Ibuk, Quotes

Rate this book
Clear rating
Ibuk, Ibuk, by Iwan Setyawan
1,903 ratings, 3.87 average rating, 297 reviews
Ibuk, Quotes Showing 1-30 of 86
“Hidup adalah perjalanan untuk membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan membuat sebuah rumah indah.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
tags: home
“Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat”
Iwan Setyawan, Ibuk,
tags: ibu
“Rasa cinta itu kadang semakin jernih ketika kita harus terpisah. Rasa cinta itu bisa tumbuh subur di tempat yang asing dan jauh. Rasa cinta itu tumbuh lewat jalan yang berliku, lewat kegelapan dan air mata. Rasa cinta yang seperti itu sejatinya akan menjadikan kita kuat.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Mencintai tidak bisa menunggu.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Kadang perpisahan bisa membuat mata kita menjadi segar lewat air mata, hati menjadi peka lewat gelombang besar yang menerpa, dan menumbuhkan cinta yang lebih besar lewat orang-orang yang menyentuh hidup kita. Hidup semakin luas.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Aku menulis untuk membaca kehidupan. Aku menulis untuk berkaca. Aku menulis untuk melepaskan air mata. Aku menulis untuk menjadikanku manusia. Aku menulis untuk membunuh malam. Aku menulis untuk memaknai hidup. Aku menulis untuk bersyukur. Aku menulis karena menulis menyembuhkan. Aku menulis untuk merapikan masa lalu. Aku menulis karena kata-kata bisa menguatkan. Aku menulis untuk menggali hati nurani.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Menulis pun kadang bisa menusuk ulu hati seperti sekarang ini. Membuat detik-detik waktu yang berjalan di masa lalu berdetak lebih kencang. Lonceng waktu seakan berdentang kembali, membangunkan kesadaran dengan keras.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Tak ada janji yang terungkap dari mulut mereka. Tapi hati mereka telah berikrar untuk mencintai satu sama lain, dengan sederhana. Mereka tidak saling memberikan harapan tapi mereka akan memperkuat satu sama lain.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Ah, sampai di sini, mungkin kau akan bertanya siapa diriku. Tapi apa perlunya kau tahu? Aku hanya bagian kecil dari cerita ini. Aku hanya seseorang yang berusaha mencatat sedikit kenangan agar tak hilang begitu saja ditelan zaman. Jika suatu peristiwa telah pergi, kau tahu, ia tak akan hilang begitu saja. Jika dulu ada tawa, gaungnya masih bisa masih bisa kau dengar di sana. Jika dulu ada air mata, kau masih bisa membasuhnya dengan tanganmu di sana, sekarang. Jika aku mati, kenangan itu akan hidup.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Kehilangan itu bisa datang tiba-tiba. Kapan saja. Kehilangan itu, menggetarkan hidup.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Dalam Genggamanmu, Ibuk

Buku baru. Sepatu baru. Sekolah baru
Untuk anak-anakmu
Agar mereka merekah

Kau bangun jembatan agar mereka tak melalui kali yang keruh
Kau gendong jiwa mereka agar selalu hangat
Kau nyalakan lentera hati mereka...

Malam minggu kemarin. Kau tak hanya berjanji.
Kau berikan napasmu
Kau genggam anak-anakmu. Kau genggam erat.
Di tanganmu yang halus, kau pastikan
Mereka tidak terjatuh...”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Kebahagiaan akan terasa lebih manis, lewat sebuah perjuangan yang sepenuh hati.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Ah, kematian memang misteri. Bisa datang di mana saja, kapan saja. Jika bisa memaknai setiap napas hidup, kematian hanyalah sebuah lonceng untuk waktu yang telah tiada.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Nah... Kamu mau gak hidup susah sama aku. Kita, hidup berdua...," lanjutnya terbata-bata.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Aku menulis untuk orang-orang yang telah menyentuh hatiku, kehangatan keluarga yang telah menghangatkan hidupku, serta alam sekitar yang menyegarkan perjalanan ini. Tulisanku mencoba menangkap kenangan agar mereka tidak menguap begitu saja. Aku menulis sebelum kenangan jatuh dari ingatan. Aku menulis untuk menangkap kenangan yang mungkin tak akan mampu tersimpan dalam memoriku. Sebelum diriku usang dan menghilang.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Melahirkan itu seperti berdiri di ambang batas kehidupan dan kematian.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Bau bayi itu menyembuhkan, kata Ibuk.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Belahan jiwa, belahan hidup.
Belahan jiwa yang saling menghidupkan.
Belahan jiwa yang saling merawat.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Ketika Ibuk menikah, ia dan Bapak hanya berbekal keberanian untuk menjalani hidup bersama. Mereka tidak memiliki perencanaan bagaimana membesarkan anak, di mana mereka akan tidur kelak, apalagi tentang gizi atau pendidikan. Sama sekali tidak terbersit di benak mereka.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Dari kejauhan, aku menemukan diriku. Aku menemukan sedikit makna perjuangan hidup yang pernah kutakuti. Di luar sana, aku mencoba menembus batas ketakutan.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Tak ada foto tapi kenangan itu melekat erat.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Lewat tulisan ini juga, aku ingin kembali berkaca. Sudah jernihkah cintaku untuk orang-orang yang telah menguatkan perjalanan hidup ini?”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Aku ingin menulis ini untuk Ibuk, Bapak, dan perjuangan mereka yang kokoh. Tangan kuat mereka telah membawa anak-anaknya ke tempat yang lebih indah.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Selesai sudah kubungkus kenangan itu. Tak semua memang karena ingatan ini kadang keruh dan tak bisa tajam membelah-belah masa lalu yang panjang.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Peristiwa itu mengingatkan kembali bahwa maut itu bisa datang kapan saja, di mana saja. Bisa jadi ketika jauh dari orang-orang yang kita cintai. Tanpa berpamitan dulu.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Cintanya melahirkan tekad untuk kehidupan yang lebih baik, untuk anak-anaknya. Agar anak-anaknya tidak melalui jalan hidup yang sama dengan jalan hidup yang telah ia lalui dahulu.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Nduk, sekolah nang SMP iku mesti. Koen kudu sekolah. Uripmu cek gak soro koyok aku, Nduk! Aku gak lulus SD. Gak iso opo-opo. Aku mek iso masak tok. Ojo koyok aku yo Nduk! Cukup aku ae sing gak sekolah...," kata Ibuk.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Ya, seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat! Buatlah pijakanmu kuat. Kita beli sepatu baru kalau ada rejeki," hibur Ibuk.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Cintanya, terbisikkan lewat nasi goreng terasi. Lewat tatapan mata yang syahdu. Lewat daster batik usangnya. Ah, begitu perkasa. Lima buah hati di tangan satu perempuan yang penuh cinta dan ketulusan.”
Iwan Setyawan, Ibuk,
“Ibuk melalui hidup sebagai perjuangan. Tidak melihatnya sebagai penderitaan.”
Iwan Setyawan, Ibuk,

« previous 1 3