Anatomis Quotes
Quotes tagged as "anatomis"
Showing 1-1 of 1
“KISAH KAKTUS
(Dalam 6 Fragmentarium)
1. Fragmentarium Patah — Reruntuhan Melekat di Kulit Hijau
Kaktus tumbuh dari retakan
yang tidak pernah kita selesaikan.
Tubuhnya menyimpan
bekas-bekas gerak pecah:
duri sebagai kalimat yang patah,
bulu halus sebagai notulen
dari luka yang pernah tertunda.
Di pondok itu
waktu rebah dalam bentuk geometri rusak—
segitiga yang hilang satu sisi,
kotak yang kehilangan dinding.
Kaktus tidak mengenal kesedihan.
Tetapi setiap pagi
aku menemukan serpih hening
menempel di batangnya,
seperti ingatan yang gagal kembali
ke tubuh manusia.
2. Fragmentarium Gelap — Litani yang Bernafas dalam Kabut Hitam
Kabut menebal.
Mengubur halaman sajak
dengan logika yang tak ingin diingat.
Nenek itu datang,
menanam senja di ketiak kaktus,
menusuk dengan jarinya
seolah membuka pintu rahasia
yang sembunyi di antara lipatan
kulit hijau mengeras.
Dari ketiak itulah
waktu keluar:
hitam, pekat,
berbau dingin
seperti logam tua.
Orang-orang datang,
menjejali ruangan
dengan benda yang tak meminta dikasihi—
tembuni, seruling,
vas, cangkang,
kaos kaki basah.
Semua bergerak
di bawah cahaya gelap
yang memanjat batang kaktus
seperti doa yang tersesat.
3. Fragmentarium Dingin — Anatomi Luka yang Tidak Menginginkan Kehangatan
Cahaya masuk
lewat genting pecah.
Ia mengenai pot keramik,
dan gelas bening
menyimpan dinginnya
seperti rahim yang menolak
janin takdir.
Kaktus melihat bulan
dikunyah anjing
di pagi gerimis—
peristiwa itu menetes
ke dalam memori hijau
yang belum tahu arah.
Sebelum arti datang,
dingin menata dirinya
di jantung kaktus.
Ketika duri dicabut,
bukan darah yang jatuh,
melainkan partikel sepi
yang bergetar
seperti denting logam
di ruang operasi.
4. Fragmentarium Klinis — Manual Bedah dari Tubuh yang Tidak Mengerti Diri Sendiri
Setiap duri adalah instruksi.
Setiap bulu halus adalah catatan diagnostik.
Kaktus:
organ penyimpan air,
organ pengukur waktu,
organ yang mengganti fungsi rasa
dengan kalkulasi ketahanan.
Nenek itu memetik waktu
dari lipatan keriputnya—
gestur itu klinis,
seperti meraba denyut pasien
yang tidak ingin hidup
dan tidak ingin mati.
Waktu:
objek, bukan cerita.
Unit, bukan luka.
Sampai suara mikrofon pecah
di mulutnya,
memecahkan halaman sajak
menjadi angka-angka
yang tidak merindukan makna.
5. Fragmentarium Sunyi — Rongga yang Menghindari Semua Nama
Kaktus adalah rongga.
Yang tumbuh hanyalah sunyi.
Di tubuhnya
tidak ada kata yang menetap.
Hanya gema yang datang,
menyentuh sejenak,
lalu melesap
ke dalam dinding pondok
yang tidak mencatat siapa pun.
Bayangan duduk di sofa merah
dan tidak berkata apa-apa.
Bulan ikut duduk,
lebih diam dari bayangan itu.
Kaktus tidak memahami kesedihan.
Tetapi ia mengerti
betapa sunyi dapat menyamar
menjadi cahaya,
betapa cahaya dapat menyamar
menjadi air mata
yang tidak pernah menetes.
6. Fragmentarium Kosmologis — Topologi Duri, Cahaya, dan Takdir yang Melengkung
Kaktus meminum cahaya
dan menemukan bahwa kosmos
bukan langit di luar pondok,
melainkan ruang kecil
dalam jantungnya sendiri.
Duri adalah orbit.
Bayangan adalah rotasi lambat
dari waktu yang berbiak.
Ketika cahaya jatuh ke gelas,
kaktus melihat dirinya
sebagai serpih bintang
yang gagal meletus.
Ia meneguknya—
cahaya turun
seperti gravitasi retak.
Dan tiba-tiba ia paham:
rasa sakit
bukan milik tubuh,
melainkan milik semesta
yang menunda kelahiran.
Kaktus pun menyala,
dengan cara yang hampir tidak terlihat:
sebuah bintang hijau
yang memilih berputar
di dalam sumsum
tanpa memohon
untuk ditemukan.
Desember 2025”
―
(Dalam 6 Fragmentarium)
1. Fragmentarium Patah — Reruntuhan Melekat di Kulit Hijau
Kaktus tumbuh dari retakan
yang tidak pernah kita selesaikan.
Tubuhnya menyimpan
bekas-bekas gerak pecah:
duri sebagai kalimat yang patah,
bulu halus sebagai notulen
dari luka yang pernah tertunda.
Di pondok itu
waktu rebah dalam bentuk geometri rusak—
segitiga yang hilang satu sisi,
kotak yang kehilangan dinding.
Kaktus tidak mengenal kesedihan.
Tetapi setiap pagi
aku menemukan serpih hening
menempel di batangnya,
seperti ingatan yang gagal kembali
ke tubuh manusia.
2. Fragmentarium Gelap — Litani yang Bernafas dalam Kabut Hitam
Kabut menebal.
Mengubur halaman sajak
dengan logika yang tak ingin diingat.
Nenek itu datang,
menanam senja di ketiak kaktus,
menusuk dengan jarinya
seolah membuka pintu rahasia
yang sembunyi di antara lipatan
kulit hijau mengeras.
Dari ketiak itulah
waktu keluar:
hitam, pekat,
berbau dingin
seperti logam tua.
Orang-orang datang,
menjejali ruangan
dengan benda yang tak meminta dikasihi—
tembuni, seruling,
vas, cangkang,
kaos kaki basah.
Semua bergerak
di bawah cahaya gelap
yang memanjat batang kaktus
seperti doa yang tersesat.
3. Fragmentarium Dingin — Anatomi Luka yang Tidak Menginginkan Kehangatan
Cahaya masuk
lewat genting pecah.
Ia mengenai pot keramik,
dan gelas bening
menyimpan dinginnya
seperti rahim yang menolak
janin takdir.
Kaktus melihat bulan
dikunyah anjing
di pagi gerimis—
peristiwa itu menetes
ke dalam memori hijau
yang belum tahu arah.
Sebelum arti datang,
dingin menata dirinya
di jantung kaktus.
Ketika duri dicabut,
bukan darah yang jatuh,
melainkan partikel sepi
yang bergetar
seperti denting logam
di ruang operasi.
4. Fragmentarium Klinis — Manual Bedah dari Tubuh yang Tidak Mengerti Diri Sendiri
Setiap duri adalah instruksi.
Setiap bulu halus adalah catatan diagnostik.
Kaktus:
organ penyimpan air,
organ pengukur waktu,
organ yang mengganti fungsi rasa
dengan kalkulasi ketahanan.
Nenek itu memetik waktu
dari lipatan keriputnya—
gestur itu klinis,
seperti meraba denyut pasien
yang tidak ingin hidup
dan tidak ingin mati.
Waktu:
objek, bukan cerita.
Unit, bukan luka.
Sampai suara mikrofon pecah
di mulutnya,
memecahkan halaman sajak
menjadi angka-angka
yang tidak merindukan makna.
5. Fragmentarium Sunyi — Rongga yang Menghindari Semua Nama
Kaktus adalah rongga.
Yang tumbuh hanyalah sunyi.
Di tubuhnya
tidak ada kata yang menetap.
Hanya gema yang datang,
menyentuh sejenak,
lalu melesap
ke dalam dinding pondok
yang tidak mencatat siapa pun.
Bayangan duduk di sofa merah
dan tidak berkata apa-apa.
Bulan ikut duduk,
lebih diam dari bayangan itu.
Kaktus tidak memahami kesedihan.
Tetapi ia mengerti
betapa sunyi dapat menyamar
menjadi cahaya,
betapa cahaya dapat menyamar
menjadi air mata
yang tidak pernah menetes.
6. Fragmentarium Kosmologis — Topologi Duri, Cahaya, dan Takdir yang Melengkung
Kaktus meminum cahaya
dan menemukan bahwa kosmos
bukan langit di luar pondok,
melainkan ruang kecil
dalam jantungnya sendiri.
Duri adalah orbit.
Bayangan adalah rotasi lambat
dari waktu yang berbiak.
Ketika cahaya jatuh ke gelas,
kaktus melihat dirinya
sebagai serpih bintang
yang gagal meletus.
Ia meneguknya—
cahaya turun
seperti gravitasi retak.
Dan tiba-tiba ia paham:
rasa sakit
bukan milik tubuh,
melainkan milik semesta
yang menunda kelahiran.
Kaktus pun menyala,
dengan cara yang hampir tidak terlihat:
sebuah bintang hijau
yang memilih berputar
di dalam sumsum
tanpa memohon
untuk ditemukan.
Desember 2025”
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 102k
- Life Quotes 80k
- Inspirational Quotes 76k
- Humor Quotes 44.5k
- Philosophy Quotes 31k
- Inspirational Quotes Quotes 29k
- God Quotes 27k
- Truth Quotes 25k
- Wisdom Quotes 25k
- Romance Quotes 24.5k
- Poetry Quotes 23.5k
- Life Lessons Quotes 22.5k
- Quotes Quotes 21k
- Death Quotes 20.5k
- Happiness Quotes 19k
- Hope Quotes 18.5k
- Faith Quotes 18.5k
- Travel Quotes 18.5k
- Inspiration Quotes 17.5k
- Spirituality Quotes 16k
- Relationships Quotes 15.5k
- Life Quotes Quotes 15.5k
- Motivational Quotes 15.5k
- Religion Quotes 15.5k
- Love Quotes Quotes 15.5k
- Writing Quotes 15k
- Success Quotes 14k
- Motivation Quotes 13.5k
- Time Quotes 13k
- Motivational Quotes Quotes 12.5k
