran. Secara display, memang Poke 3 ini lebih kecil dari Paperwhite, hanya 6 inch, tapi kalau udah dipakai, beneran nggak kerasa bedanya, kok. Secara berat, Poke 3 juga jauh lebih ringan dan tipis dari Paperwhite. Kadang megangnya juga suka takut sendiri, suka takut tiba-tiba jatuh atau patah hahaha. Tapi so far oke kok, meskipun ukurannya mini, sama sekali nggak memengaruhi kualitas bacaan.

Battery Life

Kalau lagi terhubung Wi-Fi, tentu saja jadi lebih boros. Jadi, saya perlu sering-sering matiin Wi-Fi kalau lagi nggak butuh untuk browsing atau download. Kalau saya bandingkan dengan Paperwhite, memang baterai Poke 3 ini lebih boros. Tapi jangan ngebayangin “boros” seperti handphone ya. Kalau pemakaian standar tanpa Wi-Fi, biasanya Paperwhite tahan dua minggu sampai di-charge ulang, sementara kalau Poke 3 paling hanya tahan seminggu. Tapi sebenarnya ini sebanding kok, karena fitur dan aplikasi yang digunakan juga lebih banyak.

Fitur & Apps

Untuk bagian ini, sebenarnya saya bingung mau bikin judul yang pas haha. Tapi ini salah satu hal yang bikin saya mantap untuk beralih ke Boox. E-reader ini berbasis Android dan yap, selayaknya ponsel Android, Boox ini bisa pakai third party app. Jadi saya tetap bisa download aplikasi Kindle di Boox dan isi library dari Kindle saya akan ter-import ke sini. Cool, huh?

Selain Kindle, saya juga sering pakai aplikasi Scribd karena langganan bulanan. Selebihnya sih ada beberapa aplikasi lain seperti Gramedia Digital dan iPusnas, tapi jarang banget dipakai. Dan enaknya karena pakai Wi-Fi, kalau misalkan saya baca buku di device lain di aplikasi yang sama (Kindle dan Scribd misalnya), saat mau baca di Boox, langsung ke-bookmark lokasi baca terakhir, jadi nggak perlu nyari-nyari lagi lokasinya.

Oh ya, Boox ini juga punya aplikasi baca bawaan, namanya Neo. Dia juga punya Neo Browser untuk browsing. Surprisingly, pakai Neo reader juga sebenarnya udah cukup enak, apalagi dia punya pengaturan yang menurut saya sangat detail; bisa rotate, ganti ukuran dan tipe font (walaupun standar), dan cukup nyaman kalau baca file PDF karena bisa di-set sesuai kebutuhan.

Fitur Lainnya

Bagian ini juga bingung mau mengkategorikannya jadi apa haha. Sebenernya sih memang tujuan utama beli Boox memang cuma buat baca (ya emang mau buat apa lagi 😂), jadi saya sebenarnya agak kurang peduli sih sama hal-hal lainnya hahaha.

Oh ya, saya lupa bilang kalau Poke 3 ini e-ink ya, jadi memang pengalaman membacanya layaknya baca buku kertas (nggak berwarna). Untuk fitur standar lainnya, Poke 3 juga punya built-in light. Jadi bisa disesuaikan dengan lighting ruangan tempat kita membaca, dan saat membaca di outdoor.

Memang kalau dibandingkan sama Kindle, Boox ini punya lebih banyak fitur. Poke 3 ini punya beberapa speed/mode dan kualitas “kertas” untuk membaca. Dia punya empat pilihan mode: 1. Normal mode (untuk teks biasa), 2. Speed mode (ada sedikit ghosting effect, untuk teks yang ada gambarnya), 3. A2 mode (ghosting-nya lebih kentara, untuk buku yang banyak gambarnya), dan 4. X mode (ghosting-nya paling tinggi, untuk browsing dan nonton video).

Yes did I tell you, you can play videos on Boox??! 😀

Terus kalau sama Kindle, enakan mana? Sebenarnya masing-masing e-reader punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saya sih nyaman-nyaman aja di keduanya. Dan lama-lama terbiasa juga kok dengan peralihan ini. Dan so far, nggak ada keluhan yang berarti. Semoga saja sih e-reader yang ini awet ya!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on May 14, 2021 06:05

April 16, 2021

Cerita (Drama) Kehamilan Kedua

Yes, I’m pregnant with our second child! Alhamdulillah. Saat ini usia kandungan udah mau memasuki 11 minggu. Doakan kami sehat selalu, ya!

Eitsss… tapi tentu saja, nggak seru kalau kehamilan kedua ini tanpa drama 😂

Hamil dengan PCOS

Teman-teman yang baca post saya dari dulu mungkin masih ingat bahwa saya hamil Aksa (anak pertama) menjelang satu tahun setengah usia pernikahan. Mungkin saya bisa dikatakan cukup beruntung, jika dibandingkan pasangan-pasangan lain yang menunggu jauh lebih lama. Namun, dulu lumayan bikin kepikiran, terutama karena norma sosial yang menekan saya untuk segera memiliki anak tak lama setelah menikah 🥲

Jadi sebenarnya, kepikiran karena omongan orang untuk segera hamil lebih bikin saya stres hahaha. Jadi memasuki usia pernikahan lebih dari 6 bulan, saya dan Abang coba konsultasi ke dokter. Dari sanalah saya didiagnosis punya PCOS (please Google it!). Intinya, PCOS terjadi dikarenakan hormon androgen (hormon laki-laki) saya yang lebih tinggi dari semestinya yang bikin keseimbangan hormon di dalam tubuh jadi kacau. Makanya waktu itu saya kayak langsung ngeh kenapa saya jerawatan nggak hilang-hilang hahaha.

PCOS bisa hamil? Bisa! Memang kondisi ini gak ada obatnya (sejauh yang saya tahu), tapi bisa dikendalikan dengan menjaga pola makan, jaga kesehatan fisik dan mental, jaga berat badan ideal. Itu sih yang saya dapatkan dulu dari dokter yang mendiagnosis saya dengan PCOS.

Tapi memang, rencana Allah selalu indah. Saat justru saya dan Abang sudah mengikhlaskan kepada Yang Maha Kuasa, karena kami capek dan merasa ngejar ‘target’, a miracle happened. Saya hamil anak pertama justru saat saya sudah lepas vitamin dan konsultasi dokter. Dan justru saat saya sudah mengikhlaskan itulah, Allah memberikan jawaban.

Berbekal pengalaman itulah, saat Aksa lahir, saya berpikir saya tidak ingin pakai KB. Bukan karena apa-apa, ini lebih kepada kebutuhan praktis aja hahaha. Jadi untuk kehamilan kedua ini sebenarnya antara direncanakan atau tidak 😀 Karena jujur agak kaget juga (sekaligus senang) karena despite my condition, I can get pregnant again for the second time.

Jadi pada intinya, saya ingin berbagi bahwa we all have hope. Even in your darkest time and when you think it will not happen, insya Allah akan selalu ada jalan. Mungkin bagi saya, saya hanya butuh sedikit intervensi di awal. Juga ada yang membutuhkan intervensi medis lebih lama. But, don’t give up hope.

Hamil Kedua vs. Hamil Pertama

Memang yaa, rasanya nggak bisa dibandingin. Walaupun ada gejala yang sama, kehamilan yang sekarang kerasa banget bedanya sama waktu hamil Aksa dulu.

Sekarang saya merasa jauh lebih mual, dan mual itu terjadi antara waktu sore sampai malam hari. Jadi, kalau udah lewat jam empat sore, susah banget makan walaupun perut keroncongan 😓 Meskipun gitu, muntah-muntahnya jarang heboh sih. Kalau hamil Aksa dulu, saya nggak gitu mual, tapi juga nggak mau makan samsek. Jarang banget ngidam juga.

Sekarang masih mending ada nafsu makan, walaupun keinginannya aneh-aneh. Pernah suatu hari saya pengen banget minum Teh Botol dingin, padahal udah bertahun-tahun kayaknya nggak pernah minum. Sampe ditanyain Abang pas saya pesen, “Ini Teh Botol bonus apa gimana?”

Lalu, ada cerita juga suatu siang saya kepengen banget makan kurma. Saya sampe nanya ke Mama ada yang jualan gak di sekitar rumahnya, dan beneran dicariin ke tetangganya yang jualan, kemudian dikirim pakai ojol :”) pas nyampe rumah sih cuma dimakan dua biji hahaha. Kata Abang, “Itu namanya ngidam!” Aslik, saya kurang familiar banget sama ngidam ini karena dulu pas hamil Aksa nggak gini gini amat 🤣

Oh ya, yang bener-bener sama dari kehamilan pertama adalah saya kembali mengalami spotting. Di cerita ini saya nulis waktu hamil Aksa, saya sampai istirahat 3 minggu karena nggak boleh capek-capek. Dan kemudian ini kejadian lagi pas kehamilan kedua.


Makanya pas telat haid dan test pack positif, saya langsung ajak Abang ke SPOG untuk mengantisipasi dan dikasih penguat kandungan. Dan bener aja, beberapa hari kemudian, saya spotting :”) Saat cek dokter kedua kalinya, akhirnya dosisnya ditambah sama dokter. Mudah-mudahan dikuatkan yaa.

Bloody Show

Minggu pagi, 11 April 2021, tiba-tiba saya mengalami pendarahan. Berbeda dari sebelum-sebelumnya yang hanya flek, ini benar-benar darah segar. Saya akhirnya diantar ke IGD bersama Abang ke RS BMC Mayapada. Sebelumnya kami sempat mampir ke rumah Enin untuk nitipin Aksa, karena roman-romannya saya harus dirawat.

Sampai di IGD, saya langsung ditangani bidan. Dan untungnya pelayanannya cepet, jadi bidannya langsung telepon SPOG dan saya langsung diminta untuk rawat inap dan tes laboratorium. Bahkan di hari Minggu, dokternya bersedia datang untuk cek USG huhu terharu 😭

Sebelum masuk kamar rawat, tentu saja saya harus tes PCR, bersama dengan Abang yang juga harus ikut tes. Jadi saya nggak boleh digantiin jaga. Tahu nggak yang saya pikirkan apa? Tentu sajaa mikirin Aksa. Gimana tidurnya, makannya, mainnya, tanpa Ayah Mama huhu. Untungnya Enin meyakinkan that he’ll be fine. Jadi saya mencoba mengikhlaskan.

Malamnya, saya dipanggil ke poliklinik untuk cek USG dengan dokter. Sumpah diperiksanya lamaaaa banget. Dokternya ngeklik-klik alat USG berkali-kali tapi nggak ngomong apa-apa. Tegang banget lah itu hahaha.

Selesai pemeriksaan, akhirnya dokter bilang bahwa secara perkembangan, janinnya berkembang dengan baik. Katanya pendarahan terjadi karena ada pembekuan darah di rahim (hematoma). Entahlah kenapa itu bisa sampai terjadi, tapi dokter meyakinkan everything’s will be alright. Saat kontrol sebelumnya saat usia 6 minggu, saya masih dibilang abortus imminens (ancaman keguguran). Tapi melihat penyebabnya dan melihat perkembangan janin, dokternya memastikan bahwa faktor itu bisa disingkirkan. Alhamdulillah.

Walaupun saat ini saya sudah pulang dari RS, saya tetap harus bed rest sampai benar-benar bersih (tidak ada flek/darah). Jadi sudah seminggu ini saya tergeletak di atas kasur, kecuali me kamar mandi. Makan, minum, segala macam semua dari kasur! Hahaha.

Syukuri sajalah apapun yang terjadi. Insya Allah akan ada kemudahan ke depannya. Aamiin.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 16, 2021 18:12

April 3, 2021

Cerita Kehamilan Kedua

Yes, I’m pregnant with our second child! Alhamdulillah. Saat ini usia kandungan udah mau memasuki 10 minggu. Doakan kami sehat selalu, ya!

Hamil dengan PCOS

Teman-teman yang baca post saya dari dulu mungkin masih ingat bahwa saya hamil Aksa (anak pertama) menjelang satu tahun setengah usia pernikahan. Mungkin saya bisa dikatakan cukup beruntung, jika dibandingkan pasangan-pasangan lain yang menunggu jauh lebih lama. But it wasn’t an easy journey, either. Let’s not compare my experience to others because each experience is unique. Namun, dulu lumayan bikin kepikiran, terutama karena norma sosial yang menekan saya untuk segera memiliki anak tak lama setelah menikah 🥲

Jadi sebenarnya, kepikiran karena omongan orang untuk segera hamil lebih bikin saya stres hahaha. Jadi memasuki usia pernikahan lebih dari 6 bulan, saya dan Abang coba konsultasi ke dokter. Dari sanalah saya didiagnosis punya PCOS (please Google it!). Intinya, PCOS terjadi dikarenakan hormon androgen (hormon laki-laki) saya yang lebih tinggi dari semestinya yang bikin keseimbangan hormon di dalam tubuh jadi kacau. Makanya waktu itu saya kayak langsung ngeh kenapa saya jerawatan nggak hilang-hilang hahaha.

PCOS bisa hamil? Bisa! Memang kondisi ini gak ada obatnya (sejauh yang saya tahu), tapi bisa dikendalikan dengan menjaga pola makan, jaga kesehatan fisik dan mental, jaga berat badan ideal. Itu sih yang saya dapatkan dulu dari dokter yang mendiagnosis saya dengan PCOS.

Tapi memang, rencana Allah selalu indah. Saat justru saya dan Abang sudah mengikhlaskan kepada Yang Maha Kuasa, karena kami capek dan merasa ngejar ‘target’, a miracle happened. Saya hamil anak pertama justru saat saya sudah lepas vitamin dan konsultasi dokter. Saya merasa, saya terus berada di bawah pressure, tiap bulan kejar target, sampai akhirnya lelah sendiri. Dan justru saat saya sudah mengikhlaskan itulah, Allah memberikan jawaban.

Berbekal pengalaman itulah, saat Aksa lahir, saya berpikir saya tidak ingin pakai KB. Bukan karena apa-apa, ini lebih kepada kebutuhan praktis aja hahaha. Jadi untuk kehamilan kedua ini sebenarnya antara direncanakan atau tidak 😀 Karena jujur agak kaget juga (sekaligus senang) karena despite my condition, I can get pregnant again for the second time.

Jadi pada intinya, saya ingin berbagi bahwa we all have hope. Even in your darkest time and when you think it will not happen, insya Allah akan selalu ada jalan. Mungkin bagi saya, saya hanya butuh sedikit intervensi di awal. Juga ada yang membutuhkan intervensi medis lebih lama. But, don’t give up hope.

Hamil Kedua vs. Hamil Pertama

Memang yaa, rasanya nggak bisa dibandingin. Walaupun ada gejala yang sama, kehamilan yang sekarang kerasa banget bedanya sama waktu hamil Aksa dulu.

Sekarang saya merasa jauh lebih mual, dan mual itu terjadi antara waktu sore sampai malam hari. Jadi, kalau udah lewat jam empat sore, susah banget makan walaupun perut keroncongan 😓 Meskipun gitu, muntah-muntahnya nggak pernah heboh sih. So far cuma pernah 3x muntah heboh banget hahaha. Kalau hamil Aksa dulu, saya nggak gitu mual, tapi juga nggak mau makan samsek. Jarang banget ngidam juga.

Sekarang masih mending ada nafsu makan, walaupun keinginannya aneh-aneh. Pernah suatu hari saya pengen banget minum Teh Botol dingin, padahal udah bertahun-tahun kayaknya nggak pernah minum. Sampe ditanyain Abang pas saya pesen, “Ini Teh Botol bonus apa gimana?”

Lalu, ada cerita juga suatu siang saya kepengen banget makan kurma. Saya sampe nanya ke Mama ada yang jualan gak di sekitar rumahnya, dan beneran dicariin ke tetangganya yang jualan, kemudian dikirim pakai ojol :”) pas nyampe rumah sih cuma dimakan dua biji hahaha. Kata Abang, “Itu namanya ngidam!” Aslik, saya kurang familiar banget sama ngidam ini karena dulu pas hamil Aksa nggak gini gini amat 🤣

Oh ya, yang bener-bener sama dari kehamilan pertama adalah saya kembali mengalami spotting. Di cerita ini saya nulis waktu hamil Aksa, saya sampai istirahat 3 minggu karena nggak boleh capek-capek. Dan kemudian ini kejadian lagi pas kehamilan kedua.

Makanya pas telat haid dan test pack positif, saya langsung ajak Abang ke SPOG untuk mengantisipasi dan dikasih penguat kandungan. Dan bener aja, beberapa hari kemudian, saya spotting :”) Saat cek dokter kedua kalinya, akhirnya dosisnya ditambah sama dokter. Mudah-mudahan dikuatkan yaa. Kalau berbekal pengalaman dulu, semoga akan mulai mereda di minggu 10. Aamiinn.

Saya terbantu banget sebenernya (well, blessing in disguise) dengan kebijakan work from home, jadi saya bisa sering-sering rebahan kalau udah merasa capek. Beberapa kali saya sempat izin juga karena memang harus total bed rest. Dan ternyata, memang salah satu faktornya adalah stres juga. Jadi pas saya istirahat dan bener-bener nggak mikirin soal kerjaan, baru lah fleknya berhenti. Jadi memang harus pintar-pintar mengontrol stres sih.

Jadi begitulah cerita awal kehamilan kedua ini. Doakan lancar selalu, ya!

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 03, 2021 00:32

January 30, 2021

Bagaimana Rasanya Dirawat saat Pandemi?

Hai hai, apa kabar semuanya? Semoga sehat-sehat selalu ya. Apalagi di masa pandemi gini, semoga kita semua selalu dilimpahkan kesehatan, dan dijauhkan dari berbagai penyakit. Amin.

Mau cerita, nih. Di akhir Desember 2020 lalu, tepatnya di tanggal 21 Desember, saya dirawat di rumah sakit karena kena demam berdarah. Setelah 9 bulan lebih menghindari keluar rumah, akhirnya saya harus keluar rumah juga, dan ke… rumah sakit. 😂

Gimana rasanya dirawat saat pandemi? Parno, riweuh, sedih…, pastinya. Tapi Alhamdulillah semua itu udah berlalu sekarang.

Gimana ceritanya saya bisa kena DBD? Saya juga nggak tahu. Namanya musim pancaroba gini, memang lagi banyak penyakit sepertinya ya. Saya juga setelah lapor RT, ternyata ada 3 orang lainnya di RT saya yang kena DBD dan harus dirawat di rumah sakit. Huhuhu.

Ceritanya bermula pada hari Minggu, 20 Desember 2020 lalu. Saya terbangun dengan kepala nyut-nyutan dan badan sakit-sakit. Saya pikir saya masuk angin karena malamnya pasang AC kipasnya di-swing. Jadi saya tetap beraktivitas (di rumah) seperti biasa. Makin siang, kok rasanya makin lemas. Akhirnya saya coba tidur lagi sebentar. Sekitar jam makan siang, badan saya makin nggak enak, setelah dicek ternyata udah 38.6 derajat Celcius! Saya coba minum paracetamol, nggak ada perubahan juga.

Waktu itu saya lagi nginep di rumah orang tua, dan Aksa pun lagi agak rewel. Jadi yasudahlah kami memutuskan untuk pulang, padahal rencananya mau nginep semalam lagi. Karena saking lemasnya, saya minta Mama saya untuk ikut nginep di rumah, karena Umi (pengasuhnya Aksa) kalau weekend libur.

Long story short, demam saya nggak kunjung turun, malah semakin naik walaupun udah minum obat. Puncaknya, jam 4 pagi saya terbangun dengan suhu 40 derajat Celcius. Langsunglah Abang bangunin Mama, dan nyokap ngabarin bokap di rumahnya untuk segera datang. Abang udah siap-siap bawa baju saya dan dia kalau-kalau saya harus dirawat, juga siapin peralatannya Aksa karena mau diungsiin.

This is the most heartbroken moment, sih. Saya ngerasa nggak berdaya banget lihat Aksa bangun pagi-pagi, disuruh main sendiri, lalu dibawain tas dan dibawa eyang-eyangnya pergi di pagi buta. Kalau inget momen itu rasanya masih sediiih. Oh ya, Aksa diungsiin bukan ke rumah orang tua saya, melainkan ke rumah Mamanya Abang. Di rumah Enin (Mamanya Abang), Aksa lebih nyaman karena kenal sama Teteh ART-nya, Umi juga cukup akrab sama dia. Jadi Senin pagi itu Umi disuruh langsung datang ke rumah Enin. Jadi at least Aksa aman bersama Enin dan ada dua bala bantuan.

Setelah urusan Aksa selesai, saya dan Abang berangkat ke IGD. Pilihan terdekat adalah ke RS EMC Sentul. Selama pandemi, saya termasuk orang yang nggak pernah pergi ke mana-mana. Saya kerja dari rumah udah hampir setahun; kehidupan sosial saya juga sekarang cuma terbatas ke rumah keluarga inti aja, entah adik, kakak, atau orang tua. Jadi bener-bener ngerasa nervous banget pergi ke tempat publik, rumah sakit pulak.

Begitu masuk IGD, saya ditanya keluhannya. Setelah saya bilang demam, perawatnya langsung ganti masker N95 😄 Kemudian seperti biasalah saya ditanya keluhan, cek tensi dan suhu. Lalu kata perawatnya, dari ciri-cirinya saya mengalami gejala DBD. Jadi mereka saranin saya untuk cek darah. Yawislah.

Sekitar satu jam nunggu, benarlah hasil cek lab menunjukkan saya positif DBD dan harus dirawat. Perawatnya bilang, saya booking kamar dulu, lalu tes PCR sebelum bisa masuk ruangan. Tapiii ternyata, kamar rawat semua penuh, Saudara-saudara. Jadi percayalah, saat ini semua RS di mana-mana memang penuh. Dan ingatlah kalau Covid-19 bukan satu-satunya penyakit. Jadi, orang yang sakit lain, mau melahirkan, mau operasi, semuanya jadi sama-sama “rebutan” perawatan.

Karena kamar penuh, kami akhirnya minta rujukan ke PMI karena bisa pakai BPJS. Di PMI, lagi-lagi saya masuk IGD dulu sebelum bisa masuk kamar perawatan. Anyway, di sini lebih ‘ngeri’ karena dokternya pakai APD lengkap di IGD. Saya jadi merinding disko juga kan, mana ruangan IGD tertutup dan banyak orang.

Di sini, prosedurnya mirip seperti di EMC. Cuma kalau di PMI, saya diwajibkan rapid test dan rontgen paru-paru. Dan tahukah Anda, bahwa IGD di PMI ini penuhhhh. Hampir tiap jam ada pasien baru datang, dan kanan, kiri dan depan saya penuh sama bed pasien. Sakit dan keluhannya apa, saya nggak tahu. Makanya saya berusaha sebisa mungkin untuk nggak makan minum agar nggak perlu buka masker, nggak pegang apapun selain barang pribadi, dan nggak pakai toilet.

Dari jam 9 pagi di IGD, saya menunggu sampai jam setengah 2 untuk bisa pindah ke kamar rawat. Rasanya pengen nangis, pengen tidur, pengen pulang, kangen anak, semua bercampur jadi satu. Sakit yang dirasain mungkin nggak seberapa ya, tapi cemas dan stresnya itu luar biasa banget. Tapi tentu saya paham bahwa semua RS pasti punya prosedur serupa. Toh ini demi kebaikan bersama.

Sekitar jam setengah 2 siang, akhirnya saya pindah ruangan. Saya sengaja minta ruangan yang sendiri karena lebih aman, dan agar lebih tenang aja istirahatnya. Paviliun tempat saya dirawat nggak se-hectic sewaktu di IGD. Jadi saya lumayan lega juga. Perawatnya juga nggak pakai APD seketat sebagaimana waktu di IGD.

Di ruang rawat, saya cuma boleh dijagain satu pendamping. Dan kalau mau gantian jaga, nggak boleh di dalam RS-nya, harus janjian di luar gedung. Jadi setiap hari biasanya saya didampingi Abang dari pagi sampai sore, malamnya antara ditemenin Mama saya atau Umi. Karena Aksa butuh ayahnya kalau tidur, jadi kalau malam, saya nggak bisa dijagain Abang. Oh ya, dan tentu saja saya nggak boleh ditengokin siapa-siapa. Jadi teman-teman saya cuma bisa ngirimin makanan, atau nganterin sampai depan lobi, lalu diambilin sama yang jaga.

Yang paling bikin sedih tentu aja nggak bisa ketemu Aksa sama sekali T__T

Ini pertama kalinya saya berjauhan lama dari Aksa, selama enam hari lima malam. Bener ya, rasanya kangen anak itu bikin sesek banget. Jadi ngebayangin, apa orang tua saya juga suka merasakan hal yang sama kalau saya lagi berjauhan sama mereka? Huhu jadi sedih lagi.

Selama dirawat, pokoknya saya fokus agar cepat sembuh, cepat pulang, cepat ketemu Aksa. Nggak ada hal-hal lain yang berbeda sih ketika di kamar rawat. Kecuali kalau ada perawat, dokter, atau petugas lain datang, saya wajib pakai masker. Cuci tangan udah jelas makin sering, berkali-kali sampai kulit tangan saya mengelupas wkwkwk.

Di hari Sabtu, 26 Desember, akhirnya saya boleh pulang. Yayyy!! Beneran deh, rasanya bahagia banget. Pulang ke rumah (setelah mandi dan keramas), saya langsung kangen-kangenan dan pelukan sama Aksa. Mungkin dengan cara ini kali ya saya diingatkan sama Allah untuk selalu bersyukur dan ingat pada-Nya. Meskipun saat ini hidup saya cuma di rumah aja dan (like everybody else) menghadapi masa-masa sulit pandemi, setidaknya saya selalu bersama dengan orang-orang yang disayangi, dan kami semua sehat, aman, tentram. I really couldn’t ask for more.

Featured image from here.

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on January 30, 2021 08:26

Fadilla Putri's Blog

Fadilla Putri
Fadilla Putri isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Fadilla Putri's blog with rss.