Bung Karno Quotes
Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
by
Sukarno1,593 ratings, 4.33 average rating, 153 reviews
Bung Karno Quotes
Showing 1-30 of 167
“Kalau aku memarahimu, itu berarti aku mencintaimu. Aku melampiaskan marahku kepada orang-orang terdekat dan paling kusayangi. Ibaratnya merekalah papan peredam suaraku.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Ir. Soekarno, ijazah ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi, ingatlah, bahwa satu-satunya hal abadi adalah karakter dari seseorang. Kenangan terhadap karakter itu akan tetap hidup, sekalipun dia mati.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pergunakan pengetahuanmu untuk diamalkan - Swarni Vivekananda”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Sebuah otobiografi tak berbeda dengan pembedahan mental. Sangat sakit. Melepas plester pembalut luka-luka dari ingatan seseorang dan membuka luka-luka itu, banyak diantaranya yang mulai sembuh terasa perih.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“...orang Bali mempunjai kepertjajaan... kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakjat telah melakukan maksiat.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Aku telah memperhatikan, kalau engkau membelah dada seseorang (laki-laki) termasuk aku sendiri maka akan terbatja dalam dadanja itu bahwa kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tertjapai apabila si isteri merupakan perpaduan dari pada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan. Aku ingin di ibui oleh teman hidupku. Kalau aku pilek, aku ingin dipidjitnja. Kalau aku lapar, aku ingin memakan makanan jang dimasaknja sendiri. Manakala badjuku kojak, aku ingin isteriku menambalnja.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Bukankah hubungan internasional itu adalah hubungan antar manusia dalam skala yang lebih besar?”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Terpikir olehku, bila Sang Penyelamat dari Indonesia berniat membebaskan rakyatnya, haruslah ia dapat menyelamatkan dirinya sendiri lebih dulu.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Engkau tahu apa artinya Indonesia? Indonesia adalah pohon yang kuat dan indah itu. Indinesia adalah langit yangbiru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang bergerak pelan itu. Ia adalah udara yang hangat.
Saudara-saudaraku yang tercinta, laut yang menderu-deru memukul-mukul ke pantai di waktu senja, bagiku adalah jiwanya Indonesia yang bergolak dalam gemuruhnya gelombang samudera. Bila kudengar anak-anak tertawa, aku mendengar Indinesia. Bila aku menghirup untaian bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah air kita bagiku.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
Saudara-saudaraku yang tercinta, laut yang menderu-deru memukul-mukul ke pantai di waktu senja, bagiku adalah jiwanya Indonesia yang bergolak dalam gemuruhnya gelombang samudera. Bila kudengar anak-anak tertawa, aku mendengar Indinesia. Bila aku menghirup untaian bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah air kita bagiku.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Maaf, Bapak-Bapak. Aku adalah pemberontak dan akan selalu memberontak. Aku tidak mau didikte di hari pernikahanku.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Aku boleh saja dianggap tukang bercinta, tetapi aku bukanlah pembunuh seorang gadis remaja.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Rakyat kecil.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Begini. Sebuah otobiografi tidak ada nilainya, kecuali jika si penulis merasa kehidupannya tidak berguna. Kalau dia memganggap dirinya orang besar, karyanya akan menjadi subjektif. Tidak objektif. Otobiografiku hanya mungkin jika ada keseimbangan antara keduanya. Sekian banyak yang baik-baik supaya dapat mengurangi egoku dan sekian banyak yang jelek-jelek sehingga orang mau membeli buku itu. Kalau dimasukkan yang baik-baik saja, orang akan menyebutku egois, karena memuji diri sendiri. Sebaliknya memasukkan yang jelek-jelek saja akan menimbulkan suasana mental yang buruk bagi rakyatku sendiri. Hanya setelah mati dunia ini dapat menimbang dengan jujur, apakah Sukarno manusia yang baik ataukah manusia yang buruk? Hanya di saat itulah dia baru dapat diadili.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Anda tidak bisa menemui semua orang di seluruh dunia secara pribadi, tetapi Anda bisa menemui mereka lewat halaman-halaman buku. Anda adalah ahli pidato terbesar setelah William Jennings Bryan. Anda menawan hati jutaan pendengar di lapangan terbuka. Mengapa tidak berusaha mencapai jumlah pendengar yang lebih besar lagi?”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Bagaimana aku bisa mengetahui apa yang akan terjadi terhadap diriku? Siapa yang dapat menceritakan bagaimana kehidupanku di masa depan? Itulah sebabnya aku selalu menolak hal ini, karena aku yakin bahwa buruk-baiknya kehidupan seseorang hanya dapat dinilai setelah dia mati.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Sering kali aku duduk di beranda Istana Merdeka, seorang diri. Beranda itu tidak begitu bagus. Separuh tertutup awning untuk mengurangi panas dan sinar matahari, satu-satunya perabotannya adalah kursi rotan tanpa kain pelapis yang tidak dicat dan meja bertaplak kain batik bikinan negeriku. Satu-satunya hak khusus yang diberikan padaku karena jabatanku yang tinggi adalah sebuah kursi dengan bantal di atasnya. Itulah yang disebut dengan "Kursi Presiden". Dan aku duduk di sana. Dan menatap. Dan memandang keluar ke taman indah dan menyegarkan, yang tanamannya kuatur dengan tanganku sendiri. Dan aku merasa sangat kesepian.
Aku ingin berbaur dengan rakyat. Itulah yanh menjadi sifatku. Tetapi sekarang aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Sering aku merasa tercekik, napasku mau berhenti, apabila aku tidak bisa pergi keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
Aku ingin berbaur dengan rakyat. Itulah yanh menjadi sifatku. Tetapi sekarang aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Sering aku merasa tercekik, napasku mau berhenti, apabila aku tidak bisa pergi keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Seorang diktaktor memiliki suatu partai di belakangnya yang selalu siap mengambil kekuasaan. Sukarno tidak punya. Sukarno tidak memiliki organisasi yang mendukungnya. Seorang diktaktor memerintah dari tahtanya. Soekarno tidak berada di tengah rakyat. Sukarno adalah rakyat.
Tidak, kawan, aku bukan Hitler. Jika benar bahwa seorang pemimpin yang dikaruniai daya tarik dan wibawa untuk menggerakkan orang banyak itu seorang diktaktor, biarlah dikatakan aku seorang diktaktor yang berbuat kebajikan.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
Tidak, kawan, aku bukan Hitler. Jika benar bahwa seorang pemimpin yang dikaruniai daya tarik dan wibawa untuk menggerakkan orang banyak itu seorang diktaktor, biarlah dikatakan aku seorang diktaktor yang berbuat kebajikan.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Demokrasi Indonesia, yang banyak disalahpahami di luar negeri kami, didasarkan pada prinsip mufakat, bukan pada jumlah suara. Kami tidak lagi memakai sistem demokrasi Barat ini yang didasarkan atas suara terbanyak, dimana 51 persen suara berhak untuk menang sementara yang 49 persen menggerutu. Sebagaimana yang telah kami alami dengan 40 partai politik, golongan yang tidak puas membalas dengan menghantam lawannya. Ini adalah jalan yang baik bagi suatu bangsa yang masih muda ubtuk menghadapi perkembangannya sendiri.
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi Indonesi di atas mana Undang-Undang Dasar '45 disusun, aku menyarankan musyawarah untuk mufakat, suatu modus operandi yang asli dari suku-suku bangsa Indonesia. Selama beribu-ribu tahun para kepala desa dari Kepulauan Indonesia menjalankan pemerintahan dengan duduk bersama di sebuah dewan, dimana setiap suku itu mengajukan masalahnya melalui alasan-alasan yang menyakinkan. Setelah itu, salah seorang akan berkata, "Alasan saudara memang baik, tetapi aku tetap berfikir lebih baik begini." Yang lain berkata "Saya tidak sepenuhnya setuju, tapi memang ada beberapa hal yang baik dari pendapat Saudara itu." Musyawarah selanjutnya mengambil dari sini dan sana, itulah akhirnya yang disebut mufakat. Singkat kata, setiap orang menyumbangkan suatu pemikiran.
Dalam Demokrasi Terpimpin yang menjadi unsur kunci adalah kepemimpinan. Setelah mendengarkan pandangan umum dan pandangan yang menentang, pemimpun rapat menyimpulkan pokok-pokok yang dibahas menjadi satu keputusan yang disetujui setiap pihak. Tidak ada pihak yang menang secara mutlak dengan menyingkirkan pihak lain. Hanya kepemimpjnan yang kuat yang mampu memadukan keputusan terakhir, kalau tidak demikian sistem ini tidak akan berjalan.
Sang Pemimpin, apakah dia seorang kepala desa, apakah dia Bung Karno, ataukah dia seorang menteri yang berwibawa, menggabungkan sejumlah pendapat si anu, ditambah sedikit pendapat si polan, dengan selalu memperhatikan untuk menggabungkan berbagai pendapat yang berlawanan. Kemudian dia menyajikan hasil terakhirnya dan berkata, "Baiklah, Saudara-saudara, beginilah jadinya dan saya harap saudara semua setuju..." Ini tetap demokratis, karena setiap orang memberikan pendapatnya. Mengatakan hal ini sebagai sistem komunistis, jelas sangat menggelikan.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi Indonesi di atas mana Undang-Undang Dasar '45 disusun, aku menyarankan musyawarah untuk mufakat, suatu modus operandi yang asli dari suku-suku bangsa Indonesia. Selama beribu-ribu tahun para kepala desa dari Kepulauan Indonesia menjalankan pemerintahan dengan duduk bersama di sebuah dewan, dimana setiap suku itu mengajukan masalahnya melalui alasan-alasan yang menyakinkan. Setelah itu, salah seorang akan berkata, "Alasan saudara memang baik, tetapi aku tetap berfikir lebih baik begini." Yang lain berkata "Saya tidak sepenuhnya setuju, tapi memang ada beberapa hal yang baik dari pendapat Saudara itu." Musyawarah selanjutnya mengambil dari sini dan sana, itulah akhirnya yang disebut mufakat. Singkat kata, setiap orang menyumbangkan suatu pemikiran.
Dalam Demokrasi Terpimpin yang menjadi unsur kunci adalah kepemimpinan. Setelah mendengarkan pandangan umum dan pandangan yang menentang, pemimpun rapat menyimpulkan pokok-pokok yang dibahas menjadi satu keputusan yang disetujui setiap pihak. Tidak ada pihak yang menang secara mutlak dengan menyingkirkan pihak lain. Hanya kepemimpjnan yang kuat yang mampu memadukan keputusan terakhir, kalau tidak demikian sistem ini tidak akan berjalan.
Sang Pemimpin, apakah dia seorang kepala desa, apakah dia Bung Karno, ataukah dia seorang menteri yang berwibawa, menggabungkan sejumlah pendapat si anu, ditambah sedikit pendapat si polan, dengan selalu memperhatikan untuk menggabungkan berbagai pendapat yang berlawanan. Kemudian dia menyajikan hasil terakhirnya dan berkata, "Baiklah, Saudara-saudara, beginilah jadinya dan saya harap saudara semua setuju..." Ini tetap demokratis, karena setiap orang memberikan pendapatnya. Mengatakan hal ini sebagai sistem komunistis, jelas sangat menggelikan.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Aku perintahkan kepadamu untuk menyebar tentara ke desa-desa. Isilah seluruh lembah dan bukit. Tempatkan anak buahmu di setiap semak belukar. Ini adalah perang gerilya total 100 persen. Sekalipun kita harus kembali melakukan amputasi tanpa obat bius dan mempergunakan daun pisang sebagai perban, jangan biarkan dunia berkata kemerdekaan kita dihadiahkan dari dalam tas seorang diplomat. Perlihatkan kepada dunia bahwa kita membeli kemerdekaan itu dengan mahal, dengan darah, dengan keringat dan tekad yang tak kunjung padam.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“INI. Ini leherku boleh potong... hayo, boleh penggal kepalaku... kalian bisa membunuhku .... tapi aku tidak pernah mau mengambil resiko untuk melakukan pertumpahan darah yang sia-sia, hanya karena kalian hendak melakukan sesuatu menurut kemauan kalian.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Aku telah melakukan kesalahan dalam hidupku. Di masa silam aku telah mengakuinya dan pengakuan itu menimbulkan kekuatan. Tetapi keberanian dari seseorang terletak pada keyakinannya bahwa dia telah bertindak benar. Aku tidak akan hidup, jika tidak yakin dengan kuat dan pasti, bahwa apa yang kukerjakan waktu itu adalah benar. Kalau tidak begitu aku merupakan orang yang lemah.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Aku bagai seekor burung elang yang dipotong sayapnya. Setiap kali Inggit memandangiku, setiap kali pula darah menetes dari urat darahnya. Memang terasa lebih berat melihat orang yang kau cintai menghadapi penderitaan daripada bila kau mengalami sendiri penderitaan itu.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Bung Karno, besok aku akan digantung. Aku meninggalkan dunia yang fana ini dengan hati gembira, pergi ke tiang gantungan dengan keyakinan dan kekuatan batin karena aku tahu Bung Karno akan melanjutkan perjuangan ini yang juga merupakan peperangan kami. Teruslah berjuang Bung Karno, balikkan perjuangan sejarah untuk semua kami yang sudah pergi mendahului sebelum perjuangan itu selesai" - Seorang Pejuang Kemerdekaan Yang Digantung Di Ciamis Melalui Surat Yang Diselundupkan Kepada Bung Karno”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Banyak orang yang berkaki telanjang, tetapi mereka bukan orang yang revolusioner. Banyak orang berpangkat tinggi memakai sarung, tapi mereka bekerja sepenuh hati untuk penjajah. Jadi yang menandakan seseorang itu revolusioner adalah perjuangan yang dilakukannya. Kita adalah sepasukan tentara saudara-saudara.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Tuan-Tuan, aku tidak ingin disebut seorang veteran. Sampai masuk ke liang kubur aku ingin menjadi pejuang ubtuk Republik Indonesia - Dr. Douwes Dekker”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Aku pergi tidur dengan pikiran untuk merdeka. Aku bangun dengan pikiran untuk merdeka. Dan aku akan mati dengan cita-cita ini di dalam dadaku.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Makahan waktu itu nasibku adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Karno, di atas segalanya engkau harus mencintai ibumu. Tapi berikutnya engkau harus mencintai rakyat kecil. Engkau harus mencintai umat manusia.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
“Sekalipun dililit oleh rumput-rumput kemelaratan, bunga-bunga kasih sayang tetap mengelilingiku. Aku akhirnya menyadari bahwa kasih sayang menghapus segala yang buruk. Hasrat untuk mencintai telah menjadi salah satu kekuatan pendorong dalam hidupku.”
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
― Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
