Linda Boentaram's Blog, page 2

October 4, 2014

Fanfics

Yes, I do write them, though I only acknowledge it publicly just now :). No worries, I am not intending to switch career to writing any time soon. Read more here.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on October 04, 2014 04:36

September 26, 2014

Let the Sky Fall

Linda B:

Catatan penerjemah bisa dibaca di sini:) http://micpublishing.co.id/shop/2014/09/catatan-penerjemah-let-the-sky-fall/


Originally posted on Buah Karya Bahterawan:


10387675_721857084529070_5962157179990736389_nJudul: Let the Sky Fall



Pengarang: Shannon Messenger



Penerjemah: Linda Boentaram



Penyunting: Selviya Hanna



Penerbit: MIC Publishing



Bahasa asli: Inggris



Tahun terbit: 2014




Dihancurkan oleh masa lalu. Dipisahkan oleh masa depan. Disatukan oleh cinta.


Vane Weston tak tahu bagaimana ia selamat dari tornado kategori lima yang menewaskan orangtuanya. Dan ia tak menyangka, gadis cantik berambut gelap yang merasuki mimpi-mimpinya setiap malam semenjak badai, ternyata benar-benar ada.


Audra seorang sylph yang menguasai elemen udara. Ia meniti angin, mengubahnya menjadi lagu-lagu yang membuai, bahkan menganyamnya menjadi senjata dengan seuntai perintah.  Ia adalah pelindung Vane dan telah bersumpah menjaga keselamatan Vane, meski nyawa menjadi taruhannya.


Ketika sebuah kesalahan gegabah mengungkap lokasi mereka pada musuh yang membunuh keluarga mereka berdua, Audra terpaksa menolong Vane mengingat kembali jati dirinya. Ada kekuatan yang harus diklaimnya – bahasa rahasia Angin Barat yang hanya bisa dimengerti oleh pemuda itu. Namun, dengan terkuaknya pusaka itu, kenangan kelam yang Audra…



View original 28 more words


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 26, 2014 03:42

September 7, 2014

Contoh Terjemahan (YA Fantasy)

Kalau ditanya genre bacaan favorit, jawaban saya biasanya chicklit dan drama-romance. Tetapi kalau ditanya genre favorit untuk diterjemahkan, jawaban saya pasti fantasi, terutama fantasi young adult. Alasannya apa lagi kalau bukan ceritanya yang asyik dan bahasanya yang lugas (dan tentunya lebih mudah diterjemahkan daripada novel dewasa). Anehnya saya lebih sering mendapat naskah romance, alasannya (kata salah satu editor dulu) karena bahasa saya romantis #huhuy. Belakangan saya baru berkesempatan menerjemahkan fantasi YA, yang satu sedang naik cetak dan yang satu lagi masih coming soon. Jadi penasaran apa gaya bahasa saya cocok dengan genre ini. Berikut terjemahan iseng saya dari petikan salah satu novel fantasi YA yang akan debut di AS Oktober mendatang.


Ketika usiaku delapan tahun, kami pindah perkemahan lagi untuk mempersulit Angra melacak kami—kali ini ke Autumn. Sampai saat itu, hidupku tidak lebih luas dari perbatasan kemah-kemah kecil menyedihkan kami di Hutan Eldridge. Kami melintasi ibukota Autumn, Oktuber, dalam perjalanan ke hutan daerah selatan mereka, sambil memuati kereta-kereta dan kuda-kuda kami dengan perbekalan.


Kemiripan Autumn dengan Eldridge yang sarat tumbuhan hijau kira-kira seperti persamaan serpih salju dengan api. Kelembapan padat Eldridge tak terasa di kesejukan kering Autumn, tempat hutan-hutan berdaun kuning dan merahnya sunyi dan bergemerisik dan bernuansa kehangatan. Oktuber seperti jalur ruwet lumbung dan tenda reyot berwarna marun, biru langit, dan jingga matahari, dengan langit biru cerah berkilau di atasnya, yang tampak tajam dan indahnya kontras dengan warna-warni bumi di kerajaan ini. Tetapi warga Autumn-lah yang membuatku terpana—kerupawanan mereka.


Rambut mereka terjuntai dalam sulur-sulur segelap langit malam, berayun di tengah debu tanah yang mengepul dari jalanan yang mengelilingi kota-kota tenda Autumn. Kulit mereka berkilau dengan warna cokelat tembaga sewarna dedaunan di beberapa pohon mereka, bedanya jika dedaunan itu keriput dan kering, wajah para warga Autumn halus sempurna.


Kusentuh kulitku sendiri, yang sepucat awan-awan yang berarak di atas kami, dan meluncurkan jemariku mengelus topi yang menutupi rambut putih terangku. Seumur hidup, aku hanya dikelilingi para pengungsi Winter lainnya. Tak pernah terlintas di benakku bisa ada orang yang tampak berbeda, tetapi ketika aku menatap mata-mata hitam yang terbenam di kulit cokelat sehat, aku jadi ingin kulitku berwarna secantik itu juga, dan mata biruku gelap penuh misteri seperti mereka.


Kukatakan keinginanku kepada Alysson, yang ditugasi menjauhkan Mather dan aku dari masalah sementara yang lain mengumpulkan perbekalan. Alisnya berkerut mendengar pengakuanku. “Dunia ini penuh orang rupawan, Meira. Aku yakin entah di mana ada gadis Autumn yang ingin memiliki kulit seputih saljumu seperti kau menginginkan kulit sewarna tanah.”


Pandanganku menyapu sekeliling, tetapi aku tak melihat siapa pun mengawasi kami, setidaknya tidak dengan pandangan mendamba seperti yang kupancarkan saat mengawasi mereka. “Kalau begitu kenapa kita harus bersembunyi?”


Tangan Alysson terangkat ke rambutnya sendiri, yang ditutupi sehelai kain panjang biru. Jika diingat lagi, menutupi rambut putih kami tidak begitu membantu menghalangi orang mengenali kami—justru hanya membuat mereka menatap kami dua kali, pertama memerhatikan topi atau kain penutup kepala kami, lalu kulit pucat dan mata biru serta betapa kelihatan salah tempatnya diri kami. Tetapi Sir tidak pernah berhenti bersikeras bahwa kami perlu setidaknya berusaha menyamar, kalau-kalau Angra mendapat bocoran tentang lokasi kami.


Setelah menarik napas dalam, Alysson menyentuh pipiku, jemarinya dingin. “Kau takkan harus bersembunyi selamanya, Manis. Suatu hari nanti ciri-ciri kita akan berbaur, bukannya menonjol.”


Aku tidak yakin maksudnya berbaur ke negeri Spring.



Naskah asli:


When I was eight, we moved our camp once again to make it harder for Angra to track us—this time, to Autumn. Until then, my life had been no bigger than the perimeters of our sad little camps in the Eldridge Forest. We passed through Autumn’s capital, Oktuber, on our way to their southern forests, filling our carts and loading our horses with supplies.


Autumn was as similar to the foliage-heavy Eldridge as a snowflake is to a flame. The dense humidity of the Eldridge was nonexistent in Autumn’s dry coolness, its yellow-and-red forests sleepy and crunchy and colored with warmth. Oktuber was a maze of rickety barns and tents in maroon, azure, and sunshine orange, with the crystalline blue sky gleaming above, a sharp and beautiful contrast to this kingdom’s earth tones. But it was the Autumnians themselves who left me gaping—they were beautiful.


Their hair hung in tendrils as dark as the night sky, swaying in the dust kicked up from the roads that wove through Autumn’s tent cities. Their skin glistened the same coppery brown as the leaves on some of their trees, only where the leaves were crinkled and dry, the Autumnians’ faces were perfectly creamy.


I touched my own skin, as pale as the clouds drifting over us, and ran my fingers across the cap covering my blindingly white hair. My entire life, I had been surrounded only by the other Winterian escapees. It had never occurred to me that anyone might look different, but as I gazed at black eyes set in lush brown skin, I wished for my skin to be that pretty shade, and for my blue eyes to be a dark mystery too.


I told my wish to Alysson, who was tasked with keeping Mather and me out of trouble while everyone else gathered supplies. Her brow pinched in the wake of my admission. “The world is full of lovely people, Meira. I bet somewhere there is an Autumnian girl wanting to have skin the color of snow just as you want skin the color of earth.”


My gaze flicked around, but I didn’t see anyone watching us, at least not with the same yearning with which I watched them. I tugged at my cap. “Then why do we have to hide?”


Alysson’s hand went to her own hair, wrapped up in a blue length of fabric. In retrospect, hiding our white hair didn’t do much to keep people from realizing who we were—if anything, it only made them look at us twice, noting first our hats or fabric-wrapped heads, then our pale skin and blue eyes and how wholly out of place we were. But Sir never backed down in his insistence that we needed to at least try to disguise ourselves, lest Angra get word of our location.


After a deep inhale, Alysson touched my cheek, her fingers cool. “You won’t have to hide forever, sweetheart. Someday our features will blend in, not stand out.”


I doubt she meant blending into Spring.



 


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 07, 2014 05:54

August 1, 2014

Let oneself

Kalimat sumber: I was thinking that he let himself be dragged here for a reason, and I was right.


Terjemahan: Kupikir dia membiarkan dirinya diseret ke sini karena suatu alasan, dan aku benar.


Suntingan: Kupikir dia pasrah diseret ke sini karena suatu alasan, dan aku benar.


 


 


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on August 01, 2014 03:19

March 25, 2014

Sepuluh Hal Penting Saat Menerjemahkan Fiksi

Linda B:

Contekan Uci dari seminar On the Road to Frankfurt: How Translations Travel tanggal 24 Maret 2014 lalu di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta (yang sayangnya tidak bisa saya ikuti karena pas hari kerja).


Originally posted on bruziati:


Berkaca dari pengalaman saya beberapa waktu lalu, pengalaman yang bikin saya cukup panas-dingin karena baru pertama kali merasakan ‘berhadapan langsung’ dengan penulis yang bukunya saya terjemahkan, sepuluh poin yang dipaparkan John McGlynn dari Yayasan Lontar dalam seminar On the Road to Frankfurt: How Translations Travel yang berlangsung tanggal 24 Maret lalu di Gedung Kompas Gramedia menurut saya layak dicatat (Duh, panjang sekali kalimat ini. Tolong diedit :D)


Berikut kesepuluh hal penting tersebut:



Translate, write and rewrite — Menerjemahkan, menurut saya, bisa dibilang sama dengan menulis ulang. Itu sebabnya terjemahan fiksi yang harfiah tentu tidak enak dibaca, karena…



Pay respect to original but honor the target language — Penerjemah wajib menghormati bahasa asli tapi juga harus menghargai bahasa target. Usahakan agar naskah yang kita terjemahkan bisa terbaca seolah-olah ditulis oleh orang Indonesia sendiri, bukan disadur dari naskah asing. Hargai pula panduan-panduan yang kita miliki sebagai penerjemah bahasa Indonesia, misalnya KBBI. Tentunya dengan tetap mengindahkan…


View original 294 more words


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 25, 2014 23:36

March 16, 2014

Pemicu Produktivitas

image


Jadi akhir pekan ini saya menemukan dua hal yang bisa memicu produktivitas kerja. Yang pertama tidak punya modem. Karena modem ketinggalan di kos, dua hari ini saya terpaksa mengandalkan hape untuk internetan, yang akibatnya bikin saya malas buka-buka facebook dan Youtube. Sisi baiknya, saat kerja di laptop saya jadi benar-benar fokus, sampai dapat sekitar 30 halaman dalam 2 hari (diselingi kegiatan menemani si mama yang masih kurang sehat). Cuma memang repot kalau mau mencari istilah, idiom atau padanan di Kateglo dan The Free Dictionary, karena harus mengambil hape dulu dan buka dari sana. Tetapi jadinya saya tidak bablas ‘cuci mata’ saat buka kamus daring :)


Faktor pemicu produktivitas kedua adalah suasana hati sendu (halah). Entah kenapa kemampuan berbahasa seseorang jadi lebih fasih kalau sedang marah atau sedih. Sebut teman kantor saya yang jadi cas-cis-cus bahasa Inggrisnya kalau sedang berantem dengan pacar Singapuranya, atau bos saya yang bahasa Indonesianya jadi lancar kalau ngamuk di rapat. Dua hari ini saya lagi mellow karena banyak persoalan keluarga, tetapi akibatnya saat menerjemahkan, sepertinya pikiran malah jadi jernih dan diksi serta kreativitas mengolah kalimat berkembang. Apa ada hubungannya dengan otak yang cenderung pengen ‘main-main’ kalau hati lagi senang? Entahlah. :p


*tutup lapak*


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 16, 2014 08:21

March 8, 2014

Fantastic Saturday

Sabtu kemarin saya kembali bertemu beberapa rekan penerjemah buku di acara ramah-tamah plus makan siang yang diadakan editor Ufuk Publishing House, Muthia Esfand, untuk memperkenalkan Fantasious, lini baru Ufuk untuk novel fantasi. Kami sepakat berkumpul jam 11 di restoran Tjap Toen di fX Sudirman. Entah kenapa hari itu lalu-lintas tidak memihak saya: perjalanan dari rumah ke fX yang biasa cuma perlu 1,5 jam kali ini memakan waktu 2,5 jam sehingga saya telat 1 jam, dan saat pulang pun bus ekspres Senayan – Kalideres yang biasa cukup sering nongol tidak muncul-muncul, sehingga setelah menunggu sejam saya menyerah dan mengambil rute non-ekspres alias 2x transit. Tetapi meski pergi-pulang makan waktu total 6 jam, saya senang bisa kumpul-kumpul lagi untuk kedua kalinya dengan sesama kuli buku :D


Di acara ini Muthia menerangkan bahwa Ufuk Publishing House yang baru restrukturisasi ini akan memiliki dua lini khusus fiksi, yaitu Fantasious untuk fiksi fantasi terjemahan dan Loveable untuk fiksi lokal. Nama Fantasious dipilih karena catchy dan mencerminkan genre novel yang diterbitkan. Menurutnya genre fantasi dan thriller tahun ini akan kembali naik daun setelah sebelumnya didominasi romance (hore!). Rencananya Fantasious akan menerbitkan fantasi kontemporer, termasuk lanjutan serial The Mortal Instruments, dan klasik. Dari perbincangan para editor dengan beberapa siswa SMU yang magang di Ufuk, sepertinya fantasi yang banyak diminati adalah yang berbumbu romance dan cinta segitiga (teteuuup) dan yang membahas kehidupan sekolah (seperti Harry Potter & Hex Hall).


Bagi penerjemah yang suka narsis (seperti saya), ada kabar baik karena Fantasious berencana memasukkan profil penerjemah ke novel terjemahan. Menurut mbak Muthia dan mas Andri (pimred lini Loveable), penerjemah ibarat penulis kedua yang mengisahkan kembali novel tersebut dalam bahasa yang bisa dinikmati target pembaca, sehingga sudah selayaknya diberi pengakuan *bangga*. Selain itu penerjemah juga akan diberi kesempatan mempromosikan novel terjemahannya lewat media sosial dan mendapatkan keuntungan tambahan dari promosi tersebut.


Sambil ngobrol kami menikmati hidangan peranakan restoran Tjap Toen yang ternyata lumayan sedap. Yang paling menarik Nasi Babah pesanan Muthia karena warnanya biru seperti Smurf :D Tak ketinggalan acara foto bersama (foto dicomot dari Lulu Fitri Rahman, karena foto jepretan hape saya kurang bagus jadinya). Kami sempat bergurau bahwa selain mas Andri yang datang belakangan, peserta acara ini cewek semua, mencerminkan statistik editor/penerjemah novel yang mayoritas memang wanita (mungkin cowok kurang sabar ya menerjemahkan novel? hehe).


1017472_10202301725801824_554365206_n (ki-ka: yours truly, mbak Dina Begum, Meggy Soedjatmiko, Muthia, mbak Meda Satrio, Melody Violine, mbak Istiani Prajoko, Barokah “Uci” Ruziati, Lulu)


Foto lain bisa dilihat di blog mbak Dina di sini. :)


Seusai acara, ucapan terima kasih dan cipika-cipiki, ada kejutan lagi karena di pintu keluar fX kami bertemu editor GPU Meilia Kusumadewi dan mas Indradya Susanto Putra yang baru datang dari IBF di Gelora Bung Karno (foto dicomot dari Meilia). Jadilah fX kemarin menjadi ajang berkumpulnya para pemburu singa mati :D


1901499_10202642770806312_403890146_n


Akhir kata, kami senang dengan lahirnya Fantasious, karena sejak dulu novel-novel fantasi Ufuk Fiction selalu menarik dan menyegarkan. Semoga dengan adanya lini ini kami para editor dan penerjemah bisa menyuguhkan novel-novel fantasi bermutu bagi pembaca Indonesia :D


Catatan: silakan ditambahkan ya kalau ada yang kurang dalam lapanta ini.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 08, 2014 16:41

March 3, 2014

Takkan lari jodoh dikejar? (a.k.a curcol penerjemah “struggling”)

vsh0036lSejak dulu saya serba “nanggung” dalam segala hal :) Waktu masih sekolah, peringkat saya di kelas konsisten antara 2 dan 3, tapi tidak pernah ranking 1. Saat kuliah D3, nilai mata kuliah semua A, tetapi tidak berhasil meraih hadiah siswa terbaik di kelas (jatuh ke teman yang nilainya juga A semua). Di kantor pertama dan ketiga sebagai penerjemah dalam tim, secara tidak resmi saya juga menjadi “second best”. Bukan berarti saya berambisi menjadi “the best”–saya cuma merasa lucu (dan penasaran) saja dengan semua kebetulan ini.


Ini bukan berarti saya “nanggung” dalam berusaha (atau setidaknya menurut saya begitu :) ) Waktu sekolah, penyebab “kekalahan” saya adalah matematika, dimana nilai saya sering jeblok meskipun sudah les dan belajar rumus sampai botak. Saat kuliah, saya kalah tipis dalam beberapa pelajaran. Di kantor, saya entah kurang cepat atau kurang banyak menguasai kosa kata bahasa Inggris.


Sekarang pun, dalam penerjemahan buku, saya termasuk tipe “struggling”. Saya mulai konsisten menekuni bidang ini sejak tahun 2009, jadi bukan benar-benar pemula, tetapi dalam hal pengembangan portofolio, saya masih kalah dari banyak penerjemah yang lebih baru. Sebagai manusia, saya tahu ini bisa menimbulkan emosi negatif, seperti putus asa dan/atau merasa rumput tetangga lebih hijau. Jadi saya berusaha mengakui bahwa saya masih harus banyak belajar dan membeli buku-buku terjemahan rekan-rekan lain tersebut untuk mempelajari kelebihannya. Harus saya akui mereka memang memiliki kreativitas lebih tinggi dalam mengolah kalimat serta menguasai lebih banyak diksi. Saya pun berusaha lebih keras di setiap proyek dan melatih diri dengan membuat sampel baru setiap kali melamar di penerbit.


Namun keputusasaan kadang tak urung melanda, misalnya saat penerbit/editor tidak kunjung memberi kesempatan mencoba genre lain meskipun saya sudah berusaha membuktikan diri, atau tidak menghubungi lagi padahal terjemahan sebelumnya dan hubungan kerja tidak bermasalah. Apalagi jika penerjemah lain seperguruan lancar menerima order atau mudah beralih ke genre favorit, saya jadi bertanya-tanya apakah ada sesuatu pada hasil kerja atau diri saya yang tidak disukai editor/penerbit. Pernah saya merasa tidak berjodoh dengan penerjemahan buku dan ingin berhenti. Mungkin seperti dengan matematika dulu, saya tidak bisa mendapat nilai bagus sekeras apa pun berusaha, karena kemampuan berhitung saya memang terbatas. Namun, entah karena bebal atau terlalu cinta, saya tetap menerjemahkan buku sampai sekarang, meskipun tersendat-sendat :p


Saya sebenarnya ragu menulis postingan ini, karena bisa jadi membuat order semakin menjauh. Tetapi saya tidak bermaksud menyinggung atau menyalahkan siapa pun. Saya tahu betul jatuh-bangun saya sepenuhnya perbuatan saya sendiri dan campur tangan Tuhan. Saya hanya berusaha jujur pada diri sendiri dan berbagi pengalaman dengan rekan yang (mungkin) mengalami hal sama. Semoga ke depannya saya bisa menjadi penerjemah yang lebih baik…dan (mudah-mudahan) lancar rezeki :)


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on March 03, 2014 05:27

February 27, 2014

Blog Drama!

image


Tadi pagi saya coba-coba mengubah nama dan alamat URL blog tanpa bikin blog baru, karena malas memindahkan isinya. Berhasil, duniadalamkata.wordpress.com berubah jadi ramukata.wordpress.com. Hmm…tp kok rasanya masih kurang sreg ya? Kesannya lebih kayak blog penulis daripada penerjemah. Sepertinya pelayankata wordpress.com lebih cocok. Oke, kita ganti lagi! Tapi sebelumnya hapus dulu blog tak jadi dipakai tadi. Delete, klik email konfirmasi, confirm. Sip. Sekarang mari ganti Dunia Dalam Kata menjadi Pelayan Kata. Maka saya pun mengklik link blog awal tersebut…


…dan semua entri blog saya sudah lenyap tak berbekas.


WHAAAATTTT???!!!


Rupanya…blogger teledor ini lupa kalau isi blog awal telah dialihkan ke blog baru dengan nama baru yang tak jadi dipakai dan sudah dihapus tadi. Saya jadi lemas. Sepuluh entri yang ditulis susah-payah dua bulan terakhir raib tak kembali lagi. Saya jelas tak punya energi atau ingatan cukup bagus untuk mengulangnya kembali.


Anehnya saya nggak sampai histeris. Ya sudahlah, nge-blog saja dari awal lagi. Untung baru 10 entri. Jam makan siang tiba. Saya tinggalkan komputer untuk cari makan, dan ketika melihat hape di tangan, mendadak teringat aplikasi WordPress di sana. Saya buka aplikasi dan…ajaib, delapan dari sepuluh entri blog lama masih bisa dipreview di sana! Bisa disalin pula! Wahh…rasanya seperti bangkit dari kubur (lebay amat, haha). Habis makan siang saya langsung mem-post ulang kedelapan entri tersebut ke blog baru, dan menemukan kejutan lagi di goodreads saat hendak mengunduh gambar sampul novel terjemahan. Ternyata…karena saya me-link blog dan akun goodreads, isi blog saya semua terekam di goodreads! Ini berarti sisa dua entri terakhir pun terselamatkan! Benar-benar ajaib! Tetapi tentu saja komen teman-teman tidak bisa dipulihkan lagi. Ya sudahlah, bisa mendapat lagi semua isi blog yang terhapus saja sudah luar biasa. :D


Tetapi cerita belum selesai. Dalam kehebohan mengotak-atik blog, saya tak sengaja menjadikan satu blog lama yang “tersembunyi” sebagai primary blog. Jadi waktu ada teman penerjemah mengklik notifikasi reblog dari saya, yang terbuka adalah blog terabaikan tadi, bukan blog sekarang. Blog itu saya pakai untuk menawarkan jasa terjemahan tahun 2009, waktu saya baru setahun jadi penerjemah dokumen hukum, dan tarifnya benar-benar tarif kaki lima. Teman itu sampai hampir pingsan karena dikiranya itu tarif saya sekarang (tidak ada tahun di entri blognya). Aduh, saya jadi malu banget (maklum dulu belum tahu HPI dan tarif dan sebagainya) dan sempat takut blog itu sudah tak sengaja dibuka penerjemah lain. Buru-buru saya hapus blog itu. Mending pakai word-of-mouth aja deh!


Pelajaran hari ini: mengotak-atik blog juga harus hati-hati. Jangan sampai menghapus atau sebaliknya mengaktifkan blog yang salah. Isi blog juga harus dicadangkan meski tak terpakai lagi, siapa tahu suatu hari berguna.


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 27, 2014 05:31

“Kecelakaan” yang Menyenangkan

Originally posted on Dina's Pensieve:


Sewaktu browsing mencari keterangan tentang bagaimana cara menjadi penerjemah novel beberapa tahun silam, aku menemukan forum Goodreads Indonesia dan utas “

Buku terjemahan apa yang kamu tunggu?

 ” Di sana ada postingan yang mengatakan bahwa dia menunggu buku apa saja yang diterjemahkan oleh Poppy D Chusfani. Penasaran, kucari terjemahan Poppy dan membacanya. Memang, novel-novel terjemahannya nikmat dibaca! Terlebih karena genre-nya sesuai dengan seleraku.


Nah, begini cerita Poppy yang mengalami “kecelakaan” menyenangkan.






—oOo—


View original


 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 27, 2014 00:29